Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Senyawa aromatik/hidrokarbon aromatik adalah hidrokarbon siklik yang memiliki
ikatan rangkap dua dan ikatan tunggal yang berselang-seling. Salah satu jenis hidrokarbon
aromatik yang paling terkenal adalah benzena. Benzena merupakan senyawa aromatik yang
paling sederhana yang tidak reaktif dan mudah terbakar. Benzena sebelumnya bernama
benzol dari bahasa Jerman dengan ol yang berarti minyak. Benzena adalah senyawa siklik
yang mempunyai rumus molekul C6H6 zat cair menyerupai minyak, tak berwarna (jernih),
berbau khas, dapat bercampur dengan berbagai zat cair organik, dan sangat mudah terbakar.
Benzena diperoleh dari pengubahan katalitik pada penyulingan minyak bumi, dan dari ter
batu bara. Benzena digunakan sebagai pelarut, dan pada industri petrokimia untuk pembuatan
detergen, nilon, stirena, insektisida, dan senyawa aromatik lainnya (Mulyono, 2005: 72).
Biasanya, suatu senyawa yang memiliki ikatan rangkap mudah mengalami reaksi
adisi. Akan tetapi, berdasarkan percobaan dilaboratorium, ternyata benzene sukar mengalami
reaksi adisi dan justru lebih mudah mengalami reaksi substitusi seperti halnya senyawa
alkana. Reaksi substitusi yang biasa terjadi pada senyawa ini adalah reaksi substitusi
elektrofilik.
Reaksi substitusi elektrofilik terjadi pada senyawa aromatis termasuk heteroaromatis.
Reaksi substitusi elektrofilik aromatik adalah reaksi organik dimana sebuah atom, biasanya
ion hydrogen (H+), yang terikat pada sistem aromatis diganti dengan elektrofil (E+)/spesi yang
kekurangan elektron. Elektrofil yang digunakan tergantung pada substitusi elektrofil.
Mekanisme dan reaksi substitusi aromatik dimulai dengan serangan oleh elektrofil pada
elektron pi dan cincin benzene. Benzena tersubstitusi adalah benzene yang terbentuk dengan
cara menggantikan satu atau lebih atom hidrogen pada benzene dengan gugus fungsional
lainnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yng telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah :
1. Bagaimana mekanisme reaksi-reaksi subsitusi elektrofilik?
2. Bagaimana pengaruh efek subsitusi dalam reaksi subsitusi aromatik elektrofilik
3.

pada benzene tersubsitusi?


Bagaimana efek pengaktivasi dan pendeaktivasi subsitusi terhadap benzene
tersubsitusi?

1.3. Tujuan Makalah


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini, adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami mekanisme reaksi-reaksi substitusi elektrofilik.
2. Untuk mengetahui dan memahami pengaruh efek substitusi dalam reaksi substitusi
aromatik pada benzena tersubstitusi.
3. Untuk mengetahui efek pengaktivasi dan pendeaktivasi substitusi terhadap benzena
tersubstitusi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Substitusi Elektrofilik Aromatik


2

Salah satu reaksi yang terjadi pada senyawa organic adalah reaksi substitusi. Dalam hal
ini reaksi substitusi yang akan dibahas adalah reaksi substitusi elektrofilik aromatik, misalnya
benzene.
Telah diketahui bahwa benzene merupakan senyawa yang kaya akan elektron, sehingga
sifat yang menonjol dari benzene adalah mudah melakukan reaksi substitusi elektrofilik,
namun dalam reaksi substitusi nukleofilik pun memungkinkan untuk terjadinya reaksi. Reaksi
dapat berlangsung jika reagen elektrofil E+ (suka elektron) menyerang cincin aromatis dengan
mengganti salah satu atom hydrogen. Berikut merupakan reaksi umum substitusi elektrofilik
aromatik :

Beberapa reaksi substitusi yang sering dijumpai pada cincin benzene adalah
halogenasi, nitrasi, sulfonasi, alkilasi Friedel-Crafts, dan asilasi Friedel-Crafts. Oleh karena
itu dalam hal ini akan dibahas mengenai reaksi substitusi elektrofilik senyawa aromatik.
Aromatisitas benzena menyajikan suatu kestabilan yang unik pada sistem pi, dan
benzena tidak menjalani kebanyakan reaksi yang khas bagi alkena. Meskipun demikian,
benzena tidaklah bersifat lamban (inert). Pada kondisi yang tepat, benzena mudah bereaksi
substitusi elektrofilik aromatik, yaitu reaksi dimana suatu elektrofil disubstitusikan untuk satu
atom hidrogen pada cincin aromatik. Dua contoh reaksi substitusi seperti di bawah ini.

Contoh di atas menunjukkan monosubstitusi cincin benzene, perhatikan bahwa


aromatisitas cincin tetap dipertahankan dalam tiap produk.. Substitusi lebih lanjut masih
mungkin:

Mula-mula perhatikan mekanisme monosubstitusi, yaitu substitusi yang pertama dan


kemudian mekanisme substitusi lebih lanjut yang menghasilkan benzena disubstitusi.
2.2

Mekanisme Reaksi Substitusi Elektrofilik Aromatik


Benzena sangat mudah mendapatkan serangan elektrofilik karena benzene kaya akan

elektron . Di sini benzene berlaku sebagai donor elektron (suatu basa lewis atau sebagai
nukleofilik, sehingga akan mudah bereaksi dengan menerima elektron (asam Lewis atau
elektrofil). Sekilas, benzena sangat menyerupai alkena yang juga memiliki elektron di
dalamnya. Akan tetapi, perbedaan benzene dengan alkena sangat jelas, karena keenam
elektron dalam benzene selain terkonjugasi juga mempunyai jarak yang lebih dekat
dibandingkan dengan alkena. Hal ini menjadikan benzene lebih stabil. Oleh karena itu,
meskipun benzene mudah diserang oleh elektrofilik, benzene akan lebih mudah mengalami
reaksi substitusi daripada reaksi adisi. Bukti adanya serangan elektrofilik pada sistem
elektron benzena adalah terbentuknya suatu karbokation nonaromatic yaitu ion arenium
(kadang disebut sebagai kompleks ). Berikut adalah mekanisme reaksi subsitusi
elektrofilik secara umum :
1.
2.

