Anda di halaman 1dari 16

ETIKA PROFESI AMALAN PEROBATAN

Oleh
Sofwan dahlan

PROFESI kedokteran atau profesi amalan perobatan merupakan sebuah profesi


yang luhur (noble profession), sebab dalam pengabdiannya, lebih
mengutamakan kepentingan masyarakat (altruistic). Oleh karena itu salah
seorang penulis masalah-masalah etika dari Edinburgh (1772) menganjurkan
agar profesi yang luhur tersebut dipercayakan hanya kepada orang-orang yang
terhormat, sopan, dan memiliki jiwa paternalistik.
Profesi itu sendiri menurut Charaka Samhita, seorang dokter pengembara
dari benua India yang hidup beberapa ratus tahun sebelum Masehi, merupakan
pekerjaan yang dicirikan memiliki:
1. Knowledge;
2. Cleverness;
3. Devotion; dan
4. Purity (physic and mind).
Knowledge merupakan ciri terpenting dari profesi disebabkan knowledge
inilah yang akan membimbing para profesional (seperti: dokter, dokter gigi,
perawat, dan bidan) menuju ke suatu tingkat kompetensi dan norma tertentu
sehingga mereka mampu melaksanakan tugas dan pengabdiannya dengan baik
dan benar. Sudah tentu knowledge yang dipersyaratkan pada zaman Charaka
Samhita adalah pengetahuan mengenai tetumbuhan (herbal) yang berkhasiat
sebagai obat.
Cleverness merupakan ciri penting lainnya dari profesi di bidang amalan
perobatan sebab dalam mengatasi berbagai macam problem kesehatan
diperlukan kecerdasan, ketrampilan, dan kecekatan.
Devotion juga merupakan ciri profesi yang tidak kalah penting, dan ia
diperlukan sebab dengan jiwa pengabdian yang tulus atas dasar kemanusiaan
maka para profesional di bidang amalan perobatan akan memperoleh arahan
dalam melaksanakan pengabdiannya.

1
Purity (physic and mind) merupakan ciri terakhir yang dipersyaratkan
dalam profesi, sebab dengan penampilan fisik yang bersih (yang melambangkan
kesucian) disertai jiwa yang jernih pula maka pasien dan masyarakat akan
menaruh kepercayaan.
Menurut Potter dan Perry (2001), profesi merupakan sebuah pekerjaan
dengan ciri sebagai berikut:
1. Memerlukan pendidikan berkelanjutan (extended education); yaitu
keharusan belajar terus-menerus agar dapat mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (obat, metode,
teknologi, atau sistem).
2. Memiliki cabang ilmu (body of knowledge); yaitu ilmu pengetahuan
yang akan menuntun para pengamal perobatan menuju ke tingkat
kompetensi dan norma tertentu sehingga mampu melaksanakan
pekerjaannya dengan baik dan benar;
3. Memberikan layanan khas (specific service); sebab yang dilayani
adalah manusia yang nota bene bukan sekedar kumpulan angka-
angka, tetapi merupakan manusia yang memiliki harkat dan martabat,
hak-hak (termasuk hak asasi manusia), serta memiliki nilai dan
kebutuhan sendiri-sendiri.
4. Memiliki kemandirian (autonomy); yaitu kebebasan dalam bertindak,
yang meliputi kebebasan dalam pembuatan keputusan (decision) dan
pelaksanaan keputusannya (execution) ketika melakukan sesuatu
amalan perobatan.
5. Memiliki kode etik (a code of ethics for practice); yaitu daftar
ketentuan tertulis berisi pedoman (written list of moral rules) yang
akan membimbing dan sekaligus mengawal prilaku profesional di
bidang amalan perobatan serta dapat dijadikan acuan praktis dalam
menyelesaikan problem etika.
Intinya, profesi dibedakan dari okupasi (pekerjaan pada umumnya)
disebabkan ia memiliki ciri khas. Jika okupasi tidak memerlukan persyaratan
khusus maka profesi mensyaratkan adanya kompetensi (the condition of being

2
capable atau the capacity to perform task and role) agar pemangku profesi
dapat melaksanakan peran, tugas, dan tanggungjawabnya dengan baik dan
benar. Dalam kaitannya dengan profesi di bidang amalan perobatan,
kompetensi mutlak dipersyaratkan disebabkan profesi ini bukan merupakan hak
alami (natural right) yang boleh diamalkan oleh siapa saja. Hak melakukan
amalan perobatan lebih merupakan hak istimewa (privilege) yang diberikan
hanya kepada seseorang yang telah menguasai kompetensi (adequate minimum
level of competence).
. Untuk dapat dikatakan kompeten di bidang amalan perobatan maka
orang harus telah menguasai kelima aspek kompetensi, yaitu:
1. Medical knowledge, yaitu menguasai ilmu kedokteran;
2. Clinical skill, yaitu menguasai ketrampilan klinik;
3. Clinical judgement, yaitu memiliki kemampuan membuat keputusan
klinik atau kebijakan klinik;
4. Humanistic quality, yaitu mampu memperlakukan setiap pesakit dan
pasien secara manusiawi; dan
5. Communication skill, yaitu menguasai ketrampilan berkomunikasi.
Dengan menguasai kelima aspek itu maka kedudukan pengamal
perobatan menjadi lebih superior. Sementara pasien, yang mendambakan
problem kesehatannya teratasi, umumnya tidak memahami ilmu kedokteran dan
oleh karena itu mereka termasuk kelompok rentan (vulnerable group) yang bisa
saja diombang-ambingkan atau dimanfaatkan oleh pengamal perobatan yang
tidak betanggungjawab. Untuk mencegah agar profesional tidak memanfaatkan
superiotasnya secara tidak patut dan pasien juga terlindungi kepentingan dan
nilai-nilainya maka kepada setiap pengamal perobatan perlu dibebani kewajiban
moral, etika, dan hukum.
Guna memastikan agar para profesional mematuhi nilai dan norma dalam
profesi maka apa yang telah dirintis oleh pengikut Pythagoras perlu dilestarikan
dengan mewajibkan kepada setiap lulusan dokter untuk mengucapkan sumpah
atau janji sebelum menjadi seorang profesional (pengemban profesi amalan
perobatan). Sumpah profesi (seperti Sumpah Dokter, Sumpah Perawat, atau

3
Sumpah Bidan) pada hakekatnya merupakan janji kepada masyarakat (social
contract) yang diucapkan atas nama Tuhan Yang Maha Esa, sehingga
konsekuensinya, wajib dilaksanakan guna menjaga hubungan baik dengan Sang
Pencipta (hablum minallah) dan masyarakat (hablum minannas).
Jadi etika profesi (professional ethics) adalah kaidah etika berlandaskan
moral yang berlaku bagi setiap pemangku profesi. Ia berfungsi mengawal prilaku
profesional agar tidak keluar dari nilai-nilai moralitas dan sekaligus akan
memperindah peran mereka. Sama halnya dengan etika pada umumnya, etika
profesi juga merupakan kaidah yang keberlakuannya tidak dipaksakan dan
demikian pula sanksinya. Oleh sebab itulah pelaksanaan etika profesi menuntut
hati-nurani berdasarkan bisikan dari dalam (inner voice).

CAKUPAN ETIKA PROFESI


Berbeda dengan hukum yang memberikan hak dan kewajiban secara seimbang,
baik kepada dokter maupun pasien, maka etika (termasuk Etika Profesi) hanya
memberikan kewajiban tanpa disertai hak (misalnya: kewajiban dokter untuk
menghormati hak-hak pasien).
Adapun materi etika profesi (professional ethics) di bidang amalan
perobatan umumnya mencakup lima aspek, yaitu:
1. Kewajiban terhadap pesakit yang membutuhkan layanan medik
(people who require medical care);
2. Kewajiban terhadap pasien atau klien (yaitu pesakit yang telah
menjalin hubungan terapetik dengan health care provider);
3. Kewajiban terhadap tim atau rekan sejawat (co-workers or health care
team);
4. Kewajiban terhadap masyarakat (social context); dan
5. Kewajiban terhadap profesi itu sendiri (profession).
Etika terhadap pesakit mewajibkan kepada setiap profesional di bidang
amalan perobatan untuk senantiasa bersedia menerima kedatangan setiap
pesakit yang hendak meminta pertolongan dengan rasa hormat serta tidak

4
membeda-bedakan mereka berdasarkan warna kulit, etnis, kebangsaan, agama,
kepercayaan, tingkat sosial ekonomi, dan pandangan politiknya.
Etika terhadap pasien (yang keberlakuannya setelah pesakit menjalin
hubungan terapetik dengan healthcare provider) mewajibkan kepada setiap
pemangku profesi untuk melakukan tindakan yang benar sesuai standar
(standard of care), menjunjung tinggi hak-hak pasien (termasuk HAM),
memperhatikan kebutuhan dan nilai yang berharga baginya, menghormati
otonomi pasien untuk membuat keputusan atas layanan kesehatan yang akan
diterimanya, dan sebagainya.
Etika terhadap tim dan rekan sejawatnya mewajibkan agar setiap
profesional di bidang amalan perobatan untuk senantiasa bersedia meluruskan
kesalahan yang mungkin dibuat oleh anggota tim atau rekan sejawatnya, tidak
saling menjatuhkan di hadapan pasien, tidak jegal-menjegal, tidak saling
menyerobot pasien, dan tidak menafikan jasa mereka.
Etika terhadap masyarakat mewajibkan kepada setiap profesional agar
selalu bersikap jujur, berlaku adil, tidak mengumumkan atau menawarkan
sesuatu metode pengobatan yang belum teruji kebenarannya, tidak curang, dan
tidak menciderai kepercayaan masyarakat.
Etika terhadap profesinya sendiri menghendaki agar setiap pengamal
perobatan selalu meningkatkan kompetensinya melalui berbagai macam cara
(seperti: pendidikan berkelanjutan, lokakarya, seminar, atau simposium),
konsisten menggunakan ilmu pengetahuan yang menjadi landasan profesi serta
tidak menggunakan cara-cara lain diluar ilmu pengetahuan yang telah diajarkan
(misalnya: melakukan upaya diagnosis dengan keris atau mengobati penyakit
dengan membakar kemenyan).
Sudah tentu tidak semua prilaku spesifik dalam profesi yang berkaitan
dengan kelima aspek tersebut diatas dapat dirumuskan dalam kode etik,
mengingat kode etik hanyalah merupakan daftar ketentuan tertulis dari moral
rules. Sementara moral rules itu sendiri baru dapat dirumuskan manakala prilaku
spesifik hampir selalu benar atau hampir selalu salah. Pada kenyataannya,
dalam profesi di bidang amalan perobatan banyak sekali dijumpai hal-hal yang

5
tidak dapat dipastikan moral rules-nya secara hitam-putih. Oleh sebab itu moral
standards dan moral principles harus dijadikan acuan berikutnya manakala kode
etik tidak mampu menjawab isu-isu etika.
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang hanya berisi 21 pasal
mustahil akan mampu menyelesaikan seluruh isu atau problem etika di bidang
amalan perobatan.

SEJARAH KODE ETIK


Sejarah kode etik kedokteran tidak dapat dipisahkan dari sejarah ilmu
kedokteran Mesir, yang sudah maju sejak 2000 tahun sebelum Masehi. Pada era
itu konsep layanan kesehatan nasional sudah mulai dikembangkan, dimana
penderita tidak ditarik bayaran oleh petugas kesehatan yang dibiayai oleh
masyarakat. Dari papirus yang ditemukan membuktikan bahwa negeri itu sudah
memiliki undang-undang yang cukup bagus. Peraturan ketat diberlakukan bagi
pengobatan yang bersifat eksperimen. Tidak ada hukuman bagi dokter
disebabkan kegagalannya selama buku standar diikuti.
Pada era yang lebih kurang bersamaan, ilmu kedokteran juga sudah maju
di Babylonia, yaitu ketika diperintah oleh raja Hammurabi (2200 SM). Bahkan
pada zaman itu praktek pembedahan sudah mulai dikembangkan. Sistem
imbalan jasa dokter pun diatur berdasarkan hasil pengobatan, status pasien,
serta kemampuan membayarnya. Justru hukum kesehatan yang pertama
sebenarnya berasal dari negeri ini, bukan dari Mesir.
Dalam Kode Hammurabi yang sangat terkenal dapat dilihat dengan jelas
adanya beberapa ketentuan yang mengatur kelalaian dokter beserta daftar
hukumannya, mulai dari hukuman membayar denda berupa kepingan emas
sampai pada hukuman potong tangan yang mengerikan (paragraf 218). Masalah
perdata yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan pun sudah banyak
dirumuskan. Dalam paragraf 219 misalnya, dapat dilihat adanya ketentuan yang
mengharuskan dokter mengganti budak belian yang meninggal dunia karena
kelalaiannya.

6
Intinya dalam Kode Hammurabi, selain hukum, juga dapat dijumpai
kaidah-kaidah mengenai moral dan etika.
Era selanjutnya adalah era dimana ilmu kedokteran mengalami
sekularisasi selepas dibawa dari Mesir dan Babylonia ke Yunani sekitar 500
tahun sebelum Masehi. Di negeri gudangnya para filosof itu pengaruh kuat
pendeta mulai meluntur dan kemudian ilmu kedokteran diambil alih oleh para
filosof. Melalui pemikiran logis, pengamatan dan deduksi maka para filosof
berhasil merubah praktek kedokteran yang berbau mistik menjadi lebih rasional.
Sekolah kedokteran pun dibangun dan kode intra-profesional juga dirumuskan.
Salah seorang filosof Yunani yang berhasil meletakkan landasan bagi sumpah
dokter dan etika kedokteran adalah Hippocrates.
Sekurang-kurangnya ada lima buah pemikiran penting dari beliau yang
perlu diketengahkan disini, yaitu:
1. Perlunya kewajiban melindungi masyarakat dari penipuan dan praktek
kedokteran yang bersifat coba-coba.
2. Perlunya kewajiban untuk berusaha semaksimal mungkin bagi
kesembuhan pasien serta adanya larangan untuk melakukan hal-hal
yang merugikan.
3. Perlunya kewajiban menghormati makhluk insani melalui pelarangan
terhadap euthanasia dan aborsi.
4. Perlunya meletakkan hubungan terapetik sebagai hubungan dimana
dokter dilarang mengambil keuntungan.
5. Perlunya kewajiban bagi pengamal perobatan untuk memegang teguh
rahasia pasien.
Bersama pemikiran Pythagoras, pemikiran Hyppocrates dirangkum dalam
sebuah sumpah, yaitu Sumpah Hippocrates yang berisi antara lain kesanggupan
untuk:
a. merawat pesakit dengan sebaik-baiknya;
b. menjaga rahasia pribadi pesakit yang berhubungan dengan
penyakitnya;

7
c. mengajar ilmu kedokteran dan rahasia pengobatan kepada generasi
penerus;
d. memberikan panduan serta nasehat tentang makanan yang
seimbang;
e. menyadarkan pesakit tentang bahaya yang berpunca dari
penyakitnya;
f. tidak dibenarkan melakukan euthanasia;
g. memberikan pelajaran kepada para siswanya tanpa memungut
bayaran;
h. tidak dibenarkan melakukan pengguguran kandungan;
i. tidak dibenarkan membuat hubungan yang menyulitkan pesakit; dan
j. tidak menggunakan alat-alat tajam untuk melakukan pembedahan.
Pada awalnya sumpah tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan
kembali kepercayaan masyarakat yang sudah mengalami degradasi disebabkan
prilaku para dokter yang lebih suka melakukan euthanasia dengan memberikan
racun ketimbang berupaya dengan sekuat tenaga untuk menyembuhkan
penyakit pasien. Aborsi, penipuan dan pembocoran rahasia pasien juga banyak
dilakukan oleh para dokter pada masa-masa itu.
Adalah pengikut-pengikut Pythagoras yang kemudian berinisiatif merebut
kembali kepercayaan masayarakat yang telah meluntur dengan mengucapkan
sumpah (bahasa Latin: professio) atas nama Dewa-Dewi pelindung manusia,
sehingga tidaklah salah apabila ada sementara ahli menamakan sumpah
tersebut sebagai Manifesto Pythagorean serta tidak salah pula apabila sumpah
itu disebut Sumpah Hipporates karena beliau memang banyak memberikan
kontribusinya, disamping penamaan tersebut untuk memberikan penghormatan
kepada beliau sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Modern.
Meski sekarang butir-butir dari Sumpah Hippocrates tidak lagi dipatuhi
secara utuh, namun diakui bahwa pengembangan etika profesi di bidang amalan
perobatan bertolak dari sumpah tersebut.
Dalam sidangnya di Geneva (Switzerland) pada tahun 1947, Persatuan
Dokter Seluruh Dunia (World Medical Association) memperbaharui bunyi sumpah

8
dokter tersebut menjadi lebih sempurna lagi sehingga dapat dijadikan acuan bagi
banyak negara. Berkaitan dengan rahasia pasien misalnya, kalimat ..I will not
divulge (saya tidak akan membuka rahasia). diganti menjadi ..I will respect
the secrets (saya akan menghormati rahasia). sehingga dengan penggantian
itu terbuka peluang untuk ditafsirkan sebab dengan pernyataan I will not
divulge tertutup sudah peluang bagi dokter untuk dapat membuka rahasia
pasien meski dengan alasan yang patut sekalipun.
Pada tahun 1949, PBB mengeluarkan pernyataan tentang Hak Asasi
Manusia (the United Nations Universal Declaration of Human Rights) yang
diterima secara luas untuk dijadikan acuan dalam penetapan kebijakan sosial,
politik, ekonomi, dan hukum. Mengacu pada bagian-bagian tertentu dari hak
asasi inilah etika profesi di bidang amalan perobatan dapat lebih dikembangkan,
disamping hak asasi itu sendiri memang merupakan dasar dari prinsip-prinsip
etika (fundamental ethical principles).
Hak asasi itu sendiri dibedakan pengertiannya dari hak-hak lain atas
dasar dua alasan, yaitu:
1. Hak asasi memiliki ciri-ciri:
a. melekat pada diri setiap manusia;
b. tidak dapat dicabut atau dipertukarkan;
c. berlaku sama untuk semua individu.
2. Kewajiban menghormati hak asasi beserta penjabarannya lebih
diamanatkan kepada negara dan otoritas publik daripada kepada
individu-individu.
Mengenai butir-butir dari hak asasi manusia yang terkait dengan bidang
kedokteran antara lain:
1. Hak untuk hidup (the right to life).
2. Bebas dari diskriminasi (freedom from discrimination).
3. Bebas dari penyiksaan dan kekejaman (freedom from torture and
cruel).
4. Bebas dari pengobatan yang tidak manusiawi atau rendah mutunya
(freedom from inhuman or degrading treatment).

9
5. Bebas berpendapat dan mengungkapkan perasaannya (freedom of
opinion and expression).
6. Hak yang sama untuk mengakses ke pelayanan publik (the right to
equal access to public services).
7. Hak memperoleh layanan kesehatan (the right to medical care).
Malangnya, tidak semua warga dunia memahami hak asasi yang
berkaitan dengan layanan di bidang amalan kesehatan disebabkan kebodohan
dan kemiskinannya. Oleh karena itu pada tahun 1949 Persatuan Dokter Sedunia
(World Medical Association) merasa perlu merumuskan suatu kode etik guna
memastikan agar tatasusila terjaga dengan baik dan citra profesi yang mulia
tidak terjejas.
Intinya, kepada setiap profesional di bidang amalan perobatan diwajibkan
antara lain; tidak memanfaatkan superiotasnya bagi mendapatkan keuntungan
finansial semata, tidak berkongsi dengan perusahaan farmasi atau perusahaan
lain yang dapat membelenggu kebebasan profesional dalam mengambil
keputusan, serta tidak melakukan aborsi kecuali untuk kepentingan perobatan
(seperti menyelamatkan nyawa ibu hamil).
Selanjutnya pada tahun 1970 Persatuan Dokter Sedunia mengeluarkan
Deklarasi Oslo yang menggariskan bahwa aborsi dapat dilakukan sekiranya
faedahnya (benefit) lebih besar ketimbang risikonya serta telah mendapat restu
dari masyarakat setempat. Deklarasi tersebut menyebabkan Sumpah
Hippocrates sebagai lambang etika perobatan terkikis menyusul sikap tokoh-
tokoh masyarakat yang berubah mengikut angin perubahan.
Selepas perang dunia kedua, penelitian medis yang tidak manusiawi
dianggap sebagai sebuah kejahatan perang oleh pengadilan di Nurenberg.
Namun demikian, menyadari pentingnya penelitian medis bagi kemaslahatan
masyarakat dan keterlibatan manusia sebagai subjek penelitian tidak bisa
dihindari samasekali maka pengadilan Nurenberg pun merasa perlu memberikan
pedoman umum (general rules) bagi pelaksanaan penelitian medis agar tidak
melanggar kaidah etika dan hukum.

10
Pedoman umum dalam Nurenberg Code (1974) tersebut dapat diringkas
menjadi lima poin, yaitu:
1. Penelitian medis pada subjek manusia (human subjects) memerlukan
persetujuan sukarela (voluntary consent) dari yang bersangkutan.
2. Persetujuan harus diperoleh dari subjek secara bebas berdasarkan
keinginannya sendiri, tidak boleh ada paksaan, tipu-daya atau intimidasi.
Persetujuan tersebut hanya bisa diberikan setelah subjek diberi informasi
mengenai tujuan, metode dan risiko terduga (foreseeable risks) dari
penelitian tersebut.
3. Penelitian dapat dibenarkan jika eksperimen terhadap binatang telah
dilakukan.
4. Kemanfaatan atau keuntungan (benefits) harus lebih besar daripada risiko
terduga (foreseeable risks) dalam kaitannya dengan kontribusi kepada
masyarakat.
5. Subjek penelitian harus diberi kebebasan untuk sewaktu-waktu bisa
menghentikan keikut-sertaannya ketika penelitian sedang berlangsung.
Spirit dari Nurenberg Code sebenarnya telah tercermin dalam Deklarasi
Helsinki (1964), yang secara jelas mensyaratkan adanya informed consent dari
subjek penelitian biomedis.
Mengenai pemanfaatan temuan dari penelitian yang diperoleh di
laboratorium untuk pengembangan pengetahuan ilmiah (humans advances
scientific knowledge) dianggap sangat penting bagi penyelamatan umat manusia
dari kesakitan dan penderitaan. Kendati penting, kontribusi kepada pengetahuan
ilmiah dan kontribusi kepada masyarakat tidak seharusnya lebih diutamakan
daripada untuk kesejahteraan dan kemanfaatan (benefit) bagi individu peserta
penelitian (individual test subject).
Deklarasi Helsinki tersebut terus-menerus dilakukan revisi dan perbaikan
seperlunya, dan yang paling akhir dilakukan amandemen di kota Seoul dalam
tahun 2008.
Dibawah naungan Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 1994
dilakukanlah perundingan di kota Amsterdam mengenai hak-hak pasien

11
(European Consultation on the Rifhts of Patients) yang dihadiri oleh 36 negara
anggota dari seluruh Eropa. Perundingan tersebut menghasilkan Deklarasi
Amsterdam guna lebih memantapkan lagi pentingnya menghormati hak-hak
pasien, utamanya hak pasien untuk membuat keputusan sehingga setiap upaya
medik yang dilakukan oleh dokter benar-benar merupakan hasil dari keputusan
bersama (a shared decision-making).

KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA


Selepas World Medical Association mengeluarkan the WMA Ethics Manual maka
persatuan dokter diberbagai negara di dunia merespon secara positif dengan
menyusun kode etik kedokteran di negaranya masing-masing dengan mengacu
pada manual tersebut. Bahkan kemudian dijadikan bagian dari kurikulum
pendidikan dokter. Sejak saat itulah proses pengembangan the basic teaching
on medical ethics dimulai.
Dalam Musyawarah Kerja Susila Kedokteran yang pertama di Jakarta
tahun 1969 disusunlah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan dalam Musyawarah
yang kedua di Jakarta pada tahun 1983 dilakukan penyempurnaan. Dengan SK
Menteri Kesehatan No. 434/1983 ditetapkan sebagai Kode Etik Kedokteran
Indonesia yang berlaku bagi semua dokter di Indonesia. Selanjutnya melalui
Rapat Kerja Nasional PB IDI di Semarang tahun 1993 Kode Etik Kedokteran
Indonesia lebih disempurnakan lagi.
Kode Etik Kedokteran Indonesia yang telah disempurnakan tersebut 17
pasal yang dikelompokkan menjadi:
1. Kewajiban umum;
2. Kewajiban terhadap pasien;
3. Kewajiban terhadap teman sejawat;
4. Kewajiban terhadap diri sendiri; dan
5. Penutup.
Melalui proses panjang dan berliku pada akhirnya Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia menetapkan berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia yang
baru, yang dikelompokkan menjadi:

12
1. Kewajiban Umum;
2. Kewajiban Dokter Terhadap Pasien;
3. Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat; dan
4. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri.
Dari keempat kelompok tersebut kemudian dirumuskan menjadi 21 pasal,
yang bunyi lengakapnya adalah sebagai berikut:
1. Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dan atau janji dokter.
2. Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan
profesional secara independen, dan mempertahankan perilaku
profesional dalam ukuran yang tertinggi.
3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak
boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya
kebebasan dan kemandirian profesi.
4. Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri.
5. Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya
tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/
keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan
pasien tersebut.
6. Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan
atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru
yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.
7. Seorang dokter wajib hanya memberi surat keterangan dan pendapat
yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
8. Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan
pelayanan secara kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan
penghormatan atas martabat manusia.

13
9. Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan
pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan
sejawatnya pada saat menangani pasien dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan.
10. Seorang dokter wajib menghormati hak-hak pasien, teman
sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya, serta wajib menjaga
kepercayaan pasien.
11. Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya
melindungi hidup makhluk insani.
12. Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter wajib memperhatikan
keseluruhan aspek pelayanan kesehatan (promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif ), baik fisik maupun psiko-sosial-kultural pasiennya
serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi sejati masyarakat.
13. Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat lintas sektoral
di bidang kesehatan, bidang lainnya dan masyarakat, wajib saling
menghormati.
14. Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan
seluruh keilmuan dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien,
yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan, atas persetujuan pasien/ keluarganya, ia wajib merujuk
pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu.
15. Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar
senantiasa dapat berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya,
termasuk dalam beribadat dan atau penyelesaian masalah pribadi
lainnya.
16. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal
dunia.

14
17. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
bersedia dan mampu memberikannya.
18. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia
sendiri ingin diperlakukan.
19. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur
yang etis.
20. Setiap dokter wajib selalu memelihara kesehatannya, supaya dapat
bekerja dengan baik.
21. Setiap dokter wajib senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran/ kesehatan.
Agar lebih mudah difahami dan diaplikasikan oleh setiap dokter yang
bekerja sebagai profesional maka dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia yang
baru telah diberikan penjelasan pasal demi pasal. Namun sayangnya, kode etik
tersebut hanya merumuskan kewajiban dokter terhadap pasien belaka dan
belum merumuskan tentang kewajibannya terhadap pesakit yang datang untuk
berobat. Padahal kewajiban dokter sudah muncul ketika pesakit datang; antara
lain wajib menerima mereka dengan rasa hormat sebagai insan bermartabat dan
tidak boleh membeda-bedakan mereka berdasarkan latar-belakang politik, etnis,
sosial, kesukuan, dan agama.
Perlu ditambahkan bahwa kewajiban etik dan kewajiban hukum
merupakan dua hal yang berbeda. Kewajiban etik sudah muncul sejak pesakit
datang dan kewajiban hukum baru muncul setelah pesakit menjalin hubungan
terapetik dengan dokter. Maknanya, status hukum pesakit berubah menjadi
pasien (client) setelah dokter bersetuju untuk mengobati pesakit yang datang
mengingat hubungan terapetik dijalin diatas asas konsensual. Jika dokter tidak
bersetuju menerima pesakit yang datang berobat maka hubungan terapetik tidak
terjadi dan dengan sendirinya kewajiban hukum tidak akan ada.
Intinya, dari sisi etika dokter tidak boleh menolak pasien tetapi dari sisi
hukum dokter boleh menolak. Bahkan menurut Morris dan Moritz dalam bukunya

15
"Doctor and Patient and the Law", dokter boleh menolak setiap orang sebagai
pasien meskipun tidak ada dokter lain (he may arbitrarily refuse to accept any
person as a patient, even though no other physician is available).

SEMOGA BERMANFAAT

16

Anda mungkin juga menyukai