TETANUS NEONATORUM
Dokter Pembimbing:
dr. M. Mukhson, Sp.A
Disusun oleh:
Tiara Gian P G4A014082
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui referat berjudul
Tetanus Neonatorum
Disusun Oleh
Tiara Gian P
G4A014082
Mengetahui,
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah
dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme
yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh
Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum
diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi
lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak
melakukan booster secara berkala (Annonimus, 2006).
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di
seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta
kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.
Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT
(randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana
tetanus. Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke
WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang berisiko
tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang
lengkap. Hasil survei menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus
neonatorum yang dilaporkan. Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang
dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan
insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus
per tahun (Annonimus, 2006).
Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring
dengan peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua
negara tidak memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang
lahir sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster
yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang
yang lupa melakukan jadwal imunisasi saat infrastruktur pelayanan
kesehatan rusak misalnya akibat perang dan kerusuhan. Akibatnya anak
yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih berisiko mengalami
penyakit
Tetanus
Neonatorum
serta
bagaimana
cara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada
neonatus (bayi berusia kurang dari 1 bulan) yang disebabkan oleh Clostridium
tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang sistem
saraf pusat. Spora kuman tersebut masuk ke dalam tubuh bayi melalui pintu
masuk satu-satunya, yaitu tali pusat yang dapat terjadi pada saat pemotongan
tali pusat ketika bayi lahir maupun pada saat perawatan sebelum puput
(terlepasnya tali pusat). Masa inkubaasi 3-28 hari, rata-rata 6 hari. Apabila
masa inkubasi kurang dari 7 hari, biasanya penyakit lebih parah dan angka
kematiannya tinggi (Yunica, 2015).
B. Epidemiologi
Tetanus neonatorum memilki tingkat morbiditas yang tinggi, dimana
>50% kasus tetanus neonatorum berakhir dengan kematian. Menurut data
UNICEF, setiap 9 menit, seorang bayi meninggal akibat penyakit ini. WHO
menyatakan bahwa tetanus neonatorum merupakan penyebab dari 14 %
kematian neonatus di seluruh dunia (Annonimus, 2005).
Menurut WHO, meski sistem surveilens telah berjalan cukup baik,
tetapi diperkirakan hanya mampu mencatat sekitar 5% kasus tetanus
neonatorum. Oleh sebab itu, penyakit ini disebut sebagai the silent killer. Case
Fatality Rate (CFR) tetanus neonatorum sangat tinggi. Hasil Survey Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 dan 1992 menunjukkan bahwa penyakit
tetanus neonatorum yang dapat dicegah dengan imunisasi selalu berada pada
kelompok 3 besar penyebab kematian bayi di Indonesia (Tantijati&Bantas,
2006).
Penyakit tersebut merupakan penyebab utama kematian neonatal. Di
Jawa Barat, pada periode 1998 1999, Case Fatality Rate (CFR) tetanus
neonatorum, mengalami penurunan yang tajam dari 22,5% menjadi 9,8%. Hal
tersebut diduga sebagai akibat perbaikan dalam penatalaksanaan kasus,
meskipun
demikian,
berdasarkan
rekapitulasi
laporan
kasus
tetanus
Gambar 1. Clostridium tetani, dengan bentukan khas drum stik pada bagian
bakteri yang berbentuk bulat tersebut spora dari C.tetani dibentuk. (dengan
pembesaran mikroskop 3000x) (Hassel, 2013).
Spora atau bakteri masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Ketika
menempati tempat yang cocok (anaerob) bakteri akan berkembang dan
melepaskan toksin tetanus. Dengan konsentrasi sangat rendah, toksin ini dapat
mengakibatkan penyakit tetanus (dosis letal minimum adalah 2,5x10-6 mg/kg)
(Hassel, 2013). Sel yang terinfeksi oleh bakteri dengan mudah dapat
diinaktivasi dan bersifat sensitif terhadap beberapa antibiotik (mentronidazol,
penisilin dan lainnya). Bakteri ini jarang dikultur, karena diagnosanya
berdasarkan klinis (Greenberg et al, 2012).
D. Patomekanisme
Masa inkubasi pada bayi lebih cepat dibanding tetanus tipe lain yaitu
berkisar antara 3-10 hari, dan biasanya bermanifestasi pada akhir minggu
pertama atau awal minggu ke dua pasca persalinan sehingga sering kali disebut
sebagai penyakit hari ke tujuh (disease of the seventh day). Hal ini membantu
membedakan tetanus neonatorum dengan penyakit lain pada neonatus, di mana
pada penyakit lain akan muncul gejala pada 2 hari pertama kehidupan (Angelia,
2013).
Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam
yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing
atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka
geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan
pemotongan tali pusat yang tidak steril (Hassel, 2013). Pada tetanus
neonatorum, C. tetani masuk melalui luka tali pusat, karena perawatan atau
tindakan yang tidak memenuhi syarat kebersihan, misalnya memotong tali
pusat dengan bambu/ gunting yang tidak steril, atau setelah tali pusat dipotong
dibubuhi abu, tanah, minyak, daun-daunan dan sebagainya (Hassan dkk, 2007).
Spora Clostridium tetani yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya
sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah
menjadi bentuk vegetative dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak
mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin
yang dihasilkan oleh sel vegetative yang sedang tumbuh. Clostridium tetani
menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin
yang dihasilkan bersifat sitolisin, dan mengawali infeksi bakteri ini dengan
merusak jaringan-jaringan yang belum nekrosis dan mengoptimalkan suasana
anaerob yang terbentuk pada situs luka selain itu juga menyebabkan hemolisis
tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Tetanospasmin sebagai neurotoksin
kemudian menjadi agen penyebab munculnya berbagai gejala klinis pada
tetanus (Depkes RI, 2008).
Dalam kondisi normal, sistem musculoskeletal akan bereaksi sesuai
dengan sinyal (aktif potensial) yang berasal dari neuron-neuron (eksitatorik dan
inhibitorik). Sel-sel neuron akan bereaksi terhadap suatu sinyal dengan
rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku sehingga
bentukan mulut seperti mencucu seperti mulut ikan karper. Kemudian terjadi
kekakuan pada wajah di mana bibir tertarik ke arah lateral, dan alis tertarik ke
atas yang disebut risus sardonicus. Kaku kuduk, disfagia, dinding abdomen
kaku dan mengeras serta kekakuan pada seluruh tubuh akan menyusul pada
beberapa jam berikutnya (Wibowo&Anggraeni, 2012).
Awalnya kekakuan tubuh yang terjadi bersifat periodik, dan dipicu
oleh rangsangan sensoris seperti suara, cahaya atau sentuhan. Kemudian kejang
akan terjadi secara spontan dan akhirnya terus menerus. Kesadaran bayi masih
baik namun spasme dan kejang berulang atau terus menerus yang terjadi akan
mempengaruhi sistem saraf simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi pada
saluran napas dan akan terjadi apneu dan bayi menjadi sianosis. Hal ini
merupakan penyebab kematian terbesar pada kasus tetanus neonatorum
(Wibowo&Anggraeni, 2012).
Pada saat spasme dan kejang berlangsung, kedua lengan biasanya akan
fleksi pada siku dan tertarik kearah badan, sedangkan kedua tungkai
dorsofleksi dan kaki akan mengalami hiperfleksi. Spasme pada otot punggung
menyebabkan punggung tertarik menyerupai busur panah atau disebut
opisthotonus (Wibowo&Anggraeni, 2012).
Jarak antara gejala pertama muncul sampai muncul gejala berikutnya
pada kasus neonatorum disebut periode onset. Periode onset ini berperan
penting dalam menentukan prognosis penyakit ini. Semakin pendek periode
onset, semakin buruk prognosisnya. Periode onset pada neonatus lebih pendek
dibandingkan dengan anak atau dewasa di mana lebih ke arah beberapa jam
dari pada beberapa hari seperti pada dewasa. Hal ini mungkin disebabkan jarak
akson yang lebih pendek sehingga infeksi lebih cepat mencapai sistem saraf
pusat (Wibowo&Anggraeni, 2012).
MANIFESTASI KLINIS
Trismus ringan sampai sedang; spastisitas umum tanpa
spasme atau gangguan pernapasan; tanpa disfagia/disfagia
II : Sedang
ringan
Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai
sedang dalam waktu singkat; laju napas >30x/menit; disfagia
III : Berat
ringan
Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas
>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia
IV : Sangat berat
berat
(derajat
III
gangguan
sistem
otonom
termasuk
gangguan menyusu
Kekakuan rahang (trismus) dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang
Tali pusat bayi dapat ditemukan dalam kondisi kotor dan berbau merupakan
tanda port dentre Clostridium tetani.
Gambar 5. Epistotonus.
Pemeriksaan dengan spatula lidah dapat digunakan untuk mendeteksi dini
penyakit ini. Hasil positif ditunjukan ketika spatula menyentuh orofaring
lalu terjadi spasme pada otot maseter dan bayi menggigit spatula lidah. Uji
spatula memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi (94%).
melalui pipa atau melalui rektum (dosis sama dengan dosis IV)
Bila perlu, beri tambahan dosis 10 mg/kgBB tiap 6 jam
Bila frekuensi nafas kurang dari 20 kali/menit dan tidak tersedia
fasilitas penunjang nafas dengan ventilator, diazepam dihentikan
hari.
Jika terdapat sepsis atau bronkopneumonia, berikan antibiotik yang
sesuai.
6. Bila terjadi kemerahan dan atau pembengkakan pada kulit sekitar pangkal
tali pusat, atau keluar nanah dari permukaan tali pusat, atau bau busuk dari
area tali pusat, berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat.
7. Berikan ibunya imunisasi tetanus toksoid 0,5 ml untuk melindungi ibu dan
bayi yang dikandung berikutnya dan minta datang kembali satu bulan
kemudian untuk pemberian dosis kedua
8. Perawatan lanjut bayi tetanus neonatorum:
Rawat bayi di ruang yang tenang dan gelap untuk mengurangi
rangsangan yang tidak perlu, tetapi harus yakin bayi tidak terlantar.
Lanjutkan pemberian cairan IV dengan dosis rumatan dan antibiotik
dilanjutkan
Pasang pipa lambung bila belum terpasang dan beri ASI perah diantara
periode spasme. Mulai dengan jumlah setengah kebutuhan perhari dan
naikkan secara perlahan hingga mencapai kebutuhan penuh dalam dua
hari.
Nilai kemampuan minum dua kali sehari, dan anjurkan untuk menyusu
kombinasi untuk mengobati spasme otot pada tetanus. Pemberian musclerelaxant atau sedative dengan tujuan mengurangi spasme otot sekaligus
melebarkan
jalan
napas.
Obat
yang
terbukti
cukup
efektif
adalah
BAB III
KESIMPULAN
1. Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi
berusia kurang dari 1 bulan) yang disebabkan oleh Clostridium tetani dan
menyerang sistem saraf pusat. Spora kuman masuk ke dalam tubuh bayi
melalui pintu masuk satu-satunya, yaitu tali pusat yang dapat terjadi pada saat
pemotongan tali pusat ketika bayi lahir maupun pada saat perawatan sebelum
puput (terlepasnya tali pusat).
2. Manifestasi awal yang ditemukan pada tetanus neonatorum dapat dilihat
ketika bayi malas minum, menangis terus menerus, hingga tidak sanggup
menghisap dan akhirnya mengalami gangguan menyusu. Kekakuan rahang
atau trismus mulai terjadi, dan mengakibatkan tangisan bayi berkurang dan
akhirnya berhenti. Kemudian terjadi kekakuan pada wajah (risus sardonicus).
Kaku kuduk, disfagia, dinding abdomen kaku dan mengeras serta kekakuan
pada seluruh tubuh akan menyusul pada beberapa jam berikutnya, dipicu oleh
rangsangan sensoris seperti suara, cahaya atau sentuhan. Kemudian kejang
akan terjadi secara spontan dan akhirnya terus menerus.
3. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus, beberapa hasil
pemeriksaan penunjang dibawah ini dapat ditemui pada kasus tetanus, antara
lain pemeriksaan biakan pada luka, nilai hitung leukosit, pemeriksaan cairan
serebrospinal, kadar antitoksin didalam darah, kadar enzim otot dan EMG.
4. Penatalaksanaan tetanus neonatorum pada dasarnya sama dengan tetanus
lainnya, yaitu meliputi terapi suportif (sedasi, pelemas otot, dsb).
DAFTAR PUSTAKA
Amon S. 2012. Tetanus dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 volume 2.
Jakarta: EGC.