Tahap pertama
Tahap kedua

3.

Tahap ketiga

: Pembentukan elektrofil E+ (cepat)


: Serangan E+ terhadap cincin benzene ( lambat sebagai langkah
penentu laju reaksi/RDS)
: Pengambilan H+ dari cincin benzene oleh suatu elektrofil (cepat).

Profil (diagram energi) reaksinya adalah sebagai berikut :

2.3

Mekanisme Ion Arenium


Dalam mekanisme ion arenium spesies elektrofilik mungkin dihasilkmelalui berbagai

cara, tapi ketika H digantikan dengan konversi X cincin aromatic menjadi sebuah ion arenium
pada dasarnya sama dalam semua kejadian. Untuk alasan ini, pentingnya mempelajari
mekanisme untuk menentukan letak dari elektrofilik dan bagaimana menghasilkannya.

Elektrofilik mungkin sebuah ion positif atau sebuah molekul yang mempunyai dipole
positif. Jika dalam bentuk ion positif, ini akan diserang oleh cincin (sebuah pasangan electron
dari enam atom c aromatic yang diberikan ke elektrofil) untuk memberikan sebuah
karbokation. Zat antara ini adalah hybrid resonansi, ditunjukkan aleh gambar 1, tapi sering
ditulis dalam bentuk gambar 2. Untuk waktu tertentu, atom H digantikan dengan atom X
dalam gambar 1. Ion dari tipe ini disebut intermediate Wheland, complexes, atau arenium
ion. Stabilitas inherent berkaitan dengan aromatisitas dalam gambar 1, namun ionnya akan
5

distabilkan oleh resonansi. Oleh karena itu, ion arenium umumnya zat antara dengan
reaktifitas tinggi, walaupun dalam beberapa kasus dapat juga dilakukan isolasi.
Karbokation dapat bereaksi dengan banyak cara, namun untuk jenis ion ini paling
sering terjadi dengan jalan kehilangan salah satu dari X+ atau H+. pada langkah kedua dari
mekanisme, reaksi berlangsung dengan kehilangan proton dan 6 cincin aromatik terbentuk
kembali dan hasil akhir adalah:

Untuk langkah kedua selalu lebih cepat daripada langkah pertama, yang menentukan
kecepatan reaksi di awal, dan reaksi urutan kedua.
2.4

Substitusi Elektrofilik Pertama/Unimolekuler (SE1)


Mekanisme reaksi substitusi elektrofilik unimolekuler (S E1) terdiri dari dua tahap, yaitu

tahap ionisasi yang berlangsung lambat dan merupakan tahap penentu laju reaksi, dan tahap
penggabungan karbanion dengan elektrofil yang berlangsung cepat.
Tahap 1.

R-X

Tahap 2.

R- : +

R- :
Y+

X+

RY

(Lambat)
(Cepat)

Elektrofil
Laju reaksi yang mengikuti mekanisme SE1 tidak dipengaruhi oleh konsentrasi
elektrofil karena tahap penentu laju reaksi adalah tahap ionisasi (pembentukan karbanion).
Dalam pembahasan berbagai macam reaksi substitusi elektrofilik aromatik, ternyata
mekanisme-mekanismenya hanyalah sekedar variasi dari mekanisme umum ini.
Produk

reaksi

dari

mekanisme

SE1

dapat

menghasilkan

produk

dengan

mempertahankan konfigurasi semula (retensi), atau rasemisasi, atau pembalikan konfigurasi


(inversi) sebagian, tergantung pada faktor-faktor kestabilan karbanion, konsentrasi elektrofil,
kekuatan elektrofil, dan konfigurasi karbanion. Reaksi akan menghasilkan produk rasemisasi
jika :
1.

Karbanion terstabilkan oleh delokalisasi dan konsentrasi elektrofil rendah atau

2.

kekuatan elektrofilnya rendah,


Karbanion berstruktur datar dan muatan negatif terdelokalisasi sehingga elektrofil
dapat menyerang karbanion dari kedua sisi,

3.

Karbanion berstruktur tetrahedral tetapi membentuk campuran kesetimbangan


anion enantiomerik dengan laju yang lebih cepat daripada laju pembentukan
produk.

2.5
1.

Jenis Jenis Reaksi Substitusi Elektrofilik


Halogenasi
Pereaksi adalah halogen (X2) dengan elektrofil ion Halonium (X+), dengan pereaksi

umum adalah Br2 dan Cl2. Katalisator yang digunakan adalah AlX3 atau FeX3 dengan X yang
umum adalah Br dan Cl.
Halogenasi Bromida
Halogenasi aromatik dicirikan oleh brominasi benzena. Katalis dalam brominasi
aromatik adalah FeBr3 (seringkali dibuat in situ dari Fe dan Br 2). Peranan katalis adalah
menghasilkan elektrofil Br+. Ini dapat terjadi oleh reaksi langsung dan pemutusan ikatan BrBr. Lebih mungkin lagi, Br2 tidak sepenuhnya terputus pada reaksi dengan katalis FeBr 3,
melainkan sekedar terpolarisasikan. Untuk sederhananya, reaksi di bawah menunjukkan Br+
ebagai elektrofilnya.

