PROPOSAL
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK
DENGAN KEKURANGAN ENERGI PROTEIN (KEP)
DI RW IV, KELURAHAN KEMAYORAN, KECAMATAN
KREMBANGAN
SURABAYA
Oleh:
Oleh:
BAB 1
PEDAHULUAN
badan balita massal terdapat satu anak dengan gizi buruk dan 12 anak kurang gizi. Jika dibandingkan dengan
Tahun 2011 yang terdapat 15 anak kurang gizi dan pada tahun 2012 terdapat 10 anak kurang gizi, dari tahun 2011 ke
tahun 2012 sudah ada penurunan, namun angka kurang gizi kembali meningkat pada tahun 2013. Berdasarkan data
tersebut, peningkatan angka kurang gizi tersebut terjadi karena anak yang gizinya sudah mulai membaik dibawa
keluarganya kembali ke daerah asal dan saat kembali ke Surabaya gizinya tidak terpenuhi. Sebagian besar kasus
anak yang mengalami kurang gizi dikarenakan ketidaktahuan orang tua untuk pemenuhan kebutuhan gizi pada anak
dan karena perekonomian keluarga yang tak mencukupi untuk memenuhi asupan anaknya.
Kekurangan Energi Protein (KEP) dapat terjadi secara primer maupun
sekunder. Kekurangan Energi Protein (KEP) primer disebabkan oleh faktor sosial
atau ekonomi yang mengakibatkan kekurangan makanan, namun pada era
globalisasi ini masyarakat perekonomian menengah ke atas juga dapat
mengalami kurang gizi akibat pembiasaan (pola hidup) anak oleh keluarga
untuk mengkonsumsi makanan ringan (junk food)yang merupakan makanan
yang kurang bernutrisi. Kekurangan Energi Protein (KEP) sekunder terjadi pada
anak dengan berbagai keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan
kalori (misalnya, adanya infeksi, trauma, dan penyakit kanker), peningkatan
kehilangan kalori (misalnya, malabsorpsi/gangguan penyerapan nutrien dari
saluran cerna), penurunan asupan kalori (misalnya, tidak nafsu makan
(anorexia), kanker, pembatasan asupan oral, dan faktor sosial), atau kombinasi
dari ketiga variabel ini (Behrman, 2010).
Menghadapi anak dengan Kekurangan Energi Protein (KEP), perawat dituntut untuk mampu berpikir kritis
dalam melakukan asuhan keperawatan yang komprehensif serta mampu mengidentifikasi masalah-masalah klien
yang dirumuskan sebagai diagnosa keperawatan, mampu mengambil keputusan yang tepat dalam mengatasi masalah
keperawatan yang dialami oleh klien, asuhan keperawatan yang diberikan secara holistik yaitu dilihat dari segi
biofisikososial dan spiritual, serta mampu berkolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk memberi asuhan
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Peneliti
Hasil studi kasus ini bermanfaat dalam menambahkan pengetahuan
tentang Kurang Energi Protein (KEP) pada anak dengan menggunakan asuhan
keperawatan, serta sebagai syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya
Keperawatan.
1.4.2 Bagi Profesi Keperawatan
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk bahan
penelitian selanjutnya tentang Kurang Energi Protein (KEP) di RW 4 Kelurahan
Kemayoran Kecamatan Krembangan Surabaya
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menghasilkan Ahli
Madya Keperawatan sebagai perawat profesional yang memiliki pengetahuan
yang memadai sesuai perkembangan ilmu dan pengetahuan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan tentang konsep yang digunakan
sebagai landasan teori dalam melakukan penelitian tentang Studi Kasus Asuhan
Keperawatan pada Anak dengan Kurang Energi Protein (KEP), meliputi konsep
dasar medis, konsep tumbuh kembang dan konsep dasar asuhan keperawatan.
2.1.2 Etiologi
Kurang Energi Protein (KEP) disebabkan oleh kekurangan makanan sumber
energi secara umum dan kekurangan sumber protein (Almatsier, 2009).
Penyebab kurang gizi dapat bersifat primer, yaitu apabila kebutuhan
individu yang sehat akan protein, energi, atau keduanya, tidak dipenuhi oleh
makanan yang adekuat, atau sekunder, akibat adanya penyakit yang dapat
menyebabkan asupan kurang optimal, gangguan penyerapan, dan peningkatan
kebutuhan karena terjadi kehilangan zat gizi atau keadaan stres (Alpers, 2006).
2.1.3 Patofisiologi
Asupan makanan yang kadar proteinnya kurang dari kebutuhan tubuh,
mengakibatkan kekurangan asam amino esensial yang diperlukan dalam
pertumbuhan dan perbaikan sel. Apabila kebutuhan zat gizi akan protein tidak
tercapai maka tubuh akan menggunakan cadangan makanan yang ada, dimulai
dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta
protein dengan melalui proses katabolik. Jika kondisi ini terjadi dalam waktu
lama, cadangan itu akan habis dan akan menyebabkan kelainan pada jaringan,
dan proses selanjutnya dalam tubuh akan menunjukkan manifestasi Kurang
Energi Protein (KEP) berat yang biasa disebut kwashiorkor (kekurangan protein)
ataupun marasmus (kekurangan energi).
Gambar 2.1 Bagan terjadinya kekurangan energi protein (KEP). (Sumber: A. Aziz
Alimul Hidayat, 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak, EGC. Jakarta. Hlm. 8)
2.1.4 Manifestasi klinis
Menurut Departemen Kesehatan RI (1999) yang dikutip dari Supariasa
(2012), anak yang mengidap KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan hanya
nampak kurus. Namun gejala klinis KEP berat secara garis besar dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu marasmus, kwasiorkor, atau marasmus-
kwasiorkor.
Pada pemeriksaan klinis, penderita KEP berat akan memperlihatkan tanda-
tanda sebagai berikut:
1. Marasmus
a. Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Cengeng dan rewel
d. Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit, bahkan sampai tidak ada
e. Sering disertai diare kronik atau konstipasi/susah buang air, serta penyakit
kronik
f. Tekanan darah, detak jantung, dan pernapasan berkurang.
2. Kwasiorkor
a. Edema umumnya di seluruh tubuh terutama pada kaki
b. Wajah membulat dan sembab
c. Otot-otot mengecil (atropi), lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri
atau duduk, anak berbaring terus-menerus
d. Perubahan status mental: cengeng, rewel, kadang apatis
e. Anak sering menolak segala jenis makanan (anoreksia)
f. Pembesaran hati
g. Sering disertai infeksi, anemia, dan diare/mencret
h. Rambut berwarna kusam dan mudah dicabut
i. Gangguan kulit berupa bercak merah yang meluas dan berubah menjadi hitam
terkelupas
j. Pandangan mata anak tampak sayu.
3. Marasmus-kwasiorkor
Tanda-tanda marasmus-kwasiorkor adalah gabungan dari tanda-tanda yang
ada pada marasmus dan kwasiorkor.
c. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang
diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.
Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urine, tinja dan juga
beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.
Penggunaan:
Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan
terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang
kurang spesifik, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk
menentukan kekurangan gizi yang spesifik.
d. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat
perubahan struktur dari jaringan.
Penggunaan:
Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta
senja epidemik (epidemic of night blindnes). Cara yang digunakan adalah tes
adaptasi gelap.
2. Penilaian Status Gizi secara Tidak Langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu: survei
konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Pengertian dan
penggunaan metode ini akan diuraikan sebagai berikut:
a. Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara
tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
Penggunaan:
Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran
tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu.
Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi.
b. Statistik Vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis
data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur,
angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang
berhubungan dengan gizi.
Penggunaan:
Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak
langsung pengukuran status gizi di masyarakat.
c. Faktor Ekologi
Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa
faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia
sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.
Penggunaan:
Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui
penyebab kurang gizi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan
program intervensi gizi.
Pada anak yang menderita Kekurangan Energi Protein (KEP) dapat
ditentukan berdasarkan dari kebutuhan nutrisinya. Kebutuhan nutrisi yang
kurang dipenuhi pada Kekurangan Energi Protein (KEP), yaitu: Karbohidrat dan
Lemak (sebagai penghasil energi) serta Protein.
1. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi yang tersedia dengan mudah di
setiap makanan. Kekurangan karbohidrat sekitar 15% dari kalori yang ada dapat
menyebabkan terjadinya kelaparan dan berat badan menurun. Jumlah
karbohidrat yang cukup dapat diperoleh dari susu, padi-padian, buah-buahan,
sukrosa, sirup, tepung dan sayur-sayuran.
2. Lemak
Lemak merupakan sumber yang kaya akan energi dan pelindung organ
tubuh terhadap suhu, seperti pembuluh darah, saraf, organ, dan lain-lain.
Kekurangan lemak akan menyebabkan terjadinya perubahan kulit,
khususnya asam linoleat yang rendah dan berat badan kurang. Jumlah lemak
yang cukup dapat diperoleh dari susu, mentega, kuning telur, daging, ikan, keju,
kacang-kacangan, dan minyak sayur.
Tabel 2.2 Kebutuhan energi per hari. (Sumber: A. Aziz Alimul Hidayat. 2008.
Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba
Medika, halaman 42).
3. Protein
Protein merupakan zat gizi dasar yang berguna dalam pembentukan
protoplasma sel. Selain itu, tersedianya protein dalam jumlah yang cukup
penting untuk pertumbuhan dan perbaikan sel jaringan dan sebagai larutan
untuk menjaga keseimbangan osmotik plasma. Kekurangan protein akan dapat
menyebabkan kelemahan, edema, bahkan dalam kondisi lebih buruk akan
menyebabkan kekurangan Energi Protein (KEP) berat, yaitu marasmus dan
kwasiorkor. Komponen protein ini dapat diperoleh dari susu, telur, daging, ikan,
unggas, keju, kedelai kacang, buncis dan padi-padian.
Tabel 2.3 Kebutuhan protein per hari (per kg BB). (Sumber: A. Aziz Alimul Hidayat.
2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta:
Salemba Medika, halaman 43).
Usia Berat Badan Tinggi Badan Protein
(kg) (cm) (gram)
0-6 6 60 10
bulan
7-12 8,5 71 18
bulan
1-3 12 90 25
tahun
4-6 18 110 39
tahun
Untuk menghitung sendiri berat ideal bagi anak usia 0-12 bulan juga dapat
menggunakan rumus sebagai berikut:
Berat Badan Ideal = (umur (bulan)) +4
2
Untuk balita atau anak yang berusia 1-10 tahun, perhitungan berat ideal
dapat dilakukan menggunakan rumus berikut ini:
Berat Badan Ideal (BBI) = (umur (tahun) x 2) + 8
2.1.7 Akibat Gizi Kurang pada Proses Tubuh
Menurut Sunita Almatsier (2009), gizi yang baik merupakan modal bagi
pengembangan sumber daya manusia, namun kurang gizi dapat berakibat
terhadap proses tubuh bergantung pada zat-zat gizi apa yang kurang.
Kekurangan gizi secara umum (makanan kurang dalam kuantitas dan kualitas)
menyebabkan gangguan pada proses-proses:
1. Pertumbuhan
Anak-anak tidak tumbuh menurut potensialnya. Protein digunakan sebagai
zat pembakar, sehingga otot-otot menjadi lembek dan rambut mudah rontok.
Anak-anak yang berasal dari tingkat sosial ekonomi menengah ke atas rata-rata
lebih tinggi daripada yang berasal dari keadaan sosial ekonomi rendah.
2. Produksi Tenaga
Kekurangan energi berasal dari makanan, menyebabkan seseorang
kekurangan tenaga untuk bergerak, bekerja, dan melakukan aktifitas. Orang
menjadi malas, merasa lemah, dan produktifitas menurun.
3. Pertahanan tubuh
Daya tahan terhadap tekanan atau stres menurun. Sistem imunitas dan
antibodi berkurang, sehingga orang mudah terserang infeksi seperti pilek,
batuk, dan diare. Pada anak-anak hal ini dapat membawa kematian.
4. Struktur dan Fungsi Otak
Kurang gizi pada usia muda dapat berpengaruh terhadap perkembangan
mental, dengan demikian kemampuan berpikir. Otak mencapai bentuk maksimal
pada usia dua tahun. Kekurangan gizi dapat berakibat terganggunya fungsi
otak secara permanen.
5. Perilaku
Baik anak-anak maupun orang dewasa yang kurang gizi menunjukkan
perilaku tidak tenang. Mereka mudah tersinggung, cengeng, dan apatis.
2. Perkembangan
Perkembangan (development) adalah bertambahnya
kemampuan (skill)dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam
pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil proses pematangan. Ada
pula yang mendefinisikan bahwa perkembangan adalah penampilan
kemampuan (skill)yang diakibatkan oleh kematangan sistem saraf pusat,
khususnya di otak. Mengukur perkembangan tidak dapat dengan menggunakan
antropometri, tetapi seperti telah disebutkan di atas bahwa pada anak yang
sehat perkembangan searah (pararel) dengan pertumbuhannya.
2.3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan melalui
kegiatan pengumpulan data atau perolehan data yang akurat dari pasien guna
mengetahui berbagai permasalahan yang ada (Hidayat, 2009).
Pengkajian pada anak dengan Kurang Energi Protein (KEP) dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Data biografi
Sering terjadi pada anak usia kurang dari 5 tahun. Tidak ada perbedaan
jenis kelamin, ras, tradisi dan kebiasaan turun temurun terutama mengenai
makanan, dan lingkungan fisik.
2. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit sebelum sakit
Pernah menderita BBLR/penyakit infeksi/trauma/kanker. Kebiasaan berobat
ke Puskesmas/RS, dan adanya alergi.
2) Berat badan
3) Tebal lipatan kulit
Salah satu teknik pengukuran komposisi lemak tubuh adalah dengan
menggunakan Skinfold Caliper. Bagian-bagian tubuh yang umumnya diukur
adalah tricep, bicep, subscapula dan suprailliac.
4) Lingkar lengan
b. Pemeriksaan laboratorium:
1) Hb
a) Usia 1-3 hari (normal: 14,5-22,5 g/dL)
b) Usia 2 bulan (normal: 9,0-14,0 g/dL)
2) Protein plasma, seperti albumin, transferrin, retinol yang mengikat protein.
c. Terapi diit:
1) Pemberian diet dengan protein.
2) Karbohidrat, vitamin dan mineral kualitas tinggi.
12. Analisa Data
Tabel 2.6 Analisa Data
No. Pengelompokan Data Etiologi Masalah
1. DS: - nafsu makan Kurang nutrisi
DO: menurun, (kurang dari
1. Kulit dan membran gangguan kebutuhan)
mukosa kering pada
2. Nafsu makan saluran
menurun pencernaan,
3. Rambut mudah kurangnya
tercabut enzim yang
diperlukan
dalam
pencernaan
makanan
dan juga
adanya
atrofi villi
usus.
2. DS: - kurangnya Kekurangan
DO: kemampuan volume
1. Ubun-ubun cekung absorsi cairan
(pada bayi) makanan
2. Turgor kulit > 2 detik dan diare
3. Membran mukosa
kering
4. Jumlah dan berat
urine menurun
3. DS: - defisiensi Gangguan
DO: energi dan integritas
1. Kulit bersisik dan protein. kulit
kering
2. Elastisitas kulit
menurun
4. DS: - penurunan Risiko infeksi
DO: kondisi
1. Keadaan umum tubuh yang
lemah lemah
2. Nafsu makan
menurun
3. Turgor kulit > 2 detik
5. DS: kurang Kurang
Keluarga mengatakan informasi pengetahua
tidak mengetahui asupan gizi n
asupan gizi yang yang (Orang tua)
sesuai untuk anaknya. adekuat.
DO:
1. Keadaan umum
lemah
2. Nafsu makan
menurun
3. Turgor kulit > 2 detik
4. Elastisitas kulit
menurun
2.3.3 Perencanaan
Perencanaan merupakan proses penyusunan berbagai intervensi
keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menghilangkan, atau
mengurangi masalah-masalah pasien (Hidayat, 2009).
Berikut ini merupakan intervensi keperawatan untuk diagnosa keperawatan
pasien dengan kurang energi protein (KEP):
1. Kurang nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan nafsu makan
menurun, gangguan pada saluran pencernaan, kurangnya enzim yang
diperlukan dalam pencernaan makanan dan juga adanya atrofi villi usus.
Tujuan dan kriteria hasil:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 24 jam, diharapkan agar
metabolisme dalam tubuh kembali normal dengan kriteria hasil:
a. Kulit dan membran mukosa lembab
b. Nafsu makan meningkat
c. Rambut tidak mudah tercabut
d. Tanda-tanda vital normal.
Tindakan keperawatan:
a. Lakukan pengaturan makanan dengan berbagai tahap.
Rasional: menyesuaikan dengan kebutuhan tubuh.
b. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein pada kekurangan energi
protein berat, serta berikan mineral dan vitamin.
Rasional: Menjaga daya tahan tubuh dan memperbaiki nutrisi yang kurang.
c. Pada bayi berat badan kurang dari 7 kg, berikan susu rendah laktosa (Low
Lactose Milk-LLM).
Rasional: Pada intoleransi kongenital yang berat, bayi dapat mengeluarkan satu
liter atau lebih feses yang berbentuk cairan per hari.
d. Apabila berat badan kurang dari 7 kg, maka pemberian makanan dimulai
dengan makanan bentuk cair selama 1-2 hari, lanjutkan bentuk lunak, tim dan
seterusnya.
Rasional: Penyesuaian terhadap proses pencernaan makanan.
e. Lakukan evaluasi pola makan, berat badan, tanda perubahan kebutuhan nutrisi
seperti turgor, nafsu makan, kemampuan absorpsi, bising usus, dan tanda vital.
Rasional: mengetahui perkembangan nutrisi pada anak.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kurangnya kemampuan
absorsi makanan dan diare.
Tujuan dan kriteria hasil:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 24 jam, diharapkan dapat
mengatasi kekurangan volume cairan melalui peningkatan hidrasi dengan
kriteria hasil:
a. Ubun-ubun tidak cekung
b. Turgor kulit normal
c. Membran mukosa lembap
d. Jumlah dan berat jenis urine kembali normal.
Tindakan keperawatan:
a. Berikan cairan tubuh yang cukup melalui rehidrasi jika terjadi dehidrasi.
Rasional: pemenuhan kembali kebutuhan cairan mencegah dehidrasi.
b. Monitor keseimbangan cairan tubuh yaitu mengukur asupan dan keluaran,
dengan cara mengukur berat jenis urine.
Rasional: mengganti cairan untuk masukan kalori yang berdampak pada
keseimbangan elektrolit.
c. Pantau terjadinya kelebihan cairan serta perubahan status dehidrasi.
Rasional: menghindari terjadinya dehidrasi.
d. Berikan penjelasan terhadap makanan yang dianjurkan untuk membantu proses
penyerapan, seperti tinggi kalori, tinggi protein, mengandung vitamin, dan
mineral.
Rasional: agar sepulang dari rumah sakit, keluarga mampu mengasuh anak
dengan mandiri.
e. Lihat pengelolaan diare.
Rasional: mengetahui perkembangan tingkat dehidrasi.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan defisiensi energi dan protein.
Tujuan dan kriteria hasil:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 24 jam, diharapkan
meningkatnya integritas kulit dengan kriteria hasil: Kulit yang tidak bersisik,
tidak kering, dan elastisitasnya normal.
Tindakan keperawatan:
a. Pertahankan agar kulit tetap bersih dan kering dengan cara memandikan dua
kali sehari dengan air hangat dan apabila kotor atau basah segera ganti
pakaian. Keringkan daerah basah dengan memberikan bedak (krim kulit).
Rasional: lipatan kulit yang bersih dan kering mencegah iritasi.
b. Lakukan pergantian posisi tidur setiap 2-3 jam dengan dan lakukan
pembersihan pada daerah yang tertekan dengan air hangat, jika perlu gunakan
alat matras yang lembut.
Rasional: mencegah penekanan kulit, sehingga tidak menyebabkan dekubitus.
c. Berikan suplemen vitamin.
Rasional: menjaga nutrisi kulit.
d. Berikan penjelasan untuk menghindari penggunaan sabun yang dapat
mengiritasi kulit.
Rasional: mencegah terjadinya iritasi terhadap kulit.
e. Monitor keutuhan kulit setiap 6-8 jam.
Rasional: memastikan tidak ada tanda-tanda iritasi.
4. Diagnosa keperawatan: Risiko infeksi berhubungan dengan penurunan kondisi
tubuh yang lemah.
Tujuan dan kriteria hasil:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 24 jam, diharapkan dapat
mengembalikan fungsi hati dan mencegah komplikasi dengan kriteria hasil:
a. Pasien dapat menunjukkan status hidrasi yang kuat
b. Nafsu makan meningkat
c. Turgor kulit normal
d. Bebas dari proses infeksi nosokomial selama di rumah sakit.
Tindakan keperawatan:
a. Pantau terhadap tanda infeksi, misalnya ketidak stabilan suhu.
Rasional: pemantauan lebih dini bisa mengurangi risiko.
b. Identifikasi individu yang berisiko terhadap infeksi nosokomial.
Rasional: infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat dari proses
keperawatan di rumah sakit.
c. Kaji status nutrisi.
Rasional: nutrisi yang cukup bisa meningkatkan daya tahan tubuh.
d. Kurangi organisme yang masuk ke dalam individu dengan cuci tangan
menggunakan teknik aseptik.
Rasional: untuk menghindari risiko infeksi nosokomial.
e. Lindungi individu yang mengalami defisit imun dari infeksi. Batasi alat invasif,
dorong dan pertahankan masukan kalori dan protein dalam diit.
Rasional: untuk mempertahankan daya tahan tubuh.
f. Berikan pengetahuan kepada keluarga mengenai penyebab, risiko, dan
kekuatan penularan dari infeksi.
Rasional: Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga untuk mencegah
infeksi.
5. Diagnosa keperawatan: Kurang pengetahuan berhubungan kurang informasi
asupan gizi yang adekuat.
Tujuan dan kriteria hasil:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 24 jam, diharapkan dapat
meningkatkan pengetahuan keluarga dengan kriteria hasil:
a. Keluarga menyatakan kesadaran dan merencanakan perubahan pola hidup.
b. Keluarga mencari sumber untuk membantu membuat identifikasi perubahan.
Tindakan keperawatan:
a. Ajarkan pada keluarga tentang cara pemenuhan kebutuhan nutrisi dengan gizi
yang seimbang dengan mendemonstrasikan atau memberikan contoh bahan
makanan, cara memilih atau memasak, serta tunjukkan makanan pengganti
protein hewani apabila dirasakan mahal seperti tempe, tahu, atau makanan
yang dibuat dari kacang-kacangan.
Rasional: Membantu merencanakan untuk asupan makanan baru.
b. Anjurkan untuk aktif dalam kegiatan posyandu.
Rasional: Posyandu dapat memantau status gizi dan pemberian makanan
tambahan.
2.3.4 Pelaksanaan
Menurut Hidayat (2009), pelaksanaan merupakan tahap keempat dalam
proses keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan
(tindakan keperawatan) yang telah direncanakan.
2.3.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai
atau tidak (Hidayat, 2009).
Evaluasi dapat diklasifikasikan (Hidayat, 2009), yaitu:
1. Evaluasi proses (formatif) dilakukan selama proses perawatan berlangsung
atau menilai respons pasien.
2. Evaluasi hasil (sumatif) dilakukan atas target tujuan yang diharapkan.
Semua tindakan keperawatan yang telah dilakukan oleh perawat
didokumentasikan, kemudian dievaluasi dengan menggunakan pendekatan
SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment, Planning).
S (subjektif): Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan.
O (objektif): Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilakukan.
A (Assesment atau penilaian): Analisa terhadap data subjektif dan objektif untuk
menyimpulkan apakah masalah masih ada atau telah teratasi atau muncul
masalah baru.
P (Planning atau rencana): Perencanaan tindak lanjut berdasarkan hasil analisa
respon klien dan respon perawat.
Evaluasi juga menjadi alat ukur atas tujuan yang mempunyai kriteria
tertentu untuk membuktikan apakah tujuan tercapai, tidak tercapai, atau
tercapai sebagian.
BAB 3
METODE PENELITIAN
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Alpers, Ann. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph. Jakarta: EGC.
Behrman, Richard E. 2010. Esensi Pediatri Nelson. Jakarta: EGC.
Berman, Audrey. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb. Jakarta:
EGC.
Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku saku diagnosis keperawatan. Jakarta: EGC.
Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat. 2011. Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: Rajawali Pers.
Direktorat Bina Gizi. 2013. Rencana Kerja Bina Gizi Masyarakat Tahun 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Heriyanto, Bambang. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif. Surabaya: Putra Media
Nusantara.
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba
Medika.
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2012. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba
Medika.