Anda di halaman 1dari 12

Pengertian Filariasis

Filariasis (penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah suatu infeksi
sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam saluran limfe dan kelenjar
limfe manusia yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila
tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki,
lengan, dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.
Cacing filaria berasal dari kelas Secernentea, filum Nematoda. Tiga spesies filaria yang
menimbulkan infeksi pada manusia adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia
timori (Elmer R. Noble & Glenn A. Noble, 1989). Parasit filaria ditularkan melalui gigitan
berbagai spesies nyamuk, memiliki stadium larva, dan siklus hidup yang kompleks. Anak dari
cacing dewasa disebut mikrofilaria.
Agent dan Sifat

AGENT
Penyebab penyakit Filariasis ialah nematode dari keluarga Filarioidea (Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi, Brugia timori).
a. Wucheria bancrofti
Menurut Felix Partono,cacing ini tersebar luas di daerah yang beriklim tropis di seluruh dunia
termasuk di Indonesia. Mempunyai ukuran bervariasi, yang betina berukuran 65-100 mm
0,1 mm dan yang jantan 40 mm 0.1 mm. Cacing betina dapat mengeluarkan mikrofilaria
yang bersarung dengan ukuran 250 300 mikron 7-8 mikron. Bentuknya halus seperti
benang dan berwarna putih susu. Pada umumnya, microfilaria W.brancrofti bersifat
periodisitas nokturna,artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam aliran darah tepi pada
waktu malam. Pada siang hari microfilaria hanya terdapat di kapiler alat dalam.
Cacing ini mengalami 5 stadium pertumbuhan untuk menjadi dewasa. Mula-mula
mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk,melepaskan sarungnya di dalam lambung,kemudian
bersarang di otot toraks. Pada stadium I,larva cacing ini memendek. Dalam waktu kurang dari
seminggu,larva ini kemudian berganti kulit,tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang disebut
larva stadium II. Larva berganti kulit sekali lagi pada hari kesepuluh menjadi larva stadium
III. Kemudian, jika larva ini pindah ke tubuh manusia,larva ini dapat mengalami dua kali
pergantian kulit,tumbuh menjadi larva stadium IV dan menjadi dewasa atau stadium V. Umur
cacing dewasa mencapai 5-10 tahun.
b. Brugia malayi
Menurut Tomio Yamaguchi, Brugia malayi adalah jenis cacing filariae yang dapat ditemukan
dari Asia Tenggara sampai Pasifik Barat Daya. Juga pernah ditemukan di Korea Selatan.
Cacing dewasa B.malayi lebih kecil daripada W.brancofti. Yang jantan panjangnya 22 23
mm dan lebarnya 0,88 mikron,dan yang betina mempunyai panjang 550,16 mm. Berbeda
dengan W.bancrofti yang ekornya tak memiliki nuklei(titik inti) di ekornya,sementara
B.malayi memiliki nuklei di ekornya.

