Anda di halaman 1dari 15

Pandangan Para Ulama Tentang Isbal

Added by al-Intima on 20 October 2014.


Saved under Syariah
FacebookTwitter

Oleh: Farid Numan Hasan


Mukaddimah
Seiring dengan arus kebangkitan Islam, maka kesadaran untuk berislam secara
kaffah menjadi hal yang niscaya, baik oleh muslim dan muslimah. Semangat
mengamalkan sunah nabi adalah bagian dari cakupan kekaffahan pemahaman
Islam seseorang. Termasuk keinginan sebagian pemuda dakwah memendekkan
pakaian di atas mata kaki bahkan setengah betis. Tentu tidak lupa juga
memanjangkan jenggot, memendekkan kumis, serta menutup aurat secara
sempurna bagi para muslimahnya.
Fenomena ini harus disambut gembira dan diberikan dukungan, sebagai
pengimbang atas betapa kuatnya dukungan terhadap kejahiliyahan akhlak pada
zaman ini. Selain memang itu sebagai syiar Islam. Namun, di tengah arus
kebangkitan Islam, bukan bebarti tanpa masalah internal. Sering kita melihat
sesama aktifis Islam saling serang hanya karena perselisihan pemahaman fiqih
semata, termasuk isbal (pelakunya disebut musbil) ini. Biasanya sikap keras
dilancarkan oleh pihak yang memahami bahwa isbal itu haram walaupun tanpa
rasa sombong. Sementara pihak yang diserang pun tentunya memberikan
pembelaan dengan berbagai hujjah yang mereka miliki. Akhirnya, bukan masalah
ini saja dan ini bukan yang terakhir, para aktifis Islam berputar-putar pada
masalah yang memang sejak lama para ulama berselisih, mereka hanyalah
melakukan siaran ulang saja. Sementara, banyak amal-amal pokok dan produktif
menjadi tertinggal.
Seharusnya tidak boleh ada sikap keras dalam masalah isbal ini, dan seharusnya
mereka tahu adanya perselisihan yang masyhur sejak dahulu. Namun bagi yang

ingin menghindar isbal, semoga Allah memberikan pahala atasnya sebagai upaya
menghidupkan sunah.

Sebagian hadits-hadits Tentang Larangan


Isbal
Hadits 1:


Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
Beliau bersabda: Apa saja yang melebihi dua mata kaki dari kain sarung, maka
tempatnya di neraka.(HR. Bukhari No. 5787, An Nasai dalam As Sunan
Al Kubra No. 9705, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul
Umal No. 41158)
Hadits 2:



Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:


Allah tidak melihat pada hari kiamat nanti kepada orang yang menjulurkan
kainnya (hingga melewati mata kaki) dengan sombong. (HR. Bukhari No.
5788. Muslim No. 2087)
Hadits 3:




Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa


Sallam bersabda: Sesungguhnya orang yang menjulurkan pakaiannya dengan
sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti. (HR.
Muslim No. 2085. Ibnu Majah No.3569, 3570, An Nasai No. 5327,
Ahmad No. 4489)
Hadits 4:



Dari Ibnu Umar, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa


Sallam bersabda: Ketika seorang laki-laki memanjangkan kainnya dengan
sombong, dia akan ditenggelamkan dengannya dibumi dan menjerit-jerit sampai
hari kiamat. (HR. Bukhari No. 3485. Muslim No. 2088, Ahmad No.
5340)

Hadits 5:







Dari Salim, dari Ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa


Sallam bersabda: Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong
maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti. Abu Bakar berkata:
Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku salah seorang yang celaka, kainku turun,
sehingga aku selalu memeganginya. Maka NabiShallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda: Sesungguhnya kamu bukan termasuk orang yang
melakukannya karena kesombongan. (HR. Bukhari No. 3665, An
Nasai No. 5335,Ahmad No. 5351)
Hadits 6:






Dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku melewati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam, dan kain sarungku menjulur ke bawah. Beiau bersabda: Wahai
Abdullah, naikan kain sarungmu. Maka aku pun menaikannya. Lalu Beliau
bersabda lagi: Tambahkan. Maka aku naikkan lagi, dan aku senantiasa
menjaganya setelah itu. Ada sebagian orang yang bertanya: Sampai mana
batasan? Beliau bersabda: Setengah betis. (HR. Muslim No. 2086, Al
Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3134)
Hadits 7:




Dari Hudzaifah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:


Tempatnya Izar (kain sarung) adalah sampai setengah betis, jika kamu tidak
mau maka dibawahnya, jika kamu tidak mau maka di bawah betis dan tidak ada
hak bagi kain itu atas kedua mata kaki.(HR. At Tirmidzi No. 1783.
Katanya: hasan shahih, An Nasai No. 5329, Ibnu MajahNo. 3572)
Dan masih banyak hadits shahih yang semisal ini.

Perkataan Para Ulama


Para ulama terbagi menjadi tiga kelompok dalam memaknai hadits-hadits di
atas. Ada yang mengharamkan isbal secara mutlak, baik dengan sombong atau
tidak. Ada yang memakruhkan. Ada pula yang membolehkan jika tanpa
kesombongan. Ada pun jika dengan sombong, semua mengharamkan tanpa
perbedaan pendapat.
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid Rahimahullah:

Dan Jumhur (mayoritas) Ulama dari kalangan empat madzhab tidak


mengharamkannya.

Kelompok yang membolehkan


Kelompok ini mengatakan bahwa dalil-dalil larangan isbal
adalah global (muthlaq), sedangkan dalil global harus dibatasi oleh dalil yang
spesifik (muqayyad). Jadi, secara global isbal memang dilarang yaitu haram,
tetapi ada sebab (illat) yang men-taqyid-nya yaitu karena sombong (khuyala).
Kaidahnya adalah Hamlul muthlaq ilal muqayyad (dalil yang global mesti
dibawa/dipahami kepada dalil yang mengikatnya/mengkhususkannya) .
Imam Abu Hanifah Radhiallahu Anhu
Dalam Al Adab Asy Syariyyah, Ibnu Muflih berkata:



Berkata pengarang Al Muhith dari kalangan Hanafiyah, dan diriwayatkan


bahwa Abu Hanifah Rahimahullah memakai mantel mahal seharga empat ratus
dinar, yang menjulur hingga sampai tanah. Maka ada yang berkata kepadanya:
Bukankah kita dilarang melakukan itu? Abu Hanifah
menjawab: Sesungguhnya larangan itu hanyalah untuk yang berlaku
sombong, sedangkan kita bukan golongan mereka. (Imam Ibnu Muflih, Al
Adab Asy Syariyyah, Juz. 4, Hal. 226. Mawqi Al Islam)
Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu Anhu
Masih dalam Al Adab Asy Syariyyah:

Dalam satu riwayat Hambal berkata: Menjulurnya kain sarung, jika tidak
dimaksudkan untuk sombong, maka tidak mengapa. Demikian ini merupakan
zhahir perkataan lebih dari satu sahabat-sahabatnya (Imam
Ahmad) rahimahumullah. (Ibid)
Disebutkan dalam riwayat lain bahwa Imam Ahmad juga mengharamkan. (Ibid)
Sementara dalam Kasysyaf Al Qina disebutkan:
(
)
:

` Berkata Imam Ahmad dalam riwayat Hambal: Menjulurkan kain sarung, dan
memanjangkan selendang (sorban) di dalam shalat, jika tidak ada maksud
sombong, maka tidak mengapa (selama tidak menyerupai wanita), jika demikian
maka itu berbuatan keji.(Imam Al Bahuti, Kasysyaf Al Qina,
2/ 304. Mawqi Al Islam. Juga Imam Ar Rahibani, Mathalib Ulin
Nuha, 2/363. Mawqi Al Islam Lihat juga Imam Ibnu
Taimiyah, Syarhul Umdah, Hal. 361. Cet. 1, 1998M-1428H. Darul
Ashimah, Riyadh. KSA. )
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Masih dalam Al Adab Asy Syariyyah:


