PRESENTASI KASUS
Pembimbing :
dr. Anas Makhfud, Sp. An
dr. Orizanov Mahisa, Sp. An
Disusun Oleh :
Dysca Ryesnanda Ayunita (9150588)
Mega Dwi Yuanita (9150590)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmatNya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul
PENGGUNAAN
REGIONAL
ANASTESI
(RA)
DENGAN
TEKNIK
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..
DAFTAR ISI
BAB I. LAPORAN KASUS
BAB II TINJAUAN KASUS...
BAB III PENBAHASAN.
BAB IV KESIMPULAN .
BAB V PENUTUP...
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
BAB 2
TINJAUAN KASUS
2.1
2.2
Identitas
Nama Pasien
Umur
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Alamat
Tanggal
: 2/19/2015 13:22
Klinik
: IGD
Dokter Pengantar
: Razzaqy, dr
Kriteria Triage
: Triage Kuning
Anamnesis
KU
RPS
: Pasien rujukan datang dengan keluhan nyeri paha kanan post KLL
jam 11.00 WIB naik sepeda motor (pakai helm) bertabrakan dengan
mobil terkena paha kanan dan langsung mengeluhkan nyeri hebat
dan susah digerakkan karena nyeri. Pasien sadar saat jatuh dan tidak
sempat pingsan
Pasien terakhir makan pukul 13.00 WIB
Mual (-)
Muntah (-).
Pusing (-).
Sesak (-)
BAB dan BAK normal tidak ada keluhan.
RPD
:-
RPK
:-
RPsos : 2.3
Pemeriksaan Fisik
- Keadaan Umum : Tampak Kesakitan
- BB : 70 kg
- TB : 155 cm
- Vital Sign
Nadi
: 78 x/menit
Tekanan darah
: 122/67 mmHg
Suhu aksila
: 36,8 C
RR
: 23 x/menit
- Primary Survey
A
: Temperatur 36,8 C
- Secondary Survey
GCS : 456
K/L : a-/l -/c -/d +
Tho : sim, ret -/P
Status Lokalis,
Look
2.4
2.4.1
2.4.2
Feel
Move
2.5
Diagnosis
Fraktur Femur 1/3 Medial (open) (S.72.31\-)
2.6
Terapi
2.7
Pasang bidai
IVFD Asering 1500cc/24jam
Inj. Remopain 3x30 mg iv
Inj. Acran 2x50 mg iv
Inj. Tetagam 1 amp iv
Inj. Ceftriaxon 1g iv
Inj. Terfacef 2 gram iv pre op
Konsultasi
Dr. AAO, SpOT MRS kan dulu, beri antibiotic dan tetagam, operasi nanti
2.8
Evaluasi
-
2.9
LAPORAN ANESTESI
Status Anastesi
Jenis operasi : orif
10
: 78 x/menit
: 36,8 C
RR
: 23 x/menit
Premedikasi
: fentanyl 50 mg
Induksi Anestesi : Marcain 0,5 % Heavy 15 mg
Maintenance anestesi: 02 nasal 2-3 liter per menit
Obat lain : miloz 2,5mg, ceftriaxon 1 gr, xevolac 30 mg iv, tradosix
100mg drip
Teknik anestesi
Respirasi
Posisi
Monitoring
11
1740 cc
Jam kedua: Puasa + maintenance + stress operasi + 1/4
cairan kristaloid
840 + 140 + 560 + 1/4 (200 sampai 400) = 1590 cc
1640 cc
Jam ketiga : Puasa + maintenance + stress operasi +
cairan kristaloid
840 + 140 + 560 + (200 sampai 400) = 1640 cc
1740 cc
II.
