Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

TETANUS NEONATORUM

Dokter Pembimbing:
dr. M. Mukhson, Sp.A

Disusun oleh:
Tiara Gian P G4A014082

SMF ILMU ANAK


RSUD PROF. DR. MARGONO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui referat berjudul
Tetanus Neonatorum

Disusun Oleh
Tiara Gian P

G4A014082

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian


Ilmu Anak RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Pada tanggal : 28 Mei 2016

Mengetahui,
Pembimbing

dr. M. Mukhson, Sp.A

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme
yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh
Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum
diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi
lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak
melakukan booster secara berkala (Annonimus, 2006).
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di
seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta
kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.
Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT
(randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana
tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke
WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang berisiko
tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang
lengkap. Hasil survei menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus
neonatorum yang dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang
dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan
insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus
per tahun (Annonimus, 2006).
Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring
dengan peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua
negara tidak memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang
lahir sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster
yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang
yang lupa melakukan jadwal imunisasi saat infrastruktur pelayanan
kesehatan rusak misalnya akibat perang dan kerusuhan. Akibatnya anak
yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih berisiko mengalami

tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program imunisasi yang


sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi primer
yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun
seiring berjalannya waktu (Annonimus, 2006).
B. Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk lebih memahami tanda dan
gejala

penyakit

Tetanus

Neonatorum

serta

bagaimana

cara

penatalaksanaannya dan komplikasi yang dapat terjadi agar dapat menjadi


perhatian agar dapat memberikan terapi yang terbaik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada
neonatus (bayi berusia kurang dari 1 bulan) yang disebabkan oleh Clostridium
tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang sistem
saraf pusat. Spora kuman tersebut masuk ke dalam tubuh bayi melalui pintu
masuk satu-satunya, yaitu tali pusat yang dapat terjadi pada saat pemotongan
tali pusat ketika bayi lahir maupun pada saat perawatan sebelum puput
(terlepasnya tali pusat). Masa inkubaasi 3-28 hari, rata-rata 6 hari. Apabila
masa inkubasi kurang dari 7 hari, biasanya penyakit lebih parah dan angka
kematiannya tinggi (Yunica, 2015).
B. Epidemiologi
Tetanus neonatorum memilki tingkat morbiditas yang tinggi, dimana
>50% kasus tetanus neonatorum berakhir dengan kematian. Menurut data
UNICEF, setiap 9 menit, seorang bayi meninggal akibat penyakit ini. WHO
menyatakan bahwa tetanus neonatorum merupakan penyebab dari 14 %
kematian neonatus di seluruh dunia (Annonimus, 2005).
Menurut WHO, meski sistem surveilens telah berjalan cukup baik,
tetapi diperkirakan hanya mampu mencatat sekitar 5% kasus tetanus
neonatorum. Oleh sebab itu, penyakit ini disebut sebagai the silent killer. Case
Fatality Rate (CFR) tetanus neonatorum sangat tinggi. Hasil Survey Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 dan 1992 menunjukkan bahwa penyakit
tetanus neonatorum yang dapat dicegah dengan imunisasi selalu berada pada
kelompok 3 besar penyebab kematian bayi di Indonesia (Tantijati&Bantas,
2006).
Penyakit tersebut merupakan penyebab utama kematian neonatal. Di
Jawa Barat, pada periode 1998 1999, Case Fatality Rate (CFR) tetanus
neonatorum, mengalami penurunan yang tajam dari 22,5% menjadi 9,8%. Hal
tersebut diduga sebagai akibat perbaikan dalam penatalaksanaan kasus,
meskipun

demikian,

berdasarkan

rekapitulasi

laporan

kasus

tetanus

neonatorum, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon, ternyata masih

