Oleh:
Rosnila Hura
KAPRODI PAK & IBU ASRAMA PUTRI
DI
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI INJILI ABDI ALLAH
STTIAA
DAFTAR ISI
BAB
I
II
PENDAHULUAN.
B. Rumusan Masalah..
12
17
17
21
29
IV PENUTUP.
38
KEPUSTAKAAN
39
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bagian ini penulis akan membahas hal mendasar terkait dengan
makalah ini. Adapun kedua hal tersebut adalah latar belakang masalah dan
rumusan masalah.
Abad ialah masa seratus tahun, yaitu dari tahun satu hingga seratus, sehingga abad pertama mulai
pada hari pertama tahun 1 sampai ke hari terakhir tahun 100. Abad 20 Masehi berarti dimulai pada 1
Januari 1901 dan akan berakhir pada 31 Desember 2000. Dengan demikian awal abad 21 baru mulai pada 1
Januari 2001 hingga 31 Desember 2099. (Daniel Lucas Lukito, Kecenderungan Perkembangan Pemikiran
Teologi Abad 21: Sebuah Kajian Retrospektif dan Prospektif. Dalam Veritas; Jurnal Teologi dan Pelayanan
Edisi 1/1, April 2000. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara: 2000).
2
Beberapa tantangan tersebut terkait dengan globalisasi, pluralisme dan tantangan lain yang
terkait dengan interaksi antar manusia (Pdt. Henry Efferin Ph.D, Materi Kuliah : Kepemimpinan Pastoral
Kontemporer (Abad 21), Batu: Program Doktoral I-3, 2016.
sebelumnya
berlaku
pendekatan
organisasi
(Organizational
literatur dan diskusi yang penulis lakukan, lulusan seminari atau sekolah teologi
yang bersifat elitis, kurang dapat bergaul dan cenderung kaku dalam
menghadapi kompleksitas pergumulan
jemaat
dan pelayanan
membuat
Pdt. Henry Efferin Ph.D, Materi Kuliah : Kepemimpinan Pastoral Kontemporer (Abad 21).
David Mathis and Jonathan Parnell, How To stay Christian in Seminary. P. 20-22.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah, maka rumusan masalah yang
penulis rumuskan dalam penelitian dan penulisan ini adalah : Bagaimana pola
kepemimpinan pastoral bagi mahasiswa STT berasrama di Era Abad 21?
BAB II
PRASYARAT PEMIMPIN PASTORAL
pemimpin
pastoral
yang
mengkhususkan
diri
untuk
membina
Istilah kerohanian yang penulis gunakan merujuk pada tulisan Daniel Tanusaputra, dimana
kerohanian Kristen bukan berkaitan dengan posisi/jabatan rohani atau peribadatan tapi lebih kepada
totalitas hidup, sebagaimana definisinya: Kerohanian Kristen adalah hidup menurut dan dipimpin oleh
Roh Kudus dan merupakan proses yang berlangsung terus-menerus seumur hidup. Kerohanian Kristen
tidak dapat dilepaskan dari disiplin rohani, baik melalui pembacaan/perenungan firman Tuhan dan
melalui doa atau berteduh di hadapan Tuhan. Karena itu, seorang Kristen atau seorang hamba Tuhan
yang menyebut diri seorang yang rohani haruslah orang yang hidup di dalam Roh, serta taat dan
tunduk di bawah otoritas firman Tuhan (Tanusaputra, Daniel N. Kerohanian Dan Pelayanan Seorang
Hamba Tuhan. Dalam Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan Edisi 14/2, Oktober 2013. Malang : seminari
Alkitab Asia Tenggara, 2005, hal. 253-254). Hal senada juga dinyatakan oleh D.A. Carson yang
menyatakan bahwa kerohanian bermakna totalitas kehidupan bukan hanya sekedar status rohani maupun
adalah adanya kesatuan antara hati, pikiran dan perbuatan dengan aktivitas
kerohanian yang dimiliki. Dengan kata lain integritas ini berbicara mengenai
totalitas kehidupan Kristiani dimana dalam kehidupannya seseorang benar-benar
memiliki
kehidupan
yang
sesuai
dengan
keyakinan
kerohanian
yang
dan mati keuntungan adalah salah satu bentuk integritas rohani yang
dinyatakan oleh Paulus.
