Anda di halaman 1dari 30

PSIKOLOGI FORENSIK

Syndrome Evidence : Battered Woman Syndrome and


Rape Trauma Syndrome

Kelompok 7
Luthfiani Elsa

1210352027

Don Ozzy Rihhandini

1210353003

Sesria Iidh Arima

1210353004

Faishal Aulia Darmawan 1210353005


Mutia Skunda Ramadani 1210353006

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2015

THE BATTERED WOMAN SYNDROME


Seberapa jauh permasalahan kekerasan di amerika serikat dan kanada?
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Tjaden dan Thoenes dari bahwa survey
nasional dari November 1995 sampai mai 1996

dengan sampel laki-laki dan

perempuan yang menjadi korban kekerasan, Tjaden dan Thoennes menemukan 22,1%
wanita yang mengikuti survey dan 7.4% laki-laki melaporkan bahwa mereka
mengalami kekerasan dari pasangan, parner atau pacar dalam masa pacaran, 1.3 %
wanita yang mengikuti survey dan 0.9 % laki-laki yang mengikuti survey melaporkan
pengalaman kekerasan dalam masa 12 bulan.
Meskipun tingkat kekerasan masih tinggi, namun kebanyakan masyarakat
masih lambat merespon terkait hal tersebut, karna masih ada beberapa anggapan
bahwa kekerasan pada wanita boleh, ataupun karna adanya mitos-mitos . amerika
serikat memiliki tempat penampungan hewan tiga kali lipat dibandingkan dengan
penampungan wanita.
What is Syndrome?
Sindrome ada kumpulan gejala-gejala yang terjadi secara bersamaan. Yang
dapat menimbulkan sakit atau gangguan. The battered woman syndrome didefinisi
sebagai reaksi terhadap jenis pelecehan terhadap fisik dan psikis secara berlanjut oleh
temannya.
Beberapa mitos tentang kekerasan pada wanita
Lenore Walker (1979) menjelaskan 21 mitos tentang wanita, kekerasan dan
hubungannya
Mitos 1 : kekerasan pada wanita hanya sedikit presentasi dari populasi
Mitos 2 : kekerasan pada wanita adalah masokis , hanya yang menyukai yang akan
mengalami kekerasan

Mitos 3 : wanita yang mengalami kekerasa sudah gila, mitos ini berkaitan dengan mitos
masokis, menyalahkan kekerasan pada wanita terjadi karna kepribadian yang negative
Mitos 4 : wanita kelas menengah ke-atas tidak mengalami kekerasan sesering wanita
menengah ke bawah.
Mitos 5 : kelompok minoritas mengalami kekerasan lebih tinggi dibandingkan kelompok
anglo
Mitos 6 : kepercayaan agama dapat mencegah kekerasan
Mitos 7 : kekerasan pada wanita adalah kurang terpelajar, dan memiliki sedikit kemampuan
skill
Mitos 8 : pelaku kekerasan adalah korban dari semua hubungan kekerabatannya
Mitos 9 : pelaku kekerasan tidak sukses dan kurang dapat menghadapi dunia
Mitos 10 : minum-minum adalh perilaku kekerasan
Mitos 11 :pelaku kekerasan memiliki kepribadian psikopatik
Mitos 12 : polisi dapat melindungi wanita korban kekerasan
Mitos 13 : pelaku kekerasan adalah rekan yang tidak disayangi
Mitos 14: istri yang mengalami kekerasan akan melakukannya pada anaknya juga
Mitos 15 : sekali mengalami kekerasan maka selamanya akan mengalami kekerasan
Mitos 16 : sekalimenjadi pelaku kekerasan, maka selamanya akan menjadi pelaku kekerasan.
Mitos 17 : hubungan yang mengalami kekerasan dapat berubah menjadi lebih baik
Mitos 18 : wanita yang mengalami kekerasan memposisikan dirinya untuk dipukul,
Mitos 19 : wanita yang mengalami kekerasan dapat meninggalkan rumah kapan saja
Mitos 20 :pelaku kekerasan menghentikan korban dengan kapan kita menikah?
Mitos 21 : anak-anak menbutuhkan ayahnya meskipun ayahnya kasar.

Komponen the Battered Woman Syndrome


Berikut adalah komponen the battered woman syndrome :
1. Ketidakberdayaan yang dipelajari, dimana korban merasa bahwa masalah
tersebut tidak dapat dikontrol dan dihindari
2. Self esteem yang rendah.
3. Gangguan fungsi, termasuk ketidakmampuan untuk terlibat dalam
kegiatan
4. Hilangnya asumsi kekebalan dan keselamatan :

keyakinannya

sebelumnya seperti hal tersebut tidak akan terjadi padakusemuanya akan


baik-baik saja hal tersebut akan hilang seiring dengan seringnya terjadi
kekerasan.
5. Takut dan terror adalah reaksi terhadap pelaku kekerasan berdasarkan
pengalaman mereka.
6. Marah
7. Pengurangan alternative, 85% dari 400 wanita yang mengalami kekerasan
yang diwawancarai oleh walker merasakan bahwa mereka dapat terbunuh
pada suatu titik, wanita yang mengalami kekerasan berfokus pada energy
yang ada untuk menyelamatkan hubungan dibandingkan dengan
mengeksplor pilihan lain.
8. The cycle of abuse, berdasarkan teori the cycle of abuse. Pada fase satu
wanita mengalami ketegangan, pada fase dua. Berkembangnya perasaan
takut akan kematian atau membahayakan tubuh. Dan mengantisipasi
penyerangan lainnya. Membela diri dengan membalas selama jeda
kekerasan. Tidak semua kekerasan mengikuti pola ini. Dari 400 wanita
yang diwawancraai oleh walker, hanya dua-tiga yang menggambarkan
pola ini.
9. Hypervigiance to cues of danger (kewaspadaan yang tinggi akan bahaya).
Komponen lain dari the battered woman syndrome adalah kurang bisa
dijelaskan. Kewaspadaan yang tinggi pada korban kekerasan bisa
menyadari hal-hal yang kecil, mereka memikirkan apa yang tidak
dipikirkan oleh orang lain. Seperti dia merasakan jika suaminya berbicara
lebih cepat, atau dia menganggap bahwa mata suaminya lebih hitam.

10. Toleransi yang tinggi untuk cognitive inconsistency, wanita yang


mengalami kekerasan menganggap dua hal yang bertentangan menjadi
logis, misalnya wanita yang mengalami kekerasan mengatakan bahwa
suaminya hanya memukulnya ketia ia mabuk, namun ternyata wanita
tersebut

juga

dipukul

ketika

suaminya

tidak

mabuk,

toleransi

inconsistency ini tumbuh pada wanita yang mengalami kekerasan, ketika


lelaki yang seharusnya mencintainya tapi melukainya
Hubungan antara battered woman syndrome dengan Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD)
PTSD masuk dalam kategori diagnosis klinis pada DSM-III-R (Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder-Revised) Walker melihat BWS adalah sub
kategori dari PTSD secara umum dia mengatakan bahwa reaksi dari korban BWS
mirip dengan korban bencana, biasanya korban bencana mengalami penurunan emosi
22 jam sampai 48 sesudah bencana alam. Gejalanya seperti lesu, depresi, dan
perasaan tidak berdaya. BWS mengalami perilaku yang sama.
Role of the forensic psychologist in the assessment of BWS
Hal penting yang harus dilakukan oleh psikolog klinik forensic adalah
melakukan asesmen dengan teliti terhadapwanita yang sudah membunuh suaminya.
Gejala apa saja yang dilaporkannya? Diane Follingstad mengidentifitasi beberapa
prosedur yang bisa diikuti oleh psikolog forensic dalam menangani kasus wanita yang
mengalami kekerasan dan berubah menjadi pembunuhan.
Ahli psikologi seharusnya melakukan verifikasi terhadap self-reports dan juga
catatan kesehatan dan juga wawancara dengan pihak lain. Instrument yang bisa
digunakan adalah Abusive Behavior Observation Checklist. Dimana pewawancara
dapat mengadministrasi list kekerasan fisik secara spesifik, seksual, dan psikis
Berikut 8 kategori kekerasan psikologi The power and control wheel :

