Anda di halaman 1dari 16

BAB II

FILSAFAT PANCASILA DAN IDEOLOGI NEGARA


A. Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
1. Pengertian Sistem dan Filsafat
Untuk menjelaskan Pancasila sebagai sistem filsafat, maka diperlukan
penjelasan konsep atau pengertian sistem dan filsafat terlebih dahulu. Penjelasan ini
penting, mengingat banyak pendapat para ahli yang satu sama lain memiliki
perbedaan, sekaligus memiliki persamaan. Pada bagian ini, dijelaskan secara lebih
rinci konsep atau pengertian sistem dan filsafat. Dengan demikian, pengertian sistem
filsafat akan lebih mudah dimengerti dan dipahami secara komprehensip dan holistik
untuk menjelaskan Pancasila sebagai sistem filsafat.
Istilah sistem, menurut (Tatang M. Amirin, 1992) diartikan sebagai metode
atau cara dan sesuatu himpunan unsur atau komponen yang saling berhubungan satu
sama lain menjadi satu kesatuan yang utuh. Menurutnya, istilah sistem berasal dari
bahasa Yunani systema, yang mempunyai pengertian : (1) suatu keseluruhan yang
tersusun dari sekian banyak bagian, (2) hubungan yang berlangsung diantara satuansatuan atau komponen secara teratur.
Dengan mengutip pendapat Rahmat, maka Udin S. Winataputra (2001)
menyebutkan bahwa pengertian yang lengkap tentang sistem adalah : (1) gabungan
hal-hal yang disatukan ke dalam sebuah kesatuan yang knsisten dengan
kesalinghubungan (interaksi, interdependensi, interrelasi) yang teratur dari bagianbagiannya, (2) gabungan hal-hal (objek-objek, ide-ide, kaidah-kaidah, aksiomaaksioma, dan lain-lain) yang disusun dalam sebuah aturan yang koheren (subordinasi
atau inferensi atau generalisasi, dan lain-lain) menurut beberapa prinsip (atau rencana
atau rancangan, atau metode ) rasional atau yang dapat dipahami.
Pada bagian lain, dengan mengutip pendapat Shore dan Voich, Kaelan (2007)
menjelaskan pengertian sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling
berhubungan, saling bekerjasama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan
merupakan suatu kesatuan yang utuh sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Suatu kesatuan bagian-bagian
2. Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri
3. Saling berhubungan, saling ketergantungan
4. Kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan
sistem)
5. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.
Perlu diingat bahwa istilah sistem sering digunakan oleh para ahli ntuk
menunjukkan bahwa sekumpulan bagian yang tersusun secara sistematis, saling
berkaitan, saling melengkapi, saling berinteraksi, dan bagian-bagian itu memiliki
fungsi yang berbeda-beda, tetapi tidak bertentangan dan tumpang tindih dalam satu
kesatuan yang utuh, komprehensif dan holistik. Sub-sub bagian yang ada dalam
susunan tersebut memiliki sifat yang integratif sehingga memiliki makna dan

14

bermanfaat untuk suatu kesatuan yang utuh atau holistik. Untuk menunjukkan konsep
ini, dapat dilihat dengan penggunaan istilah sistem tubuh manusia, sistem lingkungan
hidup, sistem pendidikan nasional, sistem pemerintahan Indonesia, sistem hukum
Indonesia, sistem politik Indonesia, sistem peradilan Indonesia, dan lain-lain.
Dengan menguraikan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditarik pada
suatu pengertian yang lebih luas bahwa sistem itu tidak hanya berkaitan dengan
susunan dan kesatuan yang saling berinteraksi satu sama lain yang bersifat kebendaan
semata, tetapi dapat juga berkaitan dengan hal-hal yang bersifat gagasan, ide,
pemikiran, dan hal-hal lain yang bersifat konseptual. Meskipun demikian, bahwa
sistem mengandun makna adanya keteraturan dari bagian-bagian yang saling
berinteraksi dan memberikan kontribusi satu sama lain. Bagian-bagian dalam
kesatuan tersebut saling melengkapi, tidak tumpang tindih dan memiliki fungsi yang
bersifat fungsional dalam kesatuan tersebut.
Mengenai istilah filsafat, sudah banyak ahli yang menjelaskan konsep dan
pengertian filsafat. Konsep atau pengertian satu sama lain sebagian ada yang
substansinya sama, tetapi redaksi kalimatnya yang berbeda-beda. Meskipun demikian
konsep atau pengertian filsafat perlu dijelaskan untuk memudahkan pemahaman
mengenai konsep dan pengertian Pancasila sebagai sistem filsafat. Sebagai sebuah
istilah yang memiliki makna yang mendalam, maka Suhadi (2000) membedakan
istilah filsafat dari tiga aspek, yakni aspek etimologi, historis maupun terminologi.
Ketiga aspek tersebut diuraikan masing secara lebih rinci sebagai berikut.
Pertama, secara etimologi (asal usul kata), sebagaimana para ahli menjelaskan
bahwa istilah filsafat dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan falsafah dalam
bahasa Arab, philosophy dalam bahasa Inggris, philosophia daam bahasa latin,
philosophie dalam bahasa (Belanda, Jerman, dan Perancis). Menurutnya, semua
istilah itu bersumber dari istilah Yunani philein berarti mencintai, sadngkan philos
berarti teman. Sedangkan istilah sophos berarti bijaksana dan sophia berarti
kebijkasanaan. Dengan demikian, secara etimologi mengandung dua arti, yakni : (1)
apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philein dan sophos, maka mengandung
arti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (bijaksana sebagai kata sifat), (2)
apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan sophia, maka mengandung arti
teman kebijaksanaan, dalam hal ini kata kebijaksanaan sebagai kata benda (Ali
Mudhofir, 2002). Jadi secara etmologis, istilah philosophia atau filsafat mengandung
arti : (1) cinta pada kebijaksanaan, (2) ingin panda atau ingin tahu secara mendalam.
Jadi orang berfilsafat adalah orang yang (a) mendambakan kebijaksanaan, dan (b)
mendambakan pengetahuan yang sedalam-dalamnya.
Kedua, secara historis, istilah filsafat mula-mula dipergunakan oleh
Pythagoras (582-496 SM), seorang ahli matematika dan filsuf Yunani. Pada masa itu
istilah filsafat masih dipergunakan secara umum dalam ati yang sangat luas, yakni
untuk menyebut semua disiplin ilmu yang ada pada waktu itu. Pada masa itu semua
ilmu pengetahuan atau semua disiplin ilmu semuanya disebut filsafat. Dalam
perkembangan selanjutnya dari filsafat itu kemudian muncul berbagai cabang ilmu

