Filsafat Suku Batak Toba
Filsafat Suku Batak Toba
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Batak adalah salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Suku Batak tidak
hanya satu saja tetapi terdiri dari beberapa sub suku. Suku bangsa yang
dikategorikan sebagai Batak antara lain Batak Toba, Batak Karo, Batak
Mandailing-Angkola, Batak Pakpak, Batak Simalungun (Kozok, 1999:12).
Menurut mitos yang masih hidup hingga sekarang, leluhur pertama suku Batak
bernama Siraja Batak (Simanjuntak, 2006 : 78).
Marga dalam suku Batak diambil dari nama Si Raja Batak. Si Raja Batak
kemudian mempunyai keturunan dan nama-nama dari keturunannya inilah yang
kelak berkembang menjadi marga-marga suku Batak (Siahaan: 1964). Turunan
leluhur Si Raja Batak mendiami daerah Sianjur Mula-Mula (daerah Samosir).
Kemudian sebagian besar dari mereka kemudian menyeberangi Danau Toba, lalu
berpencar ke segala penjuru mendiami daerah-daerah yang ada di Sumatera
Utara. Persebaran ini kemudian berkembang hingga keluar Sumatera Utara. Pola
imigrasi masyarakat Batak tersebut bermula dari Pusuk Buhit (Sianjur MulaMula) yang terletak di Pulau Samosir, sampai pada pembukaan lembah-lembah
baru yang meluas dan memanjang di garis pantai selatan Danau Toba (Siahaan
:1964).
Seiring berjalannya waktu dan dengan meluasnya persebaran suku Batak,
marga dalam suku Batak kemudian berkembang menjadi beberapa marga dan
terdapat sebuah tradisi yang dilakukan untuk menghubungkan kembali identitas
kemargaan mereka. Tradisi tersebut dinamakan sebagai martarombo atau
martutur. Martarombo bersalah dari kata tarombo atau dalam bahasa
Indonesia silsilah, sedangkan arti kata mar dalam Bahasa Batak Toba
bermakana kata kerja. Jadi dapat diartikan bahwa martarombo dalam Bahasa
Indonesia adalah bersilsilah atau menentukan silsilah.
Martarombo atau martutur adalah suatu bentuk komunikasi tanya jawab
antara dua individu atau lebih yang dilakukan untuk mengetahui hubungan
kekerabatan di antara mereka. Hubungan kekerabatan ini didasarkan atas latar
belakang marga keluarga mereka (baik yang berasal dari ayah maupun ibu dan
keluarga lainnya) yang disesuaikan dengan falsafah Dalihan Na Tolu 1 (Sihombing,
1986:103).
Tradisi martarombo sudah diterapkan sejak zaman dahulu dan digunakan
pada semua sub suku Batak. Tradisi ini muncul sebagai suatu kebiasaan turun
temurun yang diwariskan antar generasi. Dalam kehidupan masyarakat asli Batak
di pedesaan, tradisi ini menjadi hal utama yang harus dilakukan ketika
berinteraksi dengan sesama suku Batak yang baru dikenal. Dengan adanya tradisi
martarombo, asal usul marga dari seseorang yang baru dikenal akan dapat
diketahui. Dengan mengetahui asal usul marga orang lain yang baru dikenal,
maka dapat dicocokkan dengan asal usul kemargaannya dan marga-marga lain
yang memiliki hubungan dengan keluarganya.
Hal ini yang kemudian menentukan perbedaan sikap dan panggilan
kepada orang yang baru dikenal tersebut apakah sebagai dongan tubu (teman
satu marga dari marga ayah), sebagai boru yakni marga nenek dan marga suami
kakak perempuan ayah dan sebagai hula-hula yakni marga dari keluarga ibu.