memperlihatkan angka kematian tetanus neonatorum yang tinggi. Pada tahun


2001, jumlah kematian tetanus neonatorum di RS Kabupaten Indramayu dan
Kabupaten Cirebon adalah 9 dan 4 kasus dengan CFR 22.2 % dan 25,0%
(Tantijati&Bantas, 2006).
C. Etiologi
Clostridium tetani adalah basillus anaerobik bakteri gram positif
anaerob yang ditemukan di tanah dan kotoran binatang. Berbentuk batang dan
memproduksi spora, memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski
tidak selalu terlihat. C.tetani merupakan bakteri yang motile karena memiliki
flagella, dimana menurut antigen flagella nya, dibagi menjadi 11 strain. Namun
ke sebelas strain tersebut memproduksi neurotoksin yang sama. Spora yang
diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan baik agen
fisik maupun agen kimia. Spora, C.tetani dapat bertahan dari air mendidih
selama beberapa menit (meski dengan autoclave pada suhu 121C selama 1520 menit) (Hassel, 2013).

Gambar 1. Clostridium tetani, dengan bentukan khas drum stik pada bagian
bakteri yang berbentuk bulat tersebut spora dari C.tetani dibentuk. (dengan
pembesaran mikroskop 3000x) (Hassel, 2013).
Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika
menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang dan
melepaskan toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat
mengakibatkan penyakit tetanus (dosis letal minimum adalah 2,5x10-6 mg/kg)
(Hassel, 2013). Sel yang terinfeksi oleh bakteri dengan mudah dapat
diinaktivasi dan bersifat sensitif terhadap beberapa antibiotik (mentronidazol,
penisilin dan lainnya). Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya
berdasarkan klinis (Greenberg et al, 2012).

D. Patomekanisme
Masa inkubasi pada bayi lebih cepat dibanding tetanus tipe lain yaitu
berkisar antara 3-10 hari, dan biasanya bermanifestasi pada akhir minggu
pertama atau awal minggu ke dua pasca persalinan sehingga sering kali disebut
sebagai penyakit hari ke tujuh (disease of the seventh day). Hal ini membantu
membedakan tetanus neonatorum dengan penyakit lain pada neonatus, di mana
pada penyakit lain akan muncul gejala pada 2 hari pertama kehidupan (Angelia,
2013).
Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam
yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing
atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka
geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan
pemotongan tali pusat yang tidak steril (Hassel, 2013). Pada tetanus
neonatorum, C. tetani masuk melalui luka tali pusat, karena perawatan atau
tindakan yang tidak memenuhi syarat kebersihan, misalnya memotong tali
pusat dengan bambu/ gunting yang tidak steril, atau setelah tali pusat dipotong
dibubuhi abu, tanah, minyak, daun-daunan dan sebagainya (Hassan dkk, 2007).
Spora Clostridium tetani yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya
sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah
menjadi bentuk vegetative dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak
mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin
yang dihasilkan oleh sel vegetative yang sedang tumbuh. Clostridium tetani
menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin
yang dihasilkan bersifat sitolisin, dan mengawali infeksi bakteri ini dengan
merusak jaringan-jaringan yang belum nekrosis dan mengoptimalkan suasana
anaerob yang terbentuk pada situs luka selain itu juga menyebabkan hemolisis
tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Tetanospasmin sebagai neurotoksin
kemudian menjadi agen penyebab munculnya berbagai gejala klinis pada
tetanus (Depkes RI, 2008).
Dalam kondisi normal, sistem musculoskeletal akan bereaksi sesuai
dengan sinyal (aktif potensial) yang berasal dari neuron-neuron (eksitatorik dan
inhibitorik). Sel-sel neuron akan bereaksi terhadap suatu sinyal dengan