Daur hidup dari B.malayi hampir sama dengan W.bancrofti,kecuali di daerah tertentu,di mana
vektornya berbeda dari W.bancrofti. Yang termasuk vektor B.malayi adalah
Mansonnia,Anopheles,dan Aedes.
c. Brugia timori
Menurut Markell,Voge dan John, mikrofilaria dari jenis ini pertama kali ditemukan pada
tahun 1964 di kepulauan Timor. Kemudian,penyakit ini menyebar ke pulau-pulau di
Dangkalan Sunda.
Mikrofilaria B.timori dapat dengan jelas dibedakan dari mikrofilaria B.malayi. Mikrofilaria
dari B.timori lebih panjang dari B.malayi,dengan rata-rata 310 mikron. Jarak cephalic
(bagian dari mikrofilaria anterior ke nuclei tubuh) mempunyai perbandingan panjang dan
lebar 2:1 di B.malayi,sedangkan di B.timori 3:1. Sarung B.malayi mengandung Giemsa stain,
sedangkan hal itu tidak ditemui pada B.timori.
d. Cacing dari genus Mansonella
Filaria ini adalah satu-satunya filaria yang ditemukan di benua Amerika. Mansonella ozzardi
tidak memiliki nuklei di ujung ekornya sementara Mansonella streptocerca memilki nuklei
yang memanjang sampai ke ujung ekor. Mikrofilaria dari jenis ini dapat ditemukan dengan
biopsi kulit.
e. Loa loa
Parasit ini hanya ditemukan pada manusia. Penyakitnya disebut loiasis atau Calabar
Swelling. Loiasis terutama terdapat di daerah Afrika Barat,Afrika tengah dan Sudan. Parasit
ini juga terdapat pada daerah khatulistiwa yang mempunyai hutan hujan.
Cacing dewasa hidup dalam jaringan subkutan,yang betina berukuran 50-70 mm 0,35-0,43
mm. Cacing betina mengeluakan mikrofilarianya yang beredar dalam darah pada siang hari
(diurnal). Pada malam hari,mikrofilaria berada dalam pembulah darah paru-paru. Mikrofilaria
mempunyai sarung berukuran 250 300 mikron 6-8,5 mikron. Dapat ditemukan dalam
urin,dahak dan kadang-kadang dapat ditemukan pada cairan sumsum tulang belakang. Cacing
dewasa dapat tumbuh 1 samapi 4 tahun kemudian berkopulasi dan caing betina mengeluarkan
mikrofilaria
Sifat agent :
1. Patogenesiti, cacing ini tegolong pathogenesis karena menimbulkan penyakit.
2. Virulensi, karena derajat kerusakan yang ditimbulkan cacing ini hebat maka dapat
dikatakan virulen.
3. Antigenesiti, mekanisme pertahanan tubuh yang ditimbulkan oleh agent ini rendah,
sehingga dapat dikatakan antigenesitinya juga rendah.
4. Infektiviti, agent ini memiliki kemampuan untuk tinggal di dalam diri penjamu yang
sangat baik, sehingga dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan tubuh
pejamu.

HOST
1. Golongan umur
Pada masa kanak-kanak microfilaria rate biasanya rendah, tetapi akan cepat meningkat pada
usia antara 5 sampai 20 tahun dan akan terus meningkat secara perlahan-lahan.
2.

Jenis kelamin

Pada umumnya penyakit ini lebih sering dijumpai pada pria dari pada wanita.
3.

Kebiasaan Hidup

Kebiasaan hidup yang buruk dapat mengundang atau mempercepat masuknya bibit penyakit.
ENVIRONMENT
Penyakit ini biasanya menyerang orang-orang yang hidup di daerah khatulistiwa dari
Amerika Latin sampai ke Asia Tenggara. Bionomi nyamuk banyak dipengaruhi oleh iklim,
curah hujan, kelembaban udara, dan tanaman air. Habitat yang paling tepat untuk agent ini
adalah manusia, namun di Malaysia, Tenggara Tahiland, Philipina dan Indonesia hewan
seperti kucing, musang dan kera dapat menjadi reservoir untuk Brugia malayi subperiodik.
Spesies cacing filaria

Masa Inkubasi

Masa inkubasi pada manusia 3-15 bulan setelah gigitan nyamuk yang menjadi vector.
Manifestasi klinis sebagai infeksi W.bancrofti terbentuk beberapa bulan hingga beberapa
tahun setelah infeksi, tetapi beberapa orang yang hidup di daerah endemis tetap asimptomatik
selama hidupnya. Mereka yang menunjukkan gejala akut biasanya mengeluh demam,
lymphangitis, lymphadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia, dan malaise. Mulamula
cacing dewasa yang hidup dalam pembuluh limfe menyebabkan pelebaran pembuluh limfe
terutama di daerah kelenjar limfe, testes, dan epididimis, kemudian diikuti dengan penebalan
sel endothel dan infiltrasi sehingga terjadi granuloma. Pada keadaan kronis, terjadi
pembesaran kelenjar limfe, hydrocele, dan elefantiasis. Hanya mereka yang hipersensitif,
elefantiasis dapat terjadi. Elefantiasis kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai
bawah, biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri. Suatu sindrom yang khas
terjadi pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti dinamakan Weingartners syndrome atau
Tropical pulmonary eosinophilia (11). Gejala yang sering dijumpai pada orang yang
terinfeksi B.malayi adalah lymphadenitis dan lymphangitis yang berulangulang disertai
demam (10). Perbedaan utama antara infeksi W.bancrofti dan B.malayi terletak pada
klasifikasi ureter dan ginjal. Klasifikasi ureter dan ginjal tidak ditemukan pada infeksi
B.malayi (10).
Diagnosis

Diagnosis Klinik

Ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik penting


dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic Disease Rate).
Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis
adalah gejala dan pengalaman limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala
menahun.

Diagnosis Parasitologik

Ditemukan mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat
dilakukan slang hari, 30 menit setelah diberi dietilkarbamasin 100 mg. Dari mikrofilaria
secara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria.
Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi, amikrofilaremia
dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi dan/atau antigen dengan cara
immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis.
Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif dengan mikrofilaremi, tidak
membedakan infeksi dini dan infeksi lama. Deteksi antigen merupakan deteksi metabolit,
ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis parasitologik,
antibodi monokional terhadap O.gibsoni menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan
mikrofilaremia W. bancrofti di Papua New Guinea.

Diagnosis Epidemiologik

Endemisitas filariasis suatu daerah ditentukan dengan menentukan microfilarial rate (mf
rate), Acute Disease Rate (ADR) dan Chronic Disease Rate (CDR) dengan memeriksa
sedikitnya 10% dari jumlah penduduk.

Pendekatan praktis untuk menentukan daerah endemis filariasis dapat melalui penemuan
penderita elefantiasis.
Dengan ditemukannya satu penderita elefantiasis di antara 1000 penduduk, dapat
diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan 100 yang mikrofilaremik.
Siklus Penularan Filariasis
1. Tahap perkembangan dalam tubuh nyamuk (vektor)
Saat nyamk menghisap darah penderita (mikrifilaremia) beberapa
mikrofilaria itu terhisap bersama darah dan masuk dalam lambung
nyamuk
Beberapa saat setelah berada dalam lambung nyamuk, mikrofiaria
melepas selubung, kemudian menerobos dinding lambung menuju
ke rongga badan dan selanjutnya ke jaringan otot thoraks
Didalam jaringan otot thoraks, larva stadium I(L1) berkembang
menjadi bentuk larva stadium II (L2) dan selanjutnya berkembang
menjadi larva stadium III (L3) yang infektif
Waktu untuk perkembangan dari L1 menuju L3 (masa inkubasi
ekstrinsik) untuk W. Bancrofti antara 10-14 hari, B. malayi dan B.
timori 7-10 hari
L3 bergerak menuju probosis (alat tusuk) nyamuk dan akan
dipindahkan ke manusia pada saat nyamuk menggigit.
Mikrofilaria dalam tubuh nyamuk hanya mengalami perubahan
bentuk dan tidak berkembang biak (Cyclicodevelopmental)
sehingga diperlukan gigitan berulang kali untuk terjadinya infeksi
2. Tahap perkembangan dalam tubuh manusia dan hewan perantara (hospes
reservoir)
Didalam tubuh manusia L3 akan menuju sistem limfe dan
selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa jantan atau betina.
Melalui kopulasi cacing betina menghasilkan mikrofilaria yang
beredar dalam darah. Secara periodik seekor cacing betina akan
mengeluarkan sekitar 50000 larva setiap hari
Perkembangan L3 menjadi cacing dewasa dn menghasilkan
mikrofilaria untuk W. bancrofti selama 9 bulan dan B. malayi dan
B. timori selama 3 bulan
Perkembangan seperti ini terjadi juga dalam tubuh hewan reservoar
(lutung dan kucing)

Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis


Faktor risiko adalah faktor yang kehadirannya meningkatkan
probabilitas kejadian penyakit, sebelum penyakit tersebut mencapai fase
ireversibilitas. Dalam epidemiologi hasil riset tentang penyebab penyakit
pada umumnya masih bersifat mungkin atau mekanismenya belum
diketahui, maka digunakan kata faktor risiko ketimbang faktor penyebab
(kausa) untuk menerangkan suatu variabel yang meningkatkan
probabilitas individu untuk mengalami penyakit (Kleinbaum et al., 1992 cit
Murti,1997).
Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan di beberapa tempat
di Indonesia diketahui bahwa kejadian filariasis umumnya dihubungkan
dengan faktor risiko lingkungan, sosial budaya dan ekonomi serta
perilaku. Faktor-faktor tersebut berperan terhadap penularan filariasis dan
bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya.
a.Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang erat kaitannya
dengan kejadian filariasis karena lingkungan merupakan tempat
berkembangbiaknya vektor penular filariasis. Menurut Depkes (2006a)
daerah endemis W.bancrofti tipe pedesaan umumnya kondisi
lingkungannya sama dengan daerah endemis B. malayi yaitu daerah
hutan rawa, persawahan, dan badan air yang sering ditumbuhi tumbuhan
air. Lingkungan tersebut berperan sebagai tempat perindukan dan
beristirahatnya vektor nyamuk. Berdasarkan Hasil penelitian Saniambara
(2005) di Kecamatan Rote Ndao Provinsi NTT diketahui bahwa jenis cacing
yang ditemukan pada penderita adalah spesies Wuchereria bancrofti (mf
rate = 5,7%) dan Brugia timori (mf rate = 4,2%) serta perumahan yang
terletak di daerah persawahan tadah hujan menduduki urutan tertinggi mf
rate yaitu 21,18% dan disimpulkan bahwa ada hubungan keadaan
lingkungan pemukiman terhadap infeksi filariasis (r= -0,1563, p= 0,0024).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra (2007) di Kabupaten Tanjung
Provinsi Jambi menyimpulkan bahwa lingkungan air tergenang dengan
tanaman mempunyai risiko terhadap kejadian filariasis (OR=9,47).
Salah satu aspek lingkungan yang menyangkut kehidupan manusia
adalah masalah lingkungan pemukiman. Dalam rangka upaya pencegahan
terhadap penularan penyakit filariasis, maka faktor jarak pemukiman

dengan daerah berawa, persawahan dan hutan rimba hal ini untuk
mengantisipasi keberadaan vektor penular filariasis yang diketahui
mempunyai jarak terbang 50-100 meter kecuali terbawa angin kencang
serta rumah yang dibangun harus memenuhi syarat rumah yang sehat
yaitu cukup pencahayaan, ventilasi yang sempurna (dipasang kasa),
tersedia sumber air minum, jamban keluarga, tempat pembuangan
sampah dan saluran pembuangan limbah, lantai tidak dari tanah, jendela
atau lubang angin untuk memudakan cahaya dan sirkulasi udara dalam
ruangan
terpenuhi.
Pada penelitian Uloli (2007) di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo
diketahui bahwa lingkungan pemukiman yang jaraknya < 200 meter dari
daerah berawa, respondennya mempunyai resiko 3 kali terinfeksi filariasis
(OR = 3,56).
Keberadaan hospes reservoir seperti kera, lutun dan kucing
berpengaruh terhadap penyebaran B. Malayi sub periodik nokturna dan
non periodik. Menurut hasil penelitian Sudjadi (1996) di ketahui bahwa
kucing merupakan hospes reservoir filariasis. Pendapat ini diperkuat oleh
hasil penelitian Reike Uloli di Gorontalo bahwa kebiasaan memelihara
kucing mempunyai hubungan bermakna secara statistik terhadap kejadian
filariasis
(p=0,038).
Pada pemberantasan vektor filariasis, bionomik (tata hidup) vektor harus
diketahui yang mencakup perilaku berkembang biak, perilaku menggigit
dan perilaku beristirahat dari spesies vektor. Nyamuk dapat bersifat
antropofilik (menyukai darah manusia), zoofilik (menyukai darah hewan)
dan zooantofilik (menyukai darah hewan dan manusia), eksofagik
(menggigit diluar rumah) dan bisa juga bersifat endofalik atau menggigit
dalam rumah, (Depkes, 2005).
Selain menggigit dan mencari tempat perindukan, nyamuk
membutuhkan aktivitas terbang. Pada kegiatan ini, nyamuk mempunyai
jarak terbang yang berbeda-beda. Setiap jenis nyamuk mempunyai jarak
terbang yang paling efektif yaitu 50 100 meter, kecuali terbawa angin
kencang ( Sigit et al, 2006).
Penularan filariasis akan menjadi efektif, bukan hanya karena
mikrofilaria dalam darah manusia atau hewan sebagai sumber penularan
tetapi dipengaruhi oleh kepadatan nyamuk sebagai vektor filariasis,
kecocokan antara perilaku keberadaan mikrofilaria dalam darah tepi
dengan perilaku menggigit nyamuk. Perilaku yang tidak cocok antara
mikrofilaria dengan siklus menggigit nyamuk akan menghasilkan
penularan yang tidak efektif, sehingga pada akhirnya parasit akan
mengalami kepunahan. Perilaku vektor penting untuk diketahui dalam
rangka upaya pencegahan mata rantai penularan filariasis.

b.Faktor sosial budaya dan ekonomi


Sosial budaya dan ekonomi merupakan lingkungan yang timbul
sebagai akibat adanya interaksi antar manusia yang dilatar belakangi oleh
beberapa aspek seperti pekerjaan, pendidikan, status ekonomi, adat
istiadat,
kebiasaan
hidup
penduduk.
Faktor sosial budaya, dan ekonomi dapat mempengaruhi penularan
filariasis. Kebiasaan bekerja di kebun di malam hari atau keluar rumah di
malam hari atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena berkaitan
dengan intensitas kontak dengan vektor. Insiden pada laki-laki lebih tinggi
dari pada insiden filariasis perempuan karena umumnya laki-laki lebih
sering kontak dengan vektor sehubungan dengan pekerjaannya.
Menurut penelitian Mahdiniansyah (2000), faktor resiko pekerjaan
yakni ladang berpindah-pindah mempunyai resiko 2,91 kali tertular
filariasis. Kebiasaan tinggal di hutan saat panen mempunyai resiko 4,10
kali terkena filariasis. Demikian juga menurut penelitian yang dilakukan
oleh Saniambara (2005), jenis pekerjaan sebagai petani mempunyai
persentasi
terbanyak
(16,56%)
tertular
filariasis.
Status sosial ekonomi dalam hal ini tingkat pendapatan penduduk yang
rendah berpengaruh terhadap upaya pencegahan penyakit dengan
memelihara lingkungan pemukiman yang memenuhi syarat kesehatan,
seperti membangun rumah yang sehat sehingga mencegah penularan
filariasis atau memenuhi kebutuhan sandang dan pangannya terutama
makanan yang bergizi.
Pendapatan keluarga adalah jumlah semua perolehan yang didapat
anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya.
Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas
lain seperti pendidikan, perumahan, kesehatan dan lain-lain. tingkat
pendapatan yang memadai berarti bahwa rumah tangga mendapatkan
cukup kalori dan protein bagi semua anggota keluarga. Tingkat
pendapatan dihitung berdasarkan standard 320 kg beras/orang/tahun
Sajogjo (1981).
Hasil penelitian Uloli (2007) menyebutkan bahwa tingkat
penghasilan rendah merupakan salah satu faktor resiko kejadian filariasis
dengan nilai OR = 2,364 dan mempunyai hubungan bermakna secara
statistik
dengan
nilai
p=0,025.
Menurut Soeyoko (2002), penularan filariasis banyak dikaitkan dengan
aspek sosial budaya, antara lain pengetahuan, kepercayaan, sikap dan
kebiasaan masyarakat. Perilaku penduduk dapat juga mengurangi atau
menambah kemungkinan penularan filariasis.

