KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
LAPORAN KASUS
NOVEMBER 2016
DISUSUN OLEH :
Akhmad Muhajir R
C 111 10 154
SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Akhtar Fajar Muzakkir, Sp.JP, FIHA
2016LEMBAR PENGESAHAN
: Akhmad Muhajir R
Universitas
: Universitas Hasanuddin
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Tanggal Lahir / Usia
No.Rekam Medis
Pekerjaan
Status Perkawinan
Alamat
Masuk RS
: Tn. ASK
: 01-07-1948 / 68 tahun
: 65 86 53
:
: Menikah
: Maros
: 16/11/2016
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan utama sesak nafas yang dirasakan
sejak 1 minggu dan memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
nafas dirasakan saat beraktivitas dan saat istirahat. Riwayat diabetes mellitus,
hipertensi disangkal, riwayat merokok tidak ada. Ada edema ekstremitas.
Riwayat penyakit jantung dalam keluarga tidak ada.
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Riwayat penyakit jantung ada, dirawat di CVCU selama 14 hari.
Riwayat asma bronkhial tidak ada.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Sakit sedang/Gizi Lebih/GCS 15 (compos mentis)
Status Antropometri
- Tinggi Badan
: 164 cm
- Berat Badan
: 70 kg
- Indeks Massa Tubuh : 26,02 kg/m2
Tanda-tanda Vital
-
Kepala
Deformitas
: Tidak ada
1
Rambut
: Sukar dicabut
Ukuran
: Normocephal
Kornea
Bentuk
: Mesocephal
Mata
Sklera
: Ikterus (-)
Pupil
Telinga
Hidung
Epistaksis
Otorrhea
: Tidak ada
: Tidak ada
Mulut
Bibir : Kering (-)
Leher
KGB : Tidak ada pembesaran
Dada
Bentuk
Buah dada : Simetris kiri sama dengan kanan, tidak ada kelainan
Sela iga
Paru
Palpasi
Perkusis
Palpasi
Perkusi
Aukultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
: Timpani (+)
Ekstremitas
Edema pretibial ada
D. ELECTROCARDIOGRAFI
Interpretasi:
Ritme
Heart Rate
Axis
Gelombang P
PR Interval
QRS kompleks
ST Segmen
Kesimpulan
: Sinus Ritme
: 94 x/menit
: normoaxis (700)
: 0,08s
: 0,16s
: 0,08s
: ST Elevation pada lead V1-V3
: Sinus Ritme, Heart Rate 94x/menit, normoaxis,STEMI
Anteroseptal(ST elevation lead V1-V6)
E. ECHOCARDIOGRAFI
Kesimpulan :
Fungsi sistolik ventrikel kiri dan ventrikel kanan menurun
Dilatasi semua ruang jantung
Hipertrofi ventrikel kiri eksentrik
Akinetik dan hipokinetik segmental
Mitral regurgitasi ringan, Tricuspid regurgitasi ringan, Pulmonal hipertensi ringan
Disfungsi diastolik ventrikel kiri derajat berat
F. LABORATORIUM
Tes
Hasil
Satuan
Nilai Normal
Hematologi Rutin
HGB
HCT
WBC
PLT
Ureum
Creatinin
CK
CK-MB
Troponin I
Natrium
Kalium
Klorida
15.5
48
7.6
221
84
2.05
96,00
19,7
0,04
142
3.6
103
g/dl
%
103/uL
103/uL
mg/dl
mg/dl
U/L
U/L
ng/ml
mmol
mmol
mmol
12 - 16
37 - 48
4,00 - 10,0
150 400
10 - 50
L(<1,3), P(<1,1)
L(<190), P(<167)
<25
<0,01
136 - 145
3,5 5,1
97 111
4
G. RADIOLOGI
1. Foto Thorax PA (17 November 2016)
Kesan: Cardiomegaly dengan tanda tanda bendungan paru
Efusi pleura bilateral
Elevasi diafragma dextra
H. ASSESSMENT
1. Patent Ductus Arteriosus
2. TB Paru on treatment
I. TERAPI
1. IVFD Dextrose 5% 20 tpm
2. Ceftazidime 1 gr/12 jam/IV
3. Obat Anti TB (bulan ke-6)
4. Paracetamol 300 mg.8 jam/IV
I. PLANNING
1. Oklusi PDA
II. RESUME
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan utama sesak nafas yang dirasakan sejak 1
minggu dan memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas dirasakan saat
beraktivitas dan saat istirahat. Riwayat diabetes mellitus, hipertensi disangkal, riwayat
merokok tidak ada. Ada edema ekstremitas. Riwayat penyakit jantung dalam keluarga
tidak ada. Riwayat penyakit jantung ada, dirawat di CVCU selama 14 hari. Riwayat asma
bronkhial tidak ada.
