14
bermanfaat untuk suatu kesatuan yang utuh atau holistik. Untuk menunjukkan konsep
ini, dapat dilihat dengan penggunaan istilah sistem tubuh manusia, sistem lingkungan
hidup, sistem pendidikan nasional, sistem pemerintahan Indonesia, sistem hukum
Indonesia, sistem politik Indonesia, sistem peradilan Indonesia, dan lain-lain.
Dengan menguraikan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditarik pada
suatu pengertian yang lebih luas bahwa sistem itu tidak hanya berkaitan dengan
susunan dan kesatuan yang saling berinteraksi satu sama lain yang bersifat kebendaan
semata, tetapi dapat juga berkaitan dengan hal-hal yang bersifat gagasan, ide,
pemikiran, dan hal-hal lain yang bersifat konseptual. Meskipun demikian, bahwa
sistem mengandun makna adanya keteraturan dari bagian-bagian yang saling
berinteraksi dan memberikan kontribusi satu sama lain. Bagian-bagian dalam
kesatuan tersebut saling melengkapi, tidak tumpang tindih dan memiliki fungsi yang
bersifat fungsional dalam kesatuan tersebut.
Mengenai istilah filsafat, sudah banyak ahli yang menjelaskan konsep dan
pengertian filsafat. Konsep atau pengertian satu sama lain sebagian ada yang
substansinya sama, tetapi redaksi kalimatnya yang berbeda-beda. Meskipun demikian
konsep atau pengertian filsafat perlu dijelaskan untuk memudahkan pemahaman
mengenai konsep dan pengertian Pancasila sebagai sistem filsafat. Sebagai sebuah
istilah yang memiliki makna yang mendalam, maka Suhadi (2000) membedakan
istilah filsafat dari tiga aspek, yakni aspek etimologi, historis maupun terminologi.
Ketiga aspek tersebut diuraikan masing secara lebih rinci sebagai berikut.
Pertama, secara etimologi (asal usul kata), sebagaimana para ahli menjelaskan
bahwa istilah filsafat dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan falsafah dalam
bahasa Arab, philosophy dalam bahasa Inggris, philosophia daam bahasa latin,
philosophie dalam bahasa (Belanda, Jerman, dan Perancis). Menurutnya, semua
istilah itu bersumber dari istilah Yunani philein berarti mencintai, sadngkan philos
berarti teman. Sedangkan istilah sophos berarti bijaksana dan sophia berarti
kebijkasanaan. Dengan demikian, secara etimologi mengandung dua arti, yakni : (1)
apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philein dan sophos, maka mengandung
arti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (bijaksana sebagai kata sifat), (2)
apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan sophia, maka mengandung arti
teman kebijaksanaan, dalam hal ini kata kebijaksanaan sebagai kata benda (Ali
Mudhofir, 2002). Jadi secara etmologis, istilah philosophia atau filsafat mengandung
arti : (1) cinta pada kebijaksanaan, (2) ingin panda atau ingin tahu secara mendalam.
Jadi orang berfilsafat adalah orang yang (a) mendambakan kebijaksanaan, dan (b)
mendambakan pengetahuan yang sedalam-dalamnya.
Kedua, secara historis, istilah filsafat mula-mula dipergunakan oleh
Pythagoras (582-496 SM), seorang ahli matematika dan filsuf Yunani. Pada masa itu
istilah filsafat masih dipergunakan secara umum dalam ati yang sangat luas, yakni
untuk menyebut semua disiplin ilmu yang ada pada waktu itu. Pada masa itu semua
ilmu pengetahuan atau semua disiplin ilmu semuanya disebut filsafat. Dalam
perkembangan selanjutnya dari filsafat itu kemudian muncul berbagai cabang ilmu
15
yang mandiri, sehingga filsafat merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan. Saat
ini, filsafat menjadi interdisipliner sistem.
Ketiga, secara terminologis, istilah filsafat diartikan sebagai : (a) asas atau
pendirian hidup, dan (b) ilmu pengetahuan yang terdalam. Filsafat sebagai asas atau
pendirian hidup adalah merupakan dasar pedoman bagi sikap dan tingkah laku
manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam hal ini, filsafat dipandang
sebagai asas atau pendirian hidup yang kebenarannya telah diterima dan diyakini
untuk dijadikan landasan dasar dalam menyelesaikan masalah-masalah hidup. Filsafat
sebaai ilmu pengetahuan yang terdalam dimaksudkan sebagai ilmu yang menyelidiki
segala sesuatu secara mendalam guna menemukan esensinya atau hakekatnya.
