Anda di halaman 1dari 10

ETNOFARMASI ETNIK SUNDA

DISUSUN OLEH :
Nailah Nurjihan

260110140021

Dina Purwati

260110140022

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2016

Etnofarmasi masyarakat etnik Sunda adalah pengetahuan etnofarmasi yang


meliputi pengetahuan obat dan cara pengobatan tradisional masyarakat adat etnik
Sunda. Masyarakat adat etnik Sunda terdiri atas beberapa kelompok masyarakat adat
yang masing-masing masih memegang teguh tradisi kehidupan dan keagamaan
(Moelyono, 2014).
Beberapa kelompok masyarakat adat etnik Sunda, antara lain masyarakat adat
Baduy, masyarakat adat Sunda Kasepuhan, masyarakat adat Kampung Naga, dan
beberapa kelompok masyarakat adat lainnya. Masyarakat adat etnik Sunda bukan
menunjukkan etnik Sunda yang dapat hidup di berbagai wilayah di Indonesia, tetapi
dibatasi dalam suatu wilayah yang dikenal dengan sebutan Tatar Sunda (Moelyono,
2014).
Masyarakat adat etnik Sunda yang tidak pernah mengenal kerajaan, maka
konsep obat dan pengobatan mereka bersumber dari kearifan lokal masyarakat
setempat yang kemudian naik kepermukaan, diikuti oleh masyarakat lain di luar
komunitas adatnya. Karena berasal dari masyarkat adat yang umumnya tinggal di
kampung, maka etnofarmasi masyarakat etnik Sunda disebut Ubar Kampung, dengan
konsep down up (Moelyono, 2014).
Ubar kampung adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat Tatar Sunda
untuk mendiskripsikan pengertian obat tradisional dalam bahasa Sunda. Ubar berarti
obat, sedangkan kampung berarti tempat bermukim masyarakat Tatar Sunda dalam
lingkungan yang tradisional. Dengan demikian ubar kampung berarti obat yang
digunakan oleh komunitas Tatar Sunda di tempat bermukim tradisionalnya. Ubar
kampung yang digunakan umumnya berasal dari tumbuhan yang digunakan turuntemurun berdasarkan pengalaman empiris (Moelyono, 2014).
Berikut adalah beberapa kelompok masyarakat adat etnik Sunda diantara
lainnya :
A. Ubar kampung masyarakat adat Baduy

Masyarakat Baduy adalah salah satu kelompok masyarakat berbudaya


tradisional yang tinggal di Desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak, Propinsi Banten. Komunitas ini oleh masyarakat luar sering disebut orang
Baduy, walaupun mereka sendiri menamakan kelompoknya sebagai Urang
Rawayan atau Urang Kanekes (Moelyono, 2014).

Rumah Masyarakat Baduy


Wilayah Baduy Dalam ini hanya boleh dihuni oleh mereka yang mampu
melaksanakan seluruh aturan adat secara sempurna. Baduy luar merupakan
tempat penampungan mereka yang tidak sanggup menjaga kesucian wilayah
Baduy Dalam. Namun, penduduk Baduy luar yang disebut Urang Panamping
tidak lantas menjadi komunitas tersendiri, tetapi mereka tetap menjadi bagian dari
struktur sosial komunitas Baduy secara keseluruhan. Setiap Urang Panamping
harus tetap pada fatwa puun, yaitu kepala adat Baduy yang sekaligus ulama
agama Sunda Wiwitan (Moelyono, 2014).
Dasar religi masyarakat baduy dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah
kepercayaan yang bersifat monoteis, penghormatan kepada roh nenek moyang,
dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yang disebut Sanghiyang Keresa (Yang
Maha Kuasa), atau sering disebut sebagai Batara Tunggal (Yang Maha Esa),
Batara Jagat (Penguasa alam), atau Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib)

yang bersemayam di Buana Nyungcung (Alam atas) Orientasi, konsep, dan


pengamalan

keagamaan

ditujukan

kepada

pikukuh

(ketentuan)

untuk

mensejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai) (Moelyono, 2014).


Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa konsep pemeliharaan kesehatan
komunitas Baduy adalah konsep pemeliharaan kebersihan. Ihwal yang menarik
dari soal kebersihan ini adalah bahwa orang yang boleh masuk Baduy dalam
adalah orang yang sudah disunat, karena menurut mereka sunatan adalah proses
kebersihan. Orang yang tidak disunat tidak dibolehkan memasuki wilayah Baduy
Dalam karena dianggap tidak bersih dan dapat mencemari kesucian (Moelyono,
2014).
Masyarakat adat Baduy menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai obat
untuk menyembuhkan penyakit atau untuk pemeliharaan kesehatan. Untuk
penggunaan tumbuhan sebagai obat mereka mengunakan jasa dukun tradisional
yang disebut jalma pinter (orang pintar) yang memainkan peranan menonjol
karena memiliki pengetahuan luas tentang tumbuhan obat (Moelyono, 2014).
Alat-alat meramu terdiri atas coet batu dan mutu batu, batu bulat atau
lonjong yang berfungsi untuk menghaluskan bahan-bahan ramuan. Pekerjaan
menghaluskan bahan ramuan itu disebut ngaries atau ngarendos. Selain dari batu,
alat ramu juga ada yang terbuat dari logam, bambu, tulang, dan tanduk
(Moelyono, 2014).
Berikut adalah pengobatan tradisional masyarakat adat Baduy :
1. Untuk obat diare, masyarakat adat Baduy menggunakan kulit batang kelapa
hijau (Cocos nucifera) yang dicampur dengan kulit batang durian (Durio
zibethinus), Campuran diseduh dengan air panas kemudian diminum. Selain
itu untuk pengobatan diare, masyarakat adat Baduy menggunakan daun jambu
kulutuk (Psidium guajava) yang dicampur dengan garam, ditumbuk, dan
diminum airnya.

2. Untuk pengobatan diare, masyarakat adat Baduy juga menggunakan daun


harendong (Melastoma malabathricum) yang langsung dikunyah atau
diseduh. Selain itu untuk diare dapat digunakan ramuan yang dibuat dengan
cara menggoreng tanpa minyak (disangray, Sd) dua gelas beras (Oryza sativa)
dan 7 iris koneng temen (Curcuma domestica) hingga hangus, kemudian
ditambahkan 3 gelas air dan 2 gengam daun jambu kulutuk (Psidium
guajava), direbus hingga matang, kemudian disaring. Hasil saringan diminum
pagi dan sore hingga sembuh.

Tanaman Harendong
3. Untuk mengatasi demam, atau penurun panas pada orang dewasa, masyarakat
adat Baduy menggunakan campuran daun rambutan (Nephelum lappaceum)
dan daun sirsak (Annona muricata) yang ditumbuk, diseduh, diminum atau
dikompreskan. Untuk mengatasi demam atau penurun panas pada anak-anak,
masyarakat adat Baduy menggunakan air buah jeruk nipis (Citrus
aurantifolia) yang dicampur madu dan diminum.
4. Untuk menghentikan pendarahan masyarakat adat Baduy menggunakan
campuran daun babadotan (Ageratum conyzoides) dan daun jampang pait
(Paspalum conyugatum) yang ditumbuk dan ditempelkan pada luka.

5. Untuk mereka yang bekerja berat, masyarakat adat Baduy mempunyai ramuan
ubar yang terdiri atas daun kacapi (Sandoricum koetjape), daun ki sabrang
(Peronema canescens), kulit batang lame, umbi lampuyang (Zingiber
amaricans), dan jantung cau (Musa sp) yang dibakar, diembunkan, dan
diperas airnya. Campuran tersebut dibuat ramuan, digodog, disaring. Air
saringan diminum sekali sehari sebelum sarapan.
6. Untuk jamu pasca persalinan, wanita Baduy menggunakan air godogan
rimpang

koneng

temen

(Curcuma

domestica)

dan

daun

senggugu

(Clerodendron serratum ) yang diminum tiap hari hingga kondisi kembali


sehat. Daun seureuh (Piper betle) digunakan sebagai antiseptik untuk bayi
yang baru lahir dengan cara menumbuk daun seureuh, kemudian diletakkan
pada pusar bayi. Air kelapa hijau (Cocos nucifera) digunakan wanita Baduy
untuk memelihara kesehatan kandungan.
7. Dalam mengatasi kasus seringnya terjadi korban akibat gigitan ular atau
tersengat tawon, digunakan air perasan rimpang honje (Nicolaia speciosa),
dengan cara mengompres luka gigitan atau sengatan dengan air perasan
tersebut.
8. Untuk mengatasi gangguan sakit gigi dan sariawan, masyarakat Baduy
mengoleskan getah pohon angsana (Pterocarpus indicus) pada gigi yang sakit
dan pada luka sariawan.
9. Untuk luka bakar, digunakan air bonteng (Cucumis sativus), dengan cara
membasahi luka bakar tersebut dengan air bonteng sebelum luka melepuh.
10. Untuk bengkak karena keseleo atau salah urat, seperti halnya masyarakat
daerah lain masyarakat adat Baduy menggunakan ramuan yang terdiri atas
beras merah (Oryza sativa) dan rimpang cikur (Kaempferia galanga) yang
ditumbuk halus, dicampur air, dan digunakan sebagai popokan di daerah
keseleo
(Moelyono, 2014).
B. Ubar kampung masyarakat adat Kampung Naga

Masyarakat adat Kampung Naga adalah masyarakat yang bermukim di


satu wilayah dengan area sekira 4 hektar, dan dikenal dengan nama Kampung
Naga. Kampung ini merupakan bagian dari Desa Neglasari, Kecamatan Salawu,
Kabupaten Tasikmalaya (Moelyono, 2014).

Kampung Naga
Dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat adat Kampung Naga selain
memanfaatkan pelayanan kesehatan formal di luar kampung, mereka tetap
menjaga ilmu yang diperoleh dari nenek moyang berupa obat dan pengobatan
yang bersumber pada alam. Hal menraik dari masyarakat adat Kampung Naga ini
adalah adanya pengobatan dengan menggunakan pisang sebagai obatnya,
misalnya mereka menggunakan daun pisang muda untuk mengobati sakit
pinggang dan mendinginkan luka bakar, getah pisang untuk mengobati diare,
disentri, dan kencing nanah. Selain itu getah pisang juga digunakan untuk
mencegah kerontokan rambut dan merangsang pertumbuhan rambut. Akar pisang
digunakan untuk melawan lesu, lelah, dan kurang darah. Buah yang belum masak
digunakan untuk makanan penderita kencing manis (Moelyono, 2014).
Berikut adalah pengobatan tradisional masyarakat adat Kampung Naga :

1. Untuk obat batuk, komunitas Kampung Naga menggunakan air batang muda
awi gombong (Gigantochloa apus) yang diambil airnya di pagi hari,
kemudian diminum, atau air batang tadi diseduh dengan jahe (Zingiber
officinale Roxb.) atau cikur (Kaempferia galanga), diminum tiap hari hingga
sembuh.
2. Untuk gangguan perut, masyarakat Kampung Naga menggunakan buah cau
sewu atau cau emas (Musa paradisiaca) yang dibenamkan ke dalam abu
panas (dibubuy, Sd), kemudian diperas, dan airnya diminum. Buah harendong
(Melastoma malabathricum) yang masih muda yang dimakan mentah juga
digunakan oleh masyarakat Kampung Naga untuk mengatasi gangguan sakit
perut. Jika gangguan perut tersebut merupakan gejala tukak lambung, mereka
mengunakan daun sembung (Blumea balsamifera) yang masih segar, atau
daun kering tumbuhan pacing (Costus speciosus).
3. Gangguan diare diatasi dengan menggunakan pucuk daun jambu kulutuk
(Psidium guajava L.), sedangkan disentri diatasi dengan menggunakan pucuk
daun kadu (Durio zibethinus) yang masih segar, atau meminum air rebusan
daun

handeuleum

(Graptophyllum

pictum)

atau

areuy

duduitan

(Drymoglossum heterophyllum).
4. Penyakit panas oleh komunitas Kampung Naga diatasi dengan daun dadap
(Erythrina lithosperma), daun camcau areuy (Cyclea barbata) atau pucuk
daun kadu (Durio zibethinus).
5. untuk obat luka, diantaranya daun antanan (Hydrocotyles asiatica), kulit
batang ki rinyuh (Eupatorium inulifolium), getah cau emas (Musa
paradisiaca) yang diremas atau ditumbuk kemudian ditempelkan pada bagian
luka.
6. Untuk mengatasi gejala demam pada anak-anak, masyarakat Kampung Naga
mempunyai racikan obat yang terdiri atas buah belimbing (Averrhoa bilimbi),
buah muda nangka walanda (Anona montana), daun muda leunca hayam
(Solanum nigrum var. minor), dan daun buntiris (Kalanchoe pinnata), digerus
dan diparut, kemudian dibalurkan ke tubuh.

7. Penyakit kencing batu diatasi dengan ramuan yang terdiri atas godogan akar
kates gandul (Carica papaya), daun alpuket (Persea amercana), daun kumis
ucing (Orthosiphon aristatus), daun meniran (Phylanthus niruri), cecendet
(Physalis angulata), dan daun pecah beling (Sericocalyx crispus). Air
godogan diminum.

Buah Cecendet
8. Untuk menghilangkan noda hitam di wajah (kokoloteun, Sd), masyarakat adat
Kampung Naga menggunakan bedak yang dibuat dari palupuh (bagian yang
menempel pada batang) kawung (Arenga pinnata) yang dibakar hingga
menjadi abu. Abu yang berwarna putih dipakai sebagai bedak.
9. Untuk menghilangkan noda hitam di wajah (kokoloteun, Sd), masyarakat adat
Kampung Naga menggunakan bedak yang dibuat dari palupuh (bagian yang
menempel pada batang) kawung (Arenga pinnata) yang dibakar hingga
menjadi abu. Abu yang berwarna putih dipakai sebagai bedak
(Moelyono, 2014).

DAFTAR PUSTAKA
Moelyono. 2014. Etnofarmasi Edisi I. Yogyakarta: Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai