Anda di halaman 1dari 36

PENELITIAN TENTANG

POLA KEPEMIMPINAN PASTORAL BAGI MAHASISWA


STT BERASRAMA DI ERA ABAD 21

Oleh:
Rosnila Hura
KAPRODI PAK & IBU ASRAMA PUTRI
DI
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI INJILI ABDI ALLAH
STTIAA

DAFTAR ISI

BAB
I

II

PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah..

PERSYARATAN PEMIMPIN PASTORAL

A. Kerohanian Yang Baik

B. Karakter Yang Baik

C. Kemampuan Tehnis (Skill) yang Baik

12

III POLA KEPEMIMPINAN PASTORAL YANG IDEAL


ERA ABAD 21.

17

A. Karakteristik Kehidupan Berasrama 21...............

17

B. Karakteristik Kehidupan Berasrama..

21

C. Pola Kepemimpinan Pastoral bagi Mahasiswa


Teologi berasrama

29

IV PENUTUP.

38

KEPUSTAKAAN

39

BAB I
PENDAHULUAN

Pada bagian ini penulis akan membahas hal mendasar terkait dengan
makalah ini. Adapun kedua hal tersebut adalah latar belakang masalah dan
rumusan masalah.

A. Latar Belakang Masalah


Abad 211 yang ditandai dengan berbagai perubahan yang cukup
signifikan dibandingkan abad 20 membawa tuntutan perubahan bagi berbagai
bidang kehidupan, tak terkecuali dalam pelayanan gerejawi dan pelayanan
Kristiani lainnya. Sebagaimana dinyatakan Henry Efferin, abad 21 memunculkan
beberapa tantangan yang harus dijawab gereja melalui berbagai bentuk
perbaikan dan penyesuaian pelayanan dengan tuntutan lapangan. 2 Salah satu
topik terkait dengan tantangan yang dimaksud, adalah keberadaan tenaga
pelayanan gerejawi penuh waktu (dalam bahasa praktis pelayanan biasanya
disebut dengan hamba Tuhan full timer). Sebagai salah satu faktor penting
dalam upaya menghadapi tantangan abad 21, kualitas tenaga pelayanan
gerejawi penuh waktu memiliki peran penting dalam upaya yang dilakukan
gereja.
Bertolak dari hal tersebut, salah satu faktor yang dianggap penting adalah
sejauh mana seorang tenaga pelayanan gerejawi penuh waktu dipersiapkan
sebelum melakukan tugas pelayanan yang diembannya. Secara tradisional,
lazimnya mereka dipersiapkan secara khusus di seminari atau sekolah tinggi
1

Abad ialah masa seratus tahun, yaitu dari tahun satu hingga seratus, sehingga abad pertama mulai
pada hari pertama tahun 1 sampai ke hari terakhir tahun 100. Abad 20 Masehi berarti dimulai pada 1
Januari 1901 dan akan berakhir pada 31 Desember 2000. Dengan demikian awal abad 21 baru mulai pada 1
Januari 2001 hingga 31 Desember 2099. (Daniel Lucas Lukito, Kecenderungan Perkembangan Pemikiran
Teologi Abad 21: Sebuah Kajian Retrospektif dan Prospektif. Dalam Veritas; Jurnal Teologi dan Pelayanan
Edisi 1/1, April 2000. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara: 2000).
2
Beberapa tantangan tersebut terkait dengan globalisasi, pluralisme dan tantangan lain yang
terkait dengan interaksi antar manusia (Pdt. Henry Efferin Ph.D, Materi Kuliah : Kepemimpinan Pastoral
Kontemporer (Abad 21), Batu: Program Doktoral I-3, 2016.

teologi berasrama. Tanpa melewati proses ini biasanya kualitasnya diragukan.


Namun di era abad 21 yang sarat dengan nilai-nilai postmodernisme terjadi
pergeseran paradigma yang juga mempengaruhi dunia pelayanan, salah satunya
perubahan pola rekrutmen tenaga pelayanan gerejawi penuh waktu.
Jika

sebelumnya

berlaku

pendekatan

organisasi

(Organizational

Approach) kini bergeser menjadi pendekatan fungsi praktis (Functional


Approach), di mana salah satu cirinya, jika selama ini pelayanan berorientasi
pada lulusan seminari atau sekolah teologi kini bergeser pada tenaga pelayanan
berdasarkan fungsi yang tak harus berasal dari kalangan tersebut. 3 Pergeseran
tersebut, salah satunya disebabkan oleh munculnya anggapan bahwa lulusan
seminari atau sekolah teologi berasrama kurang dapat memenuhi kebutuhan
lapangan terutama berkaitan dengan kehidupan praktis kemasyarakatan era
abad 21.
Anggapan tersebut bukanlah anggapan tanpa

bukti, dalam berbagai

literatur dan diskusi yang penulis lakukan, lulusan seminari atau sekolah teologi
yang bersifat elitis, kurang dapat bergaul dan cenderung kaku dalam
menghadapi kompleksitas pergumulan

jemaat

dan pelayanan

membuat

keberadaan mereka justru dianggap sebagai penghalang bagi kelancaran


pelayanan.
Bertolak dari hal tersebut, sebagaimana dinyatakan John Frame dan
beberapa teolog lainnya, bahwa pendidikan khusus seminari atau sekolah teologi
masih dibutuhkan namun harus dengan pola pembinaan yang baik. Pembinaan
tersebut dilakukan dalam rangka keseimbangan antara pembelajaran yang
melibatkan aspek kognitif dan faktor lain yang dibutuhkan dalam proses
persiapan khusus yang dilakukan.4 Salah satu faktor penting dalam rangka hal
tersebut adalah keberadaan dosen dan para Pembina yang memiliki tugas dan

Pdt. Henry Efferin Ph.D, Materi Kuliah : Kepemimpinan Pastoral Kontemporer (Abad 21).
David Mathis and Jonathan Parnell, How To stay Christian in Seminary. P. 20-22.

tanggung jawab pembinaan terhadap para calon tenaga pelayanan gerejawi


penuh waktu khususnya faktor kepemimpinan pastoral, yang ideal terkait dengan
tantangan di era abad 21.

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah, maka rumusan masalah yang
penulis rumuskan dalam penelitian dan penulisan ini adalah : Bagaimana pola
kepemimpinan pastoral bagi mahasiswa STT berasrama di Era Abad 21?

BAB II
PRASYARAT PEMIMPIN PASTORAL

Sebagai salah satu bagian penting dalam kepemimpinan pastoral bagi


mahasiswa STT berasrama, pada bagian ini penulis akan membahas mengenai
prasyarat dasar atau hal mendasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin
pastoral bagi mahasiswa teologi berasrama. Dalam bagian ini terdapat 3
prasyarat yang harus dimiliki.

A. Kerohanian Yang Baik


Kerohanian5 yang baik merupakan salah satu prasyarat penting bagi
seorang

pemimpin

pastoral

yang

mengkhususkan

diri

untuk

membina

Istilah kerohanian yang penulis gunakan merujuk pada tulisan Daniel Tanusaputra, dimana
kerohanian Kristen bukan berkaitan dengan posisi/jabatan rohani atau peribadatan tapi lebih kepada
totalitas hidup, sebagaimana definisinya: Kerohanian Kristen adalah hidup menurut dan dipimpin oleh
Roh Kudus dan merupakan proses yang berlangsung terus-menerus seumur hidup. Kerohanian Kristen
tidak dapat dilepaskan dari disiplin rohani, baik melalui pembacaan/perenungan firman Tuhan dan
melalui doa atau berteduh di hadapan Tuhan. Karena itu, seorang Kristen atau seorang hamba Tuhan
yang menyebut diri seorang yang rohani haruslah orang yang hidup di dalam Roh, serta taat dan
tunduk di bawah otoritas firman Tuhan (Tanusaputra, Daniel N. Kerohanian Dan Pelayanan Seorang
Hamba Tuhan. Dalam Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan Edisi 14/2, Oktober 2013. Malang : seminari
Alkitab Asia Tenggara, 2005, hal. 253-254). Hal senada juga dinyatakan oleh D.A. Carson yang
menyatakan bahwa kerohanian bermakna totalitas kehidupan bukan hanya sekedar status rohani maupun

mahasiswa STT berasrama. Pentingnya kerohanian tersebut, selain karena


produk lulusannya berhubungan dengan dunia kerohanian, juga pentingnya
peran pribadi supranatural bagi keberhasilan pelayanan yang dilakukan. Pribadi
tersebut adalah Allah Bapa, Kristus dan Roh Kudus yang menjadi penentu
keberhasilan pelayanan yang dilakukan.
Kehadiran Pribadi Trinitas tersebut tak lepas dari pentingnya otoritas
dalam proses kepemimpinan pastoral yang dilakukan. Sebagaimana diketahui
otoritas merupakan hal mendasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Tanpa adanya otoritas
seorang pemimpin tak akan mendapatkan ketundukan dan perhatian dari setiap
pribadi yang dipimpin. Dalam praktik pendidikan Kristen termasuk di STT
(Sekolah Tinggi Teologi) khususnya yang berasrama, otoritas merupakan hal
yang dibutuhkan agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik. 6
Secara khusus, peran Roh Kudus sangat dibutuhkan dalam proses
pembelajaran di era Abad 21 yang penuh dengan ketidak pastian dan perubahan
yang cepat sehingga membutuhkan materi dan pola pembelajaran yang dapat
memberikan bekal sebanyak mungkin pada peserta didik. Kehadiran Roh Kudus
sebagaimana dinyatakan Gary Newton bahwa kehadiranNya diperlukan dalam
proses pembelajaran karena melaluinya proses pembelajaran dapat berjalan
dengan baik dan hal-hal yang dibutuhkan untuk diingat oleh peserta didik akan
ditanamkan secara baik oleh Roh Kudus melalui kekuatan supranatural yang
dimilikinya.7 Hal inilah yang nantinya akan menjadi bekal bagi peserta didik untuk
menghadapi tantangan post modernisme.
Merujuk pada pernyataan Daniel Tanusaputra dan D.A. Carson,
mekndefinisikan kualitas kerohanian seseorang bukanlah hal yang mudah
aktivitas rohani yang dilakukan oleh seseorang ( D.A. Carson, The Cross and Christian Ministry: An
Exposition of Passages from 1 Corinthians. Grand Rapids Michigan: Baker Books,2004, P. 49-50, 75-76).
6
Anthony, Michael J. Anthony, Introducing Christian Education Foundations for the Twenty first
Century. Grand Rapids, Michigan; Baker Books, 2001. Diakses via https://scribd.com, P. 304.
7
Michael J Anthony, Introducing Christian Education Foundations for the Twenty first Century.
P. 305