menghasilkan neurotransmiter dan dikeluarkan menggunakan suatu protein


membran (synaptobrevin) menuju saraf motorik. Neurotransmiter tersebut
kemudian menyampaikan sinyal tersebut dan saraf motorik akan merangsang
serat otot untuk bereaksi (Depkes RI, 2008).
Pada kontraksi otot skeletal, neuron eksitatorik akan mengeluarkan
neurotransmiter sperti asetilkolin untuk menyampaikan sinyal eksitatorik ke
motor neuron yang merangsang otot untuk berkontraksi, sementara itu neuron
inhibitorik juga akan menghasilkan neurotransmitter seperti GABA untuk
membatasi gerakan dan menodulasi kontraksi yang terjadi, di mana pada saat
satu bagian otot berkontraksi, pada saat bersamaan terdapat otot lain yang
relaksasi (antagonis refleks). Infeksi Clostridium tetani menyebabkan neuron
inhibitorik gagal mengeluarkan neurotransmitter inhibitori, sehingga kontraksi
yang terjadi tidak diimbangi dengan inhibisi otot yang lain. Akibatnya baik otot
agonis maupun antagonis mengalami kontraksi dan tidak terkontrol sehingga
terjadi spasme otot yang menjadi gambaran khas pada tetanus (Depkes RI,
2008).
Dampak lain dari toksin antara lain (Soedarmo dkk, 2002):
1. Dampak pada ganglion pre sum-sum tulang belakang disebabkan karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada
gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas
pada tetanus.
3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat berlebihan, hipertemia, hipotensi, hipertensi,
aritmia, heart block dan takikardi.

Gambar 2. Dampak tetanospasmin pada tubuh.


E. Tanda dan Gejala Klinis
Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat
dilihat ketika bayi malas minum dan menangis terus menerus, suhu tubuh bayi
normal atau bisa meningkat atau subfebris. Bayi kemudian akan kesulitan
hingga tidak sanggup menghisap dan akhirnya mengalami gangguan menyusu.
Hal tersebut menjadi tanda khas onset penyakit ini. Kekakuan rahang atau
trismus mulai terjadi, dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan akhirnya
berhenti. Trismus pada tetanus neonatus tidak sejelas pada penderita anak atau
dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga

rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku sehingga
bentukan mulut seperti mencucu seperti mulut ikan karper. Kemudian terjadi
kekakuan pada wajah di mana bibir tertarik ke arah lateral, dan alis tertarik ke
atas yang disebut risus sardonicus. Kaku kuduk, disfagia, dinding abdomen
kaku dan mengeras serta kekakuan pada seluruh tubuh akan menyusul pada
beberapa jam berikutnya (Wibowo&Anggraeni, 2012).
Awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat periodik, dan dipicu
oleh rangsangan sensoris seperti suara, cahaya atau sentuhan. Kemudian kejang
akan terjadi secara spontan dan akhirnya terus menerus. Kesadaran bayi masih
baik namun spasme dan kejang berulang atau terus menerus yang terjadi akan
mempengaruhi sistem saraf simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi pada
saluran napas dan akan terjadi apneu dan bayi menjadi sianosis. Hal ini
merupakan penyebab kematian terbesar pada kasus tetanus neonatorum
(Wibowo&Anggraeni, 2012).
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan biasanya akan
fleksi pada siku dan tertarik kearah badan, sedangkan kedua tungkai
dorsofleksi dan kaki akan mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung
menyebabkan punggung tertarik menyerupai busur panah atau disebut
opisthotonus (Wibowo&Anggraeni, 2012).
Jarak antara gejala pertama muncul sampai muncul gejala berikutnya
pada kasus neonatorum disebut periode onset. Periode onset ini berperan
penting dalam menentukan prognosis penyakit ini. Semakin pendek periode
onset, semakin buruk prognosisnya. Periode onset pada neonatus lebih pendek
dibandingkan dengan anak atau dewasa di mana lebih ke arah beberapa jam
dari pada beberapa hari seperti pada dewasa. Hal ini mungkin disebabkan jarak
akson yang lebih pendek sehingga infeksi lebih cepat mencapai sistem saraf
pusat (Wibowo&Anggraeni, 2012).