Ketiga unsur panggilan dalam kekerabatan suku Batak di atas merupakan aturan
dalam falsafah dalihan na tolu sehingga dalihan na tolu menjadi dasar penentu
ketika akan bersikap dan menentukan panggilan kepada orang yang baru
Dalihan Na Tolu merupakan falsafah yang membagi kedudukan masyarakat batak ke dalam tiga
bagian dalam sistem kekerabatan.
dikenal. 2 Di daerah asal Bona Pasogit (asal marga suku Batak), yang masih kental
memegang adat Bataknya, martarombo digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Adanya kebiasaan suku Batak Toba yang memantangkan pemanggilan nama
seseorang
Dalam falsafah dalihan na tolu akan diatur bagaimana orang Batak toba ketika bersikap dan
menentukan panggilan terhadap seseorang yang baru dikenal. Contoh memanggil dengan
sebutan tulang karena orang yang baru dikenal masuk ke dalam golongan hula-hula. Menurut
falsafah dalihan na tolu, hula-hula adalah golongan yang paling dihargai karena dianggap sumber
berkat. Dengan demikian harus diperlakukan lebih hormat melebihi golongan dongan tubu dan
boru. Falsafah dalihan na tolu bersifat universal sehingga seorang individu dalam suku Batak akan
mengalami menjadi dongan tubu, boru, dan dongan tubu.
3
Wawancara dengan Bapak S. Hutagaol, seorang pemangku adat Batak Toba di Sidamanik,
Sumatera Utara, 27 Desember 2012
konsep
hamoraon (kekayaan),
hagabeon (kesejahteraan),
dan
hasangapon (kehormatan) dalam budaya Batak menjadi dasar utama suku Batak
(terutama Batak Toba) untuk merantau keluar dari kampung halaman. Faktor
geografis di daerah asal suku Batak yang kurang subur di sekitaran pulau Samosir
membuat masyarakat Batak Toba lebih
kampung halaman.
Selain itu aktivitas merantau suku Batak juga didorong oleh adanya motif
ekonomi untuk mencari penghidupan yang lebih baik di tempat lain. Hal ini
terutama didorong oleh berhasilnya sejumlah perantau yang lebih dulu di daerah
asing. Selain itu, faktor pendidikan tinggi juga menjadi faktor yang sangat
mempengaruhi perantauan suku Batak yang lebih banyak dilakukan diluar pulau
Sumatera (Sulistyowati, 2005:91-92).
Yogyakarta sebagai salah satu kota budaya dan pendidikan dikenal sebagai
salah satu kota perantauan anak muda suku Batak. Perantauan ini dilakukan
dengan menjadi pekerja maupun sebagai pelajar di Yogyakarta. Banyaknya
perkumpulan atau komunitas suku Batak yang terbentuk atas dasar kesamaan
marga maupun ikatan mahasiswa di berbagai kampus membuktikan bahwa
banyaknya anak muda suku Batak Toba di Yogyakarta. Saat ini terdapat beragam
perkumpulan anak muda perantau suku Batak Toba di Yogyakarta baik dalam
bentuk arisan marga, komunitas Batak dari gereja, komunitas Batak dari musik
tradisi Batak, maupun perkumpulan mahasiswa Batak di kampus.
Banyaknya suku Batak Toba yang merantau ke Yogyakarta menjadi fenomena
yang menarik untuk diteliti jika dilihat dari aspek penerapan dan pemeliharaan
kebudayaan, khususnya tradisi martarombo. Adanya kegiatan pertemuan suku
Batak Toba dalam berbagai acara dan kelompok perkumpulan memungkinkan
adanya interaksi yang signifikan. Dengan demikian akan terjadi perkenalan antar
2. Manfaat Praktis
Memberikan sumbangan bagi upaya pelestarian tradisi suku Batak Toba
yang selama ini dirasa telah terjadi pergeseran dalam penerapannya.
E.
Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah anak muda perantau suku Batak Toba di
itu
sendiri
yaitu
bagaimana
membentuk
hubungan
Dengan demikian setiap marga hula-hula dan boru yang baru itu akan
menambah hubungan yang baru ketika martarombo.
Terdapat sebuah pantun yang selalu menjadi pengingat martarombo
dalam kehidupan suku Batak Toba. Pada dasarnya setiap individu dalam
masyarakat Batak harus mengingat dan menjalankan makna pantun ini.
Bunyi pantunnya sebagai berikut :
Jolo tinitip sanggar,
Asa binahen huru-huruan,
Jolo sinungkun marga,
Asa binoto partuturan
Pantun tersebut berarti:
Pimping (batang gelaga) dipotong rata terlebih dahulu,
Kemudian dibuat sebagai sangkar burung,
Tanyalah marga terlebih dahulu,
Agar dapat diketahui kekerabatan (Silitonga, Saut, 2010:94).
Pantun ini sangat berarti dalam menginspirasi suku Batak ketika
berkenalan. Makna pantun ini menekankan bahwa martarobo penting untuk
membentuk tali kekerabatan di antara suku Batak. Dengan begitu suku Batak
harus selalu menanyakan asal-usul marga seseorang ketika sedang
berkenalan. Dengan mengetahui asal usul marga, akan diketahui nantinya
bagaimana kekerabatan mereka berdasarkan falsafah Dalihan Na Tolu. Tidak
hanya sebatas itu, terjalinnya kekerabatan yang dimulai dari kegiatan
martarombo akan berpengaruh dalam hubungan selanjutnya.
Dalam tradisi martarombo, kegiatan perkenalan yang dimulai dengan
kegiatan martarombo tidak hanya sebatas mengetahui marga seseorang saja
akan tetapi telah membentuk hubungan persaudaraan. Hubungan yang
terbentuk setelah saling mengetahui panggilan dan cara bersikap akan
diaplikasikan ketika bertemu dengan dengan orang yang baru dikenal
tersebut kapan pun mereka bertemu. Hal inilah yang menyebabkan kuatnya
persaudaraan di antara sesama orang Batak dimana pun mereka berada.
Martarombo bukanlah ajang dimana orang Batak berkenalan dan
membentuk relasi, akan tetapi lebih kepada bagaimana orang suku Batak
berusaha memperlakukan sesama suku Batak sebagai saudara yang saling
menghargai.
Tradisi martarombo mempunyai peran vital dalam pergaulan sehari-hari
masyarakat Batak. T. M. Sihombing menjelaskan bahwa terdapat sebuah
filsafat Batak yang menjelaskan betapa pentingnya pengetahuan akan
martarombo dalam kehidupan masyarakat Batak. Bunyi filsafat itu sebagai
berikut : habang sihurhur songgop tu bosar, na so malo martutur ingkon
maos hona osar (Sihombing, 1986 :103). 4 Makna dari filasat ini yakni
barang siapa yang tidak pintar dalam menerapkan tradisi martarombo maka
akan memperoleh kehidupan yang tidak tenang. Kehidupan yang tidak
tenang ini terjadi akibat tidak bisa bersikap dalam kehidupan masyarakat
Batak, sehingga tidak disukai oleh masyarakat di sekitarnya.
Pada dasarnya tradisi martarombo tidak hanya berperan dalam hubungan
pergaulan masyarakat Batak Toba. Tradisi martarombo berperan sangat vital
dalam konteks peradatan masyarakat Batak. Dalam acara adat pernikahan
maupun kematian suku Batak Toba misalnya, tradisi martarombo
merupakan inti dari acara adat tersebut.
dalam acara adat tersebut sebagaimana yang ada dalam aturan dalihan na
tolu
Bisa dikatakan bahwa ruang lingkup peran tradisi martarombo
sebenarnya sangat luas. Tradisi martarombo tidak hanya berperan dalam
pergaulan masyarakat Batak, akan tetapi masyarakat Batak hidup dalam
tradisi ini. Tradisi martarombo hidup dalam pergaulan dan dalam seluruh
kegiatan adat masyarakat Batak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
seorang individu yang tidak bisa martarombo sebenarnya sudah kehilangan
pengetahuan akan kebudayaan Batak Toba sendiri.
a. Dalihan Na Tolu
Falsafah dalihan na tolu merupakan inti dasar tradisi martarombo.
Dikatakan sebagai dasar karena pengambilan sikap beserta pemanggilan
seseorang yang baru dikenal diatur dalam dalihan na tolu. Dalihan na tolu
menjadi acuan ketika orang Batak martarombo. Marga seseorang yang
baru dikenal akan disesuaikan berdasarkan tiga golongan suku Batak
dalam dalihan na tolu. Penyesuaian inilah yang nantinya melahirkan
istilah pemanggilan beserta cara bersikap terhadap orang yang baru
dikenal tersebut. Penyesuaian hubungan berbeda marga dalam tradisi
martarombo bersifat dua arah, yakni disesuaikan dengan marga dari dua
pihak yang melakukan tradisi martarombo.
Dalihan berarti Tungku, Na berarti Yang, sedangkan Tolu artinya Tiga.
Dengan tiga definisi tersebut dapat diartikan bahwa dalihan na tolu
bermakna tungku yang berpilar tiga. Tungku itu diibaratkan sebagai orang
Batak secara keseluruhan, sedangkan tiga pilar itu adalah tiga golongan
dari masyarakat Batak yang sejajar dan menyokong berdirinya tungku
(Simanjuntak, 2006 : 99).
10
Dalam adat Batak Toba, Ketiga posisi tersebut ( dongan tubu, boru, dan hula hula) akan dialami
oleh masing-masing individu pada konsteksnya masing-masing. Artinya posisi tersebut bukanlah
posisi absolut akan disandang suatu individu untuk selama-lamaya namun akan sesuai konteks
adat. Misalnya seorang individu marga Purba akan menduduki posisi sebagai dongan tubu jika ia
hadir saat acara adat seorang marga Purba. Ia juga akan menduduki posisi boru jika ia hadir
dalam acara adat marga ibu, dan menduduki posisi sebagai hula-hula jika ia berada pada acara
adat seorang yang bermarga istrinya.
11
12
bahwa
komponen
utama
dalam
komunikasi
13
dan umpan balik yang terjadi adalah adanya penentuan panggilan dan
cara bersikap terhadap orang yang baru dikenal.
Komunikasi interpersonal melibatkan paling sedikit dua orang yang
mempunyai sifat, nilai-nilai, pendapat, sikap, pikiran dan perilaku yang
khas dan berbeda-beda. Selain itu, komunikasi interpersonal juga
menuntut adanya tindakan saling memberi dan menerima di antara
pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Dengan kata lain para pelaku
komunikasi saling bertukar informasi, pikiran, gagasan, dan sebagainya
(Rakhmat, 2001).
2. Martarombo sebagai Tradisi dan Ritual Komunikasi
a. Tradisi dan Ritual
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), tradisi adalah adat
kebiasaan turun-temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di
masyarakat, tradisi juga merupakan penilaian atau anggapan bahwa caracara yg telah ada merupakan yang paling baik dan benar.6 Sejalan dengan
definisi di atas, Hanafi (dalam Hakim, 2003 :29), menjelaskan tradisi
sebagai segala warisan masa lampau yang masuk pada manusia dan
masuk ke dalam kebudayaan yang sekarang berlaku. Tradisi tidak hanya
merupakan persoalan peninggalan sejarah, tetapi sekaligus merupakan
persoalan kontribusi zaman kini dalam berbagai tingkatannya.
Menurut Julius, istilah tradisi berasal dari bahasa latin yakni traditio
yang bermakna diteruskan atau kebiasaan. Dalam pengertian paling
sederhana yakni sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan
menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari
suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang
paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari
6
14
generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya hal
ini, suatu tradisi dapat punah (Julius, 2009:40).
Di dalam tradisi diatur bagaimana manusia berhubungan dengan
manusia yang lain atau satu kelompok manusia dengan kelompok
manusia lain, bagaimana manusia betindak terhadap lingkungannya, dan
bagaimana perilaku manusia terhadap alam yang lain. Ia berkembang
menjadi suatu sistem, memiliki pola dan norma yang sekaligus juga
mengatur penggunaan saksi dan ancaman terhadap pelanggaran dan
penyimpangan. 7
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi mengandung
suatu pengertian tentang adanya kaitan antara masa lalu dan masa kini.
Tradisi merujuk pada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih
berwujud
dan
dilaksanakan
hingga
masa
sekarang.