Ketiga, kedekatan persekutuan dengan Tuhan. Persekutuan dengan
Tuhan merupakan salah satu bentuk yang harus dilakukan oleh pemimpin
pastoral yang melakukan pendampingan terhadap mahasiswa STT berasrama.
Prinsip dasar dari kedekatan persekutuan dengan Tuhan mengkhususkan waktu
untuk melakukan persekutuan pribadi dengan Tuhan. Pengkhususan waktu ini
dilakukan dengan cara bermeditasi (melakukan refleksi diri terhadap kehidupan
pribadi dalam kaitannya dengan ketaatan terhadap firman Tuhan), berdoa dan
melakukan pembelajaran firman Tuhan dalam rangka membangun kerohanian
pribadi, bukan dalam rangka mempersiapkan materi pelayanan. Dengan berujuk
kehidupan Kristus, beberapa penulis berpandangan, rutinitas persekutuan
dengan Tuhan merupakan modal dasar bagi pembangunan kerohanian seorang
pemimpin.9
Selain mengkhususkan waktu untuk bersekutu dengan Tuhan, hal yang
senantiasa dilakukan oleh seorang pemimpin pastoral adalah menjaga
komunikasi dengan Tuhan sepanjang waktu kehidupannya.
memiliki karakter yang baik. Karakter11 ini menjadi tujuan mutlak bagi seorang
pemimpin selain karena kebutuhan atas pentingnya keteladanan, keberadaan
karakter juga dibutuhkan dalam rangka optimalisasi proses pendampingan dan
pengasuhan yang dilakukannya.
Terkait dengan karakter yang baik, terdapat beberapa teladan pemimpin
yang memiliki karakter yang baik sebagaimana dipaparkan oleh Alkitab maupun
di luar Alkitab. Namun, dari beberapa teladan yang dimaksud, karakter Yesus
Kristus sebagai pemimpin sering dipakai sebagai rujukan keteladanan. Secara
singkat karakter atau sikap mental yang dimiliki oleh Kristus diringkas menjadi
satu kata yaitu Kasih yang tulus kepada Allah dan sesama yang merupakan
dasar dari segala bentuk hukum ketaatan kepada Allah (Mat 22:38-39).Secara
rinci dalam I Korintus 13:4-7 dinyatakan bahwa Kasih dapat dijabarkan dalam
berbagai bentuk sikap dan tindakan yang dilandasi oleh karakter atau sikap
mental yang baik. Beberapa diantaranya seperti rendah hati, tidak egois, sabar,
murah hati, tidak pemarah, adil, berpihak pada kebenaran dan beberapa yang
lainnya. Secara singkat, dengan menggunakan analogi gembala, Kristus
menunjukkan kasihNya hingga Ia rela memberikan nyawanya bagi dombadomba yang digembalakannya (Yoh 10:18). Analogi ini menunjukkan adanya
totalitas pengabdian yang dimiliki oleh Kristus sebagai seorang pemimpin.
Totalitas tersebut terutama berkaitan dengan orang yang dipimpin dan
dibimbingnya, seperti para murid dan beberapa orang yang dianggap hina oleh
masyarakat seperti perempuan Samaria dan yang lainnya12
Dengan menggunakan istilah lain untuk menunjukkan keteladanan Kristus
dalam totalitas kepemimpinan, Blanchard menyebut Kristus sebagai pemimpin
yang melayani (servant leader). Dalam keberadaanya sebagai seorang servant
11
Merujuk beberapa sumber yang penulis pelajari, istilah karakter yang penulis maksudkan
dalam penulisan ini adalah sikap mental yang dimiliki oleh seseorang yang melatar belakangi setiap
tingkah laku, pemikiran dan perkataan yang dimilikinya.