1. Paksaan dan ancaman (paksaan sampai pembunuhan atau melukai istri


atau anak, membakar rumah atau mencuri mobil)
2. Intimidasi (menampakkan senjata api, atau menanamkan rasa takut)
3. Pelecehan emosional (penghinaan, memanggil dengan panggilan
memalukan)
4. Isolasi ( membatasi akses email, TV, telefon, teman dan keluarga)
5. Minimization, penolakan dan menuduh ( menolak bahwa telah terjadi
pelecehan, menuduh korban melakukan pelecehan)
6. Memanfaatkan anak untuk mengontrol wanita ( menculik atau
mengancam pelecehan)
7. Menggunakan hak istimewalaki-laki
8. Economic/ resource abuse ( mengemis uang, mencuri uang dari teman,
menghancurkan kartu edit)
THE BWS IN COURT (PENGADILAN)
Battered woman who kill
Lebih dari 10% pembunuhan di amerika serikat dilakukan oleh wanita, dan presentasi
tinggi ditunjukkanoleh pasangan yang mengalami pelecehan atau kekerasan.
Kebanyakan wanita yang masuk penjara karna karna membunuh adalah korban
kekerasan.
Pertanyaannya adalah kenapa sebagian wanita yang mengalami kekerasaan
membunuh dan sebagian lagi tidak? Walker menjelaskan bahwa wanita yang
mengalami kekerasan biasanya lebih sensitive dibandingkan dengan wanita yang
tidak mengalami kekerasan, hal tersebut bisa menjadi landasan kenapa wanita
membunuh, dan juga ada beberapa factor seperti wanita tersebut mendapatkan lebih
banyak kekerasan atau pelecehan, kurangnya edukasi, dan memiliki coping yang
buruk dalam menghadapi pelecehan dibandingkan wanita lainnya.
Possible defenses

Dalam kasus ini wanita membunuh karna terpaksa melakukannya atau karna
kehilangan akal sehatnya sejenak, dua kemungkinan yang terjadi self-defense defense
dan insanity defense
Self-defense
The battered woman self defense biasanya digunakan pada justifikasi pada perlakuan
perlindungan pada wanita atau anak dari kejahatan atau kematian.
Insanity defense
Digunakan ketika wanita sudah tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana
yang salah karna mentalnya sedikit terganggu (terguncang) dan wanita tersebut
dituduh atas kesalahn
THE USE OF A PSYCHOLOGIST AS AN EXPERT WITNESS ON THE
BATTERED WOMAN SYNDROME
Menurut Walker (1993), saksi ahli diberi izin untuk bersaksi setelah
setidaknya mengikuti 500 sidang di Amerika Serikat. Tujuan menggunakan saksi ahli
adalah untuk memberikan bukti nyata kepada perspektif lain atau social framework
untuk

menginterpretasi

tindakan

perempuan.

Mary

Ann

Dutton

(1993)

mendeskripsikan perbedaan tujuan kesaksian oleh psikolog, Mary menyebutkan


dalam konteks criminal kesaksian digunakan untuk memperkuat pertahanan dasar
(seperti self defense) bukan untuk menyediakan pertahanan terpisah. Permasalahan
terkait kesaksian psikolog contohnya apakah persepsi pelaku mengenai bahaya masuk
akal (seperti self defense), kerusakan psikologis akibat kekerasan rumah tangga, dasar
hak asuh atau pembatasan atau kunjungan anak, dan mengapa battered woman berada
dalam perilaku yang membingungkan (seperti tetap kembali kepada pasangan yang
melakukan kekerasan, tetap bersama pasangan yang melakukan kekerasan,
meninggalkan anak dengan pelaku kekerasan). Saksi ahli dapat mendeskripsikan
ketiga hal berikut :

1. Psychological distress atau disfungsi


2. Reaksi kognitif
3. Relational disturbances
Salah satu kontribusi yang penting adalah untuk mengkonfrontasi pertanyaan
yang mungkin diajukan juri, seperti mengapa ia (perempuan) tidak pergi?.
Pertanyaan ini berasumsi ada pilihan untuk bertahan hidup sebagai alternatif dari
perbuatan yang telah dilakukan (membunuh pasangan yang melakukan kekerasan),
yang berasumsi bahwa pergi akan menghentikan tindak kekerasan. Saksi dapat
memberikan strategi-strategi yang biasa digunakan oleh perempuan terdakwa untuk
menghentikan kekerasan. Hal ini mencakup tiga tipe :
1. Personal Strategies
- Tunduk kepada pelaku kekerasan untuk menjaga kedamaian
- Berusaha untuk bicara dengan pelaku kekerasan untuk menghentikan
kekerasan
- Melarikan diri beberapa kali
- Bersembunyi
- Bertahan secara fisik
2. Informal help-seeking
- Memohon bantuan dari tetangga dan orang lain untuk melarikan diri dari
-

pelaku kekerasan
Meminta campur tangan pihak lain dalam usaha untuk membuat pelaku

kekerasan berhenti
3. Formal help-seeking efforts
- Menggunakan startegi legal seperti menghubungi polisi, pengacara,
Namun, saksi perlu memberitahu juri, terdapat perbedaan startegi yang
digunakan pada masing-masing battered woman, berbeda korban berbeda pula
strategi yang digunakan. Pertanyaan lain yang mungkin akan diajukan juri adalah
mengapa menyerang / bertindak pada saat pasangan (laki-laki) sedang tidur?. Saksi
dapat memberikan informasi kepada juri mengenai alasan masuk akal battered
woman tentang persepsinya akan bahaya. Blackman (1986) menekankan, untuk self
defense dianggap dapat mempertahankan hidup, perempuan harus bertindak dibawah
keyakinan yang masuk akal bahwa dirinya atau diri orang lain berada dalam bahaya.

PROSEDUR DAN ISU ETIKA TERKAIT PENGGUNAAN SAKSI AHLI


Penggunaan psikolog sebagai saksi ahli dalam kasus battered woman
syndrome penuh dengan prosedur dan etika.
Kesaksian Ahli yang dapat diterima pada BWS
Dasar pemikiran pada beberapa pengambilan keputusan di pengadilan untuk
mengakui kesaksian ahli adalah bahwa kesaksian tersebut memberikan isu penting
tentang fakta yang berada diluar pengetahuan secara rata-rata orang awam atau
anggota juri.
Pendirian Kesaksian Ahli Objektif atau Advokasi?
Merupakan hal yang sulit bagi psikologi untuk bersaksi secara objektif dalam
suatu kasus. Lenore Walker menyatakan seorang professional yang berusaha untuk
bertindak netral dan objektif akan menerima persepsi yang salah (mispersepsi)
sebagai orang yang menentang battered woman, yang kemudian akan diartikan untuk
membahayakannya lebih jauh lagi. Psikologi forensic memiliki tanggung jawab
kepada masyarakat secara umum dan kepada bidang ilmunya sebagai ilmu yang
objektif. Mereka yang bersaksi di pengadilan harus tetap netral walaupun jika
keadaan bahaya sebagai hasil kesaksian mereka tersebut.
REAKSI JURI TERHADAP BWS SEBAGAI BAGIAN DARI BUKTI
PERTAHANAN.
Apa efek dari terstimoni ahli ? apakah itu merubah dakwaan juri ? jika begitu,
Bagaimana caranya ? Beberapa simulasi juri yang relevan. Regina schuller
menggiring pada tiga studi penting. Pertama 108 berpura-pura sebagai juri
(mahasiswa kanada) membaca satu dari tiga versi dari percobaan pembunuhan
dimana wanita teraniaya telah membunuh suaminya. Transkip berdasarkan kasus
sesungguhnya, sepanjang 50 halaman. Versi pertama, seorang ahli mempresentasikan
hanya temuan penelitian yang umum tentang battered woman syndrome (sindrom

wanita teraniaya). Versi kedua, ahli menjelaskan lebih jauh, menyimpulkan apakah
perilaku dari terdakwa dan karakteristiknya sesuai dengan sindrom tersebut. Grup
ketiga subjek membaca transkip yang tidak memiliki keterangan sakasi ahli.
Membandingkan kondisi kontrol, Juri yang memiliki transkip dengan saksi ahli
memberi interpretasi yang konsisten dengan wanita mengenai apa yang terjadi dan
konsisten kepada vonis yang ringan.
Penelitian keduaSchuller, menukar transkrip dengan beberapa jam rekaman,
yang telah dibahas oleh juri (131 subjek dibagi menjadi 30 juri). Dalam studi ini,
membandingkan kelompok kontrol, setiap kondisi saksi ahli mengarahkan dari
pembunuhan ke pembunuhan yang disengaja. Walaupun mereka telah mendengar
saksi ahli, terdakwa dan tindakannya dianggap oleh ringan sewaktu diskusi para juri.
Penelitian ketiga. Mengumpulkan kepercayaan subjek tentang kekerasan
seksual dua bulan sebelum mereka berpura-pura menjadi juri, penelitian ini
menggunakan rekaman dari penelitian sebelumnya. Kehadiran dari testimony
mempengaruhi putusan tetapi terkhusus pada para juri yang pada awalnya tercermin
sikap yang lebih tepat mengenai kekerasan lokal. Para juri mengaitkan ketidak
bertanggungjawaban terhadap terdakwa dan lebih bertanggung jawab pada terduga
pelaku penganiayaan, membandingkan kontrol subjek.
Penelitian tersebut tidak menunjukkan jawaban yang konsisten mengenai
efektifitas dari saksi ahli. Perbedaan metode yang dilakukan mungkin akan
menunjukkan hasil yang berbeda; Schuller (1994) menyarankan mungkin diperlukan
ceita wanita mengenai apa yang terjadi untuk diujib (apakah itu dalam kehidupan
sehari-hari) agar saksi ahli dapat memiliki dampak.
Schuler & Rezpa (2002) menyarankan testimony ahli mungkin tidak
menyediakan kerangka untuk menilai tindakan wanita yang teraniaya menjadi suatu
yang masuk akal, tetapi sebagai gantinya malah membangkitkan rasa simpati
terhadapnya. Schuller dan koleganya mengusulkan tindakan alternative dari
testimony ahli terhadap BWS menghilangkan referensi BWS, learned helplessness,

dan PTSD, dan mengganti informasi yang berkaitan dengan aksi wanita yang
teraniaya sebagai rintangan yang harus dihadapinya. Ini mengurangi pathologizing
terhadap perilaku wanita dan malah terfokus pada usaha wanita dan rintangan yang
dihadapinya. Schuller & Jenkins (2007) mengarahkan ini sebagai bukti social
agency, dan dilakukan simulasi terhadap keefektifannya.
KRITIKAN

TERHADAP

PENGGUNAAN

BATTERED

WOMAN

SYNDROME DAN PEMBELAAN WANITA TERANIAYA.


Batettered woman syndrome dan pembelaan wanita teraniaya mendapat kritikan
dari dalam dan luar ilmu psikologi. Pembela telah ditantang menggambarkan
perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan, selama battered woman
syndrome dipertanyakan dalam hal validitas konsep yang empirik.
Pembelaan wanita dalam persidangan
Satu masalah dalam penggunaan pembelaan wanita teraniaya dalam
persidangan adalah perilaku pengacara yang menggambarkan wanita tersebut. Dalam
sebuah persidangan yang di analysis oleh Jenkins dan Davidson (1990), pengacara
pembela, selama persidangan menyebut terdakwa yang berusia 23 tahun sebagai
gadis kecil, dia berkata dia gadis kecil yang baik dalam segala hal, tapi dia bukan
seorang yang jenius. Yang kedua pembela mungkin membuat kembali ekspresi yang
dimunculkan oleh wanita ketika kejadian dan sesaat setelah pembunuhan itu terjadi,
ditambah gagasan budaya bahwa wanita menunjukkan emosinya lebih dari pria dan
respon emosi terdakwa bersangkutan dengan kasus tersebut. Terkadang pengacara
pembela akan bertanya pada polisi dalam kesaksian, Dia sedang dalam keadaan
shock disaat kamu berbicara dengannya, benar begitu ?.
Memperkenalkan Battered Woman Syndrome: Wanita Yang Pasif dan Tak
Berdaya.
Psikolog melihat penggunaan pembelaan wanita yang teraniaya merupakan
berkah yang bercampur aduk. Crocker menulis: masalah yang fundamental dari

steriotipe wanita yang teraniaya adalah membiarkan sistem yang berlaku untuk
melihat terdakwa berdasarkan siapa dia, bukan berdasarkan apa yang dia
lakukan.. siapa dia merupakan penggunaan sindrom sebagai ketidak berdayaan,
itu dapat didebatkan sebagai pathologized dari BWS, banyak dari mereka
membernarkan itu untuk keadaan buruk mereka.
Validitas Ilmiah Mengenai Battered Woman Syndrome
Kritikan terpusat pada kulitas dari basis empiris terhadap teori lingkaran
kekerasan (cycle of violence theory) dan aplikasi dari konsep learned helplessness.
Untuk menguji teori lingkaran kekerasan, walker dan koleganya melakukan
wawancara kepada 400 orang terindikasi wanita teraniaya dari enam negara bagian;
masing-masing ditanyai mengenai empat indikasi penganiayaan; saat pertama, kedua,
saat yang terburuk, dan yang paling sering dilakukan. Tidak ada grup kontrol yang
dilakukan. Figman membuat alur dari studi ini;
1. Teknik wawancara menginjinkan subjek menerka secara mudah hipotesis
dari studi ini.
2. Pewawancara mengetahui jawaban yang benar.
3. Pewawancara tidak merekam jawaban subjek, hanya interpretasi mereka
terhadap jawaban subjek.
4. Penelitian ini tidak memberikan waktu untuk menyusun kejadian; bisa saja
dalam beberapa menit, beberapa jam, atau beberapa minggu.
5. Hanya 65% kasus yang terbukti dalam fase tension-building sebelum
terjadinya penganiayaan; hanya 58% dari kasus terbukti penyesalan
mencintai pasangan sebelum penganiayaan. Tidak jelas berapa wanita yang
melaporkan seluruh tiga fase penganiaayaan.
Dalam hal learned helplessness, scholars mempertanyakan aplikasi dari Martin
Seligman, teori original dan penelidian dengan anjing mengenai wanita yang
teraniaya. Anjing Seligman yang dibiarkan tak berdaya dan tak bergerak dengan
menerima sengatan listrik yang tidak pasti; oleh karena itu, untuk memprediksi
apakah wanita yang teraniaya menderita karena learned helplessness, mereka tidak

