Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Sinkop atau pingsan merupakan permasalahan yang penting dewasa ini.


Sinkop secara substansial mengakibatkan penurunan kualitas hidup pada semua
dimensi kesehatan terutama pada mobilitas, aktivitas sehari-hari, dan perawatan
diri sendiri. (1)
Sinkop merupakan penyakit yang umum terjadi di masyarakat. Sekitar
20% orang pernah mengalami sedikitnya sekali pingsan dalam hidupnya dan 10%
orang pernah mengalami pingsan lebih dari 1 kali. Sebagian besar penyebab
sinkop yang tidak diketahui penyebabnya merupakan jenis vasovagal sinkop.
Penelitian di Irlandia menyatakan bahwa kunjungan pasien dengan sinkop murni
adalah sebesar 1,1% dari seluruh kunjungan ke instalasi emergensi atau gawat
darurat. Penelitian di Amerika Serikat juga menunjukkan prevalensi 19%
penduduk menderita sinkop, dengan karakteristik usia > 75 tahun (21%) dan 4554 tahun (20%), dan laki-laki dibanding perempuan (15% : 22%).

(1; 2; 3)

Penelitian di Inggris pada tahun 2002-2003 menunjukkan rata-rata hari


perawatan untuk sinkop adalah 6,1 hari.

(4)

Hal ini menunjukkan bahwa sinkop

masih menjadi masalah serius dimana memerlukan suatu keterampilan untuk


menentukan penyebab sinkop tersebut. Dengan ketepatan dalam menentukan
penyebab sinkop tentunya akan membuat penanganan yang dilakukan efektif dan
efisien. Oleh karena itu, penulis ingin mengulas masalah sinkop dari berbagai
sumber agar mempermudah pembelajaran mengenai sinkop.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sinkop adalah hilangnya kesadaran dan tonus postural secara sementara
akibat penurunan dari aliran darah ke otak. Sinkop dapat muncul tiba-tiba, tanpa
tanda-tanda, atau terdapat tanda-tanda akan pingsan (presinkop). Tanda-tanda
presinkop seperti perasaan kepala menjadi ringan, dizziness, perasaan hangat,
diaforesis, mual (nausea), dan pandangan hitam (kebutaan sementara). Gejala
presinkop bervariasi dalam lama terjadinya dan dapat meningkat keparahannya
sampai hilang kesadaran muncul. Gejala presinkop ini dapat tidak berlanjut
menjadi sinkop jika iskemia cerebral dapat diatasi. (5)

2.2. Patofisiologi Sinkop


Tekanan darah sistemik pada keadaan normal diregulasi oleh proses
kompleks yang mencakup sistem muskulus, katup vena, sistem syaraf otonom,
dan sistem renin angiotensin aldosterone. Pengetahuan mengenai proses ini sangat
penting sebagai dasar dari patofisiologi sinkop. Kurang lebih 3 per 4 volum darah
sistemik berada di dalam vena, dan adanya gangguan dalam venous return akan
menyebabkan penurunan dari cardiac output. Aliran darah otak dapat terjadi
dengan baik jika cardiac output dan vasokostriksi arteri sistemik dapat
mengkompensasi

perubahan-perubahan

yang

terjadi.

Jika

tidak

dapat

mengkompensasi maka akan terjadi hipotensi dengan akibatnya berupa penurunan


perfusi cerebral menjadi setengah nilai normal dan timbullah sinkop. (5)
Keadaan tubuh yang normal, penumpukan darah di bagian terendah
tubuh dicegah dengan berbagai mekanisme, yaitu refleks pressor yang
menginduksi vasokonstriksi arteriol dan venula perifer, refleks akselerasi jantung
akibat refleks aorta dan karotis, peningkatan venous return ke jantung sebagai
akibat aktivitas otot tungkai. Pada keadaan abnormal dimana salah satu atau
semua mekanisme tersebut menghilang akan menyebabkan penumpukan darah di
bagian terendah tubuh (vena) dan mengurangi venous return. (5)

2.3. Etiologi Sinkop


Penurunan aliran darah otak biasanya diakibatkan oleh 3 mekanisme
umum, yaitu gangguan tonus vaskular atau volum darah, gangguan kardiovaskular
termasuk lesi obstruktif dan cardiac arrhythmia, atau penyakit cerebrovaskular. (5)

S
n

i
k

G
n
v
a
vv
d

a
a
t
oo
a

t o n u s
s k u l a
a u
ll uu mm
r a h

a
r

o
p
Gambar 1: etiologi sinkop. (5)

2.3.1. Sinkop Neurokardiogenik


Neurocardiogenic sinkop merupakan suatu istilah yang mencakup
vasovagal dan vasodepressor sinkop. Tetapi pada beberapa pembahasan, kedua
istilah ini dibedakan dimana vasovagal sinkop berhubungan dengan sympathetic
withdrawal (vasodilatasi) dan peningkatan aktivitas parasimpatik (bradikardi);
dan vasodepressor sinkop berhubungan dengan sympathetic withdrawal saja.