Tensi
135/80 mmHg
120/55 mmHg
118/57 mmHg
114/ 65mmHg
120/63 mmHg
120/60 mmHg
Nadi
100
72
73
78
75
71
SaO2
100%
100%
100%
100%
100%
100%
12
21: 20
21:25
21:30
21:35
21:40
21:45
21:50
21:55
22:00
22:05
22:10
120/60 mmHg
103/50 mmHg
110/50 mmHg
110/52 mmHg
110/52 mmHg
121/60 mmHg
98/51 mmHg
121/61 mmHg
120/70 mmHg
119/69 mmHg
117/62 mmHg
72
69
64
69
69
80
63
62
61
58
62
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
100%
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Anestesiologi
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
13
Gambar 3.1
Gambar mekanisme kerja anestesi
3.2
anestesi yang cukup aman. Tetapi hal ini bukan berarti tanpa resiko atau efek
samping. Hipotensi, mual dan muntah bisa terjadi pada anestesi spinal. Bradikardi,
disritmia atau bahkan cardiac arrest merupakan komplikasi yang bisa terjadi
(Carpenter et al, 2002). Adanya inovasi terhadap obat-obatan dan teknik menjadikan
anestesi spinal dapat menjadi pilihan pada prosedur-prosedur operasi rawat jalan dan
pada operasi dengan indikasi anestesi spinal (Robert, 2000).
Anestesi spinal adalah salah satu teknik yang sederhana, mudah dikerjakan
dan cukup efektif. Anestesi spinal dapat diperoleh dengan cara menyuntikkan anestesi
lokal ke dalam ruang subarachnoid (Lunn, 2011). Anestesi Spinal (blok subarakhnoid)
adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam
14
obat
spinal/subaraknoid
anestetik
lokal
ke
dalam
ruang
subaraknoid. Anestesi
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke
dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5
(Khun, 2012).
Anestesi spinal diindikasikan untuk bedah ekstremitas inferior, bedah panggul,
tindakan di sekitar rektum-perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah
abdomen bawah, dan semakin banyak penggunaannya untuk operasi ortopedi
ekstremitas bawah. Teknik ini lebih praktis karena memberikan efek yang lebih cepat
dan menciptakan kondisi operasi yang terbaik serta dapat memberikan efek analgesia
yang adekuat pasca operasi sehingga mobilitas lebih cepat terjadi. Anestesi spinal
(subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik
lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dipengaruhi oleh:
jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi
tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia
pasien, obesitas, kehamilan, dan distribusi obat. Pada penyuntikan intratekal, yang
dipengaruhi pertama kali ialah saraf simpatis dan parasimpatis, diikuti dengan saraf
untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam. Sementara itu yang mengalami
blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory sense) dan proprioseptif.
Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah
15
anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris
yang pertama kali akan pulih (Lanham, 2013).
Anestesi spinal diindikasikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti
bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah
obstetric, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah
bayi ditidurkan dengan anestesi umum. Analgesi spinal juga merupakan pilihan saat
terjadi kegawat-daruratan obstetri karena mula kerjanya yang cepat (Towned, 2013)
Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung lambat.
Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui aliran darah
vena sedangkan sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi
tergantung dari kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal (Lanham, 2013).
3.2.1
kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah meradang tidak
akan memberi hasil yang memuaskan oleh karena meningkatnya keasaman jaringan
yang mengalami peradangan sehingga akan menurunkan aktifitas dari zat anestesi
lokal (pH 5). Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf,
efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui, potensial aksi
saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat (sekilas) pada permeabilitas membran
terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada membran. Proses inilah yang
dihambat oleh obat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap perubahan
voltase muatan listrik (voltase sensitive Na+ channels).
16
17
yaitu motorik, sensorik dan otonom. Saraf motorik mengantarkan pesan ke otot
untuk berkontraksi dan ketika saraf ini diblok maka otot akan mengalami paralisis.
Saraf sensorik mengirimkan sensasi seperti sentuhan rasa sakit dari medulla spinalis
menuju otak, sedangkan saraf otonom mengendalikan lebar pembuluh darah, denyut
jantung, kontraksi usus dan fungsi di bawah sadar yang lain. Secara umum saraf
otonom dan sensorik akan lebih dahulu diblok daripada saraf motorik. Hal tersebut
akan menimbulkan suatu dampak yang penting. Contohnya vasodilatasi dan
turunnya tekanan darah ketika saraf otonom diblok dan pasien tidak merasakan
sentuhan dan rasa sakit ketika operasi dimulai (Morgan et all, 2002).
3.2.2
berikut:
1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala,selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.
Gambar 3.2
Gambar titik penyuntikan spinal anestesi
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
18
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 23ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor
tidak keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia
spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
Gambar 3.3
Gambar organ target anestesi spinal
Gambar 3.4
19
PARAMEDIAN
1,5-2 cm lateral proc. Spinosus
Ligament yang dilewati: flavum
interspinosum, flavum
Posisi jarum : tegak lurus dengan spinal
spinal
Ada 3 macam pendekatan dalam anestesi spinal, yaitu : (Morgan et al, 2002)
a. Pendekatan Median
Pendekatan ini yang umum dilakukan. Jarum ditempatkan di garis tengah,
tegak lurus prosessus spinosus, mengarah agak ke cephal.
b. Pendekatan Paramedian
Pendekatan ini diindikasikan untuk pasien yang tidak dapat membungkuk
karena sakit atau ligamennya sudah kaku. Jarum spinal diletakkan 1,5 cm
ke arah lateral dan agak ke caudal dari pusat interspatium yang dipilih.
Jarum diarahkan ke medial dan agak ke cephal dan melewati bagian
lateral dari ligamen supraspinosus. Jika lamina tersentuh, jarum diarahkan
kembali dan ditarik keluar ke arah medial dan cephal.
c. Pendekatan Taylor / Lumbosacral
Pendekatan ini berguna untuk pasien dengan kalsifikasi atau perlengketan
yang kuat dari spatium intervertebral. Posisi menyuntik yaitu 1 cm ke arah
medial dan 1 cm ke arah caudal dari spina iliaca posterior. Jarum
diarahkan 45 derajat ke medial dan 45 derajat ke caudal, setelah
20
Gambar 3.5
Gambar anestesi dari arah median dan paramedian
3.2.3
disuntikkan dalam cairan cerebrospinal dan tingkatan blok yang diperoleh, yaitu :
(Casey, 2000).
1. Barisitas larutan anestesi lokal
Barisitas adalah rasio densitas (massa / volume) dari cairan anestesi lokal
dibagi dengan densitas dari cairan cerebrospinal dengan nilai rata-rata
1,001 1,005 gr/ml pada suhu 370C. Larutan hiperbarik dibuat dengan
cara mencampur glukosa (dekstrosa) dalam jumlah yang cukup untuk
meningkatkan densitas larutan anestesi lokal di atas densitas cairan
cerebrospinal. Larutan hipobarik dibuat dengan cara mencampur 6-8 ml air
steril pada larutan anestesi lokal dengan cairan cerebrospinal atau sodium
21
chloride (Stoelting and Miller, 2001). Pada larutan hiperbarik akan terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Pada hipobarik, obat akan
berpindah dari area penyuntikan ke atas, sedangkan pada isobarik, obat
akan berada di tempat yang sama di tempat penyuntikan (Mansjoer, 2000).
2. Posisi pasien
Ketika pasien anestesi lokal hiperbarik dibandingkan dengan isobaric pada
anestesi spinal, ketinggian blok rata-rata pada posisi apapun adalah sama
(Hughes et al, 2002).
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di
atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Ada 2 macam posisi dalam
-
Gambar 3.6
Gambar penyuntikan SAB
Posisi Lateral
Bahu pasien harus tegak lurus dengan tempat tidur, posisi pinggang di tepi
tempat tidur dan pasien memeluk bantal atau posisi lutut menempel di
dada. Pria cenderung mempunyai bahu yang lebih lebar daripada pinggang
sehingga harus menaikkan posisi kepala ketika berbaring. Wanita dengan
pinggang lebih lebar harus menurunkan posisi kepala (Casey, 2000).
22
Gambar 3.7
Gambar jaras simpatik dn parasimpatik
5. Kecepatan suntikan
Tinggi blokade anestesi spinal sangat dipengaruhi oleh kecepatan
penyuntikan. Penyuntikan yang cepat dapat menghasilkan blokade sampai
23
3.2.5
perubahan fisiologis yang paling penting dan sering pada anestesi spinal. Pemahaman
tentang mekanisme homeostasis yang bertujuan untuk mengontrol tekanan darah dan
denyut jantung penting untuk merawat perubahan kardiovaskuler terkait dengan
anestesi spinal (Barash et al, 2001).