15

yang mandiri, sehingga filsafat merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan. Saat
ini, filsafat menjadi interdisipliner sistem.
Ketiga, secara terminologis, istilah filsafat diartikan sebagai : (a) asas atau
pendirian hidup, dan (b) ilmu pengetahuan yang terdalam. Filsafat sebagai asas atau
pendirian hidup adalah merupakan dasar pedoman bagi sikap dan tingkah laku
manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam hal ini, filsafat dipandang
sebagai asas atau pendirian hidup yang kebenarannya telah diterima dan diyakini
untuk dijadikan landasan dasar dalam menyelesaikan masalah-masalah hidup. Filsafat
sebaai ilmu pengetahuan yang terdalam dimaksudkan sebagai ilmu yang menyelidiki
segala sesuatu secara mendalam guna menemukan esensinya atau hakekatnya.
Dengan adanya uraian beberapa arti istilah filsafat, baik dari segi etimologis,
historis maupun terminologis, maka tidaklah cukup dapat memahami pengertian
filsafat secara substansial. Kaelan (2007) menyebutkan bahwa pengertian filsafat
dapat dikelompokkan menjadi dua pemikiran pokok, yakni :
Pertama, filsafat sebagai produk (sebagai pemikiran manusia) yang mencakup
pengertian :
1. Filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep, pemikiran-pemikiran dari
para filsuf pada zaman dahulu yang lazimnya merupakan suatu aliran atau
sistem filsafat tertentu.
2. Filsafat sebagai jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari
aktivitas berfilsafat.
Kedua, filsafat sebagai suatu proses, yang diartikan dalam bentuk suatu aktivitas
berfilsafat, dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu
cara atau metode tertentu yang sesuai dengan objeknya. Dalam pengertian ini, filsafat
merupakan suatu sistem pengetahuan yang bersifat dinamis. Filsafat dalam pengertian
ini tidak lagi hanya merupakan suatu kumpulan dogma yang hanya diyakini, ditekuni,
dan dipahami sebagai suatu nilai tertentu, tetapi lebih merupakan suatu aktivitas
berfilsafat, sutau proses yang dinamis dengan menggunakan suatu metode tersendiri.
Dengan berbagai arti istilah filsafat dan pengertian filsafat tersebut, maka
yang perlu diperhatikan bahwa konsep atau pengertian filsafat mengandung makna
yang hakiki dan esensi sebagai suatu metode atau cara untuk memecahkan berbagai
persoalan hidup melalui proses perenungan yang sangat mendalam, kritis, runtut
(koheren), rasional, menyeluruh (komprehensif), dan sistematis. Orang berfilsafat
berarti orang yang sedang mencari jati dirinya secara hakiki dalam menghadapi
berbagai persoalan hidup yang fundamental.
2. Perenungan Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat mengadung pengertian dan makna yang
sangat dalam. Pancasila tidak hanya dipahami dari rumusan sila-sila Pancasila dan
dihafalkannya sila-sila Pancasila, tetapi lebih dari itu mengandung filosofi yang
membutuhkan perenungan yang mendalam untuk mengungkap nilai-nilai yang esensi
dari sila-sila Pancasila. Sudah banyak ahli yang mengupas dan mengkaji mengenai
Pancasila sebagai sistem filsafat dengan tujuan untuk mencari makna yang hakiki dan

16

esensi dari sila-sila Pancasila. Melalui filsafat, nilai-nilai hakiki dan esensi sila-sila
Pancasila dapat dimengerti, dipahami, dipelajari, dan diyakini sebagai sesuatu yang
mengadung ajaran yang luhur, bukan saja sekedar sebagai dasar negara, tetapi sebagai
pedoman hidup (way of live) bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakekatnya mengadung arti bahwa silasila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang utuh, sistematis, komphensip, dan
runtut (koheren). Utuh mengandung makna bahwa sila-sila Pancasila tidak dapat
dipisah-pisahkan satu sama lain karena hilang satu sila maka sila-sila Pancasila yang
lain akan kehilangan maknanya. Sistematis mengandung arti bahwa sila-sila
Pancasila tersusun secara hirarkhis dan bersistem. Masing-masing sila memiliki isi
dan luas yang tersusun secara hirakhis dan sistematis. Komprehensip mengadung arti
bahwa sila-sila Pancasila hanya dapat dipahami dan dimaknai secara menyeluruh
(komperehensip). Memahami dan memaknai sila-sila Pancasila tidak dapat dilakukan
melalui perenungan yang bersifat parsial dari masing-masing sila. Masing-masing
sila-sila Pancasila esensinya satu sama lain saling kait mengkait secara fungsional dan
interaktif. Runtut (koheren) mengandung arti bahwa sila-sila Pancasila merupakan
satu kesatuan yang konsisten dan tidak saling bertentangan.
Untuk menjelaskan kesatuan dan susunan Pancasila, menurut Notonagoro
sebagaimana yang dikutip Noor MS Bakry (2001) dijelaskan melalui tiga teori, yaitu
kesatuan Pancasila majemuk-tunggal yang bersifat organis, bentuk susunan Pancasila
hirarkhis piramidal, dan sila-sila Pancasila saling mengkualifikasi. Uraian dari tiga
teori tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, kesatuan Pancasila majemuk-tunggal bersifat organis mengandung
arti bahwa Pancasila susunannya terdiri atas bagian-bagian yang tidak terpisahkan
dan masing-masing bagian mempunyai kedudukan dan fungsi tersendiri, yang
meskipun berbeda tidak saling bertentangan, akan tetapi saling melengkapi, bersatu
untuk terwujudnya keseluruhan, dan keseluruhan membina bagian-bagian. Dalam
kesatuan ini tidak boleh satu sila pun ditiadakan, merupakan satu kesatuan
keseluruhan. Kesatuan Pancasila bersifat organis mengandung arti bahwa sila-sila
Pncasila merupakan bagian yang tidak saling bertentangan, semua sila bersama-sama
menyusun satu kesatuan, dan tiap sila merupakan bagian yang mutlak. Jika
dihilangkan satu sila, hilanglah fungsi Pancasila itu, dan sebaliknya jika salah satu
sila dilepas dari kesatuannya tidak berhubungan dengan yang lainnya, maka sila itu
kehilangan kedudukan dan fungsinya.
Kedua, susunan dan bentuk Pancasila hirarkhis piramidal mengandung arti
bahwa susunan sila-sila dari Pancasila tersusun secara hirakhis dan memiliki bentuk
piramidal. Bentuk susunan hirarkhis piramidal Pancasila diartikan bahwa kesatuan
bertingkat yang satu sila di muka sila lainnya merupakan basis atau pokok
pangkalnya dan tiap sila merupakan pengkhususan dari sila di mukanya. Bentuk
susunan hirarkhis piramidal rumusan Pancasila dapat diuraikan sebagai berikut.
Sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa meliputi dan menjiwai sila Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang

17

dipimpin oleh hikmat kebijasanaan dalam permusyawaratan/


perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila Kedua
: Kemanusiaan yang adil dan beradab diliputi dan dijiwai oleh sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, meliputi dan menjiwai sila Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijasanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Sila Ketiga
: Persatuan Indonesia diliputi dan dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, meliputi dan menjiwai
sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijasanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Sila Keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijasanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan diliputi dan dijiwai oleh sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, meliputi dan menjiwai sila Keadilan Sosial bagi seluruh
Indonesia.
Sila Kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diliputi dan dijiwai oleh
sila oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijasanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Untuk menjelaskan bentuk susunan rumusan Pancasila hirarkhis piramidal
menurut Noor MS Bakry (2001) dapat dilihat pada diagram hirarkhis piramidal
Pancasila sebagai berikut.

18

Keadilan Sosial
Bagi Seluruh
Rakyat
Indonesia

Kerakyatan Yang Dipimipi Oleh


Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan

Persatuan Indonesia
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

3
2

Ketuhanan Yang Maha Esa

meliputi
Diagram 1. Hirarkhis Piramidal Pancasila (Noor MS Bakry, 2001)
Ketiga, selain bersifat organis dari kesatuan majemuk tunggul Pancasila dan bentuk
susunannya yang hirarkhis piramidal, maka pada teori yang ketiga menjelaskan
bahwa hubungan sila-sila Pancasila adalah saling mengkualifikasi atau saling
mengisi. Rumusan Pancasila yang saling mengkualifikasi atau mengisi dapat
diuraikan sebagai berikut.
Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan
yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh himat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkeadilan sosial bagi
seluruh Indonesia.
Sila Kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah Kemanusiaan yang
berketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkeadilan sosial bagi
seluruh Indonesia.
Sila Ketiga : Persatuan Indonesia adalah Persatuan yang berketuhanan Yang Maha
Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin

19

oleh himat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan


yang berkeadilan sosial bagi seluruh Indonesia.
Sila Keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan adalah Kerakyatan yang berketuhanan
Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Sila Kelima
: Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia adalah Keadilan yang
berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berpersatuan Indonesia, dan yang berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijasanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan.
Dari sudut pandang filsafat, kesatuan dan susunan Pancasila yang dijelaskan
melalui tiga teori tersebut, yakni kesatuan Pancasila majemuk-tunggal yang bersifat
organis, bentuk susunan Pancasila hirarkhis piramidal, dan sila-sila Pancasila saling
mengkualifikasi atau mengisi merupakan dasar filsafati yang memiliki makna dan
kandngan nilai yang sangat dalam susunan sila-sila dalam rumusan Pancasila satu
sama lain memiliki kedudukan dan fungsi yang bersifat fungsional. Sila pertama
menjadi fondasi dan memberikan landasan moral dan kerohanian bagi sila-sila
berikutnya. Dari perspektif filsafat ini, Notonagoro (1962) menyebutnya susunan
Pancasila adalah hirarkhis dan mempunyai bentuk piramidal itu berkaitan dengan
inti-isinya. Dari urutan-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian tingkat dalam
luasnya isi, tiap-tiap sila yang dibelakang sila lainnya merupakan pengkhususan
daripada sila-sila yang di mukanya. Dengan demikian, urutan-urutan lima sila
dianggap mempunyai maksud demikian, maka diantara lima sila ada hubungan yang
mengikat yang satu kepa yang lain, sehingga Pancasila merupakan suatu kesatuan
yang bulat.
B. Pancasila Sebagai Ideologi Negara
1. Pengertian dan Konsep Ideologi
Sebelum kita menguraikan secara lebih detail mengenai konsep ideologi dan
peranannya, maka terlebih dahulu diuraikan mengenai arti istilah ideologi. Dalam
banyak referensi, istilah ideologi berasal dari kata idea yang mengadung arti gagasan,
konsep, pengertian dasar, cita-cita dan logos yang mengandung arti ilmu. Secara
harafiah, ideologi mengandung arti ilmu pengertian-pengertian dasar. Dalam
pengertian sehari-hari idea disamakan dengan cita-cita. Dengan demikian, ideologi
mencakup pengertian tentang idea-idea, pengeertian dasar, gagasan, dan cita-cita
(Kaelan, 2007).
Meskipun secara harafiah, banyak kalangan ilmuwan sepakat terhadap arti
istilah ideologi yang berarti seperangkat gagasan-gasasan, idea-ide, cita-cita, dan
pemikiran, tetapi ketika dkaitkan dengan konsep yang lebih konkrit, para ahli tersebut
memiliki perspektif yang berbeda-beda. Seperti halnya pengertian ideologi menurut
Franz Magnis-Suseno (2001) dibedakan menjadi dua arti, yakni ideologi dalam arti