Sinkop neurokardiogenik dicirikan dengan pingsan berulang dan


ditimbulkan pada suasana panas atau ramai, alcohol, kelelahan, nyeri hebat, lapar,
berdiri terlalu lama, dan keadaan emosi atau stress. Sinkop diawali dengan
keadaan presinkop yang berlangsung dalam detik atau mmenit dan jarang terjadi
pada posisi tidur terlentang. Orang tersebut umumnya duduk atau berdiri
kemudian mengalami kelemahan, mual, berkeringat, kepala terasa melayang,
pandangan kabur, dan palpitasi kemudian akan mengalami penurunan denyut
jantung dan penurunan tekanan darah diikuti kehilangan kesadaran. Orang
tersebut kulit, konjungtiva, dan bibirnya pucat. (5)
Kedalaman dan lama dari ketidaksadaran bervariasi. Ada beberapa yang
masih sebagian merasa keadaan di sekitarnya dan sebagian lagi tidak merasakan
sama sekali. Pasien tidak bergerak dengan otot tubuh relaksasi, tetapi gerakan
klonik menghentak di ekstremitas atau wajah dapat muncul. Denyut nadi teraba
lemah atau tak teraba sama sekali, tekanan darah rendah dan dapat tidak terukur.
Keadaan ini akan membaik ketika pasien dibaringkan. (5)
Sinkop kardiogenik terjadi akibat peningkatan aktivitas simpatis perifer
dan venous pooling. Pada kondisi ini, aliran darah balik menurun dan kosongnya
ventrikel kiri akan mengaktifkan mekanoreseptor otot jantung dan nervus vagus
afferent yang menginhibisi aktivitas simpatis dan meningkatkan aktivitas
parasimpatis. Hasil dari vasodilatasi dan bradikardi menginduksi hipotensi dan
sinkop. Mekanisme lain terjadi pada sinkop neurokardiogenik akibat stimulus rasa
takut, stress, dan nyeri dimana tidak berhubungan dengan venous pooling pada

ekstremitas bawah dan diduga terjadi dengan pengaruh komponen serebral


(peningkatan kadar serotonin mendadak). (5; 6)

2.3.2 Sinkop situasional


Aktivitas seperti batuk, menelan, kencing, dan defekasi dapat memicu
sinkop pada beberapa orang. Sinkop jenis ini mekanisme kerja serupa dengan
sinkop neurokardiogenik, yaitu respons kardioinhibisi, respons vasodepressor,
atau keduanya. Batuk, kencing, dan defekasi dihubungkan dengan maneuver
(serupa dengan maneuver valsava) yang menurunkan venous return. Peningkatan
tekanan intracranial sekunderr akibat peningkatan tekanan intratorakal dapat
menurunkan aliran darah serebral. (5)
Sinkop akibat batuk sering muncul pad seseorang dengan bronchitis
kronis atau penyakit paru obstruktif kronis. Sinkop akibat kencing sering muncul
pada orang tua dengan hipertrofi prostat atau adanya obstruki pada leher kandung
kemih. Sinkop menelan dihubungkan dengan gangguan esophagus terutama
spasme esophagus. Beberapa makanan, minuman dingin atau berkarbonasi
memicu reseptor sensorik pada sofagus yang memicu reflks sinus bradikardi atau
blok AV. Sinkop defekasi dihubungkan denga maneuver valsava pada orang tua
dengan konstipasi. (5)
2.3.3 Hipersensitifitas sinus karotis
Sinkop akibat hipersensitifitas sinus karotis diakibatkan oleh penekanan
pad baroreseptor sinus karotis yang berlokasi di sisi atas dari bifurkasi arteri
karotis komunis. Muncul ketika mencukur jenggot, kerah baju yang ketat, dan

meiringkan atau memalingkan kepala ke satu sisi. Terdapat pada laki-laki usia
lebih dari 50 tahun. Aktivasi dari baroreseptor tersebut disalurkan melalui nervus
Hering (cabang nervus glossofaringeus) ke batang otak. Selanjutnya akan
mengaktivasi nervu vagus dan mengakibatkan blok AV, vasodilatasi, atau
keduanya. (5)