karena harus memperhatikan totalitas, namun secara mendasar, penulis


menemukan setidaknya ada 3 (tiga) karakteristik bagi kerohanian yang baik.
Ketiga hal tersebut adalah: kelahiran baru dan kesadaran telah dipilih, integritas
kehidupan dan kedekatan persekutuan dengan Tuhan. Secara singkat
penjelasan terkait dengan ketiga hal yang dimaksud adalah sebagai berikut
Pertama, kelahiran baru dan kesadaran telah dipilih. Kelahiran baru
merupakan hal yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin pastoral
termasuk di lingkungan sekolah teologi. Kelahiran baru menjadi titik awal bagi
kehidupan Kristiani dan kehidupan pelayanan, sebab tanpa adanya kelahiran
baru seorang pemimpin tidak akan mampu menjalankan kepemimpinan sesuai
dengan kehendak Allah. Seiring dengan kelahiran baru, setiap pribadi Kristiani
yang telah ditetapkan Allah untuk memperoleh keselamatan telah dipilih untuk
menjadi salah satu bagian dari rencana Allah bagi kemuliaanNya. Salah satu dari
rencana tersebut adalah pemakaian dalam hal kepemimpinan pastoral.
Hal tersebut ditegaskan melalui dipilihnya beberapa tokoh Alkitab seperti
Abraham, Ishak, Yakub, Musa, Daud dan tokoh alkitab lainnya. Allah memilih
mereka bukan berdasarkan kelebihan mereka. Keyakinan ini harus menjadi
keyakinan dasar yang dimiliki oleh seorang pemimpin pastoral. Melalui
keyakinan ini seseorang akan memiliki keyakinan terhadap dirinya dan juga
berhati-hati dalam menjalankan tugas kepemimpinan.8
Kedua,

integritas rohani. Yang dimaksud dengan integritas rohani

adalah adanya kesatuan antara hati, pikiran dan perbuatan dengan aktivitas
kerohanian yang dimiliki. Dengan kata lain integritas ini berbicara mengenai
totalitas kehidupan Kristiani dimana dalam kehidupannya seseorang benar-benar
memiliki

kehidupan

yang

sesuai

dengan

keyakinan

kerohanian

yang

dipelajarinya. Dalam perspektif Alkitab, integritas rohani sering diidentikkan


dengan kehidupan yang meneladani Kristus. Istilah bagiku hidup adalah Kristus
8

Bob Jokiman, Dasar-Dasar Alkitabiah Pengembangan kepemimpinan. Diakses melalui


http://www.seabs.ac.id/journal/april2003/Dasar-Dasar%20Alkitabiah%20Pengembangan%20
Kepemimpinan.pdf, h. 1-2.

dan mati keuntungan adalah salah satu bentuk integritas rohani yang
dinyatakan oleh Paulus.
Ketiga, kedekatan persekutuan dengan Tuhan. Persekutuan dengan
Tuhan merupakan salah satu bentuk yang harus dilakukan oleh pemimpin
pastoral yang melakukan pendampingan terhadap mahasiswa STT berasrama.
Prinsip dasar dari kedekatan persekutuan dengan Tuhan mengkhususkan waktu
untuk melakukan persekutuan pribadi dengan Tuhan. Pengkhususan waktu ini
dilakukan dengan cara bermeditasi (melakukan refleksi diri terhadap kehidupan
pribadi dalam kaitannya dengan ketaatan terhadap firman Tuhan), berdoa dan
melakukan pembelajaran firman Tuhan dalam rangka membangun kerohanian
pribadi, bukan dalam rangka mempersiapkan materi pelayanan. Dengan berujuk
kehidupan Kristus, beberapa penulis berpandangan, rutinitas persekutuan
dengan Tuhan merupakan modal dasar bagi pembangunan kerohanian seorang
pemimpin.9
Selain mengkhususkan waktu untuk bersekutu dengan Tuhan, hal yang
senantiasa dilakukan oleh seorang pemimpin pastoral adalah menjaga
komunikasi dengan Tuhan sepanjang waktu kehidupannya.

B. Karakter Yang Baik


Merujuk pada pernyataan Magdalena Santoso10 yang menyatakan
pentingnya peran orang tua dan guru dalam proses mendidik peserta didik agar
menjadi pribadi yang serupa dan segambar dengan Kristus dalam setiap
langkahnya, seorang pemimpinan pastoral di institusi pendidikan teologi perlu

Jokiman, Dasar-Dasar Alkitabiah Pengembangan kepemimpinan, h. 2-4, Ken Blanchard and


Phil Hodge. Lead like Jesus : lessons from the greatest leadership role model of all times,P. 178-179.,
10

Magdalena Santoso, 290-292

memiliki karakter yang baik. Karakter11 ini menjadi tujuan mutlak bagi seorang
pemimpin selain karena kebutuhan atas pentingnya keteladanan, keberadaan
karakter juga dibutuhkan dalam rangka optimalisasi proses pendampingan dan
pengasuhan yang dilakukannya.
Terkait dengan karakter yang baik, terdapat beberapa teladan pemimpin
yang memiliki karakter yang baik sebagaimana dipaparkan oleh Alkitab maupun
di luar Alkitab. Namun, dari beberapa teladan yang dimaksud, karakter Yesus
Kristus sebagai pemimpin sering dipakai sebagai rujukan keteladanan. Secara
singkat karakter atau sikap mental yang dimiliki oleh Kristus diringkas menjadi
satu kata yaitu Kasih yang tulus kepada Allah dan sesama yang merupakan
dasar dari segala bentuk hukum ketaatan kepada Allah (Mat 22:38-39).Secara
rinci dalam I Korintus 13:4-7 dinyatakan bahwa Kasih dapat dijabarkan dalam
berbagai bentuk sikap dan tindakan yang dilandasi oleh karakter atau sikap
mental yang baik. Beberapa diantaranya seperti rendah hati, tidak egois, sabar,
murah hati, tidak pemarah, adil, berpihak pada kebenaran dan beberapa yang
lainnya. Secara singkat, dengan menggunakan analogi gembala, Kristus
menunjukkan kasihNya hingga Ia rela memberikan nyawanya bagi dombadomba yang digembalakannya (Yoh 10:18). Analogi ini menunjukkan adanya
totalitas pengabdian yang dimiliki oleh Kristus sebagai seorang pemimpin.
Totalitas tersebut terutama berkaitan dengan orang yang dipimpin dan
dibimbingnya, seperti para murid dan beberapa orang yang dianggap hina oleh
masyarakat seperti perempuan Samaria dan yang lainnya12
Dengan menggunakan istilah lain untuk menunjukkan keteladanan Kristus
dalam totalitas kepemimpinan, Blanchard menyebut Kristus sebagai pemimpin
yang melayani (servant leader). Dalam keberadaanya sebagai seorang servant
11

Merujuk beberapa sumber yang penulis pelajari, istilah karakter yang penulis maksudkan
dalam penulisan ini adalah sikap mental yang dimiliki oleh seseorang yang melatar belakangi setiap
tingkah laku, pemikiran dan perkataan yang dimilikinya.
12

Michael Youssef, Gaya Kepemimpinan Yesus, hal. 91-93

leader Kristus telah menunjukkan totalitas pengabdiannya dalam kepemimpinan.


Totalitas tersebut yang oleh Blanchard disebut dengan hati seorang pemimpn
yang melayani (the heart of a servant leader) yang terintegrasi dengan pemikiran
(the head of a servant leader), tindakan kongkrit (the hands of a servant leader)
dan kebiasaan (the habits of a servant leader)13
Dalam kepemimpinan pastoral bagi mahasiswa teologi berasrama,
karakter kepemimpinan yang bersumber dari Kasih kepada Allah dan sesama
merupakan hal yang mutlak diperlukan. Dengan adanya hal tersebut, seorang
Pemimpin pastoral akan mampu mengatasi berbagai hal yang menjadi
penghalang dalam proses kepemimpinan yang dilaksanakannya. Hal mendasar
tersebut menurut Blanchard berkaitan dengan ego yang dimiliki sebagai seorang
manusia normal. Menurutnya, seorang pemimpin pastoral juga manusia yang
memiliki ego yang berorientasi pada kepentingan diri sendiri.

C. Kemampuan Tehnis (Skill) Yang Baik


Selain kerohanian dan karakter yang baik, prasyarat yang harus dimiliki
oleh seorang pemimpin pastoral bagi mahasiswa pendidikan teologi berasrama
adalah kemampuan tehnis (skill yang baik)14. Kehadiran skill ini dibutuhkan
dalam rangka keberhasilan proses kepemimpinan dan penggembalaan yang
dilakukan terhadap mahasiswa binaan.