Bila suatu elektrofil seperti Br+ bertabrakan dengan elektron-elektron awan pi aromatik,
sepasang elektron pi akan membentuk ikatan sigma dengan elektrofil itu. Tahap ini
merupakan tahap lambat dalam reaksi itu, dan menjadi tahap yang menentukan laju.

Ion
benzenonium menyerahkan sebuah proton kepada basa dalam campuran reaksi. Produknya
ialah bromobenzena, suatu produk yang memperoleh kembali karakter aromatik dari
cincinnya.

Tahap ketiga dalam mekanisme reaksi itu (yang searah dengan lepasnya proton) ialah
terbentuknya kembali katalis asam Lewis. Proton yang dilepaskan dalam tahap 2 bereaksi
dengan ion FeBr4- membentuk HBr dan FeBr3.

Dengan

tak

mengikutkan katalis, persamaan untuk keseluruhan reaksi brominasi aromatik dari benzena
dapat ditulis sebagai berikut:

Perhatikan
kemiripan
reaksi
suatu

substitusi
reaksi

karbokation
untuk

E1.
alkil

membentuk

antara

elektrofilik aromatik dan


Dalam

reaksi

E1,

antara membuang proton


suatu alkena.

Karbokation alkil dapat juga bereaksi dengan suatu nukleofil dalam suatu reaksi SN1.
Namun, ion benzenonium antara tidaklah bereaksi dengan suatu nukleofil. Adisi nukleofil
akan merusak stabilisasi dari cincin benzena.

Halogenasi
Fluor
Fluor
cepat

bereaksi sangat
dengan

benzena sehingga memerlukan kondisi dan peralatan khusus. Bahkan sukar membatasi
terbentuknya monofluorinasi. Oleh karena itu monofluorobenzena dibuat dengan cara tidak
langsung, yaitu dengan mereaksikan garam diazonium dengan HBF4 dalam keadaan panas.

+ N2 Cl
+

HBF4 panas

N2

HCl

BF3

Halogenasi Iod
Sebaliknya, iod sangat tidak reaktif terhadap benzena sehingga diperlukan cara khusus
untuk memperoleh iodobenzena. Salah satu cara adalah dengan menambahkan oksidator
seperti asam nitrat dalam campuran reaksinya.
+

I2

HNO3

HI

(80%)

Efek Isotop
Jika tahap penentu laju substitusi elektrofilik aromatik ialah pembentukan ion
benzenonium, maka reaksi benzena terdeuterasi dan reaksi benzena normal akan sama cepat.
Eksperimen menunjukkan bahwa hal ini memang benar, benzena dan perdeuteriobenzena
(C6D6) menjalani brominasi elektrofilik sama cepat, dan tidak dijumpai efek isotop kinetik.

Tahap 2 dalam mekanisme reaksi, lepasnya H+ atau D+, memang melibatkan pemutusan
ikatan CH atau CD. Tak diragukan lagi bahwa eliminasi D + akan lebih lambat daripada
eliminasi H+, tetapi dalam masing-masing kasus tahap kedua itu begitu cepat dibandingkan
dengan tahap 1, sehingga tak dijumpai perubahan laju reaksi keseluruhan.
2.
Nitrasi
Benzena bereaksi lambat dengan asam nitrat pekat panas menghasilkan nitrobenzena.
Reaksi berlangsung lebih cepat jika dilakukan dengan memanaskan benzena bersama-sama
dengan campuaran HNO3 pekat dan H2SO4 pekat.
+ HNO3 + H2 SO4

50-55o C

NO2
+

+
H3 O

HSO4

Penambahan asam sulfat pekat dapat menambah laju reaksi melalui penambahan
konsentrasi elektrofil ion nitronium (NO+2), yang terbentuk dengan tahap-tahap berikut:
Tahap 1
9

HOSO3

H + H

+
O

N +

N+
O_

O_

_
+ HSO4

Tahap 2
O
H

+
O

H2O

N +
O_

+
O=N=O

ion nitrosonium

Pada tahap 1 asam nitrat memperlihatkan sifat sebagai basa dan menerima proton dari
asam sulfat yang lebih kuat. Pada tahap 2 asam nitrat yang telah terprotonkan terurai
menghasilkan ion nitronium. Selanjutnya terbentuk tahap-tahap berikut ini.
Tahap 3
O

Tahap 4

NO2

NO2

N+ lambat

NO2

H
NO2

NO2
+

+
Pada tahap
3 ion nitronium menyerang inti benzena membentuk
H ion benzenonium yang

terstabilkan oleh resonansi dan pada tahap 4 ion benzenonium melepaskan proton
menghasilkan nitrobenzena.
3.