20

luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas istilah ideologi dipergunakan untuk segala
kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung
tinggi sebagai pedoman normatif. Dalam arti ini keyakinan bahwa negara harus
menjunjung tinggi kebebasan, keadilan, dan kesetiakawanan akan disebut ideologi.
Dalam arti sempit, istilah ideologi merupakan gagasan atau teori menyeluruh tentang
makna hidup yang berisi nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak. Itulah sebabnya, kemudian muncul pengertian
ideologi terbuka dan ideologi tertutup. Bagi Franz Magnis-Suseno, ideologi tertutup
mengandung pengertian yang negatif, karena ideologi tertutup bersifat totaliter dan
demi ideologi itu hak-hak asasi manusia tidak dihormati lagi. Ciri khas ideologi
tertutup ialah bahwa betapapun besar perbedaan antara tuntutan pelbagai ideologi,
namun selalu akan ada tuntutan bahwa orang harus mutlak taat terhadap ideologi itu,
dan ini berarti ketaatan terhadap elit yang mengembangkannya.Sebaliknya, ciri khas
ideologi terbuka adalah nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar,
melainkan digali dan diambil dari harta kekayaan rohani, moral, dan budaya
masyarakat itu sendiri.
Berbeda dengan perspektif dari Franz Magnis-Suseno, sebagaian kalangan
memilik perspektif bahwa ideologi adalah sebuah doktrin politik dan melihat teori
ideologi bersifat partisan serta para politisi dan pengikut sebuah doktrin politik akan
selalu mencoba menggolongkan ide-ide orang lain sebagai ideologis. Dengan
mengutip pandangan Karl Marx bahwa ideologi sebagai cara pandang yang
mendistorsi realitas dan menciptakan kesadaran palsu demi kepentingan golongan
masyarakat tertentu, biasanya kelas berkuasa. Liberalisme, kata Marx adalah contoh
dari ideologi kaum borjouis untuk menutup-nutupi eksploitasi dan penindasan yang
dilakukan terhadap kelas lain. Di sisi lain, kaum liberal mangasosiasikan ideologi
dengan apa yang mereka sebut sistem pemikiran yang tertutup yang dianggap
memiliki kebenaran absolut (Ian Adam, 2004).
Berangkat dari perbedaan perspektif tersebut, maka dapat diinterpetasikan
bahwa ideologi yang berkembang di dunia memiliki karakteristik dan tujuan yang
berbeda-beda. Sebagian pihak menganggap ideologi yang dikembangkan
mengandung kebenaran yang mutlak untuk kepentingan golongannya dan tidak
menguntungkan untuk kepentingan orang, kelas, dan golongan lain. Sebaliknya, bagi
penentang ideologi yang bersifat tertutup seperti halnya yang diuraikan sebelumnya
menganggap bahwa ideologi belum memiliki kebenaran yang mutlak, tetapi ideologi
merupakan gagasan atau pemikiran yang bersifat dinamis, berubah seiring dengan
dinamika masyarakat itu sendiri dan kemudian diyakini dapat menjadi pandangan
hidup suatu masyarakat.
Pengertian-pengertian lainnya mengenai ideologi cukup bervariasi dan
memiliki perspektif yang berbeda-beda. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas),
misalnya sebagaimana yang dikutip oleh Noor MS Bakry (2001) memberikan
pengertian dan rumusan terhadap ideologi adalah perangkat prinsip pengarahan yang
dijadikan dasar serta memberikan arah dan tujuan untuk dicapai didalam

21

melangsungkan dan mengembangkan hidup dan kehidupan nasional suatu bangsa dan
negara.
Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian dan konsep ideologi
sebagaimana munculnya perspektif para ahli tersebut, maka perlu ada suatu
kesepakatan mengenai unsur-unsur ideologi. Penjelasan ini menjadi penting untuk
mencari persamaan perspektif para ahli yang berbeda-beda. Salah satu penjelasan
yang dapat diterima untuk menjelaskan unsur-unsur ideologi apapun perspektifnya
dapat dilihat dari pendapat Koento Wibsono, sebagaimana yang dikutip oleh Noor
MS Bakry (2001) bahwa setiap ideologi selalu tersimpul adanya tiga unsur pokok,
yakni keyakinan, mitos, dan loyalitas. Untuk menjelaskan unsur-unsur tersebut dapat
dirinci sebagai berikut.
1. Unsur keyakinan, mengadung makna bahwa setiap ideologi selalu memuat
konsep-konsep dasar yang menggambarkan seperangkat keyakinan yang
diorientasikan kepada tingkah laku para pendukungnya untuk mencapai suatu
tujuan yang dicita-citakan.
2. Unsur mitos, mengadung makna bahwa setiap ideologi selalu memitoskan
suatu ajaran dari seseorang atau suatu badan sebagai kesatuan, yang secara
fundamental mengajarkan suatu cara bagaimana sesuatu hal yang ideal itu
pasti akan dapat dicapai.
3. Unsur loyalitas, mengandung makna bahwa setiap ideologi selalu menuntut
adanya loyalitas serta keterlibatan optimal para pendukungnya. Untuk
mendapatkan derajat penerimaan optimal, dalam ideologi terkandung juga
adanya tiga sub unsur, yaitu rasional, penghayatan, dan susila.
Bertolak dari unsur-unsur ideologi tersebut, maka adanya perbedaan
perspektif konsep dan pengertian ideologi antara para ahli dapat diminamilsasi karena
konsep ideologi itu sendiri memiliki substansi yang sama bahwa ideologi sebagai
ajaran yang memuat ide, gagasan, dan pemikiran serta cita-cita itu dapat dijadikan
sebagai pedoman dan penuntun hidup masyarakat secara konkrit dan praktis. Ideologi
berkembang tidaknya secara dinamis tergantung pada seberapa besar kontribusi
ideologi itu kepada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat pengikutnya. Semakin
rendahnya kontribusi nyata dari ideologi tersebut, maka sudah dapat dipastikan
bahwa ideologi tersebut akan mati dan ditinggalkan oleh pengikutnya atau
pendukungnya pada masyarakat itu. Sebaliknya, jika ideologi itu dapat membawa
kehidupan masyarakat ke arah lebih baik dalam berbagai dimensi dan aspek
kehidupan, maka ideologi tersebut akan eksis dan berkembang dinamis seiring
dengan perubahan masyarakat dan perubahan zaman.
2. Relevansi Pancasila Sebagai Ideologi Negara
Di era persaingan ideologi-ideologi besar di dunia yang berkembang dengan
berbagai variasinya, eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara mendapatkan
tantangan yang cukup berat. Secara langsung, dengan berakhirnya perang dingin
antara dua blok, yakni blok barat dan timur, maka perdebatan dan pertentangan