Tabel 1. Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis (Simanjuntak,


2013).
DERAJAT
I : Ringan

MANIFESTASI KLINIS
Trismus ringan sampai sedang; spastisitas umum tanpa
spasme atau gangguan pernapasan; tanpa disfagia/disfagia

II : Sedang

ringan
Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai
sedang dalam waktu singkat; laju napas >30x/menit; disfagia

III : Berat

ringan
Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas
>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia

IV : Sangat berat

berat
(derajat

III

gangguan

sistem

otonom

termasuk

kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat


diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan
salah satu keadaan tersebut dapat menetap
F. Penegakkan Diagnosis
Anamnesis (Hassan dkk, 2007):
Bayi kesulitan hingga tidak sanggup menghisap dan akhirnya mengalami

gangguan menyusu
Kekakuan rahang (trismus) dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang

hingga akhirnya berhenti


Terdapat kekakuan tubuh yang dipicu oleh rangsangan-rangsangan seperti
suara atau sentuhan. Kemudian kejang akan terjadi secara spontan dan
akhirnya terus menerus

Pemeriksaan Fisik (Hassan dkk, 2007):

Tali pusat bayi dapat ditemukan dalam kondisi kotor dan berbau merupakan
tanda port dentre Clostridium tetani.

Gambar 3. Kondisi tali pusat pada tetanus neonatorum.


Mulut mencucu seperti mulut ikan (karpermond)
Kekakuan pada wajah dimana bibir tertarik ke arah lateral, dan alis tertarik
ke atas yang disebut risus sardonicus. Ekspresi muka yang khas akibat
kekakuan otot-otot mimik, dahi mengkerut, alis terangkat, mata agak
menyipit, sudut mulut keluar dan ke bawah.

Gambar 4. Risus sardonicus.


Kaku kuduk hingga epistotonus akibat kekakuan otot leher, otot punggung,
otot pinggang, semua trunk muscle.

Gambar 5. Epistotonus.
Pemeriksaan dengan spatula lidah dapat digunakan untuk mendeteksi dini
penyakit ini. Hasil positif ditunjukan ketika spatula menyentuh orofaring
lalu terjadi spasme pada otot maseter dan bayi menggigit spatula lidah. Uji
spatula memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi (94%).

Gambar 6. Uji Spatula.


Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus,
beberapa hasil pemeriksaan penunjang dibawah ini dapat ditemui pada kasus
tetanus, antara lain (Depkes RI, 2008):
a) Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus,
namun demikian, kuman Clostridium tetani dapat ditemukan di luka pada
orang yang tidak mengalami tetanus dan seringkali tidak dapat dikultur pada
pasien tetanus.

b) Nilai hitung leukosit dapat tinggi


c) Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal
d) Kadar antitoksin didalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai
imunisasi bukan tetanus
e) Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
f) EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus menerus
dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang
diamati setelah potensial aksi.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tetanus neonatorum pada dasarnya sama dengan
tetanus lainnya, yaitu meliputi terapi suportif (sedasi, pelemas otot, dsb) selama
tubuh berusaha memetabolisme neurotoxin, menetralisir atau mencegah
bertambahnya toxin yang mencapai sistem saraf pusat dan berusaha membunuh
kuman yang masih dalam bentuk vegetatif untuk mencegah produksi
tetanospasmin yang berkelanjutan. Perawatan di NICU mutlak diperlukan.
Adapun tindakan atau pengobatan pada pasien tetanus neonatorum sebagai
berikut (Pudjiadi dkk, 2009; WHO, 2008):
1. Pasang jalur IV dan beri cairan dengan dosis rumatan
2. Berikan diazepam 10mg/kgBB/hari secara IV dalam 24 jam atau dengan
bolus IV setiap 3-6 jam (dengan dosis 0,1 0,2 mg/kgbb/kali pemberian),
maksimum 40 mg/kgbb/hari.
Bila jalur IV tidak terpasang, pasang pipa lambung dan beri diazepam

melalui pipa atau melalui rektum (dosis sama dengan dosis IV)
Bila perlu, beri tambahan dosis 10 mg/kgBB tiap 6 jam
Bila frekuensi nafas kurang dari 20 kali/menit dan tidak tersedia
fasilitas penunjang nafas dengan ventilator, diazepam dihentikan

meskipun bayi masih mengalami spasme.