12
beberapa kemampuan tehnis (skill) yang ada, penulis menemukan ada tiga
kemampuan yang harus dimiliki kemampuan tersebut terkait dengan komunikasi
dan
interaksi,kemampuan
terkait
dengan
manajemen
informasi
serta
13
14
Yang dimaksud dengan kemampuan tehnis (skill) dalam karya ilmiah ini adalah pengetahuan
dan ketrampilan yang bersifat tehnis yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab
sebagai pemimpin pastoral bagi mahasiswa lembaga pendidikan teologi berasrama.
10
dimaksud
dengan
kemampuan
dasar
komunikasi
adalah
15
Dengan mengutip pakar komunikasi Prof. Dede Mulyana, Ph.D dan beberapa pakar komunikasi
lainnya, Immanuel Yosua menyatakan bahwa di era kemajuan tehnologi informasi dan komunikasi yang
ditandai dengan globalisasi (global village) kemampuan komunikasi menjadi hal yang sangat penting untuk
dimiliki oleh setiap orang khususnya public figure atau pribadi yang membutuhkan komunikasi intens
dengan pihak lain termasuk diantaranya agamawan Kristen. Secara rinci kebutuhan tersebut berkaitan
dengan kebutuhan terhadap pemahaman komunikasi dasar, komunikasi lintas konteks budaya dan juga
penguasaan terhadap tehnologi komunikasi. (Immanuel Yosua, Materi Seminar Terbatas Komunikasi
antar budaya di era kemajuan tehnologi dan pelayanan masa depan pelayanan Kristiani. Pacet : Oktober
2015, h. 1.
16
11
BAB III
POLA KEPEMIMPINAN PASTORAL YANG IDEAL ERA ABAD 21
Pada bagian ini penulis akan membahas mengenai beberapa hal yang
akan bermuara pada pola kepemimpinan pastoral yang ideal pada era abad 21.
Beberapa hal yang penulis bahas dalam bagian ini adalah mengenai karakteristik
abad 21, karakteristik kehidupan berasrama dan karakteristik pembinaan
berasrama di institusi teologi. Akhirnya pembahasan pada bab ini akan bermuara
pada pola kepemimpinan pastoral yang ideal bagi mahasiswa institusi teologi
berasrama pada era abad 21.
A. Karakteristik Abad 21
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian Pendahuluan, abad 21 yang
dimulai sejak tahun 2001 memiliki karakteristik dan tantangan tersendiri yang
berbeda dengan tantangan pada abad sebelumnya. 17 Dari beberapa literatur,
penulis menemukan bebeberapa hal yang menjadi karakteristik dari abad 21.
Namun dari rangkaian bahasan yang ada, secara singkat terdapat dua
karakteristik mendasar dari abad ini. Adapun katakteristik tersebut adalah
pergeseran dari era modernisme menuju Postmodernisme dan kuatnya
pengaruh globalisasi.
17
Dengan mengutip tulisan Dr. Daniel Lucas Lukito dan Pdt. Henry Efferin, Ph.D penulis telah
jelaskan secara singkat pada bab pertama
3Merujuk pada pernyataan Ericson, Postmodernism by its very nature is not easy to define in
simple terms. It is both a broad cultural and sociological phenomenon and an ideology, a set of ideas.
Instead of beginning with a standard definition, stating certain qualities of the movement and then
distinguishing it from other members of its class, we do well first to identify some instances of it, and then
12
gagalnya
modernisme
memenuhi
kebutuhan
hidup
manusia.
Hal
ini
sebagaimana dinyatakan oleh J.I. Packer, The only agreed upon element is that
postmodernism is a negation of modernism.Negasi tersebut terjadi karena ilmu
pengetahuan dan tehnologi yang diagungkan modernisme sebagai solusi dari
permasalahan yang dihadapi oleh manusia ternyata justru menyebabkan
malapetaka. Perang, penyimpangan karena tehnologi, kejahatan internasional,
dianggap sebagai hasil kontraproduktif dari modernisme.19 Sebagai akibatnya,
nilai-nilai
modernisme
yang
mengagungkan
rasionalitas
bergeser
pada
mistikisme dan hal-hal lain yang merambah seluruh aspek kehidupan manusia.
