Anda di halaman 1dari 51

1

PRESENTASI KASUS

PENGGUNAAN REGIONAL ANASTESI (RA) DENGAN TEKNIK


SUBARACHNOID BLOCK (SAB) PADA OPERASI
FRAKTUR FEMUR

Pembimbing :
dr. Anas Makhfud, Sp. An
dr. Orizanov Mahisa, Sp. An

Disusun Oleh :
Dysca Ryesnanda Ayunita (9150588)
Mega Dwi Yuanita (9150590)

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmatNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul
PENGGUNAAN

REGIONAL

ANASTESI

(RA)

DENGAN

TEKNIK

SUBARACHNOID BLOCK (SAB) PADA OPERASI FRAKTUR FEMUR .


Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Anas Makhfud, Sp. An
2. dr. Orizanov Mahisa, Sp. An
3. Seluruh staf medis dan paramedis yang bertugas di bagian anastesi Rumah
Sakit Muhammadiyah Lamongan
4. Semua pihak yang telah membantu selama penulisan laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa di dalam presentasi kasus ini masih jauh dari
sempurna, karena keterbatasan pengetahuan serta pengalaman, walaupun
demikian penulis telah berusaha sebaik mungkin. Maka dari itu kritik dan
saran yang membangun diharapkan guna penyusunan dan kesempurnaannya.
Lamongan, 24 Februari 2015
Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..
DAFTAR ISI
BAB I. LAPORAN KASUS
BAB II TINJAUAN KASUS...
BAB III PENBAHASAN.
BAB IV KESIMPULAN .
BAB V PENUTUP...

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Pembedahan adalah salah satu tindakan pengobatan dengan penyembuhan


penyakit dengan cara memotong, mengiris, anggota tubuh yang sakit. Sebelum
pembedahan harus dilakukan anestesi. Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran
yang mendasari berbagai tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan
penderita yang sedang menjalani pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar,
pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun
(Ruswan, 1999).
Pembedahan adalah salah satu tindakan pengobatan dengan penyembuhan
penyakit dengan cara memotong, mengiris, anggota tubuh yang sakit. Dalam tindakan
operasi dikenal 3 jenis anestesi , yaitu anestesi lokal, anestesi regional, anestesi
umum. Pembedahan dilakukan dengan anestesi general maupun regional. Anestesi
general yaitu anestesi yang bertujuan untuk menghilangkan sensasi di seluruh tubuh
dan kesadaran.
Anestesi umum atau general yaitu anestesi yang bertujuan untuk
menghilangkan sensasi di seluruh tubuh dan kesadaran. Anestesi regional adalah suatu
cara untuk menghilangkan rasa sakit pada sebagian atau beberapa bagian tubuh yang
tidak disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat sementara. Anestesi lokal
adalah bloking terhadap syaraf yang menuju dan keluar dari lokasi yang akan ditindak
sehingga tidak ada impuls yang dihantarkan kemudian tercipta keadaan anestesi.
Anestesi regional adalah suatu cara untuk menghilangkan rasa sakit pada
sebagian atau beberapa bagian tubuh yang tidak disertai dengan hilangnya kesadaran
dan bersifat sementara. Analgesia regional sering digunakan karena sederhana, murah,
obatnya mudah disuntikkan, tidak polusif, alatnya sederhana dan perawatan pasca
bedah tidak rumit (Robert, 2000). Tahun-tahun terakhir ini analgesia regional
berkembang dengan pesat di Indonesia.

Dari sekian banyak teknik analgesia regional, blok subarakhnoid (SAB)


termasuk di antaranya. SAB atau lebih populer disebut anestesi spinal adalah suatu
tindakan atau usaha untuk menghentikan transmisi impuls syaraf yang melintas
medulla spinalis anterior dan posterior dengan jalan menyuntikkan obat anestesi lokal
ke dalam ruang subarachnoid melalui interspace L2-3, L3-4, L4-5 (Robert, 2000).
Anestesi spinal adalah salah satu teknik yang sederhana, mudah dikerjakan
dan cukup efektif. Anestesi spinal dapat diperoleh dengan cara menyuntikkan anestesi
lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Ansetesi spinal diindikasikan untuk bedah
ekstremitas inferior, bedah panggul, tindakan di sekitar rektum-perineum, bedah
obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan semakin banyak
penggunaannya untuk operasi ortopedi ekstremitas bawah. Teknik ini lebih praktis
karena memberikan efek yang lebih cepat dan menciptakan kondisi operasi yang
terbaik serta dapat memberikan efek analgesia yang adekuat pasca operasi sehingga
mobilitas lebih cepat terjadi.
Agar lebih mendalami tentang teknik dari anestesi spinal maka kami
memperdalam dengan mengumpulkan materi dan jurnal berbagai sumber

BAB 2
TINJAUAN KASUS

2.1

2.2

Identitas
Nama Pasien

: Vahmy Elrade Payohana Sdr

Umur

: 16 tahun 1 Bln 18 Hari

Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Nama Orang Tua

: Ema Elifa Ny/Kasminun Tn

Alamat

: Brondong RT 3 RW 6 Brondong Lamongan

Tanggal

: 2/19/2015 13:22

Klinik

: IGD

Dokter Pengantar

: Razzaqy, dr

Kriteria Triage

: Triage Kuning

Anamnesis
KU

: Nyeri Paha Kanan

RPS

: Pasien rujukan datang dengan keluhan nyeri paha kanan post KLL
jam 11.00 WIB naik sepeda motor (pakai helm) bertabrakan dengan
mobil terkena paha kanan dan langsung mengeluhkan nyeri hebat
dan susah digerakkan karena nyeri. Pasien sadar saat jatuh dan tidak
sempat pingsan
Pasien terakhir makan pukul 13.00 WIB
Mual (-)
Muntah (-).
Pusing (-).
Sesak (-)
BAB dan BAK normal tidak ada keluhan.

RPD

:-

RPK

:-

RPsos : 2.3

Pemeriksaan Fisik
- Keadaan Umum : Tampak Kesakitan
- BB : 70 kg
- TB : 155 cm
- Vital Sign
Nadi

: 78 x/menit

Tekanan darah

: 122/67 mmHg

Suhu aksila

: 36,8 C

RR

: 23 x/menit

- Primary Survey
A

: Clear, gargling(-), snoring(-), speak fluently(+), potensial obstruksi(-)

: Spontan, RR 23x/menit, ves/ves, Rh -/-, Wh -/-, SaO2 100% tanpa


O2support

: Akral hkm, CRT < 2 detik. N 78x/menit TD 122/67 mmHg

: GCS 456, lateralisasi-, PBI 3mm/3mm, RC +/+

: Temperatur 36,8 C

- Secondary Survey
GCS : 456
K/L : a-/l -/c -/d +
Tho : sim, ret -/P

: ves/ves; Rh-/-, Wh -/-

: S1S2 tunggal, murmur-, gallop-

Abd : soepel, met -, BU+, H/L ttb,


Ext : a,i,e -, akral hkm

Status Lokalis,
Look

: Vulnus Appertum region femur dextra uk. 1x4xm,


deformitas(+),
Bone Exposure (-)

2.4
2.4.1

2.4.2

Feel

: oedem (+), krepitasi (+)