Tradisi
15
custom). Ritual menciptakan dan memelihara mitos, juga adat sosial dan
agama. Ritual bisa pribadi atau berkelompok (Paper ,1990 : 992).
b. Komunikasi sebagai Tradisi dan Ritual
Dalam kaitannya terhadap tradisi, komunikasi merupakan unsur
budaya yang berfungsi untuk menjalin hubungan antar manusia dan yang
digunakan secara turun temurun. Sebagai makhluk sosial, manusia
membutuhkan interaksi dengan individu lain. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa komunikasi merupakan kebutuhan vital manusia. Cara
berkomunikasi, media yang digunakan dan berbagai aturan yang
menyertainya diatur dalam norma budaya tertentu. Budaya berperan
dalam menentukan praktik-praktik komunikasi suatu suku bangsa,
dengan demikian praktik komunikasi suatu masyarakat akan beraneka
ragam tergantung budayanya. Mulyana menjelaskan bahwa pada
dasarnya cara manusia berkomunikasi bergantung pada budaya tempat
manusia lahir dan dibesarkan. Lebih lanjut Mulyana mengatakan bahwa
bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik
komunikasi (Mulyana, 2003 :19).
Sejalan dengan kompleksnya budaya manusia, maka praktik
komunikasi juga akan beraneka ragam. Praktik komunikasi yang beraneka
ragam merupakan adat dalam suatu proses budaya manusia. Komunikasi
yang beraneka ragam ini diturunkan melalui proses belajar dari generasi
ke generasi dalam bentuk tradisi. Komunikasi merupakan hasil karya
manusia yang menjadi kebudayaaan sekaligus identitasnya. Kebudayaan
merupakan
16
James W. Carey
komunitas
(maintain
community).
Menurut
Carey,
tradisi
sosiokultural
(socio-cultural
tradition)
mewakili
Carey,
martarombo berperan dalam menjaga nilai dan norma adat Batak yang
diatur dalam tatakrama adat Batak Toba. Nilai dan norma ini perlu dijaga
untuk melangsungkan hubungan kekerabatan di antara suku Batak.
Martarombo dikatakan sebuah nilai karena mengandung unsur
kebaikan untuk mengikat rasa persaudaraan terhadap orang lain.
Martarombo juga dikatakan sebuah norma karena adanya keharusan
dalam masyarakat Batak untuk bisa menjalin hubungan kekerabatan
terhadap sesama suku Batak. Kedua unsur nilai dan norma inilah yang
kemudian menjadi bagian dalam tradisi yang dianggap penting dalam
kebudayaan Batak Toba.
18
meninggalkan tanah
19
masyarakat
Batak,
pendidikan
anak
menjadi
ukuran
orangtua
dalam masyarakat Batak rela menjual harta benda miliknya. Hal inilah
20
(http://megapolitan.kompas.com/read/2013/02/03/09135265/Melacak.Jejak.Batak.di.Jakarta,
diakses 20 Maret 2013
10
Wawanca dengan Bapak St. Masinton Marpaung, seorang Raja Parhata (tokoh adat) Batak
Toba di Yogyakarta, 18 Juni 2013.
21
setelah Jawa, Sunda, Melayu, dan Tionghoa (BPS, 2000). Sementara itu,
Rusdin Sinaga, SE yang berasal dari paguyuban suku Batak Yogyakarta
mengatakan bahwa tahun 2011 jumlah suku Batak yang ada di Yogyakarta
mencapai + 11.000 jiwa. 11 Dengan mengacu pada data ini maka dapat
disimpulkan bahwa jumlah suku Batak yang ada di Yogyakarta cukup
banyak akan dapat merepresentasikan penerapan tradisi martarombo di
Yogyakarta.
Jauhnya jarak perantau suku Batak di Yogyakarta terhadap kampung
halaman (Bona Pasogit) ternyata tidak menghilangkan identitas budaya
Batak di Yogyakarta. Adanya kerinduan untuk berinteraksi dengan sesama
suku Batak menjadi motivasi tersendiri untuk mendirikan paguyuban atau
perkumpulan sesama masyarakat Batak di Yogyakarta. Hal ini terlihat dari
banyaknya perkumpulan suku Batak di Yogyakarta sepert arisan marga
dan paguyuban mahasiswa Batak diberbagai kampus.
Salah satu paguyuban suku Batak terbesar di Yogyakarta adalah
Parbopas (Parsadaan Bona Pasogit) yakni perkumpulan masyarakat Batak
yang ada di Yogyakarta. Selain itu di berbagai kampus di Yogyakarta juga
dibentuk paguyuban mahasiswa Batak seperti Komunitas Mahasiswa
Batak Atmajaya (KMBA) di Universitas Atmajaya Yogyakarta, Permaba (
Persaudaraan Mahasiswa Batak Atmajaya) di Universitas Atmajaya
Yogyakarta, IMPY ( Ikatan Mahasiswa Pakpak Yogjakarta), dan KBMB
(Keluarga besar Mahasiswa Batak) Universitas Pembangunan Nasional
Yogyakarta (UPN Yogyakarta). 12
Selain paguyuban di kampus, perkumpulan perantau suku Batak dalam
berbagai arisan marga juga cukup besar. Adanya berbagai acara dan
11
12
22
23
Gambar 1.2
Proses Tradisi Martarombo
Dalam falsafah dalihan na tolu, terdapat perbedaan cara bersikap terhadap
ketiga golongan tersebut. Golongan hula hula yang dianggap sebagai golongan
tertinggi harus dihormati dan diperlukan sebaik mungkin, karena hula hula
24
dinggap sebagai matahari yang membawa berkat sehingga hula hula dan semua
teman semarga (dongan tubu) hula hula harus dihargai. Selain itu suku Batak
juga diharuskan untuk menjaga sikap terhadap dongan tubu agar tidak berkonflik
dengan dongan tubu (teman semarga) karena mereka dianggap sebagai teman
sepenanggungan dalam menjalani hidup dimanapun suku Batak berada. Begitu
juga dengan pihak boru yang dalam adat Batak dapat diperintah untuk
mengerjakan sesuatu, akan tetapi perintah itu harus menjaga perasaan mereka
(membujuk) agar tidak tersinggung dan merasa direndahkan.
Jauhnya jarak dari kampung halaman dan jarangnya melihat dan mengikuti
kegiatan adat seperti di kampung halaman menjadi pertanyaan bagaimana
penerapan tradisi Martarombo oleh anak muda perantau suku Batak Toba di
Yogyakarta. Pola komunikasi anak muda suku Batak yang berbeda terhadap
orangtua suku Batak dan dengan sesama anak muda suku Batak akan dilahat
pengaruhnya dalam penerapan tradisi martarombo. Selain itu kota Yogyakarta
sebagai kota yang multietnis ditambah lagi dengan interaksi anak muda perantau
suku Batak terhadap anak muda suku Batak yang sudah lahir dan besar di
perantauan (kurang memahami tradisi martarombo) dirasa dapat memberi
pengaruh terhadap penerapan tradisi martarombo.
Melalui wawancara mendalam dan kegiatan obsevasi yang dilakukan
penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan secara jelas bagaimana anak
muda perantau suku Batak Toba menerapkan tradisi ini di Yogyakarta.
Selanjutnya penelitian ini juga berusaha memaparkan bagaimana perkembangan
maupun pergeseran di dalam penerapan tradisi martarombo di Yogyakarta
beserta faktor- faktor yang mempengaruhinya.
Di Yogyakarta, ikatan-ikatan kultural suku Batak terbangun dari perkumpulan
maupun paguyuban beserta serangkaian kegiatan sosial dan acara adat yang
mereka lakukan. Anggota dari beberapa perkumpulan dan paguyuban ini akan
25
diminta untuk menjadi informan karena tingkat interaktivitas mereka yang dirasa
mampu menjelaskan penerapan tradisi martarombo. Kegiatan observasi juga
dilakukan untuk melihat bagaimana nilai nilai budaya Batak dalam interaksi
mereka diterapkan.
Pada dasarnya, proses komunikasi yang terjadi dalam tradisi martarombo
bukanlah sebatas bertanya dan mengetahui asal usul marga dari lawan bicara.