Secara mendasar, postmodernisme bermuara pada relativisme dalam
segala aspek kehidupan termasuk di dalamnya kebenaran, moral, kesusilaan
dan tata kehidupan. Relativisme tersebut mengandung konsekwensi adanya
penolakan terhadap hal yang bersifat absolut keempat hal mendasar dalam
kehidupan
manusia
yang
telah
penulis
sebutkan.
Dalam
perspektif
13
kehidupan
keagamaan/religiusitas
merupakan
bidang
di
mana
semakin
kuatnya
subyektifisme
eksistensialisme
dan
semakin
21
14
adalah
positivisme,
negativisme,
transformasionalisme
dan
luasnya interaksi antar manusia dan pihak terkait melalui tehnologi khususnya
24
15
informasi dan komunikasi. Beberapa bentuk dari hal tersebut adalah tayangan
televisi, radio dan internet yang dapat diterima di seluruh dunia melalui tehnologi
nirkabel. Sebagai akibat dari hal tersebut berbagai informasi dapat terdistribusi
secara cepat. Selain hal tersebut, berbagai materi yang dibutuhkan dalam
pelayanan dapat lebih mudah diakses dalam rangka persiapan pelayanan.
Namun selain hal positif, globalisasi juga memunculkan berbagai permasalahan
mulai dari hal yang bersifat tehnis hingga hal yang bersifat mendasar.
Beberapa hal tehnis diantaranya kesalahan menggunakan tehnologi baik
off line maupun online. Keberadaan media jejaring sosial seperti facebook,
twitter, path, BBM, Whatsapp dan yang sejenisnya hingga hal mendasar seperti
semakin mudahnya penyebaran ajaran sesat dan keyakian yang bertentangan
dengan Alkitab menjadi salah satu resiko dari globalisasi. Merebaknya pusat
peribadatan dari aliran yang mengadu dirinya bagian dari Kekristenan namun
terkategori bidat merupakan salah satu akibat dari globalisasi.
B. Karakteristik Kehidupan Berasrama25
Yang dimaksud dengan karakteristik kehidupan berasrama adalah ciri
khas dalam dalam kehidupan berasrama di institusi pendidikan teologi yang
menerapkan sistem pembinaan berasrama. Secara umum karakteristik tersebut
terkait dengan karakteristik mahasiswa selaku peserta didik, karakteristik
interaksi yang terjadi dan karakteristik pembinaan dalam konteks institusi
pendidikan teologi.
25
Pembahasan pada bagian ini penulis dasarkan pada pembelajaran penulis melalui proses
pembentukan berasrama di institusi pendidikan teologi yang penulis pernah jalani dan juga pengalaman
sehari-hari penulis sebagai Pembina asrama dan mahasiswa berasrama si salah satu institusi pendidikan
tinggi teologi di Jatim hingga saat ini. Terkait dengan hal tersebut, beberapa tulisan yang bernuansa
akademik berasal dari beberapa buku dan materi yang pernah penulis baca terkait topik yang dimaksud
yang telah terinternalisasi dalam pemikiran penulis
16
dari
bukanlah
hal
yang
sengaja
diciptakan
namun
merupakan
konsekwensi logis dari proses pembentukan tertutup yang diterapkan. Hal ini
dapat diantisipasi dengan penguatan interaksi dan
komunikasi dengan
pengelompokkan.
