Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN 1
KERACUNAN OBAT (Amfetamin) & ALKOHOL

Disusun Oleh:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Ari Revi Y
Cintya Pradila
Hesty Tri H
Lely Actiany A
Lucy Amelia
Mufhida Q
Rurin Khoirun Nisa
Vivi Feranita
Yudi Handoko

(131.0013)
(131.0023)
(131.0045)
(131.0055)
(131.0057)
(131.0121)
(131.0087)
(131.0119)
(131.0105)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES HANG TUAH SURABAYA
2016
Kata pengantar
1

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan izin dan ridhonya makalah
ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga tetap dilimpahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kedamaian dan rahmat bagi semesta alam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah . Dalam penyusunan makalah ini
tidak terlepas dari berbagai kendala namun berkat dan dorongan dari berbagai pihak, baik moral
maupun material sehingga sedikit demi sedikit kendala tersebut dapat diatasi dengan baik.
Penulis menyadari masih banyak ketidak sempurnaan dalam penyusunan makalah ini,
oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi hasil yang lebih baik.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi pembacanya.
.
Surabaya, 24 Oktober 2016
Tim penulis

ii
DAFTAR ISI
COVER i
KATA PENGANTAR ii
2

DAFTAR ISI... iii


BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang .. 1
1.2 Rumusan Masalah ..... 2
1.3 Tujuan ... 2
1.4 Manfaat . 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Konsep Dasar Keracunan.. 3
2.2 Konsep Keracunan Obat.... 7
2.3 Keracunan Alkohol . 17
BAB III PENATALAKSANAAN 20
3.1 Algoritme Kejang Akut .. 20
3.2 Algoritme Penurunan Kesadaran .... 21
3.3 Diagnosis Keracunan .. 22
3.4 Riwayat Dan Pemeriksaan Fisik . 23
3.5 Pemeriksaan Penunjang .. 25
BAB IV PENUTUP... 27
4.1 Kesimpulan.. 27
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULAN
1.1

Latar Belakang

Racun disebut juga toksin adalah zat yang mengganggu kesehatan atau menyebabkan
kematian karena kerja kimiawinya ketika zat ini masuk ke dalam tubuh atau kontak dengan kulit,
racun yang tertelan terjadi bila korban menelan zat toksik. Untungnya, sebagian besar racun
memiliki sedikit efek toksik atau tertelan dalam jumlah sedikit sehingga keracunan yang berat
3

jarang terjadi. Namun demikian, selalu ada potensi terjadinya keracunan yang berat atau fatal.
Definisi keracunan atau intoksikasi menurut WHO adalah kondisi yang mengikuti masuknya
suatu zat psikoaktif yang menyebabkan gangguan kesadaran, kognisi, persepsi, afek, perlaku,
fungsi, dan repon psikofisiologis.
Sekitar 80% keracunan terjadi akibat menelan zat toksik. Keracunan yang disebabkan
oleh overdosis atau penyalahgunaan obat dan zat-zat lain, termasuk alcohol sering terjadi. Obat
yang paling sering disalah gunakan di Amerika Serikat adalah alcohol. Keracunan dan
penyalahgunaan obat merupakan bagian yang panting dari kedaruratan medis yang dihadapi oleh
dokter. Sekitar 75% kasus di Amerika Serikat terjadi pada anak-anak dibawah 5 tahun, tetapi 95%
kematian terjadi pada orang dewasa. Keracunan juga sering terjadi pada anak-anak besar yang
mentalnya terbelakang. Bunuh diri dan percobaan pembunuhan juga menyebabkan banyak
keracunan. Kadang kala menelan secara tidak sengaja terjadi pada orang dewasa. Di Swis dan
Inggris seseorang dilarang mengendarai mobil di jalan raya bila mempunyai KAD 80 mg/100ml
atau lebih dan kadar alkohol urin (KAU) 107 mg/100ml (Sutter, 2002; Shepherd, 2003). Berbagai
pemberitaan di surat kabar dalam 5 tahun terakhir menunjukkan penggunaan alkohol dalam taraf
membahayakan masih banyak terjadi di Indonesia dan jumlahnya pun ditenggarai terus
meningkat. Di Indonesia, tingkat konsumsi alkohol terus meningkat dari tahun ke tahun, namun
belum ditetapkan batas KAD dan KAU yang diperbolehkan bagi seseorang untuk mengendarai
mobil di jalan raya (Sebayang, 2007).
Keracunan alkohol dapat mengakibatkan gangguan sistim saraf pusat yang berat,
gangguan abdomen dan ginjal bahkan kematian. Alkohol adalah sekelompok senyawa yang
terdiri atas ethyl alcohol, methyl alcohol, ethylene glycol, isopropyl alcohol. alkohol
menghasilkan aceton dan etil alkohol bisa mengakibatkan ketoasidosis. Etilen glikol dan methyl
alkohol disebut Toxic Alcohol, meskipun tidak berarti bahwa ethanol tidak toksis. Semua jenis
senyawa alkohol dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat dan kejang. Pada keracunan
etanol onset sekitar 30 menit, napas berbau etanol dan dapat terjadi asidosis respiratorik atau
ketoasidosis, sedang pada keracunan isopropanol onset cepat, napas berbau aseton dan asidosis
metabolik yang terjadi ringan.
Dalam memberi pertolongan pertama dan pengobatan pada peristiwa keracunan atau
kecelakaan yang disebabkan oleh bahan-bahan kimia beracun atau bahan-bahan racun/toksis
lainnya, yang mula-mula harus dilakukan ialah mengenali (mengidentifikasi) bahan-bahan yang
4

diduga menjadi penyebab keracunan. Mengenai bahan-bahan racun/toksis merupakan hal yang
sangat penting artinya dalam menentukan diagnosis keracunan. Setiap peristiwa keracunan oleh
bahan-bahan racun yang jenis dan sifatnya berlainan (berbeda), mempunyai cara-cara
pertolongan dan pengobatan yang berbeda pula. Dalam karya tulis ilmiah ini penulis akan
menjelaskan bagaimana penatalaksanaan pada korban keracunan alcohol dan obat-obat lain.
1.2

Rumusan Masalah

Beberapa masalah yang muncul dalam makalah keracunan obat-obatan dan alcohol adalah
:
1.2.1 Bagaimana konsep dasar keracunan?
1.2.2 Bagaimana konsep keracunan obat dan penatalaksanaanya?
1.2.3 Bagaimana konsep keracunan alcohol dan penatalaksanaannya?
1.2.4 Bagaimana penanganan gejala keracunan berdasarkan algoritma?
1.3

Tujuan
1.3.1 Menjelaskan konsep dasar keracunan
1.3.2 Menjelaskan konsep keracunan obat dan penatalaksanaannya
1.3.3 Menjelaskan konsep dasar keracunan alcohol dan penatalaksanaanya
1.3.4 Menggambarkan penanganan gejala keracunan berdasarkan algoritma

1.4 manfaat
Mahasiswa agar bisa melakukan penilaian kegawatdaruratan terhadap keracunan dan
penanganan segera kepada pasien kegawatdaruratan berdasarkan keracunan obat atau alcohol.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

KONSEP DASAR KERACUNAN


2.1.1 PENDAHULUAN
kata racun merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan dan mengambarkan

berbagai bahan zat kimia yang dengan jelas berbahaya bagi badan. Kata racun toxic
adalah bersaral dari bahasa Yunani, yaitu dari akar kata tox, dimana dalam bahasa Yunani
berarti panah. Dimana panah pada saat itu digunakan sebagai senjata dalam peperangan,
yang selalu pada anak panahnya terdapat racun. Di dalam Papyrus Ebers (1552 B.C.)
5

