Pandangan para Ulama Tentang Isbal
Pandangan para Ulama Tentang Isbal
ingin menghindar isbal, semoga Allah memberikan pahala atasnya sebagai upaya
menghidupkan sunah.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
Beliau bersabda: Apa saja yang melebihi dua mata kaki dari kain sarung, maka
tempatnya di neraka.(HR. Bukhari No. 5787, An Nasai dalam As Sunan
Al Kubra No. 9705, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul
Umal No. 41158)
Hadits 2:
Hadits 5:
Dari Ibnu Umar, dia berkata: Aku melewati Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam, dan kain sarungku menjulur ke bawah. Beiau bersabda: Wahai
Abdullah, naikan kain sarungmu. Maka aku pun menaikannya. Lalu Beliau
bersabda lagi: Tambahkan. Maka aku naikkan lagi, dan aku senantiasa
menjaganya setelah itu. Ada sebagian orang yang bertanya: Sampai mana
batasan? Beliau bersabda: Setengah betis. (HR. Muslim No. 2086, Al
Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3134)
Hadits 7:
Dalam satu riwayat Hambal berkata: Menjulurnya kain sarung, jika tidak
dimaksudkan untuk sombong, maka tidak mengapa. Demikian ini merupakan
zhahir perkataan lebih dari satu sahabat-sahabatnya (Imam
Ahmad) rahimahumullah. (Ibid)
Disebutkan dalam riwayat lain bahwa Imam Ahmad juga mengharamkan. (Ibid)
Sementara dalam Kasysyaf Al Qina disebutkan:
(
)
:
` Berkata Imam Ahmad dalam riwayat Hambal: Menjulurkan kain sarung, dan
memanjangkan selendang (sorban) di dalam shalat, jika tidak ada maksud
sombong, maka tidak mengapa (selama tidak menyerupai wanita), jika demikian
maka itu berbuatan keji.(Imam Al Bahuti, Kasysyaf Al Qina,
2/ 304. Mawqi Al Islam. Juga Imam Ar Rahibani, Mathalib Ulin
Nuha, 2/363. Mawqi Al Islam Lihat juga Imam Ibnu
Taimiyah, Syarhul Umdah, Hal. 361. Cet. 1, 1998M-1428H. Darul
Ashimah, Riyadh. KSA. )
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Masih dalam Al Adab Asy Syariyyah:
Ada pun jika memakainya tidak dengan cara sombong, tetapi karena ada sebab
atau hajat (kebutuhan), atau tidak bermaksud sombong dan menghias dengan
cara memanjangkan pakaian, dan tidak pula selain itu, maka itu tidak apa-apa.
Ini juga pendapat yang dipilih oleh Al Qadhi dan selainnya. (Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, Syarhul Umdah, Hal. 361)
Imam Syarfuddin Musa Al Hijawi Rahimahullah
Beliau ulama bermadzhab Hambali, berkata dalam kitab Al Iqna:
Tidak boleh isbal di bawah mata kaki jika sombong, jika tidak sombong
maka makruh(dibenci). Secara zhahir hadits-hadits yang ada memiliki
pembatasan (taqyid) jika menjulurkan dengan sombong, itu menunjukkan
bahwa pengharaman hanya khusus bagi yang sombong. (Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim, Kitab Al Libas Waz Zinah Bab Tahrim
Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa Yajuz , Juz. 7, Hal. 168, No
hadits. 3887. Mawqi Ruh Al Islam)
Dalam kitab lainnya:
:
:
Bab Sifat Panjangnya Gamis, Kain Sarung, dan Ujung Sorban, dan
haramnyaisbal (memanjangkan) hal tersebut karena sombong,
dan makruh jika tidak sombong. (Imam An Nawawi, Riyadhus
Shalihin, Hal. 257. Cet. 3, 1998H-1419H. Tahqiq: Syaikh Syuaib Al
Arnauth Muasasah Ar Risalah, Beirut)
Imam At Tirmidzi Rahimahullah
Dalam kitab Sunan-nya Beliau menulis Bab: Maa Jaa fi Karahiyati jaaril
Izaar (Bab Tentang riwayat dimakruhkannya menjulurkan kain sarung)
Imam Ibnu Abdil Barr Rahimahullah
Beliau berkata sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar- sebagai berikut:
: .
Ibnu Abdil Barr berkata: Bisa difahami bahwa menjulurkan pakaian bukan
karena sombong tidaklah termasuk dalam ancaman hadits tersebut, hanya saja
memang menjulurkan gamis dan pakaian lainnya, adalah tercela di segala
keadaan. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Libas Bab Man
Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 10, Hal. 263. Darul Fikr. Lihat
juga Imam Ash Shanani, Subulus Salam, Kitab Al Jami Bab Laa
Yanzhurullah ila man Jarra Tsaubahu Khuyala, Juz. 4, Hal. 158.
Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al Libas Bab Ar
Rukhshah fi Al Libas Al Hamil , Juz. 2, Hal. 114)
Imam Al Qadhi Iyadh Rahimahullah
Beliau berkata:
. : : .
Berkata para ulama: Secara global (umumnya) dimakruhkan setiap hal yang
melebihi dari kebutuhan dan berlebihan dalam pakaian, baik berupa panjangnya
dan lebarnya. Wallahu Alam. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Kitab Al
Libas Waz Zinah Bab Tahrim Jarr ats Tsaub wa Bayan Haddi maa
Yajuz , Juz. 7, Hal. 168)
Imam Az Zarqani menyebutkan:
:
.