Pemeriksaan Fisis :
Keadaan Umum : Sakit sedang/Gizi Lebih/GCS 15 (compos mentis)
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Frekuensi nadi : 110 kali/menit
- Frekuensi napas: 30 kali/menit
- Suhu (aksilla) : 36,5oC
JVP
Thorax
: R+3 cmH20
: ronkhi (+/+) di basal paru bilateral, wheezing (-),
Jantung
Abdomen
Ekstremitas
ECHO
Foto thorax
Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung, terdapat faktor-faktor
fisiologis lain yang dapat menyebabkan jantung gagal bekerja sebagai pompa. Faktor-faktor
yang mengganggu pengisian ventrikel (misal, stenosis katup atrioventrkularis) dapat
menyebabkan gagal jantung.
Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang
mendadak dapat berupa:
1. Disritmia
Disritmia akan mengganggu fungsi mekanis jantung dengan mengubah rangsangan
listrik yang memulai respons mekanis. Respons mekanis yang sinkron dan efektif
tidak akan dihasilkan tanpa adanya ritme jantung yang stabil.
2. Infeksi sistemik dan infeksi paru-paru
Respon tubuh terhadap infeksi akan memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh yang meningkat.
3. Emboli paru
Emboli paru secara mendadak akan meningkatkan resistensi terhadap ejeksi ventrikel
kanan, memicu terjadinya gagal jantung kanan
Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung akibat
penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.
Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi volume sekuncup dan meningkatkan
volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya volume akhir diastolik ventrikel, terjadinya
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri. Akibatnya terjadi pula peningkatan tekanan
atrium kiri karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan
7
yang
metabolismenya
rendah
seperti
kulit
dan
ginjal
untuk
Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Mekanisme ini
mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir
normal pada awal perjalanan gagal dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja
ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan
berlanjutnya gagal jantung, maka kompensasi akan menjadi semakin kurang efektif.
Klasifikasi
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal
jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi,
serta gagal jantung kronis. Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark
miokard akut, dengan pembagian:
Derajat I : Tanpa gagal jantung
Derajat II
: Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti (adanya
ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara
jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver
valsava) dan kecukupan perfusi (adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi
simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran). Pasien yang mengalami kongesti
disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut
dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi
K
K
K
K
Kelas I
Tanpa keluhan Masih bisa melakukan aktivitas fisik sehari-hari tanpa disertai
kelelahan, sesak napas, ataupun palpitasi.
Kelas II
Ringan aktivitas fisik ringan/sedang menyebabkan kelelahan, sesak napas, ataupun
9
palpitasi, tetapi jika aktivitas ini dihentikan maka keluhan pun hilang.
Kelas III
Sedang aktivitas fisik ringan/sedang menyebabkan kelelahan, sesak napas, ataupun
K
MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda gagal ke belakang (backward) jantung kiri:
1. Dispnea (sulit bernapas)
Merupakan keluhan yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh peningkatan kerja
pernafasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurang kelenturan paru dan
peningkatan tahanan aliran udara. Dispnea saat beraktivitas (dyspneu deffort)
menunjukan gejala awal dari gagal jantung kiri.
2. Orthopnea
Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi berbaring,
biasanya merupakan manifestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan dyspneu
deffort. Hal ini terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan
ektremitas bawah kedalam sirkulasi pusat selama berbaring, disertai dengan
peningkatan tekanan kapiler pulmoner.
3. Batuk nocturnal (batuk yang dialami pada malam hari)
Merupakan gejala yang sering terjadi pada proses ini dan seringkali menyamarkan
gejala gagal jantung yang lain.
4. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)
Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang
biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3
jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau
wheezing, kemungkinan karena peningkatan tekanan pada arteri bronchial
menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan edema pulmoner interstitial
yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara. Diketahui bahwa orthopnea
dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan pasien PND seringkali mengalami
batuk dan wheezing yang persisten walaupun mereka mengaku telah duduk tegak.
5. Ronki
Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru merupakan ciri khas
dari gagal jantung kiri. Awalnya terdengar dibagian bawah paru-paru karena pengaruh
gaya gravitasi.
10
6. Hemoptisis
Disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat distensi vena.
