Anda di halaman 1dari 19

BAGIAN KARDIOLOGI DAN

KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

LAPORAN KASUS
NOVEMBER 2016

CONGESTIVE HEART FAILURE

DISUSUN OLEH :
Akhmad Muhajir R
C 111 10 154
SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Akhtar Fajar Muzakkir, Sp.JP, FIHA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR

2016LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :


Nama

: Akhmad Muhajir R

Universitas

: Universitas Hasanuddin

Judul Laporan Kasus : Congestive Heart Failure


telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu Jantung dan
Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, November 2016


Supervisor Pembimbing

dr. Akhtar Fajar Muzakkir, Sp.JP, FIHA

BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Tanggal Lahir / Usia
No.Rekam Medis
Pekerjaan
Status Perkawinan
Alamat
Masuk RS

: Tn. ASK
: 01-07-1948 / 68 tahun
: 65 86 53
:
: Menikah
: Maros
: 16/11/2016

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan utama sesak nafas yang dirasakan
sejak 1 minggu dan memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
nafas dirasakan saat beraktivitas dan saat istirahat. Riwayat diabetes mellitus,
hipertensi disangkal, riwayat merokok tidak ada. Ada edema ekstremitas.
Riwayat penyakit jantung dalam keluarga tidak ada.
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Riwayat penyakit jantung ada, dirawat di CVCU selama 14 hari.
Riwayat asma bronkhial tidak ada.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Sakit sedang/Gizi Lebih/GCS 15 (compos mentis)
Status Antropometri
- Tinggi Badan
: 164 cm
- Berat Badan
: 70 kg
- Indeks Massa Tubuh : 26,02 kg/m2
Tanda-tanda Vital
-

Tekanan darah : 110/70 mmHg


Frekuensi nadi : 110 kali/menit
Frekuensi napas: 30 kali/menit
Suhu (aksilla) : 36,5oC

Kepala

Deformitas

: Tidak ada
1

Simetris muka : Simetris

Eksoftalmus : Tidak ada

Rambut

: Sukar dicabut

Konjungtiva : Anemis (-)

Ukuran

: Normocephal

Kornea

Bentuk

: Mesocephal

Enoptalmus : Tidak ada

Mata

: Refleks kornea (+)

Sklera

: Ikterus (-)

Pupil

: Isokor 2,5 mm/2,5 mm

Telinga

Hidung

Pendengaran: Dalam batas normal

Epistaksis

Otorrhea

Rhinorrhea : Tidak ada

: Tidak ada

: Tidak ada

Mulut
Bibir : Kering (-)

Lidah : Kotor (-)

Tonsil : T1-T1 Tidak Hiperemis

Faring : Tidak Hiperemis

Leher
KGB : Tidak ada pembesaran

DVS : R+3 cmH2O

Kelenjar Gondok : Tidak ada pembesaran

Kaku kuduk : Tidak Ada

Dada
Bentuk

: Simetris kiri sama dengan kanan

Buah dada : Simetris kiri sama dengan kanan, tidak ada kelainan
Sela iga

: Simetris kiri sama dengan kanan

Paru
Palpasi

: Fremitus simetris kiri sama dengan kanan


Nyeri tekan tidak ada

Perkusis

: Batas paru hepar ICS VI dekstra


Batas paru belakang kanan ICS IX
Batas paru belakang kiri ICS X

Auskultasi : Bunyi Pernapasan : Vesikuler


Bunyi Tambahan : Ronkhi (+) di basal paru bilateral, Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba

Perkusi

: Batas atas ICS II sinistra


Batas kanan 1 cm lateral linea parasternalis dekstra
Batas kiri linea axilla anterior sinistra

Aukultasi

: Bunyi Jantung I/II kesan regular, bising tidak ada

Abdomen
Inspeksi

: Datar, ikut gerak napas

Auskultasi

: Peristaltik (+) kesan normal

Palpasi

: Hepar dan Lien tidak teraba


Massa tumor (-), Nyeri tekan (-)
3

Perkusi

: Timpani (+)

Ekstremitas
Edema pretibial ada
D. ELECTROCARDIOGRAFI

Interpretasi:
Ritme
Heart Rate
Axis
Gelombang P
PR Interval
QRS kompleks
ST Segmen
Kesimpulan