22

ideologi barat yang dipersonifikasikan sebagai ideologi liberalis-kapitalis dengan


ideologi timur yang dipersonifikasikan sebagai ideologi komunis-sosialis tida tampak
lagi di permukaan. Meskipun demikian, secara latent, sesungguhnya peperangan
ideologi-ideologi besar dunia masih terjadi dengan mengambil bentuk yang berbeda,
yakni perang ekonomi dan teknologi. Hal ini masih terus terjadi sepanjang zaman dan
sepanjang generasi karena dalam ideologi terkandung unsur konsep dasar dan ajaranajaran ang diyakini dapat membawa masyarakat ke arah lebih baik dan ada
kecenderungan pndukung dan pengikut ideologi tersebut melakukan ekspansi ke luar
dari sistem masyarakat. Kondisi inilah yang sesunguhnya perlu diwaspadai oleh
bangsa Indonesia yang menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara.
Belakangan ini, eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara mulai diragukan
dapat membawa masyarakat dan bangsa Indonesia dapat mencapai cita-cita dan
tujuannya sebagaimana tercantun di dalam Pembukaan UUD 1945. eksistensi
Pancasila sebagai dasar negara sudah mulai diuji sejak Indonesia merdeka sampai era
roformasi sekarang ini dan ujian itu silih berganti dan pasang surut kehidupan
masyarakat dan bangsa Indonesia mulai dihantui oleh ideologi-ideologi besar yang
berkembang di barat. Masyarakat mulai mempertanyakan relevansi Pancasila sebagai
dasar negara, apakah mampu membawa masyarakat dan bangsa Indonesia ke arah
kemajuan dan kesejahteraan yang sesungguhnya ataukah Pancasila sebagai ideologi
negara justru akan ditinggalkan dan mati karena dianggap tidak memberikan
perlindungan dan kontribusi nyata untuk kesejahteraan dan keadilan sosial. Bagi
sebagian masyarakat, eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara kurang penting
keberadaannya, justru yang menjadi mendasar bagi masyarakat adalah apakah
kehidupan mereka dari waktu ke waktu menjadi semakin baik, sejahtera, bahagia,
tenteram, aman, dan damai.
Perbedaan pandangan atau perspektif dari para ahli dan dari berbagai
kalangan mengenai Pancasila sebagai ideologi negara menimbulkan munculnya
bermacam-macam penafsiran. Sebagaian kalangan memaknai dan menafsirkan bahwa
Pancasila sebagai ideologi negara dalam implementasinya mengandung nilai yang
luhur yang dijadikan sebagai pedoman tingkah laku masyarakat dan bangsa untuk
mencapai tujuan bersama sebagaimana tujuan dan cita-cita bangsa yang tercantum di
dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam perspektif ini, Pancasila mempunyai
kedudukan sebagai way of life (pandangan hidup) bangsa yang menuntun bangsa
Indonesia untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, tenteram dan damai
berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa yang demokratis. Selain itu, perspektif lain yang
mengatakan bahwa Pancasila sebagai ideologi negara dalam implementasinya
memberikan landasan dan dijadikan fondasi dalam penyelenggaran dan pengaturan
kehidupan bernegara. Dalam konteks ini, Pancasila mempunyai kedudukan sebagai
dasar negara yang memiliki nilai-nilai normatif dan bersifat imperatif.
Dalam perspektif lainnya, ada sebagian kalangan yang berpandangan bahwa
Pancasila sebagai ideologi negara ditafsirkan sebagai instrumen politik untuk
mencapai tujuan politik tertentu. Sebagai contoh dari perspektif ini adalah pada masa
Orde Baru Pancasila sebagai ideologi negara menjadi instrumen politik praktis untuk

23

melegitimasi semua kebijakan rezim yang berkuasa. Pancasila sebagai ideologi


negara dijadikan sebagai tameng penguasa dalam bentuk jargon politik atas nama
Pancasila pemerintah ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Meskipun dalam prakteknya, masyarakat mengalami ketidakadilan dan
kekerasan struktural dari rezim yang korup dan otoriter. Dalam prakteknya pula
sering terjadi tindakan sewenang-wenang oleh rezim yang berkuasa kepada rakyatnya
sendiri dengan mengatasnamakan Pancasila dan ketika diprotes lalu berlindung di
balik Pancasila. Jika ada masyarakat yang berbeda pandangan terhadap kebijakan
pemerintah diaggap masyarakat itu tidak setuju dengan Pancasila. Begiti pula jika ada
masyarakat tidak setuju dan protes terhadap kebijakan pemerintah lalu masyarakat
dituduh merongrong Pancasila dan wibawa pemerintah. Dengan kata lain, rezim yang
berkuasa mempolitisasi Pancasila demi kepentingan rezim yang berkuasa dengan
menerapkan prinsip the state can do no wrong, bahwa negara (pemerintah) itu tidak
bernah berbuat salah karena ada Pancasila. Akibat politisasi Pancasila oleh rezim itu
memunculkan sikap sinis masyarakat terhadap eksistensi Pancasila sebagai ideologi
negara, sebagai pandangan hidup (way of life) bangsa, dan sebagai dasar negara.
Kondisi ini diperparah oleh perilaku pejabat negara yang otoriter dan korup serta
tidak peduli lagi dengan kepentingan rakyat.
Pandangan serupa dari perspektif yang terakhir ini dikemukakan oleh Slamet
Soetrisno (2002) yang melihat ideologi, khususnya dalam era Orde Baru dimengerti
dalam artian politik, bahkan politik praktis. Menurutnya, jika pengertian ideologi
tidak dipenjara dalam kepicikan politik, maka sikap dan kepatuhan dalam
memandang realitas kebangsaan justru harus melalui acuan local genius bangsa yang
dapat mengantarkan masyarakat dan bangsa dalam kemajuan modern yang berjati
diri. Pandangan ini menunjukkan bahwa untuk mengembalikan Pancasila sebagai
ideologi negara, maka Pancasila jangan dipahami dan dimaknai dari kepentingan
politik praktis yang selalu diasosiasikan dengan kepentingan politik kelompok
tertentu saja.
Untuk menghindari distorsi terhadap Pancasila sebagai ideologi negara, dasar
negara, dan pandangan hidup bangsa, maka diperlukan instrumen politik negara yang
menjadikan Pancasila tidak hanya sekedar dihafal dan dimengerti, tetapi lebih dari itu
nilai-nilai Pancasila harus diterapkan melalui perilaku nyata masyarakat dan para
pemimpin negara dan pemuka masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari, baik
sebagai warga masyarakat dan negara amupun sebagai pejabat negara. Keteladanan
perilaku para pemimpin negara dan pemuka masyarakja, baik di tingkat pusat
maupun di daerah menjadi bagian penting untuk membumikan dan mengamalkan
nilai-nilai Pancasila di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Dalam perspektif ini, para pemimpin negara dan pemuka masyarakat baik
di pusat maupun daerah tersebut perlu mempraktekkan dan menerapkan ajaran Ki
Hajar Dewantoro yang sangat baik itu, yakni Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo
Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Sebaliknya, para pemimpin negara, pejabat
negara, pemimpin masyarakat/tokoh-tokoh masyarakat harus menghindari perilaku
buruk dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Perilaku buruk dan bertentangan