boleh memaksakan kontrol terhadap lingkungan mereka; tentu saja, salah satu yang
tak terprediksi penegasan yang tegas mengenai kontrol dengan membunuh
penganiaya.
THE RAPE TRAUMA SYNDROM
Sindrom didefinisikan sebagai seperangkat gejala yang mungkin muncul
secara bersamaan, sehingga dianggap dapat menunjukkan adanya gangguan atau
penyakit. Tidak semua gejala harus muncul pada setiap subjek, dan, pada
kenyataannya, kriteria untuk berapa banyak gejala yang harus muncul belumlah jelas.
Lebih dari 30 tahun yang lampau, seorang perawat kejiwaan dan sosiolog,
Ann Wolbert Burgess dan Lynda Lyric Holmstrom (1974), menciptakan istilah
sindrom trauma pemerkosaan (rape trauma syndrome) untuk menggambarkan
kumpulan respon yang dilaporkan oleh 92 wanita yang pernah menjadi korban
pemerkosaan atau yang mengalami pelecehan seksual lainnya. Masing-masing korban
diwawancarai selama 30 menit mengenai masuknya dia ke rumah sakit dan
diwawancarai ulang sebulan kedepan. Burgess dan Holmstrom dikejutkan oleh
kenyataan bahwa dari berbagai sumber yang ada laporan diri dari korban
pemerkosaan, penjelasan dari psikoterapis, pekerja layanan sosial yang telah terlatih,
dan reaksi dari teman-teman dan kelurga korban pemerkosaan menunjukkan adanya
keseragaman respon yang amat besar. Beberapa deskripsi diri yang khas dari korban
pemerkosaan yang selamat disajikan dalam kotak 7.4. Karena sebagian besar dari
korban pemerkosaan adalah perempuan, maka literatur klinis dan empiris telah
difokuskan pada reaksi-reaksi mereka, dan jauh lebih sedikit informasi yang tersedia
pada korban laki-laki, Koss & Harvey, 1991).
Perlu diperhatikan, bahwa tidak semua korban menderita dari tingkat
keparahan mempunyai gejala yang sama. Untuk mendukung temuan ini, Koss dan
Harvey

(1991)

menggunakan

model

ekologi

dari

respon-respon

korban

pemerkosanaan yang menekankan bahwa berbagai macam pribadi, kejadian, dan


faktor lingkungan dapat mempengaruhi proses pemulihan dari kekerasan seksual.

Box 7.4 Deskripsi diri dari reaksi-reaksi korban pemerkosaan


Setiap orang yang pernah diperkosa memiliki cerita yang berbeda-beda, tetapi mereka semua
berbagi reaksi dari intrusi pribadi dan dampak seumur hidup. Berikut adalah beberapa reaksi;
"Awalnya, saya menyadari cara untuk membuat mengurangi rasa sakit adalah dengan
memisahkan pikiran dari tubuh saya dan tidak mengizinkan diri saya untuk merasakannya"
(dikutip oleh Kraske 1986.. P. 8A).
Saya bisa mengingat peristiwa penting dalam masa pemulihan saya, dimulai dengan saat saya
bangkit dari lantai dapur dan pergi ke rumah sakit. Itu adalah malam pertama, seminggu setelah
serangan itu, ketika saya tidak terbangun dalam keadaan menangis atau berteriak. Saya teringat
ketika pertama kalinya saya mengatakan pada seseorang di luar teman dekat dan keluarga yang
telah mengenal saya ketika pemerkosaan terjadi. Dan untuk pertama kalinya saya
mengungkapkan rahasia pada seorang lelaki yang sedang mengawali hubungan dengan
saya(Kaminker, 1992, p.16).

Dalam waktu yang cukup lama saya pikir saya bisa mengatasi kemarahan dan kebencian
dengan seorang diri. Tapi saya tidak bisa. Saya menyangkal bahwa hal ini mempengaruhi
saya, dan sekarang saya sangat panik apabila berada di dalam ruangan bersama orang lain.
Sampai saya menyadari bahwa saya telah merusak diri sendiri dan saya butuh bantuan. Ada
bagian dari diri saya yang ingin menjadi tabah dan sangat kuat. Saya harus menyadari bahwa
serangan itu tidak ditujukan pada saya, sebagai Kelly. Semua terjadi secara acak. Saya berada
di tempat yang salah pada waktu yang salah. Itu adalah langkah pertama menuju
menyingkirkan semua perasaan bermusuhan tentang hal itu. Namun, ketika Anda menjadi
korban dari kekerasan kejahatan ketika seseorang telah mengambil kendali atas hidup Anda,
walaupun hanya untuk sesaat saya tidak berpikir Anda pernah sepenuhnya pulih "(aktris Kelly
McC3lllis, dikutip Yakir, 1991, p 5).
Variabel pribadi dari relevansi khusus meliputi usia dan tahap perkembangan

dari

korban;

hubungannya

dengan

pelaku;

kemampuan

korban

untuk

mengidentifikasi; dan memanfaatkan ketersedian dari dukungan sosial; dan

pemaknaan dari peristiwa traumatik tersebut oleh korban, keluarga, teman, dan orang
lain termasuk polisi , petugas medis, dan pengacara korban dengan siapa korban
berhubungan pasca trauma. Variabel peristiwa yang relevan meliputi frekuensi,
tingkat keparahan, dan durasi dari peristiwa traumatis dan tingkat dari kekerasan
fisik, pelanggaran pribadi/personal, dan ancaman hidup yang dialami oleh korban.
Variabel lingkungan meliputi keadaan di tempat peristiwa kejadian, temasuk rumah,
sekolah, lingkungan kerja, atau jalanan. Variabel lingkungan lainnya adalah tingkat
keamanan dan kontrol yang diberikan pada korban pasca trauma; sikap masyarakat
dan nilai-nilai terhadap kekerasan seksual; dan ketersediaan, kualitas, aksesibilitas,
dan keragaman bagi perawatan korban dan layanan advokasi korban.
Mahasiswa dari kalangan menengah yang dibesarkan dalam keluarga yang
menghargai anak perempuan sebagaimana anak laki-laki dan yang mendapatkan
pengetahuan yang baik tentang pemerkosaan dan mampu memanfaatkan sumber daya
yang mendukung dari komunitas feminis yang aktif akan merespon peristiwa
kekerasan seksual dengan cara yang berbeda dibandingkan pada remaja perempuan
yang memiliki keyakinan bahwa korban itu salah dan tokoh-tokoh kunci yang
mendukung percaya bahwa wanita yang tidak menginginkannya tidak akan benarbenar bisa diperkosa. Demikian pula, sesorang yang pernah mengalami kekerasan
dan pelecehan dalam isolasi dari orang lain dengan orang yang bisa berbagi dan
mampu memanfaatkan figur pendukung yang membantu.
Burgess dan Holmstrom (1974) membagi sindrom trauma pemerkosaan ke
dalam dua fase; fase krisis akut dan fase reaksi jangka panjang. Fase pertama meliputi
reaksi-reaksi yang berlangsung dalam jangka waktu harian atau mingguan, dan cukup
parah. Reaksi tersebut dapat mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan korban,
termasuk fisik, psikologis, sosial dan aspek-aspek seksual. Fase kedua, adalah
rekonstruktif dan termasuk saat korban mencoba untuk berdamai dengan rasa sakit
dan sedih menggunakan cara-cara yang efektif.
Fase I: Fase Krisis Akut