Alkilasi Friedel-Crafts
Pada tahun 1877, dua orang ahli kimia masing-masing Charles Friedel (Perancis) dan

James M.Crafts (Amerika) menemukan metode baru untuk membuat alkil benzena (ArR) dan
asil benzena (ArCOR). Kini reaksi pembuatan kedua kelompok senyawa tersebut masingmasing dinamakan dengan reaksi alkilasi Friedel-Crafts dan reaksi asilasi Friedel-Crafts.
Secara umum reaksi alkilasi Friedel-Crafts dituliskan sbb:
+

R-X

AlCl3

R
+

HX

Salah satu contoh reaksi alkilasi Friedel-Crafts adalah reaksi antara isopropil klorida
dan benzena dengan katalis aluminium klorida yang tahap-tahapnya dituliskan sbb:
Tahap 1

10

H3C

H3C

CH - Cl + AlCl3

H3C

H3C

H3C +
CH + AlCl4
H3C

+ CH - Cl -AlCl3

Tahap 2
H3C

H
CH +

CH

H3C

CH3

Tahap 3
Cl - AlCl3

H
+

CH3

CH3

CH3
CH

CH

CH3

+ HCl +

AlCl3

CH3

Pada tahap 1 isopropil klorida dan aluminium klorida membentuk kompleks yang
segera terurai membentuk karbokation isopropil dan AlCl 4-. Pada tahap 2, karbokation
isopropil bertindak sebagai elektrofil menyerang inti benzena membentuk ion benzenonium.
Pada tahap 3 ion benzenonium melepaskan proton membentuk isopropil benzena. Pada tahp
ini terbentuk HCl dan dihasilkan AlCl3 kembali.
Jika digunakan alkil halida primer maka karbokation tidak terbentuk tetapi alkil halida
membentuk kompleks dengan aluminium klorida. Kompleks inilah yang bertindak sebagai
elektrofil.
+

RCH2 ----------- Cl:AlCl3


Meskipun kompleks tersebut bukan karbokation tetapi dapat bertindak seperti
karbokation dan dapat mentransfer gugus alkil ke inti benzena.
Reaksi alkil Friedel-Crafts tidak terbatas pada penggunaan alkil halida dan aluminium
klorida tetapi juga dapat menggunakan pereaksi lain yang dapat menghasilkan karbokation
atau spesies lain yang menyerupai karbokation. Contohnya adalah dengan menggunakan
campuran alkena dan suatu asam.
+ CH CH=CH
3
2

0o C

CH(CH3)2

HF
Isopropilbenzena (84%)

Disamping itu juga dapat digunakan campuran alkohol dari suatu asam.

11

HO

60o C
BF3
sikloheksilbenzena (56%)

Penataan ulang yang ditunjukkan adalah dari alkil halida primer, yang tidak mudah
membentuk karbokation. Dalam kasus-kasus ini, agaknya reaksi berlangsung lewat kompleks
RX-AlCl3.

Kompleks ini dapat (1) bereaksi dengan benzena menghasilkan produk tak tertataulang, atau (2) mengalami penataan-ulang menjadi karbokation sekunder atau tersier, yang
menghasilkan produk tertata-ulang.

Alkilasi dapat pula dicapai dengan alkena dengan hadirnya HCl dan AlCl 3.
Mekanismenya serupa dengan alkilasi dengan suatu alkil halida dan berlangsung lewat
karbokation yang lebih stabil.

12

Meskipun reaksi alkilasi Friedel-Crafts mempunyai arti penting dalam sintesis alkil
benzena, namun reaksi tersebut memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:
a) Jika karbokation yang terbentuk dari alkil halida, alkena atau alkohol dapat
mengalami penataan ulang dan membentuk karbokation yang lebih stabil maka
produk terbanyak adalah yang diperoleh dari reaksi dengan karbokation yang lebih
stabil. Contohnya: jika benzena direaksikan dengan n-butilbromida ternyata
diperoleh hasil sekunder butilbenzena lebih banyak (64-68%) dari pada nbutilbenzena. Hal ini terjadi karena terjadinya penataan ulang kation butil dari
karbokation primer menjadi karbokation sekunder yang lebih stabil.
b)Reaksi alkilasi Friedel-Crafts sukar berlangsung jika pada inti aromatik terdapat
gugus penarik elektron kuat atau gugus lain seperti NH2 atau NHR atau NR2.
Adanya gugus penarik elektron akan menyebabkan inti aromatik menjadi tuna
elektron (elektron deficient) sehingga sukar mengalami reaksi subtitusi elektrofilik
melalui pembentukan karbokation. Gugus amino (-NH2) atau derivatnya (-NHR;
-NR2) berubah menjadi gugus penarik elektron yang sangat kuat jika berada dalam
campuaran pereaksi Friedel-Crafts karena bereaksi dengan asam Lewis seperti
ditunjukkan pada reaksi berikut:
H
H

_
AlCl3

AlCl3

c) Aril dan vinil halida tidak dapat digunakan sebagai komponen halida karena kedua
senyawa tersebut tidak dapat segera membentuk karbokation.
d)Dalam reaksi alkilasi Friedel-Crafts sering terjadi polialkilasi. Hal ini terjadi karena
gugus alkil yang bersifat mendorong elektron sehingga keberadaannya pada inti
benzena meningkatkan keaktifan inti benzena terhadap reaksi subtitusi elektrofilik
4.

selanjutnya.
Asilasi
Reaksi asilasi adalah reaksi yang mengakibatkan masuknya gugus asil (R-C=O)

kedalam suatu senyawa. Dua buah gugus asil yang lazim dikenal adalah gugus asetil dan
gugus benzoil.