Disebutkan dalam Al Mawahib: apa saja dalam hal ini yang termasuk dilakukan
dengan cara sombong maka tak ragu lagi haramnya, dan apa saja yang dilakukan
karena itu adalah hal yang telah menjadi adat maka tidak haram, selama tidak
sampai menjulurkan ujung yang dilarang. Al Qadhi Iyadh menukil dari para
ulama bahwa dimakruhkan setiap tambahan yang melebihi kebiasaan dalam
pakaian, semisal pakaian yang melebihi dalam panjang dan lebarnya.(Imam Az
Zarqani, Syarh Ala Al Muwaththa, 1/273)
Jadi, makruhnya itu adalah jika lebih dan tambahan itu diluar kebiasaan yang
terjadi lazimnya di masyarakat. Nah, zaman ini dan dibanyak negeri muslim,
umat Islam terbiasa dengan isbal sebatas mata kaki lebih sedikit. Bisa jadi ini
juga telah menjadi bagian dari kebiasan yang dimaksud, dan makruh jika
melewati kebiasaan itu.
Namun ada pula yang mengatakan bahwa standar kebiasaan tersebut hanyalah
kebiasaan yang terjadi masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,bukan selainnya.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah
Beliau berkata:
.
Yaitu kedua mata kaki tidak boleh tertutup dengan kain, dan zahirnya kalimat
ini merupakan pembatasan, jika melakukannya dengan tidak sombong. Ya, jika
sampai lebih bawah dari tempatnya (mata kaki) dengan sombong maka perintah
menaikannya lebih keras, dan jika tidak dengan sombong maka perintahnya lebih
ringan. (Imam Abul Hasan as Sindi,Syarh Sunan An Nasai, Kitab Az
Zinah Bab Maudhi al Izar, Juz. 7, Hal. 68, No hadits. 5234. Lihat
juga Hasyiah As Sindi Ala Ibni Majah, Kitab Al Libas bab Maudhi al
Izar Aina Huwa, Juz. 6, Hal. 493, No hadits. 3562.)
Dalam Fatawa Al Hindiyah tertulis:
Isbal-nya kain seorang laki-laki di bawah mata kaki, jika dia tidak sombong,
maka hukumnyamakruh tanzih demikian di sebut dalam Al
Gharaib. (Fatawa Al Hindiyah, Juz. 43, Hal. 183)
Memanjangkan pakain pada shalat hingga melebihi mata kaki, bahkan
menyentuh tanah adalah makruh menurut mayoritas ulama. Tersebut dalam Al
Mausuah:
Maka, menjulurkan pakaian dalam shalat dengan makna dijulurkan begitu saja
tanpa dipakai- adalah makruh menurut mayoritas ahli fiqih secara mutlak, sama
saja baik yang dengan sombong atau tidak. (Al Mausuah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 3/144)
Ada pun memanjangkan izar (kain) dengan sombong maka itu haram, mereka
membedakan hukumnya dengan memanjangkan tsaub (pakaian). (Ibid)
Ternyata jika kita baca secara utuh, tulisan di atas belum selesai, Imam Ibnu
Hajar hanya sedang memaparkan berbagai pendapat dan alasannya. Adapun
pendapatnya sendiri ternyata dia juga mengharamkan baik dengan sombong atau
tidak sombong. Berikut ini ucapannya:
: :
:
karena illat (alasannya) itu tidak ada. Sesungguhnya itu adalah klaim yang tidak
benar, bahkan memanjangkan ujung pakaian justru itu menunjukkan
kesombongan sendiri. Selesai.(Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al
Libas Bab Man Jarra Tsaubahu min Al Khuyala, Juz. 16, Hal. 336, No
hadits. 5354. Lihat juga Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Kitab Al
Libas Bab Ar Rukhshah fi Al Libas Al Hamil , Juz. 2, Hal.
114.Maktabah Ad Dawah)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah
Beliau berkata dalam fatwanya::
Ada pun hal yang diharamkan menurut sifatnya adalah seperti pakaian yang
menjulur, dia adalah seorang yang memakai pakaian katun yang mubah, tetapi
dia menurunkannya sampai melewati dua mata kaki. Maka kami katakan: ini
adalah diharamkan menurut sifatnya, dan tidak sah shalatnya, karena itu tidak
diizinkan, dan termasuk maksiat dengan pakaiannya itu, dan secara syari
hukumnya adalah batal, dan barang siapa yang beramal yang bukan termasuk
Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam
menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu
tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara
yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih
diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena
berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap
yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan
pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita
tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya. (Al
Minhaj Syarh Muslim, Juz 1, hal. 131, pembahasan hadits no.
70, Man Raa minkum munkaran ... )
Kaidah yang ke-35, Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang
masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada
pendapat yang bertentangan dengan ijma (kesepakatan) para ulama. (Imam
As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, 1/285 )
Berkata Syaikh Dr. Umar bin Abdullah Kamil:
. :
.
Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu
Hanifah, Malik, Asy Syafii, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auzai, dan lainnya. Tak satu
pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti
pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan
mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran perselisihan itu. (Dr.
Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf,
hal. 32. )
Beliau juga berkata:
.
Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat
(konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar
fiqih), maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini.
Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan
tidak boleh seorang muqallid (pengekor)
mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi
fitnah. (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab al Hiwar wal Qawaid al
Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi al Islam. )
Imam Adz Dzahabi Rahimahullah berkata:
: :
.