Proses komunikasi yang dilandaskan pada adat Dalihan Na Tolu bertujuan untuk
membangun hubungan kekerabatan di antara sesama suku Batak yang
berkenalan. James W. Carey menjelaskan bahwa komunikasi sebagai ritual
berupaya untuk membangun komunitas masyarakat adat tertentu. Komunikasi
sebagai ritual lekat dengan kata sharing (saling berbagi), partisipasi, asosiasi,
pengikut, dan kepemilikan akan keyakinan bersama. Komunikasi pada dasarnya
dibangun untuk menjalin interaksi. Martarombo merupakan sebuah tradisi yang
sudah diterapkan secara turun temurun untuk membangun ikatan di antara suku
Batak. Penelitian ini nantinya ingin menggambarkan bagaimana tradisi
martarombo diterapakan anak muda suku Batak Toba di Yogyakarta terkait nilai
nilai budaya di dalamnya.
Pada dasarnya kegiatan martarombo dilakukan di semua sub etnik Batak,
seperti Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pak-pak, Batak Angkola
dan Batak Mandailing. Adanya hubungan masing-masing sub suku Batak ini
dihubungakan oleh identitas marga mereka yang berasal dari satu nenek
moyang, yakni Si Raja Batak. Akan tetapi sub suku Batak Toba dengan jumlah
etnik terbesar yang hingga sekarang masih sangat mejaga nilai-nilai tradisi ini.
Biasanya sub etnik diluar Batak Toba menerapkan tradisi ini ketika berinteraksi
dengan suku Batak Toba.
26
H. Metodologi Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian tentang penerapan tradisi martarombo oleh anak muda
perantau suku Batak Toba di Yogyakarta ini bersifat kualitatif. Penelitian
kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu
(dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan
dengan
pendekatan holistik yakni berupa suatu konsep yang besar yang diteliti pada
objek spesifik dan hasil yang didapatkan akan dikembalikan pada konsep
besar tersebut (Moehadjir, 1998).
2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Menurut M. Nasir, metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan
untuk meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu
sistem pemikiran ataupun suatu strata, peristiwa pada masa sekarang dan
terjadi ketika penelitian sedang berjalan. Adapun tujuan metode deskriptif
adalah untuk mengggambarkan atau melukiskan secara sistematis, aktual
dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena
yang sedang diselidiki (Nasir,1998 :63).
Menurut Jalaludin Rakhmat, metode deskriptif merupakan metode yang
tidak menjelaskan hubungan antara variabel dan tidak menguji hipotesis
atau prediksi. Metode penelitian deskriptif dapat diuraikan sebagai prosedur
pemecahan
menggambarkan
atau
27
aktivitas
yang
menjadi
informasi
serta
menghayati
28
2. Subyek yang masih terlibat secara aktif pada lingkungan atau kegiatan
yang menjadi perhatian peneliti.
3. Subyek punya cukup banyak waktu untuk diwawancarai
4. Subyek yang memberikan informasi tidak cenderung mempersiakanya
terlebih dahulu.
4. Analisis Data
Penelitian ini adalah suatu penelitian deskriptif, sesuai dengan prinsip
penelitian deskriptif bahwa penelitian ini tidak dimaksudkan untuk
menghubungan antar variabel dan menguji hipotesis berdasarkan teori-teori
tertentu. Hasil pengamatan yang dilakukan melalui wawancara dan
observasi akan dijelaskan melalui laporan yang bersifat deskriptif dengan
menggunakan analisis data kualitatif. Dengan dilakukannya analisis terhadap
data yang didapatkan maka akan diperoleh nantinya gambaran bagaimana
penerapan tradisi martarombo dalam komunikasi anak muda perantau suku
Batak di Yogyakarta.
5. Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini adalah anak muda suku Batak Toba yang
berasal dari daerah Sumatera Utara yang sedang merantau dan tinggal di
Kota Yogyakarta. Kategori anak muda dalam penelitian ini adalah pria
maupun wanita Batak Toba yang belum menikah. Selain itu, informan juga
harus bisa berbahasa Batak Toba dan memiliki paguyuban/perkumpulan
dengan sesama perantau suku Batak Toba, baik di kampus maupun
lingkungan tempat tinggal. Pemilihan informan yang memiliki paguyuban
dan bisa berbahasa Batak Toba dikarenakan adanya kecenderungan bahwa
orang Batak yang tidak bisa berbahasa Batak Toba dan jauh dari kegiatan
adat biasanya tidak mengerti tradisi dan adat Batak Toba.
29