Dengan adanya uraian beberapa arti istilah filsafat, baik dari segi etimologis,
historis maupun terminologis, maka tidaklah cukup dapat memahami pengertian
filsafat secara substansial. Kaelan (2007) menyebutkan bahwa pengertian filsafat
dapat dikelompokkan menjadi dua pemikiran pokok, yakni :
Pertama, filsafat sebagai produk (sebagai pemikiran manusia) yang mencakup
pengertian :
1. Filsafat sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep, pemikiran-pemikiran dari
para filsuf pada zaman dahulu yang lazimnya merupakan suatu aliran atau
sistem filsafat tertentu.
2. Filsafat sebagai jenis problema yang dihadapi oleh manusia sebagai hasil dari
aktivitas berfilsafat.
Kedua, filsafat sebagai suatu proses, yang diartikan dalam bentuk suatu aktivitas
berfilsafat, dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu
cara atau metode tertentu yang sesuai dengan objeknya. Dalam pengertian ini, filsafat
merupakan suatu sistem pengetahuan yang bersifat dinamis. Filsafat dalam pengertian
ini tidak lagi hanya merupakan suatu kumpulan dogma yang hanya diyakini, ditekuni,
dan dipahami sebagai suatu nilai tertentu, tetapi lebih merupakan suatu aktivitas
berfilsafat, sutau proses yang dinamis dengan menggunakan suatu metode tersendiri.
Dengan berbagai arti istilah filsafat dan pengertian filsafat tersebut, maka
yang perlu diperhatikan bahwa konsep atau pengertian filsafat mengandung makna
yang hakiki dan esensi sebagai suatu metode atau cara untuk memecahkan berbagai
persoalan hidup melalui proses perenungan yang sangat mendalam, kritis, runtut
(koheren), rasional, menyeluruh (komprehensif), dan sistematis. Orang berfilsafat
berarti orang yang sedang mencari jati dirinya secara hakiki dalam menghadapi
berbagai persoalan hidup yang fundamental.
2. Perenungan Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat mengadung pengertian dan makna yang
sangat dalam. Pancasila tidak hanya dipahami dari rumusan sila-sila Pancasila dan
dihafalkannya sila-sila Pancasila, tetapi lebih dari itu mengandung filosofi yang
membutuhkan perenungan yang mendalam untuk mengungkap nilai-nilai yang esensi
dari sila-sila Pancasila. Sudah banyak ahli yang mengupas dan mengkaji mengenai
Pancasila sebagai sistem filsafat dengan tujuan untuk mencari makna yang hakiki dan
16
esensi dari sila-sila Pancasila. Melalui filsafat, nilai-nilai hakiki dan esensi sila-sila
Pancasila dapat dimengerti, dipahami, dipelajari, dan diyakini sebagai sesuatu yang
mengadung ajaran yang luhur, bukan saja sekedar sebagai dasar negara, tetapi sebagai
pedoman hidup (way of live) bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakekatnya mengadung arti bahwa silasila Pancasila merupakan suatu kesatuan yang utuh, sistematis, komphensip, dan
runtut (koheren). Utuh mengandung makna bahwa sila-sila Pancasila tidak dapat
dipisah-pisahkan satu sama lain karena hilang satu sila maka sila-sila Pancasila yang
lain akan kehilangan maknanya. Sistematis mengandung arti bahwa sila-sila
Pancasila tersusun secara hirarkhis dan bersistem. Masing-masing sila memiliki isi
dan luas yang tersusun secara hirakhis dan sistematis. Komprehensip mengadung arti
bahwa sila-sila Pancasila hanya dapat dipahami dan dimaknai secara menyeluruh
(komperehensip). Memahami dan memaknai sila-sila Pancasila tidak dapat dilakukan
melalui perenungan yang bersifat parsial dari masing-masing sila. Masing-masing
sila-sila Pancasila esensinya satu sama lain saling kait mengkait secara fungsional dan
interaktif. Runtut (koheren) mengandung arti bahwa sila-sila Pancasila merupakan
satu kesatuan yang konsisten dan tidak saling bertentangan.