: Sinus Ritme
: 94 x/menit
: normoaxis (700)
: 0,08s
: 0,16s
: 0,08s
: ST Elevation pada lead V1-V3
: Sinus Ritme, Heart Rate 94x/menit, normoaxis,STEMI
Anteroseptal(ST elevation lead V1-V6)

E. ECHOCARDIOGRAFI
Kesimpulan :
Fungsi sistolik ventrikel kiri dan ventrikel kanan menurun
Dilatasi semua ruang jantung
Hipertrofi ventrikel kiri eksentrik
Akinetik dan hipokinetik segmental
Mitral regurgitasi ringan, Tricuspid regurgitasi ringan, Pulmonal hipertensi ringan
Disfungsi diastolik ventrikel kiri derajat berat
F. LABORATORIUM
Tes

Hasil

Satuan

Nilai Normal

Hematologi Rutin
HGB
HCT
WBC
PLT
Ureum
Creatinin
CK
CK-MB
Troponin I
Natrium
Kalium
Klorida

15.5
48
7.6
221
84
2.05
96,00
19,7
0,04
142
3.6
103

g/dl
%
103/uL
103/uL
mg/dl
mg/dl
U/L
U/L
ng/ml
mmol
mmol
mmol

12 - 16
37 - 48
4,00 - 10,0
150 400
10 - 50
L(<1,3), P(<1,1)
L(<190), P(<167)
<25
<0,01
136 - 145
3,5 5,1
97 111
4

Tabel 1: Pemeriksaan Laboratorium

G. RADIOLOGI
1. Foto Thorax PA (17 November 2016)
Kesan: Cardiomegaly dengan tanda tanda bendungan paru
Efusi pleura bilateral
Elevasi diafragma dextra
H. ASSESSMENT
1. Patent Ductus Arteriosus
2. TB Paru on treatment
I. TERAPI
1. IVFD Dextrose 5% 20 tpm
2. Ceftazidime 1 gr/12 jam/IV
3. Obat Anti TB (bulan ke-6)
4. Paracetamol 300 mg.8 jam/IV
I. PLANNING
1. Oklusi PDA

II. RESUME
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan utama sesak nafas yang dirasakan sejak 1
minggu dan memberat sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas dirasakan saat
beraktivitas dan saat istirahat. Riwayat diabetes mellitus, hipertensi disangkal, riwayat
merokok tidak ada. Ada edema ekstremitas. Riwayat penyakit jantung dalam keluarga
tidak ada. Riwayat penyakit jantung ada, dirawat di CVCU selama 14 hari. Riwayat asma
bronkhial tidak ada.
Pemeriksaan Fisis :
Keadaan Umum : Sakit sedang/Gizi Lebih/GCS 15 (compos mentis)
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Frekuensi nadi : 110 kali/menit
- Frekuensi napas: 30 kali/menit
- Suhu (aksilla) : 36,5oC

JVP
Thorax

: R+3 cmH20
: ronkhi (+/+) di basal paru bilateral, wheezing (-),

Jantung

: Batas atas ICS II sinistra


Batas kanan 1 cm lateral linea parasternalis dekstra
Batas kiri linea axilla anterior sinistra
BJ I/II kesan regular, bising (-)

Abdomen
Ekstremitas

: peristaltik (+), kesan normal, asites (-)


: edema extremitas (+) bilateral

ECHO

Fungsi sistolik ventrikel kiri dan ventrikel kanan menurun


Dilatasi semua ruang jantung
Hipertrofi ventrikel kiri eksentrik
Akinetik dan hipokinetik segmental
Mitral regurgitasi ringan, Tricuspid regurgitasi ringan, Pulmonal hipertensi ringan
Disfungsi diastolik ventrikel kiri derajat berat

Foto thorax

: TB Paru lama aktif lesi luas; Cardiomegaly

CONGESTIVE HEART FAILURE


Defenisi
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan
cukup darah ke jaringan tubuh. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi
diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload.
Gagal jantung kongestif (congestive heart failure) merupakan suatu keadaan saat terjadi
bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompensatoriknya.
Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis penyakit jantung kongenital
6

maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi :


1. Meningkatkan beban awal
Keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum
ventrikel.
2. Meningkatkan beban akhir
Beban akhir meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi
sistemik.
3. Menurunkan kontraktilitas miokardium
Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati.

Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung, terdapat faktor-faktor
fisiologis lain yang dapat menyebabkan jantung gagal bekerja sebagai pompa. Faktor-faktor
yang mengganggu pengisian ventrikel (misal, stenosis katup atrioventrkularis) dapat
menyebabkan gagal jantung.

Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui penekanan sirkulasi yang
mendadak dapat berupa:
1. Disritmia
Disritmia akan mengganggu fungsi mekanis jantung dengan mengubah rangsangan
listrik yang memulai respons mekanis. Respons mekanis yang sinkron dan efektif
tidak akan dihasilkan tanpa adanya ritme jantung yang stabil.
2. Infeksi sistemik dan infeksi paru-paru
Respon tubuh terhadap infeksi akan memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh yang meningkat.
3. Emboli paru
Emboli paru secara mendadak akan meningkatkan resistensi terhadap ejeksi ventrikel
kanan, memicu terjadinya gagal jantung kanan

Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung akibat
penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.
Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi volume sekuncup dan meningkatkan
volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya volume akhir diastolik ventrikel, terjadinya
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri. Akibatnya terjadi pula peningkatan tekanan
atrium kiri karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastol. Peningkatan
7

tekanana atrium kiri diteruskan ke belakang kedalam pembuluh darah paru-paru,


meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru-paru. Apabila tekanan hidrostatik anyaman
kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke
dalam interstisial sehingga terjadilah edema interstisial. Peningkatan lebih lanjut dapat
mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru.
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan vena paru.
Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan
kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, dimana
akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.
Sebagai respon terhadap gagal jantung ada tiga mekanisme primer yang dapat terjadi yaitu :
1. Peningkatan aktifitas adrenergik simpatik.
Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan respon
simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik merangsang
pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medula adrenal.
Denyut jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk menambah curah
jantung. Selain itu, juga terjadi vasokonstriksi arteri perifer untuk menstabilkan
tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke
organ-organ

yang

metabolismenya

rendah

seperti

kulit

dan

ginjal

untuk

mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Venokonstriksi akan meningkatkan


aliran balik vena ke sisi kanan jantung dan akan meningkatkan beban awal jantung
yang nantinya akan meningkatkan kontraksi dan curah jantung.
2. Peningkatan beban awal melalui aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan mengakibatkan penurunan aliran
darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus akibatnya terjadilah pelepasan renin dari
aparatus jukstaglomerulus. Interaksi renin dengan angiotensinogen di dalam darah
akan menghasilkan angiotensi I. Kemudian akan terjadi konversi angiotensin I
menjadi angiotensin II. Angiotensin II akan merangsang sekresi aldosteron dari
kelenjar adrenal yang akan meningkatkan reabsorspi natrium pada tubulus distal dan
duktus pengumpul.Natrium akan menarik air. Selain itu, angiotensin II jua
menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah.
3. Hipertrofi ventrikel.
Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium atau
bertambah tebal dinding miokardium. Hipertrofi akan meningkatkan jumlah sarkomer
dalam sel-sel miokardium sehingga dapat meningkatkan kekuatan kontraksi ventrikel
8

sehingga curah jantung aka meningkat.

Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Mekanisme ini
mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal atau hampir
normal pada awal perjalanan gagal dan pada keadaan istirahat. Namun, kelainan kerja
ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas. Dengan
berlanjutnya gagal jantung, maka kompensasi akan menjadi semakin kurang efektif.
Klasifikasi
Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal
jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi,
serta gagal jantung kronis. Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark
miokard akut, dengan pembagian:
Derajat I : Tanpa gagal jantung
Derajat II
: Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop

dan peningkatan tekanan vena pulmonalis


Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg)
dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis)

Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti (adanya
ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara
jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver
valsava) dan kecukupan perfusi (adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi
simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran). Pasien yang mengalami kongesti
disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut
dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi
K
K
K
K

menjadi empat kelas, yaitu:


Kelas I (A)
: kering dan hangat (dry warm)
Kelas II (B)
: basah dan hangat (wet warm)
Kelas III (L)
: kering dan dingin (dry cold)
Kelas IV (C)
: basah dan dingin (wet cold)
Berdasarkan New York Heart Association, Klasifikasi gagal jantung :

Kelas I
Tanpa keluhan Masih bisa melakukan aktivitas fisik sehari-hari tanpa disertai
kelelahan, sesak napas, ataupun palpitasi.
Kelas II
Ringan aktivitas fisik ringan/sedang menyebabkan kelelahan, sesak napas, ataupun
9

palpitasi, tetapi jika aktivitas ini dihentikan maka keluhan pun hilang.
Kelas III
Sedang aktivitas fisik ringan/sedang menyebabkan kelelahan, sesak napas, ataupun

palpitasi, tetapi keluhan akan berkurang jika aktivitas dihentikan.