Produk rumah tangga, seperti pemutih, cairan pengilap, dan pestisida banyak
menyebabkan keracunan pada anak-anak. Lemari obat dan kabinet dapur sering menjadi
sumber racun. Penelitian pusat-pusat pengendalian racun di seluruh Amerika Serikat
memperlihatkan bahwa lebih dari 1000 produk rumah tangga dapat menimbulkan
keracunan. Pada banyak kasus, diagnosis keracunan atau overdosis jelas diketahui, dan
riwayat menelan mudah didapatkan. Pada kasus lain, sulit didapatkan riwayat menelan
racun atau pika. Pada beberapa kasus, riwayat menelan racun tidak pernah didapatkan
sekalipun ada bukti klinis dan laboratorium keracunan. Pada masalah klinis yang
memusingkan dan tidak jelas sebab-sebab gejalanya, kemungkinan keracunan atau
overdosis hams selalu dipikirkan. Konsultasi per telepon dengan pusat pengendalian racun
regional dapat membantu dalam menangani kedaruratan toksikologik.
2.1.2 TANDA DAN GEJALA
Banyak gejala dapat timbul sebagai akibat dari keracunan, termasuk muntah, pucat,
kejang, koma, somnolen, luka bakar di mulut, demam, hipereksitabilitas, dan diare. Temuan
fisik yang mengarah ke keracunan antara lain adalah status kesadaran terganggu, pupil
konstriksi, dilatasi pupil, sianosis, bau jaringan yang abnormal, dan keringat meningkat.
Urine mungkin berubah warna dan kulit terwarnai lain. Gejala-gejala dan temuan fisik
spesifik sering menunjukkan jenis racun yang ditelan.
Berbagai sindrom klinis dapat membantu mengindentifikasi obat atau racun
penyebabnya.
1. Pasien koma dengan kulit kering, dilatasi pupil, takikardia atau disritmia lain,

hiperrefleksi,

hipotensi,

dan

kejang

mengesankan

keracunan

obat

antikolinergik. Pasien koma dengan miosis pupil dan depresi kardiopulmonal


mengesankan keracunan narkotik.
2. Pasien keracunan agen kolinergik memperlihatkan salivasi, lakrimasi,
berkeringat, edema paru, bronkokonstriksi, bradikardia, miosis, lemah otot,
fasikulasi, kejang, dan koma.
3. Sianosis akut dan hipotensi akibat methemoglobinuria dapat disebabkan oleh

keracunan nitrat, nitrit, nitrofenol, atau nitrobenzene.


4. Asidosis metabolik dengan gap anion dapat disebabkan oleh salisilat, metanol,

etanol, etilen glikol, dan isoniazid.


5. Disritmia jantung dapat terjadi karena obat antidepresan siklik (CAs).
fenothiazine, kokain, amfetamin, dan obat-obat jantung.
6

6. Nistagmus dapat teljadi karena obat-obat sedative-hipnotik dan fenitoin.

Nistagmus horizontal atau vertikal adalah karakterisfik untuk keracunan


fensiklidin (PCP).
IDENTIFIKASI
Meskipun ciri umum racun dapat dilacak dari gejala dan temuan fisik, identiflkasi
2.1.3

pasti agen penyebab amat diperlukan. Pemeriksaan wadah asli produk tersebut sering
membantu. Wadah kebanyakan bahan kimia rumah tangga yang berbahaya diberi label
daftar kandungannya. Sering kali zat racun tersebut tidak berada di wadah aslinya.
Pemeriksaan sisa tablet atau pil dari wadah sering akan menghasilkan identifikasi senyawa
racunnya. Riwayat mengelupas cat atau plaster timbal atau zat berbahaya lingkungan
lainnya dirumah, pembangunan industri, atau tempat hiburan harus didapatkan.
Laboratorium toksikologi :
1.
Fasilitas untuk pemerlksaan toksilogi klinis yang menyediakan hasil-hasil
segera untuk zat-zat tertentu hendaknya tersedia di setiap rumah sakit yang
2.

menyediakan fasilitas UGD.


Pemeriksaan toksikologi urine atau serum rutin perlu diminta jika perlu, tetapi
mungkin hanya kecil manfaatnya untuk fase awal perawatan di UGD.
Pemeriksaan tersebut mungkin memerlukan waktu 6 hingga 8 jam untuk selesai
dan mungkin tidak mendeteksi agen tertelan yang spesifik, padahal hasil negatif

3.

tidak menyingkirkan keracunan.


Menentukan kadar salisilat dan asetaminofen pada kebanyakan pasien yang

4.

kemungkinan overdosis amat bermanfaat karena ketersediaannya luas.


Jika diketahui atau dicurigai korban menelan suatu obat spesifik, laboratorium
mungkin tidak hanya dapat menentukan adanya obat ini, tetapi juga kadarya di
dalam serum. Inl harus dirninta secara spesifik. Agen-agen yang dapat diperiksa
kadamya antara lain:
Asetaminofen Salisilat
Karbon monoksida
Digitalis
Etanol
Besi
Litium
7

Teofilin
Pada kasus-kasus keracunan, uji darah, urine, isi lambung, atau muntah yang sesuai
akan bermanfaat. Komunikasi langsung dengan laboratorium toksikologi akan membantu
dalam hal uji yang diperlukan dan perlunya kecepatan perneriksaannya. Jika suatu
Spesimen tidak dapat dikirim ke laboratorium segera, bahan tersebut perlu dimasukkan ke
lemari pendingin. Pengawet tidak perlu ditambahkan.
Foto sinar-X abdomen dapat memperlihatkan massa oblong (heroin atau kokain di
dalam kondom), pil radioopak, endapan-endapan, atau cairan. Jembatan keledai yang
bermanfaat untuk temuan ini adalah CHIPES. Sinar-x negatif tidak menyingkirkan ingesti
zat-zat inig
C = Chloral hydrate, carbon tetrachloride
H = Heavy metals (logarn berat)
I = Iron, Iodides (besi yodium)
P = Psychotropics (phenothiazines)
E = Enteric coated (salisilat, KCl)
S = Solvents (CHCl3, CCI4)
Pemeriksaan. seperti uji hemoblogin dan hematokrit untuk anemia, penetapan
methemoglobinemia, dan urine untuk mioglobin dan koproporfirin mungkin bernilai dalam
menilal kasus-kasus keracunan tertentu.
PRINSIP PENATALAKSANAAN
Dalam penatalaksanaan keracunan, ada tiga prinsip utama:
1. Racun boleh di evakuasi dan absorpsinya dihambat jika tindakan ini dapat
2.1.4

dikerjakan dengan aman.


2. Terapi suportif dan simtomatik harus diberikan segera, termasuk pemberian
cairan IV dan pemeliharaan jalan napas secara adekuat.
3. Setiap pasien yang mengalami perubahan status kesadaran harus segera

diperiksa glukosa serumnya, diikuti dengan 50 ml dekstrosa 50% jika ada


hipoglikemia. Pupil yang miotik hendaknya segera ditanggulangi dengan
nalakson, 0,8 sampai 2,0 mg, untuk membalikkan kemungkinan overdosis
narkotik.
4. Jika ada antidotum spesifik untuk racun yang tertelan, obat ini harus
diberukan. Namun, hanya sebagian kecil keracunan yang diketahui
8

mempunyai antidotum spesifik. Ketersediaan antidotum spesifik tidak


menghilangkan perlunya langkah-langkah suportif umum.
Mula-mula pada evaluasi setiap kasus, harus dibuat keputusan tentang perlunya
rawatan dirumah sakit. Tidak semua kasus mengonsumsi racun perlu dirawat dirumah sakit.
Namun pada kasus-kasus yang meragukan, perawatan rumah sakit adalah pilihan yang
paling aman. Pasien dengan resiko bunuh diri harus dipperiksa secara psikiatrik.
Pemikiran yang paling utama adalah apakah evakuasi lambung terindikasi, baik
dengan induksi muntah maupun dengan bilas lambung. Evakuasi lambung di
kontraindikasikan pada keracunan yang disebabkan oleh bahan korosif seperti lye atau
asam kuat, dikontraindikasikan pula jika kemungkinan zat racun di aspirasi sedikit dapat
menimbulkan pneumonia aspirasi yang berat. Hidrokarbon adalah golongan besar yang
menjadi penyebab.
Banyak ahli toksikologi berpikir bahwa mengosongkan lambung jarang terindikasi
dan bahwa memasukan arang aktif sebenarnya lebih efektif. Namun, bila dibuat keputusan
untuk mengosongkan lambung, informasi berikut dapat bermanfaat:
1)

Dosis awal sirup ipekak adalah 30 ml pada orang dewasa, 15 ml pada anak-anak, dan
10 ml pada bayi 6 bulan sampai 1 tahun. Pengobatan ini harus diikuti minur air putih
sekitar 200 ml. Biasanya muntah terjadi dalam 20 menit.