Terkait dengan topik bahasan, dari

beberapa kemampuan tehnis (skill) yang ada, penulis menemukan ada tiga
kemampuan yang harus dimiliki kemampuan tersebut terkait dengan komunikasi
dan

interaksi,kemampuan

terkait

dengan

manajemen

informasi

serta

kemampuan yang terkait dengan tehnis kependidikan.

13

Blanchard, lead as Jesus, p. 52-55

14

Yang dimaksud dengan kemampuan tehnis (skill) dalam karya ilmiah ini adalah pengetahuan
dan ketrampilan yang bersifat tehnis yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab
sebagai pemimpin pastoral bagi mahasiswa lembaga pendidikan teologi berasrama.

10

Kemampuan tehnis (skill) yang berkaitan dengan komunikasi dan interaksi


merupakan kemampuan yang berhubungan dengan kemampuan seorang
pemimpin pastoral dalam menjalin komunikasi dan berelasi dengan semua pihak
terutama peserta didik dan pihak yang terkait dengan proses kepemimpinan
pastoral bagi mahasiswa teologi berasrama. Kemampuan tersebut meliputi
kemampuan dasar komunikasi, kemampuan interaksi lintas konteks dan juga
kemampuan menggunakan tehnologi komunikasi.15
Yang

dimaksud

dengan

kemampuan

dasar

komunikasi

adalah

kemampuan seseorang untuk memahami elemen dasar dan proses terjadinya


komunikasi yang melibatkan elemen yang dimaksud16. Kemampuan ini
diperlukan agar pribadi pemimpin pastoral dapat berperan secara baik dalam
proses komunikasi baik sebagai komunikator maupun komunikan. Melalui hal ini,
maka komunikasi yang akan dijalin memiliki peluang untuk apat berlangsung
dengan baik. Dalam konteks pembinaan peserta didik di asrama mahasiswa
teologi, penguasaan terhadap kemampuan dasar komunikasi ini akan membantu
seorang pemimpin pastoral dapat melakukan komunikasi yang baik sehingga
dapat meminimalisir adanya hambatan ataupun gangguan komunikasi.

15

Dengan mengutip pakar komunikasi Prof. Dede Mulyana, Ph.D dan beberapa pakar komunikasi
lainnya, Immanuel Yosua menyatakan bahwa di era kemajuan tehnologi informasi dan komunikasi yang
ditandai dengan globalisasi (global village) kemampuan komunikasi menjadi hal yang sangat penting untuk
dimiliki oleh setiap orang khususnya public figure atau pribadi yang membutuhkan komunikasi intens
dengan pihak lain termasuk diantaranya agamawan Kristen. Secara rinci kebutuhan tersebut berkaitan
dengan kebutuhan terhadap pemahaman komunikasi dasar, komunikasi lintas konteks budaya dan juga
penguasaan terhadap tehnologi komunikasi. (Immanuel Yosua, Materi Seminar Terbatas Komunikasi
antar budaya di era kemajuan tehnologi dan pelayanan masa depan pelayanan Kristiani. Pacet : Oktober
2015, h. 1.
16

Yang dimaksud elemen dasar komunikasi adalah komunikator, komunikan, pesan,


sarana/instrument, motif komunikasi dan gangguan/hambatan komunikasi. Sementara itu yang dimaksud
dengan proses dasar komunikasi adalah proses terjadinya interaksi atau pertukaran pesan antara
komunikator dan komunikan dalam suatu konteks tertentu (Immanuel Yosua, Materi seminar terbatas, h.2)

11

BAB III
POLA KEPEMIMPINAN PASTORAL YANG IDEAL ERA ABAD 21

Pada bagian ini penulis akan membahas mengenai beberapa hal yang
akan bermuara pada pola kepemimpinan pastoral yang ideal pada era abad 21.
Beberapa hal yang penulis bahas dalam bagian ini adalah mengenai karakteristik
abad 21, karakteristik kehidupan berasrama dan karakteristik pembinaan
berasrama di institusi teologi. Akhirnya pembahasan pada bab ini akan bermuara
pada pola kepemimpinan pastoral yang ideal bagi mahasiswa institusi teologi
berasrama pada era abad 21.

A. Karakteristik Abad 21
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian Pendahuluan, abad 21 yang
dimulai sejak tahun 2001 memiliki karakteristik dan tantangan tersendiri yang
berbeda dengan tantangan pada abad sebelumnya. 17 Dari beberapa literatur,
penulis menemukan bebeberapa hal yang menjadi karakteristik dari abad 21.
Namun dari rangkaian bahasan yang ada, secara singkat terdapat dua
karakteristik mendasar dari abad ini. Adapun katakteristik tersebut adalah
pergeseran dari era modernisme menuju Postmodernisme dan kuatnya
pengaruh globalisasi.

1. Pergeseran Modernisme menuju Postmodernisme


Dari sisi historis pergeseran modernisme menuju era postmodernisme18
yang dimulai sejak 15 Juli 1972 di St. Luois Missouri, AS disebabkan oleh

17

Dengan mengutip tulisan Dr. Daniel Lucas Lukito dan Pdt. Henry Efferin, Ph.D penulis telah
jelaskan secara singkat pada bab pertama
3Merujuk pada pernyataan Ericson, Postmodernism by its very nature is not easy to define in
simple terms. It is both a broad cultural and sociological phenomenon and an ideology, a set of ideas.
Instead of beginning with a standard definition, stating certain qualities of the movement and then
distinguishing it from other members of its class, we do well first to identify some instances of it, and then

12

gagalnya

modernisme

memenuhi

kebutuhan

hidup

manusia.

Hal

ini

sebagaimana dinyatakan oleh J.I. Packer, The only agreed upon element is that
postmodernism is a negation of modernism.Negasi tersebut terjadi karena ilmu
pengetahuan dan tehnologi yang diagungkan modernisme sebagai solusi dari
permasalahan yang dihadapi oleh manusia ternyata justru menyebabkan
malapetaka. Perang, penyimpangan karena tehnologi, kejahatan internasional,
dianggap sebagai hasil kontraproduktif dari modernisme.19 Sebagai akibatnya,
nilai-nilai

modernisme

yang

mengagungkan

rasionalitas

bergeser

pada

mistikisme dan hal-hal lain yang merambah seluruh aspek kehidupan manusia.
Secara mendasar, postmodernisme bermuara pada relativisme dalam
segala aspek kehidupan termasuk di dalamnya kebenaran, moral, kesusilaan
dan tata kehidupan. Relativisme tersebut mengandung konsekwensi adanya
penolakan terhadap hal yang bersifat absolut keempat hal mendasar dalam
kehidupan

manusia

yang

telah

penulis

sebutkan.

Dalam

perspektif

postmodernisme, tidak ada kebenaran, moral dan kesusilaan yang bersifat


absolut dan universal. Prinsip benar-salah atau baik-buruk bukan tergantung
pada nilai universal namun lebih kepada pertimbangan subyektif yang
didasarkan pada keyakinan pribadi ataupun kelompok. Bagi postmodernisme,
pemaksaan terhadap adanya absolutisme dan universalisme dalam kebenaran
dan nilai-nilai kehidupan adalah kejahatan terhadap hak asasi dan natur
kehidupan manusia.20
Dalam kehidupan praktis, Graham Johnson menyatakan, setidaknya
terdapat 9 karakteristik manusia postmodernisme yaitu : penolakan terhadap
kebenaran obyektif, skeptic dan penolakan terhadap otoritas, kehilangan
draw out a description (Millard J. Ericson, Postmodern World Discerning The Times and the Spirit of Our
Age.) penulis tidak secara detail mendefinisikan Postmodernisme sebagai sebuah definisi yang baku namun
penulis lebih melihat kepada sebuah fenomena sosial, kultural dan ideology yang mengarah pada tata
kehidupan sosial baru.
19
Graham M. Johson, Preaching to a Postmodern World A Guide to Reaching Twenty first
Century Listeners. Grandrapids, Michigan: Baker Books, 2001. Diakses via https://scribd.com p. 11
20
Ericson, p 11-13.

13

identitas pribadi, kaburnya nilai moral/moralitas, pencarian berkepanjangan


terhadap hal yang transenden, adanya perbedaan standar nilai antar komunitas,
toleransi yang berlebihan antara satu dengan yang lain, di satu sisi mereka
mencari nilai kekekalan di sisi lain mereka senantiasa memiliki keterikatan yang
kuat dengan hal yang bersifat material.21 Ciri khas ini mempengaruhi setiap
aspek dan kehidupan manusiadan menyebabkan adanya perubahan prilaku
yang cukup signifikan. Bidang kesehatan, pendidikan, hukum, kehidupan sosial
dan

kehidupan

keagamaan/religiusitas

merupakan

bidang

di

mana

postmodernisme memiliki pengaruh yang cukup kuat. Tak terkecuali dalam


kehidupan teologi dan pelayanan Kristiani.
Dalam dunia teologi Kristen, Daniel Lukas Lukito menyatakan terdapat 4
kecenderungan dalam berteologi yaitu teologi secara radikal dibangun di atas
dasar imanensi, diwarnai oleh semangat mensintesiskan yang sakral dan
sekuler,

semakin

kuatnya

subyektifisme

eksistensialisme

dan

semakin

gencarnya pluralisme diadopsi oleh teologi. 22 Hal teologis tersebut secara


perlahan namun pasti mempengaruhi pelayanan praktis dan memunculkan
perubahan yang cukup signifikan. Beberapa diantara perubahan tersebut adalah
makin merebaknya ajaran dan pandangan yang tidak sesuai dengan ajaran
ortodoksi di kalangan jemaat bahkan pendeta dan pelayan mimbar, merebaknya
sinkritisme dalam kehidupan praktis jemaat, orientasi pengajaran pada hal
praktis bukan hal fundamental dalam Kekristenan, menurunnya disiplin gereja
dan ketaatan terhadap nilai-nilai kebenaran dan moral Kristiani, melemahnya
penginjilan dan merebaknya keyakinan pluralisme soteriologis.23

21

Graham M. Johnson, p. 11-13


Lukito, Daniel Lucas. Kecenderungan Perkembangan Pemikiran Teologi Abad 21: Sebuah
Kajian Retrospektif dan Prospektif. Dalam Veritas, h. 380-390
23
Graaham Johnson, p. 40-70.
22

14

2. Kuatnya Pengaruh Globalisasi


Secara sederhana, globalisasi menurut Thompson adalah proses semakin
menguatnya keterkaitan antar manusia dan negara di seluruh dunia dari
berbagai macam dimensi baik yang bersifat material seperti perdagangan dan
tehnologi maupun yang berkaitan dengan nilai maupun bidang kehidupan lain
seperti nilai kebenaran, cita-cita kebangsaan, seni, hukum, politik dan beberapa
bidang kehidupan lainnya.24 Dengan kata lain, globalisasi merupakan suatu
kondisi di mana sekat-sekat komunikasi dan interaksi antar manusia yang
sebelumnya terhambat oleh jarak kini dapat teratasi. Hal ini tak lepas dari
kemajuan tehnologi informasi dan komunikasi yang merupakan hasil dari
kemajuan ilmu pengetahuan di era modernisme.
Dalam menghadapi globalisasi, manusia atau sekumpulan manusia
(negara) terbagi dalam 4 sikap sebagai respon terhadapnya. Keempat sikap
tersebut

adalah

positivisme,

negativisme,

transformasionalisme

dan

tradisionalisme. Positivisme memiliki kecenderungan untuk menilai hal positif dari


globalisasi sehingga cenderung mendukung globalisasi secara total. Sementara
negativisme memiliki pandangan yang negatif terhadap globalisasi sehingga
secara ekstrim menolak adanya globalisasi.
Penolakan tersebut biasanya disebabkan karena munculnya kecurigaan
terhadap globalisasi hanya sebagai alat barat untuk kepentingan barat semata.
Sementara itu, transformasionalisme memiliki keyakinan bahwa globalisasi
memiliki pengaruh kuat bagi lahirnya transformasi yang merupakan produk
perubahan dan bertemunya budaya. Pandangan ini bertentangan dengan
pandangan tradisional yang menganggap globalisasi adalah hal yang tidak
membawa perubahan signifikan.
Dalam konteks

pelayanan Kristen, globalisasi membawa semakin

luasnya interaksi antar manusia dan pihak terkait melalui tehnologi khususnya
24

Karl Thompson, Globalisation Revision Noted. US: Smashword, 2013, P. 2.

15

informasi dan komunikasi. Beberapa bentuk dari hal tersebut adalah tayangan
televisi, radio dan internet yang dapat diterima di seluruh dunia melalui tehnologi
nirkabel. Sebagai akibat dari hal tersebut berbagai informasi dapat terdistribusi
secara cepat. Selain hal tersebut, berbagai materi yang dibutuhkan dalam
pelayanan dapat lebih mudah diakses dalam rangka persiapan pelayanan.
Namun selain hal positif, globalisasi juga memunculkan berbagai permasalahan
mulai dari hal yang bersifat tehnis hingga hal yang bersifat mendasar.
Beberapa hal tehnis diantaranya kesalahan menggunakan tehnologi baik
off line maupun online. Keberadaan media jejaring sosial seperti facebook,
twitter, path, BBM, Whatsapp dan yang sejenisnya hingga hal mendasar seperti
semakin mudahnya penyebaran ajaran sesat dan keyakian yang bertentangan
dengan Alkitab menjadi salah satu resiko dari globalisasi. Merebaknya pusat
peribadatan dari aliran yang mengadu dirinya bagian dari Kekristenan namun
terkategori bidat merupakan salah satu akibat dari globalisasi.
B. Karakteristik Kehidupan Berasrama25
Yang dimaksud dengan karakteristik kehidupan berasrama adalah ciri
khas dalam dalam kehidupan berasrama di institusi pendidikan teologi yang
menerapkan sistem pembinaan berasrama. Secara umum karakteristik tersebut
terkait dengan karakteristik mahasiswa selaku peserta didik, karakteristik
interaksi yang terjadi dan karakteristik pembinaan dalam konteks institusi
pendidikan teologi.

25

Pembahasan pada bagian ini penulis dasarkan pada pembelajaran penulis melalui proses
pembentukan berasrama di institusi pendidikan teologi yang penulis pernah jalani dan juga pengalaman
sehari-hari penulis sebagai Pembina asrama dan mahasiswa berasrama si salah satu institusi pendidikan
tinggi teologi di Jatim hingga saat ini. Terkait dengan hal tersebut, beberapa tulisan yang bernuansa
akademik berasal dari beberapa buku dan materi yang pernah penulis baca terkait topik yang dimaksud
yang telah terinternalisasi dalam pemikiran penulis

16

1. Karakteristik Mahasiswa Berasrama


Sebagai institusi yang menerima mahasiswa dari berbagai kalangan,
peserta didik di institusi teologi berasrama memiliki keragaman latar belakang
dan keragaman motivasi. Keragaman latar yang dimaksud, dalam konteks
Indonesia terkait dengan keragaman suku bangsa/etnis, bahasa, adat istiadat,
pendidikan, status sosial, status ekonomi dan berbagai hal yang terkait dengan
konteks di mana peserta didik dibentuk sebelum memasuki pola pendidikan
berasrama yang diterapkan di sekolah teologi. Dalam catatan penulis

dari

berbagai sumber, terhadap pendidikan teologi berasrama di Indonesia, hampir


semua pendidikan tinggi teologi berasrama di Indonesia merupakan institusi
pendidikan yang menekankan heterogenitas peserta didik. Heterogenitas
tersebut tak lepas dari semangat multikultural yang diusung dalam pendidikan
teologi di Indonesia. Semangat ini berhubungan erat dengan semangat
persatuan di dalam Kristus dan juga keragaman kultural yang ada di Indonesia
Keragaman ini memunculkan keragaman pola komunikasi dan interaksi
yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Sebagai contoh pola komunikasi
dan interaksi antara mahasiswa yang dibentuk dalam budaya Nias atau Batak
yang mengutamakan keterus terangan berbeda dengan mahasiswa yang
dibentuk dalam budaya Jawa atau Sunda yang cenderung melakukan pemilahan
komunikasi sehingga terkesan tertutup.
Selain keragaman latar belakang, keragaman motivasi dalam menempuh
pendidikan teologi berasrama juga menjadi salah satu hal yang menjadi
karakteristik mahasiswa berasrama. Dalam pembelajaran lapangan yang
dilakukan penulis selama menjadi Pembina mahasiswa di salah satu pendidikan
tinggi teologi di Jawa Timur, terdapat berbagai motivasi yang dimiliki oleh
mahasiswa untuk memutuskan menempuh pendidikan tinggi teologi. Secara
mendasar motivasi tersebut terbagi menjadi dua yaitu dorongan yang berasal
dari pihak di luar diri sendiri dan motivasi yang berasal dari diri sendiri. Motivasi
yang berasal dari luar biasanya berasal dari diri sendiri
17

Beberapa motivasi tersebut diantaranya : ingin mempersembahkan hidup


sepenuh waktu kepada Tuhan, ingin memiliki ketenangan masa depan karena
hidup di dalam pelayanan atau juga motivasi yang bersifat kebendaan misalnya
ingin dihargai secara sosial, memasuki dunia kerja dengan prospek yang cerah
maupun ingin sekedar berkuliah karena tidak mampu kuliah umum karena faktor
biaya ataupun kegagalan mengikuti tes perguruan tinggi umum (khususnya
perguruan tinggi negeri).
Keragaman tersebut membuat setiap mahasiswa berasrama memiliki
pergumulan tersendiri yang bersifat kompleks karena keragaman permasalahan
yang digumulkan dan unik karena adanya perbedaan pergumulan antara satu
mahasiswa dengan mahasiswa yang lain. Hal ini juga menjadi salah satu
karakteristik kehidupan mahasiswa berasrama. Karena pergumulan ini tak jarang
mahasiswa menghadapi permasalahan dalam pembentukan yang menyebabkan
mereka memutuskan untuk mengundurkan diri ataupun diberhentikan dari
proses pembentukan karena pelanggaran berat terhadap aturan institusi.

2. Karakteristik interaksi Berasrama


Selain karakteristik pribadi mahasiswa yang dibentuk dalam kehidupan
berasrama, karakteristik lain yang dimiliki dalam kehidupan berasrama adalah
karakteristik interaksi. Yang dimaksud dengan karakteristik interaksi adalah ciri
khas interaksi dan komunikasi yang terbangun antar elemen dalam kehidupan
berasrama. Secara mendasar karakteristik yang muncul dalam interaksi
kehidupan berasrama adalah : terciptanya interaksi kultural, munculnya
pengelompokan, eklusifisme dan kuatnya pengaruh figur.
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, terciptanya
interaksi kultural antar budaya dan latar belakang menjadi salah satu ciri khas
dari interaksi yang terbangun dalam kehidupan berasrama. Interaksi kultural
yang dimaksud adalah interaksi antar budaya dan pola hidup dari berbagai suku
bangsa/etnis dan latar belakang kehidupan yang dimiliki oleh peserta didik.
18

Interaksi ini memunculkan proses pembelajaran masing-masing budaya dan juga


memunculkan pola baru dalam interaksi yang muncul dari proses pertemuan
budaya. Dalam prosesnya, interaksi yang dimaksud, selain berjalan lancar,
kadang juga memunculkan konflik maupun benturan yang muncul sebagai akibat
dari perbedaan yang muncul. Pengelolaan yang baik terhadap hal tersebut
memunculkan hasil positif dari pertemuan budaya yang terjadi.
Eklusifisme atau ketertutupan dalam interaksi dan komunikasi menjadi
salah satu ciri khas pembentukan berasrama. Hal tersebut disebabkan oleh
keterbatasan waktu untuk berinteraksi dengan dunia di luar komunitas
pembentukan dan kuatnya pengaruh pola interaksi yang dibentuk dalam
kehidupan berasrama. Walaupun di beberapa institusi teologi berasrama di atur
waktu keluar bagi mahasiswa, ekslusifisme merupakan hal yang tidak dapat
dihindarkan. Ketika hal ini tidak diatasi dengan baik, mahasiswa yang diajar akan
memiliki kesulitan dalam proses adaptasi dalam dunia pekerjaan/pelayanan
setelah mahasiswa lulus dan institusi pendidikan teologi. Ekslusifisme ini
sebenarnya

bukanlah

hal

yang

sengaja

diciptakan

namun

merupakan

konsekwensi logis dari proses pembentukan tertutup yang diterapkan. Hal ini
dapat diantisipasi dengan penguatan interaksi dan

komunikasi dengan

masyarakat di sekitar lokasi.26


Hal lain yang tidak dapat dihindarkan dari kehidupan berasrama adalah
munculnya

pengelompokkan.

Pengelompokkan

yang

dimaksud

adalah

munculnya kelompok-kelompok mahasiswa berdasarkan kesamaan suku,


daerah, usia, profesi dan tingkat/angkatan. Pengelompokan ini ketika tidak
dikelola dengan baik akan memunculkan kekurang nyamanan dalam kehidupan
bersama di asrama. Namun ketika dapat dikelola dengan baik dapat
memunculkan keragaman yang dapat dioptimalkan bagi kemajuan proses
26

Hal ini menjadi salah satu pertimbangan bahwa pendidikan teologi berasrama ditolak oleh
sebagian praktisi pelayanan dan teolog selain karena adanya kekuatiran terhadap mentalitas pemimpin
rohani yang terlalu mengedepanan akal (David Mathis and Jonathan Parnell. How to Stay Christian in
Seminary, p. 12-14)

19

pembentukan.
mengoptimalkan

Terkait

dengan

pembinaan

hal

ini,

melalui

di

small

institusi
group

pendidikan

ataupun

teologi

persekutuan-

persekutuan.

3. Karakteristik Pembinaan Berasrama


Dalam rangka tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dengan model
pembinaan penuh waktu berasrama, dalam konteks pendidikan teologi di institusi
pendidikan teologi berasrama, pola pembinaan yang diterapkan, memiliki
beberapa karakteristik dasar. Beberapa karakteristik yang dimaksud adalah,
adanya disiplin terstruktur, berbasis pendampingan, pembelajaran integratif dan
holistik. Selain hal positif, sebagai dampak dari pembinaan yang bersifat khusus,
terdapat karakteristik lain yang muncul dalam pola pembinaan. Karakteristik
tersebut merupakan hal yang bersifat alami yang muncul sebagai konsekwensi
logis. Karakteristik tersebut adalah ekslusif dan legalis.
Yang dimaksud dengan disiplin terstruktur adalah disiplin yang diterapkan
dengan mengacu pada pola yang telah ditetapkan bersama. Dalam rangka
tercapainya tujuan, dalam kehidupan berasrama dilengkapi dengan serangkaian
aturan, kegiatan terstruktur dan juga personal pelaksana bagi penerapan pola
pembinaan yang telah diterapkan. Sanksi atau hukuman merupakan salah satu
elemen yang memiliki pengaruh kuat dalam proses pelaksanaan disiplin
terstruktur. Hal ini terkait dengan ketaatan yang menjadi salah satu unsur yang
harus dipenuhi oleh peserta didik atau pribadi yang dididik dalam kehidupan
berasarama. Dengan ketaatan yang dimiliki, diharapkan peserta didik memiliki
kebiasaan yang dapat menjadi bekal dalam kehidupan dan dunia kerja pasca
pendidikan berasrama yang ditempuhnya.
Dalam konteks pendidikan teologi, disiplin berasrama diterapkan dengan
mengoptimalkan beberapa elemen pembinaan yaitu : kegiatan, pembina, aturan
dan sistem penunjang interaksi. Yang dimaksud dengan kegiatan adalah
kegiatan rutin yang dilaksanakan dalam proses pembentukan berasrama baik
20

terkait dengan kegiatan perkuliahan rutin, praktik pelayanan gerejawi rutin


ataupun kegiatan berasrama lainnya yang bersifat terus menerus hingga menjadi
sebuah rutinitas. Ciri khas dari kegiatan ini adalah adanya bel atau pertanda
suara yang digunakan sebagai tanpa dimulai atau berakhirnya sebuah item
kegiatan menuju item kegiatan lainnya. Melalui rutinitas kegiatan ini, diharapkan
peserta didik berasrama dapat menangkap dan menginternalisasikan nilai-nilai
kehidupan dan pelayanan yang harus dimiliki sebagai bekal optimalisasi
pelayanan.
Elemen lain yang memiliki peran penting adalah keberadaan pembina.
Pembina dalam hal ini adalah tenaga kependidikan yang memiliki kualifikasi bagi
pembentukan mahasiswa institusi teologi berasrama. Dalam pelaksanaan tugas
sehari-hari pembina memiliki tugas melakukan pendampingan terstruktur
terhadap mahasiswa sehingga dapat mengikuti proses pembentukan yang telah
ditetapkan. Dalm konteks Indonesia, selain struktur baku institusi seperti Ketua,
Pembantu Ketua, Dekan dan yang lainnya, terdapat struktur lain sebagai
penunjang seperti bapak/ibu asrama, pembina unit/small group dan yang
sejenisnya. Kehadiran struktur ini dalam rangka kesuksesan visi misi yang telah
ditetapkan bersama. Kedua elemen tersebut dilengkapi dengan rangkaian aturan
yang berfungsi sebagai acuan dalam proses pembinaan. Aturan ini merupakan
rambu-rambu yang memiliki konsekwensi sanksi ketika pelanggaran dilakukan.
Dalam implementasinya, disiplin terstruktur dilaksanakan dengan basis
pendampingan bagi peserta didik. Yang dimaksud dengan basis pendampingan
adalah pola pembinaan yang menekankan pendampingan terhadap peserta didik
dalam proses pembinaan yang dijalaninya sehingga peserta didik dapat melewati
proses pembelajaran dengan baik. Melalui pola ini, peserta didik diharapkan
akan mampu mengoptimalkan potensi dan juga pelajaran yang diberikan
sehingga dapat digunakan dalam dunia kerja paska pendidikan. Selain itu
melalui pola ini, peserta didik mendapatkan bimbingan dalam melewati setiap
permasalahan dan kendala yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam diri
21

maupun luar peserta didik. Kehadiran pembina atau pendamping yang


memenuhi persyaratan sebagai pendamping bagi peserta didik berasrama
menjadi salah satu ciri khas dari model pembinaan seperti ini.
Dalam pendidikan teologi berasrama, basis pendampingan menjadi hal
yang memiliki peran penting dan merupakan salah satu prioritas dalam proses
pembentukan. Ciri khas dari basis pendampingan adalah adanya pembina dan
pola pembinaan yang berbasis pada pendampingan bagi peserta didik dalam
mengikuti proses pendidikan berasrama yang ditempuh. Sebagaimana telah
dipaparan dalam bagian sebelumnya, keberadaan Rektorat yang berkonsentrasi
pada kemahasiswaan dan juga pelayanan, bapa/ibu asrama, pembina unit/small
group dan keberadaan pendeta kampus ataupun konselor merupakan bagian
dari kehadiran tenaga pembina berbasis pendampingan. Kehadiran tenaga
pendamping tersebut seiring dengan pola pendampingan yang diberikan
Dalam rangkaian pembinaan yang ada, pola pembinaan yang bersifat
integratif dan holistik menjadi ciri khas pembinaan berasrama. Yang dimaksud
dengan pembinaan yang bersifat integratif adalah pola pembinaan yang
memadukan berbagai macam unsur pembinaan yang saling berkaitan antara
satu dengan yang lain. Integrasi antar bidang kehidupan peserta didik
merupakan salah satu hal yang menjadi prioritas dalam pola integratif. Melalui
model pembinaan seperti ini, peserta didik diharapkan memiliki integritas dan
kepribadian yang utuh dalam dunia kerja maupun kehidupan paska pendidikan
berasrama. Sementara yang dimaksud dengan pembinaan holistik adalah
pembinaan yang bersifat menyeluruh atau semua aspek kehidupan peserta
didik, baik kognitif, afektif maupun psikomotori. Pola holistik diterapkan melalui
berbagai bentu kegiatan yang bukan hanya berorientasi pada satu aspek saja,
seperti kognitif namun dengan memperhatikan aspek lain.
Dalam konteks pendidikan teologi, pola integratif menjadi salah satu
prioritas. Tujuan dari pola ini adalah integritas yang dimiliki peserta didik sebagai
bekal pelayanan. Konsistensi terhadap visi dan misi pendidikan Kristen
22