Berlangsung segera setelah tindakan, fase krisis akut adalah salah satu dari
banyak kekacauan dalam gaya hidup korban, sering digambarkan oleh korban sebagai
keadaan syok, dimana mereka mengatakan bahwa segala sesuatunya telah hancur
berantakan dalam diri mereka. Mereka kembali mengalami serangan berulang-ulang
dalam pikiran mereka. Meskipun saat tidur, mereka akan mudah mengalami mimpi
buruk tentang pemerkosaan.
Ketika korban diminta untuk mengisi kuesioner dua atau tiga jam setelah
kejadian, ditemukan kemiripan respon yang sangat tinggi: 96% dilaporkan merasa
takut, cemas, khawatir dan 92% merasa bingung.
Jenis ketakutan dan kecemasan secara fisiologis meliputi:

gemetaran (96%);
detak jantung cepat (80%)
sakit (72%);
otot-otot jadi tegang (68%);
nafas terengah-engah (64%);
mati rasa (60%)
Meskipun manifestasi dari ketakutan dan kecemasan adalah yang paling

sering dialami, sejumlah konsekuensi lainpun muncul. Hampir setengah dari korban
dinilai mengalami depresi sedang atau berat pada Beck Depression Inventory. Salah
satu penelitian mengemukakana bahwa 19% dari sampel komunitas wanita korban
pemerkosaan telah melakukan tindakan bunuh diri. Allison dan Wrightsman (1993),
dalam laporannya , mengklasifikasikan reaksi-reaksi fase pertama sebagai berikut:
1. Deniel, Shock, dan Disbeliefe:Ini tidak seharusnya terjadi padaku adalah
respon yang sangat sering diungkapkan. Salah satu korban, kemudian
menceritakan pikirannya selama pemerkosaan, Pikiranku kacau selama aku
mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Apakah ini lelucon? Apakah
orang yang saya kenal ini bertindak kejam? Ini pasti tidak nyata. Korban
akan

mempertanyakan

kepada

pemerkosaan itu bisa terjadi.

teman

dan

keluarganya

bagaimana

2. Disruption: Perubahan pola tidur dan pola makan sangat sering terjadi. Pada
tingkatan yang berbeda, korban dapat menampilkan disorganisasi kepribadian
(Bassuk, 1980). Beberapa mungkin tampak bingung, sementara yang lainnya
tidak menunjukkan gejala seperti perilaku yang mudah diamati, tetapi tipe
yang terakhir mungkin akan mengalami kebingungan dan mati rasa, dan
akibatnya menjadi tidak responsif terhadap lingkungan mereka.
3. Guilt, Hostility, and blame: Ketika kita sadar bahwa ada teman yang menjadi
korban pemerkosaan, mereka mungkin akan menyalahkan korban, atau
berasumsi bahwa pemerkosaan bisa saja dihindari atau menyerahkan
tanggungjawab kepada korban sendiri. Teori psikoanalisa sayangnya
mengusulkan bahwa esensi feminitas termasuk masokisme, dan keyakinan
tetap bahwa perempuan tidak hanya mengundang, tapi menikmati, agresi
seksual (Obligasi & Ibu, 1986). Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa
korban juga, merespon dengan rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri.
Janoff-Bulrnan (1979) mengatakan bahwa respon menyalahkan diri
mungkin yang paling sering ditunjukkan setelah ketakutan. "Kalau saja aku
telah mengunci jendela itu" atau "Kalau saja aku menaiki bus yang
sebelumnya" adalah contoh dari reaksi di mana korban menyalahkan tindakan
mereka sendiri atas pemerkosaan yang terjadi, atau setidaknya menyiratkan
bahwa perilaku yang berbeda yang dapat mereka lakukan untuk menghindari
kejadian tersebut. Perbedaan telah dibuat antara jenis self blame ini,
behavioral self blame, dan characterological self blame, yang mengacu pada
atribusi oleh korban untuk aspek stabil dan tidak terkendali pada diri meraka ,
seperti kepribadiannya (Frazier, 1990; Janoff -Bulman, 1979).
Pada beberapa korban, mereka bisa sangat menyalahkan diri sendiri,
sehingga

mereka percaya bahwa pemerkosaan tersebut adalah kesalahan

mereka atau mereka percaya bahwa pria tersebut peduli kepada mereka. Pada
beberapa kasus dilaporkan, ada korban yang bahkan menikah dengan orang
yang memperkosa mereka (Warshaw, 1988). Korban lainnya akan
mengarahkan agresi dan menyalahkan kaum laki-laki pada umumnya, atau

pada masyarakat yang membiarkan saja terjadinya kasus pemerkosaan. Meyer


dan Taylor melaporkan bahwa 11% dari korban pemerkosaan berperilaku
seperti itu, dengan menyetujui pendapat Laki-laki sangat kurang menghargai
wanita atau Polisi tidak pernah ada pada saat-saat dibutuhkan.
Regresi untuk keadaan tidak berdaya atau ketergantungan.
Orang-orang yang telah diperkosa sering melaporkan perasaannya bahwa
mereka tidak lagi menjadi individu yang independen. Rasa otonomi atau
kompetensi digantikan dengan salah satu keraguan diri. Korban kewalahan
dipenuhi oleh perasaan bahwa mereka tidak lagi memiliki kendali atas hidup
mereka dan apa yang terjadi pada mereka.
4. Distorted Perception: Ketidakpercayaan dan pesimis bahkan paranoid adalah
reaksi yang sering muncul sebagai korban pelecehan. Dunia menjadi tempat
yang sangat mengerikan untuk hidup; pada sebuah survey; 41% dari
mahasiswa kenalan korban perkosaan percaya bahwa mereka akan diperkosa
lagi.
Fase II : Reaksi Jangka Panjang
Pada tahap kedua dari sindrom trauma pemerkosaan, korban menghadapi
tugas untuk menata lagi kehidupan mereka dan membangun kembali rasa
keseimbangan dan perasaan penguasaan atas dunia mereka (Burgess & Holmstrom,
1985). Tugas ini tidaklah mudah, jika memang penyelesaian tugas terjadi, biasanya
akan memakan waktu dari beberapa bulan sampai beberapa tahun, tapi hanya 25%
dari korban yang dilaporkan tidak lagi menunjukkan simtom-simtom setahun setelah
kejadian. Burgess dan Holmstrom (1985) melaporkan bahwa 25% dari wanita yang
mereka yang diteliti tidak pulih secara signifikan beberapa tahun setelah
pemerkosaan.
Salah satu pencarian yang menantang pada fase ini adalah bagaimana korban
memahami apa yang terjadi pada mereka dan apa yang mereka rasakan sebagai

proses restorasi untuk bergerak maju. Perkembangan kognitif mereka mungkin akan
terhambat dengan menjadi "terus-menerus dihantui" oleh hidup, kenangan traumatis
(Neiderland, 1982, hal. 414). Salah satu korban melaporkan, "Saya tidak bisa berhenti
menangis dan kadang-kadang saya merasa sedikit kewalahan"(dikutip oleh Roth &
Lebowitz, 1988 p. 90). Tidak jarang mereka mengalami perasaan bertentangan: takut,
sedih, rasa bersalah, dan kemarahan semua pada waktu yang sama. Kebanyakan
orang condong berpikir sekali korban, akan selalu menjadi korban.
Seiring dengan penjelasan kognitif, Koss dan Harvey (1991) melihat
perubahan skema atau pengorganisasian struktur, sebagai korban perkosaan
menyebabkan pergeseran dalam keyakinan tentang kepercayaan, keamanan, dan
keintiman.
Allison dan dan Wrightsman (1993) menjelaskan simtom utama pada fase
kedua ini:
1. Phobia : Fobia adalah ketakutan yang tidak rasional yang mengganggu
adaptasi yang efektif dengan lingkungan seseorang. Tindak lanjut setelah
setahun pada perempuan korban perkosaan menunjukkan bahwa mereka
masih memperlihatkan fobia dan manifestasi lain dari rasa takut dan
kecemasan. Pemerkosaan dapat dipandang sebagai stimulus classical
conditioning dan semua yang berkaitan dengan pemerkosaan akan
menimbulkan ketakutan. Korban dari pelecehan seksual mungkin akan
menjadi takut bila mereka sendirian atau keluar pada malam hari. Seperti
yang diamati oleh Allison dan Wrightsman :
Ketakutan ini akan memaksa korban pada situasi no-win , dimana ketika
dia berada di rumah sendirian dia akan ketakutan, dan apabila dia keluar
rumah dia juga akan ketakutan. Kebanyakan korban menyalakan lampu di
rumahnya 24 jam.
2. Disturbance in general functioning : menjalankan aspek-aspek rutinitas
pada kehidupan sering menjadi tantangan pada fase ini. Perubahan dalam

pola tidur dan pola makan tetap menjadi masalah. Bagi sebagian orang,
kualitas dari hubungan intim akan memburuk.
3. Sexual problems : Pemerkosaan memberikan dampak yang sangat besar
bagi kehidupan seksual korban. Namun penelitian menunjukkan bahwa
perbedaan antara wanita korban perkosaan dengan yang bukan tidak
terletak pada frekuensi dari aktivitas seksual mereka, melainkan kualitas
subjektif dari pengalaman tersebut. Korban pemerkosaan dilaporkan tidak
menikmati seks dengan pasangan mereka sebagaimana sebelum terjadinya
peristiwa tersebut. Ada pengecualian tehadap dua tipe: aktivitas yang
dianggap untuk menunjukkan kasih sayang dari adanya seksual, (seperti
berpegangan tangan atau berpelukan) dan masturbasi; frekuensi dan
kepuasan pada kedua tipe dari aktivitas tersebut tidak dipengaruhi oleh
pemerkosaan.

