Anda di halaman 1dari 5

RELASI HUKUM DAN MORAL

DALAM PERSPEKTIF IMMANUEL KANT DAN HERMAN DOOYEWEERD


Oleh Nanang Nurcholis
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba menerangkan secara singkat apakah hukum dan
moral itu, terutama menurut pemikiran Immanuel Kant dan Herman Dooyeweerd, lalu akan
dicobanya untuk menunjukkan bahwa keduanya saling terkait dengan satu sama lain. Tujuan ini
akan dicapai dengan menyenaraikan dulu untuk menemukan unsur, sifat pemikiran filosofis,
hakekat, dan substansi dari hukum dan moral, dan kemudian menunjukkan perlunya menelutkan
hukum dan moral demi supremasi hukum yang berkeadilan dan bermoral.
Dalam hubungan hukum dan moral, para pemikir sependapat bahwa keduanya memiliki
hubungan yang erat, yaitu hukum seharusnya adalah hukum yang bermoral dan moral adalah
sumber nilai untuk mencapai kebaikan yang secara alamaiah dirindukan oleh manusia. Namun
dalam kenyataannya hukum sering melupakan moral, bahkan dalam pelaksanaannya sering
terjadi pelanggaran moral. Hal ini tentu sangat memprihatinkan.
Pemikiran-pemikiran tentang hukum dan moral telah berlangsung selama berabad-abad
silam, berawal sebelum abad XX yaitu pada zaman para pemikir Yunani dan Romawi, abad
pertengahan, renaissance dan kebangkitan rasionalisme. Perkembangan pemikiran lebih lanjut
terlihat pada hubungan hukum dan moral dalam abad XX yang diperkaya oleh pemikiranpemikiran berbagai aliran dalam filsafat hukum.
Pengertian Hukum dan Moral
Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi tentang hukum.
Sampai saat ini menurut Apeldoom sebagaimana dikutipnya dari Immanuel Kant, para ahli
hukum masih mencari tentang apa definisi hukum (Noch suchen die juristen eine Definition zu
ihrem BegrifJe von Recht). Definisi tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum sangat
beragam, bergantung dari sudut mana mereka melihatnya. Misalnya Ahli hukum Belanda J. van
Kan (1983) mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang
bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat. Pendapat
tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf van Jhering yang menyatakan bahwa hukum adalah
keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen
menyatakan hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku.1
Demikian juga, untuk dapat memahami filsafat hukum Immanuel Kant, pembahasan pada
masalah yang berkaitan dengan moralitas menjadi hal yang sangat penting. Moralitas adalah
sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Dalam metafisika
kesusilaan Kant (1979) ditemukan perbedaan antara legalitas dan moralitas. Legalitas (Legalitat/
Gesetzmassigkeit) menurut Kant dipahami sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian semata-mata
suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka, The agreement or non-agreement of
an action with the Law, without reference to its Motive is its Legality2 Kesesuaian dan ketidaksesuaian belumlah dianggap memiliki nilai-nilai moral, oleh karena dorongan batin sama sekali
diabaikan. Nilai moral baru diperoleh dalam moralitas.
1

Abdul Ghour Anshari, Filsafat Hukum: Sejarah, Aliran, dan Pemaknaan, Cet. I, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2006), hal. 35
2
Immanuel Kant, The Philosophy of Law; An Exposition of the Fundamental Principles of Jurisprudence as The
Science of Right, Translated from German by W. Hastie, B.D (Edinburgh, 1887), hal. 14