Syaikh Taqiyyuddin Rahimahullah (maksudnya Ibnu Taimiyah) memilih untuk


tidak mengharamkannya, dan tidak melihatnya sebagai perbuatan makruh, dan
tidak pula mengingkarinya. (Ibid)
Beliau berkata dalam kitab Syarhul Umdah:

Ada pun jika memakainya tidak dengan cara sombong, tetapi karena ada sebab
atau hajat (kebutuhan), atau tidak bermaksud sombong dan menghias dengan
cara memanjangkan pakaian, dan tidak pula selain itu, maka itu tidak apa-apa.
Ini juga pendapat yang dipilih oleh Al Qadhi dan selainnya. (Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, Syarhul Umdah, Hal. 361)
Imam Syarfuddin Musa Al Hijawi Rahimahullah
Beliau ulama bermadzhab Hambali, berkata dalam kitab Al Iqna:

Maka, sesungguhnya menjulurkan pakaian karena ada kebutuhan seperti


menutupi betis yang buruk, tanpa adanya sombong, maka itu mubah
(boleh). (Al Iqna fi Fiqh Al Imam Ahmad bin Hambal, 1/91. Darul
Marifah, Beirut, Libanon)
Imam Abul Hasan Al Maliki Rahimahullah
Beliau ulama bermadzhab Maliki, penyusun kitab Kifayatuth Thaalib. Berkata
Imam Ali bin Ahmad Ash Shaidi Al Adawi Rahimahullah dalam Hasyiyah-nya
terhadap Kifayatuth Thalib:
:

Kemudian saya katakan: perkataan Al Mushannif (penyusun kitab Kifayatutj


Thalib, pen) menunjukkan kebolehan bagi laki-laki menjulurkan pakaiannya atau
kain sarungnya jika dia tidak bermaksud sombong atau ujub. (Hasyiyah Al
Adawi, 8/111. Mawqi Al Islam)

Kelompok yang Memakruhkan


Kelompok ini adalah kelompok mayoritas, mereka menggunakan kaidah yang
sama dengan kelompok yang membolehkan, yakni larangan isbal mesti dibatasi
oleh khuyala (sombong). Hanya saja kelompok ini tidak mengatakan boleh jika
tanpa sombong, mereka menilainya sebagai makruh tanzih, tapi tidak pula
sampai haram.
Disebutkan dalam Al Mausuah:
:

Mereka berbeda pendapat dalam hal memanjangkannya sampai melewati dua


mata kaki dengan tanpa sombong dan tanpa kebutuhan: madzhab jumhur
(mayoritas) adalah menyatakan sebagai makruh tanzih. (Al Mausuah Al
Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/170)
Para fuqaha Islam menyebutkan bahwa hukum makruh ada dua macam,
yakni Makruh Tanzih dan Makruh Tahrim. Makruh Tanzih adalah
makruh yang mendekati mubah (boleh). Makruh Tahrim adalah makruh yang
medekati haram.
Imam Asy Syafii dan Imam An Nawawi Rahimahumallah
Dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An Nawawi berkata:

Tidak boleh isbal di bawah mata kaki jika sombong, jika tidak sombong
maka makruh(dibenci). Secara zhahir hadits-hadits yang ada memiliki
pembatasan (taqyid) jika menjulurkan dengan sombong, itu menunjukkan
bahwa pengharaman hanya khusus bagi yang sombong. (Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim, Kitab Al Libas Waz Zinah Bab Tahrim
Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz , Juz. 7, Hal. 168, No
hadits. 3887. Mawqi Ruh Al Islam)
Dalam kitab lainnya:

:
:

