REFERAT Korioamnionitis
REFERAT Korioamnionitis
Gambar 1.1
Selaput amnion merupakan jaringan avaskular yang lentur tetapi kuat. Bagian dalam
selaput yang berhubungan dengan cairan merupakan jaringan sel kuboid yang berasal dari
ectoderm. Jaringan ini berhubungan dengan lapisan interstisial dan mengandung kolagen I, III,
dan IV. Bagian luar dari selaput ialah jaringan mesenkim yang berasal dari mesoderm. Lapisan
amnion ini berhubungan dengan korion Laeve.(2)
Selaput amnion juga meliputi tali pusat. Sebagian cairan berasal dari difusi pada tali
pusat. Pada kehamilan kembar dikorionik-diamniotik terdapat selaput amnion dari masingmasing yang kemudian bersatu. Namun, ada jaringan koroin leave di tengahnya (pada USG
tampak sebagai huruf Y, pada awal kehamilan); sedangkan pada kehamilan kembar dikorion
monoamniotik (kembar satu telur) tidak akan ada jaringan korion di antara kedua amnion (pada
USG tampak gambaran huruf T).(2)
Pecahnya ketuban berkaitan dengan kekuatan selaput. Pada perokok dan infeksi terjadi
pelemahan pada pada ketahanan selaput sehingga pecah. Pada kehamilan normal kadang
2
ditemukan sedikit makrofag. Pada saat persalinan, leukosit akan masuk kedalam cairan amnion
sebagai reaksi terhadap peradangan. Pada kehamilan normal tidak ada IL-1B, tetapi pada
persalinan pretem IL-1B akan ditemukan. Dikarenakan terjadinya infeksi.(2)
Amnion berkembang dari delaminasi sitotrofoblas sekitar hari ke-7 atau ke-8
perkembangan ovum normal atau pada dasarnya berkembang sebagai ekstensi dari ekstoderm
janin. Dimulai sebagai vesikel kecil, amnion berkembang menjadi sebuah kantong kecil yang
menutupi permukaan dorsal embrio. Ketika amnion membesar, perlahan-lahan kantong ini
meliputi embrio yang sedang berkembang yang akan prolaps kerongganya. Distensi kantong
amnion akhirnya mengakibatkan kantong tersebut menempel dengan bagian interior korion.
Amnion dan korion, walaupun menempel tidak pernah berhubungan erat dan biasanya dapat
dipisahkan dengan mudah bahkan pada waktu aterm. Amnion normal mempunyai tebal 0,02-0,5
mm. Volume rata-rata yaitu 1 liter, banyaknya dapat berbeda-beda, pada minggu ke-36
banyaknya 1030 cc, minggu ke-40 banyaknya 790 cc dan pada minggu ke-43 sudah berkurang
menjadi 240 cc. Jika banyaknya lebih dari 2 liter dinamakan Polyhidramnion atau Hidramnion
kalau terlalu sedikit kurang dari 500 cc disebut Oligohidramnion. Cairan amnion merupakan
bantalan bagi fetus akibat trauma dengan memperhalus dan menghilangkan kekuatan benturan
dan memungkinkan pergerakan yang bebas bagi perkembangan sistem muskuloskeletal. Cairan
amnion yang normalnya berwarna putih, akan menjadi agak keruh lalu berkumpul di dalam
rongga amnion kemudian jumlahnya bertambah banyak selama kehamilan lanjut sampai
mendekati aterm dan normalnya akan berkurang pada saat aterm. Cairan amnion reaksinya
alkalis dengan BJ 1.008, komposisinya terdiri dari 99 % air, sisanya albumin, urea, asam urea,
kreatinin, sel-sel epitel, rambut lanugo, verniks kaseosa dan garam organik. Secara makroskopis
berbau amis, adanya lanugo, rambut, dan verniks kaseosa, bercampur mekonium. Secara
mikroskopis terdapat lanugo dan rambut, melalui pemeriksaan laboratorium dapat dilihat kadar
urea (ureum) lebih rendah dibanding dengan air kencing. (5)
blastocyst disebut embryoblast yang terletak pada satu kutub, dan sel yang ada di luar disebut
trofoblast.(6)
Gambar 1.2
Mencapai umur embrio hari ke 8, blastocyst telah menempel sebagian pada stroma
endometrium. Trofoblast kemudian berdiferensiasi menjadi 2 lapis: (1) lapisan dalam adalah sel
mononukleus yang disebut cytotrofoblast dan (2) lapisan luar dengan sel multinukleus yang
disebut sinsitiotrofoblast.(6)
Embrioblast juga berdiferensiasi menjadi 2 lapis: (1) lapisan dengan sel kuboid yang
masuk ke dalam kavitas blastocyst, yang dikenal sebagai lapisan hypoblast, dan (2) lapisan
dengan sel silindris yang berada pada kavitas amnion yang disebut lapisan epiblast. Sel epiblas
yang masuk ke dalam cytotrofoblast disebut amnioblast, bersama dengan epiblast, mereka
membentuk ruang amnion. (6)
Gambar 1.3
Pada hari 11 dan 12, populasi sel baru mulai terbentuk diantara permukaan dalam
cytotrofoblast dan lapisan luar kavitas eksokoelomik. Sel-sel ini berasal dari sel yolk sac,
membentuk jaringan konektif yang disebut ekstraembrionik mesoderm, yang kemudian akan
mengisi ruang antara bagian luar trofoblas dan amnion serta bagian dalam membrane
4
eksokoelomik. Sesaat kemudian, akan terbentuk ruang yang besar pada ekstraembrionik
mesoderm, dan ketika confluent, mereka membentuk ruang baru yang disebut ruang
ekstraembrionik atau ruang korion. (6)
Gambar 1.4
Pada hari ke 13, hipoblast memproduksi sel yang bermigrasi di membrane eksokoelomik.
Kemudian sel ini berproliferasi dan bertahap membentuk ruang baru yang disebut secondary
yolk sac atau definitive yolk sac. Ketika masa pembentukannya, sebagian besar ruang
eksokoelomik terpisahkan dan biasanya ditemukan di dalam ruang korion. Pada waktu yang
sama, ekstraembrionik coelom meluas, dan membentuk ruang, yaitu ruang korion. Mesoderm
ekstraembrionik yang berada di dalam cytotrofoblast kemudian disebut korion plate. Satusatunya daerah dimana mesoderm ekstraembrionik dapat berhubungan dengan ruang korion
adalah melewati stalk penghubung (connecting stalk). Yang kemudian berkembang menjadi
pembuluh darah, dan stalk akan menjadi tali pusat. (6)
Gambar 1.5
Pada minggu pertama perkembangannya, vili menutupi seluruh permukaan korion.
Ketika kehamilan berlanjut, vili dari kutub embrionik tumbuh dan meluas sehingga membentuk
korion frondosum (bushy chorion). Vili pada kutub abembrionik berdegenerasi, dan menginjak
usia kehamilan 3 bulan, daerah korion ini disebut chorion leave, yang halus. Perkembangan
selanjutnya, chorion leave ini akan bersentuhan dengan dinding uterus di sisi baliknya uterus,
dan kemudian keduanya akan berfusi/ menyatu. Korion frondosum bersama dengan desidua
basalis akan membentuk plasenta. Sedangkan penyatuan antara amnion dan korion akan
membentuk membrane amniokorionik yang akan mengisi ruang korion. (6)
Ruang amnion diisi oleh cairan jernih yang diproduksi oleh sel amnion tapi dipengaruhi
terutama dari darah ibu. Jumlah cairan meningkat dari 30 mL pada 10 minggu pertama sampai
mencapai 450 mL pada umur 20 minggu, kemudian 800 sampai 1000 mL pada minggu ke 37.
Pada kehamilan bulan pertama, embrio ditahan oleh tali pusat yang berada pada cairan ini,
sehingga melindunginya dari trauma. Volume cairan amnion tergantikan setiap 3 jam. Pada awal
bulan ke 5, fetus dapat menelan cairan amnion dan diperkirakan dapat minum sampai 400mL
perhari, sekitar setengah dari jumlah total. Urine dari fetus menambah volume cairan amnion
setiap harinya pada bulan ke 5 kehamilannya, tapi urinnya hanya terdiri dari air, karena placenta
yang akan berfungsi sebagai pertukaran sisa metabolisme. (6)
6
BAB II
DEFINISI KORIOAMNIONITIS
Korioamnionitis merupakan infeksi jaringan membarana fetalis beserta cairan amnion
yang terjadi sebelum partus sampai 24 jam post partum. Insidensi dari chorioamnionitis adalah 1
5% dari kehamilam aterm dan sekitar 25% dari partus preterm.(2)
Korioamnionitis adalah perdarangan ketuban, biasanya berkaitan dengan pecah ketuban
lama dan persalinan lama. Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana
korion, amnion, dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan
komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan berlanjut menjadi sepsis. Korioamnionitis
8
tersamar (silent), yang disebabkan oleh beragam mikroorganisme, baru-baru ini muncul
sebagai salah satu penjelasan kasus-kasus pecah ketuban, persalinan premature, atau keduanya.
Korioamnionitis meningkatkan morbiditas janin dan neonatus secara bermakna. Secara spesifik ,
sepsis neonatus, distress pernapasan, perdarahan intraventrikel, kejang, leukomalasia
periventrikel, dan palsi serebral lebih sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan
korioamnionitis.(1)
Gambar 2.1
BAB III
ETIOLOGI
Infeksi pada membran dan cairan amnion dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang
bervariasi. Bakteri dapat ditemukan melalui amniosintersis transabdominal sebanyak 20% pada
wanita dengan persalinan preterm tanpa manifestasi klinis infeksi dan dengan membrane fetalis
yang intak (Cox dan rekan kerja, 1996; Watts dan kolega, 1992). Produk viral juga ditemukan
(Reddy and colleagues, 2001). Infeksi tidak terbatas pada cairan amnion.(3)
Penyebab korioamnionitis adalah infeksi bakteri yang terutama berasal dari traktus
urogenitalis ibu. Secara spesifik permulaan infeksi berasal dari vagina, anus, atau rektum dan
9
BAB IV
PATOGENESIS
Patogenesis korioamnionitis disebabkan oleh organisme yang menginfeksi korioamnion
dan atau tali pusat lalu menjalar ke plasenta. Mulainya infeksi biasanya disebabkan oleh infeksi
secara retrograde atau ascending dari traktus genitalia bawah (cervix dan vagina). Penyebaran
secara hematogen atau tranplacental dan infeksi iatrogenic karena komplikasi dari amniosintesis
atau sampling korionik villous jarang menimbulkan infeksi. Infeksi anterograde bermula dari
peritoneum via tuba falopi. Adanya infeksi dari mikroorganisme memicu respon inflamasi dari
maternal dan fetal sehingga melepaskan kombinasi proinflamasi dan inhibisi sitokin dan
10
chemokines dari ibu dan janinnya. Respon inflamasi mungkin menimbulkan tanda-tanda
korioamnionitis dan atau dapat memicu pelepasan prostaglandin, pematangan servik, perlukaan
membrane dan persalinan aterm atau preterm pada umur kehamilan dini. Selain dapat
menimbulkan infeksi dan sepsis pada fetus, respon inflamasi fetus dapat menimbulkan kerusakan
pada serebral pada white matter, yang akhirnya dapat menyebabkan cerebral palsy dan kelainan
neurological jangka pendek dan jangka panjang lainnya. (3)
Mekanisme pertahanan tubuh tidak bisa secara adekuat mencegah infeksi intramnion,
namun mekanisme pertahanan local memerankan peran penting dalam pencegahan infeksi.
Mucous plug yang terdapat di cervical serta mucous yang terdapat di placenta dan membrannya
memberikan perlindungan barier untuk mencegah infeksi dari carian amnion dan fetus.
Lactobacillus yang memproduksi peroxide dan berkoloni di jalan lahir yang merupakan flora
normal juga dapat menahan virulensi mikroorganisme pathogen. (3)
Bagan 4.1
11
Gambar 4.1
BAB V
MANIFESTASI KLINIS
Koriomnionitis tidak selalu menimbulkan gejala. Bila timbul gejala antara lain demam,
nadi cepat, berkeringat, uterus pada perabaan lembek, dan cairan berbau keluar dari vagina.
Diagnosis korioamninitis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik, gejala-gejala tersebut di atas,
kultur darah, dan cairan amnion. Kesejahteraan janin dapat diperiksa dengan ultrasound dan
kardiotokografi.(2)
Korioamnionitis secara klinis bermanifestasi sebagai demam pada ibu dengan suhu 38
celcius atau lebih, biasanya berkaitan dengan pecah ketuban. Demam pada ibu selama persalinan
atau setelah ketuban pecah biasanya disebabkan oleh korioamnionitis kecuali dibuktikan lain.
Demam sering disertai oleh takikardi ibu dan janin, lokia berbau busuk, dan nyeri tekan fundus.
Leukositosis material semata-mata tidak dapat diandalkan untuk mendiagnosis korioamnionitis.(3)
Parameter klinis yang digunakan untuk mendiagnosis korioamnionitis
12
Demam
Temperatur > 38 C
Maternal Takikardi
>100/menit
Fetal Takikardi
>160 / menit
Lochea
BAB VI
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji laboratorium untuk diagnosis seperti pemeriksaan hapusan Gram atau kultur pada
cairan amnion biasanya tidak dilakukan. Pemeriksaan amniosentesis biasanya dilakukan pada
persalinan preterm yang refrakter (supaya dapat diputuskan apabila tokolisis tetap dilanjutkan
atau tidak) dan pada pasien yang PROM (apakah induksi perlu dilakukan). Indikasi lain dari
amniosentesis adalah untuk mencari differential diagnosis dari Infeksi intramnion, prenatal
genetic studies, dan memperediksi kematangan paru. (3)
Kultur
Pertumbuhan mikroba
Pewarnaan gram
Kadar glukosa
<15 mg/dl
13
IL-6
>7,9 mg/ml
Matrix metalloproteinase
Hasilnya positif
Jumlah leukosit
>30/mm
Leukosit esterase
Positif (dipstick)
Tabel 6.1
BAB VII
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan korioamnionitis terdiri atas pemberian antimikroba, antipiretik, dan
pelahiran janin, sebaiknya melalui vagina. Terapi antibiotik harus dapat memberi perlindungan
terhadap lingkungan polimikroba yang terdapat di vagina dan serviks. Salah satu regimen
korioamnionitis adalah ampicilin 2 g IV setiap 6 jam atau 3 x 1000 mg, dan gentamisin, 2 mg/kg
dosis awal serta selanjutnya 1,5 mg/kg intravena setiap 8 jam atau 5mg/kgBB/hari.
Klinadamisin, 900 mg setiap 8 jam, dapat diberikan apabila pasien direncanankan untuk operasi
sectio caesar. Untuk pasien dengan alergi terhadap penisilin dapat diberikan vancomycin.
Antibiotik biasanya dilanjutkan setelah persalinan sampai wanita yang bersangkutan tidak
demam dan asimptomatik selama 24 48 jam post partum.(2)
Bila janin telah meninggal upayakan persalinan pervaginam, tindakan perabdominam
(seksio sesarea) cenderung terjadi sepsis. Lakukan induksi atau akselerasi persalinan. (2) Berikan
uterotonika supaya kontraksi uterus baik pasca persalinan. Hal ini akan mencegah / menghambat
invasi mikroorganisme melalui sinus-sinus pembuluh darah pada dinding uterus.(3)
14
BAB VIII
KOMPLIKASI
7.1 Komplikasi Maternal
Chorioamnionitis dapat meningkatkan 2-3 kali lipat persalinan secara perabdominan dan
2-4 kali lipat terjadinya endomyometritis, infeksi perlukaan, abses pelvik, bakteremia, dan post
partum hemorragic. Peningkatan terjadinya post partum hemorrage kelihatannya disebabkan oleh
kontraksi uterus yang disfungsional karena adanya inflamasi. 10% ibu dengan korioamnionitis
memiliki hasil kultur darah yang positif (bakteremia) sebagian besar oleh bakteri GBS dan
E.coli. Namun komplikasi lainnya seperti DIC, ARDS, septic shock, kematian maternal jarang
terjadi.(3)
7.2 Komplikasi Fetus
Paparan infeksi pada fetus dapat menimbulkan kematian fetus, sepsis neonatus, dan
beberapa komplikasi postnatal lainnya. Respon fetus terhadap infeksi yang disebut Fetal
Inflammatory Response Syndrome (FIRS) dapat menyebabkan komplikasi berikut ini. FIRS
merupakan kebalikan proses dari Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Karena
parameternya hampir sama dengan SIRS, maka agak sulit membedakannya dengan yang terjadi
15
pada fetus, FIRS sebenarnya dapat dideteksi bila terjadi peningkatan IL-6 pada darah umbilical
(tali pusat) yang biasanya didapatkan pada persalinan preterm dan PPROM namun kadang dapat
muncul pada umur kehamilan aterm. Penunjuk histopatologik dari FIRS adalah funisitis dan
korionik vaskulitis. FIRS sekarang dikenal sebagai representasi respon pertahanan fetus terhadap
infeksi atau mediasi perlukaan yang dapat melepas sitokin dan chemokines seperti interleukins,
TNF-alpha, C-reactive protein, dan matriks melloproteinases. FIRS juga dihubungkan dengan
persalinan preterm yang dapat menimbulkan kematian dan berhubungan pada neonatus preterm
dengan kegagalan multi organ, termasuk penyakit paru kronis, leukomalasia periventrikular dan
cerebral palsy. Meski FIRS dapat ditimbulkan oleh inflamasi non infeksis, namun manifestasinya
biasanya lebih terlihat pada proses infeksi. Meski kontoversial, paparan fetus pada mycoplasma
genital ( U. Urealyticum dan M. Hominis) memiliki hubungan dengan sindrom respon sistem
inflamasi, pneumonia.(3)
7.3 Komplikasi jangka panjang untuk neonatus
Neonatus yang terpapar oleh infeksi intrauterin dan inflamasi dapat menampakkan efek
advers saat atau segera setelah lahir. Efek advers yang muncul termasuk kematian perinatal,
asfiksi, sepsis neonatus dini, septic shock, pneumonia, intraventrikular hemorrhagic (IVH),
kerusakan serebral di white matter, dan kelumpuhan jangka panjang termasuk cerebral palsy.(3)
16
BAB IX
PROGNOSIS
Usahakan diagnosis dini untuk korioamnionitis. Hal ini berhubungan dengan prognosis,
segera lahirkan janin. Bila kelahiran prematur, keadaan ini akan memperburuk prognosa janin.(2)
Hasil penelitian Alexander JM, Gilstrap LC, Cox SM, McIntire DM, dan Leveno KJ
menunjukkan adanya hubungan antara indeks korioamnionitis dan beberapa klinis morbiditas
neonatal pada bayi berat badan lahir sangat rendah. (4) Korioamnionitis tampaknya membuat bayi
berat lahir sangat rendah sangat rentan terhadap kerusakan neurologis. Komplikasi jangka
pendek bagi neonatus yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis adalah resiko infeksi tinggi.
