Pedoman Memperoleh Daging Segar PDF
Pedoman Memperoleh Daging Segar PDF
SEGAR
YANG SEHAT, AMAN DAN LAYAK DIKONSUMSI
YUDI PRASTOWO,drh
2014
DAFTAR ISI
halaman
Pengantar Penulis
Pendahuluan
Penyembelihan Ternak
Kesejahteraan Hewan
Prosedur Pemeriksaan Ternak dan Daging
Prinsip-prinsip Umum Pemeriksaan Antemortem dan
Postmortem ternak konsumsi
Pemeriksaan antemortem
Pemeriksaan postmortem
Hasil penilaian
Kondisi akut versus local
PENGANTAR PENULIS
Rumah Potong Hewan (RPH) adalah komplek bangunan dengan desain tertentu yang
dipergunakan sebagai tempat memotong hewan secara benar bagi konsumsi
masyarakat luas serta harus memenuhi persyaratan teknis tertentu. Dengan
dilaksanakan pemeriksaan antemortem dan post mortem secara benar, diharapkan
karkas, daging dan organ dalam dapat memenuhi persyaratan aman dan layak
dikonsumsi manusia.
Untuk memenuhi peningkatan permintaan akan daging dan hasil olahannya, RPH
memegang peran penting sebagai sarana penting yang diperlukan untuk meningkatkan
pelayanan masyarakat sekaligus pemutusan mata rantai penularan penyakit zoonosa
(dari hewan ke manusia ), sehingga karkas, daging dan organ dalamnnya, sehat, aman
dan layak dikonsumsi serta memenuhi ketenraman bathin masyarakat.
Pemeriksaan dimulai dari sejak penyembelihan bagi ternak yang dipersyaratkan halal,
dan tidak memfaatkan darah sebagai bahan konsumsi. Pencegahan pengkonsumsian
daging bangkai seperti ayam tiren disembelih seolah-olah berasal dari RPH merupakan
permasalahan tersendiri, apabila konsumen tidak dapat membedakannya. Pemeriksaan
kehalalan daging segar dari hewan yang dipersyaratkan merupakan prasyarat untuk
terpenuhinya kesehatan, keamanan dan ketentraman bathin. Pemeriksaan prasyarat
halal di RPH ataupun berbagai tempat pemotongan hewan di Indonesia, khususnya
pemotongan unggas di pasarpasar tradisional sering terabaikan. Hal ini kemungkinan
keterbatasan aparat atau kekurangan pedulian masyarakat karena faktor keterbatasan
pengetahuan tentang kesehatan, keamanan dan kelayakan daging dikonsumsi
Pada hakekatnya fungsi RPH bagi kesehatan masyarakat, meliputi:
1. aspek teknis
a. RPH sebagai tempat dilaksanakan pemotongan hewan secara benar sesuai
standar teknis
b. RPH sebagai tempat pem antemortem dan postmortem untuk mencegah
penularan penyakit termasuk zoonosa
c. RPH bagian surveilans dengan mengidentifikasi penyakit hewan menular yang
terjadi untuk dipantau dan penulusuran balik ke daerah asal yang dilakukan
melalui penelitian dan/atau penyidikan lebih lanjut
d. RPH sebagai tempat seleksi dalam pengendalian pemotongan ternak
sapi/kerbau betina yang masih produktif.
RPH merupakan salah satu komponen agribisnis di sektor hilir berkaitan erat di
sektor hulu yaitu seperti pasar/los daging perlu mendapat perhatian pembenahan
oleh berbagai pihak yang berwenang dan pengawasan secara terpadu semua pihak.
2.
aspek sosial
RPH sebagai sarana pelayanan kepada masyarakat dalam penyediaan daging yang
aman dan layak dikonsumsi serta halal bagi ternak yang dipersyaratkan.
3.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m. Standar
Nasional
Indonesia
SNI-19-14001-2005
Sistem
manajemen
o.
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu di bidang kesehatan masyarakat veteriner dan ilmu kesehatan daging merupakan
kegiatan dalam suatu mata rantai pangan asal hewan, yang dimulai dari sejak
pengumpulan informasi dimana ternak berasal terkait status kesehatan dan keamanan
lingkungan dan pemberian pakan (pre harvest) hingga ternak yang disembelih di Rumah
Potong Hewan/RPH (post harvest), sehingga diperolehnya daging yang layak
dikonsumsi. Aktifitas tersebut merupakan prasyarat untuk memperoleh daging ternak
yang sehat dan layak dikonsumsi.
Pada pengawasan penyembelihan halal bagi ternak konsumsi yang dipersyaratkan,
maka diharapkan manfaat daging akan menjadi sumbangan penyediaan protein hewani
penyediaan daging segar di Indonesia. Sedangkan melalui pemeriksaan antemortem
dan postmortem yang baik, diharapkan terpenuhinya tujuan dari persyarat kesehatan
dan keamanan pangan asal hewan sesuai standar. Uraian pemeriksaan antemortem
dan postmortem dalam tulisan ini diharapkan dapat menjadikan rujukan bagi para
dokter hewan dan paramedic veteriner dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan
daging di RPH.
Gambar 1: Kepala sapi lokal yang dijajakan di pasar tradisional lolos dari pemeriksaan.post
mortem, menunjukkan tidak ada pengawasan di pasar tradisional pada los daging
BAB II
PENYEMBELIHANTERNAK
Metode Islam Penyembelihan Ternak Bagi Yang Dipersyaratkan
Kebersihan dan kesehatan orang yang menyembelih dan ternak konsumsi yang
disembelih.
Zakkaytum adalah kata kerja arab berasal dari kata dasar kata Zakah (kesucian).
Hal ini mengandung makna terhadap ternak dan orang yang menyembelih harus
juga bersih dan sehat. Oleh karena itu model Islam dalam penyembelihan ternak
konsumsi mempersyaratkan hal sebagai berikut:
a. Ternak yang disembelih menggunakan pisau tajam.
Ternak yang disembelih dengan menggunakan pisau tajam dimaksudkan
agar dapat secara cepat dilaksanakan sehingga meminimalisir rasa sakit atau
penderitaan ternak tersebut seolah-olah terbius.
b.
2.
3.
Gambar 3: Pengaruh penanganan Kesejahteran Hewan yang buruk berdampak pada daging yang dihasilkan
4.
Gambar 4: Restrain ternak sapi secara tradisional dan menggunakan restraint mover
Dalam ajaran Islam melarang mengkonsumsi darah, daging babi, bangkai. Kebanyakan
pada masa lalu selalu hal tersebut diatas dikaitkan dengan penyakit seperti cacing pita
pada daging babi, darah dan bangkai begitu pula. Namun secara ilmu pengetahuan,
Allah SWT memberitahukan kepada manusia agar menjauhi hal tersebut diatas untuk
kebaikan manusia itu sendiri.. Darah dan daging babi selalu terkait keturunan dan sifat
yang dimiliki makhluk tersebut.
Dalam ilmu kedokteran hewan babi memiliki 16 golongan dan iso & heteroantigen darah
(A/2,B/2,C/1,D/2,E/14,F/4,G/2,H/5,I/,J/2,K/5.L/12.M/8,N/1,O/2,S/1) paling lengkap
daripada seluruh hewan di dunia. Kemiripan golongan ABO pada babi mirip yang dimiliki
darah manusia. Golongan darah manusia ada 4 yaitu A/1, B/1, O/2 dan AB/0,
sedangkan kera 6 golongan darah yaitu G/4,H/2,I/2,J/2,K/1,L/11. Untuk sapi ada 12
golongan darah, domba 7 dan ayam 12 yang ada kemiripan manusia yaitu golongan A
dan B.
Dalam ilmu pengetahuan golongan darah digunakan untuk menentukan unsur genetik
dari sel dinding darah merah yang mengandung glycogen dikenal sebagai Allele. Allele
adalah salah satu dari sejumlah bentuk alternatif pada gen (faktor keturunan) yang
memiliki lokus genetik yang sama. Dipercaya antigen dalam darah yang
mengandungAllele atau hubungan samaantar gen (unsur keturunan dan sifat) yang
diklasifikasikan dalam kelompok golongan darah sama dan aglutinin.Simbiose allelic
dari antigen dari kelompok yang sama,akan terbawa oleh aliran darah konsumen, dan
akan menyebabkan terjadi perubahan sifat gen lebih kearah sifat negatif.
Dalam perkembangan ilmu bioteknologi abad 21 telah diketahui bahwa allelic dari
golongan darah yang sama seperti ABO pada manusia dan babi bisa bersimbiose antar
antigen yang menghasilkan materi gen yang sama tetapi berbeda sifat. Sifat keturunan
kebinatangan tersebut patut diduga dapat merekat dalam sifat manusia melalui darah,
Daging babi yangberasal dari susunan allelic yang sama dengangolongan darah atau
antigen yang mirip dimiliki manusia makadiduga akan mewariskan sifat genbabi
terutama kerentanan terhadap agen penyakit asal hewan dan sifat omnivoora (pemakan
segalanya).
Menyembelih dengan selain nama Allah SWT dalam Islam lebih hanya memastikan
penghindaran pengakuan sifat syirik (menduakan Tuhan) sebagai pemilik mahluk. Syirik
merupakan laranganNya keras serta merupakan dosa yang tidak terampunkan bagi
umat Islam.
BABI HEWAN OMNIVOORA
BAB III
PROSEDUR PEMERIKSAAN TERNAK DAN DAGING
Sasaran:
Dalam pemeriksaan antemortem dan postmortem dari ternak yang disembelih dapat
dipenuhinya persyaratan hygiene sanitasi melalui prosedur pemeriksaan antemortem
dan postmortem
Tujuan program pemeriksaan daging ada 2 yaitu:
1.
Menjamin bahwa yang hanya terlihat sehat, ternak secara fisiologi normal yang
disembelih untuk keperluan konsumsi dan memisahkan ternak abnormal serta
dilakukan sesuai prosedur.
2.
Menjamin bahwa daging diperoleh berasal dari ternak yang bebas penyakit, aman
dan tidak berisiko bagi kesehatan konsumen.
Tujuan tersebut diatas dapat dicapai melalui prosedur pemeriksaan antemortem dan
postmortem yang dilakukan secara higienis untuk meminimalisir pencemaran. Bilamana
suatu unit usaha pemotongan telahtelah menerapkan prinsip-prinsip Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP), juga dilakukan peningkatan prosedur pemeriksaan
penyakit secara menyeluruh dengan menggunakan prinsip-prinsip penilaian risiko.
BAB IV
PRINSIP-PRINSIP UMUM PEMERIKSAAN ANTEMORTEM
DAN POSTMORTEM TERNAK KONSUMSI.
1.
Pemeriksaan antemortem.
Tujuan utama pemeriksaan antemortem adalah sebagai berikut:
a. Menseleksi seluruh ternak yang untuk disembelih;
b. Menjamin bahwa ternak telah diistirahatkan minimal 12 jam untuk
memperoleh informasi gejala klinis melalui diagnosa dan keputusan yang
diperoleh.
c. Menekan risiko cemaran kotoran atau penyakit ternak ke daging ketika
ternak disembelih melalui pemisahan ternak yang kotor dan pemisahan
ternak yang berpenyakit, bila perlu melalui pengaturan tersendiri.
d. Menjamin bahwa ternak yang menderita sakit yang direkomendasikan
pemotongan darurat dan dilakukan perlakukan pemeriksaan khusus.
e. Mengidentifikasi penyakit-penyakit ternak strategis yang wajib dilaporkan
untuk mencegah pencemaran lantai tempat pemotongan.
f. Mengidentifikasi ternak yang sakit dan ternak yang sebelumnya telah atau
baru diobati dengan antibiotika, agent chemotheraputik, insektisida dan
pestisida.
g. Diperlukan dan menjamin alat angkut ternak tetap bersih dan
dihapushamakan sebelum meninggalkan tempat atau rumah pemotongan
hewan.
h. Isolasi atau karantina bagi ternak yang menunjukkan gejala klinis.