Perubahan frekuensi denyut nadi merupakan salah satu tanda vital pada
anestesi spinal. Frekuensi denyut nadi yang tidak stabil dapat menyebabkan
bradikardi apabila terdapat penurunan frekuensi denyut nadi yang berlebihan. Karena
24
itu pemilihan obat anestesi spinal merupakan hal yang penting mengingat adanya
efek-efek yang ditimbulkan.
3.2.6
25
26
menjadi lebih tidak efektif bila pasien berbaring sehingga IPPV dianjurkan
selama anestesi. Juga dengan penambahan oksigen jika mungkin (WHO,
2009).
Masalah teknis tambahan timbul pada pasien yang gemuk. Lemak di leher
membuat intubasi dan control jalan napas menjadi sulit dan lemak
subkutan yang berlebihan akan menimbulkan kesulitan pungsi vena dan
anestesi konduksi. Jangan memberikan obat berdasarkan berat badan
karena akan menyebabkan dosis yang berlebihan. Untuk obat-obatan yang
diberikan secara intravena pada pasien dengan berat badan 120 kg hanya
membutuhkan lebih kurang 130% dari dosis normal untuk dewasa dengan
berat badan 60-70 kg. untuk anestesi umum pada pasien yang gemuk
dianjurkan menggunakan teknik dengan intubasi endotrakea dengan IPPV
dan relaksan otot (WHO, 2009).
Kebanyakan ahli bedah bahkan ahli anestesi akan menunda operasi pada
pasien obese bilamana mungkin sampai tercapainya penurunan berat badan
yang cukupkecuali kegawat daruratan. Harus dimengerti bahwa terdapat
resiko kematian yang serius bila pasien obese berat dianestesi. Risiko ini
muncul akibat efek kesulitan airway, kesulitan mencari vena, usaha
ventilasi yang buruk, pembedahan yang cenderung lama dan sulit,
meningkatnya risiko infeksi luka, thrombosis vena, dan emboli pulmo.
Pada pasien obese yang dalam kondisi berpuasa atau kelaparan, tidak
hanya volume isi lambung yang meningkat melainkan isi lambung juga
menjadi lebih asam (Lunn, 2011).
2.3.7
27
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan
status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
- ASA 1 : Pasien dalam keadaan normal dan sehat
- ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lain. Misalnya, pasien batu ureter
dengan hipertensi sedang terkontrol atau pasien apendisitis akut dengan
leukositosis dan febris.
- ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan
karena berbagai penyebab. Misalnya, pasien apendisitis perforasi dengan
septicemia atau pasien ileus obstruktif dengan iskemia miokardium
- ASA IV : pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya. Misalnya, pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.
ASA V :
2.3.8
28
adalah cauda equine syndrome, retensi urin, hematom dan lain-lain (Morgan et al,
2002).
Blok subarakhnoid tidak diberikan pada penderita yang akan dirawat
jalan/segera dipulangkan karena resiko spinal headache (Rahadjo et al, 2000).
Timbulnya post-dural puncture headache (PDPH) berhubungan dengan penggunaan
jarum yang lebih besar (22G) dan jenis Quincke (Hughes et al, 2002). Despond et al
melaporkan kejadian PDPH 20,4% diantara wanita dan 5,5% di antara pria yang
mendapatkan anestesi spinal dengan menggunakan jarum spinal jenis Whitacre 27G
(Despond et al, 2001). Penggunaan jarum spinal jenis ujung pensil (Sprotte) dan
ketersediaan jarum ukuran sangat kecil dapat mengurangi timbulnya post-dural
puncture headache (Casati and Vinciguerra, 2002).
Gambar 3.8
Gambar jarum untuk anestesi
Pilihan terbaik untuk sekarang ini adalah 24G atau 25G jarum jenis
ujung pensil. Untuk pasien dengan badan sangat besar disarankan
menggunakan 24G Sprotte (Watson et al, 2004).
29
30
blok simpatis, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Pencegahan hipotensi
dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringer laktat)
secara cepat segera setelah penyuntikan anestesi spinal dan juga berikan
oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus
diobati dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg intramuskular. Jarang
terjadi, blok spinal total dengan anestesi dan paralisis seluruh tubuh. Pada
kasus demikian, kita harus melakukan intubasi dan melakukan ventilasi paru,
serta berikan penanganan seperti pada hipotensi berat. Dengan cara ini,
biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam
Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok
simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5
mg intravena.
Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi spinal
yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan
memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring.
Sakit kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada
hubungannya dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya
cairan serebrospinal dari otak melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin
besar kemungkinan terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan
membiarkan pasien berbaring secara datar (boleh menggunakan satu bantal)
selama 24 jam.
b. Komplikasi Respirasi
Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paruparu normal.
Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
31
Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan tandatanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan14.
c. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal
serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri
kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke
posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal, dengan
kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan
meningkat
3.2.9
pada anestesi spinal. Kedua obat ini menghasilkan blokade saraf sensorik dan motorik
( ODonnel, 2005).
a. Bupivakain
Bupivakain termasuk juga golongan amida yang akhir-akhir ini mulai banyak
digunakan (Covino BG et al 2000). Bupivakain memiliki nama kimia 1-ButylN-(2,6-dimethylphenyl)-2-piperidinecarboxamide
hydrochloride.
Pka
32
darah dan urin setelah dilakukan anestesi spinal (Stoelting, 2001, Covino et al,
2000). Bupivakain termasuk golongan anestesi lokal onset lambat, durasi
panjang, dan potensi yang tinggi. Blokade sensoriknya lebih dominan
dibandingkan dengan blokade motoriknya (Sweitzer, 2002).
Gambar 3.9
Gambar Struktur Kimia Bupivakain
1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide
hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat
daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO af Ekenstem dan
dipakai pertama kali pada tahun 196312. Secara komersial bupivakain tersedia dalam 5
mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih menghambat sensoris daripada
motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia selama persalinan
dan pasca bedah.
Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun hiperbarik
telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi abdominal bawah.
Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4
ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan
konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 15-22,5 mg. Bupivakain dapat
melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah kecil. Bila diberikan dalam dosis
ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila dibandingkan dengan lidokain.
Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain dari kerjanya yang panjang
33
adalah sifat blockade motorisnya yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama
dengan tetrakain.
Bupivakain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain
karena mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk
menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa
bebas nyeri selama 2 jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska
bedah dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan
tehnik anestesi kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada
dosis 0,25 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska
bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 0,75 %) digunakan untuk pembedahan.
Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 0,5 %, epidural 0,5 0,75 %,
spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg. Dosis rataratanya 3 4 mg / kgBB
Mekanisme kerja buvikain :
BUVIKAIN 0,5% HEAVY
BLOK SIMPATIS
STIMULASI PARASIMPATIS
SVR TURUN
DEPRESI MIOKARDIUM
b. Lidokain
Lidokain ialah anestetika lokal tipe amino amida. Lidokain memiliki nama
kimia acetamide, 2-(diethylamino)-N-(2,6-dimethylphenyl). Pertama kali
34
dikembangkan oleh Nils Lofgren dan Bengt Lundqvist pada tahun 1943 dan
pertama kali dipasarkan pada tahun 1948 (Mulroy, 2002).
-
Farmakokinetik Lidokain
Lidokain mempunyai onset lebih cepat dan durasi lebih panjang daripada
anestetika lokal tipe amino ester seperti prokain. Lidokain dimetabolisme
di hepar mendekati 90% (Mulroy, 2002). Onset dari obat anestesi lokal
ditentukan oleh pKa yaitu pH dimana konsentrasi antara bentuk ion dan
non ion sama. Membran sel saraf akan mudah dilalui oleh bentuk ion yang
tidak bermuatan sehingga onset obat berhubungan dengan bentuk basa dari
obat anestesi lokal. Persentase obat anestesi lokal dalam bentuk basa pada
pH 7,4 berbanding terbalik dengan pKa dari obat tersebut.
Sebagai contoh mepivakain, lidokain dan prokain mempunyai pKa hampir
7,7 sehingga mempunyai onset yang cepat sedangkan buipivakain
mempunyai onset yang lambat. Ketika obat tersebut disuntikkan pada pH
7,4 maka 65% dari obat tersebut dalam bentuk ion sedangkan 35% dalam
bentuk basa (non ion). Sementara itu amethokain mempunyai pKa 8,6 dan
hanya 5% yang dalam bentuk non ion. Bupivakain mempunyai pKa 8,1
yang berarti hanya 15% dalam bentuk non ion (Covino, 2000).