13

O
CH3

gugus asetil
(etanoil)

gugus benzoil

Reaksi asilasi Friedel-Crafts merupakan salah satu cara yang efektif untuk memasukkan
gugus asil ke dalam inti aromatik. Reaksi asilasi sering dilakukan dengan mereaksikan
senyawa aromatik dengan asil halida. Jika senyawa aromatik tidak sangat reaktif, maka dalam
melangsungkan reaksinya diperlukan asam Lewis (misalnya AlCl3). Hasil reaksi asilasi
Friedel-Crafts adalah suatu aril keton.
O
O
+

CH3

AlCl3

C
Cl

+ HCl
CH3

80oC

Asetofenon
(metil fenil keton)

Asetil klorida

Reaksi asilasi Friedel-Crafts juga dapat dilakukan dengan menggunakan anhidrida asam
karboksilat sebagai pengganti asil halida.
Contoh:
O
CH3

+ CH
3

O
O

O
Anhidrida asam asetat

AlCl3
80oC

CH3

O
+ CH3

C
OH

Pada sebagian besar reaksi asilasi Friedel-Crafts, elektrofilnya adalah ion asilium
yang terbentuk dari asil halida dengan cara sbb:
Tahap 1
O

Tahap 2

Cl

+ AlCl3

CH

+
Cl

AlCl3

H3C

O
R

H3C

+
Cl

_
AlCl3

Tahap-tahap selanjutnya terjadi sbb:


Tahap 3

+
C=O

+
C=O

_
+ AlCl4

ion asilium

14

H
C

lambat

O+

Tahap 4
H
C

Tahap 5

_
AlCl4

R
+

O
C

AlCl3

Pada tahap palingOakhir aluminium klorida (suatu

HCl

+ AlCl3

_
AlCl
O
3
+ Lewis)
asam

membentuk kompleks

dengan keton (suatu basa Lewis), tetapi jika kompleks tersebut direaksikan dengan air akan
diperoleh keton semula menurut persamaan reaksi berikut:
Tahap 6
C

R
\

_
O AlCl3
+

.. _
C = O: AlCl3 + 3 H2O

/
C6H5

C
+ 3 H2O

R
+

Al(OH)3

+ 3HCl

R
\
C=O:
/
C6H5

+ Al(OH)3 + 3 HCl

Dalam reaksi asilasi Friedel-Crafts tidak dijumpai peristiwa poliasilasi karena gugus
asil bersifat menarik elektron, sehingga mendeaktifkan inti benzena terhadap serangan
elktrofil lebih lanjut.
Berbeda dengan reaksi alkilasi Friedel-Crafts, dalam reaksi asilasi tidak dijumpai
peristiwa penataan ulang karena ion asilium sangat stabil (terstabilkan oleh resonansi). Oleh
karena itu reaksi asilasi Friedel-Crafts merupakan metode yang lebih baik untuk pembuatan
alkil benzena tak bercabang daripada reaksi alkilasi. Contohnya adalah pada pembuatan npropilbenzena. Bila n-propilbenzena dibuat melalui reaksi alkilasi Friedel-Crafts ternyata
diperoleh hasil utama isopropilbenzena sementara n-propilbenzena hanya merupakan hasil
minor. Hal ini disebabkan oleh adanya penataan ulang karbokation n-propil menjadi
karbokation isopropil yang lebih stabil, sehingga akhirnya diperoleh isopropilbenzena sebagai
hasil utama. Masalah tersebut dapat dipecahkan dengan menerapkan reaksi asilasi FriedelCrafts, yaitu dengan mereaksikan benzena dengan propanoil klorida (katalis AlCl3).

15

O
O
CH3 CH2

AlCl3

+ HCl
CH2CH3

80oC

Cl

etil fenil keton

5.

Sulfonasi
Pada temperatur kamar benzena bereaksi dengan asam sulfat berasap menghasilkan

asam benzena sulfonat. Reaksinya disebut sulfonasi. Asam sulfat berasap adalah asam sulfat
yang mengandung gas SO3. Reaksi sulfonasi juga dapat berlangsung jika digunakan asam
sulfat pekat meskipun reaksinya lebih lambat.
O

O
S

o
25 C
H2SO4 pekat

O
asam benzena sulfonat (56%)

Dalam reaksi sulforasi benzena, yang bertindak sebagai elektrofil adalah SO 3, baik
menggunakan asam sulfat berasap maupun dengan asam sulfat pekat. Mekanisme reaksi
sulfonasi yang menggunakan asam sulfat pekat melalui tahap-tahap sebagai berikut:
Tahap 1
+
H3O

SO3 +

2 H2SO4

_
+ HSO4

Tahap 2
H

O
+

_
S

Lambat

O
struktur resonansi
yang lain

Tahap 3
_
HSO4

H
_
SO3

_
SO3

cepat

H 2SO4

Tahap 4
O

O
S

_
O
+

+
O
H

cepat

+ H2O

16

Semua tahap dalam reaksi sulfonasi merupakan reaksi kesetimbangan. Dengan


demikian keseluruhan reaksinya juga merupakan reaksi kesetimbangan, dan secara ringkas
dituliskan sebagai berikut:
SO3 H
+

H2SO4

H2O

Dengan mengetahui bahwa semua tahap dalam reaksi sulfonasi adalah reaksi
kesetimbangan, maka kedudukan kesetimbangan dapat diatur sesuai dengan kondisi reaksi
yang digunakan. Jika digunakan asam sulfat pekat atau asam sulfat berasap, kedudukan
kesetimbangan lebih bergeser kekanan sehingga akan diperoleh asam benzena sulfonat dalam
jumlah yang memadai.
Sebaliknya, jika diinginkan untuk menghilangkan gugus asam sulfonat (-SO3H) dari
inti benzena dapat digunakan asam sulfat encer dan biasanya diikuti dengan mengalirkan uap
air ke dalam campuran reaksi. Pada kondisi seperti ini (konsentrasi air tinggi) kedudukan
kesetimbangan akan bergeser kekiri dan akan terjadi reaksi desulfonasi.
Reaksi sulfonasi dan desulfonasi banyak digunakan dalam sintesis senyawa organik
tertentu. Hal ini disebabkan karena dengan memasukkan gugus asam sulfonat (SO3H) kita
dapat mempengaruhi alur suatu reaksi dan sebaliknya jika pengaruhnya sudah tidak
diperlukan lagi dapat dihilangkan melalui desulfonasi.
Secara umum reaksi monosubsitusi benzene adalah sebagai berikut :