24

dengan nilai-nilai Pancasila tersebut sering dianologikan dengan ajaran Ki Hajar


Dewantoro tetapi kemudian diplesetkan menjadi Ing Ngarso Sontoloyo, Ing Madyo
Mbangun Istono, dan Tut Wuri Anjegali.
Untuk itu ada pendapat dari berbagai kalangan yang melihat bahwa Pancasila
sebagai ideologi negara tidak sekedar hanya komitmen politik rezim yang berkuasa
saat itu, tetapi komitmen semua warga masyarakat, aparat negara dan para pemimpin
negara dan bangsa. Kalau Pancasila hanya dipahami sebagai komitmen politik rezim,
maka ketika rezim itu berganti, maka Pancasila itu menjadi mati dan ditinggalkan
oleh reezim baru. Oleh karena itu, rezim dapat silih berganti sepanjangmasa, tetapi
Pancasila sebagai ideologi negara yang diyakini sebagai pandangan hidup bangsa dan
dijadikan dasar negara harus tetap eksis sepanjang masa. Pancasila sebagai ideologi
negara adalah harga mati, Ideologi Pancasila Yes, Ideologi liberal-kapitalis dan
komunis-sosialis No. Slogan inilah yang selalu disuarakan oleh manusia-manusia
Indonesia yang Pancasilais, bukan yang mengaku manusia Pancasilais, tetapi
perilakunya, sikap dan tingkah lakunya jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Dari perspektif filsafat, Pancasila sebagai ideologi negara menurut Noor MS
Bakry (2001) bukan sekedar suatu kesepakatan politik, melainkan berkembang
menjadi komitmen filsafati, merupakan buah pikir atau hasil perenungan mendalam
yang mengandung konsensus transenden yang menjanjikan kesatuan dan persatuan
sikap serta pandangan dalam menyongsong hari depan yang dicita-citakan bersama.
Semenjak itu Pancasila bukan lagi sekedar alternatif, melainkan suatu imperatif,
sebagai sistem ideologi yang diyakini kebenarannya dan harus ditaati bersama.
3. Pancasia Sebagai Ideologi Negara Terbuka dan Dinamis
Di era kehidupan modern sekarang ini, Pancasila sebagai ideologi negara
mulai dipertanyakan efektivitasnya sebagai pedoman dan penuntun masyarakat
Indonesia. Permasalahan efektivitas ini selalu dikaitkan dengan kemiskinan
masyarakat, kesenjangan sosial, perilaku masyarakat yang bringas dan anarkhis,
perilaku korup para pejabat dan aparat negara, kebijakan negara yang cenderung ke
arah neo liberalis dan kapitalis, penegakan hukum yang lemah (tajam ke bawah,
tetapi tumpul ke atas), gerakan terorisme dan radikalisme kelompok, deskriminasi
dan ketidakadilan sosial, dan masalah-masalah fundamental negara lainnya. Kalaumasalah-masalah fundamental negara ini berlarut-larut dan tidak segera diselesaikan
negara, maka tidak mustahil lalu orang mulai tidak percaya dengan eksistensi
Pancasila Sebagai ideologi negara. Dalam hal ini, Pancasila dianggap sebagai
ideologi yang rigid, statis, dan ideologi yang tertutup. Dalam hal ini pula, Pancasila
juga dinilai tidak mampu menjadi landasan moral dan hukum negara untuk
memecahkan berbagai permasalah fundamental yang dihadapi masyarakat da negara.
Itulah sebabnya, ada pandangan yang mengatakan bahwa eksistensi Pancasila sebagai
ideologi negara dan dasar negara tergantung pada kemampuan beradaptasi dengan
perubahan masyarakat dan kemampuan negara didalam memecahkan berbagai
permasalahan yang dialami bangsa dan negara Indonesia.

25

Sebagaimana diketahui bahwa eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara,


