Kelompok 7
Luthfiani Elsa
1210352027
1210353003
1210353004
perempuan yang menjadi korban kekerasan, Tjaden dan Thoennes menemukan 22,1%
wanita yang mengikuti survey dan 7.4% laki-laki melaporkan bahwa mereka
mengalami kekerasan dari pasangan, parner atau pacar dalam masa pacaran, 1.3 %
wanita yang mengikuti survey dan 0.9 % laki-laki yang mengikuti survey melaporkan
pengalaman kekerasan dalam masa 12 bulan.
Meskipun tingkat kekerasan masih tinggi, namun kebanyakan masyarakat
masih lambat merespon terkait hal tersebut, karna masih ada beberapa anggapan
bahwa kekerasan pada wanita boleh, ataupun karna adanya mitos-mitos . amerika
serikat memiliki tempat penampungan hewan tiga kali lipat dibandingkan dengan
penampungan wanita.
What is Syndrome?
Sindrome ada kumpulan gejala-gejala yang terjadi secara bersamaan. Yang
dapat menimbulkan sakit atau gangguan. The battered woman syndrome didefinisi
sebagai reaksi terhadap jenis pelecehan terhadap fisik dan psikis secara berlanjut oleh
temannya.
Beberapa mitos tentang kekerasan pada wanita
Lenore Walker (1979) menjelaskan 21 mitos tentang wanita, kekerasan dan
hubungannya
Mitos 1 : kekerasan pada wanita hanya sedikit presentasi dari populasi
Mitos 2 : kekerasan pada wanita adalah masokis , hanya yang menyukai yang akan
mengalami kekerasan
Mitos 3 : wanita yang mengalami kekerasa sudah gila, mitos ini berkaitan dengan mitos
masokis, menyalahkan kekerasan pada wanita terjadi karna kepribadian yang negative
Mitos 4 : wanita kelas menengah ke-atas tidak mengalami kekerasan sesering wanita
menengah ke bawah.
Mitos 5 : kelompok minoritas mengalami kekerasan lebih tinggi dibandingkan kelompok
anglo
Mitos 6 : kepercayaan agama dapat mencegah kekerasan
Mitos 7 : kekerasan pada wanita adalah kurang terpelajar, dan memiliki sedikit kemampuan
skill
Mitos 8 : pelaku kekerasan adalah korban dari semua hubungan kekerabatannya
Mitos 9 : pelaku kekerasan tidak sukses dan kurang dapat menghadapi dunia
Mitos 10 : minum-minum adalh perilaku kekerasan
Mitos 11 :pelaku kekerasan memiliki kepribadian psikopatik
Mitos 12 : polisi dapat melindungi wanita korban kekerasan
Mitos 13 : pelaku kekerasan adalah rekan yang tidak disayangi
Mitos 14: istri yang mengalami kekerasan akan melakukannya pada anaknya juga
Mitos 15 : sekali mengalami kekerasan maka selamanya akan mengalami kekerasan
Mitos 16 : sekalimenjadi pelaku kekerasan, maka selamanya akan menjadi pelaku kekerasan.
Mitos 17 : hubungan yang mengalami kekerasan dapat berubah menjadi lebih baik
Mitos 18 : wanita yang mengalami kekerasan memposisikan dirinya untuk dipukul,
Mitos 19 : wanita yang mengalami kekerasan dapat meninggalkan rumah kapan saja
Mitos 20 :pelaku kekerasan menghentikan korban dengan kapan kita menikah?
Mitos 21 : anak-anak menbutuhkan ayahnya meskipun ayahnya kasar.
keyakinannya
juga
dipukul
ketika
suaminya
tidak
mabuk,
toleransi
Dalam kasus ini wanita membunuh karna terpaksa melakukannya atau karna
kehilangan akal sehatnya sejenak, dua kemungkinan yang terjadi self-defense defense
dan insanity defense
Self-defense
The battered woman self defense biasanya digunakan pada justifikasi pada perlakuan
perlindungan pada wanita atau anak dari kejahatan atau kematian.
Insanity defense
Digunakan ketika wanita sudah tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana
yang salah karna mentalnya sedikit terganggu (terguncang) dan wanita tersebut
dituduh atas kesalahn
THE USE OF A PSYCHOLOGIST AS AN EXPERT WITNESS ON THE
BATTERED WOMAN SYNDROME
Menurut Walker (1993), saksi ahli diberi izin untuk bersaksi setelah
setidaknya mengikuti 500 sidang di Amerika Serikat. Tujuan menggunakan saksi ahli
adalah untuk memberikan bukti nyata kepada perspektif lain atau social framework
untuk
menginterpretasi
tindakan
perempuan.
Mary
Ann
Dutton
(1993)
pelaku kekerasan
Meminta campur tangan pihak lain dalam usaha untuk membuat pelaku
kekerasan berhenti
3. Formal help-seeking efforts
- Menggunakan startegi legal seperti menghubungi polisi, pengacara,
Namun, saksi perlu memberitahu juri, terdapat perbedaan startegi yang
digunakan pada masing-masing battered woman, berbeda korban berbeda pula
strategi yang digunakan. Pertanyaan lain yang mungkin akan diajukan juri adalah
mengapa menyerang / bertindak pada saat pasangan (laki-laki) sedang tidur?. Saksi
dapat memberikan informasi kepada juri mengenai alasan masuk akal battered
woman tentang persepsinya akan bahaya. Blackman (1986) menekankan, untuk self
defense dianggap dapat mempertahankan hidup, perempuan harus bertindak dibawah
keyakinan yang masuk akal bahwa dirinya atau diri orang lain berada dalam bahaya.
wanita teraniaya). Versi kedua, ahli menjelaskan lebih jauh, menyimpulkan apakah
perilaku dari terdakwa dan karakteristiknya sesuai dengan sindrom tersebut. Grup
ketiga subjek membaca transkip yang tidak memiliki keterangan sakasi ahli.
Membandingkan kondisi kontrol, Juri yang memiliki transkip dengan saksi ahli
memberi interpretasi yang konsisten dengan wanita mengenai apa yang terjadi dan
konsisten kepada vonis yang ringan.
Penelitian keduaSchuller, menukar transkrip dengan beberapa jam rekaman,
yang telah dibahas oleh juri (131 subjek dibagi menjadi 30 juri). Dalam studi ini,
membandingkan kelompok kontrol, setiap kondisi saksi ahli mengarahkan dari
pembunuhan ke pembunuhan yang disengaja. Walaupun mereka telah mendengar
saksi ahli, terdakwa dan tindakannya dianggap oleh ringan sewaktu diskusi para juri.
Penelitian ketiga. Mengumpulkan kepercayaan subjek tentang kekerasan
seksual dua bulan sebelum mereka berpura-pura menjadi juri, penelitian ini
menggunakan rekaman dari penelitian sebelumnya. Kehadiran dari testimony
mempengaruhi putusan tetapi terkhusus pada para juri yang pada awalnya tercermin
sikap yang lebih tepat mengenai kekerasan lokal. Para juri mengaitkan ketidak
bertanggungjawaban terhadap terdakwa dan lebih bertanggung jawab pada terduga
pelaku penganiayaan, membandingkan kontrol subjek.
Penelitian tersebut tidak menunjukkan jawaban yang konsisten mengenai
efektifitas dari saksi ahli. Perbedaan metode yang dilakukan mungkin akan
menunjukkan hasil yang berbeda; Schuller (1994) menyarankan mungkin diperlukan
ceita wanita mengenai apa yang terjadi untuk diujib (apakah itu dalam kehidupan
sehari-hari) agar saksi ahli dapat memiliki dampak.
Schuler & Rezpa (2002) menyarankan testimony ahli mungkin tidak
menyediakan kerangka untuk menilai tindakan wanita yang teraniaya menjadi suatu
yang masuk akal, tetapi sebagai gantinya malah membangkitkan rasa simpati
terhadapnya. Schuller dan koleganya mengusulkan tindakan alternative dari
testimony ahli terhadap BWS menghilangkan referensi BWS, learned helplessness,
dan PTSD, dan mengganti informasi yang berkaitan dengan aksi wanita yang
teraniaya sebagai rintangan yang harus dihadapinya. Ini mengurangi pathologizing
terhadap perilaku wanita dan malah terfokus pada usaha wanita dan rintangan yang
dihadapinya. Schuller & Jenkins (2007) mengarahkan ini sebagai bukti social
agency, dan dilakukan simulasi terhadap keefektifannya.