Moralitas dalam pandangan Kant selanjutnya dipahami sebagai kesesuaian sikap dan
perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang itu pandang sebagai
kewajiban kita the agreement of an action with Ethical Laws, is its Morality.3 Moralitas
barulah dapat diukur ketika seseorang mentaati hukum secara lahiriah karena kesadaran bahwa
hukum itu adalah kewajiban dan bukan lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum,
melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita.
Menurut Kant, manusia harus bertindak baik, karena manusia wajib untuk itu. Tindakan
moral harus datang dari dalam diri manusia sendiri dan tidak datang dari luar manusia. Etika
yang semacam ini adalah etika yang syarat yang menjamin bahwa kehendak seorang pribadi
disesuaikan dengan kehendak pribadi lain menurut norma umum kebebasan.
Dalam ruang lingkup filsafat etika, Kant termasuk pada filsafat etika aliran deontologi, yaitu
suatu aliran filsafat yang menilai setiap perbuatan orang dan memandang bahwa kewajiban
moral dapat diketahui dengan intuitif dengan tidak memperhatikan konsep yang baik 4. Karena
faham deontologi yang dianutnya, maka Kant berpendapat bahwa perbuatan moral itu dapat
diketahui dengan kata hati, bagi Kant melakukan kewajiban merupakan norma perbuatan baik 5.
Dia mengambil contoh, perbudakan merupakan perbuatan buruk karena memakai manusia
sebagai alat. Mempekerjakan pembantu rumah tangga dengan kasar merupakan perbuatan buruk
pula, karena menjadikan manusia sebagai hewan.
Menurut Immanuel Kant, hukum moral ini hanya berjalan sesuai dengan kata hati, dalam
arti kata hati menjadi syarat bagi kehidupan moral. Supaya moral ini baik, seseorang harus
berbuat dengan rasa wajib. Kant melihat bahwa, sebagaimana alam bisa berjalan dengan tertib,
maka seperti itu pula dengan moral. Hukum moral harus berjalan secara tertib pula.6
Figur fenomenal lain yang juga membahas masalah hukum dan moral adalah Herman
Dooyeweerd yang terkenal dengan filsafat ide kosmonomis. Untuk memulai filsafatnya,
Dooyeweerd berangkat dari perkataan dalam Amsal 4:23, Jagalah hatimu dengan segala
kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan. Kehidupan yang terpancar dari hati yang
telah menyimpang dari penyembahan kepada Tuhan kepada suatu penyembahan kepada ciptaan
(Roma 1:23-25) bukanlah kehidupan yang mulia. Kehidupan yang dijalani manusia di dalam
dosa bahkan dapat disebut sebagai suatu kematian (Efesus 2:1-2). Dari hati manusia terpancar
arah dari tiap-tiap aspek realitas ciptaan Tuhan. Dooyeweerd membagi realitas ke dalam 15
aspek (kuantitatif, spasial, kinematis, fisik, biotik, sensori, logis, historis, linguistik, sosial,
ekonomis, estetis, yustisi, etis, fidusiari) yang saling terkait secara enkaptik. Perlu digaris-bawahi
di sini, pembagian ke dalam 15 aspek ini bukan dikenalkan kepada sisi entitas dari ciptaan, tetapi
pada sisi hukumnya. Menurut filsafat ide kosmonomis Dooyeweerd, ada 15 aspek dari
pengalaman hidup manusia yang semuanya perlu diperhatikan oleh pendidikan agar manusia
dapat memaknai pengalaman hidupnya secara utuh. Secara keseluruhan semua aspek tersebut
saling berelasi.
Dooyeweerd membedakan antara wilayah normatif dan anormatif.7 Hal ini berarti bahwa
aspek-aspek lima yang pertama yaitu kuantitatif, spasial, kinematis, fisik, biotik, sensori adalah
aspek yang anormatif, lingkup hukumnya tak terhindarkan. Manusia dengan kecerdasannya bisa
berupaya untuk memanipulasi aspek-aspek ini, tetapi tidak bisa memilih untuk tidak menaatinya,
3

Ibid
Shelly Kagan, Kantianism for Consequentilist (essay) in Rethinking the Western Tradition, (London: Yale
University Press, 2002), hal. 145
5
Immanuel Kant, Groundwork For the Metaphysics of Morals, hal. 14
6
Ibid, hal. 47
7
Herman Dooyeweerd, Encyclopedia of the Science of Law, Chapter I (translated by J. Glenn Friesen), hal. 9
4