Untuk menjelaskan kesatuan dan susunan Pancasila, menurut Notonagoro
sebagaimana yang dikutip Noor MS Bakry (2001) dijelaskan melalui tiga teori, yaitu
kesatuan Pancasila majemuk-tunggal yang bersifat organis, bentuk susunan Pancasila
hirarkhis piramidal, dan sila-sila Pancasila saling mengkualifikasi. Uraian dari tiga
teori tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, kesatuan Pancasila majemuk-tunggal bersifat organis mengandung
arti bahwa Pancasila susunannya terdiri atas bagian-bagian yang tidak terpisahkan
dan masing-masing bagian mempunyai kedudukan dan fungsi tersendiri, yang
meskipun berbeda tidak saling bertentangan, akan tetapi saling melengkapi, bersatu
untuk terwujudnya keseluruhan, dan keseluruhan membina bagian-bagian. Dalam
kesatuan ini tidak boleh satu sila pun ditiadakan, merupakan satu kesatuan
keseluruhan. Kesatuan Pancasila bersifat organis mengandung arti bahwa sila-sila
Pncasila merupakan bagian yang tidak saling bertentangan, semua sila bersama-sama
menyusun satu kesatuan, dan tiap sila merupakan bagian yang mutlak. Jika
dihilangkan satu sila, hilanglah fungsi Pancasila itu, dan sebaliknya jika salah satu
sila dilepas dari kesatuannya tidak berhubungan dengan yang lainnya, maka sila itu
kehilangan kedudukan dan fungsinya.
Kedua, susunan dan bentuk Pancasila hirarkhis piramidal mengandung arti
bahwa susunan sila-sila dari Pancasila tersusun secara hirakhis dan memiliki bentuk
piramidal. Bentuk susunan hirarkhis piramidal Pancasila diartikan bahwa kesatuan
bertingkat yang satu sila di muka sila lainnya merupakan basis atau pokok
pangkalnya dan tiap sila merupakan pengkhususan dari sila di mukanya. Bentuk
susunan hirarkhis piramidal rumusan Pancasila dapat diuraikan sebagai berikut.
Sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa meliputi dan menjiwai sila Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
17
18
Keadilan Sosial
Bagi Seluruh
Rakyat
Indonesia
Persatuan Indonesia
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3
2
meliputi
Diagram 1. Hirarkhis Piramidal Pancasila (Noor MS Bakry, 2001)
Ketiga, selain bersifat organis dari kesatuan majemuk tunggul Pancasila dan bentuk
susunannya yang hirarkhis piramidal, maka pada teori yang ketiga menjelaskan
bahwa hubungan sila-sila Pancasila adalah saling mengkualifikasi atau saling
mengisi. Rumusan Pancasila yang saling mengkualifikasi atau mengisi dapat
diuraikan sebagai berikut.
Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan
yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh himat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkeadilan sosial bagi
seluruh Indonesia.
Sila Kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah Kemanusiaan yang
berketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkeadilan sosial bagi
seluruh Indonesia.
Sila Ketiga : Persatuan Indonesia adalah Persatuan yang berketuhanan Yang Maha
Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin
19
20
luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas istilah ideologi dipergunakan untuk segala
kelompok cita-cita, nilai-nilai dasar dan keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung
tinggi sebagai pedoman normatif. Dalam arti ini keyakinan bahwa negara harus
menjunjung tinggi kebebasan, keadilan, dan kesetiakawanan akan disebut ideologi.
Dalam arti sempit, istilah ideologi merupakan gagasan atau teori menyeluruh tentang
makna hidup yang berisi nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak. Itulah sebabnya, kemudian muncul pengertian
ideologi terbuka dan ideologi tertutup. Bagi Franz Magnis-Suseno, ideologi tertutup
mengandung pengertian yang negatif, karena ideologi tertutup bersifat totaliter dan
demi ideologi itu hak-hak asasi manusia tidak dihormati lagi. Ciri khas ideologi
tertutup ialah bahwa betapapun besar perbedaan antara tuntutan pelbagai ideologi,
namun selalu akan ada tuntutan bahwa orang harus mutlak taat terhadap ideologi itu,
dan ini berarti ketaatan terhadap elit yang mengembangkannya.Sebaliknya, ciri khas
ideologi terbuka adalah nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar,
melainkan digali dan diambil dari harta kekayaan rohani, moral, dan budaya
masyarakat itu sendiri.