KRITIKAN
TERHADAP
PENGGUNAAN
BATTERED
WOMAN
steriotipe wanita yang teraniaya adalah membiarkan sistem yang berlaku untuk
melihat terdakwa berdasarkan siapa dia, bukan berdasarkan apa yang dia
lakukan.. siapa dia merupakan penggunaan sindrom sebagai ketidak berdayaan,
itu dapat didebatkan sebagai pathologized dari BWS, banyak dari mereka
membernarkan itu untuk keadaan buruk mereka.
Validitas Ilmiah Mengenai Battered Woman Syndrome
Kritikan terpusat pada kulitas dari basis empiris terhadap teori lingkaran
kekerasan (cycle of violence theory) dan aplikasi dari konsep learned helplessness.
Untuk menguji teori lingkaran kekerasan, walker dan koleganya melakukan
wawancara kepada 400 orang terindikasi wanita teraniaya dari enam negara bagian;
masing-masing ditanyai mengenai empat indikasi penganiayaan; saat pertama, kedua,
saat yang terburuk, dan yang paling sering dilakukan. Tidak ada grup kontrol yang
dilakukan. Figman membuat alur dari studi ini;
1. Teknik wawancara menginjinkan subjek menerka secara mudah hipotesis
dari studi ini.
2. Pewawancara mengetahui jawaban yang benar.
3. Pewawancara tidak merekam jawaban subjek, hanya interpretasi mereka
terhadap jawaban subjek.
4. Penelitian ini tidak memberikan waktu untuk menyusun kejadian; bisa saja
dalam beberapa menit, beberapa jam, atau beberapa minggu.
5. Hanya 65% kasus yang terbukti dalam fase tension-building sebelum
terjadinya penganiayaan; hanya 58% dari kasus terbukti penyesalan
mencintai pasangan sebelum penganiayaan. Tidak jelas berapa wanita yang
melaporkan seluruh tiga fase penganiaayaan.
Dalam hal learned helplessness, scholars mempertanyakan aplikasi dari Martin
Seligman, teori original dan penelidian dengan anjing mengenai wanita yang
teraniaya. Anjing Seligman yang dibiarkan tak berdaya dan tak bergerak dengan
menerima sengatan listrik yang tidak pasti; oleh karena itu, untuk memprediksi
apakah wanita yang teraniaya menderita karena learned helplessness, mereka tidak
boleh memaksakan kontrol terhadap lingkungan mereka; tentu saja, salah satu yang
tak terprediksi penegasan yang tegas mengenai kontrol dengan membunuh
penganiaya.
THE RAPE TRAUMA SYNDROM
Sindrom didefinisikan sebagai seperangkat gejala yang mungkin muncul
secara bersamaan, sehingga dianggap dapat menunjukkan adanya gangguan atau
penyakit. Tidak semua gejala harus muncul pada setiap subjek, dan, pada
kenyataannya, kriteria untuk berapa banyak gejala yang harus muncul belumlah jelas.
Lebih dari 30 tahun yang lampau, seorang perawat kejiwaan dan sosiolog,
Ann Wolbert Burgess dan Lynda Lyric Holmstrom (1974), menciptakan istilah
sindrom trauma pemerkosaan (rape trauma syndrome) untuk menggambarkan
kumpulan respon yang dilaporkan oleh 92 wanita yang pernah menjadi korban
pemerkosaan atau yang mengalami pelecehan seksual lainnya. Masing-masing korban
diwawancarai selama 30 menit mengenai masuknya dia ke rumah sakit dan
diwawancarai ulang sebulan kedepan. Burgess dan Holmstrom dikejutkan oleh
kenyataan bahwa dari berbagai sumber yang ada laporan diri dari korban
pemerkosaan, penjelasan dari psikoterapis, pekerja layanan sosial yang telah terlatih,
dan reaksi dari teman-teman dan kelurga korban pemerkosaan menunjukkan adanya
keseragaman respon yang amat besar. Beberapa deskripsi diri yang khas dari korban
pemerkosaan yang selamat disajikan dalam kotak 7.4. Karena sebagian besar dari
korban pemerkosaan adalah perempuan, maka literatur klinis dan empiris telah
difokuskan pada reaksi-reaksi mereka, dan jauh lebih sedikit informasi yang tersedia
pada korban laki-laki, Koss & Harvey, 1991).