Kelas IV
Berat tidak dapat melakukan aktivitas fisik sehari-hari, bahkan pada saat istirahat pun
keluhan tetap ada dan semakin berat jika melakukan aktivitas

K
MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda gagal ke belakang (backward) jantung kiri:
1. Dispnea (sulit bernapas)
Merupakan keluhan yang paling umum. Dispnea disebabkan oleh peningkatan kerja
pernafasan akibat kongesti vaskular paru yang mengurang kelenturan paru dan
peningkatan tahanan aliran udara. Dispnea saat beraktivitas (dyspneu deffort)
menunjukan gejala awal dari gagal jantung kiri.
2. Orthopnea
Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi berbaring,
biasanya merupakan manifestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan dyspneu
deffort. Hal ini terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan
ektremitas bawah kedalam sirkulasi pusat selama berbaring, disertai dengan
peningkatan tekanan kapiler pulmoner.
3. Batuk nocturnal (batuk yang dialami pada malam hari)
Merupakan gejala yang sering terjadi pada proses ini dan seringkali menyamarkan
gejala gagal jantung yang lain.
4. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)
Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang
biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3
jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau
wheezing, kemungkinan karena peningkatan tekanan pada arteri bronchial
menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan edema pulmoner interstitial
yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara. Diketahui bahwa orthopnea
dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan pasien PND seringkali mengalami
batuk dan wheezing yang persisten walaupun mereka mengaku telah duduk tegak.
5. Ronki
Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru merupakan ciri khas
dari gagal jantung kiri. Awalnya terdengar dibagian bawah paru-paru karena pengaruh
gaya gravitasi.
10

6. Hemoptisis
Disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat distensi vena.
7. Disfagia (sulit menelan)
Disebabkan oleh distensi atrium kiri atau vena pulmonalis yang menyebabkan
kompresi esofagus dan disfagia.

Gejala dan tanda gagal ke belakang (backward) jantung kanan:


1. Kongesti vena sistemik
Dapat diamati dengan peningkatan tekanan vena jugularis (JVP), vena-vena leher
mengalami bendungan. Tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara
paradoks selama inspirasi jika jantung kanan yang gagal tidak dapat
menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke jantung selama inspirasi.
2. Hepatomegali (pembesaran hati)
Nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula hati.
3. Keluhan gastrointestinal.
Anorexia, nausea, dan perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri abdominal
merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan dapat berkaitan dengan edema pada
dinding usus dan/atau kongesti hepar.
4. Edema perifer
Terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mula-mula
tampak pada bagian tubuh yang bergantung seperti palpebra pada pagi hari.
Siangnya edema akan tampak pada ekstremitas terutama tungkai akibat gravitasi.
5. Nokturia (diuresis malam hari)
Nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring.
6. Asites dan edem anasarka
Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema tubuh
generalisata.

Gejala dan tanda gagal ke depan jantung kiri:


1. Hipoperfusi ke organ-organ nonvital
Penurunan cardiac output menimbulkan hipoperfusi ke organ-organ nonvital demi
mempertahankan perfusi ke jantung dan otak sehingga manifestasi paling dini
11

dari gagal ke depan adalah berkurangnya perfusi ke organ seperti kulit, otot
rangka, dan ginjal.
2. Kulit pucat dan dingin
disebabkan oleh vasokonstriksi perifer.
3. Demam ringan dan keringat yang berlebihan
disebabkan oleh vaskonstriksi kulit yang dapat menghambat kemampuan tubuh
untuk melepaskan panas.
4. Kelemahan dan keletihan
disebabkan oleh kurangnya perfusi ke otot rangka. Gejala juga dapat diperberat
oleh ketidakseimbangan elektrolit dan cairan atau anoreksia.
5. Anuria
Akibat kurangnya perfusi darah ke ginjal.
6. Pernapasan Cheyne-Stokes
Juga disebut sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan
Cheyne-Stokes umum terjadi pada gagal jantung berat dan biasanya berkaitan
dengan rendahnya cardiak ouput. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh
berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan PCO2. Terdapat
fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial
meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan memicu depresi
pusat pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi
fase apnea. Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien
sebagai sesak napas parah (berat) atau napas berhenti sementara.
7. Gejala serebral
Pasien dengan gagal jantung dapat pula datang dengan Gejala serebral, seperti
disorientasi, gangguan tidur dan mood, dapat pula diamati pada pasien dengan
gagal jantung berat, terutama pasien lanjut usia dengan arteriosclerosis serebral
dan perfusi serebral yang menurun. Nocturia umum terjadi pada gagal jantung
dan dapat berperan dalam insomnia