Morbiditas kelainan neurologi pada neonatus lebih dikarenakan komplikasi pada saat persalinan,
bukan karena komplikasi karena korioamnionitis.(4)
Segera berikan antibiotika profilaksis pada neonatus yang lahir dari ibu dengan
korioamnionitis. Sehingga dapat memberikan prognosa yang baik bagi neonatus. Ibu dengan
korioamnionitis yang tidak segera melahirkan anaknya dapat meningkatkan morbiditas
terjadinya sepsis bagi ibu. Sehingga prognosa buruk dapat didapatkan oleh ibu yang tidak dapat
melahirkan segera bayinya.
17
BAB X
PENCEGAHAN
Manajemen dari Preterm Premature Rupture Membrane (PPROM) adalah penyebab
utama terjadinya korioamnionitis. Pemberian antibiotik profilaksis atau latency, biasanya
ampicillin dan eritromisin telah diuji dalam menurunkan angka kematian neonatus, penyakit paru
kronis,atau hasil ultrasound cerebral yang abnormal. Antibiotic telah menunjukkan menurunkan
insiden korioamnionitis dan sepsis neonatus dan pada persalinan dengan partus lama dengan
ketuban pecah dini kecuali pada persalinan fase aktif dengan ketuban utuh. Amoksisilin /
klavulanik kombinasi antibiotic harus dihindari untuk indikasi ini karena potensial meningkatkan
resiko necrotizing enterocolitis.(3)
Percobaan lain besar yang dilakukan oleh Institut Kesehatan Nasional dan Pembangunan
Manusia Maternal-Fetal Medicine Unit (NICHD MFMU) jaringan di akhir 1990-an
menyarankan untuk memberi eritromisin dalam mengurangi hasil perinatal yang merugikan
termasuk kematian perinatal dan morbiditas serta infeksi maternal. Tidak ada tindak lanjut
jangka panjang dari studi ini. Standar yang biasa di AS tetap memberikan antibiotik spektrum
luas biasanya melibatkan makrolida (eritromisin atau azitromisin) dan ampisilin selama 7-10 hari
melalui intravena (2 hari) diikuti oleh rute oral. Induksi persalinan dan kelahiran dini untuk
18
PPROM setelah usia kehamilan 34 minggu dianjurkan, karena dibandingkan dengan manajemen
infeksi saat masih hamil, melahirkan dengan cepat dapat mengurangi infeksi ibu dan
mengurangi perawatan intensif pada neonatal tanpa meningkatkan morbiditas dan mortalitas
perinatal. (3)
Namun kini sedang berlangsung uji coba untuk mengetahui manfaat dari induksi
persalinan sebelum 37 minggu dalam kasus PPROM. Pada ketuban pecah dini (> 18 jam),
antibiotik profilaksis tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan pada ibu yang tidak terinfeksi
GBS, namun CDC merekomendasikan terapi profilaksis untuk GBS jika status GBS tidak
diketahui. Dalam salah satu uji coba secara acak penggunaan antibiotik profilaksis intrapartum
(ampisilin / sulbaktam) pada ibu hamil dengan air ketuban bercampur mekonium, dapat
menurunkan risiko korioamnionitis.(3)
DAFTAR PUSTAKA
Diunduh
tanggal
15
Januari
2013.
Pada
website
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3008318/
4. JM, Alexander. Chorioamnionitis and the prognosis for term infants. (home page on the
internet) Diunduh tanggal 20 Januari 2013. Pada website
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10432142
5. En.wikipedia.org. Amnion. (homepage on the internet). Diunduh tanggal 20 Januari 2013.
Pada website http://en.wikipedia.org/wiki/Amnion
6. Sadler, T.W. Langmans Medical Embryology, 12 nd. 2012: chapter 8. Baltimore,
Maryland: Lippincott Williams & Wilkins
19
20