Obat-obat anestesi lokal setelah penyuntikan ekstravaskuler akan
mengalami tahapan absorbsi, distribusi dan eliminasi. Di samping tahapan
tersebut, factor kadar a-glikoprotein akan mempengaruhi kadar konsentrasi
lidokain dalam darah (Tucker, 1999).
Eliminasi waktu paruh lidokain mendekati 1,5-2 jam pada kebanyakan
pasien. Hal ini dapat diperpanjang pada pasien dengan perlemakan hepar
(rata-rata 343 menit) atau gagal jantung kongestif (kira-kira 136 menit)
35
(Thomson et al, 1999). Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan dan
dapat melewati sawar darah otak. (Sunaryo, 2002).
Gambar 3.10
Gambar Struktur Kimia Lidokain
Stimulasi
parasimpatis
Blok simpatis
Blok motoris
Depresi
miokardium
Blok sensoris
Efek inotropik negatif lebih
dominan
SVR turun
Venous return
turun
Pooling darah
Farmakodinamik Lidokain
Lidokain mengubah depolarisasi pada saraf dengan cara memblok saluran
natrium di membran sel. Dengan blokade yang cukup, membran tidak akan
mengalami depolarisasi jadi tidak mengirim potensial aksi. (Mulroy,
2002).
36
37
Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis 2 yang digunakan untuk obat
antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek kronotropik
negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat 2 agonis lain juga mempunyai efek sedasi.
Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek anestesi dari pemberian secara oral
(3-5g/kg), intramuscular (2g/kg), intravena (1-3g/kg), transdermal (0,1-0,3 mg
setiap hari) intratekal 75-150g) dan epidural (1-2g/kg) dari pemberian klonidin.
Secara umum klonidin menurunkan kebutuhan anestesi dan analgesi (menurunkan
MAC) dan memberikan efek sedasi dan anxiolisis. Selama anestesi umum, klonidin
dilaporkan juga meningkatkan stabilitias sirkulasi intraoperatif dengan menurunkan
tingkatan katekolamin. Selama anestesi regional, termasuk peripheral nerve block,
klonidin akan meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada medula spinalis
mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik 2 dengan ramus dorsalis. Keuntungan
lain juga mungkin berupa menurunkan terjadinya postoperative shivering, inhibisi
dari kekakuan otot akibat obat opioid, gejala withdrawal dari opioid, dan pengobatan
dari beberapa sindrom nyeri kronis. Efek samping dapat berupa bradikardia,
hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut kering11.
Klonidin adalah agonis alfa2-adrenergik parsial selektif yang bekerja secara
sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya untuk
menurunkan keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat. Obat ini telah
terbukti efektif digunakan pada pasien dengan hipertensi berat atau penyakit renindependen. Dosis dewasa yang biasa digunakan per oral adalah 0,2-0,3 mg.
Ketersediaan klonidin transdermal ditujukan untuk pemberian secara mingguan pada
pasien bedah yang tidak dapat diberikan obat per oral11.
d. Efedrin
Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang secara
alami ditemukan di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai gugus OH
38
pada cincin benzena , gugus ini memegang peranan dalam efek secara langsung
pada sel efektor1.
Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor , 1, 219. Efek pada
1 di perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase. Efek pada 1
dan 2 adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat. Efek 1 berupa
takikardi tidak nyata karena terjadi penekanan pada baroreseptor karena efek
peningkatan TD20. Efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui pelepasan
NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis (pemberian
efedrin yang terus menerus dalam jangka waktu singkat akan menimbulkan efek yang
makin lemah karena semakin sedikitnya sumber NE yang dapat dilepas, efek yang
menurun ini disebut takifilaksis terhadap efek perifernya. 21 Hanya I-efedrin dan
efedrin rasemik yang digunakan dalam klinik20.
Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan
mendesak NE keluar21. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi
berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya
tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini
sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang
meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung
mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan
darah. Aliran darah ginjal dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah koroner,
otak dan otot rangka meningkat. Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah
pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin20.
e. Epinefrin (Adrenalin)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh
bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh neuronneuron tertentu yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin merupakan
39
stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf simpatis, dan stimulan
jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut jantung dan meningkatkan curah
jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan mengeluarkan efek metabolik lain.
Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan dilepas sebagai respon
terhadap hipoglikemia, stres dan rangsangan lain22.
Preparat sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai
vasokonstriktor topikal, stimulan jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan secara
intranasal, intraoral, parenteral, atau inhalasi. Sedangkan norephineprine
(noradrenalin) adalah suatu katekolamin alamiah atau neurohormon yang dilepaskan
oleh saraf adrenergik pasca ganglion dan beberapa saraf otak, juga disekresi oleh
medula adrenal sebagai respon terhadap rangsangan splanchnicus dan disimpan dalam
granul kromafin. Norepineprine merupakan neurotransmitter utama yang bekerja pada
reseptor adrenergik - dan 1. Norephineprine merupakan vasopressor kuat dan
biasanya dilepaskan dalam tubuh sebagai respon terhadap hipotensi dan stres.
Preparat farmasi senyawa norephinephrine biasanya dalam bentuk garam bitartat.
f. Fentanyl
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan
sebagai
penghilang
nyeri.
Dalam
bentuk
sediaan
injeksi
IM
40
terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa terjadi jika
pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah efek samping
tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan periode tertentu
sebelum pengobatan dihentikan.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB)
meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia
pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah
dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 g
menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek
apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek samping
3.3
Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontiunitas tulang dan ditentukan sesuai dengan
jenisnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang dapat di
absorbsinya (Smeltzer & Bare, 2002 : 2357). Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut,
keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur
yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh
tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan
tulang. (Price, 2006 : 1365).
Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan
yang disebabkan oleh kekerasan. Patah tulang dapat terjadi dalam keadaan normal atau
patologis. Pada keadaan patologis, misalnya kanker tulang atau osteoporosis, tulang
menjadi lebih lemah. Dalam keadaan ini, kekerasan sedikit saja akan menyebabkan
patah tulang. (Oswari , 2005 : 144).
41
menyimpulkan
bahwa
pengertian
fraktur
adalah
terputusnya
kontiunitas tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
atau kekerasan, bisa dalam keadaan normal atau patologis.
3.3.1
Anatomi
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat
42
Etiologi
Menurut Sachdeva dalam Jitowiyono dkk (2010: 16), penyebab fraktur dapat
43
b. Fraktur patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur, dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas), pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif.
2) Infeksi seperti osteomielitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit
nyeri.
3) Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh difisiensi vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit
polio dan orang yang bertugas di kemiliteran (Jitowiyono dkk, 2010:16).
3.3.3
Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer & Bare (2002:2358), manifestasi klinis fraktur adalah nyeri,
44
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas ekstremitas, yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas yang normal. Ektremitas tak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya
otot.
c. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang, yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang
lainnya. ( uji kripitasi dapat membuat kerusakan jaringan lunak lebih berat).
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah
bebebrapa jam atau hari setelah cedera.
3.3.4 Diagnosis
a. Pemeriksaan fisik focus: Kaji kronologi dari mekanisme trauma pada paha. Sering
didapatkan keluhan nyeri pada luka terbuka.
1) Look : pada fraktur femur terbuka terlihat adanya luka terbuka pada paha
dengan deformitas yang jelas. Kaji seberapa luas kerusakan jaringan lunak
yang terlibat. Kaji apakah pada luka terbuka ada fragmen tulang yang keluar
dan apakah terdapatnya kerusakan pada jaringan beresiko meningkat respon
syok hipovolemik. Pada fase awal trauma kecelakaan lalu lintas darat yang
mengantarkan pada resiko tinggi infeks.
Pada fraktur femur tertutup sering ditemukan kehilangan fungsi,deformitas,
pemendekan ekstremitas atas karena kontraksi otot, kripitasi, pembengkakan,
dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan perdarahan
45
yang mengikuti fraktur. Tanda ini dapat terjadi setelah beberapa jam atau
beberapa setelah cedera.
2) Feel : adanya keluhan nyeri tekan dan adanya kripitasi
3) Move : daerah tungkai yang patah tidak boleh digerakan, karena akan
memberika respon trauma pada jaringan lunak disekitar ujung fragmen tulang
yang patah (Muttaqin, 2009: 303).
b. Pemeriksaan Diagnosis Fraktur
a. Pemeriksaan X-Ray : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
b. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
c. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna pada sisi fraktur
atau organ jauh pada trauma multipel.
d. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beeban kreatinin untuk klirens ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multipel, atau cidera hati ( Doenges dalam Jitowiyono, 2010:21).