Pengelompokkan
yang
dimaksud
adalah
Hal ini menjadi salah satu pertimbangan bahwa pendidikan teologi berasrama ditolak oleh
sebagian praktisi pelayanan dan teolog selain karena adanya kekuatiran terhadap mentalitas pemimpin
rohani yang terlalu mengedepanan akal (David Mathis and Jonathan Parnell. How to Stay Christian in
Seminary, p. 12-14)
19
pembentukan.
mengoptimalkan
Terkait
dengan
pembinaan
hal
ini,
melalui
di
small
institusi
group
pendidikan
ataupun
teologi
persekutuan-
persekutuan.
khususnya pendidikan teologi yaitu serupa dengan Kristus dan mendidik tenaga
pelayanan yang memiliki orientasi bagi kemuliaan Allah merupakan hal yang
harus mewarnai setiap aspek pembentukan.27 Pola integratif juga merupakan
salah satu bentuk untuk mengikis pola pendidikan seminari yang dianggap oleh
sebagian teolog menghasilkan praktisi pelayanan gerejawi yang hanya
menekankan aspek kognitif tanpa memperhatikan aspek lain. Hal mendasar
yang menjadi formulasi dari pola ini adalah adanya penghayatan pribadi dalam
proses pembelajaran agar materi yang dipelajari dapat berguna bagi orang lain
bukan hanya diri sendiri. Salah satu contoh dari hal ini adalah diperkuatnya
unsur introspeksi dan komitmen menjadi pelaku firman dalam proses persiapan
khotbah jemaat tentang kekudusan, yang dilakukan oleh mahasiswa pendidikan
teologi berasrama.28
Sementara itu pola pendidikan holistik di institusi pendidikan teologi,
sebagaimana telah penulis paparkan pada bagian sebelumnya, diterapkan
dalam rangka terpenuhinya kebutuhan kognitif, afektif dan psikomotorik yang
dimiliki oleh mahasiswa. Selain untuk memenuhi persyaratan akademik
kelulusan dan juga terciptanya integritas diri mahasiswa, pembinaan yang
bersifat holistik diperlukan dalam rangka menghadapi tantangan pelayanan
terutama di era abad 21 yang membutuhkan kualifikasi prima baik dari sisi
kognitif, afektif dan psikomotorik. Masyarakat abad 21 yang ditandai dengan
berkembangnya postmodernisme dan juga globalisasi yang berbasis kemajuan
tehnologi informasi dan komunikasi.29 Pola pembelajaran ini dilakukan melalui
optimalisasi potensi yang dimiliki mahasiswa dari sisi pemikiran, perasaan dan
psikomotoris melalui berbagai kegiatan seperti pembelajaran kelas, praktik hidup
27
David Mathis and Jonathan Parnell. How to Stay Christian in Seminary, p. 21-22, 31-32;
Carson Pue Mentoring Leader, p. 121-128.
28
29
23
24
dan sesama dan meletakkan hal tersebut di atas kepentingan pribadi. 30 Di sisi
lain pola ini secara alamiah memunculkan keteladanan bagi para peserta didik.31
Dalam hal otoritas, orientasi pada hal rohani diwujudkan dengan
menempatkan otoritas kepemimpinan bukan pada status atau kekuasaan
kepemimpinan yang dimiliki namun kepada panggilan pelayanan sebagai
pemimpin yang telah diyakini. Keyakinan ini membawa seorang pemimpin pada
sikap rendah hati dan memiliki jiwa melayani dalam proses kepemimpinan yang
dilaksanakan.
Pelayanan Kristiani di era abad 21 yang diwarnai dengan relativisme nilai
dan lemahnya integritas obyektif.32 Dalam pola ini, keyakinan terhadap Alkitab
sebagai nilai-nilai kebenaran universal dan kebersandaran pada karya Roh
Kudus dalam proses pembentukan menjadi hal mendasar yang terus
dikembangkan. Melalui kedua hal tersebut berbagai tantangan dan hambatan
yang dihadapi dalam proses kepemimpinan akan dapat teratasi.