Perlu diperhatikan, bahwa tidak semua korban menderita dari tingkat
keparahan mempunyai gejala yang sama. Untuk mendukung temuan ini, Koss dan
Harvey
(1991)
menggunakan
model
ekologi
dari
respon-respon
korban
Dalam waktu yang cukup lama saya pikir saya bisa mengatasi kemarahan dan kebencian
dengan seorang diri. Tapi saya tidak bisa. Saya menyangkal bahwa hal ini mempengaruhi
saya, dan sekarang saya sangat panik apabila berada di dalam ruangan bersama orang lain.
Sampai saya menyadari bahwa saya telah merusak diri sendiri dan saya butuh bantuan. Ada
bagian dari diri saya yang ingin menjadi tabah dan sangat kuat. Saya harus menyadari bahwa
serangan itu tidak ditujukan pada saya, sebagai Kelly. Semua terjadi secara acak. Saya berada
di tempat yang salah pada waktu yang salah. Itu adalah langkah pertama menuju
menyingkirkan semua perasaan bermusuhan tentang hal itu. Namun, ketika Anda menjadi
korban dari kekerasan kejahatan ketika seseorang telah mengambil kendali atas hidup Anda,
walaupun hanya untuk sesaat saya tidak berpikir Anda pernah sepenuhnya pulih "(aktris Kelly
McC3lllis, dikutip Yakir, 1991, p 5).
Variabel pribadi dari relevansi khusus meliputi usia dan tahap perkembangan
dari
korban;
hubungannya
dengan
pelaku;
kemampuan
korban
untuk
pemaknaan dari peristiwa traumatik tersebut oleh korban, keluarga, teman, dan orang
lain termasuk polisi , petugas medis, dan pengacara korban dengan siapa korban
berhubungan pasca trauma. Variabel peristiwa yang relevan meliputi frekuensi,
tingkat keparahan, dan durasi dari peristiwa traumatis dan tingkat dari kekerasan
fisik, pelanggaran pribadi/personal, dan ancaman hidup yang dialami oleh korban.
Variabel lingkungan meliputi keadaan di tempat peristiwa kejadian, temasuk rumah,
sekolah, lingkungan kerja, atau jalanan. Variabel lingkungan lainnya adalah tingkat
keamanan dan kontrol yang diberikan pada korban pasca trauma; sikap masyarakat
dan nilai-nilai terhadap kekerasan seksual; dan ketersediaan, kualitas, aksesibilitas,
dan keragaman bagi perawatan korban dan layanan advokasi korban.
Mahasiswa dari kalangan menengah yang dibesarkan dalam keluarga yang
menghargai anak perempuan sebagaimana anak laki-laki dan yang mendapatkan
pengetahuan yang baik tentang pemerkosaan dan mampu memanfaatkan sumber daya
yang mendukung dari komunitas feminis yang aktif akan merespon peristiwa
kekerasan seksual dengan cara yang berbeda dibandingkan pada remaja perempuan
yang memiliki keyakinan bahwa korban itu salah dan tokoh-tokoh kunci yang
mendukung percaya bahwa wanita yang tidak menginginkannya tidak akan benarbenar bisa diperkosa. Demikian pula, sesorang yang pernah mengalami kekerasan
dan pelecehan dalam isolasi dari orang lain dengan orang yang bisa berbagi dan
mampu memanfaatkan figur pendukung yang membantu.
Burgess dan Holmstrom (1974) membagi sindrom trauma pemerkosaan ke
dalam dua fase; fase krisis akut dan fase reaksi jangka panjang. Fase pertama meliputi
reaksi-reaksi yang berlangsung dalam jangka waktu harian atau mingguan, dan cukup
parah. Reaksi tersebut dapat mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan korban,
termasuk fisik, psikologis, sosial dan aspek-aspek seksual. Fase kedua, adalah
rekonstruktif dan termasuk saat korban mencoba untuk berdamai dengan rasa sakit
dan sedih menggunakan cara-cara yang efektif.