4.
Status dan situasi penyakit hewan yang pernah dideritanya, dengan memeriksa
kartu ternak.
Evaluasi penggunaan obat-obatan, apabila ternak sapi baru divaksin anthrax,
maka penyembelihan ternak harus ditunda potong paling kurang waktu 42 hari.
Status pemberian pakan dan minum (apakah hijauan pernah disemprot pestisida
sebelumnya, konsentrat mengandung meat bone meal/MBM, lingkungan limbah
pembuangan akhir, air limbah industri, pakan yang mengandung growth
promoter/pemacu pertumbuhan, dll).
Gejala klinis ketika terjadi di tempat asal.
5.
6.
7.
8.
9.
Konformasi fisik (kurus, gemuk, sedang), dan konfirmasi larangan undangundang terhadap pemotongan sapi betina produktif.
Kebersihan kulit dan bulu.
Pemeriksaan umum selaput lendir mata, hidung dan adakah kebengkakan pada
pipi, rahang.
Pergerakan ternak secara bebas diamati termasuk perilakunya ketika tiba.
Lubang-lubang yang ada yaitu telinga, hidung, anus (kumlah) dan ambing
Abnormal pernafasan.
Dilakukan melalui pemeriksaan frekquesi pernafasan/respirasi, juga diamati pola
cara bernafas, yang membedakan antara hewan sehat dan sakit. Bila ada dugaan
ternak sakit harus segera dipisahkan dari ternak yang sehat.
2.
Abnormal perilaku.
Pengamatan perilaku meliputi gejala antara lain yang mungkin timbul yaitu:
a. Ketika berjalan saat keliling apa menampakkan jalan pincang atau posture
ketika berjalan terlihat abnormal;
b. Apa terlihat pola menekan-nekan kepalanya ke dinding;
c. Apa terlihat perilaku sangat agresif;
d. Apakah terlihat dungu dan ekspresi mata yang liar;
e. Apakah gangguan rasa.
Hal ini juga dapat ditunjukkan ada perdarahan tanpa gejala komplikasi ataupun
dengan komplikasi atau ada terjadi gejala proses keracunan.
3.
Abnormal kepincangan.
Abnormal kepincangan sangat berhubungan dengan rasa sakit pada kaki, dada,
abdomen atau indikasi gangguan syaraf.
4.
5.
6.
7.
Abnormal warna.
Abnormal warna seperti adanya peradangan pada mata, radang pada kulit,
kebiruan pada kulit atau ambing (adanya gangrene). Abnormal warna dapat
menunjukkan status penyakit akut atau kronis.
8.
Abnormal bau.
Abnormal bau sulit diketahui apabila tidak diamati secara rutin selama
pemeriksaan antemortem. Bau yang berkembang dari abses, atau bau yang
berasal dari pengobatan, dan bau khas dari pakan yang dikonsumsi atau bau
acetone pada kasus ketosis harus dibedakan.
9.
Kebanyakan Rumah Potong Hewan di Negara berkembang atau daerah tertentu tidak
menyediakan tempat akomodasi untuk ternak istirahat yang cukup untuk menentukan
adanya gejala klinis. Kebanyakan pula di rumah potong hewan sering tidak dilakukan
prosedur pemeriksaan antemortem karena alasan daging diperlukan segera ke pasar.
Apabila ada gejala klinis yang meragukan, maka ternak potong tersebut segera dipisah
dan ditempatkan pada kandang isolasi dengan maksud untuk:
1. Dilakukan pemeriksaan lebih lanjut melalui observasi atau diberi perlakuan
tertentu ataupun ditolak disembelih untuk diobati terlebih dahulu atau dilanjutkan
pemeriksaan laboratorium dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan menular
dengan menginformasikan kepada Dinas setempat yang berwenang pada bidang
kesehatan hewan di daerah ternak berasal.
2.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan seekor ternak dicurigai penderita zoonosis yang
berbahaya seperti anthrax, maka seluruh ternak yang ada di RPH direkomendasikan
untuk dilarang disembelih, dan seluruh aktifitas pemotongan di RPH dihentikan
sementara. Terhadap ternak tersangka harus dilakukan pengamatan mendalam dan
pengambilan sampel uji laboratorium. Sambil menunggu hasil laboratorium dan
keputusan diagnose, maka dilakukan tindakan pencegahan terhadap lalu lintas ternak
rentan, isolasi seluruh ternak yang bersentuhan dan dilakukan sanitasi dengan
penghapushamaan dan diinsektida
Apabila ditemukan hasil laboratorium positif zoonosis berbahaya, maka segera
bekerjasama dengan Dinas setempat yang berwenang di bidang kesehatan hewan dan
kesehatan masyarakat, untuk dilakukan tindakan sesuai prosedur yang berlaku.
Dokumentasi ante mortem
Hasil pemeriksaan antemortem harus dilakukan pencatatan secara individual bagi
ternak besar dan cara berkelompok bagi ternak unggas. Informasi yang harus tercatat
dalam dokumen pemeriksaan antemortem sekurang-kurangnya menginformasikan halhal sebagai berikut:
a. Nomor register Rumah Potong hewan atau Nomor Kontrol Veteriner
b. Identitas ternak atau kartu ternak
c.
Jenis ternak (spesies, bangsa)
d. Jenis kelamin
e. Kondisi ternak saat tiba dan menjelang dipotong
f.
Termperatur dan pernafasan dan/atau gerak rumen
g.
Berat ternak
h. Catatan hasil pemeriksaan klinis antemortem
i.
Tanggal pemeriksaan dan tanda-tangan petugas/dokter hewan pemeriksa
j.
Saran pemeriksaan lebih lanjut kepada dokter hewan pemeriksa postmortem
terhadap hal-hal untuk pemeriksaan organ secara spesifik
Keadaan darurat (emergency) pemotongan ternak di kawasan peternakan
Dalam hal darurat, ternak tidak dimungkinkan dibawa ke Rumah Potong Hewan, karena
alasan penyakit atau risiko penyebaran penyakit atau alasan membahayakan
masyarakat, maka dokter hewan berwenang harus melakukan konfirmasi meliputi
sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
2.
Adanya laporan peternak terhadap status dan situasi kejadian penyakit ternak, dan
kondisi lingkungan yang berbahaya
Laporan juru sembelih terhadap kelainan ditemui
Laporan status pemeriksaan dari dokter hewan bila ada
Waktu kejadian dan alat angkutdigunakan dan/atau adanya mutasi ternak
Melakukan Identifikasi kejadiansecara lamgsung dan/atau mengumpulkan data
epidemiologis
Pemeriksaan postmortem.
Tujuan pemeriksaan postmortem adalah untuk menjamin daging aman dari kontaminasi
penyakit zoonosis dan layak dikonsumsi, bebas dari cemaran yang membahayakan
kesehatan konsumen.
Dengan memperhatikan rekomendasi pemeriksaan antemortem, maka dilakukan
segera pemeriksaan postmortem tanpa ditunda. Pemeriksaan dengan pengirisan,
palpasi kelenjar getah bening, organ atau jaringan harus dilakukan dengan teliti dan
bersih, dengan mencegah cemaran pada daging, peralatan dan orang yang berkerja
didekatnya.
Pemeriksaan postmortem dari karkas ternak harus selalu dilakukan sesegera mungkin
setelah pengulitan sempurna untuk mengetahui kondisi kelayakan daging untuk
dikonsumsi.
Seluruh atau bagian karkas atau organ-organ diperiksa sebelum diproses lebih
lanjut.Pemeriksaan postmortem merupakan kelengkapan informasi secara evaluasi
ilmiah proses adanya perubahan patologi untuk mengetahui kelayakan daging
dikonsumsi.
Pengetahuan teknis dan profesionalisme sepenuhnya digunakan melalui:
1. Pengamatan, pengirisan (insisi), perabaan (palpasi) dan teknis penanganannya;
2. Membuat klasifikasi kelainan atas 2 katagori akut atau kronis;
3. Menetapkan keputusan bilamana kondisi umum ataupun terlokaslisir, dan
mengamati adanya perluasan perubahan terjadi secara sistemik pada organ
dan/atau jaringan;
4. Menentukan secara signifikan terhadap perubahan patologi yang bersifat sistemik
atau primer dan kaitan terhadap perubahan sistemik pada organ utama khususnya
hati, ginjal, jantung, limpa dan sistem lymphatic.
5. Mengkoordinasi seluruh komponen temuan hasil pem antemortem dan postmortem
untuk menentukan diagnosa.
6. Mengirimkan sampel ke laboratorium untuk mendukung diagnosa. Apabila RPH
memiliki fasilitas pendingin, maka karkas yang tersangka disimpan sementara untuk
ditunda pada proses lebih lanjut.
Hasil penilaian:
Hasil penilaian ditujukan untuk melindungi konsumen dari daging ternak yang terduga
terhadap:
1. Penyakit bahan asal makanan (foodborne infection).
2. Adanya racun dan/atau bahaya residu.
3. Penyakit zoonosa (foodborne zoonotic).
4. Penyakit parisit zoonotik seperti Tricinella spiralis atau Taenia soleum pada babi,
Taenia bovis pada babi, hydatidosis/enchinococcus
Penilaian Karkas
Pemotongan (trimming) atau pemisahan (condem) dapat dilakukan apabila diduga:
1. Adanya bagian karkas atau keseluruhan karkas abnormal atau berpenyakit.
2. Adanya bagian karkas atau karkas keseluruhan terkait kondisi keabnormalan yang
dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
3. Adanya bagian karkas atau karkas keseluruhan terkait penolakan konsumen.
Kondisi umum versus lokal.
Penting untuk menjadi perhatian untuk membedakan kondisi penilaian karkas ternak
melalui kondisi lokal atau umum.
Kondisi lokal
Ditunjukkan adanya perubahan terbatas pada bagian karkas atau organ. Perubahan
sistemik terkait dengan suatu perubahan kondisi yang terjadi. Sebagai contoh cairan
empedu berubah terkait penyakit hati atau adanya racun (toxemia) yang diikuti
pyometra (nanah/abses di uterus).
Kondisi umum
Mekanisme pertahanan tubuh melalui sistim sirkulasi atau kelenjar getah bening
(lymphatic systems) tubuh tidak mampu menghentikan penyebaran penyakit hewan.
Kelenjar getah bening pada karkas akan teramati adanya perubahan abnormal atau
patologi secara umum. Beberapa gejala penyakit secara umum terjadi sebagai berikut:
1. Peradangan umum dari kelenjar getah bening (lymph nodes) di kepala, rongga
badan dan atau karkas.
2. Peradangan sendi.
3. Pembengkakan hati, limpa, ginjal dan hati.
4. Adanya berbagai abses di berbagai bagian karkas termasuk di tulang spina
ruminansia.
Pada kondisi luka atau lesi umum biasanya diperlukan beberapa penilaian khusus dari
kondisi luka lokal yang teramati.
BAB V
PERSYARATAN PEMERIKSAAN POSTMORTEM
PADA SAPI, KAMBING DAN DOMBA SERTA BABI.
PEMERIKSAAN KEPALA
Kelenjar retropharyngeal (No. 1), parotid (No. 2) and submaxillary (No. 3) pada petunjuk
gambar 6 harus dilakukan pemeriksaan dengan cara melakukan berberapa irisan atau
potongan untuk mengetahui perubahan abnormal.
TABEL 1 : PEMERIKSAAN KEPALA
KONDISI
UMUM
KELENJAR
SAPI
BABI
BENING:
SUBMAXILLARIS
PAROTID
RETROPHARYNGEAL
LIDAH
LAINNYA
Iris (3)
Iris (2)
Iris (1)
DIRABA
Pemeriksaan
Cysticercosis bovis
(a)
Iris
-
DIRABA
Pemeriksaan
Cysticercosiscellulose
(b)
Keterangan:
(a). Oesophagus harus dipsahkan dari penggantungnya hingga ke trachea;
(b). Diperksa pada otot dan kelenjar getah bening pada tulang rawan scapula.