2. Transformatif
Abad 21 yang identik dengan post modernisme dan globalisasi
membutuhkan pendekatan tersendiri dalam berbagai aspek kehidupan termasuk
diantaranya dunia pelayanan. Sebagaimana telah dinyatakan dalam bagian
sebelumnya, abad 21 membutuhkan pendekatan pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan. Pendekatan ini memiliki perbedaan dengan pendekatan pada abad
30
Gangel, Kenneth O. Membina Pemimpin Pendidikan Kristen. Tanpa Nama Penterjemah. Malang:
Gandum Mas, 2001. h. 10-17. Blanchard, Ken and Phil Hodge. Lead like Jesus : lessons from the greatest
leadership role model of all times . Nashville, Tennessee: Th.omas Nelson, 2005. Diakses via
https://scribd.com p. 20-27
31
Keteladanan merupakan hal yang memiliki pengaruh kuat bagi pembentukan karakter dan pola
hidup mahasiswa berasrama. Intensitas pertemuan rutin yang cukup tinggi memunculkan proses
transformasi yang cukup kuat antara pemimpin dan pribadi yang dipimpin.
32
25
rangka
keberhasilan
pola
kepemimpinan
yang
bersifat
pendekatan
terhadap
peserta
33
didik
sehingga
dalam
proses
Stott, John. Isu Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Penterjemah. G.A. Nainggolan.
Jakarta; Bina Kasih/OFM, 2005.
34
Perry Shaw, Transforming Theological Education .A Practical Handbook for Integrative
Learning.. P. 58-65.
26
perspektif
kepemimpinan,
dengan
merujuk
pada
bahasan
sebelumnya tentang hal ini, integrasi merupakan hal yang dibutuhkan. Yang
dimaksud dengan kepemimpinan integratif adalah adanya keutuhan dalam
proses kepemimpinan. Dengan kata lain semua elemen yang memiliki kaitan
dengan proses kepemimpinan pastoral dan pembinaan bertolak dari titik yang
sama dan menuju pada tujuan yang sama. Beberapa unsur tersebut diantaranya
pribadi seorang pemimpin, pola kepemimpinan dan implementasi pembinaan
dalam proses kepemimpinan yang dilaksanakan. Tanpa adanya integrasi proses
kepemimpinan yang sedang dijalankan kurang dapat memenuhi harapan.
Kebingungan bahkan kegagalan yang dialami mahasiswa dalam proses
pembentukan.
Kepemimpinan integratif ini membutuhkan integritas pada diri para
pemimpin pastoral yang terlibat dalam proses pembinaan. Integritas ini bukan
saja terkait dengan kesatuan perkataan, perasaan dan pemikiran yang
berorientasi pada kebenaran Alkitab namun juga berhubungan dengan kapasitas
dan kapabilitas keilmuan terutama yang terkait dengan kemampuan untuk
menguasai disiplin ilmu yang dibutuhkan bagi mahasiswa dalam pembentukan di
asrama. Tanpa adanya hal ini, pola pembentukan akan mengalami hambatan.
Tantangan terkait dengan perubahan paradigma manusia yang menyentuh
segala aspek kehidupan pelayanan, akan sulit dihadapi tanpa adanya
pemahaman yang memadai terhadap tantangan jaman.
Selain integratif, pola kepemimpinan holistik merupakan hal yang
dibutuhkan dalam proses pembinaan bagi mahasiswa institusi pendidikan teologi
di era abad 21. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, pola
27
dibutuhkan oleh peserta didik akan berusaha dipenuhi dan diajarkan melalui
berbagai bentuk pembinaan dan pendampingan yang dilakukan. Kemampuan
untuk melakukan proyeksi merupakan salah satu hal yang dibutuhkan dalam
proses kepemimpinan di era peralihan dari modernisme ke postmodernisme.
35
Blanchard, Ken and Phil Hodge. Lead like Jesus : lessons from the greatest leadership role
model of all times . p. 21-23.
28
pola
pembinaan
yang
berorientasi
pada
pemenuhan
kebutuhan konteks dengan tetap berpijak pada Alkitab dan kebenaran iman
Kristen.