DIAGNOSIS
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksan penunjang.
A. Anamnesis
K
Manifestasi klinis

Gagal jantung ringan dan moderat :


1. Perasaan tidak nyaman jika berbaring pada permukaan yang datar dalam
beberapa menit.
2. Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi.
12

Gagal jantung berat :


1. Pasien harus duduk dengan tegak
2. Sesak nafas
3. Tidak dapat mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak yang dirasakan
4. Tekanan darah sistolik berkurang karena adanya disfungsi LV berat
Peningkatan aktivitas adrenergic menyebabkan :
1. Sianosis pada bibir dan kuku
2. Sinus takikardi (merupakan tanda nonspesifik)
3. Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang menandakan adanya
penurunan stroke volume
4. Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer

B. Pemeriksaan fisis
inspeksi perut bisa membuncit, palpasi dapat ditemukan hepatomegali, perkusi, dan
auskultasi bising usus biasanya normal
C. Pemeriksaan penunjang :
1. Foto toraks

Mengarah ke kardiomegali, LVH jantung membesar ke kiri, apeks menekan diafragma


(tertanam),RVH jantung membesar ke kiri dengan apeks terangkat dari diafragma,

pinggang jantung merata atau menonjol,dan ada gambaran double kontur.


Corakan vascular paru
Infiltrat prekordial kedua paru
Efusi pleura
2. EKG
untuk melihat penyakit yang mendasari seperti infark miokard dan aritmia. Hipertropi
ventrikel kiri dimana S d V1 + R di V5/V6 35 mm , aritmia misalnya terdapat fibrilasi
atrium dimana jarak R ke R tidak seragam.

D. Pemerikasaan lain
pemeriksaan Hb, elektrolit, ekokardiografi untuk kelainan katup, angiografi, fungsi ginjal,
dan fungsi tiroid dilakukan atas indikasi.

Laboratorium :
1. Faal ginjal :
+ Urin :

Berat jenis <


13

Volume urin menurun


Na urin menurun, rennin meningkat aldosteron
+ Darah :

Ureum meningkat dan kreatinin clearance menurun, maka menunjukkan gagal jantung

yang berat.
Na, Bl dan albumin menurun, sehingga meningkatkan volume darah dan cairan udema

karena rennin dan aldosteron meningkat.


Asidosis metabolic : pH turun, HCO3 turun, maka menunjukkan gagal jantung dan
gagal ginjal.

K
K
K
K
K

2. Faal hati
Bilirubin darah, urin dan urobilinogen meningkat
LED turun
LDH naik, terutama LDH5
Fosfatase alkali naik (ringan/berat)
Protombin agak naik
3. Faal paru
Tekanan O2 turun karena pertukaran gas terganggu , paru udema
Alkalosis respiratorik : pH naik, pCO2 turun, maka terjadi dapat hiperventilasi, respon

terhadap hipoksemia
Asidosis respiratorik : pH turun, pCO2 naik, maka dapat terjadi udema paru akut yang
menyebabkan kegagalan ventilasi dan retensi CO2.

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosa ditegakkan gagal jantung kongestif,

K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K

yaitu ditemukan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.


Kriteria mayor :
Paroksismal nocturnal dispnea
Distensi vena leher
Peningkatan tekanan vena jugularis
Rongki basah halus tidak nyaring
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Refluks hepatojugular
Kriteria minor :
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspneu deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardi (>120x/menit)
Kriteria mayor atau minor
14

Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan.