Berkata An Nawawi: Isbal dibawah mata kaki dengan sombong (haram


hukumnya, pen), jika tidak sombong maka makruh. Demikian itu merupakan
pendapat Asy Syafii tentang perbedaan antara menjulurkan pakaian dengan
sombong dan tidak dengan sombong. Dia berkata: Disukai memakai kain sarung
sampai setengah betis, dan boleh saja tanpa dimakruhkan jika dibawah betis
sampai mata kaki, sedangkan di bawah mata kaki adalah dilarang dengan
pelarangan haram jika karena sombong, jika tidak sombong maka
itu tanzih. Karena hadits-hadits yang ada yang menyebutkan dosa besar bagi
pelaku isbal adalah hadits mutlak (umum), maka wajib mentaqyidkan
(mengkhususkan/membatasinya) hadits itu adalah karena isbal yang dimaksud
jika disertai khuyala (sombong). Selesai. (Imam Ibnu Hajar, Fathul
Bari, Kitab Al Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz.
10, Hal. 263. Darul Fikri. Lihat juga Imam Ash Shanani, Subulus
Salam, Kitab Al Jami Bab Laa Yanzhurullah ila man Jarra
Tsaubahu Khuyala, Juz. 4, Hal. 158. Cet. 4, 1960M-1379H. Maktabah
Mushtafa Al Baabi Al Halabi. Lihat juga Imam Asy Syaukani,Nailul
Authar, Kitab Al Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al Hamil , Juz.
2, Hal. 114. Maktabah Ad Dawah )
Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi juga membuat bab khusus
(yakni Bab ke 119) tentang masalah ini berjudul:

Bab Sifat Panjangnya Gamis, Kain Sarung, dan Ujung Sorban, dan
haramnyaisbal (memanjangkan) hal tersebut karena sombong,
dan makruh jika tidak sombong. (Imam An Nawawi, Riyadhus
Shalihin, Hal. 257. Cet. 3, 1998H-1419H. Tahqiq: Syaikh Syuaib Al
Arnauth Muasasah Ar Risalah, Beirut)
Imam At Tirmidzi Rahimahullah
Dalam kitab Sunan-nya Beliau menulis Bab: Maa Jaa fi Karahiyati jaaril
Izaar (Bab Tentang riwayat dimakruhkannya menjulurkan kain sarung)
Imam Ibnu Abdil Barr Rahimahullah
Beliau berkata sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar- sebagai berikut:
: .

Ibnu Abdil Barr berkata: Bisa difahami bahwa menjulurkan pakaian bukan
karena sombong tidaklah termasuk dalam ancaman hadits tersebut, hanya saja
memang menjulurkan gamis dan pakaian lainnya, adalah tercela di segala
keadaan. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man
Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 10, Hal. 263. Darul Fikr. Lihat
juga Imam Ash Shanani, Subulus Salam, Kitab Al Jami Bab Laa
Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala, Juz. 4, Hal. 158.
Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar
Rukhshah fi Al Libas Al Hamil , Juz. 2, Hal. 114)
Imam Al Qadhi Iyadh Rahimahullah
Beliau berkata:
. : : .

Berkata para ulama: Secara global (umumnya) dimakruhkan setiap hal yang
melebihi dari kebutuhan dan berlebihan dalam pakaian, baik berupa panjangnya
dan lebarnya. Wallahu Alam. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Kitab Al
Libas Waz Zinah Bab Tahrim Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa
Yajuz , Juz. 7, Hal. 168)
Imam Az Zarqani menyebutkan:


:

.

Disebutkan dalam Al Mawahib: apa saja dalam hal ini yang termasuk dilakukan
dengan cara sombong maka tak ragu lagi haramnya, dan apa saja yang dilakukan