Berbeda dengan perspektif dari Franz Magnis-Suseno, sebagaian kalangan
memilik perspektif bahwa ideologi adalah sebuah doktrin politik dan melihat teori
ideologi bersifat partisan serta para politisi dan pengikut sebuah doktrin politik akan
selalu mencoba menggolongkan ide-ide orang lain sebagai ideologis. Dengan
mengutip pandangan Karl Marx bahwa ideologi sebagai cara pandang yang
mendistorsi realitas dan menciptakan kesadaran palsu demi kepentingan golongan
masyarakat tertentu, biasanya kelas berkuasa. Liberalisme, kata Marx adalah contoh
dari ideologi kaum borjouis untuk menutup-nutupi eksploitasi dan penindasan yang
dilakukan terhadap kelas lain. Di sisi lain, kaum liberal mangasosiasikan ideologi
dengan apa yang mereka sebut sistem pemikiran yang tertutup yang dianggap
memiliki kebenaran absolut (Ian Adam, 2004).
Berangkat dari perbedaan perspektif tersebut, maka dapat diinterpetasikan
bahwa ideologi yang berkembang di dunia memiliki karakteristik dan tujuan yang
berbeda-beda. Sebagian pihak menganggap ideologi yang dikembangkan
mengandung kebenaran yang mutlak untuk kepentingan golongannya dan tidak
menguntungkan untuk kepentingan orang, kelas, dan golongan lain. Sebaliknya, bagi
penentang ideologi yang bersifat tertutup seperti halnya yang diuraikan sebelumnya
menganggap bahwa ideologi belum memiliki kebenaran yang mutlak, tetapi ideologi
merupakan gagasan atau pemikiran yang bersifat dinamis, berubah seiring dengan
dinamika masyarakat itu sendiri dan kemudian diyakini dapat menjadi pandangan
hidup suatu masyarakat.
Pengertian-pengertian lainnya mengenai ideologi cukup bervariasi dan
memiliki perspektif yang berbeda-beda. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas),
misalnya sebagaimana yang dikutip oleh Noor MS Bakry (2001) memberikan
pengertian dan rumusan terhadap ideologi adalah perangkat prinsip pengarahan yang
dijadikan dasar serta memberikan arah dan tujuan untuk dicapai didalam
21
melangsungkan dan mengembangkan hidup dan kehidupan nasional suatu bangsa dan
negara.
Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian dan konsep ideologi
sebagaimana munculnya perspektif para ahli tersebut, maka perlu ada suatu
kesepakatan mengenai unsur-unsur ideologi. Penjelasan ini menjadi penting untuk
mencari persamaan perspektif para ahli yang berbeda-beda. Salah satu penjelasan
yang dapat diterima untuk menjelaskan unsur-unsur ideologi apapun perspektifnya
dapat dilihat dari pendapat Koento Wibsono, sebagaimana yang dikutip oleh Noor
MS Bakry (2001) bahwa setiap ideologi selalu tersimpul adanya tiga unsur pokok,
yakni keyakinan, mitos, dan loyalitas. Untuk menjelaskan unsur-unsur tersebut dapat
dirinci sebagai berikut.
1. Unsur keyakinan, mengadung makna bahwa setiap ideologi selalu memuat
konsep-konsep dasar yang menggambarkan seperangkat keyakinan yang
diorientasikan kepada tingkah laku para pendukungnya untuk mencapai suatu
tujuan yang dicita-citakan.
2. Unsur mitos, mengadung makna bahwa setiap ideologi selalu memitoskan
suatu ajaran dari seseorang atau suatu badan sebagai kesatuan, yang secara
fundamental mengajarkan suatu cara bagaimana sesuatu hal yang ideal itu
pasti akan dapat dicapai.
3. Unsur loyalitas, mengandung makna bahwa setiap ideologi selalu menuntut
adanya loyalitas serta keterlibatan optimal para pendukungnya. Untuk
mendapatkan derajat penerimaan optimal, dalam ideologi terkandung juga
adanya tiga sub unsur, yaitu rasional, penghayatan, dan susila.