Banyak paham yang menganggap bahwa filariasis terjadi karena


adanya faktor magic, yang biasa dikenal dengan ilmu hitam suanggi,
bahkan sebagai penyakit kutukan maupun turunan. Ada yang mengaitkan
dengan pekerjaan dimana dengan bekerja keras dan cuaca dingin akan
menyebabkan kaki gajah, ada pula yang menganggap bahwa filariasis
bersumber dari minum air atau alergi makanan tertentu (Setyawati, 2003
cit
Saniambara,
2005).
c.Perilaku.
Perilaku secara biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia pada
hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Menurut
Skinner (1938) cit Notoatmodjo (2007), perilaku merupakan hasil
hubungan antara perangsangan (stimulus) dan tanggapan atau respon.
Perilaku kesehatan merupakan respon seseorang terhadap suatu obyek
yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan,
makanan, minuman, serta lingkungan.
Menurut Benyamin Bloom (1908) cit Notoatmojo (2007) perilaku
dibagi kedalam 3 (tiga) domain yaitu : a) kognitif (cognitive), b). afektif
(affective), c). psikomotor (psychomotor). Dalam perkembangannya, teori
Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan,
yakni : pengetahuan (Knowledge), sikap (Attitude) dan tindakan (Practice).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk sikap dan tindakan seseorang. Pengetahuan yang tercakup
dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu : a). Tahu (know), b).
memahami (comprehension), c). aplikasi (aplication), d). analisis
(analysis), e). sintesis (syntesis), f). evaluasi (evaluation).
Indikator-indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat
pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan dapat dikelompokkan
menjadi pengetahuan tentang sakit dan penyakit, pengetahuan tentang
cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, pengetahuan tentang
kesehatan lingkungan.
TANDA DAN GEJALA KLINIS
Umumnya, filariasis akan bersifat mikrofilaremia subklinis. Apalagi kebanyakan
penderita penyakit ini merupakan masyarakat pedesaan hingga sama sekali tidak terdeteksi
oleh pranata kesehatan yang berada di lingkungan tersebut. Namun demikian, jika telah parah
dan kronis dapat menimbulkan hidrokel, acute adenolymphangytis (ADL), serta kelainan