17

2.6

Substitusi Elektrofilik Kedua (SE2)


Suatu benzene tersubstitusi dapat mengalami subsitusi gugus kedua, beberapa benzene

tersubstitusi bereaksi lebih mudah daripada benzenanya sendiri, sementara benzene substitusi
lain lebih sukar bereaksi. Misalnya anilina bereaksi substitusi elektrofilik sejuta kali lebih
cepat daripada benzene. Sebaliknya, nitrobenzena bereaksi dengan laju kira-kira sepersejuta
laju benzena.
Dalam contoh-contoh ini, dapat dikatakan bahwa NH 2 merupakan gugus aktivasi
adanya gugus ini menyebabkan cincin lebih terbuka (rentan,susceptible) terhadap substitusi
lebih lanjut. Sebaliknya, gugus NO2 merupakan gugus deaktivasi, adanya gugus ini
menyebabkan cincin lebih tertutup terhadap substitusi, keduanya dibandingkan dengan
benzene.
Pada reaksi substitusi aromatic elektrofilik, intermediet karbokation adalah hibridisasi
dari struktur I, II, dan III pada gambar dibawah ini. Di sini muatan positif didistribusikan ke
seluruh cincin aromatic mengakibatkan posisi orto-para dari atom karbon yang diserang
menjadi lebih kuat.

Gugus yang terikat pada cincin benzene akan mempengaruhi kestabilan karbokation
dengan mendispersikan atau mengintensifkan muatan positifnya. Hal ini tergantung pada
apakah gugus mempunyai kemampuan untuk mendorong atau menarik elektron.
Sebagai contoh, bandingkan kecepatan reaksi substitusi pada benzene, toluene, dan
nitrobenzene. Struktur karbokation yang terbentuk dari ketiga senyawa tersebut digambarkan
berikut ini:

18

Dengan melepaskan elektron, gugus metal (II) cenderung menetralkan muatan positif
cincinbenzene dan menjadikan dirinya juga positif. Penyebaran muatan ini menstabilkan
karbokation. Dengan cara yang sama, pengaruh induktif menstabilkan penyebaran muatan
positif dalam keadaan transisi sehingga akan mempercepat reaksi. Sebaliknya, gugus penarik
elektron seperti NO2 (III) akan memperlambat kecepatan reaksi.
Hasil monosubstitusi benzena pada reaksi substitusi elektrofilik, maka substituen yang
telah ada tersebut akan berpengaruh pada laju reaksi dan arah serangan. Berlangsungnya
proses substitusi tersebut dapat lebih cepat atau lebih lambat daripada benzena. Sedangkan
gugus baru mungkin diarahkan pada posisi orto, meta, atau para.
Gugus-gugus yang meningkatkan laju reaksi dinamakan gugus pengaktif sedangkan
gugus yang memperlambat laju reaksi disebut gugus pendeaktif. Gugus-gugus yang termasuk
kelompok pengarah orto-para sebagian bersifat pengaktif dan sebagian lainnya bersifat
pendeaktif, sedangkan gugus-gugus pengarah meta semuanya termasuk dalam kelompok
pendeaktif. Jika suatu gugus dikatakan sebagai pengaruh orto-para tidak mutlak diartikan
bahwa gugus yang baru seluruhnya diarahkan keposisi orto dan para. Contohnya reaksi
nitrasi pada toluena menghasilkan isomer orto = 59%, para = 37% dan meta = 4%.
Reaktivitas substitusi aromatic elektrofilik dipengaruhi oleh apakah substituent yang
terikat pada cincin aromatik mempunyai kecenderungan menarik atau memberikan
elektronnya. Gugus yang memberikan elektron akan mengaktivasi cincin, sedangkan gugus
yang menarik elektron akan mendeaktivasi cincin.

19

Tabel 2.1 dapat dilihat tentang gugus-gugus yang berperan dalam reaksi substitusi
elektrofilik senyawa aromatik disusun berdasarkan efek orientasi dan pengaruhnya terhadap
kereaktifan inti.
Tabel 2.1 Efek substituen pada substitusi elektrofilik senyawa aromatik
Pengarah Orto-Para
Pengaktif kuat

Pengarah Meta
Pendeaktif sedang

NH2, NHR, NR2

C N , SO3H, CO2H,

OH, O:-

CO2R, CHO, COR,

Pengaktif sedang

Pendeaktif kuat

NHHCOCH3, NHCOR, OCH3, OR

NO2,

NR3, CF3, CCl3

Pengaktif lemah
CH3, C2H5, R,

C6H5,

Pendeaktif lemah
..

..

..

F: , Cl:
2.7

..

, Br: , I:

Teori Orientasi
Faktor yang dapat menentukan orientasi sifat-sifat gugus penarik dan pendorong

elektron dalam reaksi substitusi senyawa aromatik yaitu: efek induksi dan resonansi. Efek
induksi adalah efek yang diakibatkan oleh perbedaan keelektronegatifan antara dua atom atau
gugus. Contohnya, atom halogen lebih elektronegatif daripada atom karbon sehingga halogen
memberikan efek induksi menarik elektron. Disamping itu terdapat gugus-gugus lain yang
memberikan efek induksi karena adanya muatan positif atau parsial positif pada atom yang
terikat pada inti benzena.
Efek menarik atau mendorong elektron dari suatu gugus melalui ikatan pi dinamakan
efek resonansi. Contohnya, subtituen-subtituen nitro, siano dan karbonil bersifat pendeaktif
karena menyebabkan bergesernya elektron pi pada inti benzena kearah subtituen tersebut.
Akibatnya, inti benzena menjadi tuna elektron. Struktur-struktur resonansi untuk
nitrobenzena dan benzaldehida digambarkan sbb:
_

N+

O _

O _

N+
+

O _

O
+

N+
O _

20

Nitrobenzena
_
O

O
+

Benzaldehida
Sebaliknya subtituen-subtituen hidroksil, metoksil dan amino bersifat pengaktif karena
menyebabkan bergesernya elektron dari subtituen tersebut ke inti benzena. Akibatnya
kerapatan elektron pada inti benzena bertambah besar. Struktur-struktur resonansi untuk ArOR dan Ar-NHR digambarkan sbb:
_

R
O

R
+
O

R
+
O

_
_

NR2

A.

Gugus Pengarah Meta

+
NR2

+
NR2
_

+
NR2

Semua gugus pengarah meta mempunyai muatan positif atau parsial positif pada atom
yang terikat langsung dengan inti benzena. Contohnaya adalah CF3, dimana atom C pada
guigus tersebut bermuatan parsial positif karena mengikat tiga atom F yang sangat
elektronegatif.
Gugus CF3 merupakan gugus pendeaktif kuat dan pengarah meta dalam reaksi
subtitusi elektrofilik senyawa aromatik. gugus ini mempengaruhi kerektifan inti aromatik
dengan mengakibatkan keadaan transisi yang mengarahkan pada pembentuka ion arenium
yang sanagat tidak stabil. Gugus ini menarik elktron dari karbokation yang terbentuk
sehingga menambah muatan posistif pada inti benzena.
Kita dapat memhami bagaimana gugus CF3 mempengaruhi orientasi subtitusi
elektrofilik jika kita mempelajari struktur-struktur resonansi ion arenium yang terbentuk oleh
serangan elektrofil pada posisi orto, meta dan para dari trifluorometilbenzena.

21

CF3

CF3
+

E+

E
+

CF3

CF3
E
H

sangat tidak stabil


Serangan meta:
CF3

CF3
+

E+

CF3

CF3
+

+
H

Serangan para:
CF3
+

CF3

E+

CF3
E

E
H

CF3

+
H

sangat tidak stabil


Pada struktur-struktur resonansi ion arenium yang terbentuk oleh serangan orto dan
para terlihat bahwa salah satu struktur penyumbangnya sangat tiadak stabil, karena muatan
positif berada pada atom karbon inti yang mengikat gugus penarik elektron. Hal serupa tidak
dijumpai pada serangan meta. Dengan demikian dapat disimpulkan bahawa ion arenium yang
dibentuk oleh serangan meta paling stabil yang berarti bahawa serangan meta melalui
keadaan transisi yang lebih stabil pula. Hasil eksperimen menunjukkan bahawa gugus CF 3
adalah pengarah meta yang kuat.
CF3

CF3
+

HNO3

H2SO4
NO2

Trifluorometilbenzena

B.

(~ 100%)

Gugus Pengarah Orto-Para


Selain substituen alkil atau fenil, semua gugus pengarah orto-para mempunyai sekuran-

kurangnya satu pasangan elktron bebas (non bonding) pada atom yang terikat langsung
dengan inti benzena.

22

NH2

Cl

OH

anilin

fenol

NHCOCH3

klorobenzena

asetanilida

Efek resonansi dapat menyebabkan efek pengarahan gugus-gugus pengarah orto-para.


Efek resonansi terutama berpengaruh terhadap ion arenium yang berarti juga berpengaruh
terhadap keadaan transisi yang membentuknya. Selain halogen, efek gugus-gugus pengarah
orto-para terhadap kereaktifan juga disebabkan oleh efek resonansi. Seperti halnya pada efek
pengarahan, efek ini juga berpengaruh terhadap keadaan transisi yang membentuk ion
arenium.
Contoh efek resonansi adalah efek gugus amino (-NH 2) dalam reaksi substitusi
elektrofilik senyawa aromatik. Gugus amino tidak hanya merupakan gugus pengaktif kuat,
tetapi juga gugus pengarah orto-para yang kuat. Efek tersebut dapat ditunjukkan pada reaksi
antara anilina dengan larutan brom pada temperatur kamar dan tanpa katalis, yang
mengahsilkan produk dimana semua posisi orto dan para tersubtitusi yaitu 2,4,6tribomoanilina. Efek induksi gugus amino (-NH2) menyebabkan adanya sedikit penarikan
elktron. Seperti kita ketahui bahwa atom nitrogen lebih elktronegatif daripada karbon, tetapi
perbedaan keelektronegatifan tersebut tidak besar karana atom karbon pada benzena
berhibridisasi sp2 yang lebih elektronegatif daripada sp3.
Dengan adanya efek resonansi ini gugus amino bersifat sebagai pendorong elektron.
Serangan orto:
NH2

NH2

NH2
H

E+

NH2
H

+ NH2
H

lebih stabil

Serangan meta:
NH2

NH2

E+

NH2

NH2

E
+

23

Serangan Para:
NH2

NH2

NH2

+ NH2

NH2

+
+

E+
+
E

+
H

lebih stabil

Terdapat empat struktur resonansi pada ion benzenonium hasil serangan orto dan para,
sedangkan dari serangan meta hanya tiga struktur resonansi. Hal ini menunjukkan bahwa ion
benzenonium hasil serangan orto dan para lebih stabil. Tetapi hal yang lebih penting adalah
kestabilan struktur-struktur penyumbang hibrida ion benzenonium hasil serangan orto dan
para. Diantara struktur-struktur penyumbang tersebut ada yang memiliki ikatan ekstra yang
terbentuk dari pasangan elektron bebas pada nitrogen dengan atom karbon inti. Struktur ini
sangat stabil karena semua atom (kecuali atom H) memiliki elektron oktet (delapan elektron).
Kestabilan struktur-struktur penyumbang tersebut menyebabkan kontribusinya terhadap
hibrida resonansi lebih besar. Hal ini berarti bahwa ion benzenonium yang terbentuk dari
serangan orto dan para lebih stabil daripada serangan meta. Akibatnya elektrofil bereaksi
dengan cepat pada posisi orto dan para.
Halogen termasuk kelompok gugus pengarah orto-para, tetapi gugus ini mendeaktifkan
inti. Kekhususan pada halogen ini dapat dijelaskan dengan asumsi bahwa efek induksinya
mempengaruhi kereaktifan dan efek resonansinya menentukan orientasi. Pada senyawa
klorobenzena, karena atom klor sangat elektronegatif maka diperkirakan terjadi penarikan
elektron pada inti benzena dan karena itu mendeaktifkan inti benzena dalam reaksi subtitusi
elektrofilik.
Cl

Jika klorobenzena diserang elektrofil, atom klor akan menstabilkan ion benzenonium
yang terbentuk pada serangan orto dan para. Klor memberikan pengaruh seperti yang terjadi
pada gugus amino dan hidroksi, dengan cara menyumbangkan sepasang elektron bebasnya,
untuk meningkatkan kestabilan struktur-struktur resonansi bagi hibrida ion benzenonium
hasil serangan orto dan para.
Serangan orto:

24

Cl

Cl

Cl

Cl
H

H
E+

+ Cl

E
lebih stabil

Serangan meta:
Cl

Cl

Cl
+

E+

Cl

E
+
H

Serangan Para:
Cl

Cl

Cl

+Cl

Cl

+
+

E+
+
E

+
H

lebih stabil

C.

Orientasi dan Kereaktifan dalam Alkil Benzena


Semua gugus alkil bersifat pendorong elektron dan termasuk dalam kelompok gugus

pengarah orto-para, oleh karena itu mengaktifkan inti benzena dalam subtitusi elektrofilik
dengan cara menstabilkan keadaan transisi yang mengarahkan kepembentukan ion
benzenonium.
Pada langkah pembentukan ion benzenonium, energi pengaktifan alkil benzena lebih
rendah daripada benzena sehingga reaksi pada alkil benzena berlangsung lebih cepat. Jika
serangan orto-meta dan para lewat reaksi substitusi elektrofilik pada senyawa toluena,
menghasilkan struktur-struktur resonansi ion benzenonium sebagai berikut:
Serangan orto :
CH3

CH3

CH3
H

E+

CH3
H
E

H
E

+
lebih stabil

Serangan meta :

25

CH3

CH3

CH3

E+

CH3

E
+

Serangan para :
CH3

CH3

CH3

CH3

+
+

E+
+
E

+
H

H
E
lebih stabil

Pada serangan orto dan para terdapat satu struktur resonansi dimana gugus metil terikat
langsung pada atom yang bermuatan positif, dan bersifat lebih stabil karena pengaruh
stabilisasi gugus metil (gugus pendorong elektron) paling efektif. Struktur tersebut
memberikan konstribusi hibrida ion benzenonium yang terbentuk oleh serangan orto dan
para, sedangkan pada serangan meta, tidak demikian. Ion benzenonium yang terbentuk oleh
serangan orto dan para lebih stabil, maka keadaan transisi yang mengarahkan ke
pembentukan ion benzenonium memerlukan energi lebih rendah sehingga reaksi berlangsung
lebih cepat.
BAB III
KESIMPULAN
1. Benzene adalah salah satu senyawa yang mudah melakukan reaksi substitusi
elektrofilik.
2. Substitusi aromatik elektrofilik adalah reaksi organik dimana sebuah atom, biasanya
hidrogen, yang terikat pada sistem aromatis diganti dengan elektrofil.
3. Beberapa reaksi substitusi elektrofilik dari benzene adalah
a. Halogenasi, menghasilkan halobenzena
b. Nitrasi, menghasilkan nitrobenzene
c. Alkilasi Friedel-Crafts, menghasilkan alkilbenzena
d. Asilasi Friedel-Cratfs, menghasilkan fenilalkilketon
e. Sulfonasi, menghasilkan asan benzene sulfonat
4. Benzena tersubstitusi yang mempunyai substitusi pendorong elektron atau
mempunyai gugus aktivasi dapat melakukan reaksi substitusi elektrofilik lebih cepat
dari pada benzene tetapi yang mempunyai gugus penarik elektron atau mempunyai
gugus deaktivasi lebih lambat daripada benzene

26

5. Benzena tersubstitusi dengan gugus aktivasi merupakan pengarah orto dan para
sedangkan gugus deaktivasi merupakan pengarah meta
6. Jika dua gugus aktivator yang kuat masing-masing pada posisi para, maka activator
yang kuat lebih berperan. Jika dua gugus dimana gugus aktivasi dan gugus
deaktivasi masing-masing terletak pada posisi meta maka produk reaksi substitusi
elektrofilik bukan pada posisi orto dari posisi substituent apit, hal ini disebabkan
oleh faktor sterik. Pada umumnya gugus activator lebih berperan dari pada gugus
deactivator.

27

Anda mungkin juga menyukai