Bertolak dari unsur-unsur ideologi tersebut, maka adanya perbedaan
perspektif konsep dan pengertian ideologi antara para ahli dapat diminamilsasi karena
konsep ideologi itu sendiri memiliki substansi yang sama bahwa ideologi sebagai
ajaran yang memuat ide, gagasan, dan pemikiran serta cita-cita itu dapat dijadikan
sebagai pedoman dan penuntun hidup masyarakat secara konkrit dan praktis. Ideologi
berkembang tidaknya secara dinamis tergantung pada seberapa besar kontribusi
ideologi itu kepada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat pengikutnya. Semakin
rendahnya kontribusi nyata dari ideologi tersebut, maka sudah dapat dipastikan
bahwa ideologi tersebut akan mati dan ditinggalkan oleh pengikutnya atau
pendukungnya pada masyarakat itu. Sebaliknya, jika ideologi itu dapat membawa
kehidupan masyarakat ke arah lebih baik dalam berbagai dimensi dan aspek
kehidupan, maka ideologi tersebut akan eksis dan berkembang dinamis seiring
dengan perubahan masyarakat dan perubahan zaman.
2. Relevansi Pancasila Sebagai Ideologi Negara
Di era persaingan ideologi-ideologi besar di dunia yang berkembang dengan
berbagai variasinya, eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara mendapatkan
tantangan yang cukup berat. Secara langsung, dengan berakhirnya perang dingin
antara dua blok, yakni blok barat dan timur, maka perdebatan dan pertentangan
22
23
24
25
26
27
kondisi objektif yang mana pun dan kapan pun, tanpa kehilangan nilai-nilai
instrinsiknya, yang berarti secara efektif mampu berfungsi sebagai
daseingrund dan leitsmotief sekaligus.
Sulit rasanya untuk dipungkiri bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka dan
dinamis mampu bertahan di tengah-tengah persaingan ideologi-ideologi besar dunia.
Apalagi ideologi-ideologi besar dunia keberadaannya selain sudah lama di dalam
sejarah perkembangan umat manusia di negara-negara eropa dan belahan dunia
lainnya, juga secara formal dan politik telah lama dijadikan sebagai ajaran yang
diyakini keberannya untuk mencapai tujuan. Meskipun ideologi komunis telah
bangkrut di Uni Soviet, tetapi tidak berarti ideologi komunis ditolak oleh negaranegara Cina dan Korea utara. Begitu pula ideologi barat yang liberalis-kapitalis telah
merambah dunia dan melakukan ekspansi secara cepat ke berbagai belahan negara di
dunia. Hal ini menunjukkan bahwa kedua ideologi besar, yakni liberalis-kapitalis dan
komunis-sosialis sulit dibendung ekpansinya ke masyarakat dunia lainnya. Meskipun
belakangan ini perdebatan dan diskusi mengenai eksistensi ideologi-ideologi besar
negara tidak lagi mengemuka, tetapi secara nyata bahwa kehidupan masyarakat dan
bangsa-bangsa dunia, tak terkecuali di Indonesia terpolarisasi ke dalam dua pola
ideologi besar. Masyarakat dan bangsa Indonesia sering mengklaim memiliki ideologi
Pancasila sebagai ideologi negara, Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan
hidup bangsa, bahkan ditempatkan sebagai ideologi pembangunan, ideologi partai
politik semasa Orde Baru, ideologi kebangsaan, tetapi dalam kenyataannya di dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik alngsung maupun tidak
langsung telah mempraktekan ideologi liberalis-kapitlais. Contoh ang paling konkrit
dari praktek ideologi-kapitalis di negara Indonesia ini adalah privatisasi eknomi
nasional kepada negara asing dan perusahaan-perusahaan asing (swasta).
Munculnya gerakan penolakan ideologi Pancasila sebagai ideologi negara
belakangan ini sebagai akibat dari negara dan pemerintah tidak dapat berbuat tegas
dan cepat menindak pelaku yang menyebarkan berbagai ajaran, aliran, faham, dan
isme-isme lainnya.yangb dilakukan oleh kelompok kiri dan kanan. Contoh yang
menarik dari kasus ini adalah bermunculannya berbagai teror-teror terhadap
masyarakat dan negara yang dilakukan oleh sekelompok teroris melalui akis-aksi
bom bunuh diri dan aksi-aksi kekerasan lainnya. Munculnya gerakan-gerakan yang
dilabelisasi agama, seperi gerakan NII (Negara Islam Indonesia) juga merupakan
contoh negara itu tidak dikelola dengan baik oleh pemerintah dan negara itu sendiri.