Fase I: Fase Krisis Akut
Berlangsung segera setelah tindakan, fase krisis akut adalah salah satu dari
banyak kekacauan dalam gaya hidup korban, sering digambarkan oleh korban sebagai
keadaan syok, dimana mereka mengatakan bahwa segala sesuatunya telah hancur
berantakan dalam diri mereka. Mereka kembali mengalami serangan berulang-ulang
dalam pikiran mereka. Meskipun saat tidur, mereka akan mudah mengalami mimpi
buruk tentang pemerkosaan.
Ketika korban diminta untuk mengisi kuesioner dua atau tiga jam setelah
kejadian, ditemukan kemiripan respon yang sangat tinggi: 96% dilaporkan merasa
takut, cemas, khawatir dan 92% merasa bingung.
Jenis ketakutan dan kecemasan secara fisiologis meliputi:
gemetaran (96%);
detak jantung cepat (80%)
sakit (72%);
otot-otot jadi tegang (68%);
nafas terengah-engah (64%);
mati rasa (60%)
Meskipun manifestasi dari ketakutan dan kecemasan adalah yang paling
sering dialami, sejumlah konsekuensi lainpun muncul. Hampir setengah dari korban
dinilai mengalami depresi sedang atau berat pada Beck Depression Inventory. Salah
satu penelitian mengemukakana bahwa 19% dari sampel komunitas wanita korban
pemerkosaan telah melakukan tindakan bunuh diri. Allison dan Wrightsman (1993),
dalam laporannya , mengklasifikasikan reaksi-reaksi fase pertama sebagai berikut:
1. Deniel, Shock, dan Disbeliefe:Ini tidak seharusnya terjadi padaku adalah
respon yang sangat sering diungkapkan. Salah satu korban, kemudian
menceritakan pikirannya selama pemerkosaan, Pikiranku kacau selama aku
mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Apakah ini lelucon? Apakah
orang yang saya kenal ini bertindak kejam? Ini pasti tidak nyata. Korban
akan
mempertanyakan
kepada
teman
dan
keluarganya
bagaimana
2. Disruption: Perubahan pola tidur dan pola makan sangat sering terjadi. Pada
tingkatan yang berbeda, korban dapat menampilkan disorganisasi kepribadian
(Bassuk, 1980). Beberapa mungkin tampak bingung, sementara yang lainnya
tidak menunjukkan gejala seperti perilaku yang mudah diamati, tetapi tipe
yang terakhir mungkin akan mengalami kebingungan dan mati rasa, dan
akibatnya menjadi tidak responsif terhadap lingkungan mereka.
3. Guilt, Hostility, and blame: Ketika kita sadar bahwa ada teman yang menjadi
korban pemerkosaan, mereka mungkin akan menyalahkan korban, atau
berasumsi bahwa pemerkosaan bisa saja dihindari atau menyerahkan
tanggungjawab kepada korban sendiri. Teori psikoanalisa sayangnya
mengusulkan bahwa esensi feminitas termasuk masokisme, dan keyakinan
tetap bahwa perempuan tidak hanya mengundang, tapi menikmati, agresi
seksual (Obligasi & Ibu, 1986). Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa
korban juga, merespon dengan rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri.
Janoff-Bulrnan (1979) mengatakan bahwa respon menyalahkan diri
mungkin yang paling sering ditunjukkan setelah ketakutan. "Kalau saja aku
telah mengunci jendela itu" atau "Kalau saja aku menaiki bus yang
sebelumnya" adalah contoh dari reaksi di mana korban menyalahkan tindakan
mereka sendiri atas pemerkosaan yang terjadi, atau setidaknya menyiratkan
bahwa perilaku yang berbeda yang dapat mereka lakukan untuk menghindari
kejadian tersebut. Perbedaan telah dibuat antara jenis self blame ini,
behavioral self blame, dan characterological self blame, yang mengacu pada
atribusi oleh korban untuk aspek stabil dan tidak terkendali pada diri meraka ,
seperti kepribadiannya (Frazier, 1990; Janoff -Bulman, 1979).