khususnya pendidikan teologi yaitu serupa dengan Kristus dan mendidik tenaga
pelayanan yang memiliki orientasi bagi kemuliaan Allah merupakan hal yang
harus mewarnai setiap aspek pembentukan.27 Pola integratif juga merupakan
salah satu bentuk untuk mengikis pola pendidikan seminari yang dianggap oleh
sebagian teolog menghasilkan praktisi pelayanan gerejawi yang hanya
menekankan aspek kognitif tanpa memperhatikan aspek lain. Hal mendasar
yang menjadi formulasi dari pola ini adalah adanya penghayatan pribadi dalam
proses pembelajaran agar materi yang dipelajari dapat berguna bagi orang lain
bukan hanya diri sendiri. Salah satu contoh dari hal ini adalah diperkuatnya
unsur introspeksi dan komitmen menjadi pelaku firman dalam proses persiapan
khotbah jemaat tentang kekudusan, yang dilakukan oleh mahasiswa pendidikan
teologi berasrama.28
Sementara itu pola pendidikan holistik di institusi pendidikan teologi,
sebagaimana telah penulis paparkan pada bagian sebelumnya, diterapkan
dalam rangka terpenuhinya kebutuhan kognitif, afektif dan psikomotorik yang
dimiliki oleh mahasiswa. Selain untuk memenuhi persyaratan akademik
kelulusan dan juga terciptanya integritas diri mahasiswa, pembinaan yang
bersifat holistik diperlukan dalam rangka menghadapi tantangan pelayanan
terutama di era abad 21 yang membutuhkan kualifikasi prima baik dari sisi
kognitif, afektif dan psikomotorik. Masyarakat abad 21 yang ditandai dengan
berkembangnya postmodernisme dan juga globalisasi yang berbasis kemajuan
tehnologi informasi dan komunikasi.29 Pola pembelajaran ini dilakukan melalui
optimalisasi potensi yang dimiliki mahasiswa dari sisi pemikiran, perasaan dan
psikomotoris melalui berbagai kegiatan seperti pembelajaran kelas, praktik hidup

27

David Mathis and Jonathan Parnell. How to Stay Christian in Seminary, p. 21-22, 31-32;
Carson Pue Mentoring Leader, p. 121-128.
28

Carson Pue, Mentoring Leader, p. 122-129.

29

Carson Pue, Mentoring , p. 121-128;

23

berasrama dan juga pelatihan ketrampilan pelayanan seperti praktik berkhotbah,


penginjilan, mengajar dan yang lainnya.

C. Pola Kepemimpinan Pastoral Bagi Mahasiswa Teologi Berasrama


Bertolak dari pembahasan yang telah penulis lakukan pada bagian
sebelumnya, pola kepemimpinan pastoral bagi mahasiswa teologi berasrama di
era abad 21 setidaknya memiliki 5 karakteristik. Kelima hal tersebut adalah :
perpusat pada hal rohani, transformatif, integratif, holistik dan mengutamakan
team work atau kerjasama tim.

1. Berpusat Pada Hal Rohani


Berpusat pada hal rohani merupakan hal mendasar yang mutlak
diperlukan dalam proses kepemimpinan pastoral bagi mahasiswa institusi teologi
berasrama. Yang dimaksud dengan berpusat pada hal rohani adalah bahwa
proses kepemimpinan yang dijalankan bertolak dan dijiwai oleh kerohanian
Kristiani. Beberapa aspek kepemimpinan tersebut diantaranya pribadi pemimpin,
tujuan kepemimpinan, otoritas kepemimpinan dan pola kepemimpinan yang
diterapkan.
Terkait dengan pribadi pemimpin, sebagaimana telah penulis paparkan
pada bagian sebelumnya, seorang pemimpin pastoral bagi mahasiswa institusi
teologi berasrama haruslah memiliki kerohaian yang sesuai dengan standar
kerohanian pribadi yang dikhususkan dalam kepemimpinan rohani. Secara
mendasar kerohanian tersebut haruslah kerohanian yang berkiblat pada pribadi
Kristus, Sang Guru Agung (Lukas 10:27). Secara personal, hal tersebut
terimplementasi pada sikap dan pola komunikasi yang dimiliki oleh seorang
pemimpin. Pola tersebut bermuara pada sikap rela berkorban bagi kerajaan Allah

24

dan sesama dan meletakkan hal tersebut di atas kepentingan pribadi. 30 Di sisi
lain pola ini secara alamiah memunculkan keteladanan bagi para peserta didik.31
Dalam hal otoritas, orientasi pada hal rohani diwujudkan dengan
menempatkan otoritas kepemimpinan bukan pada status atau kekuasaan
kepemimpinan yang dimiliki namun kepada panggilan pelayanan sebagai
pemimpin yang telah diyakini. Keyakinan ini membawa seorang pemimpin pada
sikap rendah hati dan memiliki jiwa melayani dalam proses kepemimpinan yang
dilaksanakan.
Pelayanan Kristiani di era abad 21 yang diwarnai dengan relativisme nilai
dan lemahnya integritas obyektif.32 Dalam pola ini, keyakinan terhadap Alkitab
sebagai nilai-nilai kebenaran universal dan kebersandaran pada karya Roh
Kudus dalam proses pembentukan menjadi hal mendasar yang terus
dikembangkan. Melalui kedua hal tersebut berbagai tantangan dan hambatan
yang dihadapi dalam proses kepemimpinan akan dapat teratasi.

2. Transformatif
Abad 21 yang identik dengan post modernisme dan globalisasi
membutuhkan pendekatan tersendiri dalam berbagai aspek kehidupan termasuk
diantaranya dunia pelayanan. Sebagaimana telah dinyatakan dalam bagian
sebelumnya, abad 21 membutuhkan pendekatan pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan. Pendekatan ini memiliki perbedaan dengan pendekatan pada abad

30

Gangel, Kenneth O. Membina Pemimpin Pendidikan Kristen. Tanpa Nama Penterjemah. Malang:
Gandum Mas, 2001. h. 10-17. Blanchard, Ken and Phil Hodge. Lead like Jesus : lessons from the greatest
leadership role model of all times . Nashville, Tennessee: Th.omas Nelson, 2005. Diakses via
https://scribd.com p. 20-27
31

Keteladanan merupakan hal yang memiliki pengaruh kuat bagi pembentukan karakter dan pola
hidup mahasiswa berasrama. Intensitas pertemuan rutin yang cukup tinggi memunculkan proses
transformasi yang cukup kuat antara pemimpin dan pribadi yang dipimpin.
32

Perry Shaw, Transforming Theological Education .A Practical Handbook for Integrative


Learning. Carlisle, Cumbria: Langham Global Library, 2014. P. 9-15.

25

sebelumnya yang menghargai absolutisme dan kemajuan tehnologi 33 kini


mengarah pada relativisme dan subyektifisme yang membutuhkan pola
pendekatan tersendiri dalam kehidupan berjemaat. Terkait dengan hal tersebut,
mempersiapkan praktisi pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan jaman
merupakan hal yang harus dilakukan, termasuk mempersiapkan mahasiswamahasiswa teologi berasrama.
Transformasi tersebut terkait dengan kesiapan peserta didik dalam
menghadapi tantangan yang muncul dalam dunia pelayanan baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Secara internal pola prilaku dan keyakinan jemaat
yang telah terpengaruh postmodernisme menyebabkan perubahan terhadap
nilai-nilai kebenaran dan prilaku kehidupan sebagai jemaat. Hal ini membutuhkan
pendekatan agar nilai-nilai kebenaran firman Tuhan yang bersifat kekal dapat
diterima di tengah nilai-nilai baru yang bersifat relatif dan berbeda dengan
kebenaran firman Tuhan. Sementara itu secara eksternal, gereja harus
berhadapan dengan permasalahan yang membutuhkan campur tangan gereja.
Berbeda dengan abad sebelumnya yang hanya penyentuh praktik kehidupan
dan hanya membutuhkan pendapat gereja terhadap praktik yang terjadi di era
postmodernisme gereja harus berhadapan dengan nilai-nilai yang bertentangan
dengan keyakinan gereja. Salah satu tantangan terberat yang dihadapi gereja
terkait dengan hal ini adalah relativisme dan penolakan terhadap otoritas
universal.34
Dalam

rangka

keberhasilan

pola

kepemimpinan

yang

bersifat

transformatif, seorang pemimpin pastoral harus memiliki kemampuan yang


memadai baik dari sisi kerohanian, pemahaman terhadap tantangan jaman
maupun

pendekatan

terhadap

peserta

33

didik

sehingga

dalam

proses

Stott, John. Isu Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Penterjemah. G.A. Nainggolan.
Jakarta; Bina Kasih/OFM, 2005.
34
Perry Shaw, Transforming Theological Education .A Practical Handbook for Integrative
Learning.. P. 58-65.

26

kepemimpinan yang dilaksanaannya dapat menciptakan transformasi yang


berguna bagi peserta didik dalam menghadapi tantangan pelayanan paska
pembentukan di institusi teologi berasrama.