Move

: minimal movement e.c nyeri

Pemeriksaan Penunjang Medis


Pemeriksaan Laboratorium
- Eritosit 5.16 (3.80-5.30)
- Hemoglobin 13.3 (14.0-18.0)
- Laju Endap Darah 1 84 (0-1)
- Laju Endap Darah 2 93 (1-5)
- Limposit 6.5 (25.0-33.0)
- Basofil 1.3 (0.0-1.0)
- Eosinopil 1.0 (1.0-2.0)
- Hematokrit 41.4(40.0-54.0)
- Lekosit 19.0 (4.0-11.0)
- MCH 25,80 (28.00-36.00)
- MCHC 32.10 (31.00-37.00)
- MCV 80.20 (87.00-100.00)
- Monosit 3.5 (3.0-7.0)
- MPV 5 (5-7)
- Neutropil 87.7 (49.0-67.0)
- RDW 13 (10-16)
- Trombosit 336 (150-450)
- Gula Darah Acak 108
- Waktu Pembekuan 8.00
- Waktu Perdarahan 2.00
Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan foto femur

2.5

Trabekulasi tampak normal


Tampak fraktur di 1/3 medial femur dextra
Belum terbentuk calus
Kesimpulan : fraktur di 1/3 medial femur dextra

Diagnosis
Fraktur Femur 1/3 Medial (open) (S.72.31\-)

2.6

Terapi

2.7

Pasang bidai
IVFD Asering 1500cc/24jam
Inj. Remopain 3x30 mg iv
Inj. Acran 2x50 mg iv
Inj. Tetagam 1 amp iv
Inj. Ceftriaxon 1g iv
Inj. Terfacef 2 gram iv pre op

Konsultasi
Dr. AAO, SpOT MRS kan dulu, beri antibiotic dan tetagam, operasi nanti

visit di ruangan dulu.

2.8

Evaluasi
-

2.9

Gangguan pertukaran gas : Masalah Teratasi Sebagian


Nyeri akut abdomen
: Masalah Teratasi Sebagian

Tindakan saat anestesi


I.

LAPORAN ANESTESI
Status Anastesi
Jenis operasi : orif

10

Tanggal operasi :19 februari 2015


A. Persiapan Anestesi
1. Informed Concent
2. Stop makan dan minum
B. Penatalaksanaan Anestesi
Jenis anestesi : Regional anestesi + sedasi
Status fisik
: ASA II E
Vital Sign
Nadi

: 78 x/menit

Tekanan darah : 122/67 mmHg


Suhu aksila

: 36,8 C

RR

: 23 x/menit

Premedikasi
: fentanyl 50 mg
Induksi Anestesi : Marcain 0,5 % Heavy 15 mg
Maintenance anestesi: 02 nasal 2-3 liter per menit
Obat lain : miloz 2,5mg, ceftriaxon 1 gr, xevolac 30 mg iv, tradosix
100mg drip
Teknik anestesi
Respirasi
Posisi
Monitoring

: SAB. SP, 27 G, VL 3-4, LCS (+) jernih


: tercontrol dengan O2 nasal canul
: supine
: Tanda Vital setiap 5 menit, kedalaman anestesi,
cairan dan perdarahan.
C. Infus
: Assering 500 cc (2kolf )
D. Pemantauan selama anestesi
- Mulai anastesi
: 20.40 WIB
- Mulai Operasi
: 20.50 WIB
- Operasi Selesai
: 21.50 WIB
E. Cairan yang masuk durante operasi : Assering 500 cc
BB : 70 Kg, durante operasi 60 menit, puasa 6 jam, stress operasi
besar
Terapi caiaran yang diberikan :

2 cc/ KgBB/ Jam


2 x 70 = 140 cc/jam
Penganti puasa 6 jam
2 cc KgBB/ jam puasa
2 x 70= 140 cc/jam, jadi deficit puasa 6 jam = 840 cc

11

Stress operasi berat


8 cc / KgBB / Jam
8 x 70 KgBB = 560 cc/jam
Pemberian cairan :
- Jam pertama: Puasa + maintenance + stress operasi +
cairan kristaloid
840 + 140 + 560 + (200 sampai 400) = 1640 cc
-

1740 cc
Jam kedua: Puasa + maintenance + stress operasi + 1/4
cairan kristaloid
840 + 140 + 560 + 1/4 (200 sampai 400) = 1590 cc

1640 cc
Jam ketiga : Puasa + maintenance + stress operasi +

cairan kristaloid
840 + 140 + 560 + (200 sampai 400) = 1640 cc
1740 cc

II.

TATA LAKSANA ANESTESI


Di ruang persiapan :
1) Cek persetujuan operasi dan identitas penderita
2) Pemeriksaan tanda-tanda vital
3) Cek obat dan alat anestesi
4) Posisi terlentang
5) Pakaian pasien diganti dengan pakaian operasi
6) Infus assering
Di ruang operasi:
a. Jam 20.30 pasien masuk kamar operasi dan diposisikan supine,
manset dan monitoring dipasang.
b. Jam 20.40 dilakukan induksi marcain 0,5% heavy 2 mg
c. Jam 20.50 operasi selesai penderita dipindah ke ruang recovery
d. Monitoring selama anestesi
Jam
20:50
20: 55
21:00
21:05
21:10
21.15

Tensi
135/80 mmHg
120/55 mmHg
118/57 mmHg
114/ 65mmHg
120/63 mmHg
120/60 mmHg

Nadi
100
72
73
78
75
71

SaO2
100%
100%
100%
100%
100%
100%

12

21: 20
21:25
21:30
21:35
21:40
21:45
21:50
21:55
22:00
22:05
22:10

120/60 mmHg
103/50 mmHg
110/50 mmHg
110/52 mmHg
110/52 mmHg
121/60 mmHg
98/51 mmHg
121/61 mmHg
120/70 mmHg
119/69 mmHg
117/62 mmHg

72
69
64
69
69
80
63
62
61
58
62

100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Anestesiologi
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai

tindakan yang meliputi pemberian anestesi, penjagaan penderita yang sedang


menjalani pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien
gawat, terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun (Ruswan, 2009).
Dalam tindakan operasi dikenal 3 jenis anestesi , yaitu anestesi lokal, anestesi
regional, anestesi umum. Anestesi lokal adalah melakukan bloking terhadap syaraf
yang menuju dan keluar dari lokasi yang akan ditindak sehingga tidak ada impuls
yang dihantarkan kemudian tercipta keadaan anestesi.

13

Gambar 3.1
Gambar mekanisme kerja anestesi

3.2

Anestesi SAB / Spinal


Anestesi spinal sebagai salah satu pilihan, telah lama diketahui sebagai teknik

anestesi yang cukup aman. Tetapi hal ini bukan berarti tanpa resiko atau efek
samping. Hipotensi, mual dan muntah bisa terjadi pada anestesi spinal. Bradikardi,
disritmia atau bahkan cardiac arrest merupakan komplikasi yang bisa terjadi
(Carpenter et al, 2002). Adanya inovasi terhadap obat-obatan dan teknik menjadikan
anestesi spinal dapat menjadi pilihan pada prosedur-prosedur operasi rawat jalan dan
pada operasi dengan indikasi anestesi spinal (Robert, 2000).
Anestesi spinal adalah salah satu teknik yang sederhana, mudah dikerjakan
dan cukup efektif. Anestesi spinal dapat diperoleh dengan cara menyuntikkan anestesi
lokal ke dalam ruang subarachnoid (Lunn, 2011). Anestesi Spinal (blok subarakhnoid)
adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam

14

ruang subarakhnoid. Anestesi spinal/subarakhnoid disebut juga sebagai analgesi/blok


spinal intradural atau blok intratekal (Mansjoer, 2010).
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan

obat

spinal/subaraknoid

anestetik

lokal

ke

dalam

ruang

subaraknoid. Anestesi

disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok

intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke
dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5
(Khun, 2012).
Anestesi spinal diindikasikan untuk bedah ekstremitas inferior, bedah panggul,
tindakan di sekitar rektum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah
abdomen bawah, dan semakin banyak penggunaannya untuk operasi ortopedi
ekstremitas bawah. Teknik ini lebih praktis karena memberikan efek yang lebih cepat
dan menciptakan kondisi operasi yang terbaik serta dapat memberikan efek analgesia
yang adekuat pasca operasi sehingga mobilitas lebih cepat terjadi. Anestesi spinal
(subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik
lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dipengaruhi oleh:
jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi
tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia
pasien, obesitas, kehamilan, dan distribusi obat. Pada penyuntikan intratekal, yang
dipengaruhi pertama kali ialah saraf simpatis dan parasimpatis, diikuti dengan saraf
untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam. Sementara itu yang mengalami
blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory sense) dan proprioseptif.
Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah

15

anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris
yang pertama kali akan pulih (Lanham, 2013).
Anestesi spinal diindikasikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti
bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah
obstetric, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah
bayi ditidurkan dengan anestesi umum. Analgesi spinal juga merupakan pilihan saat
terjadi kegawat-daruratan obstetri karena mula kerjanya yang cepat (Towned, 2013)
Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung lambat.
Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui aliran darah
vena sedangkan sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi
tergantung dari kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal (Lanham, 2013).

3.2.1

Mekanisme Kerja Anestesi Regional


Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana tempat

kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah meradang tidak
akan memberi hasil yang memuaskan oleh karena meningkatnya keasaman jaringan
yang mengalami peradangan sehingga akan menurunkan aktifitas dari zat anestesi
lokal (pH 5). Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf,
efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui, potensial aksi
saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat (sekilas) pada permeabilitas membran
terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah yang
dihambat oleh obat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap perubahan
voltase muatan listrik (voltase sensitive Na+ channels).

16

Dengan bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang


rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial
aksi menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman (safety factor)
konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan
kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian mengakibatkan
kegagalan konduksi saraf. Ada kemungkinan zat anestesi lokal meninggikan tegangan
permukaan lapisan lipid yang merupakan membran sel saraf, sehingga terjadi
penutupan saluran (channel) pada membran tersebut sehingga gerakan ion (ionik shift)
melalui membran akan terhambat. Zat anestesi lokal akan menghambat perpindahan
natrium dengan aksi ganda pada membran sel berupa :
- Aksi kerja langsung pada reseptor dalam saluran natrium.
Cara ini akan terjadi sumbatan pada saluran, sehingga natrium tak dapat keluar
masuk membran. Aksi ini merupakan hampir 90% dari efek blok. Percobaan dari
Hille menegaskan bahwa reseptor untuk kerja obat anestesi lokal terletak di dalam
saluran natrium.
- Ekspansi membran.
Bekerja non spesifik, sebagai kebalikan dari interaksi antara obat dengan reseptor.
Aksi ini analog dengan stabilisasi listrik yang dihasilkan oleh zat non-polar lemak,
misalnya barbiturat, anestesi umum dan benzocaine. Untuk dapat melakukan
aksinya, obat anestesi lokal pertama kali harus dapat menembus jaringan, dimana
bentuk kation adalah bentuk yang diperlukan untuk melaksanakan kerja obat di
membran sel. Jadi bentuk kation yang bergabung dengan reseptor di membran sel
yang mencegah timbulnya potensial aksi. Agar dapat melakukan aksinya, obat
anestesi spinal pertama sekali harus menembus jaringan sekitarnya
- Fisiologi Anestesi Spinal
Larutan anestesi lokal disuntikkan ke dalam ruang subarakhnoid untuk memblok
pengiriman impuls saraf-saraf yang berhubungan dengannya walaupun beberapa
saraf lebih mudah diblok daripada yang lain. Saraf tersebut digolongkan menjadi 3

17

yaitu motorik, sensorik dan otonom. Saraf motorik mengantarkan pesan ke otot
untuk berkontraksi dan ketika saraf ini diblok maka otot akan mengalami paralisis.
Saraf sensorik mengirimkan sensasi seperti sentuhan rasa sakit dari medulla spinalis
menuju otak, sedangkan saraf otonom mengendalikan lebar pembuluh darah, denyut
jantung, kontraksi usus dan fungsi di bawah sadar yang lain. Secara umum saraf
otonom dan sensorik akan lebih dahulu diblok daripada saraf motorik. Hal tersebut
akan menimbulkan suatu dampak yang penting. Contohnya vasodilatasi dan
turunnya tekanan darah ketika saraf otonom diblok dan pasien tidak merasakan
sentuhan dan rasa sakit ketika operasi dimulai (Morgan et all, 2002).
3.2.2

Teknik Anestesi Spinal


Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal adalah sebagai

berikut:
1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala,selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.

Gambar 3.2
Gambar titik penyuntikan spinal anestesi
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

18

4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 23ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor
tidak keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia
spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.

Gambar 3.3
Gambar organ target anestesi spinal

Gambar 3.4

19

Gambar organ target anestesi spinal


6. Kalau liquor sudah keluar lancar dan jernih, disuntikkan Bupivacaine
HCl 20 mg10. Penderita diletakkan telentang, dengan bokong diberi
bantal sehingga posisi supra pubik lebih tinggi dari kepala penderita.
Arah suntikan yang diterapkan :
MEDIAN
Tepat di processus spinosus
Ligament yang dilewati: supraspinosum,

PARAMEDIAN
1,5-2 cm lateral proc. Spinosus
Ligament yang dilewati: flavum

interspinosum, flavum
Posisi jarum : tegak lurus dengan spinal

Posisi jarum : 10-25 derajat dengan

spinal
Ada 3 macam pendekatan dalam anestesi spinal, yaitu : (Morgan et al, 2002)
a. Pendekatan Median
Pendekatan ini yang umum dilakukan. Jarum ditempatkan di garis tengah,
tegak lurus prosessus spinosus, mengarah agak ke cephal.
b. Pendekatan Paramedian
Pendekatan ini diindikasikan untuk pasien yang tidak dapat membungkuk
karena sakit atau ligamennya sudah kaku. Jarum spinal diletakkan 1,5 cm
ke arah lateral dan agak ke caudal dari pusat interspatium yang dipilih.
Jarum diarahkan ke medial dan agak ke cephal dan melewati bagian
lateral dari ligamen supraspinosus. Jika lamina tersentuh, jarum diarahkan
kembali dan ditarik keluar ke arah medial dan cephal.
c. Pendekatan Taylor / Lumbosacral
Pendekatan ini berguna untuk pasien dengan kalsifikasi atau perlengketan
yang kuat dari spatium intervertebral. Posisi menyuntik yaitu 1 cm ke arah
medial dan 1 cm ke arah caudal dari spina iliaca posterior. Jarum
diarahkan 45 derajat ke medial dan 45 derajat ke caudal, setelah

20

menyentuh lamina jarum dijalankan ke atas dan ke medial untuk masuk ke


interspatium L5-S1.
Di bawah ini adalah gambar yang menjelaskan tentang perbandingan metode median
dengan paramedian.