Penatalaksanaan
1. Aktivitas
Walaupun aktivitas fisik berat tidak dianjurkan pada gagal jantung, suatu latihan rutin ringan
terbukti bermanfaat pada pasien gagal jantung dengan NYHA kelas I-III. Pasien euvolemik
sebaiknya didorong untuk melakukan latihan rutin isotonic seperti jalan atau mengayuh
sepeda ergometer statis, yang dapat ditoleransi. Beberapa penelitian mengenai latihan fisik
memberikan hasil yang positif dengan berkurangnya gejala, meningkatkan kapasitas latihan,
dan memperbaiki kualitas dan durasi kehidupan. Manfaat pengurangan berat badan dengan
restriksi intake kalori belum diketahui secara jelas
2. Diet
Diet rendah garam (2-3 g per hari) dianjurkan pada semua pasien gagal jantung.
3. Diuretik
Kebanyakan dari manifestasi klinik gagal jantung sedang hingga berat diakibatkan oleh
retensi cairan yang menyebabkan ekspansi volume dan gejala kongestif. Diuretik adalah satusatunya agen farmakologik yang dapat mengendalikan retensi cairan pada gagal jantung
berat, dan sebaiknya digunakan untuk mengembalikan dan menjaga status volume pada
pasien dengan gejala kongestif (sesak napas, orthopnea, dan edema) atau tanda peningkatan
tekanan pengisian (rales, distensi vena jugularis, edema perifer). Furosemide, torsemide, dan
bumetanide bekerja pada loop of Henle (loop diuretics) dengan menginhibisi reabsorbsi Na+,
K+,dan Cl pada bagian asendens pada loop of henle; thiazide dan metolazone mengurangi
reabsorbsi Na+ dan Cl- pada bagian awal tubulus kontortus distal, dan diuretic hemat kalium
seperti spironolakton bekerja pada tingkat duktus koligens.
4. Vasodilator
Vasodilator diindikasikan pada gagal jantung akut sebagai first line theraphy, apabila
hipoperfusi padahal tekanan darah adekuat dan tanda-tanda kongesti dengan diuresis sedikit,
untuk membuka sirkulasi perifer dan mengurangi pre-load. Contoh vasodilator Gliseril
trinitrat 5-mononitrat, Isosorbid dinitrat, Nitropusid, dan Nesitirid.
5. ACE Inhibitor (ACEI)
Terdapat banyak bukti yang menyatakan bahwa ACE inhibitor sebaiknya digunakan pada
pasien simptomatis dan asimptomatis dengan EF (Ejection fraction) menurun. ACE inhibitor
mempengaruhi sistem rennin-angiotensin dengan menginhibisi enzyme yang berperan
terhadap konversi angiotensin menjadi angiotensin II. Tidak hanya itu, karena ACE inhibitor
(ACEI) juga dapat menghambat kininase II, sehingga dapat mengakibatkan peningkatan
bradykinin, yang akan meningkatkan efek bermanfaat dari supresi angiotensin. ACEI
menstabilkan LV remodeling, meringankan gejala, mengurangi kemungkinan opname, dan
memperpanjang harapan hidup. Karena retensi cairan dapat menurunkan efek ACEI,
15

