PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014 PDF
PEDOMAN Tatalaksana Cedera Otak 2014 PDF
Editor:
Joni Wahyuhadi
Wihasto Suryaningtyas
Rahadian Indarto Susilo
Muhammad Faris
Tedy Apriawan
Tim Neurotrauma
RSU Dr. Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya, 2014
Sekretariat Neurotrauma:
SMF/ Departemen Ilmu Bedah Saraf
RSU dr. Soetomo FK Universitas Airlangga
Jl. Mayjen Prof. Drg. Moestopo 6 8
Surabaya
Telp: 031-5501325/ 5501304
Fax: 031-5025188
e-mail: nssbaya@gmail.com
SAMBUTAN
DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Dr. SOETOMO, SURABAYA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat Nya, Tim Neurotrauma RSUD Dr. Soetomo
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya,
dapat menerbitkan buku Pedoman Tatalaksana Cedera
Otak edisi kedua tahun 2014.
Penyusunan buku pedoman ini adalah langkah maju
untuk menjawab tantangan di bidang pelayanan,
pendidikan, penelitian dan pengembangan. Di bidang
pelayanan, pedoman ini dapat dimanfaatkan di setiap
institusi yang berhubungan dengan penanganan cedera
otak, sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan
dan menurunkan angka kecacatan dan kematian akibat
cedera otak.
Rumah sakit dr. Soetomo selain memberikan pelayanan kepada masyarakat luas,
juga merupakan tempat pendidikan baik bagi tenaga medis maupun paramedis,
mulai dari jenjang diploma hingga spesialisasi. Besar harapan kami bagi seluruh
peserta didik untuk dapat memanfaatkan pedoman ini dengan baik sehingga proses
pendidikan dapat berjalan sinergis dengan pelayanan yang prima.
Pedoman ini berdasar evidence base medicine dan disusun sedemikian rupa
sehingga memberi peluang besar untuk pengembangan dan penelitian lebih lanjut.
Beberapa fenomena kasus cedera otak masih mengundang pertanyaan yang saat ini
belum semuanya terjawab dengan jelas.
Kami berharap hasil kerja kerja keras ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi
para klinisi yang memberi pelayanan, para konsultan, dan peserta didik dokter
spesialis, dokter muda serta paramedis dalam memberikan pelayanan terbaik dan
kemajuan di masa mendatang.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Direktur
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya
SAMBUTAN
DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
AIRLANGGA SURABAYA
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat rahmat-Nya Tim Neurotrauma RSU Dr. Soetomo
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya dapat
menerbitkan buku Pedoman Tatalaksana Cedera Otak,
edisi kedua yang disusun berdasarkan Evidence Base
Medicine (EBM).
Pesatnya kemajuan ilmu dan tehnologi di bidang ilmu
kedokteran, membawa perubahan yang mendasar pada
pelayanan dan pendidikan khususnya bidang bedah syaraf.
Cedera Otak adalah salah satu kasus emergency bidang
bedah syaraf yang membutuhkan penanganan yang cepat,
tepat, dan akurat.
Pelayanan yang bermutu, yang didukung dengan pedoman baku yang ilmiah,
merupakan bagian dari proses pendidikan yang sangat bermanfaat bukan hanya
bagi pasien tetapi juga bagi peserta didik. Dalam sinergisme sistim pelayanan dan
pendidikan yang terpadu ini, dipastikan akan muncul hal baru yang memberi lahan
bagi pengembangan dan penelitian terutama di bidang neurotrauma.
Besar harapan saya bahwa buku pedoman ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya
oleh mahasiswa kedokteran, dokter, peserta didik pendidikan spesialis, dokter
spesialis, perawat, peserta didik keperawatan dan semua pihak yang terkait dalam
proses pelayanan dan pendidikan. Pengembangan dan penyempurnaan ilmu yang
telah ada selalu saya harapkan dan saya dukung untuk memperluas khazanah dan
wawasan keilmuan.
Kepada semua pihak yang telah bekerja keras menyiapkan dan menerbitkan buku
pedoman ini, saya sampaikan penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya.
Semoga bermanfaat dan terus berupaya mengembangkan keilmuan yang dimiliki
demi kemanusiaan. Terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya
KATA PENGANTAR
Cedera otak sampai saat ini masih menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian
para dokter, khususnya yang berkecimpung dalam bidang neurotrauma dan
perawatan gawat darurat.
Problem utama pada cedera otak adalah tingginya angka kecacatan dan kematian.
Angka kematian di RSUD,Dr.soetomo tahun 2002 s/d 2006 berkisar antara 6 %
sampai 12 % keadaan ini lebih tinggi dibanding dibeberapa senter di luar negeri
yaitu antara 3-8 %. Hal yang mengembirakan angka mortalitas ini terus menurun
dari tahun ke tahun dan pada tahun 2013 sebesar 7,1 %. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah, cedera otak banyak terjadi pada usia produktif yang tentu akan
sangat mempengaruhi produktfitas dan kemajuan bangsa.
Upanya memberikan pelayanan yang prima dan meningkatkan pengetahuan serta
ketrampilan bagi para klinisi, sejawat dokter bedah saraf di pusat pelayanan
kesehatan di daerah dan para peserta didik program spesialis bedah umum, bedah
saraf, saraf dan aneatesi serta para dokter muda dan tenaga para medis, maka kami
susun buku pedoman ini yang berbasis ilmiah, dengan sistematika yang mudah
dipahami. Buku ini dapat sebagai acuan dalam mengambil keputusan yang cepat
dan tepat pada saat yang tepat dalam menangani penderita cedera otak. Kecepatan
dan ketepatan adalah faktor utama untuk menurunkan angka kecacatan dan
kematian akiba cedera pada susunan saraf.
Semoga ALLAH SWT memberikan hidayah dan rahmadNYA sehingga tujuan mulya
penyusunan pedoman ini dapat tercapai dan dapat memberikan manfaat demi
kemanusiaan.
DAFTAR ISI
SUSUNAN TIM NEUROTRAUMA
SAMBUTAN
Direktur RSU. Dr Soetomo Surabaya
Dekan Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN
I. PENDAHULUAN
III.3.1 Anamnesis
10
III.4 Observasi
11
11
12
12
13
13
13
14
15
15
16
17
18
18
22
26
Ventrikel
V.4. Rekomendasi Penggunaan Analgetik
28
31
33
37
V.8. Rekomendasi Penggunaan Gastric Mucosal Protector dan Acid Suppresor Agent
40
42
44
47
49
50
50
52
56
58
60
63
65
65
66
72
72
75
80
83
87
VIII.6. Peran Hiperventilasi pada Tatalaksana Akut Pasien Pediatrik dengan COB
89
91
99
IX. PENUTUP
103
Cover dalam : Operasi Kepala. Dikutip dari Wilkins RH dan Rengachary SS (Eds). Neurosurgery. 2nd
edition. McGraw-Hill. New York, 1996
DAFTAR SINGKATAN
CBF
CMRO2
COB
COR
COS
CPP
CSF
CSS
CT Scan
EDH
: Epidural Hematoma
EVD
GCS
HCU
ICP
: Intracranial Pressure
IRD
KRS
LCT
LCU
MAP
MCT
MRS
NSAID
PPI
RCT
ROI
SDH
SRMD
TBI
TIK
AAN
I. PENDAHULUAN
Cedera otak masih merupakan problem yang banyak dihadapi oleh ahli bedah saraf,
dan di Indonesia masih menjadi penyebab utama dari kecacatan, kematian dan
biaya tinggi. Perkembangan pengetahuan mengenai patofisiologi dan tatalaksana
cedera otak, sangat pesat pada dekade terakhir ini. Salah satu konsep sentral yang
didasarkan pada penelitian laboratorium, klinis dan biomolekuler serta genetika,
bahwa kerusakan neurologis tidak hanya terjadi pada saat terjadinya impak cedera,
melainkan berkembang pada jam-jam dan hari-hari berikutnya. Kerusakan
sistim
Cedera otak atau sering disebut neurotrama, masih merupakan masalah yang serius
di RSUD dr Soetomo. Dari data pasien cedera otak yang datang ke RSUD Dr.
Sutomo sejak tahun Januari 2002 hingga Desember 2013, didapatkan data:
Data Penderita Cedera Otak RSU Dr. Soetomo
Th. 2002 - 2013
Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
penderita
CO
2005
1910
1621
1670
1588
1231
1339
1487
916
1050
1026
1411
penderita
COB
455
467
275
199
195
159
196
209
126
145
173
166
Total
Kematian
225
210
134
103
98
75
81
76
123
124
106
101
%
11.22
10.99
8.27
6.17
6.17
6.09
6.05
5.11
13.4
11.8
9.96
7.1
Total kematian
COB
169
127
81
65
49
30
38
29
98
96
72
80
%
37.14
27.19
29.45
32.66
25.13
18.85
19.34
13.87
77.7
66.2
41.6
48.1
Angka kematian pada semua tingkat keparahan cedera kepala berkisar antara
6,171 % hingga 11,22 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar
literatur internasional, yaitu berkisar antara 3-8 %.
Angka operasi berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien
cedera otak yang datang ke IRD.
Tingginya morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan cedera otak di RSU Dr.
Soetomo menunjukkan
memerlukan
penanganan
yang
komprehensif. Prehospital care dan Hospital care merupakan faktor yang sangat
penting untuk dibenahi dan ditingkatkan dalam rangka menurunkan morbiditas dan
mortalitas.
Pembenahan Hospital Care meliputi:
1. Pembenahan tatalaksana, dengan cara:
a. Pembuatan guideline yang merupakan pedoman praktek kedokteran
(PPK) yang juga berisi algoritma tatalaksana cedera otak.
b. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (provider)
c. Pemenuhan sarana dan prasarana gawat darurat
d. Pemenuhan sarana dan prasarana perawatan high care unit (HCU)
e. Penelitian dan pengembangan klinis dan laboratoris
2. Pembenahan tatalaksana Pre-Hospital care, dengan cara:
a. Sosialisasi Guideline
b. Peningkatan sistem rujukan
c. Peningkatan
kemampuan
sumber
daya
manusia
dengan
cara
pendidikan berkelanjutan.
3. Kerjasama dengan pusat neurotrauma lain
4. Evaluasi berkala
anestesi, peserta didik spesialis bedah saraf dan anestesi serta paramedis di Instalasi
Rawat Darurat dan Instalasi Rawat Inap Bedah. Tim neurotrauma melakukan
pengumpulan data,
Pedoman ini terdiri dari dua bagian besa, yaitu algoritma tatalaksana cedera otak
di RSUD Dr. Soetomo dan rekomendasi untuk perawatan dan terapi baik dengan
intervensi pembedahan maupun tanpa pembedahan.
B.
Didapat dari level pembuktian klas II, adalah metode terapi atau
intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat
analisis baik prospektif maupun retrospektif (studi observasional,
kohort, kasus-kontrol, dan studi prevalensi). Metode ini merupakan
guideline (moderate clinical certainty).
C.
Didapat dari level pembuktian klas III, adalah metode terapi atau
intervensi / pembedahan yang diperoleh dari penelitian retrospektif,
serial case, dari data registrasi pasien, laporan kasus, review kasus,
dan pendapat ahli (level pembuktian IV). Metode ini merupakan
option (unclear clinical certainty).
level of
Evidence finding
Evidence
1.
I-a
I -b
3.