2)

Bilas lambung dapat digunakan pada pasien tidak sadar, stupor atau tidak terindikasi.
Bilas lambung dapat dilakukan pada pasien setengah sadar jika ada reflek muntah
pasien harus digulingkan terlentang miring.
A. Arang aktif

1)

Arang aktif bermanfaat pada kebanyakan jenis keracunan. Bahan ini menyerap
banyak senyawa racun dan mengurangi banyak absropsi. Arang aktif tidak boleh
diberikan bersamaan dengan sirup ipekak karena arang akan menyerap sirup.

2)

Arang aktif tidak bermanfaat untuk mengikat etil alkohol, metil alkohol, alkalt
kaustik, asam mineral, fosfat organik, besi, atau litium.

3)

Dosis arang aktif adalah 1 gr/kgBB.


B. Katarsis

Katartik sering dianjurkan, seperti magnesium sulfat 250 mg/kg oral atau dengan
selang gastrik. Dosis berulang katartik dapat menyebabkan dehidrasi berat, terutama pada
anak kecil.
9

C. Diuresis dan dialysis

Keluaran urine adalah indikator yang baik untuk fungsi ginjal, tetapi mungkin tidak
berkolerasi dengan ekskresi obat. Pada umumnya, eliminasi obat dengan ekskresi ginjal
tidak tergantung pada kecepatan aliran urine. Efektivitas dialisis bergantung pada sejumlah
faktor, antara lain volume distribusi, pengikatan protein, besar molekul, dan metabolisme.
Dialisis diindikasikan untuk obat-obatan tertentu.
2.2

KONSEP KERACUNAN OBAT


2.2.1 AMFETAMIN
Amfetamin merupakan golongan obat simpatomimetik yang menstimulasi sistem

saraf pusat dan menekan nafsu makan. Amfetamin sebagai obat yang memiliki efek
stimulansia, memiliki cara kerja dengan meningkatkan kadar dopamine di dalam otak.
Dopamine adalah zat kimia (atau neurotransmiter) yang berhubungan dengan kesenangan,
pergerakkan, dan perhatian. Penggunaan Amfetamin dilegalkan untuk beberapa indikasi
medis seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), narkolepsi, dan obesitas
(Brenner, 2010).
Nama generik amfetamin adalah D-pseudo epinefrin berhasil disintesa tahun 1887,
dan dipasarkan tahun 1932 sebagai obat. Bentuknya ada yang berbentuk bubuk warna putih
dan keabuan, digunakan dengan cara dihirup. Sedangkan yang berbentuk tablet biasanya
diminum dengan air.
Amfetamin banyak disalahgunakan untuk meningkatkan performa dan untuk tujuan
rekreasional. Pada tahun 2009, 2,8 juta masyarakat Amerika yang berumur 12 tahun
menyalahgunakan Amfetamin sekurang-kurangnya sekali dalam setahun (Substance Abuse
and Mental Health Services Administration, 2012).

10

Gambar a. Metamfetamin (sabu-sabu)

Gambar b. Amfetamin (ekstasi)

Berikut ini merupakan derivat dari Amfetamin :


1. Metamfetamin

Amfetamin dan Metamfetamin merupakan dua simpatomimetik amin yang memiliki


hubungan yang erat dan keduanya juga banyak disalahgunakan. Metamfetamin yang
dikenal sebagai shabu-shabu berbentuk kristal bening seperti butiran gula, tetapi ukurannya
sedikit lebih besar sehingga ada yang menyebutnya crystal meth. Metamfetamin lebih
banyak dipilih oleh para penyalahguna karena norepinefrin yang dibebaskan lebih sedikit
dibandingkan Amfetamin. Selain itu, Metamfetamin lebih mudah dibakar dan dihirup. Efek
yang dihasilkan dengan cara menghirup shabu-shabu lebih besar dibandingkan efek yang
dihasilkan dengan cara mengonsumsi secara oral. Hal ini mungkin dikarenakan oleh
cepatnya peningkatan kadar dopamin di dalam otak (Kelly, 2001).
2. 3,4- methyldioxymethamphetamine (MDMA)

MDMA merupakan obat sintetik, psikoaktif yang struktur kimiawinya sama seperti
Metamfetamin. MDMA atau yang lebih dikenal dengan nama ekstasi, menghasilkan efek
psikostimulan dan psikomimetik dengan cara meningkatkan kadar dopamin dan serotonin
di dalam otak. MDMA dikonsumsi secara oral, biasanya dalam bentuk tablet. MDMA
bersifat neurotoksik pada neuron serotonergik, terlihat degenerasi jalur serotonergik dengan
jelas pada hewan percobaan. Penggunaan MDMA pada manusia akan menghancurkan
neuron serotonergik di dalam otak yang berkontribusi pada beberapa komplikasi psikiatri
seperti reaksi panik, psikosis, depresi dan bunuh diri (Ricaurte, 2001).

11

Tanda dan gejala intoksikasi anfetamin biasanya ditunjukkan dengan adanya dua atau
lebih gejala-gejala seperti : takikardi atau bradikardi, dilatasi pupil, peningkatan atau
penurunan tekanan darah, banyak keringat atau kedinginan, mual atau muntah, penurunan
BB, agitasi atau retardasi psikomotor, kelelahan otot, depresi sistem pernapasan, nyeri dada
atau aritmia jantung, kebingungan, kejang-kejang, diskinesia atau koma.
1.

Cara penggunaan Amfetamin


Penggunaan Amfetamin dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain :
a. Oral : administrasi Amfetamin secara oral merupakan satu-satunya cara yang dipakai
untuk kepentingan terapeutik, namun metode ini juga banyak digunakan untuk
kepentingan rekreasional (Uitermark, 2006). Efek Amfetamin dengan administrasi
oral muncul dalam jangka waktu sekitar 15-60 menit, mencapai puncak dalam waktu
2-3 jam, dan mulai menurun setelahnya (Angrist, 1987).
b. Dihirup : administrasi Amfetamin secara intranasal dengan cara menggerus tablet
hingga menjadi bubuk halus kemudian dihirup. Cara ini tidak digunakan untuk
kepentingan terapeutik. Tetapi, inhalasi Amfetamin menjadi rute kedua terbanyak
yang digunakan untuk kepentingan rekreasional. Inhalasi Amfetamin ke dalam
rongga hidung, dimana terjadi absorpsi yang cepat melalui selaput lendir. Efek
Amfetamin muncul dalam hitungan menit dan memiliki durasi efek yang singkat
(Uitermark, 2006).
c. Injeksi : injeksi Amfetamin juga tidak digunakan untuk kepentingan terapeutik, tetapi
untuk kepentingan rekreasional atau dalam keadaan tertentu seperti percobaan pada
hewan coba. Injeksi Amfetamin biasanya dilakukan secara intravena atau subkutan,
dan disirkulasi secara cepat melalui aliran darah. Injeksi Amfetamin memiliki
bioavailability tertinggi dan menghasilkan efek yang cepat dan hebat. Ketika
diinjeksi, efek Amfetamin akan muncul dengan segera namun memiliki durasi efek
yang singkat (Kramer, 1967).

2.

Efek Sistemik
Efek sistemik yang ditimbulkan oleh Amfetamin yaitu (Japardi, 2012):
a. Gangguan kardiovaskular
Amfetamin dapat menyebabkan :
12

Hipertensi

Sinus takikardi

Iskemik miokard
b. Kerusakan ginjal

Amfetamin

mengakibatkan

Myoglobinuric

Tubular

Necrosis,

sedangkan

Metamfetamin dapat menyebabkan Proliferatif Glomerulonephritis akibat dari suatu


Systemic Necrotizing Vasculitis. Biasanya terjadi bila Amfetamin digunakan secara
intravena. Keadaan ini jarang terjadi dan timbul bila terjadi overdosis. Metamfetamin
merupakan golongan yang paling sering menyebabkan kerusakan ginjal.
c. Gangguan saluran pencernaan
Amfetamin dapat menyebab kan toksisitas pada kolon akibat iskemik.
d. Fungsi seksual
Amfetamin mempengaruhi fungsi seksual dengan beberapa cara yang berbeda. Pada
dosis rendah, Amfetamin meningkatkan performa seksual dengan cara menurunkan ansietas
atau meningkatkan mood yang bersifat sementara. Dengan penggunaan Amfetamin yang
berkepanjangan, fungsi ereksi, orgasme, dan fungsi ejakulasi menjadi tergangu. Meskipun
tidak ada bukti konkrit yang menyatakan bahwa dorongan seksual meningkat, namun
pengguna selalu memiliki perasaan bahwa energinya meningkat dan dapat aktif secara
seksual. Pada akhirnya, terjadi disfungsi. Laki-laki biasanya akan menjalani dua tahap yaitu
dimulai dengan ereksi lama tanpa ejakulasi, kemudia kehilangan fungsi ereksi secara
perlahan-lahan.
e. Hipertermia
Mekanisme hipertermia yang ditimbulkan Amfetamin biasanya terjadi akibat
gangguan termoregulasi. Selain itu, Amfetamin dapat menimbulkan hipertermi sentral
karena hiperrefleksi otonom (meningkatkan produksi panas). Peningkatan suhu khas,
berkisar 39-40. Biasanya suhu kembali normal dalam 48-72 jam setelah pemakaian obat
dihentikan, tetapi dapat menetap beberapa hari sampai minggu bila disertai ruam akibat
reaksi obat. Hipertermi biasanya berhubungan dengan intoksikasi. Hipertermi merupakan
gejala yang paling sering ditemukan dan keadaan ini dapat reversibel.
3.

Penggunaan klinis Amfetamin


Amfetamin dan Metamfetamin dilegalkan untuk beberapa kondisi medis antara lain :
13

1.

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)

ADHD adalah suatu kelainan neurobehaviour yang terjadi sekitar 5% pada anakanak. Tiga bentuk dasar ADHD menurut Diagnostic and Statistical Manual IV (DSM-IV)
of the American Psychiatric Association (APA) adalah mereka yang :
a. Tidak memberikan perhatian
b. Hiperaktif atau impulsive
c. Kombinasi dari (1) dan (2), yang dimana paling banyak ditemukan.
Pengobatan yang paling umum untuk mengobati ADHD adalah dengan menggunakan
obat stimulan. Meskipun penggunaan obat stimulan untuk mengobati ADHD terlihat tidak
biasa, tetapi sebenarnya obat stimulan juga memiliki efek penenang pada anak yang
menderita ADHD (Brenner, 2010).
Beberapa opsi pengobatan pada ADHD antara lain adalah campuran Amfetamin,
Metamfetamin, Dextroamfetamin, Metilfedinat, Lisdexamfetamin, atau Atomoxetin (The
MTA Coorperative Group, 1999).
2.

Narkolepsi

Narkolepsi adalah gangguan pola tidur yang ditandai dengan kebanyakan tidur pada
siang hari (excessive daytime sleepiness) bahkan setelah tidur malam yang cukup.
Penyebab pasti terjadinya narkolepsi belum sepenuhnya diketahuinya, namun beberapa
studi menyatakan bahwa kelainan genetik memegang peranan penting (National Health
Service, 2010).
Katapleksi, kebanyakan tidur pada siang hari, serangan tidur, halusinasi, paralisis otot
sementara dan automatic behavior merupakan gejala dari narkolepsi. Pada saat ini, masih
belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan narkolepsi, namun ada beberapa cara
yang dapat digunakan untuk mengurangi defek dari narkolepsi yaitu dengan melatih
kebiasaan tidur, mengubah gaya hidup, dan menggunakan obat stimulan yang bekerja
dengan cara merangsang sistem saraf pusat sehingga menjaga penderita narkolepsi tetap
terbangun pada saat melakukan aktivitasnya (National Health Service, 2010). Campuran
Amfetamin, Dextroamfetamin, Metilfenidat, Modafinil, dan Armodanifil adalah obat
stimulan yang diindikasikan untuk pengobatan narkolepsi (Brenner, 2010).
3.

Obesitas
14

Obesitas didefinisikan sebagai peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan


skeletal dan fisik sebagai akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh (Dorland, 2002).
Obesitas merupakan masalah kesehatan yang penting pada negara yang sedang berkembang
dan Amfetamin merupakan obat pertama yang digunakan untuk menurunkan kelebihan
berat badan. Metamfetamin hanya diindikasikan pada penggunaan jangka pendek untuk
mengatasi obesitas akibat faktor eksogen. Fenteramin dan Sibutramin merupakan derivat
dari Amfetamin yang digunakan sebagai penekan nafsu makan. Obat-obat tersebut juga
bekerja dengan cara merangsang pusat kenyang di hipotalamus melalui mekanisme
simpatomimetik.

Dibandingkan

dengan

Amfetamin,

Fenteramin

dan

Sibutramin

menghasilkan lebih sedikit rangsangan pada sistem saraf pusat dan potensi terjadinya
ketergantungan zat lebih rendah (Brenner, 2010)
2.2.2 ASETAMINOFEN

Over dosis dengan obat asetaminofen lebih sering terjadi. Obat ini dapat
menyebabkan kerusakan hati berat karena menguras suplai glutation. Obat ini jarang
menyebabkan gejala yang signifikan kurang dari 24jam setelah dikonsumsi.
1.
Perjalanan klinis.
a. Bukti hepatoksisitas menjadi jelas setelah 2 sampai 3hari, antara lain nyeri
perut kuadran kanan atas hepatomegali dan perdarahan.
b. Dapat terjadi penyembuhan tidak rata atau gagal hati progresif yang disertai
2.

dengan koma. Gangguan metabolic berat, dan kadang kala kematian.


Terapi
a. Dapatkan hasil kadar asetaminofenserum segera dan sekurangnya 4 jam
setelah konsumsi obat.
b. Jika kadarnya diatas garis diagonal pada normogram, mulai berikan N-

asetilsistein. Berikan dosis awal 140mg/kg. di ikuti dengan 70mg/kg setiap 4


jam selama 18 dosis diberikan peroral sebagai larutan.
c. Jika dicurigai overdosis yang cukup berat dan kadar serum tidak dapat
diperoleh,

mulai

pemberian

N-asetilsistein

sampai

kadar

serum

didapatkan.efek maksimal jika terapidiberikan dalam 10jam setelah


dikonsumsi.
d. Berikan arang aktif bersama dengan N-asetilsistein.
2.2.3 OPIAT
1.
Gejala klinis

15

a. Perubahan tingkat kesadaran dapat berkisar dari rasa mengantuk sampai

koma, dengan respirasi yang dangkal sampai tidak ada sampai sianosis.
Mungkin ditemukan tanda-tanda bekas suntikan IV.
b. Edema paru dengan jantung berukuran normal pada foto thoraks dapat
2.

terjadi.
Terapi
a. Lakukan penatalaksanaan jalan napas yang diperlukan.
b. Berikan 0,8 sampai 2 mg nalokson IV. Pemberian boleh diulang jika ada
indikasi klinis.
c. Jika akses IV tidak ada, nalokson dapat diberikan IM atau SC
d. Edema paru dapat diterapi dengan oksigen dan ventilasi tekanan positif.
Digitalis, diuretic dan flebotomi biasanya tidak terindikasi
e. Observasi cermat untuk relaps klinis diperlukan karena durasi kerja nalokson
adalah sekitar 45menit dan toksisitas opiate dapat muncul kembali. Infuse IV
nalokson kontinu mungkin diperlukan. Jika tidak, berikan nalmefen, suatu
antagonis narkotik jangka panjang. 0,5 mg/70kg IV. Jika perlu dosis kedua

1,0 mg / kg harus diberikan.


2.2.4 SALISILAT
Keracunan salisilat sering terjadi, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
Salisilat dieliminasi terutama dengan konjugasi dengan glisin membentuk asam salisilurat.
Ekskresi relatif cenderung menurun jika jumlah total salisilat di dalam tubuh meninggi.
1. Gejala dan tanda keracunan salisilat meliputi tinitus, anoreksia, demam, muntah,
berkeringat, tampak flush, hiperventilasi, delirium, koma, dan kejang.
2. Kadar salisilat serum saja dapat menyesatkan karena kadarnya dapat terus meninggi
selama 6 jam setelah konsumsi.
3. PH serum harus diperiksa jika kadar salisilat berada pada kadar toksik.
4. Dianjurkan diperiksa kadar salisilat darah 6 jam setelah konsumsi dan pH darah. Kadar
di atas 35 mg/100 ml dianggap toksik, meskipun tidak ada korelasi yang baik antara
kadar salisilat dan gejala. Kadar harus dievaluasi dengan mempertimbangkan waktu
yang telah lewat sejak menelan salisilat.
5. Terapi
a. Muntah hendaknya diinduksi dengan sirup ipekak jika ingesti relatif baru
sebentar (misalnya, kurang dari 1 jam).

16

b. Pada kasus yang cukup berat, cairan IV harus dipasang. Meninggikan pH urine
sampai di atas 7.5 amat penting karena reabsropsi salisilat dari urine jelas
menurun dan salisilat amat meningkat pada pH alkali.
a) Natrium bikarbonat IV, 20 sampai 50 mEq, diberikan dalam waktu 5 menit.
Jika setelah 10 menit urine tidak alkali, diberikan 15 mEq lagi dan diulang
setiap 10 menit sampai urine menjadi alkali.
b) Setelah urine menjadi alkali, diberikan natrium bikarbonat 10 mEq per 100
ml dextrose 500 dalam saline setengah normal sebagai drip dengan
kecepatan 1,5 sampai 3,0 ml/menit. Setelah aliran urine balk, kadar kalium
serum harus dimonitor dan ditambahkan 3O mEq kalau perlu pada setiap
liter cairan.
c) Alkalinisasi urine mungkin sulit dicapai atau dipertahankan jika kekurangan
kalium tubulus renalis menyebabkan reabsorpsl ion hidrogen lebih besar dari
pada kalium.
d) PH urine harus diperiksa setiap 30 menit. dan jika kurang dari 7.5,
hendaknya diberikan natrium bikarbonat 15 sampai 25 mEq lagi dalam
waktu 5 menit. Kateter menetap akan bermanfaat.
e) Setelah 2 sampai 5 jam terapi, cairan rumutan harus dimulai. Pada kasus
yang jarang menimbulkan gagal ginjal, hemodialisis, atau dialisis peritoneal
boleh dipertimbangkan.
2.2.5 OBAT PSIKOTROPIK
A. Antidepresan siklik (CA)
1. Trisiklik (TCA): Amitriptilin (Elavil), desipramin (Norpramin), imipramin (Tofranil),

nortriptilin(Pamelor).
2. Tertasiklik: maprotilin(Ludiomil).
3. Overdosis dengan CA dapat tampak sebagai sindrrom anti-kolinergik.
4. Setelah absorpsi oral yang berlangsung cepat, TCA didistribusikan luas ke jaringanjaringan tubuh dan sangat terkait pada protein; kurang dari 1% di dalam plasma sekalipun
telah terjadi overdosis. Toksisitas disebabkan oleh blockade ambilan kembali
norepinefrin, efek anti-kolinergik mirip atropine, dan efek depresan langsung pada
miokardium.
5. Gejala klinis.

17

1) Terutama pada agen-agen trisiklik, kardiotoksisistas adalah penyebab utama

kematian dan menimbulkan depresi miokardium, pemanjangan hantaran HisPurkinje, dan disritmia karena aktivitas antikolonergik.
2) Hal-hal berikut dapat terjadi: depresi pernapasan kejang grand mal, hipotensi,

hipertensi, syok, reflex tendon abnormal, hipotermia, koreoatetosis, mioklonus,


koma, dan kematian.
6. Terapi .
1. Waktu paruh CA pada overdosis sangat memanjang hingga lebih dari 24 jam

sampai 36 jam. Konsentrasi serum berkolerasi dengan gejala. Pemanjangan


interval QRS lebih dari 0,12 terjadi pada kadar CA plasma 1000mg/ml, berkolerasi
dengan gejala yang berat.
2. Karena motilitas saluran cerna lambat akibat efek antikolinergik, pasien dengan
konsumsi berlebih mula-mula mungkin hanya mengalami tanda-tanda dan gejala
efek antikolinergik yang relatif minor.
3. Emesis harus diinduksi atau dilakukan bilas lambung setelah intubasi trakeal.

Arang dan katarik harus diberikan setiap 4 jam selama 24 jam pada kasu ringan
dan setiap 2 jam via slang nasogastrik pada kasus yang lebih berat.
4. Pengawasan yang ketat diperlukan untuk mencari tanda-tanda kardiotoksisitas,

depresi pernapasan, dan toksisitas SSP. Dengan merawat pasien di rumah sakit jika
perlu.
5. Alkalinisasi plasma adalah terapi utama untuk toksisitas CA dan biasanya efektif

untuk memulihkan disritmia; gunakan natrium bikarbonat IV, 1 sampai 2 meq/kg.


untuk menaikkan pH plasma menjadi 7,50. Pasien dengan ventilasi baik dapat di
alkalinisasi dengan hiperventilasi.
6. Lidokain terindikasi jika disritmia ventrikel yang mengancam jiwa tidak berespon

terhadap alkalinisasi. Gunakan bolus 1 mg/kg IV, dan infuse konstan dengan
kecepatan 3-4 mg/ menit.
7. Fenitoin mungkin efektif bila lidokain tidak efektif. Dosis dewasa adalah 1g IV
pada 50 mg/kg, dan untuk anak-anak 10mg/kg.
8. Propranolol terindikasi untuk disritmia ventricular yang refrakter. Dosis dewasa

adalah 1mg/menit sampai maksimum 5mg. dosis pediatrik adalah 0,001mg/kg IV.
Kadang kala, pemberian propranolol memperberat gangguan konduksi dan
menekan kontraktilitas miokardium.
9. Pemacu jantung mungkin diperlukan.
18

10. Hipotensi memerlukan cairan IV dan, jika perlu fenilefrin (Neo-Synephrine), 2-

4mg/menit.
11. Dialisis atau hemoperfusi tidak bermanfaat.
B. PCP
1. PCP adalah yang mudah dibuat di laboratorium rumahan, adalah salah satu obat jalanan

yang amat berbahaya. Obat ini di jual dengan banyak nama dan banyak bentuk, serta
sering di kombinasi dengan obat-obat lain. PCP adalah halusinogenik. Onset kerjanya
cepat, resirkulasi enterik, dan afinitasnya untuk jaringan adipose membuat terapinya sulit.
Observasi ketat dan tersedianya fasilitas pemeriksaan toksikologis amat penting.
2. Gejala klinis
1) Intoksikasi dosis rendah sering berupa status yang tidak teramalkan dan

menyerupai keadaan mabuk. Disorientasi, agitasi, dan cepat marah seringg terjadi.
Mutisme ataksia, respon rendah terhadap stimuli nyeri, dan nistagmus intermiten
horizontal , vertical, atau rotasi adalah gejala yang khas. Rigiditas katatonik atau
mioklonus dengan rigiditas otong pada perangsangan dapat terjadi, demikian juga
flushing, diaphoresis, wajah menyeringai, hipersalivasi, dan muntah. Kematian
pada kasus ini biasanya disebabkan oleh kecelakaan , khususnya tenggelam,
terbakar, kecelakaan mobil, dan polisi menemukannya sebagai orang kasar yang
mengalami anestesi terhadap nyeri.
2) Intoksikasi berat sering menimbulkan koma yang berlangsung berjam-jam sampai
berhari-hari. Orangnya tidak responsive terhadap nyeri. Depresi pernapasan,
hipertensi dan takikardi terjadi, ensefalopati hipertensi, atau perdarahan
intreserebral. Regiditas otot yang kuat, opistotonus, dan regiditas deserebrasi dapat
ditemukan dengan disertai mioklonus dan kejang tonik-klonik umum. Hipertermia
dan rabdomiolisis juga mungkin terjadi. Ketika kadar dalam plasma turun, gejala
toksisitas dosis rendah muncul.
3. Terapi
1) Intoksiskasi dosis rendah
1. Lingkungan rendah stimulasi adalah ideal, sambil pasien di observasi.
2. Lambung pasien hanya boleh dikosongkan bila di curigai pasien menelan

overdosis atau obat campuran


3. Paien yang berontak memerlukan diazepam IV atau haloperidol IM atau

IV, 5-10mg, jika aa indikasi agen antipsikotik.


2) Intoksikasi dosis tinggi

19

1. Jika diperlukan intubasi endotrakeal, pekerjaan ini harus dilakukan dengan

sangat hati-hati karena resiko laringo spasme, hipersekersi faring, dan


aspirasi tinggi
2. Bilas lambung diikuti dengan arang aktif, 1g per kilo, dan di ulang setiap

2-4 jam, katartik dan penyedotan nasograstrik yang kontinu dapat


berguna.
3. Diazepam IV, 2-5mg, diindikasikan untuk mengontrol aktifitas otot yang

berlebihan dan kejang. Agen penyekat neuromuscular mungkin di perlukan


jika tidak dapat diinduk relaksasi otot.
4. Manitol harus diberikan jika terdeteksi mioglobulinuria.
5. Diuresis cepat dengan furosemid IV, 40mg, dan pengasaman dengan

menggunakan asam askorbat, 1-2mg per L cairan IV, meningkatkan


ekskresi fensiklidin, tetapi dapat memperburuk kerusakan mioglobulinuria
6. Langkah-langkah pendingan diindikasikan untuk hipertermia.
7. Krisis hipertensi berespon terhadap natrium nitroprusit, mulai dengan

3mg/kg/mnt.
8. Pada overdosis masif, ammonium klorida (2,75meq/kilo di dalam larutan

saline 1-2% diberikan IV setiap 6 jam) mungkin diindikasikan gas darah,


pH, elektrolit serum, dan kadar amoniak harus di monitor.
9. Psikosis PCP dapat menyerupai atau mengaktifkan kembali skizofrenia

klasik. Perawatn di rumah sakit dan terapi dengan obat-obat anti


psikotropik mungkin diperlukan.
2.3 KERACUNAN ALKOHOL
2.3.1 Metanol dan etilen glikol
1. Metanol (metil alkohol,alkohol kayu) dan etilen glikol ditemukan di dalam bahan

antibeku, peluntur cat,shellac, vernis,dan alkohal denaturasi. Preparat dengan metanol


denaturasi sering menyebabkan keracunan yang leih berat dari yang seharusnya
dibandingkan dengan konsentrasi metranolyang sebanding namun alasannya belum jelas.
2. Toksisistas metanol disebabkan oleh metabolisme metil alkohol menjadi asam format dan

formaldehid yang toksik bagi kebanyakkan organ,khususnya sel retina.toksisistas etilen


glikol disebebkan oleh metabolismenya menjadi kalsium oksalat,asam format,dan
metabolit metabolit lain.
3. Gejala klinis
a. Keracunan akut ringan dan sedang menimbulkan sakit kepala,mual,muntah dan

pengelihatan kabur beratnya keracunan bergantung pada dosis


20

b. Keracunan akut berat menyebabkan bertambah beratnya gejala gejala ini menjadi

sianosis,takipnea,hipotensi dan koma. Ditemukan papiledema dan midriasis.


Asidosis metabolik berat terjadi dan sering bersifat fatal. Urinalis memperlihatkan
kristal dan keton
c. Pemeriksaan osmolalitas dan elektrolit serum sangat membantu kalau toksisitas
zat-zat ini dicurigai.
1) Perhitun gan osmolalitas serum.
a) Osmolalitas serum yang dihitung
= 2 x Na + BUN + glukosa
2,8
18
b) Gap osmonal = osmolalitas yang diukur osmolalitas yang
dihitung
c) Normal = <10 mOsm/kg
d) Solut-solut ini menaikkan gap osmonal,dan berat molekulnya dapat
digunakan untuk memperkirakan konsentrasi dalam darah.
Alkohol
Berat molekul
Etanol
46
Isopropanol
60
Etilen glikol
62
Metanol
32
e) Perkiraan konsentrasi dalam darahmg/dl =
= gap osmol x berat molekul
10
2) Perhitungan elektrolit
(a) Gap anion = Na (CI = HCO3)
(b) Normal = < 12 MEq/L
(c) Gap anion yang naik biasanya disebabkan oleh salah satu dari hal
A =
M=
U =
D =
P =
I =
E =

berikut ( A MUDPIE):
Aspirin
Metanol
Uremia
Ketoasidosis Diabetik
Paraldehid atau Phenformin
Asidosis laktat idiopatik, iron (besi) atau isoniazid
Etanol atau etilen glikol

2.3.2 TERAPI
a. Segera laksanakan prinsip prinsip penatalaksanaan yang di uraikan pada bagian V, dan

tambahkan natrium bikarbonat

(20 g/l) ke dalam cairan bilas. Jangan tambahkan

arang aktif jika alcohol etil oral akan digunakan.


b. Berikan etil akohol, 1 1,5 ml/kg per oral (50%) atau IV (10%) sebagai permulaan dan
0,5 1 ml/kg setiap dua jam sampai selama empat hari. Etil alcohol mengurangi tosisitas
21

methanol dengan menghambat metabolisme methanol menjadi formaldehid dan asam


format. Memeriksa kadar dalam darah sering kali sudah cukup untuk mempertahankan
kadar etenol dalam darah antara 100 dan 200 mg/dl.
c. Lakukan terapi agresif pada asidosis metaboliknya.
d. Monitor dengan cermat kadar glukosa serum pada anak anak karena hipoglikemia yang

di induksi etanol jauh lebih sering terjadi dari pada orang dewasa.
e. Hemodialisis hendaknya dipikirkan jika kadar methanol dalam darah lebih dari 50 mg/100

ml.

BAB 3
PENATALAKSANAAN
3.1 ALGORITME KEJANG AKUT

KEJANG AKUT

ABC
Monitor tanda vital
Pulse oxymetri & monitor ECG
Periksa KGD dgn glucostick
Anamnesa dan Pemfis
Laboratorium
Epilepsi ?
Darah lengkap
Trauma ?
Elektrolit dan Ca
Tanda neurologi fokal ?
AGDA
PASANG
IV
LINE
Infeksi, peny hati / ginjal, narkoba
Fungsi hepar dan ginjal
Toksikologi
Etiologi
Kadar serum OAE
Terapi
TERAPI
ANTIKONVULSAN

22

3.2 ALGORITME PENURUNAN KESADARAN

Jalan napas intubasi bila SKG < 8


Pernapasan pertahankan Saturasi O2 > 80%
Sirkulasi pertahankan tekanan arteri > 70
Pemeriksaan darah untuk glukosa, elektrolit, analisa gas darah,
fungsi hati, fungsi ginjal, fungsi tiroid, darah lengkap, skrining
toksikologi

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Hiperventilasi, manitol 0,5 -1,0 gram/kgBB, bila tekanan
intrakranial meningkat atau herniasi, Tiamin (100 mg IV)
diikuti dengan 25 gram glukosa bila serum glukosa < 60 mg/dl
Nalokson bila overdosis narkotika, diberikan infus intravena
0,8 mg/kgBB/jam. Bilas lambung dengan activeted charcoal bila
dicurigai keracunan obat

23

CT scan / MRI kepala bila dicurigai adanya kelainan struktur


otak. Riwayat lengkap dan pemeriksaan sistemik
Pertimbangkan: EEG, pungsi lumbal, dll

3.3 DIAGNOSIS KERACUNAN

Penatalaksanaan awal pasien koma, kejang, atau perubahan keadaan mental lainnya
hams mengikuti cara pendekatan yang sama tanpa memandang jenis racun penyebab.
Usaha untuk membuat diagnosis toksikologi khusus hanya memperlambat penggunaan
tindakan suporitif yang merupakan bentuk dasar (ABCD) pada pengobatan keracunan.
Pertama, saluran napas (A) harus dibersihkan dan muntah atau beberapa gangguan
lain dan, bila diperlukan, suatu alat yang mengalirkan napas melalui oral atau dengan
memasukkan pipa endotrakea. Pada kebanyakan pasien, penempatan pada posisi sederhana
dalam posisi dekubitus lateral cukup untuk menggerakkan lidah yang kaku (flaccid) keluar
dan saluran napas. Pernapasan (B) yang adekuat harus diuji dengan mengobservasi dan
mengukur gas darah arteri. Pada, pasien dengan insufisiensi pernapasan harus dilakukan
intubasi dan ventilasi mekanik. Sirkulasi (C) yang cukup harus diuji dengan mengukur
denyut nadi, tekanan darah, urin yang keluar, dan evaluasi perfusi perifer. Alat untuk
intravena harus dipasang dan darah diambil untuk penentuan serum glukosa dan untuk
pemeriksaan rutin lainnya.
24

Pada waktu ini, setiap pasien dengan keadaan mental yang berubah harus diberi
larutan dekstrosa pekat (D). Orang dewasa diberikan larutan dekstrosa sebanyak 25 g (50
mL larutan dekstrosa 50% secara intravena. Dekstrosa ini harus diberikan secara rutin,
karena pasien koma akibat hipoglikemia ynag dengan cepat dan ireversibel akan kehilangan
sel-sel otak. Pasien hipoglikemia mungkin tampak sebagai pasien keracunan, dan tidak ada
metode yang cepat dan dapat dipercaya untuk membedakannya dan pasien keracunan. Pada
umumnya pemberian glukosa tidak berbahaya sementara menunggu hasil pemeriksaan gula
darah. Pada waktu ini, pasien alkoholik atau malnutrisi juga harus diberi 100 mg tiamin
intramuskular untuk mencegah timbulnya sindrom Wernicke.
Antagoais narkotik nalokson (Narcan) dapat diberikan dengan dosis 0,4-2 mg
intravena. Nalokson akan memulihkan pemapasan dan depresi sistem saraf pusat akibat
semua jems obat narkotika. Ada manfaatnya untuk mengingat bahwa obat-obat ini
menimbulkan kematian terutama akibat depresi pernapasan; karena itu, bila bantuan
pernapasan dan pembebasan saluran pernapasan telah diberikan, nalokson mungkin tidak
diperlukan lagi. Antagonis benzodiazepin flumazenil bermanfaat pada pasien dengan
kecungaan takar lajak benzodiazepin, tetapi tidak boleh digunakan bila terdapat riwayat
kejang atau takar lajak antidepresan trisiklik, dan obat ini tidak boleh digunakan sebagai
pengganti penatalaksanaan saluran napas secara hati-hati.
Penatalaksanaan keracunan memerlukan satu pengetahuan tentang bagaimana
mengobati hipoventilasi, koma, syok, kejang, dan psikosis. Pertimbangan toksikokinetik
yang mendetil titik banyak artinya bila fungsi-fungsi vital tidak dipertahankan.
Hipoventilasi dan koma memerlukan perhatian khusus pada penatalaksanaan saluran napas.
Gas darah arteri harus sering diperiksa, dan aspirasi isi lambung harus dicegah.
Penatalaksanaan cairan dan elektrolit mungkin kompleks. Monitoring berat badan, tekanan
vena sentral, tekanan yang mendesak kapiler paru, dan gas darah arteri diperlukan untuk
memastikan pemberian cairan mencukupi tetapi tidak berlebihan. Dengan tindakan suportif
yang tepat untuk koma, syok, kejang, dan agitasi, umumnya memberikan harapan hidup
bagi pasien keracunan.
3.4
RIWAYAT DAN PEMERIKSAAN FISIK
3.4.1 Riwayat: Pemyataan dengan mulut tentang jumlah dan jenis obat yang ditelan
dalam kedaruratan toksik mungkin tidak dapat dipercayai. Bahkan anggota keluarga,
25

polisi, dan pemadam kebakaran atau personil paramedis harus ditanyai tintuk
menggambarkan lingkungan di mana kedaruratan toksik ditemukan dan semua alat
suntik, botol-botol kosong, produk rumah tangga, atau obat-obat bebas di sekitar
pasien yang kemungkinan dapat meracuni pasien harus dibawa ke ruang gawat
darurat.
3.4.2 Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan yang cepat harus dilakukan dengan penekanan
pada daerah yang paling mungkin memberikan petunjuk ke arah diagnosis
toksikologi. Hal ml tertnasuk tanda-tanda vital, mata dan mutut, kulit, abdomen, dan
sistem saraf.
1. Tanda-tanda vital- Evaluasi dengan teliti tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut

nadi, pernapasan, dan suhu tubuh) merupakan hal yang esensial dalam kedaruratan
toksikologi. Hipertensi dan takikardia adalah khas pada obat-obat amfetamin,
kokain, fensiklidin, nikotin, dan antimuskarinik. Hipotensi dan bradikardia,
merupakan gambaran karakteristik dan tkar lajak narkotika, kionidin, sedatifhipnotik dan beta bloker. Takikardia dan hipotensi sering terjadi dengan
antidepresan trisiklik, fenotiazin, dan teofihin. Pernapasan yang cepat adalah khas
pada amfetamin dan simpatomimetik lainnya, salisilat, karbon monoksida dan
toksin lain yang menghasilkan asidosis metabolik. Hipertermia dapat disebabkan
karena obat-obat simpatomimetik, antimuskarinik. salisilat dan obat-obat yang
menimbulkan kejang atau kekakuan otot. Hipotermia dapat disebabkan oleh takar
lajak yang berat dengan obat narkotik, fenotiazin, dan obat sedatif, terutama jika
disertai dengan pemaparan pada lingkungan yang dingin atau infus intravena pada
suhu kamar.
2. Mata. Mata merupakan sumber informasi toksikologi yang berharga. Konstriksi
pupil (miosis) adalah khas utituk keracunan narkotika, klonidin, fenotiazin,
insektisida organofosfat dan penghambat kolinesterase lainnya, serta korna yang
dalatn akibat obat sedatif. Dilatasi pupil (midriasis) umumnya terdapat pada
amfetamin, kokain, LSD, atropin, dan obat antirnuskarinik lain. Nistagmus
riorizontal dicirikan pada keracunan dengan fenitoin, alkohol, barbiturat, dan obat
seclatit lain. Adanya nistagmus horizontal dan vertikal memberi kesan yang kuat

26

keracunan fensiklidin. Ptosis dan oftalmoplegia merupakan gambaran karakteristik


dari botulinum.
3. Mulut. Mulut dapat memperlihatkan tanda-tanda luka bakar akibat zat-zat korosif.
atau jelaga dan inhalasi asap. Bau yang kaas dan alkohol, pe(arut hidrokarbon.
Paraldehid. atau amonia mungkin perlu dicatat. Keracunan dengan sianida dapat
dikenali oleh beberapa pemeiriksa sebagai bau seperti bitter almonds. Arsen dan
organofosfat telah dilaporkan menghasilkan bau seperti bau bawang putih.
4. Kulit. Kulit sering tampak merah, panas, dan kering pada keracunan dengan
atropin dan antim.uskarinik lain. Keringat yang herlebihan diternukan pada
keracunan dengan organofosfat, nikotin, dan ohat-obat simpatomimetik. Sianosis
dapat disehabkan oleh hipoksemia atau methemoglohinemia. Ikterus dapat
memheri kesan adanya nekrosis hati akilat keracunan asetaminofen atau jamur A
manila phailoides.
5. Abdomen. Pemeriksaan abdomen dapat menunjukkan ileus, yang khas pada
keracunan dengan antimuskarinik, narkotik, dan obat sedatif. Bunyi usus yang
hiperaktif, kramp perut, dan diare adalah urnum terjadi pada keracunan dengan
organofosfat, besi, arsen, teofihin, dan A.phalloides.
6. Sistem saraf. Pemeriksaan neurologik yang teliti adalah esensial. Kejang fokal

atau defisit motorik lebih menggambarkan lesi struktural (seperti perdarahan


intrakranial akibat trauma) daripada ensefalopati toksik atau metabolik.
Nistagmus, disartria, dan ataksia adalah khas pada keracunan fenitoin, alkohol,
barbiturat, dan keracunan sedatif lainnya. Kekakuan dan hiperaktivitas otot umum
ditemukan pada metakualon, haloperidol, fensiklidin (PCP), dan obat-obat
simpatomimetik. Kejang sering disehabkan oleh takar lajak antidepresan trisiktik,
teotilin, isoniazid, dan fenotiazin. Koma ringan tanpa refleks dan bahkan EEG
isoelektrik mungkin terlihat pada koma yang dalam karena obat narkotika dan
sedatif-hipnotik, dan mungkin menyerupai kematian otak.
3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji Laboratoriurn rutin yang bermanfaat dalam diagnosis toksikologi adalah sebagai
berikut: .

27

3.5.1

Gas Darah Arteri: Hipoventilasi akan menyebabkan peningkatan PCO2

(hiperkapnia). PO2 dapat rendah dengan aspirasi pneumonia atau obat-obat yang
menginduksi edema paru. Oksigenisasi jaringan . yang kurang akibat hipoksia, hipotensi.
atau keracunan sianida akan menghasilkan asidosis metabolik. PO2 hanya mengukur
oksigen yang larut dalam plasma dan bukan merupakan total oksigen dalam darah. karena
itu pada keracunan karbon monoksida mungkin PO2 tampak normal meskipun ada
defisiensi oksihemoelobin yang nyata dalam darah.
3.5.2

Elektrolit: Natrium. kalium. kloiida, dan bikarbonat harus diukur. Anion

gap dihitung dengan mengurangi anion dan kation-kation:


Anion gap = (NA+ +K+) - (HCO3- + CI-)
Dalam keadaan normal, Anion gap tidak lebih besar dari 12- 16 meq/L. Anion gap
yang Iebih besar dari yang diperkirakan, disebabkan oleh adanya anion yang tidak terukur
yang menyertai asidosis metabolik. Sebagai contoh, hal ini disebabkan oleh ketoasidosis
diahetik, gagal ginjal, atau asidosis laktat yang diinduksi syok Ubat yang dapat
menginduksi asidosis metabolik dengan peningkatan Anion gap termasuk aspirin, metanol,
etilen glikol. isoniazid, dan besi.
Perubahan dalam tingkat kadar serum kalium dapat membahayakan karena ini dapat
menyebabkan aritmia jantung. Obat yang dapat menyebabkan hiperkalemia meskipun
dengan fungsi ginjal normal termasuk kalium sendiri, penghambat adrenoseptor-beta,
glikosicia digitalis, fluorida, dan litium. Obat-obat yang berkaitan dengan hipokalemia
termasuk barium, agonis beta-adrenoseptor. kafein. teofihin, diuretik, dan toluen.
3.5.3
Uji Fungsi Ginjal: Beberapa toksin mempunyai efek nefrotoksik; dalam
kasus lain, gagal ginjal merupakan akihat syok, koagulasi intravaskular yang menyebar
(disseminated irrtravascular coagulation, DTC), atau mioglohinuria. Tingkat kadar
nitrogen urea darah dan kreatinin harus diukur dan dilakukan urinalisis.
3.5.4

Elektrokardiogram: Pelebaran lama kompleks QRS yang lebih besar dari

0,1 detik adalah khas untuk takar lajak antidepresan trisiktik dan kuinidin.
3.5.5

Gambaran sinar-X: fotopolos abdomen mungkin berguna, karena

beberapa tablet, khususnya besi dan kalium, dapat berbentuk radiopaque. Foto toraks dapat
menunjukkan pneumonia aspirasi, pneumonia hidrokarbon, atau edema paru. Bila dicurigai
adanya trauma kapitis, dianjurkan untuk pemeriksaan CT-scan.
28

BAB 4
PENUTUP
4.1

SIMPULAN
Kata racun merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan dan mengambarkan
berbagai bahan zat kimia yang dengan jelas berbahaya bagi badan. Kata racun toxic
adalah bersaral dari bahasa Yunani, yaitu dari akar kata tox, dimana dalam bahasa Yunani
berarti panah. Dimana panah pada saat itu digunakan sebagai senjata dalam peperangan,
yang selalu pada anak panahnya terdapat racun.
Banyak gejala dapat timbul sebagai akibat dari keracunan, termasuk muntah, pucat,
kejang, koma, somnolen, luka bakar di mulut, demam, hipereksitabilitas, dan diare. Temuan
fisik yang mengarah ke keracunan antara lain adalah status kesadaran terganggu, pupil

29

konstriksi, dilatasi pupil, sianosis, bau jaringan yang abnormal, dan keringat meningkat.
Urine mungkin berubah warna dan kulit terwarnai lain.

DAFTAR PUSTAKA
Bresier, M. J. (2007). Manual Kedokteran Darurat Edisi 6. Jakarta: Egc.
Yazid, Dimyati. 2006. Algoritme Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus pada

Anak.file:///C:/Users/User
Pc/Downloads/mk_pen_slide_algoritme_tatalaksana_kejang_akut_dan_status_epileptikus_pada_
anak.pdf rabu, 28 oktober 2016 13.52)
http://www2.pom.go.id/public/siker/desc/produk/racunsalahmeta.pdf (sabtu, 1 oktober 2016 16.30)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39311/4/Chapter%20ll.pdf (rabu, 19 oktober 2016
07.30)
jurnal Indonesia (jumat, 21 oktober 2016 8.30) : http://perdici.org/wp-content/uploads/mkti/2012-0202/mkti2012-0202-109115.pdf
http://fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2016/01/Buku-PKB-61.pdf (jumat, 21 oktober 2016 7.25)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38703/4/Chapter%20II.pdf (sabtu, 22 oktober 2016
4.25)

30

Anda mungkin juga menyukai