Namun

korban

pemerkosaan

dilaporkan

kurang

berkeinginan untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas seksual.


4. Change in lifestyle : Beberapa korban dari pelecehan seksual akan
merestrukturisasi aktvitas mereka dan menukar pekerjaan mereka dan
penampilan mereka. Menukar nomor telepon mereka. Pindah ke
perumahan lain atau bahkan keluar kota.
Hubungan dari RTS dengan PTSD
Sejumlah peneliti telah menunjukkan banyak kemungkinan persamaan antara
sindrom trauma perkosaan dan post-traumatic stress disorder, atau PTSD
(Follingstad, 1994). The DSM-III-R pertama kali mengakui kehadiran dari gangguan
psikologis yang merupakan akibat langsung dari peristiwa stres, gangguan ini, disebut
post-traumatic stress disorder, didefinisikan sebagai '' perkembangan gejala
karakteristik setelah peristiwa psikologis yang menyedihkan di luar jangkauan
pengalaman manusia biasa "(American Psychiatric Association, 1987, hal. 247).
DSM-III-R lanjut mengungkapkan bahwa PTSD " ternyata lebih parah dan lebih
tahan lama bila stressornya adalah desain manusia "daripada jika itu adalah bencana
alam atau perang tempur (1987, p. 248). Gejala utama yang digunakan untuk
menunjukkan keberadaan PTSD adalah:

A. Mengalami peristiwa traumatik yang berulang-ulang (misalnya, pikiran yang


mengganggu atau mimpi buruk berulang) atau, sebaliknya, menghindari
situasi tersebut, gagasan, dan perasaan yang terkait dengan perkosaan.
B. Mati rasa secara psikis dan menurunnya responsivitas terhadap lingkungan.
Selain gejala primer, diagnosis DSM-III-R menentukan bahwa seseorang
harus mengalami setidaknya dua hal berikut:
1. Kesulitan tidur atau tetap tertidur.
2. Mudah marah atau kemarahan yang meledak.
3. Kesulitan berkonsentrasi.
4. Hypervigilance (kewaspadaan berlebihan)
5. Respon ketakutan yang berlebihan.
6. Reaktivitas Fisiologis menunjukkan peristiwa yang melambangkan atau
menyerupai suatu aspek dari peristiwa traumatik (American Psychiatric
Association, 1987).
Beberapa penelitian mengungkapkan PTSD ditemukan pada korban
pemerkosaan, dan sebagian menyimpulkan bahwa korban pemerkosaan adalah
salah satu kelompok terbesar dari penderita PTSD.
APA YANG BISA DILAKUKAN PSIKOLOG?
Ketika sesorang melaporkan bahwa dirinya diperkosa dan menjadi saksi
dalam sidang pidana melawan tersangka, salah satu tugas dari psikolog klinis adalah
mengasesmen yang di klaim sebagai korban dan tanggapan-tanggapan. Selanjutnya,
pada saat sidang, psikolog forensic bisa dipanggil untuk bersaksi tentang munculnya
sindrom trauma pemerkosaan guna memberikan dukungan bagi korban pemerkosaan,
apalagi jika tidak ada bukti yang menguatkan korban.
Assessment
Follingstad (1994) telah mengidentifikasi sejumlah kegiatan untuk psikolog dalam
peran ini:

1. Mendokumentasikan tingkat fungsi psikologis, sosial, dan fisik korban baik


sebelum dan sesudah penyerangan seksual.
2. Menilai perubahan identitas korban, termasuk hilangnya self esteem dan
martabat, meningkatknya kesulitan dalam pengambilan keputusan, dan
perubahan dalam perasaan tentang penampilannya.
3. Mewawancarai korban dan mengadminitrasikan

laporan

diri

untuk

menentukan adanya fobia serta ketakutan umum dan spesifik.


4. Menentukan penyesuaian sosial, tingkat fungsi seksual, dan mekanisme
coping, dan mengidentifikasi stressor lain di sekitar waktu atau pemerkosaan
5. Mewawancarai orang lain (anggota keluarga, teman-teman, teman sekamar,
pasangan atau orang penting lainnya) untuk menguatkan laporan korban ,
serta memperoleh evaluasi mereka terhadap kebenaran yang disampaikan oleh
korban.
6. Memastikan jika korban telah mengalami kekerasan seksual sebelumnya.
Psikolog harus sangat memperhatikan bagaimana cara dia melontarkan
pertanyaan pada korban pemerkosaan. Sejumlah skala penilaian dan pengukuran
laporan diri tersedia untuk mendokumentasikan tingkat trauma yang dialami oleh
korban.
1. Skala simtom pelecehan seksual. Terdiri dari 32 aitem skala laporan diri,
diberikan kepada korban secepat mungkin setelah kejadian. Mengukur 4
faktor, meliputi pengungkapkan malu, kekawatiran keselamatan, depresi, dan
penyalahan diri. Kesulitannya adalah kebanyakan korban tidak bisa
menyelesaikan semua skala karena kondisi emosional, kelelahan dan
intoksikasi.
2. Asesmen Trauma Klinis : berguna untuk mengukur tingkat dari trauma yang
dialami. Pertama-tama korban mengikuti wawancara terstruktur. Lalu
psikolog menilai dia pada masing-masing dari 16 simtom spesifik trauma;
contohnya meliputi depresi, ketegangan, dan hilangnya rasa percaya pada
orang lain. Analisis faktor mengungkapkan adanya tiga faktor yang berarti;
controlled emotional trauma style ,trauma kognitif, expressed emotional
trauma style.

3. Rape Trauma Syndrome Rating Scale


Skala ini didesain untuk mengukur tingkat keparahan dari 8 simtom trauma
pada pelecehan seksual. Hal ini dilakukan dengan mewawancarai korban,
menggunakan pertanyaan open-ended tentang setiap simtom.
4. Impact of Event Scale : terdiri dari 15 aitem skala laporan diri, dipisahkan
kedalam dua subskala, dirancang terutama untuk mengukur gejala intrusi dan
avoidance.
Kesaksian sebagai Saksi Ahli
Salah satu pertimbangan dari keterangan psikolog sebagai saksi ahli dalam
sidang pemerkosaan adalah karena juri tidak sepenuhnya memahami sifat
pemerkosaan, mereka mungkin saja salah mengartikan reaksi-reaksi dari korban, dan
mereka mungkin saja percaya dengan beberapa mitos mengenai pemerkosaan, atau
asumsi yang tidak benar mengenai penyebab dan aktibat dari pemerkosaan. Walaupun
banyak mitos yang beredar, mereka memakai tiga bentuk umum : a) perempuan tidak
bisa menjadi korban perkosaan apabila bertentangan dengan kehendak mereka, b)
perempuan diam-diam berharap

untuk diperkosa,

c) kebanyakan tuduhan

pemerkosaan adalah palsu.