artinya harus mematuhi hukum korelatif mereka. Aspek-aspek 7 hingga 15 yaitu logis, historis,
linguistik, sosial, ekonomis, estetis, yustisi, etis, fidusiari adalah aspek-aspek yang manusia bisa
pilih untuk abaikan dan bahkan nafikan dalam kehidupannya. Inilah aspek-aspek yang
Dooyeweerd klasifikasikan sebagai normatif. Selanjutnya, hukum menjadi norma. Meskipun
norma-norma telah ditetapkan oleh Allah pada prinsipnya dalam struktur dari lingkup masingmasing, mereka harus ditemukan dan diterapkan. Dengan demikian, hukum keadilan atau cinta,
misalnya, tidak mengandung rumusan yang tepat atas mereka makna dalam setiap contoh
konkret. Oleh karena itu, dalam hal ini yurisprudensi adalah ilmu normatif.8
Norma, menurut Herman Dooyeweerd, adalah sesuatu yang berbeda dengan hukum alam.
Hukum alam, seperti gravitasi tidaklah bisa dilanggar; manusia pasti akan jatuh apabila ia
melompat dari tempat yang tinggi. Norma tidaklah demikian, manusia mempunyai kebebasan
untuk mentaati atau melanggar norma tersebut. Tetapi, pelanggaran norma tidaklah bisa lepas
dari sanksi; seperti kelalaian sebuah negara di dalam bidang pertahanan akan mendatangkan
hukuman bagi dirinya di saat perang, demikian juga pelanggaran norma akan mendatangkan
dampak negatif terhadap pelanggarnya pada suatu saat tertentu.9
Dengan demikian hukum dapat didefinisikan sebagai norma-norma yang kompleks yang
mengatur hubungan antara manusia dengan institusinya dengan cara menyeimbangkan secara
seksama kepentingan mereka yang selaras dengan struktur sosial sebagaimana diberikan dalam
penciptaan. Hukum adalah garis batas pemisah Allah dari kosmos. Allah berada di atas hukum,
segalanya tunduk pada hukum. Oleh karena itu, gagasan hukum tidak dapat pernah lepas dari
gagasan sumber hukum dalam kehendak kedaulatan Allah dan ide dari subjek hukum. Hukum
dan subjek adalah istilah yang saling berhubungan:
Law is the boundary line dividing God from the cosmos. God is above law; everything else is
subject to law. The idea of law can thus never be separated from the idea of the source of law
in Gods sovereign will and the idea of the subject of law. Law and subject are correlative
terms.10
Relasi Hukum dan Moral
Sebagaimana kita ketahui, para pemikir sependapat bahwa hukum dan moral memiliki
hubungan yang erat, yaitu hukum seharusnya adalah hukum yang bermoral dan moral adalah
sumber nilai untuk mencapai kebaikan yang secara alamaiah dirindukan oleh manusia. Manusia
yang dianggap patut mendapat pujian dan penghormatan, adalah manusia yang memiliki sifatsifat yang terpuji, dengan kata lain manusia yang bermoral dan beretika. Kata bermoral
mengacu bagaimana suatu masyarakat yang berbudaya berperilaku. Sedangkan beretika
mengacu pada bagaimana seharusnya ia berperilaku11. Orang-orang yang lurus, jujur, terus
terang, dan dapat dipercaya, kata-katanya sesuai dengan perbuatannya, merasa puas dengan apa
yang mereka miliki secara sah, cepat melaksanakan tanggung jawab terhadap orang lain, hidup
dengan damai dan membiarkan orang lain hidup dengan damai, orang yang seperti ini selalu
merupakan inti dari setiap masyarakat manusia yang baik Setiap manusia mempunyai
pengalaman tentang hati nurani dan mungkin pengalaman itu merupakan perjumpaan paling jelas
dengan moralitas sebagai kenyataan.
8

Hebden Taylor, The New Legality in the Light of the Christian (Philosophy of Law), (Presbyterian and Reformed
Publishing Company Philadelphia, 1967), hal. 13
9
Herman Dooyeweerd, Roots of Western Culture:Pagan, Secular, and Christian Option (Toronto: Wedge,
1979), hal. 71-72, 88.
10
Ibid, hal. 10
11
Liek Wilardjo, Ilmu dan Humaniora (artikel) dalam Ilmu dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan Karangan Tentang
Hakekat Ilmu) oleh Jujun S. Suriasumantri, Cet. X, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), hal. 242