II - a
4.
II - b
5.
III
Evidence
berasal
dari
penelitian
deskriptif
non
IV
Sistematika penulisan dan isi dari pedoman adalah sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kondisi di RSUD Dr. Soetomo sebagai rumah sakit tersier tipe A pendidikan.
Diharapkan
Secara berkala pedoman ini akan dilakukan evaluasi dan dilakukan penelitian
pendukung sehingga dihasilkan acuan dan rekomendasi dengan tingkat kepercayaan
klinis (clinical certainty) yang lebih tinggi.
Editor
III.
2.
3.
4.
Jenis Perlindungan
Mencuci tangan dengan antiseptik
- setelah terkena darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau benda
yang terkontaminasi
- segera setelah melepas sarung tangan
- diantara pemeriksaan 2 pasien yang berbeda
Pemakaian sarung tangan
- jika akan menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi atau
benda benda yang terkontaminasi
- jika bersentuhan dengan mukosa atau kulit yang tidak intak
Pemakaian Masker, dan goggles
- untuk melindungi mukosa mata, hidung dan mulut ketika akan
berhadapan dengan darah atau cairan tubuh
Pemakaian Jubah Pelindung ( gowns)
- untuk melindungi kulit dari darah atau cairan tubuh
6
5.
6.
7.
8.
10.
11.
Linen
- hindari kontak kulit dan mukosa dengan linen kotor yang
terkontaminasi
- jangan mencuci linen kotor di daerah perawatan pasien
Alat perawatan pasien
- hindari kontak kulit dan mukosa dengan alat
yang telah
terkontaminasi dan jangan sampai mengenai baju yang dipakai
serta lingkungan sekitarnya
- alat yang telah dipakai harus dicuci sebelum digunakan kembali
Kebersihan lingkungan
- area perawatan pasien harus dibersihkan secara rutin dengan
menggunakan desinfektan
Benda tajam
- jangan menutup ulang jarum suntik yang telah digunakan
- jangan melepas jarum suntik bekas dari syringnya
- jangan membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum
bekas dengan tangan
- buang benda tajam di dalam kontainer anti tembus.
Resusitasi pasien
- hindari resusitasi dari mulut ke mulut. Gunakan mouthpiece,
resusitation bags, atau alat bantu ventilasi lain.
Penempatan pasien
- pasien yang dapat menimbulkan kontaminasi pada lingkungan
ditempatkan pada ruangan khusus
Tabel 3.1 Perlindungan Umum (General Precaution) ( Dikutip dari Guidelines for Healthcare Facilities
with Limited Resources )
Evaluasi
A. Airway
Obstruksi ?
Suara tambahan ?
B. Breathing
Apakah oksigenasi
Efektif. ?
Gerakan dada
Air entry
Sianosis
C. Circulation
Apakah perfusi
Adekuat ..?
D. Disability
( status neurologis )
Tingkat kesadaran-
neurologis ?
menggunakan sistem
GCS atau AVPU.
Pupil (besar, bentuk,
reflek cahaya,
bandingkan kanan-kiri)
E. Exposure
2.
3.
4.
Rehabilitasi
8
Keluhan utama
Mekanisma trauma
dengan
inspeksi,
palpasi,
perkusi,
dan
auskultasi,
serta
GCS 9 13
GCS 3 8
Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya,
reflek konsensuil bandingkan kanan-kiri
10
III.4 Observasi
Menggunakan lembar observasi umum ( tanda vital: tensi, nadi, pernafasan,
dan suhu) dan lembar observasi neurologis khusus bedah saraf. Contoh lembar
observasi neurologis sebagai berikut:
Gambar 3.1 Lembar observasi status neurologis. Data menunjukkan penurunan tingkat
kesadaran disertai dilatasi pupil dan hemiparesis. GCS menurun dari 15 menjadi 5
menunjukkan bahwa telah terjadi keterlambatan penanganan. Data ini menggambarkan
penanganan yang kurang tepat
12
7. Tak ada yang dapat bertanggung jawab untuk observasi di luar rumah
sakit
8. Umur pasien diatas 50 tahun
9. Anak-anak
10. Indikasi sosial
Kejang
GCS < 8
III.11
Pasien COR dan COS yang tidak memenuhi kriteria masuk ROI dan
memerlukan observasi ketat.
14
IRD
MRS di ruang
HCU - F
OPERASI
ICU - ROI
VS. Stabil
Neurologis Stabil
Cepat
memburuk
R. Perawatan ( LCU )
Resusitasi + Rediagnosis
KRS
ICU ROI - 1
Operasi
15
Penderita
IRD
Operatif
ICU-ROI
Membaik
VS. Stabil
Neurologis Stabil
Memburuk
Stabilisasi + Resusitasi
Rediagnosis cito
ICU - ROI
Operasi
Ruang
Perawatan (LCU)
16
Penderita
IRD
Operasi
R. HCU - F
R. Perawatan (LCU)
17
Guideline
setelah
hari
pasca
trauma
karena
tidak
:-
Penjelasan Rekomendasi :
Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang
pasca trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi.
Diperbolehkan untuk menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap
terjadinya kejang pasca trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari pasca trauma
(early type) pada pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kejang pasca
trauma. Fenitoin atau Carbamazepin terbukti efektif untuk kejang pasca trauma tipe
dini oleh karena pada fase ini belum terbentuk fokus epilepsi. Penelitian Torbic tahun
2013 tentang levetiracetam sebagai obat anti epilepsi terbaru menunjukkan bahwa
levetiracetam memiliki efikasi yang sebanding dengan fenitoin sebagai profilaksis
kejang pasca trauma dan dibandingkan fenitoin, levetiracetam memiliki efek
samping yang lebih sedikit.
Kriteria pasien risiko tinggi kejang pasca trauma:
1. GCS 10
2. Immediate seizures
3. Kontusio kortikal
4. Fraktur linier
5. Penetrating Head Injury
18
6. Fraktur depresi
7. Alkoholik kronis
8. Post traumatic Amnesia> 30 menit
9. Epidural, subdural, atau intracerebral hematom
10. Defisit neurologis fokal
11. Usia 65 tahun atau 15 tahun
Penulis
Deskripsi Penilaian
TP/DR
II/B
Kesimpulan
Temkin
Penelitian
et al., 1990
randomized double
blind untuk
trauma
mengetahui
efektifitas
pemberian feniotin
untuk mencegah
kejang pasca
trauma
2
Golden N,
Penelitian
II/B
1996
retrospektif dengan
rancangan case
-fraktur depress
mengetahui
-lesi intrakranial
pengaruh faktor
risiko terhadap
angka kejadian
epilepsi pasca
trauma dini
3
Annegers
Penelitian
II/B
et al., 1998
retrospektif untuk
- subdural hematom
mengetahui
- skull factures
karakteristik cedera
otak yang
berhubungan
dengan timbulnya
kejang pasca
trauma
4
Temkin
Penelitian
II/B
et al., 1999
randomized double-
blind untuk
mengetahui
efektifitas fenitoin
yang diberikan
selama 1 minggu
dibandingkan asam
valproat yang
diberikan selama 1
atau 6 bulan sebagai
profilaksis kejang
pasca trauma
5
Chang SB,
Meta analisis
II/B
Lowenstein
beberapa penelitian
DH, 2003
mengetahui peranan
epilepsi pada
penderita cedera
otak berat
terjadinya kejang :
cedera otak berat, amnesia atau
tidak sadar berkepanjangan,
hematom intrakranial atau
kontusio serebri, dan fraktur
depress.
Torbic H
Meta analisis
II/B
et al., 2013
penelitian level I
dan II untuk
mengetahui
efektivitas obat-
levetiracetam.
Referensi
Algattas H and Huang JH. Traumatic brain injury pathophysiology and
treatments: early, intermediate and late phases post injury. Int. J. Mol.
Sci. 2014, 15, 309-41; doi: 10.3390/ijms 15010309.
Annegers JF et al. A Population Based Study of Seizure After Traumatic Brain
lnjuries. TheNEJM 1998
Chang S, Bemard and Lowenstein H Daniel. Practice parameter: Antiepileptic
drug prophylaxis insevere traumatic brain injury : Report of the Qua|ity
Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology.
Neurotogy 2003; 60:10-6.
Golden N. Pengaruh Faktor Resiko terhadap Angka Kejadian Epilepsi Pasca
Trauma Dini di RSUD Dr Soetomo. Karya Tulis Akhir PPDS I llmu Bedah
Saraf, Lab AJPF Bedah Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1996
21
Guideline
Manitol
membantu
menurunkan
TIK
pada
pasien
COB.
Monitor
jika
didapatkan
tanda-tanda
herniasi
kesadaran yang
dengan
menggunakan
larutan
sodium
laktat
harus dilakukan pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, gula darah, dan elektrolit
darah. Penghitungan osmolaritas awal darah dilakukan sebelum pemberian manitol.
Dan harus terpasang foley kateter untuk pengukuran diuresis.
Osmolaritas = 2(Na+ + K+) + Glukosa/18 + BUN/2,8
Dalam menggunakan manitol maka harus dilakukan observasi ketat untuk menjaga
pasien agar tetap dalam keadaan euvolemia dan osmolaritas serum <320 mmol/l.
Euvolemia dipertahankan dengan penggantian volume cairan yang isotonis dan
harus dicegah terjadinya hipotensi (TDS <90 mmHg). Fenomena rebound dapat
dikurangi dengan pemberian bolus, dan penghentian manitol dilakukan secara
bertahap.
Sodium laktat hipertonis diberikan dengan dosis 1,5 ml/KgBB selama 15 menit dalam
setiap kali pemberian. Sodium laktat hipertonis dapat diberikan pada kasus dengan
peningkatan TIK, dengan kondisi hipovolemia atau hipotensi. Sodium laktat dapat
menurunkan TIK dengan jumlah pemberian yang lebih sedikit, penurunan TIK yang
lebih besar dan menurunkan TIK yang lebih cepat.
Penulis
Deskripsi penelitian
Mendelow
Penilaian pengaruh
et al.,1985
pemberian manitol 20
TP/DR
Kesimpulan
Gemma
Prospective
II/B
et al., 1997
randomized
Clinical study
membandingkan efek
bedah saraf
dengan manitol 20 %
3
Balafif F.,
II/B
Bajamal A.H.,
Membandingkan antara
1999
yang mendapat
Qureshi
et al., 2000
intrakranial
Faris M.,
Penelitian eksperimen
I/A
Wahyuhadi J.,
dengan analisis
2009
komparatif antara
dalam pengobatan
pemberian sodium
dibandingkan manitol
I/A
Ichai C,
Prospective open
et al., 2009
randomized study
membandingkan terapi
sodium laktat
hiperosmolar dengan
manitol dalam
menurunkan TIK pada
kasus cedera otak
7
I/A
Wahyuhadi J.,
dengan analisis
2011
komparatif antara
pemberian Hipertonik
dibandingkan manitol
Wakai
Randomized control
I/A
et al., 2013
dibandingkan dengan
dibandingkan dengan
pemberian cairan hipertonik
saline.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Ardyansah A., Wahyuhadi J., Perbandingan Pemberian Dosis Multipel
Hipertonik Natrium Laktat dan Manitol terhadap Penurunan Tekanan
Intrakranial pada Penderita Cedera Otak Berat tanpa Indikasi Operasi
dengan Tekanan Intrakranial lebih dari 20 mmHg, SMF Bedah Saraf
RSU Dr Soetomo, 2011
Balafif F., Bajamal A.H., Pengaruh Pemberian Mannitol secara empiris pada
penderita cedera otak berat tipe Non Surgical Mass Lession di RS dr.
Soetomo Surabaya. 1999
Faris M. Wahyuhadi J., Perbandingan Pengaruh Pemberian Hipertonik Sodium
Laktat
dan
Manitol
terhadap
Progresifitas
Penurunan
Tekanan
Intrakranial Penderita Cedera Otak Berat Lesi Non Operatif. SMF Bedah
Saraf RSU Dr Soetomo,2009
25
Anesthesiol,
1997;9(4):329 34
Ichai C, Armando G, Orban JC, et al. Sodium Lactate versus Mannitol in The
Treatment of Intracranial Hypertensive Episodes in Severe Traumatic
Brain-injured Patients. Intensive Care Med, 200935:471 479
Iskandar J. Cedera Kepala. BIP. 2004
Mendelow AD, et al. Effect of mannitol on cerebral blood flow and cerebral
perfusion pressure in human head injury. J Neurosurg 1985;63:43-9
Reilly P, Selladurai B. Initial Management of Head Injury: a Comprehensive
Guide. McGraw Hill, 2007, p177 205
Qureshi AI, Suarez JI, Use of hypertonic saline solutions in treatment of
cerebral edema and
Care Med,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11008996 2000;28(9):3301-13
Wakai A, McCabe A, Roberts I and Schierhout G. Mannitol for acute traumatic
brain injury. Cochrane Database Syst Rev. Aug 5, 2013
Guideline
Option
Penjelasan Rekomendasi :
Pada COB karena trauma, angka kejadian infeksi dapat meningkat pada tindakan
pemasangan ICP monitor, tindakan ventilasi mekanik dsb. Pada umumnya infeksi
ditemukan pada 10 hari pertama setelah pemasangan ventriculostomy. Tidak ada
pengaruh antara kateter yang diganti setiap 5 hari atau tidak. Infeksi memberi
26
pengaruh signifikan terhadap morbiditas, mortalitas dan lama rawat inap dari
penderita.
Pada pemasangan ICP monitor jangka panjang terjadi kenaikan tingkat infeksi
sampai dengan 27% sedangkan penggunaan ICP monitor jangka pendek belum
terbukti menaikkan resiko morbiditas dan mortalitas. Dari seluruh pasien COB, tidak
ada insiden definitive terhadap infeksi CSF.
Cephalosporin
generasi ke 1 dan
merupakan
jenis antibiotik
yang
di
Penulis
Deskripsi
TP/DR
Kesimpulan
Sunbarg
III/C
et al.,1996
definitive terhadap
infeksi CSF.
Holloway
III/C
61 pasien dengan
et al.,1996
venticulostomy
umumnya infeksi
terhadap insiden
terjadinya infeksi
pertama setelah
pemasangan
ventriculostomy. Tidak
ada pengaruh antara
27
Arabi
Analisa terhadap
III/C
Penggunaan antibiotik
et al., 2005
insidens infeksi
ventrokulostomy dan
infeksi pada
resikonya.
pemasangan kateter
ventrikel.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Arabi Y, Memish ZA, Balkhy HH, Ventriculostomy-associated infections:
Insidence and risk factors. ,Amj Infect Control 2005;33:137-43.
Holloway KL, Barnes T, Choi S. Ventriculostomy
infections:
the effect of
G,
Nordstrom
prolonged
C-H,
ventricular
Soderstrom
S.
Complication
due
to
1988;2:48595.
Yuen, ECP.2004. The use of prophylactic antibiotic in trauma. Hong Kong
Journal of Emergency Medicine
Guideline
supp
dan
acetaminophen
supp
bermanfaat
28
Option
1.
2.
Penjelasan rekomendasi :
Rangsangan nyeri dapat memicu peningkatan TIK dan harus ditangani. Pada pasien
cedera otak terjadi peningkatan kadar PG dimana PG berperan dalam proses rasa
nyeri. NSAID seperti ketorolac, metamizol dan ketoprofen bermanfaat mengurangi
nyeri dengan menghambat sintesa PG melalui blokade enzim Cyclooxigenase (COX).
Acetaminophen bukan termasuk NSAID namun memiliki mekanisme yang sama
dalam menghambat sintesa PG melalui blokade enzim COX. Peningkatan kadar
prostaglandin terjadi pada pasien cedera otak. Namun pemakaian obat NSAID dapat
pula menyebabkan perdarahan saluran cerna dan gangguan fungsi ginjal.
dapat
berfungsi
sebagai
terapi
alternatif
dalam
manajemen
peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter pada COB. Namun mekanisme aksi
indometasin dalam menurunkan cerebral blood flow (CBF) dan tekanan intrakranial
masih belum dipahami sepenuhnya.
Ketorolac untuk dewasa diberikan dengan dosis 30 mg intravena dosis tunggal atau
30 mg/6 jam intravena dengan dosis maksimal 120 mg/hari. Metamizol diberikan
dengan dosis 500-1000mg/6 jam secara peroral, intravena atau perektal.
29
Penulis
Deskripsi penelitian
TP/DR
II/B
Kesimpulan
Jacobi J
Ketorolac dan
et al., 2002
acetaminophen boleh
untuk penyusunan
trauma kepala
III/C
Insiden agranulocytosis
K et al.,
2002
agranulocytosis akibat
pertama pemakaian
pemakaian metamizole
metamizole
Roberts
Review : Peran
et al., 2002
III/C
Indometasin
indometasin pada
dipertimbangkan pada
Prasetya H,
II/B
Ketoprofen dan
Bajamal
acetaminophen bermanfaat
A.H., 2005
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Hedenmalm
associated
et al.
with
Agranulocytosis
and
other
blood
dyscrasias
2002;58(4):265-74.
Jacobi J et al. Clinical practice guidelines for the sustained use of sedatives
and analgesics in the critically ill adult. Am J Health Syst Pharm
2002;59(2):150-78
30
650
mg
Suppositoria
Suppositoria
terhadap Nyeri
denganKetoprofen
Kepala
100
mg
Guideline
Option
: Tidak
ada
penurunan
angka
kematian
dengan
pemberian
Penjelasan rekomendasi :
Cedera otak dapat menyebabkan kematian sebagian sel otak dan kerusakan reseptor
kortikosteroid. Cedera otak juga menyebabkan kenaikan kadar kortikosteroid atau
meningkatkan pemakaian reseptor protein dan karenanya penggunaan kortikosteroid
tidak efektif karena terbatasnya jumlah reseptor protein yang masih ada dan
sebagian reseptor kortikosteroid mengalami kerusakan sehingga pembentukan
lipokortin juga terbatas. Hal ini juga menyebabkan toleransi kortikosteroid
terganggu.
31
Penulis
Deskripsi
Penelitian prospektif
TP/DR Kesimpulan
II/B
komparatif penggunaan
dan tanpa
kortikosteroid pada
kortikosteroid pada
Penelitian Randomized
I/A
RCT untuk
menilai kuantitas
kortikosteroid pada
efektifitas dan
keamanan tentang
penggunaan
tidak jelas
kortikosteroid pada
trauma kepala
3
4.
CRASH trial
Penurunan angka
collaborators,
kematian dengan
angka kematian
2004
pemberian
dengan pemberian
metilprednisolon dalam
metilprednisolon dalam
2 minggu setelah
2 minggu setelah
cedera kepala
cedera kepala
Penelitian Randomized
III/C
I/A
Penelitian yang
terbesar menyimpulkan
menilai kuantitas
mortalitas dengan
efektifitas dan
keamanan tentang
ini menyarankan
penggunaan
kortikosteroid pada
trauma kepala
cedera otak
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
32
Referensi
Alderson P, Roberts I. Corticosteroid for acute traumatic brain injury, 2005
CRASH trial collaborators, Effect of intravenous corticosteroids on death
within 14 days in 10 008 adults with clinically significant head injury
(MRC CRASH trial): randomized placebo-controlled trial Lancet 2004;
364: 132128
Alderson P. Corticosteroids in acute traumatic brain injury: systemic review of
randomized controlled trials, BMJ 1997.
Kasan U. Penatalaksanaan Penderita Memar Otak Penelitian Prospektif
Komparatif dengan dan tanpa penggunaan Kortikosteroid, disertasi
1994.
V.6. Rekomendasi Penggunaan Sedatif / Tranquilizer
Standard
Guideline
Option
:-
Penjelasan rekomendasi :
Sedasi adalah komponen penting dalam penanganan pasien dengan cedera otak,
dapat memfasilitasi intervensi terapi, memperbaiki kenaikan TIK, dan memastikan
pasien dalam keadaan yang nyaman. Dapat dilihat dalam table di bawah ini, pilihan
yang sesuai GCS dan ada tidaknya tunjangan ventilasi mekanik. Agent sedasi yang
ideal haruslah (i) menurunkan CMRO2 sekaligus mempertahankan suplai oksigen ke
otak. (ii) menurunkan TIK tanpa menurunkan CPP (iii) memelihara autoregulasi otak
dan reaktifitas vascular terhadap CO2 (iv) memiliki onset yang cepat (v) mudah
dalam pengendalian kedalaman dan durasi sedasinya (vi) memiliki therapeutic
33
Propofol loading dose diberikan 1-2 mg/kgBB dan diberi dosis rumatan 1-3
mg/kgBB/jam. Midazolam loading dose diberikan 0,03-0,3mg/kg diberikan dalam 20
menit; dan dosis rumatan 0,03-0,2mg/kg/jam. Penthotal loading dose diberikan 510mg/kg BB diberikan dalam 10 menit, dan di beri dosis rumatan 2-4mg/kgBB/jam.
Phenobarbital: Bolus 2-5 mg/kgBB atau Thiopenthal 2-10 mg/kg BB diikuti infus
siringe
pump
(0.3-7.5
mg/kgBB/jam)
atau
thiopental
1-6
mg/kg/hr.
Head injury,
Cerebrovascular
Hepatic
Alcohol
mechanical
spontaneus
accident
encelophaty
withdrawl
ventilation,
breathing GCS
GCS 8
>8
syndrome
Analgesia
Opioids
NSAID
Sedation
Midazolam
Light sedation:
Light sedation:
Isoflurane for
Midazolam
Propofol
propofol &
propofol &
short periods
Other
Barbiturates
midazolam
midazolam
benzodiazepines
(Uncontrolled
Neuroleptic.
Neuroleptic.
Clonidine
ICP)
Phenothiazine
Phenothiazine
Neuroleptics
Clomethiazole
Antagonist
No
No
No?
Yes
Yes
Monitoring
Vital functions,
Vital functions,
Vital functions,
Vital functions,
Vital functions,
invasive
neurologial
neurologial
neurologial
neurological
haemodinamic
functions
functions
functions, liver
function.
monitoring,
function tests
ICP SjO2
GCS, Glasgow coma score; ICP, intracranial pressure; NSAID, non-steoidal anti-inflamatory drugs;
SjO2, oxygen saturation of the jugular vein.