dianjurkan untuk diberikan diuretic sebelum memulai terapi ACEI. Akan tetapi, penting
untuk mengurangi dosis diuretic selama awal pemberian ACEI dengan tujuan mengurangi
kemungkinan hipotensi simptomatik. ACEI sebaiknya dimulai dengan dosis rendah, diikuti
dengan peningkatan dosis secara bertahap jika dosis rendah dapat ditoleransi.
Efek samping yang kebanyakan terjadi berkaitan dengan supresi sistem renin angiotensin.
Penurunan tekanan darah dan azotemia ringan dapat terjadi selama pemberian terapi dan
biasanya ditoleransi dengan baik sehingga dosis tidak perlu diturunkan. Akan tetapi, jika
hipotensi diikuti dengan rasa pusing atau disfungsi renal menjadi lebih berat, maka penting
untuk menurunkan dosisnya. Pada retensi potassium yang tidak berespon dengan diuretic,
dosis ACE juga perlu diturunkan.
6. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien yang tidak dapat diberikan ACE karena batuk,
rash kulit, dan angioedema. Walaupun ACEI dan ARB menghambat sistem renninangiotensin, kedua golongan obat ini bekerja dalam mekanisme yang berbeda. ACEI
memblokir enzim yang berperan dalam mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II,
ARB memblokir efek angiotensin II pada reseptor angiotensin tipe I. Beberapa penelitian
klinik menunjukkan manfaat terapeutik dari penambahan ARB pada terapi ACEI pada pasien
HF kronis.
Baik ACE inhibitor maupun ARBs memiliki efek serupa terhadap tekanan darah, fungsi
ginjal, dan potassium. Sehingga efek samping kedua obat tersebut serupa pula.
7. -Adrenergic Receptor Blockers
Terapi Beta blocker menunjukkan kemajuan utama dalam penanganan pasien dengan
penurunan EF. Obat ini mempengaruhi efek berbahaya dari aktivasi sistem adrenergic yang
berkepanjangan dengan secara kompetitif memblokir satu atau lebih reseptor adrenergik (1,
1, and 2). Walaupun terdapat manfaat potensial dalam memblokir tiga reseptor ini,
kebanyakan efek penurunan aktivasi adrenergic dimediasi oleh reseptor 1. Jika diberikan
bersamaan dengan ACEI, beta blocker menghambat proses LV remodeling, meringankan
gejala pasien, mencegah opname, dan memperpanjang harapan hidup. Maka dari itu beta
blocker diindikasikan pada pasien HF simptomatik atau asimptomatik dengan EF menurun
(<40%).
Efek samping dari beta bloker biasanya terkait dengan komplikasi yang timbul dari
penurunan sistem saraf adrenergic. Reaksi ini umumnya terjadi beberapa hari setelah
permulaan terapi dan biasanya responsive setelah dosis dikurangi. Terapi betabloker dapat
menyebabkan bradykardia dan/atau eksaserbasi heart block. Maka dari itu, dosis beta blocker
sebaiknya diturunkan jika heart rate menurun hingga <50>1 receptor yang dapat
mengakibatkan efek vasodilatasi.
16

8. Antagonis Aldosteron
Walaupun dikategorikan sebagai diuretic hemat kalium, obat yang memblokir efek aldosteron
(spironolakton atau eplerenon) memiliki efek bermanfaat yang independent dari efek
keseimbangan sodium. Walaupun ACEI dapat menurunkan sekresi aldosteron secara
transient, dengan terapi jangka panjang, kadar aldosteron akan kembali seperti sebelum terapi
ACEI dilakukan. Maka dari itu, pemberian antagonis aldosteron dianjurkan pada pasien
dengan NYHA kelas III atau kelas IV yang memiliki EF yang menurun (<35%).
Permasalahan utama pemberian antagonis aldosteron adalah peningkatan

resiko

hyperkalemia, dimana lebih cenderung terjadi pada pasien yang menerima terapi suplemen
potassium atau mengalami insufisiensi renal sebelumnya. Antagonis aldosteron tidak
direkomendasikan jika kreatinin serum >2.5 mg/dL (atau klirens kreatinin <30>5.0 mmol/L.
9. Antikoagulan dan Antiplatelet
Pasien HF memiliki peningkatan resiko terjadinya kejadian thromboembolik. Pada penilitan
klinis, angka kejadian stroke mulai dari 1,3 hingga 2,4% per tahun. Penurunan fungsi LV
dipercaya mengakibatkan relative statisnya darah pada ruang kardiak yang berdilatasi dengan
peningkatan resiko pembentukan thrombus. Penatalaksanaan dengan warfarin dianjurkan
pada pasien dengan HF, fibrilasi atrial paroxysmal, atau dengan riwayat emboli sistemik atau
pulmoner, termasuk stroke atau transient ischemic attack (TIA). Pasien dengan iskemik
kardiomyopati simptomatik atau asimptomatik dan memiliki riwayat MI dengan adanya
thrombus LV sebaiknya diatasi dengan warfarin dengan permulaan 3 bulan setelah MI,
kecuali terdapat kontraindikasi terhadap pemakaiannya.
Aspirin direkomendasikan pada pasien HF dengan penyakit jantung iskemik untuk
menghindari terjadinya MI dan kematian. Namun, dosis rendah aspirin (75 atau 81 mg) dapat
dipilih karena kemungkinan memburuknya HF pada dosis lebih tinggi.
Daftar Pustaka
1. Ahlquist David A, Camilleri M. Harrisons Principles of Internal Medicine. 15 th edition.
Braunwald, Fauci, Kasper et all (Editor). 2008.
2. Simadibrata K, Daldiyono. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru W Sudoyo (Editor), Balai
Penerbit UI. Jakarta, 2006.
3. Naskah lengkap penyakit dalam. Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 2007.

17

Anda mungkin juga menyukai