Yang dimaksud dengan hati nurani dalam hal ini adalah penghayatan tentang baik atau
buruk berhubungan dengan tingkah laku konkrit kita. Hati nurani ini memerintahkan atau
melarang kita untuk melakukan sesuatu kini dan disini. Ia tidak berbicara tentang yang umum,
melainkan tentang situasi yang sangat konkrit. Hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan
bahwa manusia mempunyai kesadaran untuk mengikuti hal itu. Sifat moral bukanlah sesuatu
yang bersifat lahiriah belaka tetapi merupakan unsur dalam kesadaran kita yang menyertai
kesadaran tentang norma-norma. Sifat moral suatu norma merupakan sifat yang kita sadari
apabila kita masuk ke dalam suatu keadaan dimana norma itu perlu dipergunakan. Oleh karena
itu etika harus bertolak dari fenomena kesadaran moral.
Sedangkan menurut Dooyeweerd, adalah tidak benar ketika kita berfikir bahwa norma
moral sebagai sesuatu yang autonomous dan norma hukum sebagai sesuatu yang heteronomous
yang dikendalikan otoritas eksternal, sementara itu moralitas hanya terikat pada kesadaran
individu. Norma etika tidak hanya ditentukan oleh dan untuk manusia sendiri dalam bingkai
kedaulatan yang independen, tapi seharusnya, sebagaimana norma hukum ditemukan dan berasal
dari petunjuk yang diberikan oleh Tuhan.12
Walaupun demikian, menurut Kant, ada perbedaan antara hukum dan moral. Sah menurut
hukum, belum tentu sah menurut hukum moral. Sah menurut hukum, yang menurut Kant
dinamakan Legalitaet atau Gesetzmaegkeit, adalah suatu tindakan yang mempunyai kesesuaian
atau tidak kesesuaian dengan hukum lahiriah. Akan tetapi tindakan tersebut belum dapat
dikatakan mempunyai nilai moral, karena tindakan itu dapat dipengaruhi oleh keinginan,
meskipun merupakan dorongan batin, misalnya rasa belas kasihan, rasa takut atau ingin
mendapatkan keuntungan. Meskipun tindakan itu baik, namun masih ada motivasi tertentu,
masih ada "pamrih", maka tindakan ini belum dapat dikatan bernilai moral. Perlu dicatat bahwa
tindakan yang belum mempunyai nilai moral, tidak berarti amoral atau bertentangan dengan
moral. Tindakan semacam ini menurut argument Kant dinamakan legalitas, yaitu sesuai dengan
hukum. Suatu tindakan bemilai moral apabila tindakan tersebut dilaksanakan karena orang
merasa wajib dan karena adanya kesadaran untuk melaksanakan kewajiban. Juga tidak karena
adanya tekanan dari luar ataupun karena adanya keinginan tertentu. Inilah yang dinamakan Kant
moralitas.13
Akhirnya, hal yang terpenting dari pemikiran Immanuel Kant dan Dooyeewerd adalah
perlunya mengaplikasikan pemikiran-pemikiran mereka terutama berkaitan dengan hukum dan
moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di Indonesia. Apabila hal ini terwujud,
tentunya kita akan menjumpai manusia-manusia, terutama para pejabat dan birokrat yang pada
hakikatnya sebagai pembuat hukum (legislator) yang bermoral, beretika dan taat pada hukum,
bukan sebaliknya legislator yang justru tidak bermoral dan melanggar hukum seperti yang sering
kita jumpai saat ini.
ACUAN

12
13

Kant, Immanuel

: The Philosophy of Law; An Exposition of the Fundamental


Principles of Jurisprudence as the Science of Right, Translated
From German by W. Hastie, B.D (Edinburgh, 1887)

Kant, Immanuel

: Groundwork for the Metaphysic of Morals, 2005

Hebden Taylor, Op.Cit., hal. 16


Abdul Ghofur Anshari, Op.Cit., hal. 83

Dooyeweerd, Herman

: Encyclopedia of the Science of Law, Chapter I (translated


by J. Glenn Friesen)

Dooyeweerd, Herman

: Roots of Western Culture: Pagan, Secular, and Christian Option


(Toronto: Wedge, 1979)

Kagan, Shelly

: Kantianism for Consequentilist (essay) in Rethinking the Western


Tradition, (London: Yale University Press, 2002)

Taylor, Hebden

: The New Legality in the Light of the Christian


(Philosophy of Law), (Presbyterian and Reformed Publishing
Company Philadelphia, 1967)

Anshari, A.Ghofur

: Filsafat Hukum: Sejarah, Aliran, dan Pemaknaan, Cet. I


(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006)

Suriasumantri, Jujun

: Ilmu Dalam Perspektif (Sebuah Kumpulan Karangan Tentang


Hakekat Ilmu), Cet. X, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989)

Anda mungkin juga menyukai