Ketika seorang perempuan melaporkan kepada polisi bahwa dia telah
diperkosa dan menyebutkan identitas tersangka, maka pengacara perlu mengumpulan
bukti-bukti yang kuat agar sidang dapat berjalan. Kebanyakan kasus pemerkosaan
melibatkan tersangka yang merupakan orang terdekat, bukan oleh orang asing.
Sehingga disaat persidangan juri meragukan apakah itu benar kasus pemerkosaan.
Disinilah tugas dari psikolog forensic, dimana saksi ahli dapat membantu dalam tahap
penuntutan.
Pada isu mengenai adanya persetujuan ataupun tidak adanya persetujuan
Berupa persetujuan atau perilaku konsisten dari pendakwa bahwa memang
benar dia mengalami kasus perkosaan. Fraigman dkk. menyimpulkan bahwa
kegunaan yang paling diterima dari RTS mengenai tuntutan perkosaan adalah dengan

menghadirkan saksi ahli selama sidang untuk menyatakan kekonsistenan penuntut


atau korban. Dalam hal ini psikolog atau ahli kesehatan mental lain seringkali
dihadirkan pada saat sidang untuk memberi kesaksian trauma sebagai bukti tak
terpatahkan dari pengakuan dan tuntutan korban.
Pada pertanyaan mengenai perilaku dari korban
Beberapa korban terkadang menunda untuk melaporkan penyerangan yang
dialaminya atau ketika mereka memberi kesaksian mereka mungkin saja mereka
memberi pernyataan yang tidak konsisten atau karena tidak dapat mengingat dengan
baik, sehingga pengacara lawan dapat menggunakan kesempatan tersebut untuk
membalikkan keadaan. Oleh karena itu, kesaksian psikolog mengenai trauma yang
dialami korban dapat membuka mata juri mengenai reaksi dan perasaan korban
perkosaan sekaligus membebaskan mereka dari kesalahpahaman yang mungkin
terjadi.
Dalam tuntutan perdata untuk mendukung pernyataan adanya cidera
Dalam sebuah kesempatan korban mungkin akan menuntut tersangka dengan
aksi perdata untuk menyembuhkan cidera atau pihak ketiga mungkin akan menuntut
mengenai kegagalan untuk menyediakan perlindungan. Psikolog menemukan bahwa
keluhan dari mengalami gangguan stress pasca trauma dan memberi kesaksian yang
mendukung pernyataannya mengenai luka secara emosional.
Sebagai pertahanan untuk perilaku bersalah oleh korban perkosaan
Bagaimana jika seorang perempuan mengalami ketakutan ketika dia nantinya
bertemu dengan laki-laki yang memperkosanya dan mencoba membunuh laki-laki
itu? Hal ini telah terjadi beberapa kali, sehingga pengacara menyatakan bahwa dia
telah melakukan percobaan pembunuhan walaupun saksi ahli telah menyatakan
bahwa korban mengalami PTSD.
KESAKSIAN PSIKOLOGIS YANG DAPAT DITERIMA PADA RTS

Tidak semua kesaksian dari ahli yang diakui tentang efek jangka panjang dari
pemerkosaan. Ketika kesaksian telah diakui di pengadilan lalu di bantah, pihak
peninjauan kembali kadang menyimpulkan bahwa kesaksian tersebut tidak benar dan
hanya berupa dugaan saja, atau tidak mempengaruhi juri. Dalam hal ini pengadilan
memutuskan bahwa, (a) psikolog tidak bisa menentukan apakah memang telah terjadi
sebuah perkosaan, (b) kesaksian secara tidak tepat mendukung kesaksian melawan
terdakwa, dan (c) kesaksian tidak diluar pengetahuan umum juri.
Setelah pengadilan menyadari adanya RTS setelah awal tahun 1980-an, mereka
menjadi tidak konsisten dalam memutuskan apakah kesaksian ahli diakui. Keputusan
ini menguntungkan psikolog, karena (a) RTS merupakan reaksi yang diterima karena
pemerkosaan, (b) kesaksian mengenai RTS relevan ketika terdakwa menyatakan
bahwa aktifitas seksual merupakan hal konsensual, dan (c) kesaksian mengenai RTS
tidak melanggar wewenang juri.
Terkadang, pengadilan memberikan batasan dalam penggunaan kesaksian RTS.
Konselor

pemerkosaan

yang

menangani

korban

bersaksi

dimana

korban

memperlihatkan beberapa gejala emosional setelah pemerkosaan dan bahwa hal


tersebut memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai RTS. Akan tetapi pengadilan
menguasainya, karena konsep dari RTS tidak dirancang untuk menentukan apakah,
dalam pengertian legal, pemerkosaan memang benar terjadi, kesaksian dari saksi ahli
tidak diakui jika bertujuan untuk membuktikan bahwa pemerkosaan memang benar
terjadi.
Penggunaan literature oleh saksi ahli juga sangat menentukan dalam pengadilan,
saksi ahli harus hati-hati dalam memberikan definisi agar tidak disalahartikan, serta
memberikan pengukuran yang tepat terhadap keadaan dan gejala yang diperlihatkan
korban. Terkadang beberapa gejala yang dialami korban terjadi dalam kasus lain atau
seperti PTSD dianggap salah satu symptom dalam masalah gangguan mental. Akan
tetapi RTS adalah sebuah istilah dari dampak pemerkosaan dan PTSD adalah kategori
diagnostic.

Saksi ahli harus membatasi kesaksian mereka dengan pernyataan yang dapat
dibuktikan. Boeschen, Sales dan Kros (1998) mengklasifikasikan kesaksian yang
mungkin dalam lima level, level ini merupakan kesimpulan yang bermanfaat untuk
pembatasan kesaksian.
Level Kesaksian oleh Saksi Ahli
Lima level kesaksian oleh Boeschen, Sales dan Kros dalam mengevaluasi ketepatan pengakuan
kesaksian ilmiah pada trauma akibat pemerkosaan :
Level 1 : kesaksian berdasarkan perilaku spesifik pada korban pemerkosaan yang dideskripsikan
sebagai hal yang tidak wajar bagi pembela. Kesaksian pada level ini digunakan oleh konselor
korban untuk membantah argument pelaku bahwa korban menunjukkan perilaku yang tidak
wajar setelah pemerkosaan. Pengadilan menemukan bahwa kesaksian ini membantu, hal ini
meniadakan stereotype yang ada pada sebagian juri dan bukti empiris telah dikonfirmasi terkait
perilaku ini (seperti terlambat melaporkan pemerkosaan, gagal untuk mengidentifikasi
pemerkosa) bukanlah hal yang tidak wajar.
Level 2 : kesaksian pada reaksi umum terhadap pemerkosaan dan kriteria diagnostic umum RTS
atau PTSD. Saksi ahli mendeskripsikan reaksi umum.
Level 3 : saksi ahli memberi pendapat tentang konsistensi perilaku korban atau gejala terkait RTS
atau PTSD. Level ini lebih controversial dari level sebelumnya karena mengizinkan saksi untuk
berada diluar jangkauan secara umum, memberi informasi mendidik dan mengaplikasikan pada
kasus tertentu.
Level 4 : kesaksian yang menyatakan bahwa korban mengalami penderitaan akibat RTS atau
PTSD. Saksi mendeskripsikan gejala korban dan menyatakan memenuhi kriteria diagnosis
PTSD, tapi tidak menyatakan bahwa korban telah diperkosa.
Level 5 : pendapat saksi melebihi diagnosis. Pada level ini saksi menyatakan korban
menceritakan kebenaran dan telah diperkosa. Banyak pengadilan yang menolak mengakui level
kesaksian ini karena meniadakan peran fact finder.