3.3.5
Penatalaksanaan fraktur
fragmen
tulang keposisinya
(ujung-ujungnya
saling
46
pin, kawat, skrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang
yang solid terjadi.
Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator
eksterna.
Mempertahankan dan mengembalikan fungsi : segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan.
- Open Reduksi Internal Fiksasi (ORIF) adalah sebuah prosedur medis
mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang , seperti yang
diperlukan untuk beberapa patah tulang fiksasi internal. mengacu pada
fiksasi sekrup dan / atau piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi
penyembuhan.
ORIF
mengacu
pada
prosedur
pembedahan
untuk
47
memulihkan kekuatan, rentang gerak , dan daya tahan daerah yang terkena.
Hal ini juga dapat membantu dengan manajemen nyeri.
3.3.6
beberapa
hari
dan
hilang
dengan
berkurangnya
48
49
BAB 4
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
Jenis operasi
Pengambilan keputusan terapi ini sangat tepat berdasarkan buku yang ditulis oleh De
Jong tahun 2011 yang menyatakan bahwa orif adalah metode penatalaksanaan patah
tulang dengan cara pembedahan reduksi terbuka dan fiksasi internal dimana insisi
dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan ditemukan sepanjang bidang
anatomik tempat yang mengalami fraktur, kkemudian fraktur diperiksa dan diteliti.
Fraktur direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali,
sesudah reduksi, fragmen fragmen tulang dipertahankan dengan alat alat ortopedi
berupa pin, pelat, srew.
Tanggal operasi dilakukan pada 19 februari 2015, bersamaan dengan hari
terjadinya kecelakaan. Hal ini adalah keputusan yang tepat mengingat kondisi pasien
sangat mendukung dengan Hb yang normal. Menurut De Jong(2011) menyatakan
50
bahwa golden periode pada pasien trauma adalah kurang dari 6 jam. Pertolongan yang
diberikan sebelum melampaui 6 jam akan mengurangi angka resiko kecacatan.
Jenis anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah SAB (Subarachnoid
Blok). Hal ini dipilih karena pasien obesitas dengan MBI 29,3 (obesitas 2) sehingga
pemilihan general anestesi tidak diutamakan dan lebih memilih spinal anestesi. Lunn
(2011) menyatakan bahwa kebanyakan ahli bedah bahkan ahli anestesi akan menunda
operasi pada pasien obese bilamana mungkin sampai tercapainya penurunan berat
badan yang cukupkecuali kegawat daruratan. Harus dimengerti bahwa terdapat resiko
kematian yang serius bila pasien obese berat dianestesi. Risiko ini muncul akibat efek
kesulitan airway, kesulitan mencari vena, usaha ventilasi yang buruk, pembedahan
yang cenderung lama dan sulit, meningkatnya risiko infeksi luka, thrombosis vena,
dan emboli pulmo. Pada pasien obese yang dalam kondisi berpuasa atau kelaparan,
tidak hanya volume isi lambung yang meningkat melainkan isi lambung juga menjadi
lebih asam.
Premedikasi yang digunakan memakai fentanyl 50 mg. fentanil termasuk
golongan obat analgesic narkotika. Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk
menghilangkan rasa sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di
dalam sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan
ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan
Induksi yang digunakan pada operasi ini dengan menggunakan marcain heavy
0,5% 15 mg. Obat anestesi ini digunakan untuk membebaskan pasien dari rasa sakit
pada waktu operasi. Marain berisi levobuvikain yan heavy. Heavy berarti berat jenis
marcain lebih berat daripada nerat jenis liquour cerebrospinalis.
Pemeliharaan kondisi pasien saat operasi menggunakan oksigen. Menurut
Lunn (2011) menyatakan bahwa oksigen sangat diperlukan pada saat obat-obatab
anestesi bekerja dalam tubuh. Ikatan oksigen dengan hemoglobin menurun dengan
meningkatnya karbon dioksida arteri. Namun, disosiasi oksigen meningkat. Ambilan
51