3. Integratif Dan Holistik


Dari

perspektif

kepemimpinan,

dengan

merujuk

pada

bahasan

sebelumnya tentang hal ini, integrasi merupakan hal yang dibutuhkan. Yang
dimaksud dengan kepemimpinan integratif adalah adanya keutuhan dalam
proses kepemimpinan. Dengan kata lain semua elemen yang memiliki kaitan
dengan proses kepemimpinan pastoral dan pembinaan bertolak dari titik yang
sama dan menuju pada tujuan yang sama. Beberapa unsur tersebut diantaranya
pribadi seorang pemimpin, pola kepemimpinan dan implementasi pembinaan
dalam proses kepemimpinan yang dilaksanakan. Tanpa adanya integrasi proses
kepemimpinan yang sedang dijalankan kurang dapat memenuhi harapan.
Kebingungan bahkan kegagalan yang dialami mahasiswa dalam proses
pembentukan.
Kepemimpinan integratif ini membutuhkan integritas pada diri para
pemimpin pastoral yang terlibat dalam proses pembinaan. Integritas ini bukan
saja terkait dengan kesatuan perkataan, perasaan dan pemikiran yang
berorientasi pada kebenaran Alkitab namun juga berhubungan dengan kapasitas
dan kapabilitas keilmuan terutama yang terkait dengan kemampuan untuk
menguasai disiplin ilmu yang dibutuhkan bagi mahasiswa dalam pembentukan di
asrama. Tanpa adanya hal ini, pola pembentukan akan mengalami hambatan.
Tantangan terkait dengan perubahan paradigma manusia yang menyentuh
segala aspek kehidupan pelayanan, akan sulit dihadapi tanpa adanya
pemahaman yang memadai terhadap tantangan jaman.
Selain integratif, pola kepemimpinan holistik merupakan hal yang
dibutuhkan dalam proses pembinaan bagi mahasiswa institusi pendidikan teologi
di era abad 21. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, pola
27

pembinaan holistik adalah pola pembinaan yang menekankan keseluruhan


aspek yang berhubungan dengan dunia pelayanan. Dalam persepektif
kepemimpinan, seorang pemimpin pastoral harus memiliki pemahaman terhadap
pentingnya pembelajaran yang bersifat holistik baik bagi dirinya maupun bagi
orang lain terutama peserta didik yang dibimbing.
Kepemimpinan holistik bukan hanya menuntut kerohanian dan sikap
mental yang baik seorang pemimpin pastoral namun juga membutuhkan
kemampuan dan penguasaan pengetahuan di berbagai disiplin ilmu dan aspek
kehidupan yang berhubungan dengan dunia pelayanan. Melalui kemampuan
yang dimiliki tersebut, seorang pemimpin akan memiliki kemampuan untuk
mengantisipasi kebutuhan dan juga tantangan yang akan dihadapi oleh peserta
didik dalam dunia pelayanan yang sebenarnya. Dengan kemampuan ini, seorang
pemimpin pastoral akan dapat mempersiapkan materi dan pola pembentukan
bagi peserta didik agar sesuai dengan kebutuhan konteks dimana mereka akan
melayani.35

4. Proyektif dan Antisipatif


Yang dimaksud dengan proyektif adalah adanya perencanaan yang dibuat
berdasarkan kebutuhan dari sebuah proses pembentukan. Kebutuhan yang
dimaksud adalah kebutuhan yang akan muncul dalam dunia kerja ataupun dunia
pelayanan yang sebenarnya. Melalui pemahaman terhadap kebutuhan yang
dimaksud, dalam proses pembinaan

yang dilakukan beberapa hal yang

dibutuhkan oleh peserta didik akan berusaha dipenuhi dan diajarkan melalui
berbagai bentuk pembinaan dan pendampingan yang dilakukan. Kemampuan
untuk melakukan proyeksi merupakan salah satu hal yang dibutuhkan dalam
proses kepemimpinan di era peralihan dari modernisme ke postmodernisme.
35

Blanchard, Ken and Phil Hodge. Lead like Jesus : lessons from the greatest leadership role
model of all times . p. 21-23.

28

Sebagaimana telah penulis paparkan pada bagian sebelumnya, materi


pembelajaran di institusi teologi haruslah disesuaikan dengan kebutuhan jaman
di mana dunia pelayanan hadir. Tanpa adanya hal tersebut tenaga pelayan yang
disiapkan akan menghadapi kendala dalam proses pelayanan yang dilakukannya
kelak di kemudian hari.
Hal mendasar yang perlu dikembangkan melalui proyeksi dan antisipasi
adalah tantangan terkait dengan postmodernisme dalam berbagai segi
kehidupan terutama yang berkaitan dengan pelayanan dan religiusitas serta
perkembangan tehnologi informasi dan komunikasi. Kedua hal tersebut perlu
dianalisis dengan baik agar tidak bersifat kontraproduktif dalam proses
pelayanan yang akan dilaksanakan namun justru dapat menjadi modal bagi
peningkatan kualitas pelayanan. Kemajuan tehnologi komunikasi dan informasi
merupakan modal yang harus dioptimalkan dalam rangka hal tersebut.
Dengan adanya sikap proyektif dan antisipatif, kepemimpinan pastoral di
institusi pendidikan teologi berasrama memiliki daya dorong yang kuat bagi
terselenggaranya

pola

pembinaan

yang

berorientasi

pada

pemenuhan

kebutuhan konteks dengan tetap berpijak pada Alkitab dan kebenaran iman
Kristen.

5. Team Work
Kerjasama tim (Team Work) merupakan hal mendasar yang harus
diterapkan dalam pelaksanaan kepemimpinan pastoral bagi mahasiswa institusi
teologi

berasrama.

Kerjasama

tim

mutlak

dibutuhkan

karena

proses

pembentukan bagi mahasiswa berasrama memiliki kompleksitas dan intensitas


yang cukup tinggi. Keragaman struktur yang dibentuk dalam rangka pembinaan
dari berbagai aspek kehidupan peserta didik bertujuan agar pembinaan yang
diberikan bersifat holistik sehingga dapat memenuhi kebutuhan peserta didik
dalam proses persiapan pelayanan. Dalam hal ini kerjasama antar elemen

29

merupakan hal yang dibutuhkan agar proses pembinana yang diberikan sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.
Koordinasi merupakan hal yang harus dipertahankan dan dikembangkan
dalam proses kerjasama tim. Tanpa adanya koordinasi proses kerjasama yang
dibangun tidak akan dapat berjalan dengan baik. Sebagai akibatnya, kesalah
pahaman dan kekurang singkronan menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan.
Agar tercipta koordinasi yang baik dalam kerjasama tim dibutuhkan
adanya kode etik, manajemen kepemimpinan dan komitmen yang kuat antar
pemimpin pastoral dalam sebuah institusi pendidikan teologi berasrama. Kode
etik dibutuhkan dalam rangka menghargai pribadi dan tugas tanggung jawab
masing-masing. Kode etik tersebut biasanya terkait dengan tugas pokok dan
fungsi

juga

pola

interaksi-komunikasi

yang

dibangun

dalam

proses

kepemimpinan yang sedang dilaksanakan. Kode etik tersebut dilaksanakan


dalam koridor manajemen kepemimpinan pastoral bersama yang ditetapkan
melalui rapat atau aturan yang telah ditetapkan.

BAB IV
PENUTUP
Dari pembahasan yang dimulai dari bab satu hingga bab tiga diperoleh
kesimpulan bahwa pendidikan khusus seminari atau sekolah teologi masih
dibutuhkan namun harus dengan pola pembinaan yang baik. Pembinaan
tersebut dilakukan dalam rangka keseimbangan antara pembelajaran yang
melibatkan aspek kognitif dan faktor lain yang dibutuhkan dalam proses
persiapan khusus yang dilakukan. Salah satu faktor penting dalam rangka hal
tersebut adalah keberadaan dosen dan para Pembina yang memiliki tugas dan
tanggung jawab pembinaan terhadap para calon tenaga pelayanan gerejawi

30

penuh waktu khususnya faktor kepemimpinan pastoral, yang ideal terkait dengan
tantangan di era abad 21.
Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan model pembinaan
penuh waktu berasrama, dalam konteks pendidikan teologi di institusi pendidikan
teologi berasrama, pola pembinaan yang diterapkan, memiliki beberapa
karakteristik dasar. Beberapa karakteristik yang dimaksud adalah, adanya
disiplin terstruktur, berbasis pendampingan, pembelajaran integratif dan holistik.
Selain hal positif, sebagai dampak dari pembinaan yang bersifat khusus,
terdapat karakteristik lain yang muncul dalam pola pembinaan. Karakteristik
tersebut merupakan hal yang bersifat alami yang muncul sebagai konsekwensi
logis. Karakteristik tersebut adalah ekslusif dan legalis.
Dalam konteks pendidikan teologi, disiplin berasrama diterapkan dengan
mengoptimalkan beberapa elemen pembinaan yaitu : kegiatan, pembina, aturan
dan sistem penunjang interaksi. Elemen lain yang memiliki peran penting adalah
keberadaan pembina. Pembina dalam hal ini adalah tenaga kependidikan yang
memiliki kualifikasi bagi pembentukan mahasiswa institusi teologi berasrama.
Akhir kata adalah bahwa pola kepemimpinan pastoral bagi mahasiswa
teologi berasrama di era abad 21 setidaknya memiliki 5 karakteristik. Kelima hal
tersebut adalah: perpusat pada hal rohani, transformatif, integratif, holistik dan
mengutamakan team work atau kerjasama tim.

KEPUSTAKAAN
Anthony, Michael J. Introducing Christian Education Foundations for the
Twenty first Century. Grand Rapids, Michigan; Baker Books, 2001. Diakses via
https://scribd.com
Blanckchard, Ken and Phil Hodges. The Servant Leader : Transforming
Your Heart, Head, Hands & Habits. Nashville: Thomas Nelson, 1992. Diakses via
https://scribd.com

31

Blanchard, Ken and Phil Hodge.