THE STATUS OF RESEARCH ON RETS

Ada dua pertanyaan : apakah gejala penyebab pemerkosaan? dan apakah korban
pemerkosaan berbeda berdasarkan dari gejala orang yang bukan korban? Penulis
mengidentifikasi beberapa gejala, dengan kesimpulan sebagai berikut :
1. Depresi : seperti disebutkan sebelumnya, depresi adalah salah satu gejala yang
paling sering dilaporkan oleh korban pemerkosaan. Penulis mengidentifikasi 7
studi yang membandingkan gejala depresi kelompok korban pemerkosaan dan
bukan korban. Semua studi menemukan nilai rata-rata korban pemerkosaan
secara signifikan lebih tinggi dari pada bukan korban. Di seluruh studi, antara
18% dan 45% dari para korban yang sedang mengalami depresi berat.
2. Takut : studi mengenai laporan diri oleh Veronen-Kilpatrick menemukan
perbedaan antara korban dan bukan korban sampai satu tahun setelah
pemerkosaan. Salah satu studi menemukan bahwa korban pemerkosaan lebih
takut dibandingkan dengan korban kejahatan lainnya.
3. Kecemasan : kesulitan berkonsentrasi dan menghindari situasi tertentu karena
kecemasan yang hadir lebih sering pada korban pemerkosaan dari pada bukan
korban, setidaknya selama satu tahun setelah pemerkosaan.

SUBSTITUTING PTSD FOR RTS


Sebagaimana telah kita lihat, sindrom trauma pemerkosaan awalnya didasarkan
pada pengalaman umum bersama korban pemerkosaan yang diwawancarai di ruang
gawat darurat rumah sakit, tujuan awalnya adalah untuk membantu psikoterapis
dalam pengobatan. Adanya bukti-bukti yang membedakan wanita yang diperkosa
dengan mereka yang tidak. Baru-baru ini Boeschen, Sales and Koss (1998) telah
mengusulkan bahwa pasca traumatic stress disorder menjadi pengganti sindrom
trauma pemerkosaan di ruang sidang. PTSD memiliki keuntungan sebagai berikut :
1. Hal ini terkait dengan diagnosis utama pada trauma yang termasuk dalam
diagnostik dan statistik manual of mental disorder (istilah RTS tidak
ditemukan dalam DSM IV atau di edisi-edisi sebelumnya).

2. Seperti dijelaskan sebelumnya, diagnosis PTSD mencerminkan enam kriteria


tertentu, masing-masing dengan definisi operasional yang dimengerti.
3. Kriteria PTSD mencerminkan bahwa intensitas ketakutan pada pengalaman
korban pemerkosaan serta keinginan untuk menghindari situasi yang dapat
mengingat kembali pengalaman tersebut (Boeschen et al., 1998, halaman
418).
4. Berbagai alat tersedia untuk menilai PTSD, termasuk tes objektif, wawancara
diagnostik yang terstruktur dan trauma spesifik mengenai laporan diri (Wilson
& Keane, 1997).
5. Penggunaan PTSD di ruang sidang untuk menghindari kata pemerkosaan
dalam

diagnosis.

Seperti

disebutkan,

beberapa

pengadilan

telah

mempertimbangkan mengenai kesaksian pada RTS yang terlalu merugikan.


Perlu dicatat bahwa banyak reaksi umum pada korban pemerkosaan seperti
depresi, kemarahan, disfungsi seksual dan gangguan terhadap nilai-nilai dasar yang
tidak termasuk dalam kriteria PTSD (Faigman et al., 1997).
POSTPARTUM DEPRESSION AND PREMENSTRUAL SYNDROME
BWS dan RTS adalah dua tambahan sindrom gender yang spesifik mengenai
depresi pasca melahirkan (PPD) dan sindrom pramenstruasi (PMS), telah menerima
perhatian klinis dan menemukan cara mereka dalam proses hukum yang mana
biasanya untuk menjelaskan alasan perilaku kriminal pada wanita (Dixon & Dixon,
2003; Huang, 2002; Davidson, 2000).
Postpartum Depression
Depresi pasca melahirkan (PPD) secara teknis tidak di diagnosis sama sekali
melainkan itu adalah spesifik diagnosis utama pada DSM IV mengenai Gangguan
Depresif Mayor (PDK). Dengan demikian, cara yang benar untuk mengungkapkan
diagnosis untuk seorang wanita penderita PPD adalah Gangguan Depresi Mayor
dengan Onset Post-Partum (Dixon & Dixon, 2003). Tiga tingkat keparahan telah
dikaitkan dengan PPD : (1) baby blues, (2) depresi pasca melahirkan, (3) psikosis

pasca melahirkan (Marcel Gotlieb, 1998). Baby blues dan depresi, keduanya
melibatkan gangguan dalam suasana hati dan fungsi terkait, tetapi tidak kehilangan
contact dengan realitas. Sebaliknya, psikosis pasca melahirkan termasuk penurunan
dalam melihat kenyataan, termasuk delusi dan halusinasi. Penelitian pada prevalensi
dan tentu saja gangguan pada pasca melahirkan menunjukan bahwa hanya minoritas
kecil wanita terkena pengalaman psikosis pasca melahirkan (Marcel Gotlieb, 1998).
Ahli bersaksi bahwa terdakwa pidana yang menderita postpartum psychosis saat ia
melakukan kejahatan akan memiliki dasar ilmiah untuk membahas mengenai tingkat
akurasi dan kesalahan dalam menetapkan diagnosis. Meskipun hakim menerima bukti
ilmiah sebagai standar untuk kesaksian ahli, hakim tidak selalu menerima diagnosis
sebagai alasan untuk perilaku kriminal, terutama dimana ibu telah membunuh anakanak mereka sendiri (Dixon &Dixon, 2003). Dalam kasus Andrea Yates seorang ibu
di Texas, dihukum pada tahun 2001 karena membunuh 5 anaknya, meskipun pada
dasarnya dari saksi ahli mengatakan bahwa dia terkena penyakit mental. Hakim
mengakui kesaksian tersebut namun pertimbangan mengatakan bahwa itu merupakan
tindakan kriminal. Dia terpidana hukuman seumur hidup, meskipun pada tahun 2006
dia ditemukan tidak bersalah karena faktor kejiwaan. Psikosis pasca melahirkan
memiliki dasar ilmiah yang telah terbukti sangat mempengaruhi kesehatan mental
wanita termasuk kemampuan untuk merasakan lingkungan secara nyata.
Premenstrual Syndrome
PMS merupakan diagnostik kejiwaan yang diakui namun tidak ditemukan
dalam DSM IV. Namun sebuah sindrom yang terkait, gangguan Dysphoric
Pramentruasi (PMDD) ditemukan pada DSM IV. Diagnosis formal dalam PMDD
membutuhkan adanya 5 gejala dari 11 yang telah terjadi pada kebanyakan siklus
menstruasi. Daftar gejala tersebut adalah mood, kecemasan ditandai afektif ability,
marah atau iritabilitas yang ditandai penurunan ketertarikan kegiatan, kesulitan
berkonsentrasi, kelesuan, perubahan nafsu makan, insomnia, perasaan kewalahan
memenuhi kegiatan, dan gejala fisik seperti nyeri payudara (American Psychiatric
Association, 1994). Atas kasus hukum dari tahun 1993 hingga 2003 mengungkapkan

tidak ada kasus banding yang melaporkan penggunaan PMDD dalam hubungan
dengan pembunuhan atau bela diri. Karena kurangnya diagnostik untuk PMS,
sifat eksperimental kriteria untuk PMDD dan sifat dari gejala-gejala tersebut maka
PMS dan PMDD jarang muncul sebagai bukti-bukti yang substantif dalam pengadilan
tindak pidana (Dixon & Dixon, 2003).

DAFTAR PUSTAKA
Fulero, Solomon M & Wrightsman, Lawrence S. 2009. Forensic Psychology Third
Edition. USA : Wadsworth Cengage Learning

Anda mungkin juga menyukai