Gambar 3.5
Gambar anestesi dari arah median dan paramedian

3.2.3

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan anestesi


Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran larutan anestesi lokal yang

disuntikkan dalam cairan cerebrospinal dan tingkatan blok yang diperoleh, yaitu :
(Casey, 2000).
1. Barisitas larutan anestesi lokal
Barisitas adalah rasio densitas (massa / volume) dari cairan anestesi lokal
dibagi dengan densitas dari cairan cerebrospinal dengan nilai rata-rata
1,001 1,005 gr/ml pada suhu 370C. Larutan hiperbarik dibuat dengan
cara mencampur glukosa (dekstrosa) dalam jumlah yang cukup untuk
meningkatkan densitas larutan anestesi lokal di atas densitas cairan
cerebrospinal. Larutan hipobarik dibuat dengan cara mencampur 6-8 ml air
steril pada larutan anestesi lokal dengan cairan cerebrospinal atau sodium

21

chloride (Stoelting and Miller, 2001). Pada larutan hiperbarik akan terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Pada hipobarik, obat akan
berpindah dari area penyuntikan ke atas, sedangkan pada isobarik, obat
akan berada di tempat yang sama di tempat penyuntikan (Mansjoer, 2000).
2. Posisi pasien
Ketika pasien anestesi lokal hiperbarik dibandingkan dengan isobaric pada
anestesi spinal, ketinggian blok rata-rata pada posisi apapun adalah sama
(Hughes et al, 2002).
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di
atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Ada 2 macam posisi dalam
-

melakukan anestesi spinal, yaitu : (Morgan et al, 2002)


Posisi Duduk
Dagu pasien menempel di dada, lengan bersandar di lutut dan
menggunakan tempat duduk yang memiliki sandaran kaki.

Gambar 3.6
Gambar penyuntikan SAB

Posisi Lateral
Bahu pasien harus tegak lurus dengan tempat tidur, posisi pinggang di tepi
tempat tidur dan pasien memeluk bantal atau posisi lutut menempel di
dada. Pria cenderung mempunyai bahu yang lebih lebar daripada pinggang
sehingga harus menaikkan posisi kepala ketika berbaring. Wanita dengan
pinggang lebih lebar harus menurunkan posisi kepala (Casey, 2000).

22

3. Konsentrasi dan volume yang disuntikkan


Makin besar volume obat anestesi lokal maka makin tinggi daerah
analgesia. Sedangkan konsentrasi obat makin pekat maka makin tinggi
batas daerah analgetik (Kristanto, 2000).
4. Level suntikan
Level analgesia yang dihasilkan dipengaruhi oleh posisi injeksi dan usia.
Pada usia 20-65 tahun titik tengah kelengkungan vertebrae terdapat pada
VL4. Penyuntikan obat anestesi lokal hiperbarik pada posisi VL3-4 atau
VL4-5 akan menghasilkan level analgesia yang berbeda tetapi pada orang
tua tidak begitu berpengaruh (Vering et al, 2003).

Gambar 3.7
Gambar jaras simpatik dn parasimpatik

5. Kecepatan suntikan
Tinggi blokade anestesi spinal sangat dipengaruhi oleh kecepatan
penyuntikan. Penyuntikan yang cepat dapat menghasilkan blokade sampai

23

ke level VT4 dan penyuntikan dengan kecepatan sedang bisa mencapai


level VT10. Kecepatan penyuntikan obat anestesi lokal hiperbarik maupun
isobarik 1 cc/5 detik (Kumar et al, 2005). Hasil penyuntikan dengan
kecepatan lambat lebih dapat diramalkan penyebarannya daripada
penyuntikan dengan kecepatan cepat (Casey, 2000).
3.2.4

Indikasi Anestesi Spinal


Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk pembedahan

daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila mammae ke


bawah)13. Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian
bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki.
Analgesia spinal mudah dilakukan dengan memberikan kondisi yang baik
untuk pembedahan pada daerah abdomen bawah seperti hernia inguinalis, hernia
skrotalis, hernia umbilikalis, appendektomi, hidrokelektomi, varikokelektomi, TURP
(Transurethral resection of the prostate) dan haemorroidektomi. (Robert, 2000).

3.2.5

Efek Samping Anastesi Spinal


Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan bradikardi adalah

perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi spinal. Pemahaman
tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan untuk mengontrol tekanan darah dan
denyut jantung penting untuk merawat perubahan kardiovaskuler terkait dengan
anestesi spinal (Barash et al, 2001).
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital pada
anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat menyebabkan
bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut nadi yang berlebihan. Karena

24

itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal yang penting mengingat adanya
efek-efek yang ditimbulkan.

3.2.6

Kontraindikasi Anestesi Spinal

Kontraindikasi anestesi spinal dibagi 2, yaitu : (Morgan et al, 2002).


1) Kontraindikasi absolut
Pasien menolak
Infeksi pada tempat yang ditusuk
Sepsis
Koagulasi abnormal
Tekanan intrakranial meningkat
2) Kontraindikasi relatif
Pasien menolak tindakan anestesi yang akan kita berika
Hipovolemia
Hipovolemia bisa disebabkan oleh perdarahan dan dehidrasi karena muntah,
diare atau obstruksi usus (Casey, 2000). Syok hipovolemia pra operatif dapat
meningkatkan risiko hipotensi setelah pemberian anestesi spinal. Tekanan
intrakranial yang tinggi juga dapat meningkatkan risiko herniasi uncus ketika
cairan serebrospinal keluar melalui jarum, jika tekanan intrakranial meningkat.
Setelah injeksi anestesi spinal, herniasi otak dapat terjadi.
Sebelumnya ada penyakit neurologic
Sakit punggung kronik
Kelainan koagulasi
Kelainan koagulasi dapat meningkatkan risiko pembentukan hematoma, hal
ini sangat penting untuk menentukan jumlah waktu yang dibutuhkan untuk

25

menyelesaikan operasi sebelum menginduksi anestesi spinal. Jika durasi


operasi tidak diketahui, anestesi spinal yang diberikan mungkin tidak cukup
panjang untuk menyelesaikan operasi dengan mengetahui durasi operasi
membantu ahli anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan,
penambahan terapi spinal seperti epinefrin, dan apakah kateter spinal akan
diperlukan
Infeksi perifer pada sisi dengan teknik regional
Pasien sedang menggunakan ASA (Asetyl Salicylic Acid), NSAIDS (Non
Steroidal Anti Inflammatory Drugs) dan dipiridamol.
Pertimbangan lain saat melakukan anestesi spinal adalah tempat operasi,
karena operasi di atas umbilikus akan sulit untuk menutup dengan tulang
belakang sebagai teknik tunggal. Anestesi spinal pada pasien dengan penyakit
neurologis, seperti multiple sclerosis, masih kontroversial karena dalam
percobaan in vitro didapatkan bahwa saraf demielinisasi lebih rentan terhadap
toksisitas obat bius lokal14.
3.2.7

Anastesi pada pasien obese


Obesitas ringan terjadi bila lebih dari 25% berat badan pada laki-laki (30%
pada wanita) adalah lemak. Obesitas adalah salah satu penyebab berbagai
macam penyakit dan berkaitan dengan hipertensi dan diabetes mellitus.
Akibat massa tubuh yang besar maka curah jantung juga harus lebih besar
daripada orang yang tidak gemuk bahkan bisa mencapai tinggi ketika
pasien obese bekerja keras atau dalam kondisi stress. Hubungan antara
merokok, obesitas dan hipertensi sering menyebabkan kematian dengan
atau tanpa anastesi. Adanya lemak pada abdomen akan menyebabkan
gerakan diafragma pada saat bernafas akan terganggu dan dinding dada
menjadi kaku secara abnormal karena banyaknya lemak. Pernapasan