7. Disfagia (sulit menelan)
Disebabkan oleh distensi atrium kiri atau vena pulmonalis yang menyebabkan
kompresi esofagus dan disfagia.
dari gagal ke depan adalah berkurangnya perfusi ke organ seperti kulit, otot
rangka, dan ginjal.
2. Kulit pucat dan dingin
disebabkan oleh vasokonstriksi perifer.
3. Demam ringan dan keringat yang berlebihan
disebabkan oleh vaskonstriksi kulit yang dapat menghambat kemampuan tubuh
untuk melepaskan panas.
4. Kelemahan dan keletihan
disebabkan oleh kurangnya perfusi ke otot rangka. Gejala juga dapat diperberat
oleh ketidakseimbangan elektrolit dan cairan atau anoreksia.
5. Anuria
Akibat kurangnya perfusi darah ke ginjal.
6. Pernapasan Cheyne-Stokes
Juga disebut sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan
Cheyne-Stokes umum terjadi pada gagal jantung berat dan biasanya berkaitan
dengan rendahnya cardiak ouput. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh
berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan PCO2. Terdapat
fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial
meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan memicu depresi
pusat pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi
fase apnea. Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien
sebagai sesak napas parah (berat) atau napas berhenti sementara.
7. Gejala serebral
Pasien dengan gagal jantung dapat pula datang dengan Gejala serebral, seperti
disorientasi, gangguan tidur dan mood, dapat pula diamati pada pasien dengan
gagal jantung berat, terutama pasien lanjut usia dengan arteriosclerosis serebral
dan perfusi serebral yang menurun. Nocturia umum terjadi pada gagal jantung
dan dapat berperan dalam insomnia
DIAGNOSIS
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksan penunjang.
A. Anamnesis
K
Manifestasi klinis
B. Pemeriksaan fisis
inspeksi perut bisa membuncit, palpasi dapat ditemukan hepatomegali, perkusi, dan
auskultasi bising usus biasanya normal
C. Pemeriksaan penunjang :
1. Foto toraks
D. Pemerikasaan lain
pemeriksaan Hb, elektrolit, ekokardiografi untuk kelainan katup, angiografi, fungsi ginjal,
dan fungsi tiroid dilakukan atas indikasi.
Laboratorium :
1. Faal ginjal :
+ Urin :
Ureum meningkat dan kreatinin clearance menurun, maka menunjukkan gagal jantung
yang berat.
Na, Bl dan albumin menurun, sehingga meningkatkan volume darah dan cairan udema
K
K
K
K
K
2. Faal hati
Bilirubin darah, urin dan urobilinogen meningkat
LED turun
LDH naik, terutama LDH5
Fosfatase alkali naik (ringan/berat)
Protombin agak naik
3. Faal paru
Tekanan O2 turun karena pertukaran gas terganggu , paru udema
Alkalosis respiratorik : pH naik, pCO2 turun, maka terjadi dapat hiperventilasi, respon
terhadap hipoksemia
Asidosis respiratorik : pH turun, pCO2 naik, maka dapat terjadi udema paru akut yang
menyebabkan kegagalan ventilasi dan retensi CO2.
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosa ditegakkan gagal jantung kongestif,
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
dianjurkan untuk diberikan diuretic sebelum memulai terapi ACEI. Akan tetapi, penting
untuk mengurangi dosis diuretic selama awal pemberian ACEI dengan tujuan mengurangi
kemungkinan hipotensi simptomatik. ACEI sebaiknya dimulai dengan dosis rendah, diikuti
dengan peningkatan dosis secara bertahap jika dosis rendah dapat ditoleransi.
Efek samping yang kebanyakan terjadi berkaitan dengan supresi sistem renin angiotensin.
Penurunan tekanan darah dan azotemia ringan dapat terjadi selama pemberian terapi dan
biasanya ditoleransi dengan baik sehingga dosis tidak perlu diturunkan. Akan tetapi, jika
hipotensi diikuti dengan rasa pusing atau disfungsi renal menjadi lebih berat, maka penting
untuk menurunkan dosisnya. Pada retensi potassium yang tidak berespon dengan diuretic,
dosis ACE juga perlu diturunkan.
6. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien yang tidak dapat diberikan ACE karena batuk,
rash kulit, dan angioedema. Walaupun ACEI dan ARB menghambat sistem renninangiotensin, kedua golongan obat ini bekerja dalam mekanisme yang berbeda. ACEI
memblokir enzim yang berperan dalam mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II,
ARB memblokir efek angiotensin II pada reseptor angiotensin tipe I. Beberapa penelitian
klinik menunjukkan manfaat terapeutik dari penambahan ARB pada terapi ACEI pada pasien
HF kronis.