Selain itu, fenomena munculnya penolakan terhadap Pancasila sebagai ideologi
negara secara diam-diam melalui gerakan terselubung dan bawah tanah yang
dilakukan oleh berbagai kelompok juga diduga sebagai akibat dari negara dan
pemerintah tidak dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, aman,
tenteram, dan damai. Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat, terjadinya
kesenjangan sosial antarkelompok masyarakat, ketidakadilan dan perlakuan
diskriminasi yang dirasakan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi,
politik, hukum, sosial budaya dll), penegakan hukum yang lemah (hukum dapat
diperjualbelikan, ke bawah tajam, tetapi ketika ke atas tumpul), maraknya aksi-aksi
28
kekerasan dimana-mana (bom bunuh diri dan aksi-aksi teror), baik di pusat maupun
di daerah, penyelenggaraan pemerintahan yang kurang bersih dan korup (kolusi,
korupsi, dan nepotisme), dan terjadinya berbagai kekerasan struktural lainnya dapat
memicu ketidakpercayaan masyarakat (distrust) kepada negara dan pemerintah.
Kondisi inilah yang dapat membahayakan eksistensi negara dan Pancasila sebagai
ideologi negara, dasar negara, dan pandangan hidup bangsa. Tidak mustahil kalau
masalah-masalah fundamental negara seperti contoh-contoh tersebut tidak segera
diatasi dan diselesaikan secepatnya oleh masyarakat, pemerintah, dan negara, maka
tidak mustahil pula Pancasila sebagai ideologi negara, dasar negara, dan pandangan
hidup akan mengalami kebangkrutan (mati) dan ditinggalkan seperti nasibnya
ideologi komunis di negara Uni Soviet. Memang secara normatif mudah mengatakan
bahwa Pancasila sebagai ideologi negara itu bersifat terbuka dan dinamis, tetapi
untuk mempraktekkan dalam kehidupan nyata, di dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara menjadi sangat sulit.
Itulah sebabnya dalam sebuah acara di TV nasional seorang sasatrawan dan
budayawan Taufiq Ismail membacakan sajak/puisinya yang berjudul Pancasila Yang
Dilupakan. Substansi dari puisi Taufiq Ismail tersebut menjadi peringatan (warning)
kepada seluruh elemen bangsa (masyarakat, pemerintah, dan negara) untuk segera
berbenah diri dan segera menyelesaikan berbagai masalah-masalah bangsa dan negara
karena ternyata nilai-nilai Pancasila yang luhur itu sudah dilupakan di dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Berbagai kajian, diskusi, pengamatan, dan perenungan dari berbagai pihak
anak bangsa mulai dari tokoh media, aktivis, pengamat politik, akademisi sampai
tokoh-tokoh nasional mulai gelisah dan prihatin terhadap permasalahan mendasar
yang dihadapi bangsa saat ini. Melalui berbagai tulisan yang kritis, aktual, dan faktual
dalam sebuah buku dengan judul Merajut Nusantara, Rindu Pancasila,
menunjukkan bahwa bangsa dan negara Indonesia sedang menghadapi berbagai
permasalahn fundamental. Didalam buku itu, diidentifikasi ke dalam dua masalah
fundamental yang sedang dihadapi bangsa dan negara. Pertama, masalah kesenjangan
sosial yang semakin melebar dan menganga antarkelompok masyarakat. Masalah ini
sangat krusial dan sensitif, sehingga segera diatasi dan selesaikan oleh segenap
komponen bangsa. Kedua, permasalahan yang berkaitan dengan semakin
diabaikannya dan dilupakannya Pancasila, baik sebagai ideologi negara, dasar negara,
dan pandangan hidup (way of life) bangsa (das sein). Seharusnya Pancasila dijadikan
acuan, referensi, dan pedoman oleh segenap anak bangsa (masyarakat, aparat dan
pejabat negara, dan pemimpin nasional) di dalam berpikir, bertutur, bertindak,
bersikap dan berperilaku di dalam kehidupan bermasyarakat dan penyelenggaran
pemerintahan negara (das sollen). Oleh karena itu, buku tersebut menjadi menarik
untuk direnungkan sebagai bahan refleksi bagaimana Pancasila yang syarat dengan
nilai-nilai luhur bangsa dan nilai-nilai budi pekerti diejahwantahkan dan
diimplementasikan didalam kehidupan yang konkrit (nyata).
29