26

menjadi lebih tidak efektif bila pasien berbaring sehingga IPPV dianjurkan
selama anestesi. Juga dengan penambahan oksigen jika mungkin (WHO,
2009).
Masalah teknis tambahan timbul pada pasien yang gemuk. Lemak di leher
membuat intubasi dan control jalan napas menjadi sulit dan lemak
subkutan yang berlebihan akan menimbulkan kesulitan pungsi vena dan
anestesi konduksi. Jangan memberikan obat berdasarkan berat badan
karena akan menyebabkan dosis yang berlebihan. Untuk obat-obatan yang
diberikan secara intravena pada pasien dengan berat badan 120 kg hanya
membutuhkan lebih kurang 130% dari dosis normal untuk dewasa dengan
berat badan 60-70 kg. untuk anestesi umum pada pasien yang gemuk
dianjurkan menggunakan teknik dengan intubasi endotrakea dengan IPPV
dan relaksan otot (WHO, 2009).
Kebanyakan ahli bedah bahkan ahli anestesi akan menunda operasi pada
pasien obese bilamana mungkin sampai tercapainya penurunan berat badan
yang cukupkecuali kegawat daruratan. Harus dimengerti bahwa terdapat
resiko kematian yang serius bila pasien obese berat dianestesi. Risiko ini
muncul akibat efek kesulitan airway, kesulitan mencari vena, usaha
ventilasi yang buruk, pembedahan yang cenderung lama dan sulit,
meningkatnya risiko infeksi luka, thrombosis vena, dan emboli pulmo.
Pada pasien obese yang dalam kondisi berpuasa atau kelaparan, tidak
hanya volume isi lambung yang meningkat melainkan isi lambung juga
menjadi lebih asam (Lunn, 2011).

2.3.7

Masalah dalam Pemberian Anestesi

27

Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan
status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
- ASA 1 : Pasien dalam keadaan normal dan sehat
- ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lain. Misalnya, pasien batu ureter
dengan hipertensi sedang terkontrol atau pasien apendisitis akut dengan
leukositosis dan febris.
- ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan
karena berbagai penyebab. Misalnya, pasien apendisitis perforasi dengan
septicemia atau pasien ileus obstruktif dengan iskemia miokardium
- ASA IV : pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya. Misalnya, pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.
ASA V :

pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau


tidak. Misalnya, pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok
hemorrhagic karena rupture hepatic.

Nb: Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan


mencantumkan tanda darurat (E= Emergency) misalnya, ASA 1E, ASA
IIE.

2.3.8

Komplikasi Anestesi Spinal


Komplikasi yang umumnya terjadi adalah post-dural puncture headache

(PDPH), transient neurological syndrome/tramsient radicular irritation (TNS/TRI),


sakit punggung, hipotensi dan itching (gatal). Komplikasi yang kurang umum terjadi

28

adalah cauda equine syndrome, retensi urin, hematom dan lain-lain (Morgan et al,
2002).
Blok subarakhnoid tidak diberikan pada penderita yang akan dirawat
jalan/segera dipulangkan karena resiko spinal headache (Rahadjo et al, 2000).
Timbulnya post-dural puncture headache (PDPH) berhubungan dengan penggunaan
jarum yang lebih besar (22G) dan jenis Quincke (Hughes et al, 2002). Despond et al
melaporkan kejadian PDPH 20,4% diantara wanita dan 5,5% di antara pria yang
mendapatkan anestesi spinal dengan menggunakan jarum spinal jenis Whitacre 27G
(Despond et al, 2001). Penggunaan jarum spinal jenis ujung pensil (Sprotte) dan
ketersediaan jarum ukuran sangat kecil dapat mengurangi timbulnya post-dural
puncture headache (Casati and Vinciguerra, 2002).

Gambar 3.8
Gambar jarum untuk anestesi
Pilihan terbaik untuk sekarang ini adalah 24G atau 25G jarum jenis
ujung pensil. Untuk pasien dengan badan sangat besar disarankan
menggunakan 24G Sprotte (Watson et al, 2004).

Efek samping kardiovaskuler, terutama hipotensi dan bradikardi adalah


perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi spinal. Pemahaman
tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan untuk mengontrol tekanan darah dan

29

denyut jantung penting untuk merawat perubahan kardiovaskuler terkait dengan


anestesi spinal (Barash et al, 2001).
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital pada
anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat menyebabkan
bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut nadi yang berlebihan. Karena
itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal yang penting mengingat adanya
efek-efek yang ditimbulkan.
Resiko terjadinya TNS setelah anestesi spinal dengan lidokain secara
signifikan lebih tinggi daripada obat anestesi lokal yang lain (bupivakain, prilokain,
prokain dan mepivakain) (Zaric et al, 2005). Faktor resiko utama terjadinya TNS
pernah dilaporkan 10-40% pada penggunaan lidokain dengan dosis lebih dari 40 mg
(Tarkilla et al, 2003). TNS juga dipengaruhi oleh posisi lithotomy (Gaiser, 2000).
Tidak ada hubungan antara waktu berobat jalan (ambulation) setelah anestesi spinal
dengan lidokain dan kejadian TNS (Cramer et al, 2005).
Komplikasi analgesia spinal menurut De Jong (2011) dibagi menjadi
komplikasi dini dan komplikasi lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi,
respirasi dan gastrointestinal.
a.
Komplikasi sirkulasi.
Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya
terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah
perlu diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah
perlu diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik
turun dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala penurunan
tekanan darah, maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera
pada ginjal, jantung dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat

30

blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Pencegahan hipotensi
dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringer laktat)
secara cepat segera setelah penyuntikan anestesi spinal dan juga berikan
oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus
diobati dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang
terjadi, blok spinal total dengan anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada
kasus demikian, kita harus melakukan intubasi dan melakukan ventilasi paru,
serta berikan penanganan seperti pada hipotensi berat. Dengan cara ini,
biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam
Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok
simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5
mg intravena.
Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi spinal
yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan
memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring.
Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada
hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya
cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin
besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan
membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh menggunakan satu bantal)
selama 24 jam.
b. Komplikasi Respirasi
Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paruparu normal.
Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.

31

Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan tandatanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan14.
c. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal
serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri
kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke
posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal, dengan
kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan
meningkat
3.2.9

Obat-obatan yang sering dipakai pada SAB


Lidokain dan bupivakain merupakan obat golongan amida yang digunakan

pada anestesi spinal. Kedua obat ini menghasilkan blokade saraf sensorik dan motorik
( ODonnel, 2005).
a. Bupivakain
Bupivakain termasuk juga golongan amida yang akhir-akhir ini mulai banyak
digunakan (Covino BG et al 2000). Bupivakain memiliki nama kimia 1-ButylN-(2,6-dimethylphenyl)-2-piperidinecarboxamide

hydrochloride.

Pka

bupivakain 8,1, PH bupivakain 5,5. Protein binding bupivakain adalah 95%,


lipid solubility 28, dengan volume distribusi 73 liter. Tersedia dalam bentuk
isobarik maupun hiperbarik, dengan lama aksi 90-180 (hiperbarik), 90-240
(isobarik). Dosis total yang bisa digunakan adalah 7,5-22,5 mg untuk isobarik,
10-20 mg untuk hiperbarik. Metabolisme bupivakain dalam bentuk aromatik
hydroxylation, N-dealkylation, amide hydrolysis dan mengalami konjugasi.
Hasil metabolit N-dealkylation yaitu N-desbutylbupivakain dapat dilihat pada

32

darah dan urin setelah dilakukan anestesi spinal (Stoelting, 2001, Covino et al,
2000). Bupivakain termasuk golongan anestesi lokal onset lambat, durasi
panjang, dan potensi yang tinggi. Blokade sensoriknya lebih dominan
dibandingkan dengan blokade motoriknya (Sweitzer, 2002).

Gambar 3.9
Gambar Struktur Kimia Bupivakain

Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai


berikut

1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide

hydrochloride.

Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat
daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO af Ekenstem dan
dipakai pertama kali pada tahun 196312. Secara komersial bupivakain tersedia dalam 5
mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih menghambat sensoris daripada
motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia selama persalinan
dan pasca bedah.
Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun hiperbarik
telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi abdominal bawah.
Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4
ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan
konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 15-22,5 mg. Bupivakain dapat
melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah kecil. Bila diberikan dalam dosis
ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila dibandingkan dengan lidokain.
Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain dari kerjanya yang panjang

33

adalah sifat blockade motorisnya yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama
dengan tetrakain.
Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain
karena mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk
menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa
bebas nyeri selama 2 jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska
bedah dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan
tehnik anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada
dosis 0,25 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska
bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 0,75 %) digunakan untuk pembedahan.
Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 0,5 %, epidural 0,5 0,75 %,
spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg. Dosis rataratanya 3 4 mg / kgBB
Mekanisme kerja buvikain :
BUVIKAIN 0,5% HEAVY

BLOK SIMPATIS

STIMULASI PARASIMPATIS

SVR TURUN

DEPRESI MIOKARDIUM

VENOUS RETURN TURUN


POLING DARAH VENA
PERUBAHAN DENYUT NADI

b. Lidokain
Lidokain ialah anestetika lokal tipe amino amida. Lidokain memiliki nama
kimia acetamide, 2-(diethylamino)-N-(2,6-dimethylphenyl). Pertama kali

34

dikembangkan oleh Nils Lofgren dan Bengt Lundqvist pada tahun 1943 dan
pertama kali dipasarkan pada tahun 1948 (Mulroy, 2002).
-

Farmakokinetik Lidokain
Lidokain mempunyai onset lebih cepat dan durasi lebih panjang daripada
anestetika lokal tipe amino ester seperti prokain. Lidokain dimetabolisme
di hepar mendekati 90% (Mulroy, 2002). Onset dari obat anestesi lokal
ditentukan oleh pKa yaitu pH dimana konsentrasi antara bentuk ion dan
non ion sama. Membran sel saraf akan mudah dilalui oleh bentuk ion yang
tidak bermuatan sehingga onset obat berhubungan dengan bentuk basa dari
obat anestesi lokal. Persentase obat anestesi lokal dalam bentuk basa pada
pH 7,4 berbanding terbalik dengan pKa dari obat tersebut.
Sebagai contoh mepivakain, lidokain dan prokain mempunyai pKa hampir
7,7 sehingga mempunyai onset yang cepat sedangkan buipivakain
mempunyai onset yang lambat. Ketika obat tersebut disuntikkan pada pH
7,4 maka 65% dari obat tersebut dalam bentuk ion sedangkan 35% dalam
bentuk basa (non ion). Sementara itu amethokain mempunyai pKa 8,6 dan
hanya 5% yang dalam bentuk non ion. Bupivakain mempunyai pKa 8,1
yang berarti hanya 15% dalam bentuk non ion (Covino, 2000).
Obat-obat anestesi lokal setelah penyuntikan ekstravaskuler akan
mengalami tahapan absorbsi, distribusi dan eliminasi. Di samping tahapan
tersebut, factor kadar a-glikoprotein akan mempengaruhi kadar konsentrasi
lidokain dalam darah (Tucker, 1999).
Eliminasi waktu paruh lidokain mendekati 1,5-2 jam pada kebanyakan
pasien. Hal ini dapat diperpanjang pada pasien dengan perlemakan hepar
(rata-rata 343 menit) atau gagal jantung kongestif (kira-kira 136 menit)

35

(Thomson et al, 1999). Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan dan
dapat melewati sawar darah otak. (Sunaryo, 2002).

Gambar 3.10
Gambar Struktur Kimia Lidokain

Skema mekanisme kerja lidokain


Lidokain 5%
hiperbarik

Stimulasi
parasimpatis

Blok simpatis
Blok motoris

Depresi
miokardium

Blok sensoris
Efek inotropik negatif lebih
dominan
SVR turun
Venous return
turun
Pooling darah

Perubahan frekuensi denyut nadi

Farmakodinamik Lidokain
Lidokain mengubah depolarisasi pada saraf dengan cara memblok saluran
natrium di membran sel. Dengan blokade yang cukup, membran tidak akan
mengalami depolarisasi jadi tidak mengirim potensial aksi. (Mulroy,
2002).

Indikasi dan Kontraindikasi Lidokain

36

Lidokain digunakan untuk anestesi topikal, anestesi infiltrasi, blockade


saraf, anestesi epidural, anestesi intratekal dan anestesi regional IV
(Mulroy, 2002). Lidokain dapat menurunkan iritabilitas jantung sehingga
digunakan sebagai antiaritmia (Sunaryo 2002). Lidokain digolongkan
sebagai agen antiaritmia kelas 1b, memblok saluran natrium pada potensial
aksi jantung, dimana penurunan otomatis dengan mengurangi lereng
depolarisasi fase 0 dengan sedikit efek pada interval PR, kompleks QRS
dan interval QT (Mulroy, 2002). Kontraindikasi lidokain yaitu: (Mulroy,
2002)
a) Blokade jantung, derajat 2 atau 3 (tanpa pacemaker)
b) Blokade sinoatrial yang hebat (tanpa pacemaker)
c) Terjadi reaksi yang kurang baik bila menggunakan lidokain atau obat
anestesi lokal amida.
d) Perawatan berbarengan dengan quinidine, flecainide, disopyramide dan
procainamide (agen antiaritmia kelas I)
Pada umumnya gejala overdosis jarang terjadi dan biasanya disebabkan
oleh suntikan intravaskuler yang lalai, dosis berlebihan atau penyerapan
yang cepat sehingga mendorong konsentrasi darah menjadi tinggi.
Gejala overdosis juga bisa disebabkan oleh hipersensitivitas atau
kurangnya toleransi pasien (Mulroy, 2002). Gejala overdosis lidokain
biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP, misalnya mengantuk,
pusing, parestesis, gangguan mental, koma dan seizures. Lidokain dosis
berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel atau
henti jantung (Sunaryo, 2002).
c. Klonidine

37

Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis 2 yang digunakan untuk obat
antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek kronotropik
negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat 2 agonis lain juga mempunyai efek sedasi.
Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek anestesi dari pemberian secara oral
(3-5g/kg), intramuscular (2g/kg), intravena (1-3g/kg), transdermal (0,1-0,3 mg
setiap hari) intratekal 75-150g) dan epidural (1-2g/kg) dari pemberian klonidin.
Secara umum klonidin menurunkan kebutuhan anestesi dan analgesi (menurunkan
MAC) dan memberikan efek sedasi dan anxiolisis. Selama anestesi umum, klonidin
dilaporkan juga meningkatkan stabilitias sirkulasi intraoperatif dengan menurunkan
tingkatan katekolamin. Selama anestesi regional, termasuk peripheral nerve block,
klonidin akan meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada medula spinalis
mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik 2 dengan ramus dorsalis. Keuntungan
lain juga mungkin berupa menurunkan terjadinya postoperative shivering, inhibisi
dari kekakuan otot akibat obat opioid, gejala withdrawal dari opioid, dan pengobatan
dari beberapa sindrom nyeri kronis. Efek samping dapat berupa bradikardia,
hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut kering11.
Klonidin adalah agonis alfa2-adrenergik parsial selektif yang bekerja secara
sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya untuk
menurunkan keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini telah
terbukti efektif digunakan pada pasien dengan hipertensi berat atau penyakit renindependen. Dosis dewasa yang biasa digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg.
Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk pemberian secara mingguan pada
pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral11.
d. Efedrin
Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang secara
alami ditemukan di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai gugus OH