pembuluh limfe yang kronis. Di daerah-daerah yang endemis W.bancrofti juga sudah banyak
orang yang kebal sehingga jika ada satu atau dua orang yang skrotumnya tiba-tiba sudah
besar, kemungkinan sudah banyak sekali laki-laki yang terinfeksi parasit ini. Meski demikian,
jika ingin mendeteksi secara dini, dalam fase subklinis penderita filariasis bancrofti akan
mengalami hematuria dan atau proteinuria mikroskopik, pembuluh limfe yang melebar dan
berkelok-kelok dideteksi dengan flebografi- , serta limfangiektasis skrotum dideteksi
dengan USG. Namun tentu saja gejala-gejala yang disebutkan terakhir jarang sekali (kalau
bisa dibilang tidak pernah) terdeteksi karena terjadi di pedalaman-pedalaman desa.
ADL ditandai dengan demam tinggi, peradangan limfe (limfangitis dan limfadenitis),
serta edema lokal yang bersifat sementara. Limfangitis ini bersifat retrograd, menyebar secara
perifer dari KGB menuju arah sentral. Sepanjang perjalanan ini, KGB regional akan ikut
membesar atau sekedar memerah dan meradang. Bisa juga terjadi tromboflebitis di sepanjang
jalur limfe tersebut. Limfadenitis dan limfangitis dapat terjadi pada KGB ekstremitas bawah
dan atas akibat infeksi W.bancrofti dan Brugia.
Namun khas untuk W.bancrofti, biasanya akan terjadi lesi di daerah genital terlebih
dahulu. Lesi di derah genital ini meliputi funikulitis, epididimitis, dan rasa sakit pada
skrotum. Nantinya lesi ini juga bisa menjadi limfedema hingga menjadi elefantiasis skrotalis
yang sangat khas akibat infeksi W.bancrofti. Lebih jauh, edema ini juga bisa mendesak
rongga peritoneal hingga menyebabkan ruptur limfe di daerah renal dan menyebabkan
chiluria, terutama waktu pagi.Pada daerah yang endemis infeksi filaria, terdapat tipe onset
penyakit akut yang dinamakan dermatolymphangioadenitis(DLA).
Agak sedikit berbeda dengan ADL, DLA merupakan sindrom yang meliputi demam
tinggi, menggigil, myalgia, serta sakit kepala. Plak edem akibat peradangan membentuk
demarkasi yang jelas dari kulit yang normal. Pada sindrom ini juga terdapat vesikel, ulkus,
serta hiperpigmentasi. Kadang-kadang dapat ditemui riwayat trauma, gigitan serangga,
terbakar, radiasi, lesi akibat pungsi, serta kecelakaan akibat bahan kimia. Biasanya port
dentre dari filaria tersebut terletak di daerah interdigital. Karena bentuknya yang tidak
terlalu khas, sindrom ini sering juga didiagnosis sebagai selulitis.
Adapun tanda-tanda dan gejalanya (symtom) pada orang yang telah terinfeksi penyakit
filariasis ini,gejala filariasis akut dapat berupa :

1.

Demam berulang-ulang selama 3-5 hari,demam dapat hilang bila istirahat dan muncul
kembali setelah bekerja berat.

2.

Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha
(lymphadenitis) yang tampak kemerahanKetiak (Lymphadenitis) yang tampak
kemerahan, panas dan sakit

3.

Panas dan sakit radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang
menjalar dari pangkal kaki / pangkal lengan kearah ujung (Retrograde lymphangitis)

4.

Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat
pecah dan mengeluarkan nanah serta darah

5.

Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan
terasa panas (early lymphodema)
Filariasis abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening dapat

pecah dan mengeluarkan nanah serta darah, pembesaran tungkai, lengan, buah dada
(Mamae), buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (Early lymphodema).
Gejala klinis yang kronis berupa pembesaran yang menetap (Elephantrasis) pada
tungkai, lengan, buah dada (Mamae), buah zakar (Elephantiasis skroti).
Tidak Seperti malaria, dan demam berdarah, filariasis dapat ditularkan oleh berbagi jenis
nyamuk diantaranya spesies nyamuk dari genus anopheles, culex, mansonia, aedes dan
arnigeres. Karna inilah yang menyebabkan filariasis dapat menular dengan cepat.
TINDAKAN PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap penyakit filariasis / kaki gajah dapat dilakukan dengan jalan :
1.
2.
3.
4.
5.

Berusaha menghindari diri dari gigitan nyamuk


Membersihkan air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan
Mengeringkan / genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk
Membakar sisa-sisa sampah (berupa kertas dan plastik)
Minimal melakukan penyemprotan sebulan sekali

nyamuk

Pencegahan penyakit kaki gajah / filasiasis bagi penderita penyakit filariasis


diharapkan untuk memeriksakan kedokter agar mendapatkan penanganan obat obatan
sehingga tidak menyebabkan penularan kepada masyarakat lainnya.
Perlu adanya pendidikan dan pencegahan serta pengenalan penyakit kaki gajah /
filariasis di wilayah masing masing sangatlah penting untuk memutus mata rantai
penularan penyakit ini.Membersihkan lingkinggan sekitar adalah hal terpenting untuk
mencegah terjadinya perkembangan nyamuk diwilayah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai