Anda di halaman 1dari 14

Penghargaan

Apresisasi tulus saya kepada rekan Profesor Neville H. H. Smith (pensiun) untuk motivasi,
bimbingan, dan saran ahlinya selama masa awal pembuatan proyek ini.
Saya juga berhutang kepada dr. A. Punna Moorthy atas supervisinya terhadap risalah ini
dari waktu pensiunnya Profesor Smith sampai sekarang. Tercapainya keberhasilan risalah ini
berhutang banyak atas bantuan dan dorongan dr. Moorthy.
Bantuan dr. Leesa Rix dalam koreksi manuskrip dan kritiknya yang membangun juga patut
diberi penghargaan.
Terakhir, terima kasih yang spesial kepada keluarga saya atas dukungan, pengertian, dan
kesabaran mereka.

Pengantar
Tujuan dari risalah ini adalah untuk menggambarkan pemikiran sekarang tentang penyebab,
prevensi, dan pengobatan dari osteitis alveolar.
Dry socket mungkin sudah ada sejak praktek exodontia dimulai. Penyakit ini tidak
memiliki batasan. Ia dapat menyerang semua jenis ras dan sangat konsisten pada insidensi
secara global.
Patogenesis osteitis alveolar dari pertama kali ia didokumentasikan pada tahun 1896 hingga
sekarang masih sukar dipahami. Pada masa sekarang, beberapa hipotesis sudah bermunculan,
akan tetapi, temuan klinis, data laboratoium dan hasil terapi masih sering bersifat
kontradiktif. Sifat bertentangan dari bukti bukti ini sering kali mempertanyakan validitas
sebagian besar argumen argumen tersebut. Pengobatan osteritis alveolar secara tradisional
bersifat empiris, walaupun upaya yang dilakukan sekarang adalah untuk mengobati penyebab
sekaligus gejala penyakit tersebut. Pada umumnya, observasi terhadap kantong ekstraksi yang
diserang oleh osteitis alveolar yang hanya perlu ditutup untuk mencapai penyembuhan masih
dipegang hingga sekarang. Pengertian ini memberikan dasar atas keefektivitas pembalut dry
socket yang sekarang ini digunakan.
Ekstraksi terhadap molar ketiga mandibula merupakan suatu cerita legendaris sebagai
predileksi terjadinya osteitis alveolar. Insidensi yang dilaporkan sebesar 20% - 60% tidaknya
jarang ditemukan dalam literatur dental. Walaupun demikian, peningkatan insidensi lokasi
molar ketiga mandibula yang diharapkan, memberikan trauma iatrogenik yang besar terkait
operasi yang dilakukan. Meskipun osteitis alveolar tidak mengancam nyawa, namun ia
menyebabkan begitu banyak penderitaan terhadap orang yang menderitanya. Peran kita
sebagai dokter gigi adalah untuk meringankan penderitaan yang diakibatkan oleh penyakit
pada gigi dan tidak ada pada disiplin ilmu gigi lainnya sakit tumpul, berdenyut dan
berkepanjangan pada dry socket diberikan begitu besar apresiasi sampai akhirnya sakit

dapat diringankan. Oleh karena itu, pengertian yang menyeluruh tentang osteitis alveolar
mungkin merupakan satu satunya senjata paling poten kita.

Definisi, Ciri Klinis dan Diagnosis Osteitis Alveolar


Definisi
Osteitis alveolar didokumentasikan pertama kali oleh dr. J. Y. Crawford (1896) yang
menciptakan istilah Dry Socket . Pada pertemuan regular Dental Society of the State of
New York, U.S.A. pada Agustus 1896, J. Y. Crawford menyebutkan suatu kondisi khusus
yang dia namai dry sockets. Dua kasus dipresentasikan: yang pertama memakan waktu smapi
12 bulan! Dan yang kedua yang merupakan kasus yang lebih biasa dipresentasikan selama
dua minggu. Ia sangat takjub terhadap suatu kantong terbuka yang sangat bersih dan kering
dan menyebabkan sakit yang parah.
Pengertian Crawford (1896) tentang dry socket adalah keadaan dimana pasien mengalami
sakit parah yang mempengaruhi seluruh sisi wajah, kepala, dan telinga. Tidak terdapat darah,
supurasi, maupun granulasi, tetapi hanya suatu kantong yang kering dan bersih. Definisi ini
diperuntukkan untuk pasien yang mengalami awal gejala dalam 24 jam setelah melakukan
pencabutan gigi molar ketika bawah sebelah kiri. Definisi Crawford ini didasarkan pada
deskripsi temuan klinis dan gejala osteritis alveolar. Satu abad kemudian, pengertian yang
digunakan tetaplah sama.
Silverman (1935), Williams (1935, Podolin (1936) dan Schram (1947) memandang osteritis
alveolar sebagai suatu osteomielitis yang terlokalisir.
Ailing dan Kerr (1957), mendeskripsikan suatu konsep osteitis alveolar dimana ciri ciri
berikut ini harus ada:
i)
ii)
iii)
iv)
v)

Rasa sakit parah yang muncul dari kantong gigi setelah dilakukan operasi
sebelumnya, biasanya muncul dua hingga tiga hari setelah dilakukan ekstraksi.
Bekuan darah yang terjadi mengalami peluruhan atau sudah hilang seluruhnya.
Adanya bau busuk
Infeksi atau supurasi dari kantong mungkin bisa ada.
Secara histologi, gambarannya berupa osteomielitis terlokalisir atau berupa
osteitis.

Archer (1966) lebih memilih istilah alveolalgia yang berarti sakit dalam alveolus. Dia
menganggap bahwa adanay riwayat sakit merupakan dasar dari diagnosis alveolalgia. Ia
juga mengatakan bahwa permulaan sakit dapat muncul sejak hari pertama smapai hari
kesepulauh setalah dilakukan ekstraksi yang pertama kali mncul dari kantong dan dapat
menyebar ke telingan ipsilateral. Adanya sumbatan darah yang telah pecah sebagian pada
bagian tengah atau sepertiga apikal kantong merupakan konfirmasi suatu osteitis alveolar.

Thoma (1969) mendeskripsikan osteitis alveolar sebagai suatu rasa sakit parah pada lokasi
ekstraksi yang muncul dua hingga tiga hari pasca operrasi dengan adanya bau nekrotik dan
duh busuk berwarna keabu abuan.
Bim (1973) menunjukkan poin poin berikut sebagai definisi osteitis alveolar:
i)
ii)

iii)
iv)

v)
vi)
vii)

Kondisi ini biasanya muncul dua hingga tiga hari pasca ekstraksi dengan
dijumapinya sumbatan darah yang mengalami disintegrasi.
Alveolus tampak kosong, dengan bagian yang sebagian atau seluruhnya telah
gundul, permukaan tulang yang sensitif yang ditutup oleh lapisan debris keabu
abuan atau kuning dan jaringan nekrotik.
Sekeliling gingiva sering menunjukkkan perubahan perubahan inflamasi.
Pasien mengelauh mengalami tipe sakit neuralgia yang berat. Pada mandibula,
rasa sakit biasa menyebar sampai ke telingan dan regio temporal pada sisi
ipsilateral. Pada maksila, rasa sakit sering menyebar ke mata dan regio frontal
pada sisi sipsilateral.
Halitosis sering terjadi dan pasien mengeluh adanya rasa busuk didalam mulut.
Tanda tanda dan gejala gejaal sistemik seperti kenaikan temperatur tubuh
jarang terjadi kecuali dijumpai adanya infeksi.
Malaise dapat terjadi karena kurang tidur dan selera makan.

Birn (1973) juga menyebutkan pembengkakan pada regio nodus limfe sebagai temuan yang
jarang. Pada pengelamannya, regional limfadenopati jarang ditemui dan kenaikan temperatur
tubuh hanya terjadi pada keadaan infeksi. Hal ini dapat terjadi oleh karena sebab terlokalisir (
supurasi pada kantong) ataupun generalisata (influenza) dan dapat timbul bersamaan dengan
pasien yang menderita osteitis alveolar.
Sinonim Osteitis Alveolar
Walaupun osteitis alveolar merupakan istilah yang dipilih untuk risalah ini, istilah istilah
berikut ini telah digunakan dalam berbagai literatur:
Avascular socket
Alveolalgia
Alveolitis
Alveolitis sicca dolorosa
Dolor post extraction
Dry socket
Fibrinolytic alveolitis
Localised acute alveolar osteomyelitis
Localised osteitis

Localised osteomyelitis
Necrotic alveolar socket
Necrotic socket
Painful socket
Post Extraction Osteromyelitic Syndrome
Post Operative Localised Osteitis
Post Operative Osteitis
Sloughing Socket
Ciri Klinis Osteitis Alveolar
Insidensi
Pada analisa statistik yang dilakukan pada 10.199 orang yang menjalani ekstraksi dengan
anestesi oleh MacGregor (1968), dijumpai insidensi osteitis alveolar sebesar 3,2%. Angka
kejadian pada ekstraksi tunggal adalah 5% dan pada ekstraksi multipel adalah 2,1%.
Kebanyakan penulis setuju bahwa insidensi osteitis alveolar dari segala tipe ekstrasi berkisar
antara 2 4% dengan rata - rata 3% [Krogh (1937), Milhon et al. (1943), Adkisson dan Harris
(1956), Hansen (1960), Turner (1982), dan Field et al. (1985)].
Pada suatu studi lokal, Buchanan (1961) menemukan insidensi sebesar 0,79% selama jangka
waktu 27 bulan. Penelitiannya dilakukan di Exodontia Department of the United Dental
Hospital of Sydney dan melibatkan 50.386 ekstraksi dengan dibawah anestesi, yang dimana
pada 400 kasus terjadi osteitis alveolar. Pada suatu penelitian analisis retrospeksitf rekaman
pasien pada Department of Oral Surgery and Exodontia di United Dental Hospital of Sydney
selama 11 tahun dalam jangka waktu 1971 1981, penulis ini menuemukan bahwa insidensi
menyeluruh osteitis alveolar adalah sebesar 1,6% (ekstraksi dan kasus operasi
diikutsertakan).
Perbedaan angka insidensi antara kedua penelitian ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa
penelitian yang dilakukan Buchanan hanya dibatasi pada ekstraksi simpel, sementara pada
survei yang dilakukan penulis ini mengikutsertakan ekstraksi pembedahan molar ketiga.
Harus diingat bahwa kriteria diagnostik dapat dengan tidak sadar mengakitkan bias pada hasil
penelitian ketika dibandingkan dengan penelitian yang lain. Adanay insidensi osteitis alveolar
yang t9nggi pada operasi molar ketiga yang mencapai 30% [Quinley, Royer dan Gores
(1960], adalah suatu penjelasan yang muncul meningkatkan insidensi keseluruhan pada
penelitian ini (1,6%). Walaupun demikian, insidensi 1,6% secara signifikan lebih rendah
dibandingkan dengan insidensi rata rata yang diterima yaitu 3% yang dapat dilihat dari
berbagai penelitian penelitian di seluruh dunia.

MacGregor (1968) menemukan bahwa osteitis alveolar terkait dengan umur, dengan insidensi
sebesar 2,7% pada usia 15 19 tahun samapi insidensi maksimum sebesar 8,6% pada usia 30
34 tahun. Pada usis 50 54 tahun, insidensi menurun hingga mencapai 2,9%.
Field et al. (1985) menemukan puncak insidensi pada dekade umur ketiga (21 30 tahun).
Penelitian ini mirip dengan penelitian terdahulu yang dilakukan pada tahun 1971 dan 1983.
Lechner (1958) dan Heasman dan Jacobs (1984) melaporkan bahwa osteitis alveolar paling
sering terjadi pada kelompok umur 20 40 tahun.
Walaupun demikian, Rood dan Murgatroyd (1980) mencatat insidensi tertinggi pada
kelompok pasien dengan umur yang sedikit lebih tua yaitu 40 44 tahun.
Osteitis alveolar hampir tidak pernah terjadi pada anak anak. Hanya Gustafson dan
Wallenisu (1961) yang pernah melaporkan kejadian osteitis alveolar pasca ekstraksi gigi susu
(7 kasus dari 10.000 ekstraksi gigi susu, insidensi sebesar 0,07%).
Alasan untuk hubungan dengan umur ini tidaklah jelas. Field et al. (1985) berhipotesis bahwa
ketebalan relatif tulang alveolar berproporsi dengan umur pasien. Pada dekade ketiga dan
keempat, resopsi tulang alveolar pada umumnya tidak meningkat dan tulang telah kehilangan
daya ketahanannya sehingga mengakibatkan ekstraksi lebih susah dilakukan pada kelompok
umur ini. Untuk menyokong hipotesis ini, terdapat perdebatan bahwa osteitis alveolar jarang
terjadi pada penyakit periodontal yang parah, dimana tulang alveolar telah hilang [Turner
(1982)]. Menurut konsensus, secara statistikal, kelompok umur 20 40 tahun adalah
kelompok umur yang paling berisiko menderita osteitis alveolar.
Distribusi
MacGregor (1968) merupakan orang pertama yang melaporkan adanya perbedaan insidensi
yang signifikan pada jenis kelamin. Pada hasil penelitian, ratio laki laki : perempuan adalah
2:3. Satu satunya penjelasan MacGregor adalah bahwa adanya kemungkina perempuan
lebih sering kembali dengan keluhan rasa sakit yang menetap setelah dilakukan ekstraksi
gigi. Jika penjelasan MacGregor disetujui, maka adanya perbedaan yang terlihat pada
penelitian tidak menunjukkan disparitas antara kedua jenis kelamin melainkan perbedaan
pada angka kunjungan antara laki laki dan perempuan.
Namun, Schow (1974), Lilly et al. (1974), Butler dan Sweet (1977), semuanya
mengemukakan adanya peningkatan insidensi osteitis alveolar pasca operasi molar ketiga
mandibula pada pasien yang mengonsumsi pil kontrasepsi. Sweet dan Butler (1977) mencatat
adanya peningkatan tiga hingga empat kali pada kalangan wanita ini dan menkaitkan hal ni
dengan gangguan mekanisme pembekuan darah yang diakibatkan oleh level estrogen dan
progesteron yang tinggi pada pasien pasien ini. Gersel Pedersen (1977) menunjukkan
adanya aktivitas fibrinolitic yag meningkat pasca operasi pada wanita wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral dan mengusulkan bahwa aktivitas fibrinolitik yang meningkat
ini dalam sirkulasi yang menyebabkan pasien menderita osteitis alveolar. Field et al. (1985)
menemukan ratio antara pria dengan wanita adalah 3:5 dan mengusulkan bahwa alasan
perbedaan ini adalah penggunaan kontrasepsi oral oleh wanita yang memiliki kemampuan

untuk meningkatkan aktivitas fibrinolitik sistemik. [Heasman dan Javobs (1984)].


Bertentangan dengan penelitian tersebut, Krogh (1937) dan Lechner (1958) menenukan
bahwa tidak terdapat bias jenis kelamin terhadap insidensi osteitis alveolar. Begitupun juga,
Rood dan Murgatroyd (1980) dan Turner (1982) tidak dapat menunjukkan perbedaan
insidensi tersebut.
Penelitian modern menyatakan bahwa mungkin terdapat predisposisi dimana wanita yang
memakai oral kontrasepsi menderita osteitis alveolar. Hal ini didukung oleh teori Bim (1973)
yang menyatakan bahwa adanya aktivitas fibrinolitik yang meningkat pada lokasi ekstraksi
sebagai penyebab osteitis alveolar. Sebagai tamabahan, laporan yang menunjukkan adanya
peningkatan insidensi osteitis alveolar pada wanita juga bertepatan dengan diperkenalkannya
pil kontrasepsi yang disusul oleh peningkatan popularitasnya sebagai metode pengendalian
kelahiran. Jika memang benar pil kontrasepsi memegang peranan, maka dapat dianggap
perempuan hamil paling tidak rentan menderita osteitis alveolar sebagaimana mereka yang
mengonsumsi obat kontrasepsi. Sampai sekarang, tidak ada penelitian seperti ini yang telah
dilaporkan pada literatur dental.
Distribusi Dental Arch
Lokasi tersering osteritis alveolar adalah didaerah mandibula molar. Hal ini diyakinkan oleh
penelitian Korgh (1937), Adkisson dan Harris (1956), Lechner (1958), Hansen (1960), Archer
(1966), MacGregor (1968), Rood dan Murgatroyd (1980), Turner (1982) dan Field et al.
91985). Analisa dari para peneliti ini menyatakan bahwa predileksi osteitis aleoar di bagian
molar mandibula dua hingga tiga kali frekuensi predileksi di molar meksila.
Lechner (1985), MacGregor (1968) dan Turner (1982) memperhitungkan molar permanen
pertama mandibula sebagai lokasi dengan tingkat insidensi tertinggi jika pebedahan
pengangkatan molar ketiga mandibula dieksklusikan. Kebanyakan penulis menetapkan molar
ketiga mandibula sebagai lokasi dengn tingkat insidensi tertinggi terjadinya osteitis alveolar.
Berikut adalah konsensus opini ( frekuensi semakin menurun):
Molar mandibula
Premolar dan gigi taring mandibula
Premolar dan gigi taring maksila
Molar maksila
Gigi seri mandibula dan maksila
Buchanan (1961), menemukan pola sebagai berikut ( dari frekuensi tertinggi ke terendah):
Molar ketiga mandibula
Premolar kedua mandibula
Molar kedua mandibula

Premolar pertama mandibula


Molar pertama mandibula
Premolar kedua maksila
Gigi taring maksila
Gigig taring mandibula
Premolar pertama maksila
Molar kedua maksila
Terdapat hal menarik dimana pada penelitian Buchanan (1961), premolar kedua mandibula
menggantikan molar pertma mandibula pada posisi kelima. Walaupun demikian, terlepas dari
perbedaaan spesifik tersebut, pola secara keseluruhan adalah mirip.
Insidensi molar ketiga pasca operasi pengangkatan yang tinggi disebabkan oleh karena
beberapa faktor seperti infeksi pericoronal yang sudah ada terlebih dahulu, trauma operasi
(pengangkatan tulang dan pantulan jaringan lunak), dan adanya kecenderungan debris
debris makan yang terkumpul dalam regio retromolar.
Ekstraksi Tunggal vs Multipel
Krogh (1937) dan MacGregor (1968) melaporkan bahwa ketika gigi yang bersebelahan ikut
diangkat pada satu kali penanganan, terdapat kesempatan yang lebih rendah terjadi osteitis
alveolar. Mereka memandang osteritis alveolar lebih sering terjadi pada ekstraksi tunggal.
Rood dan Murgatroyd (1980) juga menemukan bahwa insidensi osteitis alvolar pada
ekstraksi tunggal jauh lebih signifikan dibandingkan dengan ekstrasi multipel.
Berlawanan dengan penelitian diatas, Heasman dan Jacobs (1984) tidak dapat menemukan
perbedaan signifikan anatara insidensi osteitis alvolar ekstraksi tunggal dengan ekstraksi
multipel.
Field et al. (1985) mencatat bahwa pada tahun 1971, insidensi osteitis alveolar pasca
ekstrasksi multipel adalah 2,5% (dari 2543 ekstraksi) dibandingkan dengan insidensi kasus
ekstraksi tunggal yaitu 3,6% (dari 2095 ekstraksi). Pada tahun 1983, Field et al (1985)
melaporkan adanya penemuan terbalik yaitu mereka menemukan bahwa insidensi osteitis
alveolar pada ekstraksi multipel sebesar 4,2% ( dari 1201 ekstraksi) dibandingkan dengan
ekstaraksi tunggal sebesar 3,8% ( dari 1586 ekstraksi). Bukti yang bertentangan ini membuat
mungkin tidak terdapat perbedaan antara ekstrasi tunggal dengan ekstraksi multipel. Dengan
pasti, kesulitan meniadakan faktor faktor etiologi lainnya seperti trauma, umur, kesulitan
ekstraksi, status hemotologi pasien, kesehatan general dan terbatasnya ukuran sampel pada
penelitian, jika diperhitungkan, akan menghilakan perbedaan signifikan yang ditemui.
Anestesi Umum vs Anestesi Lokal

Observasi Klinis yang dilakukan oleh Killey & Kay (1965) dan Howe (1966) menunjukkan
bahwa insidensi alveolar osteitis pada tindakan operasi molar 3 mandibula cukup rendah
ketika tindakan tersebut dilakukan dengan menggunakan anastesi umum.
Meyer (1971) membandingkan kelompok pasien yang tidak terinfeksi dengan kelompok
pasien perikorinitis yang membutuhkan tindakan operasi pengangkatan molar 3 mandibula
yang impaksi baik dengan anastesi umum maupun lokal. Dari 559 pasien yang termasuk
dalam kelompok yang tidak terinfeksi, dijumpai 149 kasus yang menggunakan anastesi lokal,
dimana 7 diantaranya berkembang menjadi alveolar osteitis (4,7%) ; sedangkan sisa kasus
lainnya yang menggunakan anaestesi umum (410), 21 diantaranya berkembang menjadi
alveolar osteitis (5,1%). Tidak terlihat perbedaan yang signifikan. Walaupun begitu, pada
kelompok peritonitis, insidensi alveolar osteitis menurun cukup signifikan pada kasus yang
menggunakan anastesi umum (10,2% dari 256 pasien) dibandingkan kasus yang
menggunakan anastesi lokal (16,1% dari 127 pasien). Meyer (1971) beranggapan bahwa jenis
anastesi tidak terlalu berpengaruh signifikan pada kelompok yang tidak terinfeksi, akan tetapi
signifikan pada kelompok dengan perikorinitis. Beliau menyimpulkan bahwa penggunaan
anastesi umum berhubungan dengan penurunan insidensi alveolar osteitis pada pasien dengan
infeksi penyerta. Bagaimanapun, secara keseluruhan peningkatan insidensi alveolar osteitis
pada kelompok perikorinitis dibandingkan dengan kelompok yang tidak terinfeksi
menunjukkan bahwa adanya infeksi merupakan faktor yang signifikan pula.
Buchanan (1961) meninjau ulang 200 kasus ekstraksi yang menggunakan anastesi umum dan
menemukan 3 kasus alveolar osteitis, dengan insidensi 0,095% (3161 ekstraksi dan 116
operasi pengangkatan molar 3). Hal tersebut sangat bertolak belakang terhadap insidensi
alveolar osteitis, yaitu sebesar 0,79% dari 50386 pada kasus ekstraksi dengan anastesi lokal.
Walaupun demikian, Buchanan menyatakan bahwa perbedaan tersebut dijumpai oleh sebab
ekstraksi multipel yang dilakukan dengan anastesi umum berbeda dengan hanya ekstraksi
tunggal yang dilakukan dengan anastesi lokal. Beliau beranggapan bahwa jenis anastesi
memiliki pengaruh yang sangatlah kecil (jika ada) terhadap insidensi alveolar osteitis.
Masih kurangnya bukti penelitian dan dijumpainya perbedaan pendapat mengenai bagaimana
terjadinya hal tersebut menyebabkan sulitnya diambil suatu kesimpulan apakah jenis anastesi
memang berpengaruh terhadap insidensi alveolar osteitis atau tidak.
Onset dan Durasi

Krogh (1937), Adkisson & Harris (1956), Hansen (1960), dan Field et al. (1985)
memperkirakan bahwa onset terjadinya alveolar osteitis adalah dalam waktu 48 jam pasca
ekstraksi. Field et al. menjumpai bahwa 30% kasus kembali dalam waktu tiga hari setelah
dilakukan ekstraksi dan 88% kembali dalam waktu satu minggu postoperatif.
Rekor waktu tersingkat yang pernah dicatat untuk onset terjadinya alveolar osteitis pernah
dilaporkan oleh Hansen (1960) yaitu segera setelah efek anastesi lokal menghilang (beberapa
jam setelah dilakukan ekstraksi). Field et al. (1985) mencatat pada seorang pasien, terdapat
interval waktu sekitar 16 hari mulai dari tanggal dimana ekstraksi dilakukan sampai
timbulnya gejala. Ada tidaknya gejala yang muncul sebelum 16 hari tidaklah diketahui secara
pasti, yang dijumpai hanyalah pasien datang dengan tampilan alveolar osteitis pada hari ke 16
pasca operasi. Kemungkinan besar pasien sebelumnya telah menahan rasa atau gejala yang
muncul hingga timbulnya rasa sakit yang tidak tertahankan, sehingga memaksanya untuk
datang untuk mendapatkan pengobatan. Hari ke 16 pasca operasi tersebut lebih cenderung
menunjukkan ketahanannya terhadap rasa sakit dari pada mengindikasikan onset terjadinya
alveolar osteitis.
Kebanyakan kasus alveolar osteitis (88%) muncul dalam 1 minggu setelah dilakukan
ekstraksi. Perbedaan lamanya onset alveolar osteitis tersebut (lebih dari 1 minggu) mungkin
lebih kepada peningkatan ambang rasa sakit dari pasien, pasien hanya akan datang untuk
memeriksakan kondisinya apabila sakitnya sudah teramat sangat. Durasi dari alveolar osteitis
ini sendiri tergantung kepada tingkat keparahan dari tiap-tiap kasus, akan tetapi normalnya
berkisar antara 7 sampai 14 hari [Krogh(1937), Adkisson & Harris (1956), dan Waite (1957)].
Field et al. (1985) mendokumentasikan rata-rata durasi pengobatan mencapai 7,45 hari.
Durasi tersebut terhitung mulai dari hari timbulnya gejala sampai hari terakhir kunjungan
pasien, atau pasien tidak datang kembali lagi, sehingga diasumsikanlah bahwa kondisi pasien
telah membaik dan tidak ada dorongan lagi bagi pasien untuk kembali. Field et al. (1985)
mencatat durasi berkisar antara 1 sampai 25 hari. Hal yang menarik untuk kita perhatikan
dimana Crawford (1896) mencatatkan kasus paling lama untuk alveolar osteitis dimana
Kantongan tersebut masih tetap terbuka dan kering selama 12 bulan!. Lamanya waktu yang
tidak lazim ini mungkin disebabkan terlalu bersemangatnya pengobatan terhadap kantong
gigi tersebut, sebagaimana kita ketahui bahwa alveolar merupakan suatu kondisi yang bisa
sembuh sendiri (self-limiting).
Nyeri pada alveolar osteitis

Krogh (1948) menjelaskan nyeri pada alveolar osteitis sebagai nyeri yang sifatnya objektif dalam
penilaiannya dan digunakan dalam dasar mendiagnosis. Krogh menggambarkan penilaian klinis dari
nyeri dengan intensitas sedang sampai berat, karakternya tumpul & tajam, dan sering menjalar hingga
ke bagian telinga, temporal atau regio frontal pada sisi yang sama dengan sisi yang terkena. Nyeri
bermula dan terpusat di kantongan gigi dan biasanya terjadi dalam 72 jam setelah ekstraksi.
Birn (1973) mendeskripsikan hal yang sama dimana nyeri dengan karakter yang berat, terjadi pada
sisi yang dilakukan ekstraksi, dan sering menjalar ke bagian telinga, orbital, frontal dan regio
temporal pada sisi yang sama dari bagian wajah.
Hall, Bildman dan Hand (1971), Birn (1973), Belinfante dkk (1973) dan Turner (1982) telah
menggambarkan karakter nyeri alveolar osteitis dengan:
i.
ii.
iii.
iv.
v.

Bersifat konstan
Intensitasnya sedang hingga berat
Sulit diatasi dengan analgetik
Bersifat seperti nyeri neuralgia
Tumpul dan berdenyut, seperti sakit gigi yang parah bahkan lebih buruk dari keadaan aslinya.

Matthews menjelaskan gambaran alveolar osteitis dengan karakteristik nyeri yang bertahan terus,
nyeri setelah dilakukan ekstraksi dan berdenyut, dimulai diantara 24-72 jam setelah pengangkatan gigi
rasa sakit menjadi tidak responsif dengan analgetik pada umumnya.
Sifat nyeri alvoelar osteitis dikarakteristikkan dengan adanya kesepakatan penulis dalam
mendeskripsikannya. Bahkan, nyeri ini menjadi tanda khas untuk alveolar osteitis.
Manifestasi Kliinis pada Kantongan Alveolar Osteitis
Kantongan alveolar osteitis dideskripsikan dengan:
i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.

Gumpalan darah yang telah distintegrasi atau sedang proses disintegrasi. {Ailing and Kerr
(1957), Birn (1973), dan Ritzau & Therkildsen (1978)}
Alveoulus yang kosong dengan sebagian atau seluruh permukaannya rata, sangat sensitif pada
permukaan tulangnya.
Kantongan dilapisi dengan lapisan yang berwarna kuning-keabuan pada jaringan nekrosis
[Archer (1966(, Birn (1973)].
Kantongan yang sangat sakit bila di sentuh [Butler dan Sweet (1977), Gersel-Pedersen
(1979), Matthews (1982), Turner (1982) dan Field dkk (1985)].
Kantongan yang berbeda dan berbau [Krogh (1947), Ailing dan Kerr (1957), Birn (1973) dan
Schow (1974)].
Adanya infeksi penyerta dari kantongan yang memiliki nanah dan sekuestrasi [Ailing dan
Kerr (1957), Birn (1973) dan Turner (1982)].
Inflamasi di sekitar kantongan gingiva, bahkan tanda-tanda infeksi terbuka tidak terlihat lagi.
[Birn (1973)].

Histologi Kantongan Alveolar Osteitis


Pada pemeriksaan histologi (baik pada manusia maupun binatang mamalia), di gumpalan darah
terlihat infiltrasi dari sel-sel inflamasi yang hebat. Area yang besar pada lamina dura mengalami

neksrosis dengan lakuna osteosit kosong di jaringan tulang. Proses inflamasi menyebar
mengelolingi celah sumsum tulang dan melibatkan periosteum. Jaringan nekrosis sering
ditemukan pada celah sumsum tulang dekat dengan alveolus. Tampilannya seperti akut, subakut
osteomielitis, dengan trombus pada pembuluh darah dan infiltrasi dari sel leukosit
polimorfonuklear dan mononuklear pada celah sumsum tulang.
Karena reaksi inflamasi yang hebat, proses perbaikan terhambat dan aktifitas osteoklas meningkat
( yang memicu terbentuknya sekuestrasi) yang dapat dilihat di proses perbaikan pada umumnya
[Birn (1973)].

Diagnosis
Diagnosis pada alveolar osteitis ditegakkan berdasarkan kondisi pada umumnya, yaitu
berdasarkan riwayat pasien, gejala dan juga temuan klinisnya. Gambaran utama dari alveolar
osteitis adalah nyeri yang sangat khas dan dicurigai pada pasien yang mengeluh nyeri (dalam
waktu 48-72 jam) setelah ekstraksi. Nyeri sering menjalar ke area ipsilateral telinga, tulang
temporal maupun frontal.
Banyak Peneliti yang menduga alveolar osteitis berupa sindrom dengan gambaran diagnostik
berupa:
1. Nyeri berasal dari kantung bekas ekstraksi, yang dapat menjalar ke ipsilateral telinga,
tulang temporal juga frontal. Nyeri dapat lebih parah dibandingkan sakit gigi berupa:
nyeri tumpul, berdenyut dan tidak merespon dengan obat analgesik.
2. Terdapat gumpalan darah kantung ekstraksi, yang sangat nyeri jika disentuh.
3. Tulang pada kantung dapat menonjol keluar. Dapat juga ditemuka sekuestra jika ada
infeksi yang mendasari.
4. Pada hampir semua kasus alveolar osteitis, terdapat bau busuk pada kantung yang
terinfeksi.
5. Pada individu yang sehat, osteomielitis hanya terjadi pada kantung bekas ekstraksi
saja, dan pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi seperti peningkatan
temperatur, atau limfadenopati regional.
Nyeri tanpa gejala-gejala lainnya (seperti diatas) tidak dapat digunakan untuk menegakkan
alveolar osteitis. Sebaliknya kantung yang mengalami nekrosis tanpa riwayat nyeri tidak
dapat ditegakkan sebagai alveolar osteitis juga.
Pada beberapa kasus alveolar osteitis , mukosa gingiva dapat menutupi sebagian kantung
sehingga terlihat gambaran superfisial, kantung mulai membaik. Dengan pemeriksaan secara
hati-hati, dapat terlihat kantung kosong dengan debris nekrosis pada dasarnya dan adanya
bau busuk dari kantung tersebut. Pada umumnya sekeliling alveolus dan kantung yang
terlibat akan teraba lunak. Pemeriksaan secara langsung pada kantung diperlukan sebelum
diagnosis alveolar osteitis ditegakkan.
Diagnosis banding

Salah satu komplikasi ekstraksi gigi adalah alveolar osteitis, sehingga menyempitkan
diagnosa banding menjadi

Osteomielitis supuratif akut yang disebabkan oleh ekstraksi


Fase penyembuhan yang lama pada kantung ekstraksi
Osteoradionekrosis karena ekstraksi, pada pasien tertentu

Osteomielitis supuratif akut ditandai dengan:


1. Inflamasi dan nekrosis pada tulang alveolar dengan supuratif terbuka.
2. Infeksi tidak terbatas pada dinding kantung dan jika tidak ditangani akan menyebar ke
sekeliling alveolus. (Soames & Southam (1985))
3. Maxilla jarang terlibat
4. Pembentukan sinus & sekuestrasi biasa terjadi
5. Gejala klinis berupa nyeri, bengkak, paraestesi di bibir (mandibula), pyrexia, dan gigi
goyang
6. Pemeriksaan radiologi menunjukkan gambaran moth eaten disekitar dinding
kantung diikuti dengan destruksi pada lamina dura
Gambaran yang membedakan alveolar osteitis dengan osteomielitis supuratif akut adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Bengkak pada wajah bukan gambaran pada alveolar osteitis


Pyrexia tidak terdapat pada alveolar osteitis
Alveolar osteitis jarang menyebabkan paraestesia bibir
Infeksi pada alveolar osteitis terbatas hanya pada dinding kantung
Supurasi dan sekuestrasi jarang dijumpai pada alveolar osteitis, walaupun pada
beberapa kasus diikuti dengan infeksi osteomielitis supuratif akut.
6. Sinus tidak terbentuk pada alveolar osteitis
Fase penyembuhan yang lama pada kantung bekas ekstraksi dapat terjadi karena:
1. Adanya penyakit sistemik (sebekumnya) contohnya : DM, gangguan endokrin,
leukemia, anemia, keadaan imunosupresi, defisiensi nutrisi dan vitamin.
2. Usia. Berdasarkan data, dinyatakan bahwa penyembuhan jaringan adalah
perbandingan terbalik usia. Pada usia tua, kemampuan untuk regenerasi jaringan
menurun secara signifikan.
3. Supresi bahan kimia pada proses penyembuhan. Pasien dengan terapi steroid jangka
panjang, menunjukkan adanya gangguan proses penyembuhan. Hal ini terjadi karena
supresi respon inflamasi yang terus menerus sehingga menggangu proses perbaikan.
Contoh lainnya pada pasein kanker yang mendapat kemoterapi, dimana seluruh
obatnya bersifat toksik pada seluruh sel, menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.
Penyembuhan luka berkepanjanga dan pasien beresiko untuk terkena infeksi dalam
waktu 6 minggu setelah terapi.
4. Trauma operasi saat proses ekstraksi dapat memperlambat penyembuhan. Ini
merupakan penyebab sembuh yang berkepanjangan yang paling umum.
5. Faktor lokal seperti relokasi gigi palsu, kurang menjaga kebersihan rongga mulut,
candidiasis oral dapat menjadi faktor predisposisi penyembuhan yang
berkepanjangan.

6. Trauma kimia, seperti luka karena aspirin pada gingiva sebelum dan setelah ekstraksi
dapat menghalangi proses penyembuhan. Penggunaan aspirin saat sakit gigi
merupakan mitos, namun sebagian pasien lupa kemungkinan terjadinya perlukaan
mukosa.
7. Kebiasaan sosial, seperti merokok, alkohol dan kebiasaan meludah (mencegah
pembekuan) setelah ektraksi dapat mencegah penyembuhan. Bercak-bercak
pembekuan darah dan granulasi jaringan merupakan bukti fase penyembuhan yang
lambat. Biasa dijumpai sekuestra dan eksfoliasi sebagai proses penyembuhan. Tidak
tampak supurasi. Nyeri bukan merupakan gejala yang utama. Pada umumnya, pasien
sering mengeluhkan luka yang lama sembuh, sisa makanan terjebak di kantungan dan
terdapat sekuestra.
Gambaran yang membedakan alveolar osteitis dan penyembuhan yang lama didefinisikan
pada kondisi yang mendasari:
1.
2.
3.
4.

Nyeri yang parah pada kantungan


Gumpalan darah yang menyebar.
Dinding kantungan yang polos memberi gambaran kosong
Terbentuk fetor oris dari debris nekrosis pada kantung.

Ekstraksi gigi diikuti dengan osteoradioneksrosis dapat terjadi pada pasien yang mendapat
radioterapi untuk keganasan rongga mulut. Radioterapi mempengaruhi vaskularisasi tulang
alveolar dengan cara menipiskan endotelium kemudian membentuk fibrosis pada bagian
intima pembuluh darah (endarteritis obliterans) yang menyebabkan trombosis pembuluh
darah terutama pada bagian vaskularisasi gigi inferior. Akibat kekurangan suplai darah
terlihat asimptomatik namun rahang mudah terkena infeksi dari gigi, peridontium dan trauma;
nyeri saat penggunaan gigi palsu, exodontia atau prosedur pembedahan oral. Eliminasi pada
pembuluh darah yang masih baik dapat menghambat pergantian tulang sampai satu titik
dimana proses penyembuhan sendiri menjadi tidak efektif (peterson et al. (1968)).
Jika antibiotik profilasis yang sesuai tidak diberikan pada pasien tertentu dengan exodontia,
infeksi post-ekstraksi dapat menyebar dengan cepat melalui tulang ke tulang karena respon
inflamasi yang tidak tersampaikan pada pembuluh darah yang tidak ada. Infeksi dapat
menyebabkan nekrosis tulang yang sangat menyakitkan, hal ini sering disertai dengan
penipisan jaringan lunak di rongga mulut dan terkadang di wajah. Untungnya metode terapi
radiasi masa kini telah mampu mengurangi angka kejadian osteoradionekrosis secara
bermakna. Terapi ini dikombinasikan dengan terapi antibiotik yang agresif menjadikan
osteoradionekrosis bukan lagi merupakan suatu masalah yang cukup bermakna seperti dahulu
kala. Namun, disamping kemajuan ini angka kejadian osteoradionekrosis setelah pencabutan
gigi tidak dapat dikatakan jarang. Osteoradionekrosis sebagai akibat dari pencabutan gigi
dapat di diagnosa banding dari osteitis alveolar dengan:
1. Riwayat radioterapi kepala leher
2. Infeksi kantung gigi yang menyebar ke tulang kalkaneus
Tampilannya menyerupai osteomielitis supuratif akut yang disertai dengan nekrosis
tulang yang luas, penipisan dan sekuestrasi

3. Infeksi yang cepat, aggresif dan susah untuk dikenali.

KESIMPULAN
Beberapa aspek dari alveolar osteitis adalah:
-

Insidensinya terjadi 1,5%-4% setelah ekstraksi


Nyeri yang berkaitan dengan alveolar osteitis dapat dijadikan gejala
patognomonik
Tampilan dari kantung juga khas.
Distribusi arkus gigi sudah jelas didefinisikan

Namun ada beberapa pertanyaan di bawah ini yang masih belum jelas di
antaranya;
-

Apakah jenis kelamin berpengaruh terhadap kejadian alveolar osteitis?


apakah terapi kontrasepsi oral memberikan hasil yang signifikan?
Apakah ada insidensi yang lebih besar setelah single atau multiple
ekstraksi?
Apakah seseorang yang pernah mengalami alveolar osteitis di masa
yang akan datang terjadi lagi walaupun telah dilakukan ekstraksi?

Diagnosis pasti sangat mudah pada kebanyakan kasus yang sudah ada, nyeri,
dan gejala klinis dari kantung memiliki karakter tertentu.

Anda mungkin juga menyukai