Pada beberapa korban, mereka bisa sangat menyalahkan diri sendiri,
sehingga
mereka atau mereka percaya bahwa pria tersebut peduli kepada mereka. Pada
beberapa kasus dilaporkan, ada korban yang bahkan menikah dengan orang
yang memperkosa mereka (Warshaw, 1988). Korban lainnya akan
mengarahkan agresi dan menyalahkan kaum laki-laki pada umumnya, atau
proses restorasi untuk bergerak maju. Perkembangan kognitif mereka mungkin akan
terhambat dengan menjadi "terus-menerus dihantui" oleh hidup, kenangan traumatis
(Neiderland, 1982, hal. 414). Salah satu korban melaporkan, "Saya tidak bisa berhenti
menangis dan kadang-kadang saya merasa sedikit kewalahan"(dikutip oleh Roth &
Lebowitz, 1988 p. 90). Tidak jarang mereka mengalami perasaan bertentangan: takut,
sedih, rasa bersalah, dan kemarahan semua pada waktu yang sama. Kebanyakan
orang condong berpikir sekali korban, akan selalu menjadi korban.
Seiring dengan penjelasan kognitif, Koss dan Harvey (1991) melihat
perubahan skema atau pengorganisasian struktur, sebagai korban perkosaan
menyebabkan pergeseran dalam keyakinan tentang kepercayaan, keamanan, dan
keintiman.
Allison dan dan Wrightsman (1993) menjelaskan simtom utama pada fase
kedua ini:
1. Phobia : Fobia adalah ketakutan yang tidak rasional yang mengganggu
adaptasi yang efektif dengan lingkungan seseorang. Tindak lanjut setelah
setahun pada perempuan korban perkosaan menunjukkan bahwa mereka
masih memperlihatkan fobia dan manifestasi lain dari rasa takut dan
kecemasan. Pemerkosaan dapat dipandang sebagai stimulus classical
conditioning dan semua yang berkaitan dengan pemerkosaan akan
menimbulkan ketakutan. Korban dari pelecehan seksual mungkin akan
menjadi takut bila mereka sendirian atau keluar pada malam hari. Seperti
yang diamati oleh Allison dan Wrightsman :
Ketakutan ini akan memaksa korban pada situasi no-win , dimana ketika
dia berada di rumah sendirian dia akan ketakutan, dan apabila dia keluar
rumah dia juga akan ketakutan. Kebanyakan korban menyalakan lampu di
rumahnya 24 jam.
2. Disturbance in general functioning : menjalankan aspek-aspek rutinitas
pada kehidupan sering menjadi tantangan pada fase ini. Perubahan dalam
pola tidur dan pola makan tetap menjadi masalah. Bagi sebagian orang,
kualitas dari hubungan intim akan memburuk.
3. Sexual problems : Pemerkosaan memberikan dampak yang sangat besar
bagi kehidupan seksual korban. Namun penelitian menunjukkan bahwa
perbedaan antara wanita korban perkosaan dengan yang bukan tidak
terletak pada frekuensi dari aktivitas seksual mereka, melainkan kualitas
subjektif dari pengalaman tersebut. Korban pemerkosaan dilaporkan tidak
menikmati seks dengan pasangan mereka sebagaimana sebelum terjadinya
peristiwa tersebut. Ada pengecualian tehadap dua tipe: aktivitas yang
dianggap untuk menunjukkan kasih sayang dari adanya seksual, (seperti
berpegangan tangan atau berpelukan) dan masturbasi; frekuensi dan
kepuasan pada kedua tipe dari aktivitas tersebut tidak dipengaruhi oleh
pemerkosaan.
Namun
korban
pemerkosaan
dilaporkan
kurang
laporan
diri
untuk
untuk diperkosa,
c) kebanyakan tuduhan
Tidak semua kesaksian dari ahli yang diakui tentang efek jangka panjang dari
pemerkosaan. Ketika kesaksian telah diakui di pengadilan lalu di bantah, pihak
peninjauan kembali kadang menyimpulkan bahwa kesaksian tersebut tidak benar dan
hanya berupa dugaan saja, atau tidak mempengaruhi juri. Dalam hal ini pengadilan
memutuskan bahwa, (a) psikolog tidak bisa menentukan apakah memang telah terjadi
sebuah perkosaan, (b) kesaksian secara tidak tepat mendukung kesaksian melawan
terdakwa, dan (c) kesaksian tidak diluar pengetahuan umum juri.
Setelah pengadilan menyadari adanya RTS setelah awal tahun 1980-an, mereka
menjadi tidak konsisten dalam memutuskan apakah kesaksian ahli diakui. Keputusan
ini menguntungkan psikolog, karena (a) RTS merupakan reaksi yang diterima karena
pemerkosaan, (b) kesaksian mengenai RTS relevan ketika terdakwa menyatakan
bahwa aktifitas seksual merupakan hal konsensual, dan (c) kesaksian mengenai RTS
tidak melanggar wewenang juri.
Terkadang, pengadilan memberikan batasan dalam penggunaan kesaksian RTS.
Konselor
pemerkosaan
yang
menangani
korban
bersaksi
dimana
korban
Saksi ahli harus membatasi kesaksian mereka dengan pernyataan yang dapat
dibuktikan. Boeschen, Sales dan Kros (1998) mengklasifikasikan kesaksian yang
mungkin dalam lima level, level ini merupakan kesimpulan yang bermanfaat untuk
pembatasan kesaksian.
Level Kesaksian oleh Saksi Ahli
Lima level kesaksian oleh Boeschen, Sales dan Kros dalam mengevaluasi ketepatan pengakuan
kesaksian ilmiah pada trauma akibat pemerkosaan :
Level 1 : kesaksian berdasarkan perilaku spesifik pada korban pemerkosaan yang dideskripsikan
sebagai hal yang tidak wajar bagi pembela. Kesaksian pada level ini digunakan oleh konselor
korban untuk membantah argument pelaku bahwa korban menunjukkan perilaku yang tidak
wajar setelah pemerkosaan. Pengadilan menemukan bahwa kesaksian ini membantu, hal ini
meniadakan stereotype yang ada pada sebagian juri dan bukti empiris telah dikonfirmasi terkait
perilaku ini (seperti terlambat melaporkan pemerkosaan, gagal untuk mengidentifikasi
pemerkosa) bukanlah hal yang tidak wajar.
Level 2 : kesaksian pada reaksi umum terhadap pemerkosaan dan kriteria diagnostic umum RTS
atau PTSD. Saksi ahli mendeskripsikan reaksi umum.
Level 3 : saksi ahli memberi pendapat tentang konsistensi perilaku korban atau gejala terkait RTS
atau PTSD. Level ini lebih controversial dari level sebelumnya karena mengizinkan saksi untuk
berada diluar jangkauan secara umum, memberi informasi mendidik dan mengaplikasikan pada
kasus tertentu.
Level 4 : kesaksian yang menyatakan bahwa korban mengalami penderitaan akibat RTS atau
PTSD. Saksi mendeskripsikan gejala korban dan menyatakan memenuhi kriteria diagnosis
PTSD, tapi tidak menyatakan bahwa korban telah diperkosa.
Level 5 : pendapat saksi melebihi diagnosis. Pada level ini saksi menyatakan korban
menceritakan kebenaran dan telah diperkosa. Banyak pengadilan yang menolak mengakui level
kesaksian ini karena meniadakan peran fact finder.
Ada dua pertanyaan : apakah gejala penyebab pemerkosaan? dan apakah korban
pemerkosaan berbeda berdasarkan dari gejala orang yang bukan korban? Penulis
mengidentifikasi beberapa gejala, dengan kesimpulan sebagai berikut :
1. Depresi : seperti disebutkan sebelumnya, depresi adalah salah satu gejala yang
paling sering dilaporkan oleh korban pemerkosaan. Penulis mengidentifikasi 7
studi yang membandingkan gejala depresi kelompok korban pemerkosaan dan
bukan korban. Semua studi menemukan nilai rata-rata korban pemerkosaan
secara signifikan lebih tinggi dari pada bukan korban. Di seluruh studi, antara
18% dan 45% dari para korban yang sedang mengalami depresi berat.
2. Takut : studi mengenai laporan diri oleh Veronen-Kilpatrick menemukan
perbedaan antara korban dan bukan korban sampai satu tahun setelah
pemerkosaan. Salah satu studi menemukan bahwa korban pemerkosaan lebih
takut dibandingkan dengan korban kejahatan lainnya.
3. Kecemasan : kesulitan berkonsentrasi dan menghindari situasi tertentu karena
kecemasan yang hadir lebih sering pada korban pemerkosaan dari pada bukan
korban, setidaknya selama satu tahun setelah pemerkosaan.
diagnosis.
Seperti
disebutkan,
beberapa
pengadilan
telah
pasca melahirkan (Marcel Gotlieb, 1998). Baby blues dan depresi, keduanya
melibatkan gangguan dalam suasana hati dan fungsi terkait, tetapi tidak kehilangan
contact dengan realitas. Sebaliknya, psikosis pasca melahirkan termasuk penurunan
dalam melihat kenyataan, termasuk delusi dan halusinasi. Penelitian pada prevalensi
dan tentu saja gangguan pada pasca melahirkan menunjukan bahwa hanya minoritas
kecil wanita terkena pengalaman psikosis pasca melahirkan (Marcel Gotlieb, 1998).
Ahli bersaksi bahwa terdakwa pidana yang menderita postpartum psychosis saat ia
melakukan kejahatan akan memiliki dasar ilmiah untuk membahas mengenai tingkat
akurasi dan kesalahan dalam menetapkan diagnosis. Meskipun hakim menerima bukti
ilmiah sebagai standar untuk kesaksian ahli, hakim tidak selalu menerima diagnosis
sebagai alasan untuk perilaku kriminal, terutama dimana ibu telah membunuh anakanak mereka sendiri (Dixon &Dixon, 2003). Dalam kasus Andrea Yates seorang ibu
di Texas, dihukum pada tahun 2001 karena membunuh 5 anaknya, meskipun pada
dasarnya dari saksi ahli mengatakan bahwa dia terkena penyakit mental. Hakim
mengakui kesaksian tersebut namun pertimbangan mengatakan bahwa itu merupakan
tindakan kriminal. Dia terpidana hukuman seumur hidup, meskipun pada tahun 2006
dia ditemukan tidak bersalah karena faktor kejiwaan. Psikosis pasca melahirkan
memiliki dasar ilmiah yang telah terbukti sangat mempengaruhi kesehatan mental
wanita termasuk kemampuan untuk merasakan lingkungan secara nyata.
Premenstrual Syndrome
PMS merupakan diagnostik kejiwaan yang diakui namun tidak ditemukan
dalam DSM IV. Namun sebuah sindrom yang terkait, gangguan Dysphoric
Pramentruasi (PMDD) ditemukan pada DSM IV. Diagnosis formal dalam PMDD
membutuhkan adanya 5 gejala dari 11 yang telah terjadi pada kebanyakan siklus
menstruasi. Daftar gejala tersebut adalah mood, kecemasan ditandai afektif ability,
marah atau iritabilitas yang ditandai penurunan ketertarikan kegiatan, kesulitan
berkonsentrasi, kelesuan, perubahan nafsu makan, insomnia, perasaan kewalahan
memenuhi kegiatan, dan gejala fisik seperti nyeri payudara (American Psychiatric
Association, 1994). Atas kasus hukum dari tahun 1993 hingga 2003 mengungkapkan
tidak ada kasus banding yang melaporkan penggunaan PMDD dalam hubungan
dengan pembunuhan atau bela diri. Karena kurangnya diagnostik untuk PMS,
sifat eksperimental kriteria untuk PMDD dan sifat dari gejala-gejala tersebut maka
PMS dan PMDD jarang muncul sebagai bukti-bukti yang substantif dalam pengadilan
tindak pidana (Dixon & Dixon, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Fulero, Solomon M & Wrightsman, Lawrence S. 2009. Forensic Psychology Third
Edition. USA : Wadsworth Cengage Learning