2.3.4 Hipotensi ortostatik


Intoleransi ortostatik merupakan akibat dari hipovolemia atau gangguan
control vascular. Hipotensi ortostatik kdangkala bersamaan dengan sering
berkeringat, impotensi, gangguan sfingter, dan gangguan system otonom lainnya.
Penyebab dari hipotensi ortostatik antara lain gangguan pada nervus perifer
(terutama serabut saraf tak bermielin postganglionic) akibat diabetes, nutrisi, dan
polineuropati amiloid, Parkinson, degenerasi serebral progresif, Guillain-Barre
sindrom, autoimun neuropati. (5)
2.3.5 Gangguan kardiovaskuler
Sinkop kardiak akibat penurunan cardiac output sebaian besar terjadi
akibat aritmia jantung. Pada orang normal, denyut jantung antara 30-180 per
menit tidak menurunkan aliran drah serebral. Pada denyut jantung di bawah 30
atau di atas 180 akan menyebabkan penurunan cardiac output dan akibatnya
terjadi sinkop dan hipoperfusi serebral. Gangguan pada aliran darah ke serebral
misalnya ada sumbatan atau emboli juga dapat menyebabkan sinkop. (5)

2.4. Tes Diagnostik

Pemilihan tes diagnostik ditentukan berdasarkan anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Pemeriksaan elektrolit serum, glukosa, dan hematokrit. Kadar
enzim jantung perlu diperiksa jika kemungkinan terdapat infark myocard.
Pemeriksaan toksikologi darah dan urin diperlukan pada pasien dengan
kecurigaan penggunaan alkohol dan obat-obatan. (5)
Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) diperlukan untuk mendeteksi
adanya gangguan konduksi (pemanjangan PR dan bundle branch blok),
ventrikuler aritmia (gelombang Q patologis dan pemanjangan interval QT). Pada
pasien dengan sinkop berulang dapat dilakukan pemeriksaan EKG kontinyu
dimana pasien dipasang alat EKG secara kontinyu untuk melihat pola EKG ketika
sinkop muncul. (7)
Tes meja miring tegak diindikasikan pada sinkop berulang, sinkop
tunggal yang menyebabkan kecelakaan, sinkop tunggal pada pekerjaan beresiko
tinggi (pilot, supir angkutan umum, dll), atau pada pasien yang tidak memiliki
riwayat sakit jantung atau gejala vasovagal. Pada pasien yang diperiksa, meja
dimiringkan 600-800 akan menginduksi refleks vasovagal dan pasien menjadi
sinkop. Pelaksanaan tes ini dapat dipersingkat melalui pemberian

obat yang

menyebabkan pooling vena atau yang meningkatkan stimulasi adrenergik


(isoproterenol, nitrogliserin, edrophonium, atau adenosin). Sensitifitas dan
spesifisitas dari tes ini sulit untuk ditentukan karena kurangnya data validasi.
Sensifisitasnya berkisar 90% dan sensitifitas berkisar 20-74%, bervariasi menurut
populasi studi, tekhnik yang digunakan, dan ketiadaan dari gold standard. (5)

Pada kasus dengan kecurigaan penyebab cerebrovaskuler, tes pemindaian


otak perlu dilakukan, seperti tes doppler ultrasound pada sistem karotis dan
vertebrobasiler, MRI, magnetic resonance angiografi, dan X-ray angiografi pada
vaskuler cerebral. Elektroencephalografi diindikasikan pada kecurigaan kejang. (5)
2.5. Penatalaksanaan Sinkop
Penatalaksanaan sinkop langsung ditujukan terhadap penyebab dasarnya.
Pasien dengan kehilangan kesadaran harus ditempatkan pada posisi yang
memaksimalkan aliran darah cerebral, perlindungan terhadap trauma, dan
mempertahankan jalan nafas. Jika memungkinkan, pasien diposisikan terlentang
dengan kepala miring ke samping untuk mencegah aspirasi dan sumbatan akibat
lidah. Pemeriksaan nadi dan auskultasi jantung dilakukan terutama pada
bradiaritmia atau takiaritmia. Baju yang ketat di sekitar leher dan pinggang harus
dilonggarkan. Stimulasi perifer, seperti memercikkan air dingin ke wajah, dapat
membantu. Pasien tidak boleh diberikan apapun melalui mulut sampai kesadaran
pulih. (5)
Pasien dengan sinkop berulang juga harus memodifikasi pekerjaan dan
aktivitasnya dan menghindari aktivitas yang apabila sinkop muncul dapat
membahayakan jiwa seperti pendaki tebing, berenang sendirian, berkendara.
Pasien dengan sinkop vasovagal dinstruksikan untuk menghidari factor pencetus
sinkop. Perubahan kebiasaan sehari-hari saja sudah cukup untuk pasien dengan
sinkop jarang dan ringan pada sinkop vasovagal, terutama pada sinkop yang
terjadi akibat stimulus yang spesifik. Latihan kemiringan (berdiri dan bersandar
pada tembok setiap hari dalam jangka waktu lama) telah digunakan dan banyak

berhasil pada pasien dengan intoleransi ortostatik. Sinkop akibat pengurangan


volim darah dapat dicegah dengan konsumsi garam dan air. (5; 7)
Penatalaksanaan sinkop secara farmakologis dapat menggunakan obat
beta adrenergic reseptor antagonis seperti metoprolol dan atenolol meningkatkan
kontraktilitas myocardial dan memblok reseptor serotonin sentral. Penghambat
reuptake serotonin (paroxetine atau sertraline), antidepresan (bupropion SR),
mineralokortikoid (hidroflorokortison meningkatkan retensi garam, meningkatkan
volum darah, dan vasokostriksi perifer melalui peningkatan sensitivitas reseptor
beta), alfa agonis (proamatine) dilaporkan berhasil digunakan pada pasien sinkop.
Sinkop vasovagal diobati dengan obat vagolitik antiaritmia (disopyramide,
skopolamin) tetapi dengan pengawasan yang serius terhadap pasien karena obat
ini memiliki efek samping berupa aritmia ventrikel. (5)

2.6. Diagnosis Banding Sinkop


Sinkop memiliki diagnosis banding meliputi perasaan gelisah, sindrom
hiperventilasi, kejang, hipoglikemia, dan pingsan histerikal. Kegelisahan, seperti
pada serangan panik sering diinterpretasikan sebagai perasaan pusing atau mau
pingsan. Serangan pada sindrom hiperventilasi dapat dicetuskan dengan
hiperventilasi, yang menghasilkan hipokapnea, alkalosis, peningkatan resistensi
cerebrovaskuler, dan penurunan aliran darah otak. (5)
Kejang dapat diawali dengan aura yang kemudian diikuti dengan keadaan
normal secara cepat atau dapat terjadi penurunan kesadaran. Lama terjadinya
ketidaksadaran pada kejang umumnya lebih lama dibandingkan dengan sinkop.

10

Berulangnya kejadian ketidaksadaran pada pasien usia muda lebih dihubungkan


pada epilepsi dibanding sinkop. Serangan histerikal bersifat psikologis dan tidak
ditemukan adanya perubahan pada denyut nadi, tekanan darah, dan warna
mukosa. (5)

11

BAB III
KESIMPULAN

Sinkop adalah hilangnya kesadaran dan tonus postural secara sementara

akibat penurunan dari aliran darah ke otak


Penyebab sinkop secara umum dibagi 3, yaitu gangguan tonus vaskular atau

volum darah, gangguan kardiovaskular, atau penyakit cerebrovaskular


Penatalaksanaan sinkop dapat dilakukan dengan non farmakologis
(modifikasi aktivitas) dan farmakologis

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Sheldon, R, Rose, S and Connolly, S. Prevention of Syncope Trial


(POST): a randomized clinical trial of beta blockers in the prevention
of vasovagal syncope. The European Society of Cardiology. [Online]
2003.
[Cited:
Maret
13,
2010.]
http://europace.oxfordjournals.org/content/5/1/71.full.pdf.
2. McCarthy, F and dkk. Management of syncope in the Emergency
Department: a single hospital observational case series based on the
application of European Society of Cardiology Guidelines. European
Society of Cardiology. [Online] 2008. [Cited: Maret 13, 2010.]
http://europace.oxfordjournals.org/content/5/1/216.full.pdf.
3. Chen, LY and dkk. Prevalence of Syncope in a Population Aged
More Than 45 Years. The American Journal of Medicine. [Online]
Desember
2006.
[Cited:
Maret
22,
2010.]
http://www.amjmed.com/article/S0002-9343(06)00618-8/abstract.
4. Health Grades Inc. Statistics about Syncope. Wrongdiagnosis.
[Online]
Maret
1,
2010.
[Cited:
Maret
22,
2010.]
http://www.wrongdiagnosis.com/s/syncope/stats.htm.
5. Fauci, AS and dkk. Harrison`s Principles of Internal Medicine 17th
Edition. New York : McGraw-Hill`s Access Medicine, 2008.
6. Clinical spectrum of neurally mediated reflex syncopes. Alboni, P
and dkk. Roma : European Society of Cardiology, 2004, Vol. 6.
7. McPhee, SJ. Current Medical Diagnosis and Treatment 2010. New
York : Mc Graw-Hill Companies, 2010.

13

Anda mungkin juga menyukai