dasar negara, dan pandangan hidup bangsa memiliki nilai-nilai yang responsif,
proaktif, dan interaktif terhadap perubahan masyarakat dan perubahan zaman.
Dengan nilai-nilai yang responsif, proaktif, dan interaktif tersebut, diharapkan
Pancasila mampu menjawab dan menyelesaikan berbagai permasalahan fundamental
negara. Nilai-nilai Pancasila yang dimaksudkan tersebut berkaitan dengan nilai
instrumental dan nilai praksis. Sedangkan nilai dasar Pancasila tersebut merupakan
nilai dasar yang menjadi landasan beroperasinya nilai instrumental dan nilai praksis.
Kalau hal ini dapat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, oleh para ahli disebut sebagai Pancasila sebagai ideologi yang dinamis dan
terbuka.
Dari perspektif filsafat, sebagian ahli mengidentifikasi dan membedakan
bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila terdiri atas tiga macam nilai,
yakni nilai dasar (basic value), nilai instrumental (instrumental value), dan nilai
praksis (praxsis value). Uraian mengenai nilai-nilai tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1. Nilai dasar (basic value), yaitu nilai yang sangat fundamental, abstrak, dan
universal. Nilai dasar ini menjadi fondasi dan landasan bagi nilai instrumental
dan nilai praksis. Nilai dasar Pancasila adalah Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan.
2. Nilai instrumental (instrumental value), yaitu nilai-nilai yang dijabarkan dari
nilai-nilai dasar Pancasila, sekaligus nilai-nilai untuk mengimplementasikan
nilai dasar Pancasila. Nilai instrumental Pancasila, seperti : nilai religius, nilai
kemanusiaan, nilai kejujuran, nilai ketiakawanan sosial, nilai kebersamaan,
nilai kesopanan, nilai toleransi, dan lain-lain.
3. Nilai praksis (praxsis value), yaitu nilai-nilai yang langsung diterapkan dan
dipraktekan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Nilai praksis ini merupakan
nilai yang bersifat implementatif sebagai pelaksanaan dari nilai dasar dan nilai
instrumental Pancasila. Nilai praksis ini langsung bersentuhan dengan sikap
dan perilaku masnusia sebagai makhluk individu, maklhuk sosial, dan warga
negara. Nilai praksis Pancasila, seperti : nilai yang mengajarkan manusia
untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing dan
menghargai serta menjunjung sikap toleransi terhadap pemeluk agama lain,
nilai yang mengajarkan kepada manusia untuk saling membantu sesama,
terutama bagi mereka yang terkena musibah atau bencana alam, nilai yang
mengajarkan untuk bermusyawarah untuk mencari solusi terhadap masalahmasalah yang dihadapi bangsa dan negara, dan nilai-nilai praksis lainnya.
Dalam kehidupan yang serba modern sekarang ini, Pancasila dapat
beradaptasi dengan perkembangan dan perubahan mendasar yang dialami masyarakat
Indonesia. Untuk menjadi ideologi yang terbuka dan dinamis, maka Pancasila harus
mampu menjawab masalah-masalah kehidupan masyarakat yang serba modern ini
dengan tetap mempertahankan nilai dasar (basic value), tetapi nilai intrumental

26

(instrumental value)dan nilai praksisnya (praxsis value) terus menyesuaikan


dinamika perkembangan dan perubahan tersebut.
Makna Pancasila sebagai ideologi terbuka, seperti yang dikemukakan Kaelan
(2007) bahwa ideologi terbuka sebagimana yang dikembangkan oleh bangsa
Indonesia senantiasa terbuka untuk proses reformasi dalam bidang kenegaraan,
karena ideologi terbuka berasal dari masyarakat yang sifatnya dinamis. Selain itu,
sifat ideologi terbuka juga senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan
aspirasi, pemikiran serta akselerasi dari masyarakat dalam mewujudkan cita-citanya
untuk hidup berbangsa dalam mencapai harkat dan martabat kemanusiaan.
Perdebatan mengenai konsep idelogi terbuka semakin manarik perhatian jika
kita melihat konsep dan pandangan dari Farnz Magnis-Suseno yang membedakan
antara ideologi tertutup dan ideologi terbuka. Ideologi tertutup harus ditolak karena
dengan ideologi tertutup tersebut segala-galanya dikurbankan, bahkan manusia.
Harga nyawa manusiapun menjadi murah sementara itu ideologi terbuka tidak hanya
dibenarkan, melainkan dibutuhkan. Franz Magnis-Suseno (2001) merumuskan ciri
khas formal dari ideologi terbuka bahwa ideologi itu isinya tidak operasional. Pada
konsep ini, setiap generasi baru harus menggali kembali falsafah negara itu dan
mencari apa implikasi bagi situasinya sendiri. Misalnya kemanusiaan dan keadilan
sosial dapat merupakan unsur dalam falsafah negara. Dua tuntutan itu tidak tertutup,
melainkan terbuka terhadap perkembangan dan pengertian baru. Oleh karena itu,
setiap generasi harus berusaha kembali untuk memahami arti kemanusiaan dan
keadilan sosial dalam situasinya itu.
Pancasila sebagai ideologi yang dinamis telah banyak dibahas oleh para ahli,
tetapi yang jelas bahwa Pancasila sebagai ideologi negara harus selalu menempatkan
diri dan beradaptasi terhadap perubahan yang sangat cepat yang dialami masyarakat,
baik sebagai warga masyarakat Indonesia maupun warga masyarakat dunia. Pancasila
sebagai idelogi dinamis dan sebagai landasan filsafati menurut Koento Wibisono
(1998) memiliki dan terlekat unsur-unsur yang bersifat realitas, idealitas, dan
fleksibilitas. Secara rinci penjelasan unsur-unsur yang melekat pada diri Pancasila
sebagai landasan filsafati dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Realitas dalam arti bahwa nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam dirinya
mencerminkan kenyataan objektif yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Pancasila harus mampu memberikan citra bahwa dirinya adalah
identik dengan masyarakat dimana ia dilahirkan dan ditumbuhkembangkan.
2. Idealitas dalam arti bahwa kadar idealisme yang terkandung di dalamnya
mampu mendorong motivasi, mendorong kreativitas para subjek
pendukungnya untuk berkarya, sehingga nilai-nilai yang dikandungnya
bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan mampu menjanjikan bahwa
nilai-nilai tadi pada saatnya akan dapat dinikmati oleh siapapun dalam
kenyataan hidup sehari-hari.
3. Fleksibilitas dalam arti bahwa sebagai konsep filsafati Pancasila terbuka bagi
tafsir-tafsir bar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman. Dengan
demikian Pancasila tidak kehilangan aktualitas dan relevansinya dalam

27

kondisi objektif yang mana pun dan kapan pun, tanpa kehilangan nilai-nilai
instrinsiknya, yang berarti secara efektif mampu berfungsi sebagai
daseingrund dan leitsmotief sekaligus.
Sulit rasanya untuk dipungkiri bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka dan
dinamis mampu bertahan di tengah-tengah persaingan ideologi-ideologi besar dunia.
Apalagi ideologi-ideologi besar dunia keberadaannya selain sudah lama di dalam
sejarah perkembangan umat manusia di negara-negara eropa dan belahan dunia
lainnya, juga secara formal dan politik telah lama dijadikan sebagai ajaran yang
diyakini keberannya untuk mencapai tujuan. Meskipun ideologi komunis telah
bangkrut di Uni Soviet, tetapi tidak berarti ideologi komunis ditolak oleh negaranegara Cina dan Korea utara. Begitu pula ideologi barat yang liberalis-kapitalis telah
merambah dunia dan melakukan ekspansi secara cepat ke berbagai belahan negara di
dunia. Hal ini menunjukkan bahwa kedua ideologi besar, yakni liberalis-kapitalis dan
komunis-sosialis sulit dibendung ekpansinya ke masyarakat dunia lainnya. Meskipun
belakangan ini perdebatan dan diskusi mengenai eksistensi ideologi-ideologi besar
negara tidak lagi mengemuka, tetapi secara nyata bahwa kehidupan masyarakat dan
bangsa-bangsa dunia, tak terkecuali di Indonesia terpolarisasi ke dalam dua pola
ideologi besar. Masyarakat dan bangsa Indonesia sering mengklaim memiliki ideologi
Pancasila sebagai ideologi negara, Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan
hidup bangsa, bahkan ditempatkan sebagai ideologi pembangunan, ideologi partai
politik semasa Orde Baru, ideologi kebangsaan, tetapi dalam kenyataannya di dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik alngsung maupun tidak
langsung telah mempraktekan ideologi liberalis-kapitlais. Contoh ang paling konkrit
dari praktek ideologi-kapitalis di negara Indonesia ini adalah privatisasi eknomi
nasional kepada negara asing dan perusahaan-perusahaan asing (swasta).
Munculnya gerakan penolakan ideologi Pancasila sebagai ideologi negara
belakangan ini sebagai akibat dari negara dan pemerintah tidak dapat berbuat tegas
dan cepat menindak pelaku yang menyebarkan berbagai ajaran, aliran, faham, dan
isme-isme lainnya.yangb dilakukan oleh kelompok kiri dan kanan. Contoh yang
menarik dari kasus ini adalah bermunculannya berbagai teror-teror terhadap
masyarakat dan negara yang dilakukan oleh sekelompok teroris melalui akis-aksi
bom bunuh diri dan aksi-aksi kekerasan lainnya. Munculnya gerakan-gerakan yang
dilabelisasi agama, seperi gerakan NII (Negara Islam Indonesia) juga merupakan
contoh negara itu tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah dan negara itu sendiri.
Selain itu, fenomena munculnya penolakan terhadap Pancasila sebagai ideologi
negara secara diam-diam melalui gerakan terselubung dan bawah tanah yang
dilakukan oleh berbagai kelompok juga diduga sebagai akibat dari negara dan
pemerintah tidak dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, aman,
tenteram, dan damai. Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat, terjadinya
kesenjangan sosial antarkelompok masyarakat, ketidakadilan dan perlakuan
diskriminasi yang dirasakan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi,
politik, hukum, sosial budaya dll), penegakan hukum yang lemah (hukum dapat
diperjualbelikan, ke bawah tajam, tetapi ketika ke atas tumpul), maraknya aksi-aksi

28

kekerasan dimana-mana (bom bunuh diri dan aksi-aksi teror), baik di pusat maupun
di daerah, penyelenggaraan pemerintahan yang kurang bersih dan korup (kolusi,
korupsi, dan nepotisme), dan terjadinya berbagai kekerasan struktural lainnya dapat
memicu ketidakpercayaan masyarakat (distrust) kepada negara dan pemerintah.
Kondisi inilah yang dapat membahayakan eksistensi negara dan Pancasila sebagai
ideologi negara, dasar negara, dan pandangan hidup bangsa. Tidak mustahil kalau
masalah-masalah fundamental negara seperti contoh-contoh tersebut tidak segera
diatasi dan diselesaikan secepatnya oleh masyarakat, pemerintah, dan negara, maka
tidak mustahil pula Pancasila sebagai ideologi negara, dasar negara, dan pandangan
hidup akan mengalami kebangkrutan (mati) dan ditinggalkan seperti nasibnya
ideologi komunis di negara Uni Soviet. Memang secara normatif mudah mengatakan
bahwa Pancasila sebagai ideologi negara itu bersifat terbuka dan dinamis, tetapi
untuk mempraktekkan dalam kehidupan nyata, di dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara menjadi sangat sulit.
Itulah sebabnya dalam sebuah acara di TV nasional seorang sasatrawan dan
budayawan Taufiq Ismail membacakan sajak/puisinya yang berjudul Pancasila Yang
Dilupakan. Substansi dari puisi Taufiq Ismail tersebut menjadi peringatan (warning)
kepada seluruh elemen bangsa (masyarakat, pemerintah, dan negara) untuk segera
berbenah diri dan segera menyelesaikan berbagai masalah-masalah bangsa dan negara
karena ternyata nilai-nilai Pancasila yang luhur itu sudah dilupakan di dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berbagai kajian, diskusi, pengamatan, dan perenungan dari berbagai pihak
anak bangsa mulai dari tokoh media, aktivis, pengamat politik, akademisi sampai
tokoh-tokoh nasional mulai gelisah dan prihatin terhadap permasalahan mendasar
yang dihadapi bangsa saat ini. Melalui berbagai tulisan yang kritis, aktual, dan faktual
dalam sebuah buku dengan judul Merajut Nusantara, Rindu Pancasila,
menunjukkan bahwa bangsa dan negara Indonesia sedang menghadapi berbagai
permasalahn fundamental. Didalam buku itu, diidentifikasi ke dalam dua masalah
fundamental yang sedang dihadapi bangsa dan negara. Pertama, masalah kesenjangan
sosial yang semakin melebar dan menganga antarkelompok masyarakat. Masalah ini
sangat krusial dan sensitif, sehingga segera diatasi dan selesaikan oleh segenap
komponen bangsa. Kedua, permasalahan yang berkaitan dengan semakin
diabaikannya dan dilupakannya Pancasila, baik sebagai ideologi negara, dasar negara,
dan pandangan hidup (way of life) bangsa (das sein). Seharusnya Pancasila dijadikan
acuan, referensi, dan pedoman oleh segenap anak bangsa (masyarakat, aparat dan
pejabat negara, dan pemimpin nasional) di dalam berpikir, bertutur, bertindak,
bersikap dan berperilaku di dalam kehidupan bermasyarakat dan penyelenggaran
pemerintahan negara (das sollen). Oleh karena itu, buku tersebut menjadi menarik
untuk direnungkan sebagai bahan refleksi bagaimana Pancasila yang syarat dengan
nilai-nilai luhur bangsa dan nilai-nilai budi pekerti diejahwantahkan dan
diimplementasikan didalam kehidupan yang konkrit (nyata).

29

Anda mungkin juga menyukai