KETERANGAN
Gambar. 7: Pemeriksaan Kepala: Retropharyngeal lymph nodes (No. 1) diamati dan diiris dengan
berbagai irisan dan potongan
Lidah: Dilakukan pemeriksaan melalui palpasi terutama pada ternak sapi umur lebih 6
minggu)
Lain-lain.
Sapi kecuali anak sapi dibawah 6 minggu, saluran pernafasan (oesophagus) pada
ternak harus dipisahkan dari trachea dan diperiksa terpisah. Pemeriksaan ternak sapi
diatas umur 6 minggu terhadap adanya Cystcercercus bovis, maka otot massseter harus
diperiksa dengan cara melakukan beberapa irisan linear secara parallel kearah bawah
dagu. Sebagai tambahan pada dalam otot leher/M.triceps brachii, 5 cm dibelakang dagu
juga dilakukan pengamatan.
Babikarena adanya risiko Cysticercus cellulosae, maka otot luar pengunyah (musculus
masseter), otot abdominal dan diaphragma serta ujung hulu lidah babi harus diiris dan
dan dipalpasi kemungkinan adanya benjolan atau kista. Tidak lupa pengambilan daging
pada punggung babi untuk diuji adanya Trichinella spiralis.
JANTUNG
Pengamatan dilakukan setelah melepas pericardium
HATI
Periksa dengan meraba permukaan dalam pada kedua sisi. Periksa kelenjar
empedu. Untuk sapi diatas 6 minggu dilakukan pengirisan kedalam untuk
menentukan adanya cacing hati dengan membuka saluaran empedu yang besar.
Untuk ternak domba diiris lebih dalam untuk menemukan parasitnya. Amati
kelanjar getah bening (lymph nodes) dan portal hepatic dengan cara mengiris
dan diperiksa dengan seksama adanya parasit dan luasrnya kerusakan terjadi.
LIMPA
Pemeriksaan limpa dengan cara meraba (palpasi) apakah ada benjolan keras
atau berisi cairan tetapi waspadai anthrax
Gambar 12: Pemeriksaan Limpa biasanya tidak lepas dari lambung perut
(Stomachs). Periksa dan amati juga rumen dilanjutkan meraba limpa.
Pemeriksaan lambung dan usus amati adanya Gastroenteritis akut,
Gastroenteritis catarrhal kronis, enteritis berdarah, konstipasi atau penyumbatan
saluran pencernaan, kembung/bloat, mesentericus emphysema pada babi,
peritonitis, adhesi dan abses. Hati-hati terhadap anthrax.
5.
SALURAN PENCERNAAN
GINJAL
Amati dan iris ke dalam ginjal, apakah ada bau urine abnormal, adanya radang
ginjal dengan uremia atau oedema, batu ginjal,nephritis kronis, colinephritis,
nephritis suppurative dan embolik, pyelopnephritis, cystitis exudative atau
sistemik, rupture kandung kemih atau urethra.
7.
8.
Tatacara pemeriksaan postmortem terhadap organ dalam dan karkas, dapat dilihat
pada Tabel berikut:
TABEL 2 : PEMERIKSAAN ORGAN DALAM
KONDISI
KELENJAR GETAH BENING:
MESENTERICUS
PORTALIS
BRONCHIAL & MEDIASTINAL
SALURAN PENCERNAAN
LIMPA
HATI
PARU-PARU
JANTUNG
GINJAL
UTERUS
OTAK
SAPI
BABI
DIAMATI
DIAMATI
DIRABA
DIIRIS
DIRABA
DIRABA
DIRIS
DIRABA
DIIRIS
DIAMATI
DIAMATI
DIAMATI
DIRABA
DIRABA
DIRABA
DIAMATI, DIRABA PADA KANTUNG EMPEDU. DIIRIS UNTUK MENGETAHUI KEBERADAAN
CACING HATI
DIRABA, KECUALI KAMBING & DOMBA, BRONCHI HARUS DIBUKA DENGAN MENGIRIS
MEMANJANG HINGGA KE LOBUS DIAPRAGMA.
DIAMATI SETELAH PERICARDIUM DILEPAS. MENGIRIS DASAR JANTUNG HINGGA APEX. BABI:
JANTUNG DIIRIS TERBUKA SETIAP SEPTUM UNTUK DUGAAN ADANYA CYSTICERCUS
CELLULOSE
DIAMATI SETELAH DIENAKULASI
DIRABA
DIAMATI
DIAMATI
DIAMATI
DIAMATI
DIAMATI
PEMERIKSAAN KARKAS
TABEL 3: PEDOMAN PEMERIKSAAN KARKAS
KONDISI
SAPI
UMUM
BABI
DIRABA
DIRABA
DIRABA
DIRABA
DIRABA
DIRABA
DIRABA
DIRABA
DIRABA
DIRABA
DIRABA
DIRABA BAGIAN KASTRASI
LAIN-LAIN
Sumber:WHO,1986
Pemeriksaan postmortem karkas pada semua ternak diarahkan secara umum atau
sistemik adanya berpenyakit tuberculosis. Caranya dengan melihat adanya perubahan
luka pada kelenjar getah bening precural poplitea, anal, superficial inguinal, ischiatic,
internal dan external iliacal, lumbar, renal, sternal, prepectoral, prescapular dan
atlantal. Tuberculosis juga ditemukan pada perubahan kelenjar getah bening yang
berada di kepala dan organ dalam dengan cara pengamatan dan pengirisan.
Gambar 16: Kelenjar getah bening superficial inguinal, internal dan external iliac pada
babi dilakukan pemeriksaan dan diraba secara rutin pada prosespem.postmortem.
Gambar 18: Pemeriksaan medial fore quarter dengan untuk adanya perubahan
mengamati kelenjar getah beningintercostal, suprasternal, presternal dan prepectoral
dengan cara mengiris bagian tersebut.
Gambar 19: Pengirisan kelenjar getah bening popliteal pada babi untuk mengetahui
dugaan adanya penyakit bersifatumum atau sistemik.
Gambar 21: Penandaan/stempel/CapRPH pada karkas yang telah lulus hasil pem.postmortem.
BAB VI
PEMERIKSAAN ANTEMORTEM AND POSTMORTEM PADA
AYAM/UNGGAS
Pemeriksaan antemortem
Pemeriksaan antemortem pada ayam ada beberapa kesulitan, apabila ayam
ditempatkan dalam keranjang dan hanya dapat dilakukan pemeriksaan secara
superficial pada kondisi umumnya. Perlu diingatkan bahwa pem antemortemharus
dilakukan ditempat terang sebelum digantung dan/atau disembelih. Catatan pem
antemortem merupakan kewajiban untuk dilakukan meliputi tanggal pemeriksaan,
nomor plat alat angkut, spesies unggas, jumlah ayam dan nama pemilik. Adapun tujuan
pemeriksaan antemortem adalah:
1.
Untuk menentukan kondisi umum ayam;
2.
Menentukan penyakit yang ditemui yang perlu diambil keputusan untuk dilakukan
pemisahan, penundaan potong atau dipotong.
Pada suasana udara panas, ayam memerlukan penyiraman air keatas alat angkut pada
area tempat peristirahatan. Apabila ditemukan kasus AI atau ND, maka dokter hewan
harus mencatat dan menginformasikan kepada Dinas yang berwenang dalam kesehatan
hewan. Ada beberapa gejala klinis yang sama pada pem postmortem seperti penyakit
bronchitis dapat dikelirukan dengan penyakit AI atau ND. Oleh karena itu diagnose harus
didukung pengujian cepat (rapid test) dan memahami deferensial diagnosa.
Ada beberapa factor pertimbangan dalam pemeriksaan antemortem dan pemeriksaan
postmortem antara daging unggas dan daging ruminansia atau babi yaitu:
1. Umur.
Pada umumnya ternak unggas pemotongan dilakukan diawal umur (6-8 minggu)
sedang daging ruminansia pada umumnya pada umur tertentu atau umur tua.
2. Genetik.
Pada ternak unggas lebih seragam berasal dari ayam neneknya, dibandingkan
ternak ruminansia lebih variasi.
3. Gizi dan pengelolaan kesehatan.
Pada unggas sangat dipengaruhi pemberian pakan, status vaksinasi, pengobatan
termasuk pemakaian obat pemacu pertumbuhan dalam pakan dan dilakukan
pemeriksaan dari sejak lingkungan penetasan hingga dibawa kepemotongan.
Pemeriksaan antemortem pada unggas/ayam lebih berbasis lot/keranjang dan ada
beberapa perbedaan pada pem antemortem unggas dengan ruminansia sebagai
berikut:
4. Unggas (hidup atau mati) yang sakit dan akan dipisahkan atau dimusnahkan, maka
perlu dihitung jumlah dan berat unngas yang akan dimusnahkan/eliminasi
5. Pengawasan harus dilakukan secara ketat hingga saat dimusnahkan untuk
mengantisipasi penyebaran penyakit atau pencemaran lingkungan khususnya
budidaya.
Pengamatan dalam pemeriksaan. antemortem yang harus diperhatikan yaitu:
1.
Bone leucosis (sayap lemah)
2.
Perosis (tendon slip, disebabkan trauma, terlihat sehat tetapi tidak dapat
berjalan)
3.
Sinusitis
4.
Pendulous crop ( tanda kaki x)
5.
Fowl pox (pembengkakan jengger)
6.
Avian erysipelas (kulit berdarah)
7.
Terluka
8.
Runt birds (perkembangan sayap buruk, iritasi mata karena ammonia kotoran)
9.
Parasit (dibawah sayap)
10.
Prolap ( pembesaran oviduct)
11.
Bumble foot (radang telapak kaki karena staphylococcus)
12.
Scaly leg (kelemahan kaki dan dada karena parasit)
13.
Edematous wattle (eodema pada jengger)
14.
Ornithosis (kotoran berwarna sulfur, ekor dan sayap lembab/basah).
Pemeriksaan postmortem
Teknis pemeriksaan postmortem pada ayam teknik dapat merujuk pada pem
postmortem ternak ruminansia dengan cara mengamati, meraba, membau dan
mengiris.
Warna karkas ayam dapat berbeda-beda tergantung pada umur, jenis kelamin,
pemberian pakan dan temperature pemanasan (scalding) atau benturan benda keras.
Saluran pencernaan, hati, limpa dan jantung ayam harus dilihat secara visual dan diraba
terhadap kemungkinan keabnormalannya. Pemeriksa daging ayam harus mampu atau
jeli melihat kedalam karkas ayam untuk mengetahui perubahan patologi seperti radang
pernafasan, peritonitis, radang oviduct (salpingitis), dll.
Cemaran kotoran ayam atau cairan empedu pada daging ayam yang diamati dan
diupayakan dihindarkan kontaminasi pada daging. Pem postmortem menggunakan
ketrampilan kedua tangan (disarankan menggunakan sarung tangan). Pengamatan juga
dilakukan pada karkas ayam bagian external untuk mengetahui adanya pembengkakan,
sinusitis, saluran udara dan leleran pada mata (apabila kepala masih ada), luka-luka
pada kulit, pembengkakan sendi, dll.
Penilaian
Luka lokal dapat diberikan keputusan/disposisi oleh juru pemeriksa daging untuk
dilakukan pengafkiran bagian organ yang luka, akan tetapi terhadap keputusan
penilaian akhir kelayakan konsumsi harus dilakukan oleh dokter hewan. Pemisahan
organ dan/atau karkas biasanya yang ada perubahan patologi.
Keputusan pem.postmortem dapat diklasifikasi sebagai berikut:
1. Disetujui layak konsumsi manusia
2. Total tidak layak konsumsi manusia
3. Sebagian ditolak tidak layak konsumsi manusia
4. Disetujui layak konsumsi manusia dengan persyaratan
5. Daging unggas dengan minor penyimpangan tetapi layak dikonsumsi manusia
6. Disetujui layak konsumsi manusia dengan peredaran terbatas atau wilayah tertentu
karena penyakit hewan menular non zoonosis.
Pedoman persyaratan pem postmortem pada unggas/ayam sebagai berikut:
1. Avian tuberculosis:
a. Diskripsi disebabkan: mycobacterium avium
b. Gejala postmortem:
Bentukan benjolan berkapur (tubercle)
Organ atau jaringan dipengaruhi: jantung, paru-paru, hati, tulang belakang.
Ciri fisik benjolan: irregular, fibrous, abu-abu/putih, pengkejuan bagian
tengah benjolan (caseous center)
c. Disposisi: Seluruh karkas dan organ dimusnahkan dengan insenerasi.
2. Leucosis:
a. Diskripsi disebabkan: bervariasi virus
b. Gejala postmortem:
Mareks disease (herpes virus) pada ayam umur kurang 6 bulan.
Lymphoid leucosis (retrovirus) pada ayam dewasa
Osteoporosis (retrovirus) mempengaruhi mempengaruhi jaringan tulang
belakang pada anak ayam umur diatas 1 (satu) bulan.
c. Disposisi: Bagian yang terkena dapat dibuang untuk dimusnahkan, akan tetapi
bila telah kompleks maka seluruh karkas dan organ dimusnahkan dengan
insenerasi
3. Septicemia dan toxemia:
a. Diskripsi disebabkan: bervariasi mikroorganisme pathogen dan/atau racun
(toxin)oleh perubahan sistemik dari synovitis, tumor, bruises, airsacculitis, proses
peradangan
b. Gejala postmortem:
dehidrasi
cyanosis
emasiasi
kekuningan (icterus)
perdarahan umum echymotic/petechial
tumbuh pendek (kate)
daging dan lemak kehilangan warna atau kegelapan/kebiruan
ascitesintensif.
c. Disposisi: Seluruh karkas dan organ abnormal dimusnahkan dengan insenerasi
(dibakar)
4. Synovitis:
a. Diskripsi disebabkan: bervariasi organisme kelompok genus Mycoplasma. Dapat
juga akibat luka dan kekurangan pakan
b. Gejala postmortem:
Radang dan pembengkakan persendian breast bursa
Exudat mucopurulent atau serosanguinous
Septicaemia atau toxemia..
c. Disposisi: peradangan bagian karkas dan/atau organ dalam abnormal
dipisahkan untuk dimusnahkan dengan cara dibakar (insenerasi).
5. Tumor
a. Diskripsi disebabkan: avian leucosis complex dengan bentuk tumor seperti
squamous cell carcinoma, adenocarcinoma, leiomyomas, fibromas
b. Gejala postmortem:
squamous cell carcinomaditandai luka dalam kulit seperti kerak yang
biasanya dijumpai pada ayam muda.
adenocarcinoma berkembang tumor di organ abdominal dalam bentuk
massa menonjol terbatas yang biasanya terjadi pada ayam tua.
leiomyomas berbentuk seperti kumpulan anggur dan biasanya ditemukan
pada oviduct unggas dewasa
fibromasberkembang tumor di jaringan konektivus dalam bentuk massa
menonjol terbatas yang biasanya terjadi pada ayam lebih tua
c. Disposisi: apabila telah terjadi tumor metastasis, maka seluruh karkas dan organ
abnormal dipisahkan untuk dimusnahkan dengan cara dibakar (insenerasi).
6. Memar (Bruises)
a. Dikrispsi disebabkan perdarahan meluas di jaringan otot dalam katagori
kebiruan, terkandang berdarah meluas
b. Gejala postmortem:
Perdarahan berbagai ukuran di jaringan otot berupa petichial, ecchymotic,
extravacation dalam jaringan.
Septicaemia atau toxemia.
c. Disposisi: Seluruh karkas dan organ abnormal dimusnahkan dengancara dibakar
(insenerasi).
7. Bangkai (Cadaver)
Gambar22: Posisi tepat pemeriksaan karkas dan organ dalam ayam broiler.
BAB VII
lipat oleh Campylobacter. Bakteri lain yang menjadi perhatian pula pada pencemaran
makanan adalah Yersinia spp. dan Listeria spp.Ada hubungan secara simultan bahwa
penerapan HACCP memperpanjang masa kadaluarsa bagi produksi daging segar.
Semua saran pada penerapan pengawasan daging akan lebih menguntungkan dengan
memakai konsep HACCP walau sederhanamelalui pengawasan titik-titik kritis pada
kelompok bakteri atau organism pembusuk lainnya yang berpotensi mencemari karkas.
Pengawasan titik-titik kritis mampu mengidentifikasi pencemaran Salmonella ke daging
merah dan unggas.Proses produksi daging merah, pencemaran utama yang sering
terjadi di RPH adalah selama proses pengulitan dan pengeluaran jeroan. Ada pula
proses pencemaran yang terjadi selama pengangkutan, deboning. Paling efektif
pengawasan dilakukan pada saat akan dilakukan pendinginan secara bertahap (chiller).
Juru pemeriksa daging harus memastikan proses pengulitan dan pengeluaran jeroan
dilakukan dengan baik.
Pengawasan titik-titik kritis pada Rumah Potong Ayam pada umumnya dilakukan pada
saat pencabutan bulu (picking) dan pengeluaran jeroan (evisceration). Di Negara-negara
berkembang ketika proses produksi dilakukan secara tidak otomatis maka masih
diperlukan pengawasan melalui pendekatan kesehatan (hygienic) selama operasi
produksi berlangsung. Sedangkan pada unit usaha yang telah menerapkan teknologi
dengan menggunakan mesin pencabutan bulu dan pengeluaran jeroan secara otomatis
masih juga diperlukan tindakan sanitasi secara regular terutama pada ternak ayam yang
perolehan dari berbagai sumber.
Gambar 23: Bagan alir yang menunjukan sumber pencemaran Samonella dan
penentuan titik-titik kritis (CCP) yang harus diawasi pada setiap proses produksi daging
merah.
PEMERIKSAAN ANTEMORTEM
PEMINGSANAN DAN/ATAU PENYEMBELIHAN
PENCELUPAN KEDALAM AIR PANAS (SCALDING)
PENCABUTAN BULU, PENCUCIAN KARKAS
PENGELUARAN JEROAN
DAERAH KOTOR
DAERAH BERSIH
PEMERIKSAAN POSTMORTEM
PENCUCIAN DAN/ATAU PENDINGINAN KARKAS
SELEKSI, PENIMBANGAN,PENGEMASAN, PELABELAN
PENYIMPANAN DALAM RUANG PENDINGIN
PENGANGKUTAN DAN PEMASARAN
PENCEMARAN UTAMA
KEMUNGKINAN TERJADI PENCEMARAN
Gambar 24:Bagan alir produksi yang menunjukan sumber pencemaran Samonella dan
penentuan titik-titik kritis (CCP) yang harus diawasi pada setiap proses produksi daging
ayam.
ISTIRAHAT
SAPI/KERBAU ATAU
DOMBA, KAMBING
PEMERIKSAAN
ANTEMORTEM
PROSES PENYEMBELIHAN
PENCELUPAN KEDALAM
AIR PANAS
PELEPASAN KULIT
PENGELUARAN JEROAN
PEMBELAHAN KARKAS
PENGEROKAN
PEMERIKSAAN
POSTMORTEM
PELAYUAN/PENIRISAN
PENGELUARAN JEROAN
PEMBELAHAN KARKAS
PEMBELAHAN KARKAS
N
PELAYUAN/PENIRISAN
PELEPASAN TULANG
PEMBELAHAN KARKAS
N
PENGEMASAN
PELEPASAN TULANG
PENYIMPANAN (COLD
STORAGE
PENGEMASAN
PENYIMPANAN (COLD
STORAGE
PENGANGKUTAN
PENCEMARAN UTAMA
KEMUNGKINAN TERJADI PENCEMARAN
BABI
BAB VIII
PEMISAHAN PRODUK DAGING YANG TIDAK AMAN DAN
TIDAK LAYAK DIKONSUMSI (CONDEMNED) DI RPH
Tujuan pengawasan bahan-bahan yang singkirkan akibat terduga rusak, abnormal
(seperti tubercle diduga TBC) dan tidak layak konsumsi (septicaemia, abses, dll) tidak
masuk rantai pangan.
Prinsip pemisahan ini melalui :
Identifikasi:
a. Bahan-bahan yaitu produk karkas, bagian karkas, organ yang telah diperiksa
dokter hewan yang berwenang di RPH dinyatakan tidak aman dan layak
dikonsumsi serta dipotong kecil-kecil dimasukkan dalam container khusus.
b. Kontainer harus ditandai dan/atau diberi label.
Dokumentasi:
Formulir yang digunakan untuk penghancuran atau pemusnahan dipisahkan
yaitu untuk keperluan:
a. Pemisahan hasil pemeriksaan antemortem
b. Pemisahan hasil pemeriksaan postmortem.
BAB IX
PEMINGSANAN DARI ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN
Pemingsanan (stunning)
Pengaruh implementasi pemingsanan dalam urusan kesejahteraan hewan harus
dilakukan secara cepat, tepat dan tidak menyebabkan kerusakan atau luka pada ternak
konsumsi dapat ditoleransi sepanjang tidak melanggar dan menyebabkan rasa sakit
dan rasa nyeri. Untuk itu diperlukan kompetensi operator yang ahli dan trampil serta
trampil melakukan audit ketidaksesuaiaan.
Hal ini tidaklah mudah bagi juru sembelih ternak halal pemula di Indonesia yang mana
Indonesia tidak mengenal pemotongan non halal bagi yang dipersyaratkan. Pada
umumnya para operator stunning gun minim dan/atau tidak mempunyai ketrampilan
memingsankan, dan tidak memahami konsep audit terhadap ketidaksesuaian dari
proses hasil kegiatan pemingsanan, pemotongan melalui proses penandaan sebagai
cara penelusuran (trace back).
Untuk ternak babi pemingsanan direkomendasikan menggunakan arus listrik, agar tidak
menyiksa hingga menyebabkan kegaduhan. Priode ketidaksadaran dimulai pada saat
waktu pingsan terus diikuti dengan cepat proses pemotongan. Oleh karena itu apabila
akan digunakan proses stunning maka harus mempertimbangkan persyaratan sebagai
berikut:
1. Kondisi pingsan bagi ternak bersifat sementara
2. Peralatan yang digunakan tidak menyebabkankerusakan atau luka pada hewan
3. Peralatan yang digunakan tidak boleh membunuh atau terjadi kerusakan permanen
pada otak
4. Penggunaan arus listrik dalam tingkat voltage rendah yang digunakan pada unggas
dan babi yang volume pemotongannya sangat tinggi dapat dikendalikan sehingga
tidak menyebabkan ternak mati.
Captive Bolt Stunning
Stunning /stun-ning/ (stuning) loss of function, analogous to unconsciousness.
ELECTRICAL STUNNING
Gambar 23: Teknik dan sarana pemingsanan pada sapi, unggas dan babi
BAB X
KONSEP AUDIT INTERNAL
Audit dianggap sebagai suatu metode untuk meningkatkan perbaikan sistem secara
berkesinambungan dari RPH agar proses pemotongan hewan selalu terkendali dan
mampu telusur. Di kebanyakan RPH Indonesia penerapan audit masih, dianggap tidak
berbiaya mahal, kurangbermanfaat dan membuang waktu serta tidak ada pengaruh
signifikan terhadap proseskeuntungan bisnis. Akan tetapi di era globalisasi akan
menjadi prasyarat bisnis sebagai tuntutan kesehatan bagi konsumen cerdas dan gaya
hidup bagi orang berbisnis.
Antara keinginan maju dan kebiasaan buruk dipertahankan selalu menjadi pilihan.
Memang hidup adalah pilihan antara kebutuhan kebaikan untuk maju atau memilih
keinginan tetap seperti apa adanya untuk pembodohan konsumen. Dalam hal
menghadapi konsummen yang cerdas, maka diperlukan pendekatan pemotongan
ternak kearah kebaikan dalam sistim mampu telusur (traceability) dengan mengenalkan
konsep audit internal.
Dalam menjalankan audit diperlukan sumberdaya dan waktu tersendiri serta
kompetensi sumberdaya manusia yang handal. Oleh karena itu ulasan ini hanya
superficial dari konsep audit.
Ada 2 (dua) jenis audit yaitu audit kepatuhan dan audit manajemen. Terkait pedoman
ini lebih tepat dilakukan audit aspek keselamatan, keamanan dan mutu untuk
menghasilkan daging segar yang aman dan layak dikonsumsi manusia.
Tujuan dari audit ini adalah untuk memeriksa, menganalisa, mengatur dan
memverifikasi proses dalam arti tertentu. Proses ini diperiksa dengan tujuan melakukan
penyesuaian yang diperlukan untuk membawa ke tingkat kinerja yang dapat mencapai
tujuan yang dimaksudkan.
Dalam audit internal RPH adalah karyawan atau perwakilan unit usaha (RPH) yang
tengah diaudit oleh Tim audit internal. Oleh karena itu auditor harus memiliki wawasan
yang baik tentang karkas, daging dan organ dalam, proses pemeriksaan antemortem
dan postmortem, kebijakan RPH dan budaya organisasi tersebut. Hal ini dilakukan
sebagian jadwal audit yang sistematis yang dapat diterapkan secara keseluruhan atau
sebagian system, proses dan aktifitas di RPH.
Prinsip melakukan audit
Sejumlah prinsip yang membantu pelaksanaan suatu audit agar menjadi alat yang
efektif dan handal dalam mendukung manajemen kebijakan dan pengendalian.
Kepatuhan terhadap prinsip merupakan prasyarat untuk menyediakan kesimpulan yang
relevan dan memadai serta untuk memfasilitasi auditor yang bekerja secara indepeden.
Prinsip-prinsip melakukan audit berdasarkan ISO 19011:2011 yaitu:
1.
Intergritas
Dalam program audit internal terhadap produk yang dihasilkan oleh unit usaha
penyedia daging, seharusnya:
Melakukan tugas dengan jujur, teliti dan bertanggung jawab
Memahami dan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan persyaratan
standar minimal
Melakukan unjuk kerja kompetensi dalam melaksanakan kerja
Melaksanakan tugas tanpa memihak, yaitu tetap adil dan tidak bias dalam
tindakan.
Menyadari dampak yang akan mempengaruhi tugas audit.
2.
3.
4.
serta
Kerahasiaan
Auditor harus bijaksana dalam menggunakan dan melindungi informasi selama
melaksanakan tugas yang tidak merugikan kepetingan yang teraudit.
5.
Kemandirian
Ketidakberpihakan dan objektif serta tidak ada komplik kepentingan harus dijaga
selama audit.
6.
BAB XI
DASAR-DASAR PENGENDALIAN MIKROORGANISME
Mikroorganisme dapat menyebabkan banyak bahaya dan kerusakan. Pengetahuan ini
perlu dipahami oleh petugas pemeriksa daging, yang dimaksudkan agar dapt mencegah
proses rekontaminasi terhadap produk ternak yang dihasilkan. Hal ini mampak dari
caramenginfeksi hewan dan manusia, menimbulkan penyakit yang berkisar dari infeksi
ringan sampai kepada kematian. Yang dimaksud pengendalian disini yaitu segala
kegiatan yang dapat menghambat, membasmi atau menyingkirkan mikrorganisme.
Mikrorganisme pun dapat mencemari makanan, dan dengan menimbulkan perubahanperubahan kimiawi di dalamnya, membuat produk pangan asal hewan tersebut tidak
layak dikonsumsi, atau bahkan beracun. Kerusakan yang ditimbulkan juga dapat
kerugian ekonomi yang diakibatkannya sangat besar
Suatu proses fisik yaitu suatu prosedur yang mengakibatkan perubahan, misalnya
sterilisasi, pembakaran dan sanitasi.
Suatu bahan kimia yaitu suatu substansi (padat, cair, atau gas) yang dicirikan oleh suatu
komposisi molekuler yang pasti menyebabkan terjadinya reaksi sebagai contoh adalah
senyawa fenolik, alkohol, klor, iodium, dan etilen oksida.
Pola dan laju kematian bakteri
Apabila satu tetes suspensi bakteri dimasukkan ke dalam botol berisi asam panas atau
ke dalam tempat pembakaran, maka semua bakteri itu dapat terbunuh seketika atau
setidak-tidaknya sedemikian cepat sehingga tidak terukur laju kematiannya. Namun
perlakuan tidak sedratis itu tidak akan membunuh semua sel pada saat yang sama,
melainkan sel-sel tersebut akan terbunuh dalam laju yang konstan.
Sel-sel dengan umur atau stadium fisiologis pertumbuhan yang berbeda-beda
menunjukkan perbedaan dalam kerentanan terhadap suatu bahan antimikrobia
Keadaan yang mempengaruhi kerja antimikrobial
Banyak faktor dan keadaan dapat mempengaruhi penghambatan atau pembasmian
mikroorganisme oleh bahan atau proses antimikrobial. Kesemuanya harus
dipertimbangkan bagi efektifitas penerapan pengendalian.
Kosentrasi atau intensitas zat antimikrobial
Peluang untuk mengenai sasaran sebanding tidak hanya tidak hanya terhadap jumlah
sasaran mikroorganisme yang ada, namun juga terhadap jumlah konsentrasi atau
intensitas zat antimikrobial yang diberikan. Makin banyakjumlah konsentrasi atau
intensitas zat antimikrobial yang diberikan dalam kurun waktu tertentu makin cepat
sasaran mikroorganisme yang terbunuh.
Gambar 25: Sanitasi tangan dengan sabun dapat mengurangi jumlah kuman yang ada
Jumlah mikroorganisme
Makin lama kita menembak sasaran (jumlah mikroorganisme), makin banyak sasaran
yang terkenai; namun makin banyak sasaran yang ada, maka makin lama waktu yang
diperlukan mengenai semua sasaran, yaitu bila segala kondisi yang lain konstan. Artinya
diperlukan banyak waktu untuk membunuh populasi mikroorganisme. Apabila jumlah
mikroorganisme banyak, maka perlakuan harus diberikan lebih lama supaya kita cukup
yakin bahwa semua mikroorganisme tersebut mati.
Spesies mikroorganisme
Gambar 26: macam mikroorganisme penyebab penyakit asal makanan asal hewan
BAB X
REKOMENDASI PENILAIAN AKHIR ANTEMORTEM DAN POSTMORTEM
PADA SAPI, KAMBING/DOMBA, DAN BABI
PENYAKIT, KONDISI
PATOLOGI ATAU
ABNORMAL
RONGGA
PERUT
...
`1.2. Peningkatan
suhiu atau lelah
akibat stress,
tanpa gejala
penyakit akut
1.3. Gejala hampir
mati, suhu
subnormal,
denyut
melemah, rasa
terganggu
1. TEMUAN UMUM
1.1.Gejala Demam,
Lemah & Umum
Memperlihatkan
adanya penyakit
hewan menular
akut.
LAIN-LAIN
CATATAN
Alternatif,
K/D////diketah
ui pada awal pem.
Postmortem, disertai
hasil lab, dimana
penyebabnya tidak
berbahaya bagi orang,
tidak bakterimia, tidak
ada penggunaan
oabat atau bahan
kimia;
Pada antemortem,
penyembelihan,
postmortem tidak ada
kelainan, tidak
berbahaya bagi orang
dan hewan; tidak
sedang dalam
pengobatan atau
penyembuhan yang
harus ditolak/afkir
pada pem.antemortem
Pemotongan ditunda
dan pem.antemortem
diulang setelah cukup
istirahat
Dimusnahkan apabila
ternak tidak dapat
sembuh. Dinilai tunda
dengan pem.ulang
antemortem apabila
gejala berkurang. I
atau K, dan dilakukan
pem. Lab. untuk
mengurangi risiko
Tergantung kondisi
pertimbangan
ekonomi, L, I atau Kh;
T apabila penyakit
kronis; pem. Lab
apabila dicurigai
dalam pengobatan.
Alternatif
Kh/D/// kondisi
lemah dan uji lab.
residu obat dan/atau
infeksi sekunder
-
T
A
T
A
Amati pengaruh
waktu kerja obat dan
uji lab; sebaiknya:
T/T///
Alternatif
A/A///bila tidak
direbus; L atau I bila
konsumen suka.
Alternatif Kh untuk
konsumen yang tidak
ingin bau; bau ringan
alternative I/I//,
bau kuat T/T//./
Tahan pemotongan
terhadap risiko
kesehatan hewan dan
kesehatan manusia.
Rekomendasi dapat
A, I, Kh atau T
tergantung kondisi
umum dan hasil uji
lab. Selayaknya
ternak dikirim ke RPH
dalam waktu 10 hari
setelah melahirkan
atau abortus/keluron
Rekomendasi L
1.7.4.Bau sexual
oedematous,
dll
1.10.2.tiba-tiba
kolaps tanpa
penyakit dan
gejala umum,
atau perubahan
patologi pada
postmortem
(seperti krisis
cardiovascular)
1.10.3.Perdarahan
cadaver setelah
mati atau
dipotong
karena ternak
menderita
1.10.5.Potong darurat
karena
kecelakaan
1.10.5.Potong tanpa
antemortem
a).karena
kecelakaan
Alternatif
Kh/Kh/// hasil
uji lab tidak
berpenyakit
Alternatif A/A///,
tetapi untuk export
T/T///
T
L
T
L
Alternatif
Kh/Kh///
TOPOGRAFI
2.1.Infeksi umbilicus
sistemik
2.2.Penyakit syaraf
2.2.1.Encephalitis
Alternatif A/A///
dan meningitis
akut
2.2.2. Encephalitis,
meningitis
dengan
sempoyongan,
suhu normal
serta tidak ada
gejala
komplikasi
2.2.3.Abses otak
a).terdapat pyemia
b).luka terlokalisir
tanpa gejala
2.2.4.Abnormal
tingkah laku
(gangguan rasa,
dll)
a).Perdarahan tanpa
gejala komplikasi
Otak D
T
A
T
A
Otak D
b).Disertai gejala
lain atau
keracunan
2.3.Penyakit selaput
jantung, jantung
dan pembuluhnya
2.3.1.Pericarditis
a).Pericarditis akut,
septicaemia dan
disertai demam,
akumulasi exudat,
gangguan
sirkulasi,
perubahan
degenerative dan
bau abnormal
b).Pericarditis
subakut
Teliti catatan
peternakan, dan uji
lab untuk mengetahui
penyebab keracunan
atau penyakit yang
mana kelak perlu
disposisi T atau K
-
Kh
Kh
Uji lab
Kh
Kh
Alternatif L pengganti
Kh bila Kh tdk
ekonomis, dg uji lab
pathogen negative
c).Pericarditis
kronis tanpa
komplikasi
d). Pericarditis
kronis traumatic
2.3.2.Endocarditis
a). Endocarditis
ulcerative dan
verrucose, tanpa
komplikasi
b).Cicatrix
c).Verrucose
endocarditis tanpa
luka paru-paru
atau hati, infiltrasi,
debilitas umum
2.3.3.
Luka
jantung tidak
menular
(malformasi, dll)
2.4.Penyakit sistim
pernafasan
2.4.1.Sinusitis
2.4.2.Pneumonia
akut,
A
T
A
T
A
T
A
T
Kepala D
Kh
Kh
Uji lab
Mesent
ericus
A
Mesen
tericus
Kh
Mesen
tericus
D
mesen
tericus
D
Mesentericu
s
Paru-paru D
Uji lab
A
A
A
A
D
D
broncopneumonia
purulent,
gangrene paru
atau pneumonia
nekrotik
2.4.3.Pneumonia
catarrhal
2.4.4.Pleropneumonia
babi
a).Dengan
perubahan
patologi
b).Gejala komplikasi
lain
2.4.5.Pneumonia
subakut
2.4.6.Bronchopneumonia
subakut
2.4.7.Abses paruparu
2.4.8.Bronchitis
2.4.9.Brochopneumonia
verminiosa
2.4.10.Atelectasis,
emphysema,
pigmentasi,
perdarahan
pernafasan atau
ingesti benda
asing
2.5.Penyakit pleura
2.5.1.Diffuse
fibrinosa
2.5.2.Adhesi jaringan
fibrinous
2.5.3.Suppurative
atau gangrene
pluritis
2.6.Penyakit lambung
Uji lab
Uji lab
Alternatif T atau Kh
tergantung hasil uji
lab.
Tuberculosis lihat
item 3.3.8
dan usus
2.6.1.Gastroenteritis
Catarrhal akut
a).congesti kelenjar
getah bening
mesentericus
b).congesti mukosa
dan kelenjar getah
bening
mesentericus,
pembesaran limpa
atau degenerasi
2.6.2. Gastroenteritis
Catarrhal kronis
Usus D
Kh
Kh
Usus
D
Usus D
b).Kasus ringan
2.6.6.Mesentericus
emphysema
babi
2.7.Penyakit
Peritonium
2.7.1.Peritonitis:
a).Akut , difusse,
atau extensif
b).Peritonitis
fibrinous local
2.7.2.Adhesi atau
abses
encapsulates
local
2.8.Penyakit hati
2.8.1.Telangectasis,
bentukan kista,
batu empedu
A
A
A
A
D
D
Bila Tubeculosis,
beralku item 3.3.8
Alternatif T
tergantung kondisi
umum dan hasil uji
lab
2.8.2.Infiltrasi lemak
2.8.3.Degenerasi hati
2.8.4.keracunan,
parasit atau
penyakit non
spesifik
2.8.5.Bungkul parasit
hati
A
A
A
A
A
A
D
D
D
2.6.3.Enteritis
berdarah, atau
septic, croupus,
diphtric enteritis
2.6.4.Bloat atau
impaksi
lambung atau
rumen
a).Kasus sedang
Alternatif T atau Kh
tergantung hasil uji
lab.
Uji lab
Alternatif T atau Kh
tergantung hasil uji
lab.
Alternatif Kh
tergantung hasil uji
lab.
Tergantung kondisi
umum dan hasil uji
lab
D- hati diiris yang
kena untuk dibuang
(condemn)
2.8.6.Nekrosis hati
karena bakteri
2.8.7 Abses hati
a). embolik
dengan infeksi
umbical, abses
pada limpa, dll
b). Abses pada
selaput hati
2.8.8 Nekrosis
military hati
pada pedet
2.9. Penyakit saluran
kencing
2.9.1Batu ginjal,
bentukan kista
2.9.2 Radang ginjal
(Nephritis)
a). berbau urine
abnormal
b).Nephritis kronis
Kh
Kh
2.9.3.
Coline
nephritis
2.9.4.
Nepritis
suppurative dan
embolik
2.9.5.Pyelonephritis
a).Dengan uremia
b).tidak ada gejala
sistemik
2.9.6.Cystisis
a).bentukan
exudative dengan
demam, bau atau
urenogeneous
pyelonephritis
b).tidak ada gejala
sistemik
2.9.7.Rupture
kantung urine
a). urenogeneous
peritonitis, bau
urine, atau urinary
cellulitis
b).tidak ada gejala
sistemik
2.10.Penyakit
kelamin betina
dan penyebabnya
2.10.1.Radang uterus
a).Metritis akut
b).Metritis kronis
2.10.2.Retensi
placenta
T
A
T
A
T
A
T
A
a).Tanpa gejala
sistemik
b).Dengan sistemik
dan demam
2.10.3. Kelahiran
disertai metritis
akut, vaginitis
atau disertai
putrefikasi
foetus
2.10.4.Prolap uterus
disertai demam
atau peritonitis
2.10.5.Terdapat
sejumlah cairan
dalam uterus
2.10.6.Hb uria
puerperal pada
sapi
2.11.
Penyakit
kelamin jantan
2.11.1.Orchitis
dan/atau
epididimitis
2.12.Penyakit ambing
2.12.1.Mastitis
a).Tanpa gejala
sistemik
b).Spetic,
gangrenous atau
dengan gejala
sistemik
2.12.2.Pigmentasi
kelenjar ambing
pada babi
2.12.3. Oedema
pada ambing
2.13.Penyakit tulang,
persendian dan
selaput tendon
2.13.1. Fraktur
a). Tanpa
komplikasi
b). Penyakit atau
disertai gejala
umum
2.13.2.Osteomyelitis
a).lokal
b).gangrenous,
suppuratif atau
disertai metatasis
2.13.3.Deposit
pigmen dalam
tulang atau
Apabila lulus
pem.antemortem dan
postmortem, A atau
Kh. Subjek uji lab.
Ternak tidak
menunjukkan gejala
umum
=
Dugaan Brucellosis
dan Subjek uji lab
A
T
A
T
periosteum
2.13.4.Arthritis
dan/atau
tendonitis
a).Tidak menular
atau kronis, tanpa
gejala sistemik.
b).Menular akut
(fibrinous
purulent), seperti
poliarthritis pada
anak sapi
2.13.5.calsifikasi
presternal pada
sapi
2.13.6.Osteofluorosis
2.13.
Penyakit
otot
2.14.1.Deposit
calcareous
2.14.2.Myopathy
degenerative
aseptic
sepertiwhite
muscle
disease
2.14.3.Abnormalitas
lainnya dari
otot
a).Pada babi (lemak
tidak dipengaruhi)
sepertiPorcine
Stres
Syndrome,Pale
Soft
Exudative(PSE),a
tau Dark, Firm Dry
(DFD)
b).Ternak lain
seperti Dark
Cutting Beef
2.15.Penyakit kulit
2.15.1.Lesi atau
Cellulitis
a).Granula baru
b).luka menular dan
luka kulit
mengelupas
(i).Tanpa gejala
klinis
(ii).Dengan gejala
klinis seperti
demam, atau
metastasis atau
sepsis
2.15.2.Luka memar
a).Lokal
b).Dampak
perubahan secara
umum atau
sekunder di dalam
karkas
2.15.3. Terbakar
a).Lokal tanpa
sistemik
b).Dengan oedema
meluas atau gejala
sistemik disertai
demam.
2.15.4.Exzema dan
dermatitis
kronis pada babi
2.15.5.Erytrema dan
dermatitis akut
(seperti
Frostbite,
Sunburn,
korosi kimiawi,
Photosensititas
i).
a).Tanpa gejala
sistemik
b).Dengan demam
A
T
A
T
a).Infestasi berat
Infestasi meluas,
wajib dilaporkan
kepada penanggung
jawab kesehatan
hewan yang
berwenang setempat.
Alternatifnya dengan
pemanasan mencapai
60 derajat celcius
hingga ke pusat
daging.
b).Infestasi sedang
atau ringan
Kf
Kf
DAFTAR PENYEBAB
3.1.PARASIT
3.1.1.TRICHINELLOSIS
(T.spiralis)
3.1.2.CYSTICERCOSIS
BOVIS
3.1.3.CYSTICERCOSIS
CELLULOSE
a).Infestasi berat
b).Infestasi sedang
atau ringan
3.1.4.CYSTICERCOSIS
OVIS
T
Kf
T
Kf
Otak D
3.1.7.DISTOMATOSIS
a).Infestasi berat
b).Infestasi sedang
atau ringan
A
A
A
A
D
D
3.1.8.ENCHINOCOCCO
3.1.9.STRONGILUS
PULMONARY DAN
GATROINTESTINAL
3.1.10.Luka karena
parasit hati
atau usus
Kh
Kh
A
T
A
T
a).Infestasi berat
b).Infestasi sedang
atau ringan
3.1.5.CYSTICERCOSIS
TENUICOLLIS
3.1.6.COENUROSIS
CEREBRALIS
SIS (HYDATIDOSIS)
3.1.11.Infestasi
Oestrus ovis
pada domba
3.1.13.Infestasi
warble
(hypodermosis)
3.1.14.Mange dan
Scabies
a).Mange sarcoptic
pada babi
(i).lokal dan tidak
sistemik
(ii).luka meluas atau
ada sistemik
b).Scabies
sporoptic pada
domba
(i).tidak sistemik
(ii).luka kulit
suppurative
3.2.
PENYAKIT
PROTOZOA
Kepala D
L dapat dipakai
pengganti D, dimana
dapat dikerjakan
dengan mudah
3.2.1.TRIPANOSOMIASIS
3.2.2. BABESIOSIS
3.2.3.THEIILIREOSIS
3.2.4.TRICHOMONIASIS
atau Kh dipakai
daripada A, dimana
diketemukan gejala
umum yang terdaftar
dalam item 1.
-
A
A
A
A
A
A
A
A
D
D
D
D
T
A
T
A
A hanya bagian
tertular disingkirkan
T
A
T
A
=
-
Usus D
T
T
T
T
(T.FOETUS)
3.2.5.SARCOSPRODIO
SIS
a).Infestasi berat
b).Infestasi ringan
3.2.6.TOXOPLASMOSIS
a).Serologis
b).Gejala klinis atau
sistemik
3.2.7.COCCIDIOSIS
3.2.8.BESNOITOSIS
a).lokal dan tidak
sistemik
b).luka meluas atau
ada sistemik
3.3.PENYAKIT
BAKTERI DAN
PENYEBABNYA
3.3.1.ANTHRAX
3.3.2.BLACK LEG
3.3.3.BRAXY
(Cl.septicum)
3.3.4.ENTEROTOXEM
IA (desentri
domba, Cl
perfrigens)
3.3.5.MALIGNANT
OEDEMA
(Cl.septicum)
3.3.6.TETANUS
(Cl.tetani)
3.3.7.BOTULISM
(Cl.botulism)
3.3.8.TUBERCULOSIS
Daging ternak
penderita TBC
dilarang diekspor
T
dimana
prevalensi
rendah
Reaktor tanpa
luka
Kh
Kh
Paru-paru,
ambing D
Kh
Kh
Paru-paru,
ambing D
Paru-paru,
ambing D
Kh
Kh
Paru-paru,
ambing D
Kh
Kh
Paru-paru,
ambing D
Kh
Kh
Usus D
Kepala D
Alternatif L atau A,
tetapi dilarang untuk
ekspor
Item1.4 tdk
diperlukan. T apabila
dimungkinkan secara
ekonomi
-
A disukai daripada I.
Apabila L tidak
ekonomis dilarang
untuk perdagangan
ekspor
Item1.4 tdk diperlukan
Kecuali T, apabila
dipertimbangkan lebih
ekonomis atau
Item1.4 dapat
dipergunakan
submaxillaris
(iii).lukanya meluas
pada kelenjar
getah bening
atau organ lain
c).pada ruminansia
kecil
3.3.9.Johnes disease
(Paratuberculosi
s)
3.3.10.Actinomycosis
dan
actinobaccilosi
s
a).Terbatas di
kepala, atau
terdapat luka
ringan pada paruparu
b).luka meluas pada
paru-paru
Usus dan
penggantung
nya D
3.3.11.Salmonellosis
3.3.12. White scour,
omphalophebiti
s, polyarthritis,
dan
septicaemia
lain pada anak
yang baru lahir
3.3.13.Swine
erysipelas
a).kondisi akut
dengan erytrema,
atau diffuse
cutaneous dengan
erytrema
T
T
T
T
b).Arthritis kronis
local, atau
endocarditis local
tanpa gejala
sistemk
Kh
Kh
c).luka cutaneous
ringan
Kh
Kh
-T pada pemeriksaan
antemortem dinilai
bahaya, apabila
dimungkinkan
pemotongan ditunda
untuk diobati dulu
hingga sembuh
Uji bakteriologi, T
apabila meluas, atau
apabila positif bakteri
berbahaya. Lihat juga
Item 2.3.2. Alternatif A
dimungkinkan apabila
dinilai tidak
membahayakan
kesehatan konsumen
Alternatif A
dimungkinkan apabila
dinilai tidak
membahayakan
konsumen
d).Komplikasi
nekrosis arthritis,
3.3.15.Infeksi coryne
bacterial pada
kelenjar getah
bening
subamaxillaris
pada babi
3.3.16.Caseous
lymphadenitis
pada domba
(corynebacteri
um ovis)
3.3.17.Brucellosis
a).Pada sapi
Paru-paru D
-Kecuali apabila T
atau Kh dibawah Item
1.4
Ambing, alst
kelamin,
kelenjar
getah
bening
terkait D
b).Pada babi
c).Pada domba,
kambing dan
kerbau
3.3.18.Infectious
ovine
epidedemitis
(B. ovis)
3.3.19.Bovine
Kh
Kh
campylobacteri
osis
3.3.20.Pasteurellosis
Perkecualian
diperlukan untuk
mencegah penularan
pada pekerja daging
-
3.3.21.Haemorhagic
septicaemia
(pasteurella
multocida type
6:B dan 6:E)
3.3.22.Shipping
fever
a).Stadium klinis
Tidak diperkenankan
dibawa ke RPH
b).Penyembuhan
3.3.23.Atropic
rhinitis
3.3.24.Calf Diptheria
(necrobaccilosis)
a).Umum
b).Lokal
3.3.23.Foot rot pada
domba
3.3.24.Dermathophillus
(Streptothricosis
A
A
A
A
Bila mungkin
pemotongan ditunda
hingga sembuh
=
D apabila ada
kelainan tulang muka
T
Kh
A
T
Kh
A
D
D
Kepala D
T
A
A
T
A
A
D
D
Ginjal D
Paru=paru
dan
selaputnya
D
Paru=paru
dan
selaputnya
D
Ambing D
Dibedakan dengan
PMK (lihat item 3.4.1)
Item 1.4 tidak
diperlukan
dermathophilus
congolensis)
3.3.25.Leptosiprosis
a).Akut
b).Kronis lokal
3.3.26.Contagious
bovine
pleuropneumoni
a (Mycoplasma
mycoides
subspecies
mycoides SC
(Bovine
blottype)
3.3.27.Contagious
caprine
pleuropneumona
(Mycoplasma
sp F.38
blottype
3.3.28.Contagious
agalactia pada
kambing dan
domba
(Mycoplasma
agalactia)
3.3.29.Heartwater
(crowdie
ruminantium)
3.3.30. Q fever
(Coxiela
burnetti)
a). Klinis penyakit
Kecuali T atau Kh
disebabkan item 1.1
Diperlukan
pencegahan
penularan pada
pekerja RPH
-Kh/D//Ambing D,
bila T
dipertimbangkan tidak
ekonomis.
-T atau Kh lebih
disukai dan lebih
ekonomis
Kecuali bila Item1.1,
1.4 atau 1.7 dipakai
b).Serologis
Ambing D
3.3.31.Anaplasmosi
s
...
Kh
Kh
Usus D
Kepala D
Kh
Kh
3.4.PENYEBAB
VIRUS
Vesicular dan Cacar
3.4.1. Penyakit
Mulut dan Kuku
a).Pada Negara atau
zone bebas
Hewan sakit
dan kontak
b).Pada Negara atau
zone tertular
3.4.2.Vesicular
stomatitis
3.4.3.Vesicular
exanthema pada
babi
3.4.4.Swine
vesicular
3.4.5.Contagious
pustular
dermatitis
(contagious
ectyma/ Orf)
3.4.6.Sheep
pox/goat pox
a).Penyakit kiinis
b).Masa
penyembuhan
...
3.4.7.Lumpy Skin
Disease
3.4.8.Cacar lainnya
a).Sapi
b).Babi
PENYAKIT SAPI
3.4.9.Bovine
malignant
catarrh
3.4.10.Infectious
bovine
rhinotracheitis
-IBR/IPV
3.4.11.Bovine virus
diarrhea/Muco
sal Disease
3.4.12.Bovine parainfluenza
3.4.13.Bovine
leucosis
a).luka maskrospis
multiple
b).Reaktor saja
3.4.14.Bovine
Spongiform
Encephalopat
hy/ BSE
MACAM-MACAM
PENYAKIT PADA
BABI
4.4.15. Clasical
swine Fever
(Hog Cholera)
a).Berpenyakit
b).hewan yang
kontak
3.4.17.African Swine
Fever (baik
berpenyakit
dan hewan
kontak)
3.4.18.Teschen
Kh
Kh
A
L
A
L
D
D
Ambing D
Kulit D
...
Tergantung tingkat
prevalensi (Kh dipakai
daripada A, bila
dipertimbangkan lebih
ekonomis)
Sapi dengan gejala
BSE harus dilakukan
persyaratan ketat oleh
Dokter Hewan
berwenang. Uji Lab
untuk kepastian
diagnosa
Kh
Kh
Otak, spinal
disease
3.4.19.Aujeszkys
disease
(Pseudorabies
)
a).Berpenyakit
cord,
saluran
alimentarius
D
Kh
Kh
b).Reaktor
Otak, spinal
cord D
3.4.20.Swine
Influenza
Paru-paru D
Hati, darah
D
3.4.23.Louping ill
3.4.24.Ephemeral
Fever
3.4.25. Rabies
Ternak dipotong
dalam waktu 48 jam
setelah digigit.
T
A
T
A
3.4.26.Japanese
Encephalitis
pada babi
Darah, otak
medulla, alat
kelamin: D
Termasuk hewan
yang divaksinasi
Kecuali apabila T atau
Kh dipakai dibawah
Item 1.1
MACAM-MACAM
PENYAKIT
RUMINANSIA YANG
PENYEBABNYA
MELALUI
ARTHROPODA
3.4.21.Bluetongue
a). Dengan gejala
klinis
b).Reaktor saja
3.4.22.Rift Valley
Fever
a).Dengan gejala
klinis
b).Reaktor saja
Kecuali T atau Kh
dipakai dibawah item
1.1
Kecuali T atau Kh
dipakai dibawah item
1.1
Pemotongan ditunda
sampai suhu normal.
Sebaliknya T atau Kh
dipakai dibawah Item
1.1.
LAIN-LAIN PENYAKIT
D: disekitar gigitan;
perhatian risiko
penularan pada
pekerja. Alternatif
pemotongan ditunda,
dan dilakukan tindak
isolasi/karantina agar
dapat dikonfirmasi
penyakitnya.
Kh bila dinilai lebih
ekonomis, T pada
kasus penyakit akut
3.4.27.Scrapie
a).Dengan gejala
klinis
b).Hanya kontak,
anak dan
induknya
3.4.28.Viral
Leucosis
(selain pada
sapi)
a),Dengan luka
makroskopik
b).Reaktor saja
T dipakai daripada L,
bila dipertimbangkan
tidak ekonomis.
Tergantung tingkat
prevalensi (Kh dipakai
daripada A, bila
dipertimbangkan tidak
ekonomis)
3.5.1.Tick paralysis
3.5.2.Tumor
a). Tumor jinak
b).Tumor ganas
c).kombinasi
keduanya
3.5.3.Gangguan
metabolism,
penyakit
defisiensi,
keracunan
a).Bovine Ketosis
b).Pasturient
paresis
(hypocalcemia,
dll)
c).Kekurangan
mineral pakan
d).Grass tetany
3.5. GEJALA-GEJALA
TIDAK
TERIDENTIFIKASI
ATAU PENYEBAB
TIDAK MENULAR
LAINNYA.
(Hypomagnesemia)
pemotongan hingga
sembuh
Dipakai apabila hewan
menunjukan gejala
klinis atau tanda
padaa pemeriksaan
postmortem
Subjek diuji lab untuk
mengetahui/menghila
ngkan risiko residu
e).Keracunan (akut
atau kronis)
f).Keracunan
subakut atau
kronis dengan
perubahan
sekunder
(gastroenteritis,
degenerasi
organ,dll)- setelah
klinis
penyembuhan
g).Ichterus
(jaundice)
(i).Haemoli\ytic
(ii).Toxic
(iii).Penyumbatan
(ringan,
ditunjukkan
dalam waktu 24
jam)
(iv).Penyumbatan
sedang
(v).Physiologcal
(seperti pada anak
yang baru lahir)
atau karena
fraktur,dll)
Apabila ada
perubahan warna
yang ditunjukkan
dalam waktu 24
jam setelah
dipotong
Apabila
perubahan warna
terlihat setelah 24
jam
h).Penyebaran
melanosis pada
sapi
i).Penyingkiran
bagian tertular
yang sudah tidak
dimungkinkan
ii).Penyingkiran
bagian tertular
yang
dimungkinkan
3.5.4. Residu
Hati D
Alternatifnya I pada
kasus ringan dimana
T tidak dibenarkan
pemberian
anabolik
3.5.5.Residu diatas
ambang batas
Nasional
ataupun
internasional
3.6.1.Ochrratoxicosi
s pada babi
3.6.2.Alfatoxicosis
3.6.3.Mycotoxicosis
akut atau kronis
teramati pada
antemortem dan
postmortem
Hati, ginjal,
ambing:D
Keterangan:
BAB XI
PENGAMBILAN CONTOH PENGUJIAN
Daging adalah bahan yang cepat rusak (perishable), karenanya hasil pengujian
laboratorium sangat tergantung perencanaan dan pengambilan contoh, penanganan
contoh (pengiriman dan penyimpanan) dan persiapan contoh agar dalam persiapan
contoh lebih baik, sehingga maksud dan tujuan pengujian tidak sia-sia.
Pengambilan contoh daging harus dilakukan petugas pengambil contoh terlatih, dan
mempertimbangkan faktor-faktor hal sebagai berikut:
1.
Perencanaaan
Dalam pengambilan contoh harus dilakukan secara cermat dan cepat dalam satu
batch (lot) dalam satu unit produksi atau dilakukan secara acak dalam satu lot,
yang dianggap dapat mewakili setiap lot.
.
Kebutuhan pengambilan contoh uji tergantung pada maksud dan tujuan
pengujian dari rekomendasi hasil penilaian akhir pemeriksaan antemortem
dan/atau postmortem oleh dokter hewan
2.
3.
Untuk pengujian patologis atau biologi pada ternak ayam/unggas dapat diambil
secara ayam utuh, baik masih hidup atau bangkai
Pengambilan contoh uji untuk mengetahui adanya parasit dalam daging (seperti
cyste, protozoa pada toxoplamosis) dapat mengiris secara utuh daging pada
tempat-tempattertentu (predeleksi)
4.
Penanganan contoh
Pengambilan contoh yang telah disiapkan ditempatkan dalam wadah dengan
tutup pengaman, agar tidak terjadi kontaminasi yang tidak perlu. Pengirman
contoh ke laboratorium untyuk diuji, tersimpan dengan baik sesuai maksud dan
tujuan pengujian yang diperlukan. Berhati-hati penanganan contoh yang
dikatagorikan bahaya
5.
Pemberian label
Pemberian label pada contoh yang diambil sangat penting sebagai informasi
kepada penguji untuk melakukan tugasnya. Pemberian label harus
menginformasikan paling kurang sebagai berikut:
o Nama atau Nomor contoh
o Deskripsi contoh (seperti species, ras, organ dalam, karkas, cairan, dll)
o Nama petugas pengambil contoh
o Tanggal pengambilan contoh dan jumlah contoh
o Nama dan alamat unit usaha/pemilik
o Keterangan batch/lot atau unit contoh
o Suhu pengiriman contoh saat pengiriman
o Keterangan uji yang diperlukan.
o Titik dan lokasi pengambilan contoh
6.
Keselamatan kerja
Keselamatan kerja bagi petugas dalam menangani contoh bahan-bahan
berbahaya, maka sikap kerja hati-hati, teliti dan menggunakan alat pelindung diri
merupakan kewajiban petugas pengambil contoh yang baik.
7.
Dokumentasi
Catatan pengambilan contoh dilakukan secara seksama dan teliti baik di label,
formulir yang diperlukan, dan buku agenda yang dimaksudkan agar tidak tertukar
dan terdata dengan baik sebagai bahan telusur jejak pengujian.
TENTANG PENULIS
Penulis lahir di Medan, 2 Maret 1957, menyelesai studi Sekolah Dasar Negeri III,,
Sekolah Menegah Pertama Negeri II dan Sekolah Menengah Atas Negeri II (Paspal), di
Tanjungkarang, Provinsi Lampung dan menyelesaikan studi Dokter Hewan, FKH-UGM,
Yogyakarta 1983.
Riwayat Pekerjaan:
1979-1983 Asisten Dosen bidang Anatomi, FKH-UGM dan aktivis HMI FKH UGM
Bergabung dengan Direktorat Jenderal Peternakan pada akhir 1983 hingga saat ini
menjabat fungsional medic veteriner madya, pada Direktorat Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Pascapanen, dan sebelumnya pernah menduduki berbagai posisi jabatan
sebagai berikut:
Kepala Seksi Pengawasan Hewan, Bahan Asal Hewan, dan Hasil Bahan Asal Hewan,
Subdit Penolakan, Direktorat Kesehatan Hewan 1993-1995
Kepala Seksi Bahan Asal Hewan pada Subdit Perlindungan Hewan, Direktorat
Kesehatan Hewan 1995-1999
Kepala Seksi Produk Pangan Asal Hewani, Subdit Produk Pangan Hewani, Dit
Kesehatan Masyarakat Veteriner, 2000-2005
Kepala Subdit Pembina Pengujian Produk Hewan, 2006-2008
Kepala Subdit Produk Hewan Non Pangan,2008-2010
Kepala Subdit Sanitary dan Keamanan Produk Hewan, 2011-2012
Mengundurkan diri jabatan structural eselon III Direktorat Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Pascapanen, menjadi Jabatan Fungsional Medik Veteriner
padaDirektorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Pengalaman kerja:
1982 pernah bekerja magang di RPH Kabluk, Semarang sebagai pemeriksa kesehatan
ternak potong dan melaksanakan program vaksinasi massal PMK Provinsi Jawa Tengah
di Kab.Semarang
1985-1993 ikut berperan aktif dalam Tim negosiasi zoo-sanitary di lingkup ASEAN, dan
Sosial-ekonomi (sosek) Malindo, dan masukan teknis kepada OIE
1985-1986 ikut memperjuangkan berdirinya 200 Poskeswan di seluruh Provinsi RI
Dana NAEP-pada Direktorat.Penyuluhan Peternakan, Ditjen Peternakan.
1986 insiasi Dokter Hewan dalam kelompok professional sebagai Tenaga Kesehatan
Dokter Hewan dengan masa pensiun umur 60 tahun bagi dokter hewan yang berwenang
di daerah dan UPTbersama Drh. Anwar Sholeh, Kepala Seksi Pemberantasan Penyakit
Hewan
1987 pertama kali menjadi Inspektur Pemeriksa Kesehatan sapi bantuan ADB untuk
Kalimantan Timur, di Australia, kedua sap Banpres untuk NTT, pada tahun 1996
1983-1990 ikut berperan aktif dalam Tim pemberantasan Penyakit Mulut dan Kuku dan
Upaya Deklarasi Pembebasan PMK hingga diakui OIE, 1990
1984 ikut berperan aktif Tim pemberantasan SE di Ujung Kulon bersama Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Pandeglang.
1983-1985 ikut aktif berperan Tim penanggulangan dan pemberantasan wabah
penyakit ND di P.Sulawesi, Jawa dan Bali.
1987-1988 ikut berperan aktif Tim pemberantasan dan pembebasan Rabies di
Wonogiri, Jateng dan Ngawi, Jatim
1989-1990 ikut berperan aktif Tim penanggulangan wabah penyakit Anthrax di Boyolali
dan Klaten, Jawa tengah
1992 ikut berperan aktif dalam pembahasan RUU tentang Karantina,Hewan, Ikan dan
Tumbuhan dan Persyaratan dan Pemasukan Daging dari Luar Negeri ke Indonesia
1993-1994 ikut berperan aktif dalam menetapkan protocol persyaratan teknis
kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner di lingkup ASEAN dan
pemasukan daging dan ternak sapi feeder steer dari Australia.
1994-1995 ikut inisiasi perlunya jabatan fungsional medik dan paramedik veteriner
beserta angka kreditnya bersama Drh.Tagor Harahap, Kepala Subdit Penolakan.
1995-1996 ikut Tim penyusun RPP tentang Karantina Hewan
1998 ikut menginisiasi berdirinya Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner pisah dari
Direktorat Kesehatan Hewan yang terbentuk pada tahun 1999 bersama Drh. Muchtar
Abdulah, Kepala Subdit Perlindungan Hewan
2001-2002 ikut menjadi saksi kepolisian dalam hal pemasukan illegal paha ayam
(Chicken Leg Quarter/CLQ)
1995-2000 ikut berbagai kegiatan negosiator persyaratan teknis kesehatan hewan dan
kesehatan masyarakat veteriner dan karantina hewan baik untuk ekspor dan impor
hewan dan produk hewan dari berbagai Negara EU (ekspor daging unggas, impor daging
sapi Irlandia), USA, Australia, Afrika Selatan dan beberapa Negara lain (impor burung
onta), China, Jepang (daging unggas), lingkup ASEAN dan Amerika Latin seperti
Argentina, Venezuela, Brazil dan Mexico terutama kulit
2006-2008 ikut aktif dalam penyusunan Standar Nasional Indonesia terkait ternak,
produk hewan dan pengujian serta peraturan perundangan (Permentan) bidang
pengawasan dan pengujian keamanan dan mutu produk hewan beserta SNI
laboratorium kesmavet.
2000-2012 ikut berperan aktif dalam berbagai negosiator aspek hambatan teknis SPS
dan TBT dari berbagai Negara anggota WTO yang berkepentingan dengan pasar
Indonesia maupun mendampingi untuk keperluan ekspor produk hewan
2002-2003 ikut dalam Tim Penanggulangan Pemasukan Hewan dan Produk Hewan
illegal, Deptan bekerjasama dengan aparat penegak hukum dan Badan Intelijen Negara
RI yang dikoordinator Ditjen P2HP, Deptan.
2002-2014 menjadi Tim Penillai Medik Veteriner Tingkat Pusat.
2009 ikut aktif memberikan masukan rancangan pemerintah pada DIM RUU tentang
Peterrnakan dan Kesehatan Hewan
2012 mengundurkan diri dari jabatan struktural ke jabatan fungsional medik veteriner di
Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen.
1990-2012 ikut berperan aktif sebagai auditor aspek kesehatan, keamanan dan
kehalalan Produk Hewan dan bahan biologic di di dalam negeri maupun di berbagai
Negara: USA, Australia, New Zealand, Irlandia, Thailand, Malaysia.
2012-2013 aktif pembahasan Standar Kerja Kompetensi Nasional Indonesia bidang
Paramedik dan Medik Veteriner.
2010-2014 ikut aktif dalam pembahasan berbagai RUU maupun Permentan bidang
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pangan, serta Permendag tentang impor dan ekspor
hewan dan produk hewan.
2011-2012 berperan aktif negosiator masalah SPS dengan Negara Argentian, Brazil,
USA, EU, Australia, New Zealand.
Pengalamanan pendidikan dan pelatihan yang langsung terkait profesi veteriner sebagai
berikut:
Dalam negeri:
1. Surveilans Epidemiologi, Depkes RI
2. Pengamat Wabah Penyakit Hewan Menular
3. Pengenalan Butchering, MLA, Australia
4. Analisis Risiko, OIE
5. Emergency Prepradness Outbreak of Animal Diseases, DPIF, MAFF, Australia,
di Jakarta.
6. Reproduksi dan Kesehatan Ternak
7. Auditor HACCP disponsori USDA
8. Regulasi dan implemetasi SPS-WTO disponsori OIE dan WTO di Jakarta
9. Pelatihan Auditor, NATA, Australia di Jakarta, 2012
10. Penyegaran Auditor, NATA, Australia di Bandung, 2014
-
Luar Negeri:
1. Meningkatkan Kemampuan Manajemen Kesehatan Hewan,di Germany
2. Risk Analysis, SPS-WTO, Bangkok, Thailand
3. Studi komparatif pengujian residu kimiawi dan cemaran mikroba, di Malaysia
4. Pengujian Teknis Residu Kimiawi, di Univ Kedokteran Hewan, Nantes,
Perancis.
5. Keamanan produk peternakan, Korea Selatan, 2012
Bahan-Bahan Pustaka:
1. Anonimous, FSIS PHIS Directive., USDA, Antemortem Livestock Inspection, 2011.
2. Anonimous, Meat and Meat Products, Codex Alimentarius Volume Ten. Joint
FAO/WHO. Food Standard. Codex Alimentarius Commission, 1993.
3. Anonimous, Poultry Meat and Poultry Products Inspection, VPH Division.
Department of Livestock Development. Ministry of Agriculture, Thailand. 1992.
4. AA Ressang, Patologi Chusus Veteriner, 1963
5. Anonimous, Specimen Veteriner. Bullletin Epidemiologi Veteriner. Direktorat
Kesehatan Hewan. No.45-III/1985.
6. Anonimous, Manual Standard for Diagnostic Test and Vaccine, OIE. 1992
7. Anonimous, International Seminar of Animal Health and Production Services For
Village Livestock. Proceeding. Kon Kaen. Thailand.1989.
8. Anonimous, Meat Safety Quality Assurance System.- MSQA. For Fresh Meat,
Second Edition. AQIS, Canberra. Australia. 1990.
9. Howard D Dunne and Allen D Lenea. Diseases of Swine. Fourth Edition. The Iowa
State Univercity Press. Ames, Iowa, USA, 1978
10. JAAM Buijttel, RBM Huirnee, AA Dijkhuizen, JA Renkema and JPTM. Noordhuizen.
Basic Framework for the Economic Evaluation of Animal Heaalth Control
Programmes. Rev.Sci.tech. Off. Int Epiz.,Vol.15, No.3, Sept.1996
11. Michael J Palazo, Jr and E Os Chan. Basic of Microbilogy. Mc Graw-Hill Book
Company, 1986.
12. Mozes R. Toelihere. Ilmu Kebidanan pada Terank Sapi dan Kerbau. UI Press.
1985.
13. Neil V Anderson. Veterinary Gastro Enterology. Lea Febriger. Philadelphia,
USA.1980
14. Otto H Siegmund, cs, A Hand book of Diagnosis and Therapy for Veterinarian. The
Merck Veterinary Manual, 1979.
15. RA Lawrie. Meat Science. Univercity of Nothingham, Cambridge. Pergamon Press.
London.1968.
16. Robert Lehane. Beating The Odds. In Big Country. The Eradication of Bovine
Brucellosis and Tuberculosis, Australia, 1996
17. SC Hataway, Risk Analysis and Meat Hygiene. Revue Scientifique Et Technique.
Vol.12 No.16. OIE.1993
18. Soewarno T. Soekarto. Dasar-Dasar Pengawas dan Standardisasi Mutu Pangan.
Ditjen Dikti. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.1990