Bila bayi mengalami henti nafas selama spasme atau sianosis sentral
setelah spasme, berikan oksigen dengan kecepatan aliran sedang, bila
belum bernafas lakukan resusitasi, bila tidak berhasil dirujuk ke rumah

sakit yang mempunyai fasilitas NICU.


Setelah 5-7 hari, dosis diazepam dapat dikurangi secara bertahap 5-10

mg/hari dan diberikan melalui rute orogastrik.


Pada kondisi tertentu, mungkin diperlukan vencuronium dengan
ventilasi mekanik untuk mengontrol spasme.

3. Berikan bayi Human tetanus imunoglobulin 500 U IM atau antitoksin


tetanus (equine serum) 5000 U IM sebelumnya dilakukan tes kulit terlebih
dahulu.
4. Tetanus toksoid 0,5 ml IM diberikan pada tempat yang berbeda dengan
tempat pemberian antitoksin.
5. Pemberian antibiotic
Lini 1: Metronidazol 30 mg/kgbb/hari dengan interval setiap 6 jam

(oral/parenteral) selama 7-10 hari.


Lini 2 : Penisilin Procain 100.000 U/kgbb/hari IV dosis tunggal 7-10

hari.
Jika terdapat sepsis atau bronkopneumonia, berikan antibiotik yang

sesuai.
6. Bila terjadi kemerahan dan atau pembengkakan pada kulit sekitar pangkal
tali pusat, atau keluar nanah dari permukaan tali pusat, atau bau busuk dari
area tali pusat, berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat.
7. Berikan ibunya imunisasi tetanus toksoid 0,5 ml untuk melindungi ibu dan
bayi yang dikandung berikutnya dan minta datang kembali satu bulan
kemudian untuk pemberian dosis kedua
8. Perawatan lanjut bayi tetanus neonatorum:
Rawat bayi di ruang yang tenang dan gelap untuk mengurangi

rangsangan yang tidak perlu, tetapi harus yakin bayi tidak terlantar.
Lanjutkan pemberian cairan IV dengan dosis rumatan dan antibiotik

dilanjutkan
Pasang pipa lambung bila belum terpasang dan beri ASI perah diantara
periode spasme. Mulai dengan jumlah setengah kebutuhan perhari dan
naikkan secara perlahan hingga mencapai kebutuhan penuh dalam dua

hari.
Nilai kemampuan minum dua kali sehari, dan anjurkan untuk menyusu

ASI secepatnya begitu terlihat bayi siap untuk menghisap


Bila sudah tidak terjadi spasme dalam 2 hari, bayi dapat minum baik,
dan tidak ada lagi masalah yang memerlukan perawatan dirumah sakit,
maka bayi dapat dipulangkan.
Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun

kombinasi untuk mengobati spasme otot pada tetanus. Pemberian musclerelaxant atau sedative dengan tujuan mengurangi spasme otot sekaligus
melebarkan

jalan

napas.