34
Penulis
Deskripsi Penelitian
TP/DR
I/A
Kesimpulan
Sanchez
et al., 1998
efficacy penggunaan
propofol; midazolam
araupun kombinasi
propofol dan
midazolam pada
pasien trauma kepala
2
Karabinis
I/A
Waktu pemeriksaan
et al., 2004
efficacy sedasi
berbasis analgesia
menggunakan
menggunakan ramifentanil
ramifentanil,
dibandingkan dengan
kombinasi dengan
midazolam dan
morphin.
propofol
dibandingkan dengsn
fentanil, morphin
kombinasi dengan
midazolam dan
propofol di unit
perawatan neurointensif.
3
Chen HI
Meneliti penggunaan
III/C
et al., 2008
barbiturat terhadap
meningkatkan oksigenasi
keadaan intractable
peningkatan TIK
ketika penggunaan
pasca trauma.
35
Shigemori
Pertimbangan
M et al.,
penggunaan sedasi
II/B
2012
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi:
Chen HI, Malhotra NR, Oddo M, Heuer GG, Levine JM, LeRoux PD. Barbiturate
infusion for intractable intracranial hypertension and its effect on brain
oxygenation. Neurosurgery. 2008 Nov;63(5):880-6; discussion 886-7. doi:
10.1227/01.NEU.0000327882.10629.06.
Ederoth P et al. Blood-brain barrier transport of morphine in patients with
severe brain trauma. Br J Clin Pharmacol.2004;57(4):427-35
Karabinis A et al. Safety and efficacy of Analgesia-based regimens in intensive
care unit patients with brain injuries: a randomized, controlled trial. Crit
Care.2004;8(4): 268 - 80.
Rivier MC, Cholero R, and Ravussin P. Sedation and Analgesia for the BrainFailure Patient. In: Sedation and Analgesia in the Critically Ill. Ed. By Park
GR and Sladen RN. Blackwell Science 1995. pp 130-144
36
for sedating
Analg.
1998;86(6):1219-24.
Shigemori M et al. Guidelines for management severe head injury 2nd Edition.
Guidelines from the guidline committee on the managemnt of severe head
injury in Japan Society of Neurotraumatology. Neurol. Med. Chir (Tokyo)
52, 1 30, 2012.
V.7 Rekomendasi pemberian nutrisi
Standard
Guideline
Option
lambung
dan
memudahkan
pemberian
dan
Dari penelitian diketahui bahwa pemberian kombinasi LCT dan MCT mungkin dapat
memberikan efek yang menguntungkan pada metabolisme protein di viscera pasca
37
trauma. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian late feeding (lebih dari 1 minggu
setelah trauma) berhubungan dengan nitrogen loss yang besar disertai penurunan
berat badan sebesar 15% perminggu. Untuk mencapai pemenuhan nutrisi pada hari
ke-7, maka pemberian nutrisi harus dimulai paling lambat 72 jam setelah trauma
atau cedera.
Deskripsi Penelitian
TP/DR
1.
Calon B
et al.,1990
menguntungkan
trauma kepala
pada metabolisme
II/B
Kesimpulan
MCT memiliki efek
Sarafzadeh
Mengukur perubahan
II/B
Hiperventilasi
et al.,2003
memiliki potensi
terjadinya efek
samping
metabolisma
cerebral. Keadaan
metabolisme cerebral
trauma kepala
anaerob tergantung
dari derajat dan
lamanya episode
hipoksik
3.
Krakau K
I/A
Hasil review
et al., 2006
menunjukkan
peningkatan
metabolic rate,
hiperkatabolisme,
dan intoleransi
gastrointestinal
sampai 2 minggu
38
pasca trauma.
Kecenderungan
morbiditas dan
mortalitas yang lebih
rendah pada
penderita yang
mendapat early
feeding
4.
Aaron M. Cook
Review artikel
III/C
et al., 2008
Terapi nutrisi
termasuk pemberian
cairan yang tepat
dan monitoring
elektrolit yang ketat
untuk mencegah
kelebiihan cairan,
elektrolit atau
glukosa yang dapat
merugikan pasien.
5.
Roger Hartl
III/C
Jumlah nutrisi
et al., 2008
berhubungan dengan
mortalitas.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi:
Aaron M. Cook et al. Nutrition Considerations in Traumatic Brain Injury.2008
Calon B et al. Long-chain versus medium and long-chain triglyceride-based fat
emulsion in parental nutrition of severe head trauma patients.
Infusiontherapie.1990;17(5):246-8.
Krakau K et al. Metabolism and nutrition in patients with moderate and severe
traumatic brain injury:A systemic review. Brain Inj.2006;20(4):345-67.
Roger Hartl et al. Effect of early nutrition on deaths due to severe traumatic
brain injury. 2008
39
Guideline
:-
Option
:-
Penjelasan rekomendasi
Pemberian regimen profilaksis Acid suppressor agent
Ranitidin diberikan dengan dosis 150 mg/12 jam secara peroral atau personde, 50
mg/6-8 jam secara intravena atau dapat diberikan secara kontinyu intravena
perinfus dengan dosis 6,25 mg/jam. Sedangkan Sucralfat sebagai mucosal protector
diberikan dengan dosis 1 gr/6 jam.
40
Penulis
Deskripsi Penelitian
TP/DR
I/A
Kesimpulan
S Trippoli,
et al.,
penelitian tentang
2000
penggunaan ranitidine
pencegahan perdarahan
gastrointestinal yang
Michelle
E, Allen,
Randomized Controlled
2004
Trials tentang
gastrointestinal yang
profilaksis terapi
David C.
I/A
Trials tentang
penggunaan acid
Referensi
David C. Metz. Preventing the Gastrointestinal Consequences of StressRelated Mucosal Disease. Medscape. 2005
Michelle E. Allen; Brian J. Kopp; Brian L. Erstad. American Society of HealthSystem Pharmacists. ASHP therapeutic guidelines on stress ulcer
prophylaxis. Am J Health-Syst Pharm. 1999;56:347-79.
S Trippoli, M Valani, M Govini, A Corrado. Bleeding and pneumonia in
intensive care patients given ranitidine and sucralfate for prevention
41
Guideline
Option
Penjelasan Rekomendasi :
Citicoline (Cytidine 5-diphosphocholine atau CDP-Choline) berfungsi mengaktivasi
biosintesis struktur fosfolipid membran sel neuron, meningkatkan metabolise otak
dan menambah level neurotransmitter termasuk acetylcolin dan dopamin. Citicolin
juga berfungsi memperbaiki aktifitas enzim mitochondria ATPase dan Na/K ATPase
serta menghambat enzim phospholipase A2.
Citicolin dapat diberikan pada pasien cedera otak saat setelah kejadian maupun
jangka lama dan hasilnya menunjukkan perbaikan dalam pengurangan gejala
sindroma post concussion, perbaikan Glasgow Outcome Scale dan fungsi kognisinya.
Pemberian dapat diberikan dengan dosis 1 gram/hari baik PO maupun injeksi. Hasil
penelitian :
a) Citicoline tidak memberikan perbaikan outcome fungsional yang signifikan
dibandingkan dengan kelompok placebo
b) Adanya perbaikan dalam fungsi memori pada pasien dengan pemberian citicolin
dibanding tanpa pemberian obat tersebut
42
a) Adanya perbaikan dalam fungsi motor, kognisi dan psikis serta didapatkan
adanya pemendekan masa waktu rawat inap pada pasien dengan pemberian
citicoline
Penulis
Deskripsi penilaian
Penelitian double blind
TP/DR
II/B
Kesimpulan
Hasil: adanya perbaikan
placebo-control untuk
menilai efikasi
citicoline dengan
pemberian citicoline
pemberian 1 gram
(p<0,02)
Calatayud MV,
II/B
dalam fungsimotor,
didapatkan adanya
yang menerima
pemendekan masa
pengobatan citicoline.
Spiers
Laporan kasus 2
III/B
Citicoline memberikan
PA,Hochanadel
pasien dengan
G, 1999
pemberian citicoline
Zafonte et al,
CORBIT (The
I/A
Citicoline tidak
2009
memberikan perbaikan
Treatment), suatu
dibandingkan dengan
menilai efektifitas
kelompok placebo
pemberian citicoline
terhadap outcome
fungsional pasien
dengan cedera kepala
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi:
Levin HS. Treatment of postconcussional symptoms with CDP-coline. J
Neurology Science.103: 539-42, 1991
Maldonado VC ef aI. Effects of CDP-coline on the recovery of patients with
head injury. JNeurology
Spiers PA, Hochanadel G: Citicoline for traumatic brain injury: report of two
cases, includingmy own. J lnt Neuropsychol Soc. 5:260-2&+, 1999
Zafonte R, et al. The Citicoline Brain Injury Treatment (COBRIT) Trial. Journal
of Neurotrauma 26:22072216 (December 2009)
V.10 Rekomendasi Penggunaan Piracetam
Standard
Guideline
1. Pemberian
piracetam
dengan
dosis
24-30
gr/hari
secara
pengurangan
tanda dan
Penjelasan Rekomendasi :
Piracetam memperbaiki metabolisme otak dengan cara memacu katabolisme
oksidatif, meningkatkan pemecahan ATP, meningkatkan level cAMP, memperbaiki
metabolisme phospholipid dan bio-sintesis protein. Piracetam juga memperbaiki
fungsi penggunaan oksigen dan glukosa oleh otak serta peningkatan perfusi lokal
dapat dilihat pada parameter partial oxygen pressure (oxygen therapy) dan KGD.
Pemakaian piracetam dapat diberikan pada pasien cedera otak maupun pasca
cedera dengan gejala sindroma post concussion dengan efek memperbaiki gejala
neurologis dan kesadaran. Dosis yang diberikan pada saat setelah cedera otak
adalah 24-30 gr/hari baik injeksi maupun oral, dan untuk pemeliharaan diberikan
dosis PO 4,8 gr/hari.
Penulis
1 Hakkarainen
Deskripsi penelitian
Penelitian double-blind
TP/DR
Kesimpulan
8 minggu ditemukan
L., 1978
4800 mq perhari.
kelelahan, gangguan
kesadaran, peningkatan
kerinqat dan gejala lain.
2 Goscinski l,
Penelitian prospektif
et al., 1998
kasus-kontrol untuk
mengetahui efektifitas
pemberian piracetam
Penelitian observasional
mengetahui pengaruh
piracetam pada cedera
otak.
4 Zavadenko
Penelitian prospektif
NN, et al.,
case/control untuk
2008
mengetahui efektifitas
pemberian piracetam
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi:
Hakkrainen, H. & Hakamies, L.
post-
46
Guideline
Option
cedera
dari
sekunder,
cedera.
serta
meningkatkan
Neuroprotektif
ditargetkan
proses
untuk
Penjelasan Rekomendasi:
Tujuan utama neuroprotektif pada cedera otak traumatik adalah untuk mencegah
dan
di daerah
dan
relatif
proses
yang berperan
dalam kontrol selular proliferasi dan diferensiasi (ekspresi dari fenotipe mediator,
saluran ion, pertumbuhan neurit), promosi kelangsungan hidup neuron (jika ada
tidak merusak agen) sepanjang hidup dan mempertahankan fenotip, meningkatkan
daya tahan sel neuron akibat agen yang merusak (hipoksia, iskemia, hipoglikemia,
eksisitotoksis, zat toksik, dan trauma), serta neuroproteksi, neuroplastisitas dan
aktivitas sinaptik dalam proses belajar
47
Penulis
Deskripsi penelitian
TP/DR
Kesimpulan
Muresanu
Neuroprotektif meningkatkan
et al., 2007
mencegah dan
(hipoksia, iskemia,
mengurangi cedera
hipoglikemia, eksisitotoksis,
Teasdale, G.M
et al., 1997
ditargetkan untuk
mengurangi kerusakan
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Muresanu FD, et al. Neuroprotection and Neuroplasticity in Craniocerebral
Trauma. Romanian Journal of Neurology 2007. Vol VI, No. 4. Page:
154-165
Teasdale, G.M & Bannan, P. E. 1997. Neuroprotection in Head Injury. In Head
Injury. Pathophysiology and Management of Severe Closed Injury.
Editor : Reilly, P; Bullock, R. Page : 423-436. Chapman & Hall Medicaal.
London. UK
48
Penulis
Deskripsi
Kesimpulan
Harting, T.M
Penelitian
et al., 2008
prospektif
menggunakan
Harting, T.M
Penelitian
et al., 2009
prospektif
menggunakan
Richardson
Review Literatur
R.M et al.,
2010
Tajiri N, et al.,
Experimental
2014
menggunakan
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
49
Referensi
Chopp M., Mahmood A., Lu D., Li Y., Mesenchymal stem cell treatment of
traumatic
brain
injury.
Neurosurg
110:11861188,
2009.,
the
brain
from
traumatic
brain
injury-induced
Guideline
Option
Indikasi pembedahan
1) Pasien EDH tanpa melihat GCS dengan volume > 30 cc, atau ketebalan > 15
mm, atau pergeseran midline > 5 mm, atau
2) Pasien EDH akut (GCS <9) dan pupil anisokor
Waktu :
Pasien EDH akut dengan koma (GCS < 9) dan pupil anisokor dilakukan cito
pembedahan atau evakuasi
Metode :
Belum ada data yang cukup untuk mendukung satu metode pembedahan,
bagaimanapun juga craniotomy memberikan kemungkinan evakuasi yang lebih baik
Penjelasan Rekomendasi :
Ketebalan, volume hematom, dan midline shift (MLS) struktur pada CT Scan kepala
awal mempengaruhi outcome. CT Scan kepala evaluasi pada pasien non operatif
dilakukan 6-8 jam setelah trauma. pasien EDH dengan volume > 30 cc, atau
ketebalan > 15 mm, atau pergeseran midline > 5 mm tanpa melihat GCS, dilakukan
tindakan pembedahan karena efek massa yang signifikan. Pasien EDH dengan
volume < 30 cc dan GCS < 9 disertai pupil anisokor secepat mungkin dilakukan
tindakan evakuasi. Pasien EDH dengan volume <30 cc, ketebalan <15 mm,
pergeseran midline <5 mm tanpa melihat GCS yang tidak disertai pupil anisokor
dilakukan manajemen non operatif yang agresif.
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No
1
Penulis
Mitesh V, 1998
Deskripsi
Analisis Retrospektif
TP/DR
III/C
Kesimpulan
Pengambilan
keputusan operatif
EDH
51
Bullock
Manajemen
III/C
et al., 2006
pembedahan
hematoma epidural
dan penurunan
fungsi neurologi
secara progresif
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Bullock
Neurosurgery 2006;58:7-15
Cooper PR, (ed), 1993, Head Injury, 3rd Ed, William & Wilkins Baltimore,
Maryland,
USA.Mitesh
V.
American
Journal
of
Neuroradiology
1998;20:115-6
Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (eds) 1996. Neurotrauma, MC
Graw Hill Co. New York.
Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Wilkins RH and Rengachary SS (eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd ed. MC Graw
Hill Co. New York.
VI.2. Rekomendasi Pembedahan Pada Perdarahan Subdural
Standard
Guideline
transventrikel dan
: Indikasi
pembedahan
pada
SDH
akut
sesuai
penjelasan
Indikasi pembedahan
SDH Akut
1)
Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK
3)
SDH Kronis
1. Terdapat gejala klinis penurunan kesadaran maupun defisi neurologis fokal atau
kejang
2. Ketebalan lesi > 1cm
Waktu :
Pada pasien SDH akut dengan indikasi pembedahan maka pembedahan dilakukan
secepat mungkin. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada
evakuasi hematom.
Metode :
Metode penanganan pasien dengan SDH akut tipis traumatika dengan drainase LCS
transventrikel juga untuk monitor TIK. Metode operasi craniotomy dekompresi dan
pemasangan drainase LCS transventrikel dilakukan pada penderita dengan indikasi
tertentu.
Penjelasan Rekomendasi :
Penderita COB dengan komplikasi SDH akut merupakan penyebab kematian utama
pada COB dengan lesi massa intrakranial dimana angka kematian mencapai 42%90%. Kerusakan otak yang terjadi lebih berat karena mekanisme trauma yang
hebat, kerusakan parenkim otak yang luas dan edema serebral. Secara patofisiologi,
pengaruh cedera otak primer yang terjadi terhadap hasil akhir lebih penting daripada
efek SDH itu sendiri sehingga kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting
daripada tindakan evakuasi hematom.
Tindakan drainase LCS transventrikel lebih baik dibandingkan dengan pembedahan
evakuasi hematom dan dekompresi pada SDH tipis
53
Penulis
Deskripsi penelitian
TP/DR
Kesimpulan
II/B
Kemampuan untuk
Wilberger
et al.,1991
mengontrol TIK
lebih berpengaruh
dibandingkan waktu
pelaksanaan
evakuasi hematom
Widodo,
II/B
Tidak ada
Kasan U,
perbedaan
1999
bermakna secara
statitistik antara
tindakan operasi
dan konservatif
pada penderita
cedera otak berat
dengan hematom
subdural akut
traumatika tipis.
Hartanto,
II/B
Kasan U,
pembedahan
2003
(evakuasi
hematom dan
dekompresi) lebih
baik daripada
penanganan secara
konservatif.
II/B
Tindakan
Thohari K,
Tindakan drainase
Bajamal
CSF transventrikel
A.H.,
lebih baik
2006
dibandingkan
54
dengan
pembedahan
evakuasi hematom
dan dekompresi.
Referensi
Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore,
Maryland, USA
Greenberg, MS 2010, Handbook of Neurosurgery, 7th eds, Thieme, New York.
Hartanto RA, Kasan U. Operasi Dekompresi dan Evakuasi hematom subdural
akut tipis pada cedera otakberat. Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah
Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSUDDr Soetomo. 2003
Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC
Grow Hill Comp, New York.
Palmer JD. Head trauma in Manual of Neurosurgery Churchil Livingstone, New
York 1997. pp. 499-580
Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Thohari K., Bajamal A.H., Penatalaksanaan Perdarahan Subdural Akut Tipis
pada Penderita Cedera otak Berat.Karya Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah
Saraf, Lab/UPF Bedah Saraf FK Unair/RSU Dr. Soetomo. 2006
Valadka AB, Andrews BT, 2005, Neurotrauma: Evidence-Based Answers to
Common Questions, Thieme, New York, Stuttgart.
Widodo J., Kasan U. Perbandingan tindakan operasi dan konservatif penderita
dengan komplikasihematoma subdural akut traumatika tipis pada cedera
otak berat. Karya Tulis Akhir PPDS IIlmu Bedah Saraf, Lab/UPF Bedah
Saraf FK Unair/RSUD Dr Soetomo. 1999
Wilberger JE Jr, Harris M, Diamond DL: Acute subdural hematoma: Morbidity,
mortality, andoperative timing. J Neurosurg 1991;74:212-8.
55
Guideline
Option
Indikasi pembedahan :
1) Pasien dengan GCS 6-8 dengan perdarahan parenkim otak pada daerah frontal
atau temporal dengan volume perdarahan > 20 cc, dengan pergeseran struktur
midline 5 mm dan atau kompresi pada sisterna.
2) Perdarahan parenkim otak dengan volume perdarahan > 50 cc
3) Pasien dengan perdarahan parenkim otak dan tanda-tanda deteriorasi neurologis
yang progresif sesuai dengan lesi, hipertensi intrakranial yang refrakter dengan
medikamentosa, atau didapatkan tanda-tanda efek massa pada CT scan.
Penulis
Deskripsi
Soloniuk
et al, 1986
TP/DR
III/C
kesimpulan
Indikasi operasi dibuat
berdasarkan data dari
yang ada dan waktu
kapan untuk dilakuan
evakuasi.
De Luca
Pengalaman pengarang
et al, 2000
penanganan pasien
IV/C
Operasi dekompresi
untuk peningkatan TIK
56
dengan peningkatan
harus dilakukan
tekanan intracranial.
sesegera mungkin,
sebelum keadaan yang
irrversibel terjadi.
Bullock
et al., 2006
III/C
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Bullock et al. Surgical management of posterior
fossa mass
lesions.
of
uncontrollable
post-traumatic
57
Guideline
Option
Indikasi pembedahan
Waktu
suboccipital
merupakan
metode
yang
banyak
dipakai
dan
Penjelasan Rekomendasi :
Trauma yang berakibat lesi massa pada fossa posterior hanya berkisar 3% dari
seluruh cedera otak. Meski demikian sebagian besar pasien dengan lesi massa fossa
posterior didapati dengan penurunan kesadaran yang progresif dikarenakan ruang
fossa posterior yang terbatas dan penekanan langsung pada batang otak.
Tindakan bedah yang tepat dan segera dapat memberikan outcome yang baik.
Terapi konservatif dapat dilakukan secara selektif pada kasus SDH fossa posterior
Pasien dengan perdarahan cerebellum dengan diameter <3cm, atau tidak
didapatkan defisit neurologis namun pada CT Scan terdapat efek massa, dapat
diterapi konservatif dengan observasi ketat dan CT scan serial
58
Penulis
Deskripsi
TP/DR
III/C
Kesimpulan
Kizikilc
et al., 2003
arakhnoid
Terapi konservatif
Avella
et al., 2003
posterior
dilakukan operasi
memiliki outcome yang
lebih baik
Bullock
III/C
et al., 2006
analisa 24 dokumen
fungsi neurologi
sistematis
progresif
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Avella
et
al.
Traumatic
Subdural
Hematomas
of
posterior
fossa :
Guideline
Option
Indikasi pembedahan
Waktu :
Tidak ada konsensus mengenai waktu pelaksanaan operasi. Rekomendasi terakhir
menyebutkan diharapkan operasi sudah dilaksanakan dalam waktu 5 hari semenjak
LCS fistula diisolasi. Pembedahan secepatnya direkomendasikan untuk mengurangi
insiden infeksi
Metode :
Subtotal petrosectomy yang terdiri dari eksenterasi total dari temporal bone air cell
tracts dan obliterasi dari tuba eustachian. Setelah struktur yang cedera diperbaiki
atau dibebaskan (nervus fasialis, arteri karotis atau otic capsule), kavitas yang
terbentuk diobliterasi dengan graft lemak endogen dan flaps otot temporal.
Tindakan operasi untuk otorrhea meliputi craniotomy fossa media atau fossa
posterior, menelusuri tulang untuk melihat paparan dura yang menutupi tulang
petrosus.
Diusahakan
melakukan
penutupan
primer,
namun
bila
tidak
memungkinkan dapat dilakukan graft fascia lata atau graft lemak atau otot untuk
menutupi defek. Tindakan operasi untuk Rhinorrhea disesuaikan dengan lokasi
kebocoran yamg diketahui dengan tindakan diagnostik radiologis.
60
Penjelasan Rekomendasi
Bila kebocoran cairan likuor tidak berkurang dalam waktu 72 jam dengan terapi
konservatif, pemasangan lumbar drain dilakukan untuk mengalirkan 150 ml LCS
perhari selama 3-4 hari. Diversi LCS dari kebocoran dura dapat membantu
penutupan secara spontan.
Penulis
Deskripsi penilaian
TP/DR
Kesimpulan
II/B
Turchan A.
Prospektif case
1995
control insiden
propilaksis untuk
meningitis pada
pencegahan meningitis
pemberian antibiotik
tengkorak tidak
tengkorak
bermakna dibandingkan
placebo.
Katzen T.
Review beberapa
III/C
et al., 2007
penelitian tentang
tengkorak dapat
fraktur dasar
dilakukan dengan
tengkorak
Bachli H,
Review beberapa
III/C
Penanganan pembedahan
et al., 2009
penelitian mengenai
tingkat keparahan
kranii
keparahannya (CMF-ISS)
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Bachli H, et al. Skull base and maxillofacial fractures: Two centre study with
correlation ofclinical findings with a comprehensive craniofacial
classification system. Journal of Cranio-Maxilofacial Surgery. 2009;37:
305-311
Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore,
Maryland, USA.
Greenberg, Mark S. 2010. Handbook of NeuroSurgery 7th Ed. Thieme
Publishers, pp 887-889.
Katzen T., Janahy R, Eby JB, Mathiasen RA., Margulies DM, Shahinian HK.
Craniofacial and Skull Base Trauma. 2007. Available at \AMM/. Skull
Base lnstitute'
Kaye AH. Essential Neurosurgery.Blackwell Publishing, Ltd. Massachusetts.
2005 pp 50-51
Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC
Grow Hill Comp, New York.
Turchan A, Kasan U. Penggunaan Kloksasilin Dibandingkan Plasebo Dalam Hal
Mencegah
62
Guideline
1. Pasien
dengan
DAI
tanpa lesi
massa
memiliki
tekanan
:-
Penjelasan Rekomendasi :
Pasien cedera otak berat dengan diffuse axonal injury tanpa lesi massa harus
diintubasi atau ditracheostomy untuk proteksi terhadap jalan nafas, dan diberikan
oksigen dengan monitoring terhadap saturasi oksigen secara berkelanjutan. Pasien
harus mendapatkan support ventilator apabila didapatkan kondisi gagal nafas atau
klinis pasien yang mengalami perburukan. Dapat diberikan sedasi ringan dengan
midazolam i.v tunggal atau kombinasi dengan morphine.
Nimodipine memperbaiki prognosis pasien dengan diffuse axonal injury dan
menurunkan terjadinya vasospasm. Nimodipine diberikan dengan dosis 60 mg setiap
4 jam segera setelah pasien masuk RS
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No
1
Penulis
Deskripsi
TP/DR
II/B
Kesimpulan
Farhaoudi M
Nimodipine memperbaiki
et al., 2007
hemodinamik cerebral,
menurunkan terjadinya
vasospasm.
injury
2
Liew B
II/B
et al., 2009
normal sehingga
dibandingkan dengan
bentuk cedera otak berat
yang lain. Keluaran pasien
dengan diffuse axonal
injury yang diterapi secara
konservatif lebih baik
dalam hal lama rawatan di
RS/ICU dan perbaikan
GCS
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Farhoudi M et all., Effects of nimodipine on cerebral hemodynamics, and
prognosis of diffuse axonal injury patients. Neurosciences 2007; Vol.
12 (4)
Liew B et al., Severe Traumatic Brain Injury: Outcome in Patients withDiffuse
Axonal Injury Managed Conservatively in Hospital Sultanah Aminah,
Johor Bahru An Observational Study. Med J Malaysia Vol . 64 No. 4
December 2009
64
pemasangan
alat
pantau
tekanan
intrakranial-
Ventrikulostomi
Standard
Guideline
Option
Indikasi :
1. Pemasangan ICP monitor perlu dilakukan pada pasien COB (GCS 3-8 setelah
proses resusitasi) dengan CT Scan kepala abnormal (hematoma, contusio,
edema serebri atau penyempitan sisterna basalis).
2. ICP monitor juga dipasang pada pasien COB dengan CT Scan kepala normal jika
didapatkan 2 atau lebih dari hal berikut :
a. Usia > 40 tahun
b. TDS < 90 mmHg
c. Postural bilateral atau unilateral
Metode:
Metode monitoring TIK adalah melakukan pemasangan drainase intraventrikuler,
dengan lokasi insersi pada titik kocher.
Penjelasan Rekomendasi
Tujuan utama Intensif Management Protocol adalah untuk memelihara perfusi dan
oksigenasi otak secara adekuat untuk menghindari cedera otak sekunder. Perfusi
otak yang menurun dan outcome yang buruk berhubungan dengan hipotensi
sistemik dan hipertensi intrakranial. Satu-satunya jalan untuk menentukan CPP
adalah dengan memonitor TIK dan tekanan darah sistemik secara kontinyu.
65
Pasien dengan cedera kepala berat dengan tekanan intra kranial 20 mm Hg atau
lebih rendah memberikan outcome yang signifikan dinilai dari status kognitif.
Penulis
Deskripsi penelitian
TP/DR
Kesimpulan
II/B
Randall M.
Monitoring tekanan
et al., 2012
intrakranial
dipertimbangkan
kepala berat
status kognitif.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Cooper PR, (Ed), 1993, HEAD INJURY, 3rd Ed, William & Wilkins Beltimore,
Maryland, USA.
Narayan RK, Wilberger JE Jr, Povlishock JT (Eds) 1996 NEUROTRAUMA, MC
Grow Hill Comp, New York.
Palmer JD. HEAD TRAUMA in Manual of Neurosurgery Churchil Livingstone,
New York 1997. pp 499-580
Patil PG, Radtke RA, Friedman AH, 2002 Contemp. Neurosurgery 24 (22): 1-6.
Randall M, Chesnut, M.D, Temkin N, A trial of Intravranial-Pressure Monitoring
in Traumatic brain injury. J Neurotrauma 2012; 367; 26; 2471-81.
Wilkins RH and Rengachary SS (Eds), Neurosurgery Vol. II, 2nd Ed MC Graw
Hill Comp New York.
Guideline
Option
66
Penjelasan rekomendasi :
Pada beberapa jurnal sudah disusun guideline penanganan peningkatan TIK beserta
Beberapa pilihan yang didapatkan dari penelitian.:
67
Pemasangan
ICP Monitor
Menjaga
CPP>70mmHg
Hipertensi TIK
CT Scan
ulang
Pertahankan
terapi TIK
Manitol
0.25-1.0 g/KgBB
ya
a
Hipertensi TIK?
tidak
j
Hiperventilasi sampai
PaCO2 30-35mmHg
ya
Hipertensi TIK?
tidak
Terapi tersier
penanganan TIK
Dikutip dari Guidelines For the Management of Severe Head Injury (Journal of Neurotrauma
November 1996)
68
Penggunaan Ventilator
(PaCO2 30-35 mmHg, PEEP sampai 10 cmH2O)
THAM
Cairan hipertonik
Drainase CSF
Decompressive Craniectomy
Dikutip dari Valadka AB, Andrews BT. Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Questions.
2004
69
Sedasi
Drainase CSF
Manitol
Mild Hiperventilasihipothermi 32
Hiperventilasi agresif
Barbiturat
Dikutip dari Head Injury Pathofiology and management of Severe Closed Injury,Peter Reilly 1997
70
Pengarang
Diskripsi
Bullock
Jalur kritis
et al., 1996
penanganan TIK
Peter Reilly,
Algoritma
1997
penanganan TIK
Valadka
Algoritma
et al., 2004
penanganan TIK
TP/DR
Kesimpulan
III/C
III/C
III/C
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi
Bullock RM, Povlishock JT. Guidelines for the management of Severe Head Injury,
Journal of Neurotrauma,November 1996.
Reilly P,Head Injury : Pathophysiology and management of Severe Closed Injury,
1997
Valadka, Neurotrauma Evidence-Based Answer to Common Question,2004
71
Guideline
Option
: Kontrol terhadap jalan nafas harus dilakukan pada anak dengan GCS
8
Penjelasan Rekomendasi
Mortalitas pada anak-anak lebih rendah dibandingkan dengan dewasa. Pada anak
hanya hipotensi yang berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi,
72
sedangkan pada dewasa faktor hipotensi dan hipertensi. Hasil akhir yang jelek
berhubungan dengan : GCS < 8, abnormalitas pupil, defisit motorik, hipoksia,
hipotensi dan cedera ekstrakranial. Hipotensi dengan atau tanpa hipoksia
meningkatkan angka mortalitas secara signifikan
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No
1
Penulis
Deskripsi Penelitian
TP/DR
Kesimpulan
Fisher
III/C
et al, 1992
over membandingkan
3% dapat menurunkan
( thiopental dan
hiperventilasi). Kadar
berat
Serum sodium
meningkat sekitar 7
mEq/L setelah
pemberian saline 3%
2
Khanna
III/C
et al., 2000
penggunaan cairan
mOsm/L)
Peterson
III/C
et al., 2000
3%efektif dalam
menurunkan TIK
menurunkan TIK
4
Simma
III/C
et al., 2000
terbuka membandingkan
penggunaan saline
memerlukan intervensi
73
sedikit dibandingkan
dengan pemberian
Sakellaridis
II/B
et al., 2011
hipertonis terhadap
durasi kerjanya
Referensi :
Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial
pressure in children after head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992;
4 : 4-10
Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the treatment
of severe refractory posttraumatic intracranial hypertension in
pediatric traumatic brain injury. Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151
74
Guidelines
Option
: ICP Monitor dapat dilakukan pada bayi dan anak dengan cedera
otak berat
Penjelasan Rekomendasi:
ICP monitor diindikasikan pada penderita COB dengan CT Scan abnormal. Penderita
COB dengan CT Scan normal dipasang ICP monitor bila didapatkan minimal 2 dari
keadaan berikut :
1)
Motor posturing
2)
Hipotensi sistemik
Fontanela mayor dan atau sutura yang masih terbuka pada bayi tidak dapat
menyingkirkan
kemungkinan
tinggi atau
menyingkirkan
ICP monitor tidak dianjurkan rutin pada COS dan COR. Belum ada penelitian RCT
untuk mengevaluasi terhadap hasil akhir pengaruh penanganan COB dengan atau
tanpa pemasangan ICP monitor. TIK > 20 mmHg berhubungan dengan peningkatan
resiko kematian. TIK > 35 mmHg dan CPP < 55 mmHg (dewasa) dan 45 mmHg
(anak) merupakan faktor prediktif untuk hasil akhir yang jelek
75
Anak-anak dengan Cedera pada brain stem dengan TIK > 40 mmHg berhubungan
dengan kematian dan vegetative state yang tinggi. Tujuan terapi pasien anak dengan
cedera otak berat adalah normalisasi TIK (< 20 mmHg), optimalisasi CPP dan CBF,
mencegah terjadinya cedera otak sekunder dan menghindari terjadinya komplikasi
berkaitan dengan modalitas terapi yang bervariasi
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No
1
Penulis
Deskripsi Penelitian
TP/DR
Eder
et al., 2000
otak berat.
Membandingkan
berhubungan dengan
monitor terhadap
III/C
Kesimpulan
Anak-anak dengan
outcome
2
Peterson
Penelitian retrospektif
III/C
et al., 2000
3% efektif dalam
menurunkan TIK.
3% dalam menurunkan
TIK
3
Downard
Penelitian retrospektif
III/C
et al., 2000
berhubungan dengan
dilakukan pemasangan
peningkatan resiko
TIK
kematian
III/C
Chambers
Penelitian observational
et al., 2001
merupakan prediktif
monitor
dan dewasa
III C
TIK > 35 mm
White
Penelitian retrospektif
et al., 2001
dan observasional
nonsurvivor pada
ICP monitor
Cruz
Penelitian retrospektif
III C
et al., 2002
berhubungan dengan
pasien pediatric
penurunan ekstraksi
oksigen otak dan
prognosis yang buruk.
Pfenninger,
Penelitian retrospektif
III C
Hipertensi intrakranial
Santi, 2002
mengenai hubungan
sebanding dengan
prognosis buruk.
monitoring tekanan
vena jugular dengan
outcome pada pasien
pediatric
8
Adelson
Penelitian rondomized
IIIC
et al, 2005
hyptotermi dan
rendah berhubungan
pasien pediatric
Wahlstrom
Penelitian observasional
et al, 2005
mengenai terapi
terbukti adanya
monitoring ICP
hubungan signifikan
menggunakan protokol
III C
77
outcomen pasien.
pediatri
10
Stiefel M,
Penelitian retrospektif
III/C
Pemasangan monitor
et al, 2006
PO2jaringan merupakan
yang dilakukan
pemasangan monitor
pemasangan monitor
TIK
11
Grinkeviciute
Penelitian observasional
III C
et al, 2008
hubungan beberapa
pasien pediatri
12
Jagannathan
Penelitian observasional
III C
et al, 2008
mengenai terapi
berhubungan dengan
manajemen kenaikan
hubungannya dengan
tindakan craniektomy
dekompresi pada pasien
pediatric
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi :
Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate
hypothermia
by
using
receiver
operatingcharacteristic
curves
An
79
Guidelines
Option
Penjelasan Rekomendasi :
Pengaruh hipertensi intrakranial atau peningkatan TIK yang patologis terhadap
outcome COB pada anak-anak berkaitan dengan nilai puncak TIK dan durasi
peningkatan tersebut. Outcome yang jelek bila TIK > 30 mmHg dibandingkan TIK <
20 mmHg. Batas tertentu TIK untuk memulai pengobatan pada anak-anak dengan
COB belum dapat ditegakkan
Penulis
Deskripsi Penelitian
TP/DR
Kesimpulan
Shapiro and
III/C
Marmarou,
menentukan hubungan
mmHg berbanding
1982
Volume Index)
(Pressure Volume
Index)
Cho
et al., 1995
20 mmHg
Sharples
Penelitian prospektif.
et al., 1995
III/C
III/C
CBF berbanding
terbalik dengan TIK
80
White
III/C
et al., 2001
41% nonsurvivors
Cruz
III C
et al., 2002
pasien pediatri.
5 didapatkan pada
kelompok pasien
pasien dengan
outcome yang baik.
Rerata ICP 19-26
mmHg pada hari ke 25 didapatkan pada
kelompok pasien
dengan outcome yang
buruk.
6.
Pfenninger,
Penelitian retrospektif
III C
Hipertensi intrakranial
Santi, 2002
mengenai hubungan
mmHg sebanding
dengan prognosis
buruk.
Adelson
Penelitian rondomized
et al., 2005
IIIC
81
+ 4.7 mm Hg) vs
Kan
et al., 2006
kraniektomi
dekompresi hanya
untuk peningkatan
TIK memiliki
kraniektomi dekompresi
III/C
III C
outcome pada
kelompok dengan
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi :
Adelson PD, Ragheb J, Kanev P, et al: Phase II clinical trial of moderate
hypothermia
after
severe
traumatic
brain
injury
in
children.
Guidelines
Option
Penjelasan Rekomendasi
Manitol merupakan pilihan dalam manajemen peningkatan TIK dan cedera otak.
Manitol dapat menurunkan TIK melalui 2 mekanisme :
83
Cairan hipertonis salin 3% efektif dalam menurunkan TIK dan mengurangi intervensi
yang lain ( Thiopental dan hiperventilasi ) me TIK dan me CPP. Group dengan
pemberian salin hipertonis memiliki waktu tinggal di ICU lebih singkat, penggunaan
ventilasi mekanik lebih singkat, dan komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan
penggunaan RL. Dosis efektif dalam infus kontinyu salin 3% adalah 0,1
ml/kgBB/jam-1,0 ml/kgBB/jam. Osmolalitas serum dipertahankan pada 320 mOsm/L.
Kadar serum sodium meningkat sekitar 7 mEq/L setelah pemberian salin 3%.
Timbulnya hipernatremia dan hiperosmolar dapat ditoleransi secara aman pada
pasien anak-anak.
Tabel Tingkat Pembuktian (TP) dan Derajat Rekomendasi (DR)
No
1
Penulis
Deskripsi penelitian
TP/DR
III/C
Kesimpulan
Fisher
Penelitian double-blind
et al., 1992
cross over
3%dapat menurunkan
membandingkan
TIK danmengurangi
intervensi yanglain
(thiopental
danhiperventilasi).
Kadar Serum
berat.
sodiummeningkat sekitar
84
7 mEq/Lsetelah
pemberian saline3%
2
Khanna
III/C
et al., 2000
penggunaan cairan
hipertonis saline 3%
(1025mOsm/L)
Peterson
Penelitian retrospektif
III/C
et al., 2000
3% efektif dalam
menurunkanTIK.
3% dalam menurunkan
TIK.
4
Simma
Penelitian prospektif
III/C
et al., 2000
random terbuka
membandingkan
memerlukan intervensi
penggunaan saline
sedikit dibandingkan
dengan pemberian
Groupdengan pemberian
salin hipertonis memiliki
waktu tinggal di ICU
lebih singkat,
penggunaan ventilasi
mekanik lebih singkat,
lebih sedikit komplikasi
dibandingkan dengan
85
Wakai, 2013
I/A
baik dibandingkan
dengan pemberian
berat
menguntungkan jika
dibandingkan dengan
pemberian cairan
hipertonik saline.
Sakellaridis
II/B
et al., 2011
hipertonis terhadap
hipertensi intrakranial
durasi kerjanya
Referensi :
Fisher B, Thomas D, Peterson B ; Hypertonic saline lowers raised intracranial
pressure in childrenafter head trauma. J Neurosurg Anesthesiol 1992; 4
: 4-10
Khanna S, Davis D, Peterson B, et al : Use of hypertonic saline in the
treatment of severerefractory posttraumatic intracranial hypertension in
pediatric traumatic brain injury.Crit Care Med 2000; 28 : 1144-1151
Peterson B, Kanna S, Fisher B, et al : Prolonged hypernatremia controls
elevated intracranialpressure in head injured pediatric patients. Crit Care
Med 2000; 28 : 1136 -1143
Sakellaridis N, Pavlou E, Karatzas S, et al : Comparison of mannitol and
hypertonic saline in the treatment of severe brain injury. J Neurosurg
2011; 114 : 545-548
Simma B, Burger R, Falk M, et al : A prospective, randomized and controlled
study of fluidmanagement in children with severe head injury : Lactated
86
Guidelines
Option
Penjelasan Rekomendasi:
Ditemukan studi kelas III pada anak dengan penggunaan darinase ventrikuler pada
TBI. Sahpiro dan marmarou melakukan studi retrospektif pada anak dengan TBI
berat, didapat score 8 pada Glasgow Coma Scale (GCS), yang mana semuanya
dilakukan ventrikel drainase. Variabel terukur termasuk TIK, pressure-volume index,
dan angka kematian.
Drainase LCS akan meningkatkan Pressure Volume Index (PVI) dan penurunan TIK,
kematian
hanya
terjadi
pada
pasien
dengan
hipertensi
intrakranial
tak
terkendali/refrakter. Drainase LCS tidak terbatas dari rute ventrikel. Drainase lumbal
sebagai kombinasi perlu dipertimbangkan pada kasus :
1) Hipertensi
intrakranial
yang
membandel
setelah
pamasangan
kateter
Penulis
Deskripsi penelitian
TP/DR
III/C
Kesimpulan
Shapiro,
Penelitian retrospektif,
Drainage meningkatkan
Marmaron, 1982
ditentukan TIK/PVI
Baldwin and
III/C
rekate, 1991-
1992
lumbar
Levy
Penelitian retrospektif,
et al., 1995
16 pasien dengan
lumbar drain
III/C
terkendali
4
Kerr E Mary,
II/B
Drainase cairan
et al., 2001
mengetahui efek
serebrospinal (3 ml)
secara signifikan
monitor terhadap
perfusi otak
meningkatkan CPP
selama setidaknya 10
menit.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi :
Baldwin HZ, Rekate HL : Preliminary experience wih controlled external
lumbar drainage in diffuse pediatric head injury. Pediatry Neurosurg
1991-2; 17: 115-120
Kerr ME, et al : Dose response to cerebrospinal fluid drainage on cerebral
perfusion in traumatic brain-injured adult, Neurosurg Focus 11
(4):Article 1; 1-6. 2001
Levy DI, Rekate HL, Cherny WB, et al : Controlled lumbar drainage in
pediatric head injury. J Neurosurg 1995; 83 : 452-460.
Shapiro K, Marmarou A : Clinical application of the pressure-volume index on
treatment of pediatric head injuries. J Neurosurg 1982; 56 : 819825
88
VIII.6
Standard
Guidelines
Option
Penjelasan Rekomendasi:
Hiperventilasi Hipocapnia (PaCO2 ) Vasokonstriksi otak Pe CBF pe
volume darah otak pe TIK. Terapi hiperventilasi menunjukkan keuntungan pada
cedera otak dengan berbagai mekanisme yaitu :
1) Penurunan asidosis otak
2) Peningkatan metabolisme otak
3) Perbaikan tekanan darah dari aliran darah otak
Hiperventilasi Pe TIK dan pe CPP
4) Peningkatan perfusi pada area otak yang iskemia
iskemia
pada
kondisi
ini.
Hiperventilasi
agresif
singkat
dapat
Tidak ada bukti bahwa hiperventilasi sedang (PaCO2 25 30 mmHg) pada awal
cedera otak dapat menyebabkan iskemia global ataupun regional. Meskipun aman,
Hiperventilasi sementara masih diragukan manfaatnya.
Penulis
Deskripsi penelitian
TP/DR
II/B
Kesimpulan
Stringer
Iskemia karena
et al.,1993
randomuntuk pengukuran
mempengaruhi jaringan
Skippen
Penelitian kohort
et al.,1997
II/B
Diringer
Penelitian kohort
II/B
et al.,2002
prospektif, 13 pasien
menyebabkan iskemia
Referensi :
Diringer MN, Videen TO, Yundt K, et al. Regional Cerebrovascular and
Metabolic Effects of Hyperventilation after Severe Traumatic Brain
Injury. J Neurosurg 2002;96:103-108
90
Guidelines
Option
Penjelasan Rekomendasi
signifikan (rata-rata
penurunan 9 mmHg). Outcome yang baik didapatkan pada : usia muda, operasi
lebih awal dan TIK tidak pernah > 40 mmHg
91
Deskripsi Penelitian
TP/DR Kesimpulan
III/C
dibandingkan yang
dilakukan operasi
hanya mendapat
terapi medis
medis
2.
Polin
III/C
et al., 1997
4.
Taylor
III/C
et al., 2001
dekompresi secara
dengan hipertensi
nyata menurunkan
setelah dirandomisasi
terlalu bermakna
dekompresi kraniotomi vs
terhadap perbaikan
tanpa pembedahan
klinis
III/C
Kraniotomi
Hejazi
Penelitian retrospektif 7
Semua pasien
et al., 2002
mengalami perbaikan
komplit pada
monitoring selama 8
inisial>45mmHg telah
dilakukan craniektomi
dekompresi
5.
Figaji
et al., 2003
III/C
Semua pasien
mengalami perbaikan
92
6.
pada monitoring14-
craniektomi.
40 bulan.
III/C
3 pasien mengalami
perbaikan komplit, 2
pasein mengalami
dilakukan craniektomy
kecacatan pada
monitoring selama 6
dekompresi.
7.
III/C
5 dari 6 pasien
meninggal. 3 dari 4
dilakukan craniektomi
20 mmHg
dekompresi.
8.
Rutgliano
III/C
5 dari 6 pasien
et al, 2006
tinggi. 1 pasien
dilakukan craniektomy
mengalami kenaikan
dekompresi
ICP, setelah
dilakukan operasi
kedua ICP kembali
normal.
9.
Skoglund
III/C
3 pasien memiliki
et al., 2006
monitoring selama 1
tahun, 1 pasien
dengan GOS 4, 3
dekompresi.
10.
Jagannathan
III/C
et al., 2007
sebanding dengan
mortalitas,
craniektomy dekompresi
didapatkan pula
4.
Ellis JA
Penelitian retrospektif
III/C
Internal cranial
et al., 2012
expansion adalah
tahun
pasien dengan
intraserebral
hipertensi yang
refrakter.
Scottish Intercollegiate Guideline Network : US Agency for Health Care policy and Research
Referensi:
Cho
DY,
Wang
YC,
Chi
CS:
Decompressive
craniotomy
for
acute
dewasa pada anak. Usaha-usaha untuk mengenali aspek khusus pada anak dikaji
dan guideline yang disusun adalah sebagai pendamping guideline yang ada untuk
orang dewasa. Guideline yang disusun sebagian besar adalah hasil konsensus
bersama.
Pediatrik atau anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia kurang dari 18 tahun.
Cedera otak traumatik, yang selanjutnya disebut sebagai cedera otak saja, adalah
perlukaan primer atau sekunder akibat kejadian trauma pada otak. Cedera otak
akibat penganiayaan (abusive head injury) termasuk didalamnya penganiyaan,
penyiksaan, penelantaran dan shaken baby syndrome dimasukkan juga dalam
kategori cedera otak ini. Cedera akibat trauma kelahiran, tenggelam, dan gangguan
pembuluh darah otak tidak dimasukkan dalam kelompok ini.
Secara epidemiologi, cedera otak pada anak menyebabkan kematian pada 40%
kasus anak usia 1 hingga 4 tahun dan 70% kematian pada anak usia 5 hingga 19
tahun. Pola dan prinsip manajemen cedera kepala pada anak hampir sama dengan
pada orang dewasa tetapi ada perbedaan penting. Ini berhubungan dengan tingkat
perkembangan anak, variasi anatomi terhadap kepala dan pada umumnya dan
respon otak anak terhadap cedera traumatik. Hal-hal yang terkait adalah : pada
anak kecil tidak mungkin melakukan pemeriksaanGCS seperti orang dewasa.
Modifikasi skala yang diadopsi untuk anak kecil dan bayi. Fluktuasi respon lebih
banyak pada anak dan dicatat secara terpisah pada kartu monitoring seringkali
menyesatkan. Seringkali sulit memutuskan apakah ada penurunan kesadaran pada
waktu benturan. Gegar otak bisa sangat singkat dan tidak bisa dinilai dengan
observasi Trauma tumpul pada kepala anak dapat terjadi dalam waktu singkat
dengan perkembangan edema otak akut. Kondisi ini bisa terjadi pada trauma kepala
yang nampaknya terlihat ringan dan diindikasikan dengan penurunan status
kesadaran yang cepat dan dalam.Kondisi ini dapat di diagnosa hanya setelah lesi
masa disingkirkan dengan pemeriksaan CT scan.
Penurunan kesadaran mendadak diikuti kondisi seperti episode bingung menandai
beratnya cedera kepala. Pasien seperti ini harus menjalani CT scan untuk
memastikan tidak ada perdarahan intrakranial. Kejang dini dalam satu jam sejak
96
trauma tidak sama resikonya dengan epilepsi pasca trauma lanjut pada orang
dewasa. Pada umumnya anak anak membaik dan sembuh total setelah serangan,
tidak ada indikasi pemberian anti konvulsan. Tipisnya scalp dan kalvaria pada anak
kecil meningkatkan resiko kerusakan otak oleh penetrasi objek dimana pada orang
dewasa tidak bisa tembus. Beberapa luka tusuk pada kepala anak harus diterapi
seolah-olah telah terjadi trauma langsung pada otak. Luka masuk harus diperiksa
dengan teliti untuk mencari tanda fraktur, keluarnya CSS atau jaringan otak. Jika
masih ragu-ragu, CT scan dapat digunakan untuk menilai luasnya kerusakan pada
sisi itu. Rujukan ke ahli bedah saraf diperlukan untuk memperbaiki kerusakan
tersebut. Fraktur impresi, baik yang sederhana maupun yang komplikata umumnya
berkaitan dengan kerusakan lokal terhadap otak dibawahnya. Energi benturan
secara substansial dapat diserap pada sisi trauma dan efek akselerasi pada otak
diminimalisir. Tidak adanya riwayat hilangnya kesadaran tidak menghilangkan
adanya cedera fokal yang berat. Foto polos kepala, khususnya tangensial view, bisa
menyatakan luasnya cedera tulang walupun CT scan dapat menunjukkan lebih jelas
aspek yang sama, dan ditambah dapat menunjukkan apakah ada atau tidak cedera
otak dibawahnya. Karena elastisitasnya, kalvaria anak kecil dapat mengalami
perubahan bentuk setelah benturan tanpa ada fraktur. Deformitas ini bisa
berhubungan dengan trauma lokal terhadap otak atau trauma pada meningen yang
menghasilkan
timbulnya
hematom
ekstradural.
Tidak
adanya
fraktur
tidak
menghilangkan suatu perdarahan tipe ini pada anak. Kehilangan darah adalah
pertimbangan penting sebagai perhatian untuk menilai cedera otak pada anak
termasuk bayi.
Penurunan mendadak volume darah sirkulasi bisa dihasilkan dari perdarahan dari
luka, hematom scalp (sub galeal) dan atau hematom intrakranial. Pada bayi kecil
karena mekanisme kompensasi intrakranial hematom bisa sangat besar. Khususnya
penting untuk menyatakan bahwa tekanan darah bisa dipertahankan sebagai refleksi
peningkatan tekanan intrakranial dan distorsi. Pada pembedahan, tekanan darah
bisaturun dengan cepat. Ini penting pada anak-anak jika merencanakan untuk
melakukan
pembedahan
sebagai
pertimbangan
pemberian
transfusi
darah
segera.Pada kondisi emergensi darah O negatif dapat diberikan. Otak anak kecil
97
kemungkinan besar mengalami edema setelah trauma tumpul dan ini penting sekali
untuk tidak memasukkan cairan berlebihan pada pasien seperti ini. Sebagaimana
pada orang dewasa cairan intravena tidak diperlukan kecuali untuk mengganti
perkiraan kehilangan sesuai indikasi. Edema otak lambat dapat menyebabkan
perubahan yang tidak diduga dan observasi pada anak kecil di rumah sakit selama
24 jam setelah cedera ringan dianjurkan.
Pada bayi, fontanela paling bermanfaat dalam menilai ada atau tidaknya
peningkatan tekanan intrakranial. Adanya perdarahan retina, skull fraktur bilateral
menunjukkan suatu trauma non kecelakaan. Gelisah pada cedera kepala anak kecil
bisa menyulitkan saat CT scan. Pembiusan atau sedasi dapat diberikan pada kondisi
akut.
Rekomendasi atau guideline penatalaksanaan cedera otak berat pada anak sesuai
dengan Guidelines For The Acute Medical Management of Severe Traumatic Brain
Injury in Infants, Children, and Adolescent (Pediatric Critical Care Medicine,
4(3), 2003
98
Gangguan kognitif
Gangguan
Gangguan tidur
emosi
- Nyeri kepala
- Mual muntah
- Mental berkabut
Mudah marah
Mengantuk
- Merasa lambat
Sedih
- Susah konsentrasi
Lebih emosi
Susah tidur
- Gangguan
keseimbangan
- Mudah lelah
- Mudah lupa
dan gugup
- Gangguan visus
- Sensitif dengan
- Mengulang
cahaya
pertanyaan
- Menjawab
pertanyaan dengan
pelan
99
Sistem Cantu
1. Amnesia post traumatic < 30
menit
2. Tidak pernah penurunan
kesadaran
Sedang
Sistem AAN
1. Bingung
2. Tidak pernah penurunan
kesadaran
3. Gejala hilang < 15 menit
Seperti diatas namun gejala
masih masih ada > 15 menit
Sedang
CT atau MRI jika nyeri kepala atau gejala lain memburuk atau
lebih dari 1 minggu
Berat
neuroimaging yang
sesuai
Adanya
penurunan
kesadaran
yang
berlangsung
lama,
CT scan atau MRI jika nyeri kepala atau keluhan memberat atau
lebih dari dua minggu.
Concussion berulang pada periode waktu yang pendek merupakan suatu kondisi
yang berpotensi membahayakan. Perlunya pemeriksaan neuroimaging (misal CT
scan) pada atlet dengan gejala yang membaik bersifat kontroversi, dan tergantung
penilaian dari dokter yang menangani. Indikasi pemerikasaan neuroimaging yang
disarankan adalah :
1. Concussion berat
101
Tingkat keparahan
Ringan
1 minggu*
Ringan
Sedang
Berat
Referensi
Bradley, et al. 2013. Sport related concussion. Division of pediatric sports
medicine rainbow babies and children hospital. Elsevier. Vol 14 : 4
Victoroff, et al. 2012. Diagnosis dan treatment of sport related traumatic brain
injury. Psychiatric annals. 42 : 10
Sahler, et al. 2012. Traumatic brain injury in sports : A review. Hindawi
rehabilitation research and practice.
Greenberg, Mark. 2010. Handbook of neurosurgery 7 ed. Thieme : Hal 850.
102
PENUTUP
Pedoman ini akan selalu dilakukan evaluasi dan secara sistematis dilakukan
penelitian yang mendukung, sehingga mendapat tingkat kepercayaan klinis (clinical
certainty) yang tertinggi yaitu gold standard / standard. Namun, pada dasarnya
pedoman ini sudah dapat digunakan sebagai acuan atau rekomendasi, baik untuk
tatalaksana yang bersifat medik maupun intervensi pembedahan di bidang cedera
otak.
pada
pelayanan
dan
pendidikan
serta
penelitian
dibidang
neurotrauma.
Rasanya tak ada gading yang tak retak. Kesempurnaan selalu menjadi harapan kami
namun berbagai keterbatasan membuat kami tidak dapat menyusun pedoman ini
secara sempurna, sehingga kekurangan dan ketidak sesuaian selalu ada.
103