karena itu adalah hal yang telah menjadi adat maka tidak haram, selama tidak
sampai menjulurkan ujung yang dilarang. Al Qadhi Iyadh menukil dari para
ulama bahwa dimakruhkan setiap tambahan yang melebihi kebiasaan dalam
pakaian, semisal pakaian yang melebihi dalam panjang dan lebarnya.(Imam Az
Zarqani, Syarh Ala Al Muwaththa, 1/273)
Jadi, makruhnya itu adalah jika lebih dan tambahan itu diluar kebiasaan yang
terjadi lazimnya di masyarakat. Nah, zaman ini dan dibanyak negeri muslim,
umat Islam terbiasa dengan isbal sebatas mata kaki lebih sedikit. Bisa jadi ini
juga telah menjadi bagian dari kebiasan yang dimaksud, dan makruh jika
melewati kebiasaan itu.
Namun ada pula yang mengatakan bahwa standar kebiasaan tersebut hanyalah
kebiasaan yang terjadi masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,bukan selainnya.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah
Beliau berkata:

.

Dimakruhkan isbal (memanjangkan) gamis (baju kurung), kain sarung, dan


celana panjang, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan
menaikannya. Tetapi jika isbal dengan sombong maka haram. (Imam Ibnu
Qudamah, Al Mughni, Al Fashlu Ats Tsalits Maa Yakrahu fi Ash
Shalah, Juz. 3, Hal. 21)
Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi Rahimahullah
Beliau berkata ketika menjelaskan makna hadits, tidak ada hak bagi kain
terhadap dua mata kaki:

.

Yaitu kedua mata kaki tidak boleh tertutup dengan kain, dan zahirnya kalimat
ini merupakan pembatasan, jika melakukannya dengan tidak sombong. Ya, jika
sampai lebih bawah dari tempatnya (mata kaki) dengan sombong maka perintah
menaikannya lebih keras, dan jika tidak dengan sombong maka perintahnya lebih
ringan. (Imam Abul Hasan as Sindi,Syarh Sunan An Nasai, Kitab Az
Zinah Bab Maudhi al Izar, Juz. 7, Hal. 68, No hadits. 5234. Lihat
juga Hasyiah As Sindi Ala Ibni Majah, Kitab Al Libas bab Maudhi al
Izar Aina Huwa, Juz. 6, Hal. 493, No hadits. 3562.)
Dalam Fatawa Al Hindiyah tertulis:

Isbal-nya kain seorang laki-laki di bawah mata kaki, jika dia tidak sombong,
maka hukumnyamakruh tanzih demikian di sebut dalam Al
Gharaib. (Fatawa Al Hindiyah, Juz. 43, Hal. 183)
Memanjangkan pakain pada shalat hingga melebihi mata kaki, bahkan
menyentuh tanah adalah makruh menurut mayoritas ulama. Tersebut dalam Al
Mausuah:



Maka, menjulurkan pakaian dalam shalat dengan makna dijulurkan begitu saja
tanpa dipakai- adalah makruh menurut mayoritas ahli fiqih secara mutlak, sama
saja baik yang dengan sombong atau tidak. (Al Mausuah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 3/144)
Ada pun memanjangkan izar (kain) dengan sombong maka itu haram, mereka
membedakan hukumnya dengan memanjangkan tsaub (pakaian). (Ibid)

Kelompok Ulama yang Mengharamkan


Kelompok ini berpendapat bahwa isbal adalah haram baik dengan sombong atau
tidak, dan dengan sombong keharamannya lebih kuat dengan ancaman neraka,
jika tidak sombong maka tetap haram dan Allah Taala tidak mau melihat di
akhirat nanti kepada pelakunya (musbil). Kelompok ini memahaminya sesuai
zahirnya hadits.
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah
Dahulu saya mengira beliau hanya memakruhkan, yaitu ketika saya membaca
bagian berikut ini:


.