38

pada cincin benzena , gugus ini memegang peranan dalam efek secara langsung
pada sel efektor1.
Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor , 1, 219. Efek pada
1 di perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase. Efek pada 1
dan 2 adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat. Efek 1 berupa
takikardi tidak nyata karena terjadi penekanan pada baroreseptor karena efek
peningkatan TD20. Efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui pelepasan
NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis (pemberian
efedrin yang terus menerus dalam jangka waktu singkat akan menimbulkan efek yang
makin lemah karena semakin sedikitnya sumber NE yang dapat dilepas, efek yang
menurun ini disebut takifilaksis terhadap efek perifernya. 21 Hanya I-efedrin dan
efedrin rasemik yang digunakan dalam klinik20.
Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan
mendesak NE keluar21. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi
berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya
tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini
sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang
meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung
mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan
darah. Aliran darah ginjal dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah koroner,
otak dan otot rangka meningkat. Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah
pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin20.
e. Epinefrin (Adrenalin)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh
bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh neuronneuron tertentu yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin merupakan

39

stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf simpatis, dan stimulan
jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut jantung dan meningkatkan curah
jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan mengeluarkan efek metabolik lain.
Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan dilepas sebagai respon
terhadap hipoglikemia, stres dan rangsangan lain22.
Preparat sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai
vasokonstriktor topikal, stimulan jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan secara
intranasal, intraoral, parenteral, atau inhalasi. Sedangkan norephineprine
(noradrenalin) adalah suatu katekolamin alamiah atau neurohormon yang dilepaskan
oleh saraf adrenergik pasca ganglion dan beberapa saraf otak, juga disekresi oleh
medula adrenal sebagai respon terhadap rangsangan splanchnicus dan disimpan dalam
granul kromafin. Norepineprine merupakan neurotransmitter utama yang bekerja pada
reseptor adrenergik - dan 1. Norephineprine merupakan vasopressor kuat dan
biasanya dilepaskan dalam tubuh sebagai respon terhadap hipotensi dan stres.
Preparat farmasi senyawa norephinephrine biasanya dalam bentuk garam bitartat.
f. Fentanyl
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan

sebagai

penghilang

nyeri.

Dalam

bentuk

sediaan

injeksi

IM

(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan


kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan rasa
sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika23.
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit.
Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat.
Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering

40

terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa terjadi jika
pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah efek samping
tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan periode tertentu
sebelum pengobatan dihentikan.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB)
meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia
pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah
dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 g
menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek
apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek samping

3.3

Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontiunitas tulang dan ditentukan sesuai dengan

jenisnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang dapat di
absorbsinya (Smeltzer & Bare, 2002 : 2357). Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut,
keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur
yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh
tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan
tulang. (Price, 2006 : 1365).
Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan
yang disebabkan oleh kekerasan. Patah tulang dapat terjadi dalam keadaan normal atau
patologis. Pada keadaan patologis, misalnya kanker tulang atau osteoporosis, tulang
menjadi lebih lemah. Dalam keadaan ini, kekerasan sedikit saja akan menyebabkan
patah tulang. (Oswari , 2005 : 144).

41

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontiunitas jaringan tulang


dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat,
2005 : 840). Fraktur femur adalah terputusnya kontiunitas batang femur yang bisa
terjadi akibat truma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian). Patah pada
daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan
penderita jatuh dalam syok (FKUI dalam Jitowiyono, 2010 : 15).
penulis

menyimpulkan

bahwa

pengertian

fraktur

adalah

terputusnya

kontiunitas tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
atau kekerasan, bisa dalam keadaan normal atau patologis.

3.3.1

Anatomi
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat

untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh. Ruang di tengah


tulang-tulang tertentu berisi jaringan hematopoietik, yang membentuk berbagai sel
darah. Tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium
dan fosfat (Price, 2006: 1357).
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, yang terbagi dalam empat kategori:
tulang panjang (mis: femur), tulang pendek (mis: tulang tarsalia), tulang pipih (mis:
sternum), dan tulang tak teratur (mis: tulang vertebra). Bentuk dan konstruksi tulang
tertentu ditentukan oleh fungsi dan gaya yang bekerja padanya (Smeltzer & Bare,
2002: 2264).
Bagian-bagian khas dari sebuah tulang panjang adalah diafisis (batang)
merupakan bagian tengah yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang
kortikal yang memiliki kekuatan yang besar. Metafisis adalah bagian tulang yang
melebar di dekat ujung akhir batang. Daerah ini disusun oleh tulang trabekular atau

42

tulang spongiosa yang mengandung sel-sel hematopoetik. Sum-sum merah juga


terdapat di bagian epifisis dan diafisis tulang. Metafisis juga menopang sendi dan
menyediakan daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada
epifisis. Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak,
dan bagian ini akan menghilang pada tulang dewasa.
Bagian epifisis langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang yang bersatu
dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang terhenti. Seluruh tulang
diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung sel-sel yang
dapat berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan tulang panjang.
Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteri nutrisi khusus. Lokasi dan keutuhan
dari arteri-arteri inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses penyembuhan
suatu tulang yang patah.
3.3.2

Etiologi
Menurut Sachdeva dalam Jitowiyono dkk (2010: 16), penyebab fraktur dapat

dibagi menjadi tiga yaitu :


a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
1). Cedera langsung berarti pukulan/kekerasan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan ditempat itu. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
2). Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
klavikula.
3). Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang
kuat.

43

b. Fraktur patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur, dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas), pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit
nyeri.
3) Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh difisiensi vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit
polio dan orang yang bertugas di kemiliteran (Jitowiyono dkk, 2010:16).

3.3.3

Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer & Bare (2002:2358), manifestasi klinis fraktur adalah nyeri,

hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal


dan perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

44

b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas ekstremitas, yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas yang normal. Ektremitas tak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya
otot.
c. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang, yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang
lainnya. ( uji kripitasi dapat membuat kerusakan jaringan lunak lebih berat).
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah
bebebrapa jam atau hari setelah cedera.
3.3.4 Diagnosis
a. Pemeriksaan fisik focus: Kaji kronologi dari mekanisme trauma pada paha. Sering
didapatkan keluhan nyeri pada luka terbuka.
1) Look : pada fraktur femur terbuka terlihat adanya luka terbuka pada paha
dengan deformitas yang jelas. Kaji seberapa luas kerusakan jaringan lunak
yang terlibat. Kaji apakah pada luka terbuka ada fragmen tulang yang keluar
dan apakah terdapatnya kerusakan pada jaringan beresiko meningkat respon
syok hipovolemik. Pada fase awal trauma kecelakaan lalu lintas darat yang
mengantarkan pada resiko tinggi infeks.
Pada fraktur femur tertutup sering ditemukan kehilangan fungsi,deformitas,
pemendekan ekstremitas atas karena kontraksi otot, kripitasi, pembengkakan,
dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan

45

yang mengikuti fraktur. Tanda ini dapat terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa setelah cedera.
2) Feel : adanya keluhan nyeri tekan dan adanya kripitasi
3) Move : daerah tungkai yang patah tidak boleh digerakan, karena akan
memberika respon trauma pada jaringan lunak disekitar ujung fragmen tulang
yang patah (Muttaqin, 2009: 303).
b. Pemeriksaan Diagnosis Fraktur
a. Pemeriksaan X-Ray : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
c. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna pada sisi fraktur
atau organ jauh pada trauma multipel.
d. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beeban kreatinin untuk klirens ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multipel, atau cidera hati ( Doenges dalam Jitowiyono, 2010:21).

3.3.5

Penatalaksanaan fraktur

Prinsip penanganan fraktur


Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengambilan fungsi dan
kekuatan normal dengan rehabilitasi.
Reduksi fraktur : Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen
tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis
- Reduksi tertutup : pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan
mengembalikan
-

fragmen

tulang keposisinya

(ujung-ujungnya

saling

berhubungan ) dengan manipulasin atau traksi manual).