Baik ACE inhibitor maupun ARBs memiliki efek serupa terhadap tekanan darah, fungsi
ginjal, dan potassium. Sehingga efek samping kedua obat tersebut serupa pula.
7. -Adrenergic Receptor Blockers
Terapi Beta blocker menunjukkan kemajuan utama dalam penanganan pasien dengan
penurunan EF. Obat ini mempengaruhi efek berbahaya dari aktivasi sistem adrenergic yang
berkepanjangan dengan secara kompetitif memblokir satu atau lebih reseptor adrenergik (1,
1, and 2). Walaupun terdapat manfaat potensial dalam memblokir tiga reseptor ini,
kebanyakan efek penurunan aktivasi adrenergic dimediasi oleh reseptor 1. Jika diberikan
bersamaan dengan ACEI, beta blocker menghambat proses LV remodeling, meringankan
gejala pasien, mencegah opname, dan memperpanjang harapan hidup. Maka dari itu beta
blocker diindikasikan pada pasien HF simptomatik atau asimptomatik dengan EF menurun
(<40%).
Efek samping dari beta bloker biasanya terkait dengan komplikasi yang timbul dari
penurunan sistem saraf adrenergic. Reaksi ini umumnya terjadi beberapa hari setelah
permulaan terapi dan biasanya responsive setelah dosis dikurangi. Terapi betabloker dapat
menyebabkan bradykardia dan/atau eksaserbasi heart block. Maka dari itu, dosis beta blocker
sebaiknya diturunkan jika heart rate menurun hingga <50>1 receptor yang dapat
mengakibatkan efek vasodilatasi.
16
8. Antagonis Aldosteron
Walaupun dikategorikan sebagai diuretic hemat kalium, obat yang memblokir efek aldosteron
(spironolakton atau eplerenon) memiliki efek bermanfaat yang independent dari efek
keseimbangan sodium. Walaupun ACEI dapat menurunkan sekresi aldosteron secara
transient, dengan terapi jangka panjang, kadar aldosteron akan kembali seperti sebelum terapi
ACEI dilakukan. Maka dari itu, pemberian antagonis aldosteron dianjurkan pada pasien
dengan NYHA kelas III atau kelas IV yang memiliki EF yang menurun (<35%).
Permasalahan utama pemberian antagonis aldosteron adalah peningkatan
resiko
hyperkalemia, dimana lebih cenderung terjadi pada pasien yang menerima terapi suplemen
potassium atau mengalami insufisiensi renal sebelumnya. Antagonis aldosteron tidak
direkomendasikan jika kreatinin serum >2.5 mg/dL (atau klirens kreatinin <30>5.0 mmol/L.
9. Antikoagulan dan Antiplatelet
Pasien HF memiliki peningkatan resiko terjadinya kejadian thromboembolik. Pada penilitan
klinis, angka kejadian stroke mulai dari 1,3 hingga 2,4% per tahun. Penurunan fungsi LV
dipercaya mengakibatkan relative statisnya darah pada ruang kardiak yang berdilatasi dengan
peningkatan resiko pembentukan thrombus. Penatalaksanaan dengan warfarin dianjurkan
pada pasien dengan HF, fibrilasi atrial paroxysmal, atau dengan riwayat emboli sistemik atau
pulmoner, termasuk stroke atau transient ischemic attack (TIA). Pasien dengan iskemik
kardiomyopati simptomatik atau asimptomatik dan memiliki riwayat MI dengan adanya
thrombus LV sebaiknya diatasi dengan warfarin dengan permulaan 3 bulan setelah MI,
kecuali terdapat kontraindikasi terhadap pemakaiannya.
Aspirin direkomendasikan pada pasien HF dengan penyakit jantung iskemik untuk
menghindari terjadinya MI dan kematian. Namun, dosis rendah aspirin (75 atau 81 mg) dapat
dipilih karena kemungkinan memburuknya HF pada dosis lebih tinggi.
Daftar Pustaka
1. Ahlquist David A, Camilleri M. Harrisons Principles of Internal Medicine. 15 th edition.
Braunwald, Fauci, Kasper et all (Editor). 2008.
2. Simadibrata K, Daldiyono. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru W Sudoyo (Editor), Balai
Penerbit UI. Jakarta, 2006.
3. Naskah lengkap penyakit dalam. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2007.
17