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa menjulurkan kain sarung dengan


sombong adalah dosa besar, sedangkan jika tidak dengan sombong menurut
zhahir hadits adalah haram juga. Tetapi hadits-hadits yang ada menunjukkan
harus dibatasi dengan khuyala (kesombongan) lantaran hadits-hadits yang
menyebutkan ancaman dan celaan isbal masih bersifat mutlak (umum), maka
dari itu yang umum harus dibatasi di sini. Maka, tidak haram menjulurkan
pakaian jika selamat dari rasa sombong. (Ibid)

Ternyata jika kita baca secara utuh, tulisan di atas belum selesai, Imam Ibnu
Hajar hanya sedang memaparkan berbagai pendapat dan alasannya. Adapun
pendapatnya sendiri ternyata dia juga mengharamkan baik dengan sombong atau
tidak sombong. Berikut ini ucapannya:



: :

:

Kesimpulannya, isbal itu melazimkan terjadinya menjulurnya pakaian, dan


menjulurkan pakaian melazimkan terjadinya kesombongan, walau pun
pemakainya tidak bermaksud sombong. Hal ini dikuatkan oleh riwayat Ahmad
bin Mani dari jalur lain Ibnu Umar yang diamarfukan: Jauhilah oleh kalian
menjulurkan kain sarung, karena sesungguhnya menjulurkan kain sarung
merupakan kesombongan (al makhilah). Ath Thabarani meriwayatkan dari
Abu Umamah, Ketika kami bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
kami berjumpa dengan Amru bin Zurarah al Anshari yang mengenakan mantel
secara isbal, maka RasulullahShallallahu Alaihi wa Sallam mengambil bagian
tepi pakaiannya merendahkan dirinya kepada Allah, lalu berdoa: Ya Allah
hambaMu, anak hambaMu, anak hambaMu yang perempuan. (bisa juga
bermakna Demi Allah), sampai akhirnya Amru mendengarkan itu, lalu dia
berkata: Ya Rasulullah sesungguhnya aku merapatkan kedua betisku
(maksudnya jalannya tidak dibuat-buat, pen). Maka nabi bersabda: Wahau
Amru, sesungguhnya Allah telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaikbaiknya, wahai Amru sesungguhnya Allah tidak menyukai orang
yang musbil. (Ibid. Lihat juga Imam Ash Shanani, Subulus Salam,
Kitab Al Jami Bab Laa Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu
Khuyala, Juz. 4, Hal. 158 )
Imam Abu Bakar bin Al Arabi Rahimahullah
Sebagian kalangan Malikiyah ada yang mengharamkan di antaranya adalah
Imam Ibnul Arabi, berikut perkataannya:
: :
. :
.

Ibnul Arabi berkata: Tidak boleh bagi seorang laki-laki membiarkan


pakaiannya hingga mata kakinya lalu berkata: Saya menjulurkannya dengan
tidak sombong. Karena secara lafaz, sesungguhnya larangan tersebut telah
mencukupi, dan tidak boleh juga lafaz yang telah memadai itu ada yang
menyelisihinya secara hukum, lalu berkata: Tidak ada perintahnya,

karena illat (alasannya) itu tidak ada. Sesungguhnya itu adalah klaim yang tidak
benar, bahkan memanjangkan ujung pakaian justru itu menunjukkan
kesombongan sendiri. Selesai.(Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al
Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 16, Hal. 336, No
hadits. 5354. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al
Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al Hamil , Juz. 2, Hal.
114.Maktabah Ad Dawah)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah
Beliau berkata dalam fatwanya::

Banyak hadits-hadits yang semakna dengan ini, yang menunjukkan


haramnya isbal secara mutlak, walaupun pemakainya mengira bahwa dia tidak
bermaksud untuk sombong, karena hal itu menjadi sarana menuju kepada
kesombongan, selain memang hal itu merupakan israf(berlebihan), dapat
mengantarkan pakaian kepada najis dan kotoran. Ada pun jika memakainya
dengan maksud sombong perkaranya lebih berat lagi dan dosanya lebih besar.
(Majalah Al Buhuts Al islamiyah, 33/113)
Bukan hanya mereka, Imam Adz Dzahabi (bermadzhab Syafiiyyah) dan Imam Al
Qarrafi (bermadzhab Malikiyah) juga mengharamkan.
Untuk zaman ini, para ulama pun berbeda pendapat. Syaikh Al Qaradhawy tidak
mengharamkan isbal kecuali dengan sombong, begitu pula umumnya para
ulama Mesir, Pakistan, India, dan lain-lain. Sementara yang mengharamkan
seperti Syaikh Ibnu Al Utsaimin, para ulama Lajnah Daimah, sebagian ulama
Pakistan, Saudi Arabia, Yaman, dan lain-lain.
Bahkan Syaikh Ibnu Al Utsaimin menyebutkan isbal dalam shalat adalah
maksiat dan shalatnya tidak sah. Katanya:
: :


.

Ada pun hal yang diharamkan menurut sifatnya adalah seperti pakaian yang
menjulur, dia adalah seorang yang memakai pakaian katun yang mubah, tetapi
dia menurunkannya sampai melewati dua mata kaki. Maka kami katakan: ini
adalah diharamkan menurut sifatnya, dan tidak sah shalatnya, karena itu tidak
diizinkan, dan termasuk maksiat dengan pakaiannya itu, dan secara syari
hukumnya adalah batal, dan barang siapa yang beramal yang bukan termasuk

perintah kami maka itu tertolak. (Syaikh Muhammad bin Shalih Al


Utsaimin, Syarhul Mumti, 2/154. Cet. 1, 1422-1428H. Dar Ibnu Al
Jauzi)
Demikianlah masalah ini.

Mana yang Harus Kita Jalankan?


Silahkan kita menjalankan apa yang menjadi keyakinan adalah benar, tanpa ada
sikap pengingkaran terhadap yang lain. Semoga Allah Taala memberikan pahala
dan dinilai sebagai upaya taqarrub bagi siapa saja yang menaikkan pakaiannya
di atas mata kaki atau setengah betis, tanpa harus diiringi sikap merasa paling
benar, keras, dan justru sombong karena merasa sudah menjalankan sunah.
Ada akhlak para salafus shalih dan para imam yang harus kita renungi bersama,
sebagai berikut:
Imam Abu Nuaim mengutip ucapan Imam Sufyan ats Tsauri Rahimahullah,
sebagai berikut:
: .

Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih


diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau
mencegahnya. (Imam Abu Nuaim al Asbahany, Hilyatul Auliya, Juz.
3, hal. 133. )
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
.
. .

Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam
menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu
tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara
yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih
diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena
berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap
yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan
pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita
tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya. (Al
Minhaj Syarh Muslim, Juz 1, hal. 131, pembahasan hadits no.
70, Man Raa minkum munkaran ... )

Imam As Suyuthi Rahimahullah berkata dalam kitab Al Asybah wa An


Nazhair:

Kaidah yang ke-35, Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang
masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada
pendapat yang bertentangan dengan ijma (kesepakatan) para ulama. (Imam
As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, 1/285 )
Berkata Syaikh Dr. Umar bin Abdullah Kamil:
. :
.

Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu
Hanifah, Malik, Asy Syafii, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auzai, dan lainnya. Tak satu
pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti
pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan
mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran perselisihan itu. (Dr.
Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf,
hal. 32. )
Beliau juga berkata:

.

Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat
(konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar
fiqih), maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini.
Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan
tidak boleh seorang muqallid (pengekor)
mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi
fitnah. (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal Qawaid al
Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi al Islam. )
Imam Adz Dzahabi Rahimahullah berkata:
: :
.

Berkata Ibnu Al Junaid: Aku mendengar Yahya bin Main berkata:


Pengharaman nabidz(air perasan anggur) adalah benar, tetapi aku no coment,
dan aku tidak mengharamkannya. Segolongan orang shalih telah meminumnya
dengan alasan hadits-hadits shahih, dan segolongan orang shalih lainnya

mengharamkannya dengan dalil hadits-hadits yang shahih pula. (Imam Adz


Dzahabi, Siyar Alam an Nubala, Juz. 11, Hal. 88. Cet.9, 1993M1413H. Muasasah Ar Risalah, Beirut-Libanon. )
Demikian. Wallahu Alam

Anda mungkin juga menyukai