Traksi : dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.

Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.


- Reduksi terbuka : pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dapat berupa

46

pin, kawat, skrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang
yang solid terjadi.
Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator
eksterna.
Mempertahankan dan mengembalikan fungsi : segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan.
- Open Reduksi Internal Fiksasi (ORIF) adalah sebuah prosedur medis
mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang , seperti yang
diperlukan untuk beberapa patah tulang fiksasi internal. mengacu pada
fiksasi sekrup dan / atau piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi
penyembuhan.

ORIF

mengacu

pada

prosedur

pembedahan

untuk

memperbaiki patah tulang parah "Buka reduksi" berarti operasi diperlukan


untuk menyetel kembali yang patah tulang ke posisi normal "Fiksasi
Internal" mengacu pada batang baja, sekrup, atau pelat digunakan untuk
menjaga patah tulang stabil untuk menyembuhkan cara yang benar dan
membantu mencegah infeksi.
Terapi fisik juga merupakan bagian penting dari proses pemulihan setelah
terbuka internal fiksasi suatu pengurangan.. Karena bagian tubuh yang telah
terluka biasanya diadakan diam atau bergerak untuk waktu yang lama, otototot, tendon , dan ligamen dapat menjadi lemah Terapi fisik membantu untuk

47

memulihkan kekuatan, rentang gerak , dan daya tahan daerah yang terkena.
Hal ini juga dapat membantu dengan manajemen nyeri.

3.3.6

Tahapan Penyembuhan Tulang :


a. Inflamasi
Dengan adanya patah tulang, tubuh mengalami respon yang sama dengan
bila ada cedera di lain tempat dalam tubuh. Terjadi perdarahan dalam
jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma pada tempat
patah tulang. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri. Tahap inflamasi
berlangsung

beberapa

hari

dan

hilang

dengan

berkurangnya

pembengkakan dan nyeri.


b. Proliferasi sel
Dalam sekitar 5 hari, hematome akan mengalami organisasi. Terbentuk
benang-benang fibrin dalam jendela darah , membentuk jaringan untuk
revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan osteoblast.
c. Pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan
tulang di gabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan dan tulang serat
imatur. Perlu waktu 3-4 minggu agar fragmen tulang tergabung dalam
tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis, fragmen tulang tak bisa
lagi digerakkan.
d. Penulangan kalus (osifikasi)
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu
patah tulang melalui proses penulangan endokondral. Mineral terus

48

menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dan keras.


Penulangan perlu waktu 3-4 bulan.
e. Remodeling menjadi tulang dewasa
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati
dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya.
Remodeling memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun
tergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang,
dan stres fungsional pada tulang (Smeltzer & Bare, 2002).

3.3.7 Komplikasi Fraktur


Komplikasi fraktur yang terpenting adalah :
a. Komplikasi awal
1). Syok, dapat berakibat fatal dalam beberapa jam setelah edema
2). Emboli lemak, dapat terjadi 24-72 jam
3). Sindrom kompartemen, perfusi jaringan dalam otot kurang dari kebutuhan
4). Infeksi dan tromboemboli
5). Koagulopati intravaskular diseminata
b. Komplikasi lanjutan
1). Mal-union/ non union
2). Nekrosis avaskular tulang
3). Reaksi terhadap alat fiksasi interna ( Suratun, 2008).

49

BAB 4
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Jenis operasi

yang dilakukan untuk menerapi pasien ini adalah orif.

Pengambilan keputusan terapi ini sangat tepat berdasarkan buku yang ditulis oleh De
Jong tahun 2011 yang menyatakan bahwa orif adalah metode penatalaksanaan patah
tulang dengan cara pembedahan reduksi terbuka dan fiksasi internal dimana insisi
dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan ditemukan sepanjang bidang
anatomik tempat yang mengalami fraktur, kkemudian fraktur diperiksa dan diteliti.
Fraktur direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali,
sesudah reduksi, fragmen fragmen tulang dipertahankan dengan alat alat ortopedi
berupa pin, pelat, srew.
Tanggal operasi dilakukan pada 19 februari 2015, bersamaan dengan hari
terjadinya kecelakaan. Hal ini adalah keputusan yang tepat mengingat kondisi pasien
sangat mendukung dengan Hb yang normal. Menurut De Jong(2011) menyatakan

50

bahwa golden periode pada pasien trauma adalah kurang dari 6 jam. Pertolongan yang
diberikan sebelum melampaui 6 jam akan mengurangi angka resiko kecacatan.
Jenis anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah SAB (Subarachnoid
Blok). Hal ini dipilih karena pasien obesitas dengan MBI 29,3 (obesitas 2) sehingga
pemilihan general anestesi tidak diutamakan dan lebih memilih spinal anestesi. Lunn
(2011) menyatakan bahwa kebanyakan ahli bedah bahkan ahli anestesi akan menunda
operasi pada pasien obese bilamana mungkin sampai tercapainya penurunan berat
badan yang cukupkecuali kegawat daruratan. Harus dimengerti bahwa terdapat resiko
kematian yang serius bila pasien obese berat dianestesi. Risiko ini muncul akibat efek
kesulitan airway, kesulitan mencari vena, usaha ventilasi yang buruk, pembedahan
yang cenderung lama dan sulit, meningkatnya risiko infeksi luka, thrombosis vena,
dan emboli pulmo. Pada pasien obese yang dalam kondisi berpuasa atau kelaparan,
tidak hanya volume isi lambung yang meningkat melainkan isi lambung juga menjadi
lebih asam.
Premedikasi yang digunakan memakai fentanyl 50 mg. fentanil termasuk
golongan obat analgesic narkotika. Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk
menghilangkan rasa sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di
dalam sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan
ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan
Induksi yang digunakan pada operasi ini dengan menggunakan marcain heavy
0,5% 15 mg. Obat anestesi ini digunakan untuk membebaskan pasien dari rasa sakit
pada waktu operasi. Marain berisi levobuvikain yan heavy. Heavy berarti berat jenis
marcain lebih berat daripada nerat jenis liquour cerebrospinalis.
Pemeliharaan kondisi pasien saat operasi menggunakan oksigen. Menurut
Lunn (2011) menyatakan bahwa oksigen sangat diperlukan pada saat obat-obatab
anestesi bekerja dalam tubuh. Ikatan oksigen dengan hemoglobin menurun dengan
meningkatnya karbon dioksida arteri. Namun, disosiasi oksigen meningkat. Ambilan

51

oksigen di pulmo berkurang tetapi penghantaran oksigen ke jaringan meningkat. Cara


lain yang menyatakan fakta yang sama adalah dengan mengatakan bahwa disosiadi
oksihemoglobin bergerak ke kanan dan P50 meningkat. (P50 didefinisikan sebagai
tekanan oksigen ketika 50% hemoglobin tersaturasi dengan oksigen).
Teknik anestesi : SAB, sitting position, Vertebrae L3-L4, LCS + jernih, D
=27 G
Obat-obatan yang digunakan : miloz 2,5mg, ceftriaxon 1 gr, xevolac 30
mg iv, tradosix 100mg drip
Cairan yang digunakan : Ringer Asetat
Masalah dalam anestesi ini adalah ASA II E. Hal ini menyatakan bahwa
tindaqkan anestesi pada pasien ini memiliki masalah jika didapatkan kelainan sistemik
ringan dan sedang. Sedngakan tanda E menyatakan bahwa kondisi nya akibat
emergensi.

Anda mungkin juga menyukai