5. Team Work
Kerjasama tim (Team Work) merupakan hal mendasar yang harus
diterapkan dalam pelaksanaan kepemimpinan pastoral bagi mahasiswa institusi
teologi
berasrama.
Kerjasama
tim
mutlak
dibutuhkan
karena
proses
29
merupakan hal yang dibutuhkan agar proses pembinana yang diberikan sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.
Koordinasi merupakan hal yang harus dipertahankan dan dikembangkan
dalam proses kerjasama tim. Tanpa adanya koordinasi proses kerjasama yang
dibangun tidak akan dapat berjalan dengan baik. Sebagai akibatnya, kesalah
pahaman dan kekurang singkronan menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan.
Agar tercipta koordinasi yang baik dalam kerjasama tim dibutuhkan
adanya kode etik, manajemen kepemimpinan dan komitmen yang kuat antar
pemimpin pastoral dalam sebuah institusi pendidikan teologi berasrama. Kode
etik dibutuhkan dalam rangka menghargai pribadi dan tugas tanggung jawab
masing-masing. Kode etik tersebut biasanya terkait dengan tugas pokok dan
fungsi
juga
pola
interaksi-komunikasi
yang
dibangun
dalam
proses
BAB IV
PENUTUP
Dari pembahasan yang dimulai dari bab satu hingga bab tiga diperoleh
kesimpulan bahwa pendidikan khusus seminari atau sekolah teologi masih
dibutuhkan namun harus dengan pola pembinaan yang baik. Pembinaan
tersebut dilakukan dalam rangka keseimbangan antara pembelajaran yang
melibatkan aspek kognitif dan faktor lain yang dibutuhkan dalam proses
persiapan khusus yang dilakukan. Salah satu faktor penting dalam rangka hal
tersebut adalah keberadaan dosen dan para Pembina yang memiliki tugas dan
tanggung jawab pembinaan terhadap para calon tenaga pelayanan gerejawi
30
penuh waktu khususnya faktor kepemimpinan pastoral, yang ideal terkait dengan
tantangan di era abad 21.
Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan model pembinaan
penuh waktu berasrama, dalam konteks pendidikan teologi di institusi pendidikan
teologi berasrama, pola pembinaan yang diterapkan, memiliki beberapa
karakteristik dasar. Beberapa karakteristik yang dimaksud adalah, adanya
disiplin terstruktur, berbasis pendampingan, pembelajaran integratif dan holistik.
Selain hal positif, sebagai dampak dari pembinaan yang bersifat khusus,
terdapat karakteristik lain yang muncul dalam pola pembinaan. Karakteristik
tersebut merupakan hal yang bersifat alami yang muncul sebagai konsekwensi
logis. Karakteristik tersebut adalah ekslusif dan legalis.
Dalam konteks pendidikan teologi, disiplin berasrama diterapkan dengan
mengoptimalkan beberapa elemen pembinaan yaitu : kegiatan, pembina, aturan
dan sistem penunjang interaksi. Elemen lain yang memiliki peran penting adalah
keberadaan pembina. Pembina dalam hal ini adalah tenaga kependidikan yang
memiliki kualifikasi bagi pembentukan mahasiswa institusi teologi berasrama.
Akhir kata adalah bahwa pola kepemimpinan pastoral bagi mahasiswa
teologi berasrama di era abad 21 setidaknya memiliki 5 karakteristik. Kelima hal
tersebut adalah: perpusat pada hal rohani, transformatif, integratif, holistik dan
mengutamakan team work atau kerjasama tim.
KEPUSTAKAAN
Anthony, Michael J. Introducing Christian Education Foundations for the
Twenty first Century. Grand Rapids, Michigan; Baker Books, 2001. Diakses via
https://scribd.com
Blanckchard, Ken and Phil Hodges. The Servant Leader : Transforming
Your Heart, Head, Hands & Habits. Nashville: Thomas Nelson, 1992. Diakses via
https://scribd.com
31
Kristiani.
ARTIKEL
33
35
36