Obat

yang

terbukti

cukup

efektif

adalah

benzodiazepine (cth: diazepam, midazolam). Diazepam memiliki efek pelemas


otot, anti anxietas dan sedasi. Hal itu menyebabkan diazepam efektif digunakan
dalam penanganan tetanus neonatorum, terlebih lagi diazepam dapat diberikan
melalui rute yang bervariasi, murah dan dipergunakan secara luas. Namun
perlu diperhatikan bahwa hasil metabolit dari diazepam (oksazepam dan
desmetildiazepam) dapat terakumulasi dan berakibat koma berkepanjangan
(Ismanoe, 2009; Amon S. 2012).
Pemberian Human tetanus imunoglobulin (HTIG) atau antitoksin
tetanus (ATS) bertujuan untuk menetralisir tetanospasmin yang dihasilkan
Clostridium tetani. Pemberian HTIG ataupun ATS harus dilakukan secepatnya
yaitu maksimal 24 jam setelah didiagnosis, karena toksin tidak dapat lagi
dinetralisir oleh HTIG atau ATS apabila sudah mencapai medula spinalis. Maka
dari itu faktor yang berperan besar dalam menentukan keberhasilan terapi
tetanus adalah kecepatan pemberian netralisasi toksin (Ismanoe, 2009; Amon
S, 2012).
Pemberian antibiotik bertujuan untuk membunuh kuman Clostridium
Tetani sehingga produksi Tetanospasmin dapat dihentikan. Studi terbaru
menemukan bahwa penicillin merupakan suatu antagonis GABA sehingga
dapat meningkatkan efek dari tetanospasmin, oleh karenanya saat ini antibiotik
pilihan adalah Metronidazole (Ismanoe, 2009; Amon S, 2012).
Pemberian cairan harus diberikan untuk menggantikan cairan dan
elektrolit. Pemberian makanan secara oral dilarang, karena dapat menyebabkan
aspirasi, oleh karena itu, nutrisi diberikan secara parenteral atau melalui
nasogastric tube (NGT). Pada kasus neonatus dengan jalan napas yang tidak
berhasil distabilkan atau intubasi yang melebihi 10 hari, trakeostomi dapat
dilakukan (Ismanoe, 2009; Amon S, 2012).
Bayi yang dapat bertahan hidup perlu pemantauan tumbuh kembang,
terutama untuk asupan gizi yang seimbang dan stimulasi mental, bayi juga
mungkin membutuhkan penanganan rehabilitasi medik seperti fisioterapi
terdapat kekakuan atau spastisitas yang menetap (Pudjiadi dkk, 2009).

H. Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi yang ditemui pada tetanus neonatorum dapat ditemui saat


terjadinya tetanus dan memperburuk keadaan bayi atau dapat pula berupa
komplikasi jangka panjang, adapun komplikasi yang dapat ditemui pada
tetanus neonatorum antara lain (Ismanoe, 2009; Amon S, 2012):
1. Laringospasme yaitu spasme dari laring dan atau otot pernapasan
menyebabkan gangguan ventilasi. Hal ini merupakan penyebab utama
kematian pada kasus tetanus neonatorum.
2. Fraktur dari tulang punggung atau tulang panjang akibat kontraksi otot
berlebihan yang terus menerus. Terutama pada neonatus, dimana
pembentukan dan kepadatan tulang masih belum sempurna.
3. Hiperadrenergik menyebabkan hiperakitifitas sistem saraf otonom yang
dapat menyebabkan takikardi dan hipertensi yang pada akhirnya dapat
menyebabkan henti jantung (cardiac arrest). Merupakan penyebab
kematian neonatus yang sudah distabilkan jalan napasnya.
4. Sepsis akibat infeksi nosokomial, infeksi sekunder (cth: Bronkopneumonia)
5. Pneumonia aspirasi, sering kali terjadi akibat aspirasi makanan ataupun
minuman yang diberikan secara oral pada saat kejang berlangsung.
Komplikasi jangka panjang dapat ditemukan defisit neurologis pada
sebagian penderita tetanus neonatorum yang selamat. Gejala yang muncul
dapat berupa cerebral palsy, gangguan perkembangan intelektual maupun
gangguan perilaku. Gejala tersebut didapatkan pada anak-anak berusia 7-12
tahun. Hal ini diperkirakan terjadi akibat anoksia yang terjadi semasa kejang
yang terjadi.
Prognosis bergantung pada masa inkubasi, waktu yang dibutuhkan dari
inokulasi spora hingga gejala muncul, dan waktu dari pertama kali munculnya
gejala hingga spasme tetanik yang pertama. Statistik terbaru menunjukkan
tingkat mortalitas pada tetanus ringan-sedang mencapai 6%. Sedangkan tetanus
berat memiliki tingkat mortalitas 60% (Ismanoe, 2009; Amon S, 2012).

BAB III
KESIMPULAN

1. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi
berusia kurang dari 1 bulan) yang disebabkan oleh Clostridium tetani dan
menyerang sistem saraf pusat. Spora kuman masuk ke dalam tubuh bayi
melalui pintu masuk satu-satunya, yaitu tali pusat yang dapat terjadi pada saat
pemotongan tali pusat ketika bayi lahir maupun pada saat perawatan sebelum
puput (terlepasnya tali pusat).
2. Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat dilihat
ketika bayi malas minum, menangis terus menerus, hingga tidak sanggup
menghisap dan akhirnya mengalami gangguan menyusu. Kekakuan rahang
atau trismus mulai terjadi, dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan
akhirnya berhenti. Kemudian terjadi kekakuan pada wajah (risus sardonicus).
Kaku kuduk, disfagia, dinding abdomen kaku dan mengeras serta kekakuan
pada seluruh tubuh akan menyusul pada beberapa jam berikutnya, dipicu oleh
rangsangan sensoris seperti suara, cahaya atau sentuhan. Kemudian kejang
akan terjadi secara spontan dan akhirnya terus menerus.
3. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus, beberapa hasil
pemeriksaan penunjang dibawah ini dapat ditemui pada kasus tetanus, antara
lain pemeriksaan biakan pada luka, nilai hitung leukosit, pemeriksaan cairan
serebrospinal, kadar antitoksin didalam darah, kadar enzim otot dan EMG.
4. Penatalaksanaan tetanus neonatorum pada dasarnya sama dengan tetanus
lainnya, yaitu meliputi terapi suportif (sedasi, pelemas otot, dsb).

DAFTAR PUSTAKA
Amon S. 2012. Tetanus dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 volume 2.
Jakarta: EGC.

Angelia, D I. 2013. Tetanus Neonatorum. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Trisakti.
Annonimus. 2005. Neonatal Tetanus Elimination: Field Guide.2nd Edition.
Washington PAHO.
Annonimus. 2006. Standar Pelayanan Medis & Standar Prosedur Operasional
Neurologi. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(PERDOSSI).
Depkes RI. 2008. Penatalaksanaan Tetanus pada Anak. Jakarta: Depkes RI.
Greenberg DA, Aminoff MJ, et al. 2012. Clinical Neurology. Philladelpia:
McGrawHill Medical.
Hassan, R dkk. 2007. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Infomedika.
Hassel B. 2013. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of
Using Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms.
Review
Journal.
[cited:
May
2016]
[available
from:
URL:http://www.researchgate.net/].
Mardjono. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Pudjiadi, H A, dkk, 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: IDAI.
Simanjuntak, P. 2013. Penatalaksanaan Tetanus pada Pasien Anak. Medula Vol 1
No 4. Hal 85-93.
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, 2002. Tetanus dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis edisi pertama. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.
Tantijati, L dan Bantas, K. 2006. Faktor Faktor Prognosis Kematian Tetanus
Neonatorum di RS Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol 2 No 1. Hal: 51-56.
Wibowo T, Anggraeni A, 2012. Tetanus Neonatorum. Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan Vol. I. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta.
WHO, 2008. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta:
WHO Indonesia.
Yunica, J A. 2015. Hubungan antara Pengetahuan dan Umur dengan Kelengkapan
Imunisasi Tetanus Toxoid (TT) pada Ibu Hamil di Desa Sungai Dua
Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin Tahun 2014. Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan Vol 2 No 1. Hal: 93-98.

Anda mungkin juga menyukai