Lead like Jesus : lessons from the
greatest leadership role model of all times . Nashville, Tennessee: Th.omas
Nelson, 2005. Diakses via https://scribd.com
Carson, D.A. Exegetical Fallacies. Grand Rapids: Baker Academic, 1996.
Carson, D.A. The Cross and Christian Ministry: An Exposition of
Passages from 1 Corinthians. Grand Rapids Michigan: Baker Books, 2004.
Cole,Neil. Organic Leadership : Leading Naturally Right Where You Are .
Grand Rapids, Michigan : Baker Books, 1984. Diakses via https://scribd.com
Efferin, Ph.D, pdt. Henry. Materi Kuliah : Kepemimpinan Pastoral
Kontemporer (Abad 21). Batu: Program Doktoral I-3, 2016
Ericson, Millard J. The Postmodern World Discerning The Times and the
Spirit of Our Age. Wheaton, Illinois: Crossway Book, 2002 Diakses melalui
https://scribd.com
Elfindri dkk. Soft Skill untuk Pendidik. Tanpa kota: baduose media, 2012.
Echols, John dan Hassan shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Gangel, Kenneth O. Membina Pemimpin Pendidikan Kristen. Tanpa Nama


Penterjemah. Malang: Gandum Mas, 2001.https://translate.google.com
Flavel, John. Keeping the Heart: How to Maintain Your Love for God.
Great Britain: Christian Focus, 2012. Diakses via https://scribd.com
Johnson, Graham M. Preaching to a Postmodern World A Guide to
Reaching Twenty first Century Listeners. Grandrapids, Michigan: Baker Books,
2001. Diakses via https://scribd.com
Maxwell, John. Leadership Gold : Lunch and Learning diakses melalui
https://scribd.com
Malphurs, Aubrey. Values Driven Leadership. Grand Rapids Michigan:
Baker Book, edisi ebook 2012 diakses melalui https://scribd.com
Poole, Garry. Seeker small groups: engaging spiritual seekers in lifechanging discussions. Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003. Diakses via
https://scribd.com
32

Putman, Jim. Church Is a Team Sport. A Championship Strategi For


Ministry Together. Grand Rapids, Michigan: baker Books, 2008. Diakses via
https://scribd.com
Pue, Carson. Mentoring Leader. Grand Rapids, Michigan: Baker Books,
2005. diakses melalui https://scribd.com
Pipper, John & DA Carson. The Pastor as Scholar and the Scholar as
Pastor: Reflections on Life and Ministry . Wheaton, Illinois : Crossway, 2011.
Onyechuku, Aghawenu. Christian Education The Solution To Education
Crises The World Over. Nigeria: Outum Gospel Literature, 2015. Diakses via
https://scribd.com
Raschke, Carl. Globo Christ The Great Commission Takes a Postmodern
Turn. Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2008. diakses melalui
https://scribd.com
Russel, Bob with Rusty Russel. When GOD Builds a CHURCH : 10
Principles for Growing a Dynamic Church. London: Howard Book, 2000. Diakses
via https://scribd.com
Stott, John. Isu Isu Global Menantang Kepemimpinan
Penterjemah. G.A. Nainggolan. Jakarta; Bina Kasih/OFM, 2005.

Kristiani.

Thielicke, Helmut. A Little Exercise for Young Theologians,. trans.


Charles L. Taylor. Grand Rapids: Eerdmans, 1962 Diakses via
https://scribd.com.
Youssef,Michael.
Gaya Kepemimpinan Yesus Bagaimana Membuat
Sebuah Dampak Yang Kekal. tanpa kota: tanpa penerbit, tanpa tahun. Diakses
via https://scribd.com

ARTIKEL

33

Frame, John. Learning at Jesus Feet: A Case for Seminary Training.


Diakses http://www.frame-poythress.org/ frame_articles/2003Learning.htm.
Lukito, Daniel Lucas. Kecenderungan Perkembangan Pemikiran Teologi
Abad 21: Sebuah Kajian Retrospektif dan Prospektif. Dalam Veritas; Jurnal
Teologi dan Pelayanan Edisi 1/1, April 2000.. Malang: Seminari Alkitab Asia
Tenggara: 2000.
Dharmaputra, Eka. Karakteristik Kepemimpinan Kristen Yang Pas (Lukas
7:18-28). Dalam Veritas; Jurnal Teologi dan Pelayanan Edisi 2/1, April 2001.
Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara: 2001.
Gunadi, Paul. Peranan Faktor Masa Depan Dalam Pembimbingan
Remaja. Dalam Veritas; Jurnal Teologi dan Pelayanan Edisi 2/1, April 2001.
Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara: 2001.
Teulambanua, Hendrikus. Identitas
Dan Nasionalissme Komunitas
Kristen di Indonesia: Tinjauan Pemikiran Th. Sumartana dan implikasinya Bagi
Pelayanan kaum muda. Dalam Veritas; Jurnal Teologi dan Pelayanan Edisi 13/1,
April 2012. Malang: Lembaga literatur SAAT : 2012.
Runenda Paulus Chendi. Strategi Pelayanan Pastoral Kedukaan Yang
Holistik. Dalam Jurnal Teologi dan Pelayanan Edisi 14/1, April 2013. Malang:
Seminari Alkitab Asia Tenggara: 2013.
Markus, Dominggus. Konteks Pelayanan di Indonesia. Dalam Veritas;
Jurnal Teologi dan Pelayanan Edisi 1/2, Oktober 2000. Malang: Lembaga
literatur SAAT : 2000.
Pratama, Nathanael D.B.J. Kaskus Forum Komunitas Dalam jaringan
Sebuah Refleksi Teologis dan Budaya. Dalam Jurnal Teologi dan Pelayanan
Edisi 14/2, April 2013. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara: 2013.
Winfried, Prayogi. Mencari Esensi dan Misi Gereja Dalam Konteks
Indonesia Awal Abad 21. Dalam Jurnal Teologi dan Pelayanan Edisi 1/1, April
2000. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara: 2000.
Wagner, Peter. Leadership skills every pastor needs. Di akses melalui
http://www.churchleaders.com/pastors/pastor-articles/168378-philip-wagnerleadership-skills-every-pastor-needs.html/3.
Coutt, Jon. A theological approach to pastoral leadership. Diakses melalui
https://www.ministrymagazine.org/archive/2008/11/a-theological-approach-topastoral-leadership-today.html)
34

Campbell, Barry. Four Basic Styles of Pastoral Leadership. Diakses


melalui http://www.lifeway.com/Article/Four-Basic-Styles-of-Pastoral-Leadership.
Morrison, Gregg S. The Changing landscape of Pastoral Leadership.
Diakses
melalui
http://www.seminarygradschool.com/article/The-ChangingLandscape-of-Pastoral-Leadership?page=7.
Frame, Randy. Is Seminary Education Always Necessary for Pastoral
Ministry?
Diakses
melalui
http://www.seminarygradschool.com/article/IsSeminary-Education-Always-Necessary-for-Pastoral-Ministry%3F?page=5.
Carson , D.A. The Dangers and Delights of Postmodernism. Diakses
melalui
http://www.modernreformation.org/default.php?page=articledisplay&var2=281.
Merrit, James, Dr. Pastoral Leadership in a Postmodern World 2 Timothy 4
Diakses melalui https://www.uu.edu/centers/rglee/fellows/fall03/merritt.htm.
Neufeld, Tim. Postmodern Model of Youth Ministry. Diakses melalui
http://www.directionjournal.org/31/2/postmodern-models-of-youthministry.html.Tang, Alex, Dr. Challenges Facing the Innovative Pastor in a Post
Modern
Era.
Diakses
melalui http://www.kairos2.com/challenges_facing_the_innovative.htm.
Candra, Robby I. Pola Perubahan Teknologi Komunikasi dan Dampaknya
bagi pelayanan Pada Abad XXII. Jurnal Pelita Zaman Volume 12 No. 1 Tahun
1997 diakses melalui situs http:// sabda.org
B.S. Sidjabat. Yesus sebagai Pendidik. Dalam Jurnal Pelita Jaman Edisi
12 Nomor 1 Tahun 1997 diakses melalui situs http://sabda.org.
Jokiman, Bob. Dasar-Dasar Alkitabiah Pengembangan kepemimpinan.
Diakses melalui http://www.seabs.ac.id/journal/april2003/Dasar dasar 20%
Alkitabiah 20% Pengembangan 20% Kepemimpinan.pdf
Elia, Heman. Kecanduan berinternet dan Prinsip-Prinsip Untuk menolong
Pecandu Internet. Dalam Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan Edisi 10/2,
Oktober 2009. Malang : seminari Alkitab Asia Tenggara, 2009.
Gunawan, Suliana. Naskah Khotbah: Pantaulah Sekitarmu Demi Kerajaan
Allah (2 Raja-Raja 4:8-37, 8:1-6). Dalam Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan
Edisi 10/2, Oktober 2009. Malang : seminari Alkitab Asia Tenggara, 2009.

35

Santoso, Magdalena P. Karakteristik Pendidikan Kristen. Dalam Veritas:


Jurnal Teologi dan Pelayanan Edisi 6/2, Oktober 2005. Malang : seminari Alkitab
Asia Tenggara, 2005.
Budiman, Kalvin S. Calvin dan Lima Pilar Institusi Sosial. Dalam Veritas:
Jurnal Teologi dan Pelayanan Edisi 10/2, Oktober 2009. Malang : seminari
Alkitab Asia Tenggara, 2005.
Frame, Randy. Pastor and Educators on the Real Value of Seminary?
Diakses
melalui
http://www.seminarygradschool.com/article/Pastors-andEducators-on-the-Real-Value-of-Seminary?page=2
Tanusaputra, Daniel N. Kerohanian Dan Pelayanan Seorang Hamba
Tuhan. Dalam Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan Edisi 14/2, Oktober 2013.
Malang : seminari Alkitab Asia Tenggara, 2005.

36

Anda mungkin juga menyukai