Anda di halaman 1dari 9

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

MARET 2013

UNIVERSITAS HASANUDDIN

SKLERODERMA

DISUSUN OLEH:

A.Arsyi Adlina Putri S.

C11109335

PEMBIMBING:
dr. Venyce Laurence Agung

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013

SKLERODERMA
Definisi
Skleroderma merupakan penyakit yang kompleks, dimana terjadinya
perluasan proses fibrosis, perubahan vaskularisasi dan autoimun terhadap berbagai
antigen merupakan ciri-ciri yang utama, skleroderma juga terbagi dalam dua
bentuk: skleroderma lokalisata dan skeleroderma sistemik. (1,2) Sebuah penyakit
yang jarang terjadi dengan penyebab yang belum diketahui, dimana proses
pengerasan dapat terlihat di kulit, biasanya muncul setelah terjadi infeksi tetapi
juga muncul pda penyakit diabetes dan akan hilang secara spontan dalam rentang
waktu bulan atau tahun. Didapatkan asam mukopoli-sakarida di dalam dermis.(3)
Skleroderma lokalisata adalah bentuk skleroderma yang menyerang kulit
secara lokal tanpa disertai kelainan sistemik dengan gejala khas bercak-bercak
putih kekuning-kuningan dan keras, seringkali mempunyai halo ungu di
sekitarnya. Penyakit ini dimulai dengan stadium inisial yang inflamatorik,
kemudian memasuki fase sklerodermatik.(2)
Skleroderma sistemik mirip skleroderma lokalisata, penyakit jaringan ikat
yang tidak diketahui penyebabnya, ditandai oleh fibrosis kulit, penyakit ini
kemudian menyerang paru-paru, traktus gastrointestinal, ginjal dan jantung.
Kerusakan sel endotel di pembuluh darah mengakibatkan fibrosis dan sklerosis
pada organ yang dikhawatirkan.(2,4,5)

Gb. 1. A,B. Difusi kutan pada sklerosis sistemik. Kulit sklerosis pada
sklerosis sistemik difusi kutan melebar sampai proksimal siku dan
lutut, dan sering meliputi dada dan dinding abdominal. Kontraktur
jarigan lunak yang berat dapat terjadi, dan ulserasi, khususnya ada
bidang ekstensor. Sklerosis kulit terparah pada 18 bulan pertama
dari penyakit ini. Fenomena Raynaund dapat terjadi setelah onset
dari kulit berubah. (6)

Gb. 2. Gambaran sklerosis lokalisata yang menunjukkan perubahan


pada wajah yang terlihat seperti topeng, tidak dapat membuka
mulut, sklerodaktil, dan ulserasi. (6)

Etiologi
Untuk skleroderma lokalisata, etiologinya belum diketahui. Tetapi terdapat
beberapa faktor familial. Kehamilan dapat menyebabkan presipitasi atau agravasi
pada morfea.(2) Ada laporan yang menngabarkan penyakit ini muncul setelah
terjadi infeksi, seperti morbili, varisela dan borrelia burgdorferi, ada juga yang
menyatakan pemicunya termasuk trauma dari vaksin bacille calmette-guerin
(BCG), injeksi vitamin b, terapi radiasi, penisilamin, dan bromokriptin. Tetapi
bagaimanapun tidak ada satupun yang merupakan penyebab langsung yang
terbukti.(2,6)
Sedangkan sklerosis sistemik ialah penyakit kompleks yang berkaitan
dengan faktor genetik dan lingkungan. Tentang faktor genetic, terdapat perbedaan
mengenai jenis kelamin. Perbandingan wanita dan pria ialah 2:1 sampai 21:1.
Sklerosis sistemik juga berhubungan dengan HLA, misalnya HLA-A1, B8-DR3
atau dengan DR3 dan DR-2, terjadi pula peningkatan pemecahan kromosom.
Faktor lingkugan yang diduga berhubungan ialah debu silika, polivinyl klorida,
hidrokarbon aromatik. Juga obat-obatan misalnya bleomisisn, pentazokin dan Ltriptofon. Adanya faktor pencetus akan menstimulasi sistem imun, baik selular
maupun humoral.(2)
Patogenesis
Skleroderma lokalisata:
Epidermis bisa terlihat normal atau menipis dan terjadi atrofi disertai
hilangnya rete ridges. Pada awalnya lapisan dermis akan mengalami edema,
pembengkakan dan degenerasi dari jaringan kolagen fibril, yang kemudian

menjadi homogen dan eosinofilik. Kemungkinan adanya kekurangan infiltrat


limfatik pada perivaskular. Infiltrat selular dari limfosit, sel plasma, dan makrofag,
dari perivaskular atau difusi, terjadi 84% dalam satu kali proses. Kemudian
dermis akan menebal, dengan kolagen yang padat dan beberapa fibroblast yang
terlihat. Jaringan elastis akan berkurang. Kulit bagian paling luar, dermis, dan
lemak subkutan akan hilang dengan cepat. Beberapa kelenjar keringat mungkin
dapat bertahan, jauh di dalam massa sklerosis sistemik sklerotik yang padat.
Pembuluh darah dermis akan terlihat menebal.(3) Lebih singkatnya, Inflamasi dapat
memicu sel jaringan ikat untuk memproduksi banyak kolagen yang merupakan
bagian utama dari banyak jaringan. Kolagen yang berlebihan dapat menyebabkan
fibrosis, yang terlihat seperti jaringan parut.(7)
Skleroderma sistemik:
Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga, faktor
pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan sistem imun dan
menimbulkan kerusakan sel endotel. Kerusakan sel endotel akan mengaktifkan
trombosit, sehingga trombosit mengeluatkan berbagai mediator, seperti PDGF,
TGF-B dan CTAP-III. Yang akan menyebabkan proliferasi fibroblast dan sintesis
matriks oleh fibroblast. Aktifasi sistem imun juga akan berakhir pada proliferasi
fibroblast dan sintesis matriks. Aspek utama dari penyakit ini termasuk inflamasi
pembuluh darah, dan sel yang diproduksi jaringan ikat. Faktor genetik spertinya
juga penting seperti penyakit kompleks lainnya. Faktor keturunan yang berperan
adalah jenis kelamin, rasio wanita dengan laki-laki adalah 2:1 sampai 20:1,
walaupun demikian faktor hormone seks pada patogenesis penyakit ini belum
diketahui.(4,6)
Diagnosis

Gb. 3. Gejala klinis dan pemeriksaan histology pada pasien dengan


skleroderma. Panel A memperlihatkan hyperkeratosis di kuku pasien
fase edema pada skleroderma lokalisata. Panel B memperlihatkan
ulserasi di ujung jari pada pasien skleroderma lokalisata. Panel C
memperlihatkan sebuah infiltrate limfohistiositik di sekitar pembuluh
darah pada preparat kulit. Pada Panel D, sebuah spesimen biopsy

kulit dari pasien dengan skleroderma sistemik memperlihatkan


deposisi dari matriks kolagen keluar dari dermis sampai jaringan
lemak subkutan. Panel A memperlihatkan penebalan pada
pertengahan arteri interlobulus (panah) dan dua arteri yang
meruncing (asterisk) di ginjal dari pasien skleroderma. Sebagian
gromerulus telah tidak bekerja dan epitel dari tubular mengalami
atrofi. Fibrosis dengan infiltrasi sel mononuklear terjadi di
interstitium. (1)

Skleroderma lokalisata:
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosa
skleroderma lokalisata, tetapi tes sering dilakukan untuk mengevaluasi tingkat
dari inflamasi dan masalah yang terkait dengan skleroderma lokalisata, serta untuk
memastikan pasien tidak mempunyai penyakit lain. Biopsi kulit dapat dilakukan
untuk memastikan diagnosis. (7)
Gambaran klinis dari skleroderma lokalisata terbagi 5, yaitu:
- Morfea soliter (morfea en plaque)
Lesi terdiri atas sebuah bercak sklerotik yang numuler atau sebesar
telapak tagan. Bercak biasanya berbentuk bulat, berbatas jelas, dan
berkilat seperti lilin. Warna bercak merah kebiru-biruan, kadang-kadang
seperti gading dengan halo ungu (violaceus ilia ring). Hal tersebut berarti
lesi masi inflamatorik (aktif). Bagian tengan bercak berawarna putih
kekuningan seperti gading.
Didalam lesi, rambut berkurang, begitu juga respon keringat
menurun. Bercak atau plak tersebut keras dan berindurasi, tetapi tidak
melekat erat pada jaringan di bawahnya.
- Morfea gutata
Bentuk ini sangat jarang. Lesi terdiri atas bercak kecil dan bulat yang
atrofik. disekitarnya terdapat hal ungu kebiru-biruan. Beberapa lesi
berkelompok, lokalisasi biasanya di dada atau di leher.
- Skleroderma linear (Skleroderma en coup de sabre)
Lesi soliter dan unilateral. Biasanya lesi di kepala, dahi atau
ekstrimitas. Pada lesi terdapat atrofi dan depresi. Berbeda dengan morfea
biasa, yang terletak di seuperfisial, maka skleroderma linear menyerang
laisan-lapisan kulit dalam.
Bila penyakit mulai pada usia dekade pertama atau kedua, maka
seringkali disertai deformitas. Yang dapat dijumpai ialah hemi-atrofi dari
sebuah ekstrimitas atau wajah, kontraktur di wajah, atau anomali kolumna
vertebrata.
- Morfea segmental

Bila berada di satu atau lebih ekstrimitas. Disamping ada indurasi,


ada atrofi pada lemak subkutis dan otot. Akibatnya ialah kontraktur otot
dan tendon, serta ankilosis pada sendi tangan dan kaki.
- Morfea generalisata
Bentuk tersebut merupakan kombinasi empat bentuk diatas.
Morfea tersebar luas dan disertai atrofi otot-otot, sehingga timbul
disabilitas. Lokasi terutama di badan bagian atas, abdomen, bokong, dan
tungkai.
Semua bentuk morfea biasanya dalan tiga sampai lima bulan menjadi
inaktif, bahkan kemudian menghilang dalam beberapa tahun, kecuali skleroderma
linear, yang biasanya makin meluas.(2)
Skleroderma sistemik:
American Rheumatism Association (ARA) mengajukan criteria
pendauluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresif. Kriteria ini terdiri atas:
- Kriteria Mayor:
Skleroderma proksimal terlihat penebalan, penegangan dan pengerasan
kulit yang simetrik pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi
metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal. Perubahan ini dapat
mengenai seluruh ekstrimitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan
abdomen)
- Kriteria Minor:
Sklerodaktil: Perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya
terbatas pada jari.
Pencengkungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang
mencekung pada ujung jari atau hilangnya substansi jaringan jari
terjadi akibat iskemia.
Fibrosis basal dikedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang
reticular terutama di bagian basal kedua paru tampak pada gambaran
foto dada standar. Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus
atau seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan merupakan kelainan
primer paru.
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor
atau 2 atau lebih kriteria minor. (4)
Satu jenis dari sklerosis sistemik adalah sindrom C.R.E.S.T. Pada
skleroderma tipe ini ditemukan:

Calcinosis: Kalsinosis dari kalsium yang terdapat dibawah kulit jari tangan
dan kaki.

Raynauds phenomenon: Fenomena Raynaud dengan sirkulasi pembuluh


darah yang buruk.
Esophagus: Dismotilitas esophagus.
Sclerosis: Sklerosis jari tangan dan kaki.
Teleangiectasia: Teleangiekstasis pada wajah dan bibir juga ada jari dan
kuku (5)

Diagnosis Banding
Diagnosis biasanya tidak sulit, perkembangan berbahaya plak yang
berbatas tegas dan berbekas di kulit, dengan atau tanpa hemiatrophy, yang
mungkin terjadi dalam kondisi lainnya. Jika ada perbatasan berwarna ungu,
diagnosis menjadi lebih mudah.. Lesi Morfea terjadi pada sarkoidosis. Lesi dapat
mulai sebagai eritema pembuluh darah, dan biasanya mirip dengan naevus makula
vaskular. Pada fase akut, kondisi ini harus dibedakan dari scleroedema dari
Buschke, tetapi dalam kondisi awal morphoea jauh lebih akut, dan lesi dapat
memasuki sebuah fase menular. Lesi hipopigmentasi kadang-kadang sangat sulit
untuk didiagnosa, tetapi riwayat bebearapa lesi yang berbatas tegas biasanya
membantu dalam menegakkan diagnosis. Lesi atrofi berpigmen menyerupai lesi
atrofi Pierini dan Pasini terjadi pada satu pasien dalam satu fase. Lesi yang
terdapat pada perut mungkin akan membingungkan dengan apa penyakit
centrifugalis infantilis abdominalis lipodystrophia. Plak atrofi morphoea dapat
terjadi sebagai hasil dari suntikan intramuskular vitamin K atau suntikan subkutan
kortikosteroid. (3)
Pada saat kondisi sedang memproduksi pseudoscleroderma mungkin harus
menjadi pertimbangan dalam mendiagnosis penyakit ini. Melorheostosis adalah
suatu kondisi langka di mana ada kelainan abnormal pada tulang dan jaringan
lunak yang berdekatan, biasanya terbatas pada satu ekstremitas. Kepadatan tulang
endosteal dari tulang panjang yang terlihat pada radiografi, dan marker yang
digunakan menyerupai lilin akan mengalir sepanjang tulang yang terinfeksi. Pada
anak-anak, presentasi yang biasa terlihat adalah anggota tubuh yang memiliki
kontraktur asimetris, dalam kejadiannya memiliki hubungan dengan penebalan
kulit dan wajah, dan masalah pembuluh darah distal diperburuk oleh pembedahan
masalah ortopedi, termasuk angioma, dan malformasi arteriovenous. (3)
Pengobatan
Hingga kini belum ada obat spesifik untuk skleroderna. Obat yang dapat
digunakan ialah imunomodulator dan antifibrotik. Berbagai obat imunomodulator
yang digunakan antara lain siklosporin A, metotreksat, siklofosfamid,

mikrofenolat mofetil dan transplantasi sel punca. Sedangkan sebagai obat


antifibrotik antara lain D-penisilamin, obat interferon-, dan anti-TGF-.
Terapi harus ditujukan pada organ-organ yang terkena. Penderita harus
dilindungi terhadap kedinginan, bila terdapat fenomena Raynaud. Vasodilantasia
dapat diberikan bila terdapat gejala-gejala vasomotorik. Kortikosteroid
(triamsinolon asetonid) dapat dipakai sebagai pengobatan, disuntikkan intralesi
seminggu sekali. Efektifitas obat sulit dinilai, sebab penyakit berkecenderungan
membaik secara spontan.(2)
Pengobatan berkerja lambat, jika termasuk steroid topical, calcipotriene,
obat anti inflamasi non steroid (OAINS), psoralen dengan ultraviolet A (PUVA),
UVA dan hidroksikloroquin di pasien tertentu.(8)
Prognosis
Angka harapan hidup 5 tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar
68%. Harapan hidup akan makin pendek dengan makin luasnya kelainan kulit dan
banaknya keterlibatan organ viseral. Pada sklerosis sistemik difus, kematian
biasanya terjadi karena hipertensi pulmonal dan malabsorbsi.
Pasien sklerosis sistemik mempunyai risiko yang tinggi untuk
mendapatkan keganasan, terutama karsinoma payudara, paru dan limfoma non
hodgkin. Hal ini turut meningkatkan angka kematian pasien sklerosis sistemik.
Satu hal yang unik adalah bahwa risiko timbulnya adenokarsinoma
espfagus rendah, walaupun terdapat metaplasi mukosa esophagus distal
(metaplasia barret). (4)

DAFTAR PUSTAKA
1. Armando G., M,D., Enrico V.A., M.D., Thomas K., M.D. 2009.
Mechanism of Disease Scleroderma. The New England Journal of
Medicine,P.1989-2003
2. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi
ke-6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010. hal 268-70
3. Tony B, Stephen B, Neil C, Christopher G. Rooks Textbook of
Dermatology 7th ed. USA; 2004. P.2768-78
4. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, K Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hal
2620-27
5. Paul KB. ABC of Dermatology. 4th ed. London; 2003. P.82-3
6. Plewrg G, Jansen T. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7 th ed
Vol 1 & 2. USA; 2008. P.1591-99
7. Li S., M.D., phD, Zulian F, M.D., Beam T. 2012. Pediatric Localized
Scleroderma. American College of Rheumatology,P.1-4
8. John H, John S, Mark D. Clinical dermatology, 3th ed. USA; 2003. P.129
-

Anda mungkin juga menyukai