Anda di halaman 1dari 17

PRODUK UTAMA JURNALISTIK

Produk Utama Jurnalistik: Berita

Aktivitas atau proses jurnalistik utamanya menghasilkan berita, selain jenis tulisan lain seperti
artikel dan feature.
Berita adalah laporan peristiwa yang baru terjadi atau kejadian aktual yang dilaporkan di media
massa.

Tahap-tahap pembuatannya adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan fakta dan data peristiwa yang bernilai berita aktual, faktual, penting, dan
menarikdengan mengisi enam unsur berita 5W+1H (What/Apa yang terjadi, Who/Siapa yang
terlibat dalam kejadian itu, Where/Di mana kejadiannya, When/Kapan terjadinya, Why/Kenapa hal
itu terjadi, dan How/Bagaimana proses kejadiannya)

2. Fakta dan data yang sudah dihimpun dituliskan berdasarkan rumus 5W+1H dengan menggunakan
Bahasa Jurnalistik spesifik= kalimatnya pendek-pendek, baku, dan sederhana; dan komunikatif =
jelas, langsung ke pokok masalah (straight to the point), mudah dipahami orang awam.

3. Komposisi naskah berita terdiri atas: Head (Judul), Date Line (Baris Tanggal), yaitu nama tempat
berangsungnya peristiwa atau tempat berita dibuat, plus nama media Anda, Lead (Teras) atau
paragraf pertama yang berisi bagian paling penting atau hal yang paling menarik, dan Body (Isi)
berupa uraian penjelasan dari yang sudah tertuang di Lead.

Diposkan oleh Ahmad Kurnia di 18.04 Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Label: Jurnalistik

KODE ETIK JURNALISTIK

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang
dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan
berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya
kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap
orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang
benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman
operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.
Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak
beritikad buruk.

Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak


mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak
menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui
identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan
off the record sesuai dengan kesepakatan.

Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi
terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa
serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk
kepentingan publik.

Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak
akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau
perusahaan pers.

Diposkan oleh Ahmad Kurnia di 18.02 Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Label: Jurnalistik

Sabtu, 26 Juli 2014


Sejarah Perkembangan Teknologi Komunikasi

Pendahuluan

Kata Teknologi berasal dari asal kata latin Texere yang berarti to weave (menenun) atau to
construct (membangun) (Rogers, 1986). Kata Teknologi tidak hanya terbatas kepada pengguna
mesin-mesin, meskipun dalam pengertian sempit sering digunakan keterkaitan teknologi dan mesin
dalam bahasa sehari-hari.

Technology is a design for instrumental action that reduces the uncertainly in the course-effect
relationships invalved in achieving a desired outcome. Sebuah teknologi biasanya terdiri dari aspek
Hardware (perangkat keras) dan Software (Perangkat Lunak). Salah satu jenis teknologi adalah
Teknologi Komunikasi

Teknologi Komunkasi dan Bahasa

1. Teknologi Komunikasi adalah peralatan perangkat keras; struktur-struktur organisasional


dan nilai-nilai sosial yang dikoleksi, diproses dan menjadi pertukaran informasi individu-
individu dengan individu-individu lainnya.

2. Teknologi Komunikasi diawali sejarah manusia seperti ditemukannya bahasa lisan dan
bahasa tulisan dalam bentuk photographs yang ditulis pada dinding gua-gua ;

3. Teknologi Media (secara potensial dapat mencapai khalayak massa) berasal dari Cloy
Robberts (Tulisan pada lembaran-lembaran tanah liat) dalam peradaban awal seperti bangsa
Sumeria di daerah Sungai Eirpat dan Sungai Tigris serta Bangsa Mesir.

Kompetensi

Kompetensi insan komunikasi dalam Teknologi Komunikasi :

1. Users (Pengguna) teknologi komunikasi

2. Content of Technology pada teknologi komunikasi

3. Riset dampak sosial teknologi komunikasi

n> Sebagai users, maka insan komunikasi sebagai ilmuwan sosial harus berbasis teknologu
komunikasi.
Content of Technology, misalnya teknologi komunikasi berbentuk televisi atau media online,
maka yang mengisinya adalah orang komunikasi, seperti program berita pada televisi atau
cyber communication pada media online (internet).

Kemampuan meneliti dampak sosial teknologi komunikasi harus dimiliki oleh orang
komunikasi seperti meneliti dampak sosial pengguna play station terhadap perilaku belajar
anak sekolah dasar.

Menurut Alvin Toffler, tiga gelombang peradaban manusia terdiri dari era pertanian, industri dan
era informasi / komunikasi (lihat Rogers 1986 ; Alisyahbana dalam Yulian, dkk (2001) :

1. Gelombang pertama (800 SM-1500 M) adalah gelombang pembaruan dimana manusia


menemukan dan menerapkan teknologi pertanian yaitu manusia berubah dari kebiasaan berpindah-
pindah yang menetap disatu tempat. Ciri masa ini adalah penggunaan baterai alamiah yang dapat
menyimpan energi yang dapat diperbaharui dalam otot-otot binatang, hutan, air terjun, angin atau
langsung dan matahari, banyak sekali menggunakan kincir air dan kincir angin.

Gelombang Peradaban Manusia

2. Gelombang kedua (1500 M-1970 M) adalah masyarakat industri, sebagai manusia ekonomis
yang rakus yang baru lahir dari Renaissance (pencerahan di Eropa). Adam Smith dengan bukunya
The Wealth of Nations dari Charles Darwin dengan bukunya The Origin of Species mewarnai budaya
renaissance.

Imprialisme dan kolonialisme di gelombang kedua ini merupakan interpretasi yang salah
dari Teori Darwin, terutama ideologi Social Darwinism dan Herbert Species ; The Mights is
always Rights.

Gelombang kedua ini berbudaya produk massa, pendidikan massa, komunikasi massa dan
media massa.

Budaya Iptek tumbuh dengan pesat

Terjadi urbanisasi dan pembangunan kota besar, penggunaan energi yang tidak dapat
diperbaharui dan polusi yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.

3. Gelombang ketiga (1970-2000 M) adalah masyarakat informasi dengan ciri-ciri :

1. Kelangkaan bahan bakar fosil ; kembali ke energi yang dapat diperbaharui

2. Proses produksi yang cenderung menjadi produksi massa yang terkonsentrasi

3. Terjadinya deurbanisasi dan globalisasi karena kemajuan teknologi komunikasi dan


informasi.

4. Peradaban gelombang ketiga merupakan Sintesa dari gelombang pertama (tesa) dan
gelombang kedua (antitesa).
5. Dalam gelombang ketiga ini kadang disebut sebagai Knowledge Age, dengan digunakannya
satelit telekomunikasi, kabel optik dalam jaringan internet, masyarakat mampu
berkomunikasi online

Era Komunikasi dan Informasi

1. Masa Puncaknya era komunikasi dan informasi akan segera tercapai 10-20 tahun kedepan.

2. Open Society (Struktur Masyarakat Terbuka/ umumnya para anggota masyarakat berusaha
dan bekerja keras untuk menaikkan statusnya didalam masyarakat. Mereka bersaing dan
bekerjasama untuk dapat naik ke lapisan atas berikutnya sesuai dengan sistem kompetisi
dan korporasi yang sudah dapat diterima oleh seluruh masyarakat.

Lima Gelombang peradaban baru akan bergantian atau pun kadang-kadang bersamaan mendominasi
budaya masyarakat dunia selanjutnya :

1. Era Industri Rekreasi (Hospitality, Recreation, Entertainment) yang akan mendominasi


budaya pada tahun 2015 M.

2. Era Bioteknologi (Bioteknologi, genetics, Cloning) yang akan mendominasi budaya dunia
pada kira-kira tahun 2001 M.

3. Era mega material (Quantum Physics, Nanotechnology high pressure physics) yang akan
mendominasi dunia kira-kira tahun 2200 M dan 2300 M.

4. Era Atom Baru (fusion, lossers,hydrogen and helium isopes) yang akan mendominasi
budidaya duinia kira-kira pada 2100 2500 M.

5. Era Angkasa luar baru (Specsaft, Exploration, Travel, Resource Gathering, Astrophysics) yang
akan mendominasi sebelum tahun 3000 M (Alisyahbana, 2001).

referensi : Elvinaro Ardianto

Diposkan oleh Ahmad Kurnia di 20.29 Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Label: Teknologi komunikasi

TEORI KOMUNIKASI DAN ASUMSI FILOSOFIS

Oleh : Hasyim Ali Imran

Abstract

This paper discusses the existence of communication theories by focusing on epistemology.


It describes the complexity of the theories that makes beginners of communication students
often find difficulties to understand the theories.
Latar Belakang dan Permasalahan

Sebagai salah satu sisi dalam kehidupan manusia, aktifitas komunikasi itu dikatakan
akademisi komunikasi sebagai aktifitas vital dalam kehidupannya. Komunikasi sangat
berakar dari perilaku manusia dan struktur masyarakat yang sangat sulit untuk dapat
memaknai bahwa peristiwa-peristiwa sosial dan perilaku terjadi tanpa komunikasi. Soesanto
mensinyalirnya sebagai aktifitas yang dilakukan manusia sebanyak 90 % dalam kehidupan
sehari-hari. Cangarayang mengklaim sebagai penilaian dari banyak pakar, mengatakan
bahwa komunikasi adalah sebagai suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang
dalam hidup bermasyarakat. Menurut Schram komunikasi dan masyarakat merupakan dua
kata kembar yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Tanpa komunikasi tidak
mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin
dapat mengembangkan komunikasi.
Melihat dua pendapat tadi kiranya menyiratkan kalau komunikasi itu sebagai aktifitas
penting bagi setiap orang dalam kehidupannya dengan sesama dalam rangka kehidupan
bermasyarakat. Dengan demikian, komunikasi itu antara lain dapatlah diartikan sebagai
suatu aktifitas yang terjadi di antara sesama manusia yang berfungsi sebagai penghubung di
antara mereka dengan cara melakukan penyampaian pesan berupa lambang verbal dan non
verbal yang artinya diusahakan dapat dimaknai secara bersama. Sebagai sebuah fenomena
kemanusiaan, maka komunikasi antar manusia yang disebut Littlejohn dengan human
communication itu, proses keterjadiannya muncul pada beberapa bentuk atau tingkatan.
Bentuk atau tingkatan yang sebelumnya diistilahkan Littlejohn
dengan setting/kontekskomunikasi yang terdiri dari konteks interpersonal, group,
organization dan mass, itu kemudian diubahnya menjadi lima tingkatan, yakni meliputi : 1-
interpersonal, 2-group, 3-public or rhetoric, 4-organizational dan 5- mass.
Fenomena komunikasi di antara sesama umat manusia yang terjadi dalam lima level
itu, masing-masing memiliki problemanya sendiri yang begitu kompleks. Guna
memahaminya, diperlukan pemikiran yang relatif serius.Terkait dengan kekompleksitasan
itu, karenanya banyak akademisi dari lintas disiplin ilmu yang tertarik dan menuangkan
keseriusannya terhadap fenomena human communication. Sebuah fenomena yang
belakangan dikenal menjadi obyek forma dari suatu ranting ilmu sosial yang disebut
dengan ilmu komunikasi.
Bagi ilmu komunikasi sendiri, latar belakang yang bersifat multi disipliner tadi,
mengandung banyak konsekuensi. Konsekuensinya antara lain berupa munculnya beragam
teori yang dirumuskan menurut beragam perspektif. Karenanya, konsekuensi ragam
perspektif ini menjadi perlu mendapat perhatian dalam kaitan pemanfaatan suatu teori
komunikasi untuk menjadikannya sebagai kompas dalam menelaah suatu fenomena
komunikasi pada setiap level keterjadiannya.
Berdasarkan pengamatan, eksistensi perspektif itu masih relatif sering dijumpai
pengabaiannya oleh kalangan akademisi. Bentuk pengabaian itu, entah karena disadari atau
tidak, antara lain berupa pengacuan teori yang tidak relevan dengan paradigma penelitian
yang diterapkan dalam suatu penelitian. Wujud lainnya, dan ini mungkin yang paling kerap
terlihat di kalangan akademisi, yakni saling mempertentangkan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif. Padahal, seyogyanya ini merupakan hal yang kurang perlu, sehubungan eksistensi
keduanya masing-masing telah diakui di kalangan akademisi.
Tulisan ini sendiri tidak bermaksud untuk mengarahkan pada keunggulan teori pada
suatu perspektif tertentu. Akan tetapi, dengan mengacu pada percikan fenomena aplikasi
teori yang relatif keliru dalam kepentingan akademik tadi, maka tulisan ini hanya
bermaksud sebatas pada upaya menelaah eksistensi teori komunikasi menurut asumsi
filofisnya saja, dan itupun terfokuskan pada komponen epistemologis. Dengan telaah
dimaksud, diharapkan dapat terwujud kejernihan dalam memaknai teori, terutama terkait
dengan kepentingan penggunaannya dalam pelaksanaan penelitian.

Epistemologi dan Asumsi Filosofis

Memahami eksistensi teori komunikasi dalam konteks upaya pemberdayaannya


sebagai kompas dalam menelaah fenomena komunikasi, maka yang lazim dilakukan dalam
dunia akademik antara lain dilakukan dengan cara mengetahui dan memahami konsep-
konsep yang terkandung di dalam suatu teori komunikasi. Akan tetapi, upaya ini saja secara
relatif masih belum memadai karena masih belum mampu memberikan gambaran
keseluruhan tentang hakikat suatu konsep dalam sebuah teori. Terutama ini dalam
kaitannya dengan siapa pencetusnya, yang nota bene ini akan sangat
mempengaruhi warna perspektifnya dalam menteorisasi suatu fenomena. Terlebih lagi jika
disadari bahwa komponen konsep itu hanya merupakan salah satu saja dari empat
komponen yang ada dalam suatu teori. Komponen lainnya, sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, yaitu mencakup komponen asumsi filosofis,, penjelasan dan prinsip. Jadi,
upaya memahami suatu teori secara utuh, tampaknya antara lain dapat dilakukan dengan
baik melalui upaya pemahaman terhadap masing-masing dari keempat komponen dimaksud
dalam suatu keseluruhan. Meskipun demikian, paper ini tidak bermaksud untuk meninjau
semua komponen dimaksud, melainkan hanya dibatasi pada komponen asumsi filosofis
melalui sub komponenepistemologis. Dua sub komponen lainnya pada komponen
dimaksud, sebagaimana diketahui yakni terdiri dari sub komponen ontologi danaksiologi.
Sebagai salah satu dari tiga sub komponen yang ada dalam komponen asumsi filosofis,
sub komponen epistemologi dikenal sebagai cabangphilosophy yang mempelajari
pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk menjawab pertanyaan mendasar : apa yang
membedakan pengetahuan yang benar dari pengetahuan yang salah. Secara praktis,
pertanyaan-pertanyaan ini ditranslasikan ke dalam masalah-masalah metodologi ilmu
pengetahuan. Misalnya seperti : how can one develop theories or models that are better
than competing theories?Relatif sejalan dengan ini, maka sebagai salah satu komponen
dalam filsafat ilmu, epistemologi disebutkan terfokus pada telaah tentang bagaimana
cara ilmu pengetahuan memperoleh kebenarannya, atau bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan yang benar, atau how people know what they claim to
know. Jadi, dari sini tampaknya how menjadi kata kunci dalam upaya menemukan
rahasia dibalik kemunculan konsep-konsep teoritis dalam suatu teori komunikasi. Banyak
cara mungkin dapat dilakukan dalam usaha menemukan esensi dari kata how tadi. Salah
satunya yang paling utama, mungkin menurut sejarah epistemologi itu sendiri.
Bila ditinjau menurut sejarah epistemologi, maka terlihat adanya suatu kecenderungan
yang jelas mengenai bagaimana riwayat cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan),
kendatipun riwayat dimaksud memperlihatkan adanya kekacauan banyak perspektif yang
posisinya saling bertentangan. Teori pertama pengetahuan dititikberatkan pada
keabsolutannya, karakternya yang permanen. Sedangkan teori berikutnya menaruh
penekanannya pada kerelativitasan atau situasiketergantungan, kerelativitasan
pengetahuan tersebut berkembang secara terus-menerus atau berevolusi, dan pengetahuan
secara aktif campur tangan terhadap the worlddan subyek maupun obyeknya. Secara
keseluruhan cenderung bergerak dari suatu ke-statis-an, pandangan pasif pengetahuan
bergerak secara aktif ke arah penyesuaian demi penyesuaian.
Dalam pandangan filsuf Yunani, Plato, pengetahuan adalah hanya sebuah kesadaran
mutlak, universal Ideas or Forms., keberadaan bebas suatu subyek yang perlu dipahami.
Pemikiran Aristotle lebih menaruh penekanan pada metode logika dan empirik bagi upaya
penghimpunan pengetahuan, dia masih menyetujui pandangan bahwa pengetahuan seperti
itu merupakan sebuah pengertian dari prinsip-prinsip dan keperluan yang bersifat
universal.Mengikuti masa-masa Renaisans, terdapat dua epistemological utama yang
posisinya mendominasi filsafat, yaitu empiricism (empirisme)
danrationalism (rasionalisme). Empirisme yaitu suatu epistemologi yang memahami bahwa
pengetahuan itu sebagai produk persepsi indrawi. Sementara rasionalisme melihat
pengetahuan itu sebagai sebuah produk refleksi rasional.
Pengembangan terbaru yang dilakukan empirisme melalui eksperimen ilmu
pengetahuan telah berimplikasi pada berkembangnya pandangan ilmu pengetahuan yang
secara eksplisit dan implisit hingga sekarang masih dipedomani oleh banyak ilmuwan.
Pedoman dimaksud yaitu reflection-correspondence theory. Menurut pandangan ini
pengetahuan dihasilkan dari sejenis pemetaan atau refleksi obyek eksternal melalui organ
indrawi kita, yang dimungkinkan terbantu melalui alat-alat pengamatan berbeda, menuju ke
otak atau pikiran kita. Meskipun pengetahuan tidak mempunyai keberadaan a priori, seperti
dalam konsepsi Plato, tetapi mesti dibangun dengan pengamatan, hal yang demikian
karenanya masih mutlak sifatnya.Ada teori penting yang diperkembangkan pada periode itu
yang layak untuk diikuti, yaitu menyangkut sintesa rasionalisme dan empirismenya para
pengikut Kant. Menurut Kant, pengetahuan itu dihasilkan dari pengorganisasian data
perseptual yang berdasarkan pada tatanan pengetahuan bawaan, yang disebutnya sebagai
kategori. Kategori mencakup ruang, waktu, obyek dan kausalitas. Epistemologi tersebut
menerima ke-subyektifitas-an konsep-konsep dasar, seperti ruang dan waktu, dan
ketidakmungkinan untuk menjangkau kemurnian representasi objektiv dari sesuatu dalam
dirinya. Jadi kategori a priori masih tetap bersifat statis ataugiven.
Tahap berikutnya dari perkembangan epistemologi disebut pragmatis. Bagian-bagian
dari perkembangan dimaksud dapat dijumpai pada masa-masa mendekati awal abad dua
puluh, misalnya seperti logika positivisme, konvensionalisme, dan mekanika kuantum
menurut "Copenhagen interpretation. Filsafat ini masih mendominasi kebanyakan cara
kerja ilmiah dalam cognitive science dan artificial intelligence.
Menurut epistemologi pragmatis, pengetahuan terdiri dari model-model yang mencoba
merepresentasikan lingkungan sedemikian rupa guna penyederhanaan secara maksimal
pemecahan masalah. Pemahaman demikian karena diasumsikan bahwa tidak ada model
yang pernah bisa diharapkan untuk mampu menangkap semua informasi yang relevan, dan
sekalipun model yang lengkap seperti itu ada, model tersebut mungkin akan sangat rumit
untuk digunakan dalam cara praktis apapun. Karena itu kita harus menerima keberadaan
kesejajaran model-model yang berbeda, sekalipun model-model dimaksud mungkin terlihat
saling bertentangan. Model yang akan dipilih tergantung pada masalah yang akan
dipecahkan. Ketentuan dasarnya adalah bahwa model yang digunakan sebaiknya
menghasilkan perkiraan (melalui pengujian) yang benar (atau approximate) atau problem-
solving, dan sesederhana mungkin. Pertanyaan lebih jauh yaitu menyangkut tentang the
the Ding an Sich atau realitas di balikmodel adalah tidak bermakna
Epistemologi pragmatis tidak memberikan jawaban jelas terhadap pertanyaan
mengenai asal-usul pengetahuan atau model. Ada asumsi tersirat bahwa model dibangun
dari bagian-bagian model lain dan data empiris yang perolehannya didasarkan pada prinsip
coba-coba-salah dilengkapi dengan beberapa heuristics atau ilham. Pandangan yang lebih
radikal ditawarkan oleh para penganut constructivism. Kalangan ini mengasumsikan bahwa
semua pengetahuan dibangun dari serpihan-serpihan pengetahuan yang dimiliki subyek
Tidak ada sesuatu yang 'given', data atau fakta empiris yang obyektif, kategori-kategori
bawaan sejak lahir atau struktur-struktur kognitif. Gagasan korespondensi atau refleksi
realitas eksternal karenanya menjadi sesuatu hal yang ditolak. Karena kekurangan
hubungan di antara model dan hal yang mereka representasikan ini, maka bahayanya
bagi constructivismadalah bahwa mereka mungkin cenderung menjadi relativisme, karena
dengan keyakinan mereka bahwa semua pengetahuan itu dibangun dari serpihan-serpihan
pengetahuan subyek, maka cara untuk membedakan pengetahuan memadai atau
'sebenarnya' dari pengetahuan yang tidak cukup atau 'palsu', menjadi tiada.
Kita bisa membedakan dua pendekatan yang mencoba menghindari 'kemutlakan
relativisme'. Pendekatan yang pertama disebut konstruktivisme individual dan kedua
konstruktivisme sosial. Konstruktivisme individual mengasumsikan bahwa seorang individu
mencoba mencapai koherensi di antara perbedaan potongan-potongan pengetahuan itu.
Pembuatan atau pengkonstruksian yang tidak konsisten dengan mayoritas pengetahuan lain
akan menyebabkan individu jadi cenderung untuk menolaknya. Pengkonstruksian yang
berhasil dalam mengintegrasikan potongan-potongan pengetahuan yang sebelumnya tidak
bertautan (incoherent) akan dipelihara.
Konstruktivisme sosial memahami mufakat antara subyek berbeda sebagai ketentuan
tertinggi untuk menilai pengetahuan. 'Kebenaran' atau 'kenyataan' hanya akan diberikan
terhadap pengkonstruksian yang disetujui kebanyakan orang dari suatu kelompok
masyarakat. Dalam filsafat tersebut pengetahuan tampak sebagai sebuah hipotesis realitas
eksternal yang sangat independen. Sebagai ilmuwan constructivists radikal' Maturana Satu-
satunya kriteria dasar ialah bahwa perbedaan mental entitas atau perbedaan proses kejiwaan
di dalamnya atau di antara individu-individu sebaiknya menjangkau semacam
keseimbangan.
Melalui pendekatan Konstruktivis tampak penekanannya lebih banyak pada soal
perubahan dan sifat relatif dari pengetahuan, dan cara-cara mereka yang mengunggulkan
kesepakatan sosial atau koherensi internal dalam menemukan kebenaran, ini menyebabkan
mereka tetap masih memiliki ciri yang absolut. Melalui cara ini dianggap bahwa
pengetahuan itu dikonstruksikan oleh subjek atau kelompok subjek dalam rangka
menyesuaikan diri dengan lingkungan dalam arti luas Pengkonstruksian itu merupakan
sebuah proses yang terus berkelanjutan pada tingkatan-tingkatan yang berbeda, baik secara
biologis maupun psikologis atau sosial. Pengkonstruksian terjadi melalui variasi potongan-
potongan pengetahuan dan retensi selektif kombinasi baru itu yang dengan cara tertentu
mempengaruhi kemampuan bertahan hidup dan reproduksi-subyek di lingkungan
tertentu Dalam kaitan ini, maka bentuk kemutlakan atau ke-permanen-an apapun sudah
hilang dalam pendekatan ini. Namun demikian, sebagaimana
dikatakan Heylighen, knowledge is basically still a passive instrument developed by
organisms in order to help them in their quest for survival.
Pendekatan paling baru terkait epistemologi, dan mungkin ini pendekatan yang lebih
radikal, yaitu kalangan ilmuwan yang memandang bahwa ilmuwan itu harus membuat
pengetahuan itu secara aktif dalam mencapai tujuannya sendiri. Pengetahuan itu dibuat
harus mampu aktif untuk mencapai cita-citanya sendiri. Pendekatan epistemologi ini
disebutmemetics. Memetics mencatat bahwa pengetahuan bisa ditransmisikan dari satu
subyek kepada subyek lainnya, dan dengan cara demikian kehilangan ketergantungannya
pada individu tunggal manapun. Sepotong pengetahuan yang bisa ditranmisikan atau ditiru
dengan cara sedemikian rupa disebut 'meme' (dibaca : -meem-mim). The death of an
individual carrying a certain meme now no longer implies the elimination of that piece of
knowledge, as evolutionary epistemology would assume. Sepanjang meme menjalar lebih
cepat sampai ke pengangkut baru, setelah itu alat pengangkutnya mati, makameme akan
tetap berkembang biak, sekalipun pengetahuan itu menyebabkan dalam diri individu
pengangkut manapun, kemungkinan sama sekali tidak mampu dan juga berbahaya bagi
kelangsungan hidupnya.
Dalam pandangan ini, sepotong pengetahuan mungkin berhasil baik jika memiliki
banyak alat pengangkut sekalipun mungkin prediksinya salah sama sekali, sejauh
pengetahuan tersebut cukup meyakinkan bagi para individu yang berperan
sebagai pengangkut baru pengetahuan. Di sini tampak gambaran di mana subyek
pengetahuan pun sudah kehilangan keunggulannya sendiri, dan pengetahuan menjadi
kekuatan dirinya dengan tujuan dan cara yang sesuai untuk mengembangkan diri.
Pengetahuan dalam pengertian dimaksud, dalam kenyataan dapat diilustrasikan melalui
banyaknya takhyul, cerita-cerita iseng, dan kepercayaan-kepercayaan tak masuk diakal yang
telah merambah ke seluruh dunia, dan terkadang dengan kecepatan yang luar biasa.
Seperti halnya social constructivism, maka memetics perhatiannya juga tertarik pada
komunikasi dan proses sosial dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Namun dalam
memandang pengetahuan sebagai hasil konstruksi sistem sosial, memetic lebih melihat
sistem sosial itu sebagai sesuatu yang dikonstruksikan oleh proses pengetahuan. Memang,
satu kelompok sosial bisa didefinisikan melalui fakta bahwa semua anggotanya
membagikan meme yang sama. Konsep 'self' -pun ', yaitu konsep yang membedakan
seseorang sebagai seorang individu (a person as an individual), bisa dipertimbangkan
sebagai sebuah potongan pengetahuan, yang terkonstruksikan melalui proses sosial, dan
oleh sebab itu menjadi sebuah hasil dari evolusi memetic. Dari pendekatan konstruktivis, di
mana pengetahuan merupakan hasil konstruksi individu atau masyarakat, maka kita telah
bergerak ke pendekatan memetic, yakni pendekatan yang melihat masyarakat dan individu
sebagai dihasilkan oleh pengkonstruksian melalui sebuah proses evolusi yang terus-menerus
dari fragmentasi independent pengetahuan yang berkompetisi demi dominasi.
Dari riwayat singkat tentang cara-cara menemukan kebenaran (pengetahuan)
sebelumnya, kiranya memberikan gambaran bahwa melalui argumentasinya masing-
masing, tampak kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam upayanya
menemukan kebenaran pada obyek ilmu dan karena itu berkonsekuensi pada penteorisasian
fenomena (baca : komunikasi). Jadi, memang benar apa yang dikatakan Neuman, bahwa
teori itu muncul dalam berbagai bentuk dan ukuran.

Refleksi Ragam Epistemologikal dalam Teorisasi fenomena komunikasi

Ilmu komunikasi, sebagai ilmu yang menurut banyak ahli sebagai ilmu yang bersifat
interdisipliner, secara epistemologis mencerminkan hasil galian menurut ragam perspektif.
Secara terminologis ragam perspektif dimaksud tercakup pada sejumlah paradigma ilmu
pengetahuan, yang secara familiar dikenal mencakup: positivistik; konstruktif/ interpretif;
dan kritikal. Terhadap teori-teori yang dibangun berdasarkan paradigma dimaksud, para
akademisipun tidak sepakat dalam upaya mengkategorisasikannya. Dalam upaya
pengkategorian ini, para teoritisinya masing-masing menunjukkan penggunaan istilah yang
berbeda. Istilah itu, menurut penulis ada yang pengkodefikasiannya menurut tempat
berasalnya pemikiran-pemikiran teoritis, ada yang menurut ideologi yang mendasari
lahirnya perspektif teoritis, dan ada yang berdasarkan cara bekerjanya ilmu dalam proses
mencapai kebenaran ilmiahnya. Terhadap pengkodefikasian yang dilakukan berdasarkan
tempat asal lahirnya pemikiran teoritis, maka pengkodefikasiannya dikenal dengan
kelompok Chicago School yang Liberal-Pluralis dan direpresentasikan sebagai perspektif
teori komunikasi Barat yang nota bene positivistic/obyektif. Karenanya, penelitian dalam
kubu ini diarahkan pada penggunaan unit analisis individu dengan methode survey dan
instrumen-instrumen yang standar, yang dimaksudkan sebagai usaha dalam menjelaskan
gejala-gejala sosial sebagaimana dalam hukum-hukum alam, yang hanya terbatas pada
erklaeren berdasarkan hubungan causal. Lawannya adalah Frankfurt School-Marxis
Kritikal, yang direpresentasikan sebagai pemikiran-pemikiran yang melahirkan teori-
teori komunikasi Timur. Para Ilmuwan dalam kelompok ini, dengan tokoh yang antara lain
terdiri dari Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Erich Fromm dan Herbert Macuse,
banyak dipengaruhi oleh kritik idealisme Karl Marx. Jadi, di antara dua kubu tersebut,
forma penteorisasian fenomena komunikasinya, secara epistemologis terutama terbedakan
karena soal value dalam proses bekerjanya ilmu dalam menemukan kebenaran ilmiahnya.
Kemudian, pengkodefikasian yang dilakukan menurut cara bekerjanya ilmu dalam
proses mencapai kebenaran ilmiahnya, maka termasuklah di sini pengistilahan yang
diberikan Mc Quail dan Griffin. Mc Quail mengkodefikasikan istilahnya itu dengan konsep
model, yakni model komunikasi yang terdiri dari model Transmisi dan Ritual. Model
transmisi merupakan model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi dalam
perspektif tradisional atau positivistic yang nota bene free value. Jadi, sama dengan proses
bekerjanya ilmu dalam perspektif Teori Barat sebelumnya. Sementara model ritual, yakni
model yang menggambarkan cara bekerjanya ilmu komunikasi itu dengan proses seperti
yang terjadi pada perspektif interpretif (humanis) sebagaimana dikatakan Griffin seperti
telah disinggung sebelumnya. Griffin sendiri, mengistilahkan transmisi sebagaimana
digunakan Mc Quail tadi dengan istilah Scientific (Objektive). Dengan mana, perspektifnya
relatif tidak berbeda dengan apa yang digambarkan Mc Quail.
Selanjutnya, kodefikasi yang dilakukan menurut ideologi sebagai landasan
epistemologis yang mendasari lahirnya perspektif teoritis. Untuk yang ini, maka ada dua
teoritisi yang mengemukakan gagasannya. Pertama seperti yang dikemukakan Littlejohn
melalui istilah yang disebutnya dengangenre atau jenis-jenis teori komunikasi, dan kedua
oleh Miller dengan istilahnya Conceptual Domains of Communication Theory.
Terkait dengan Littlejohn, maka genre teori komunikasi itu menurutnya ada lima: 1.
teori struktural fungsional; 2. teori kognitif dan behavioral; 3. teori interaksional; 4. teori
interpretif dan 5. teori kritis. Basis pada teori 1 adalah perspektif sosiologi struktural-
fungsionalisme dari Emile Durkheim dan Talcott Parson. Perspektif ini berdasarkan pada
perspektif dalam falsafah determinisme. Pada teori kedua, maka basis pemikirannya
bertolak pada perspektif psikologis, yakni Stimulus (S) dan Respon (R). Manusia
mendapatkan pengetahuannya dengan cara merespon rangsangan-rangsangan yang ada di
alam ini. Pada genre ketiga, maka basisnya adalah bahwa kehidupan sosial dipandang
sebagai sebuah proses interaksi, tokohnya antara lain Herbert Mead.
Kemudian genre keempat, basisnya yaitu pada upaya menemukan makna pada teks. Dalam
kelompok ini tergabung para ilmuwan yang menamakan diri dengan hermeneuticists,
poststructuralis, deconstructivis, phenomenologis, peneliti studi budaya, dan ada yang
menyebutnya dengan ahli teori aksi sosial. Terakhir yaitu teori kritis, basis teorinya adalah
kritik idealisme Karl Marx, dengan tokoh awalnya Max Horkheimer, Theodor W. Adorno,
Erich Fromm dan Herbert Macuse.
Meskipun teori komunikasi itu terbagi menjadi lima genre, namun ini bukan berarti
masing-masing genre tidak memiliki persamaan sama sekali. Persamaan yang kasat mata,
paling tidak itu dimungkinkan terjadi menurut motif yang melatar belakangi para
ilmuwannya dalam memunculkan salah satu sudut pandang terhadap upaya menelaah
fenomena komunikasi. Persamaan dimaksud, dapat dikatakan sebagai sebuah persamaan
umum yang ada pada masing-masing genre teori komunikasi, yakni upaya untuk
menemukan kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang fenomena
(Erscheinungen) komunikasi sebagai obyek forma dari ilmu komunikasi.
Selain persamaan umum, juga terdapat persamaan yang khas pada kelima genre itu.
Persamaan dimaksud, misalnya antara genre struktural and functional
theories dengan genre cognitif and behavioral theories, keduanya dipersamakan oleh
landasan falsafah ilmu yang dianut, yakni determinisme positivisme yang dipelopori A.
Comte (1798-1857). Dengan demikian, komunikasi antara lain dianggap sebagai proses yang
linier, dari komunikator ke komunikan. Jadi, persis seperti apa yang dimaksudkan Mc Quail
dalam model transmisinya.
Namun demikian, khusus terhadap genre pertama sebelumnya (struktural and
functional), genre itu lahir dari akar pemahaman yang berbeda, di
mana struktural berbasis pada pandagan sosiologi, sementara functional basisnya pada
biologi, terutama terhadap konsep sistem anatomi tubuh manusianya, yang kemudian
dinilai tidak berbeda halnya dengan sosial. Persamaan lainnya adalah, bahwa
kedua genre teori komunikasi dimaksud, juga berada dalam posisi yang sama dalam melihat
posisi valuedalam ilmu, yakni sama-sama meyakini bahwa nilai tidak boleh terlibat dalam
proses keilmuan demi tidak lahirnya bad science. Dengan demikian, ilmuwan dalam
kelompok ini berupaya tetap menjaga jarak antara dirinya dengan obyek dalam usahanya
mengkonseptualisir suatu fenomena. Karenanya, hipotesis yang dirumuskan dengan proses
berfikir ilmiah deduktif, dinilai jadi sangat berperan dalam kedua genre ketika berupaya
menemukan kebenarannya.
Berbeda dengan dua genre teori komunikasi sebagaimana dibahas barusan, maka
pada tiga genre lainnya, yaitu interactionist symbolic theories; interpretive
theories dan critical theories, masalah value dinilai syah dalam proses ilmiah. Ini
berhubungan dengan pemahaman bahwa manusia itu sebagai makhluk yang memiliki
kehendak bebas. Seiring dengan itu, komunikasipun dirumuskan bukan sebagai sebuah
proses linier, melainkan sirkuler, dengan mana manusia-manusia yang terlibat di dalamnya
tidak dibedakan dalam hal status seperti halnya dalam genre teori yang berperspektif
positivis dengan isitilah komunikator dan komunikan. Dalam tiga genre ini, individu yang
terlibat disebut dengan partisipan komunikasi, atau ada yang dengan istilah komunikan
sebagai ekuivalen dengan partisipan Dengan demikian, maka komunikasipun antara lain
didefinisikan sebagai sebuah proses pertukaran makna dan konseptualisasi fenomenanya
dilakukan menurut subyek penelitian dengan prinsip ongoing process.
Dari uraian tentang refleksi epistemologi dalam forma penteorisasian fenomena
komunikasi tadi, kiranya mengindikasikan bahwa relatif rumitnya dalam upaya memahami
eksistensi suatu teori komunikasi dengan baik. Suatu pemahaman yang secara pra
kondisional tentunya sangat diperlukan oleh para akademisi komunikasi, terutama bagi para
pemula, guna tidak terjadinya kekeliruan dalam mengaplikasikan suatu teori ketika
mengkonseptualisasikan sebuah fenomena komunikasi, terutama dalam sebuah riset
komunikasi. Namun, kerumitan ini tampaknya antara lain bisa dikurangi dengan cara
mengelompokkan teori-teori komunikasi yang ada menurut setiap genre yang ada. Akan
tetapi, sejauh pengamatan menunjukkan bahwa upaya yang demikian belum ditemui. Juga
belum ditemui pula sejumlah teori komunikasi yang digolong-golongkan menurut masing-
masing paradigma (sebagai refleksi epistemologi) yang ada dalam perspektif filsafat ilmu.
Yang ada bukan menurut genre, melainkan diantaranya menurut level, gugusan, dan
menurut alpabetisnya saja. Upaya yang ada dimaksud, diantaranya dilakukan University of
Twente Nedherland.

Penutup

Teori itu mengandung sebuah rangkaian mengenai petunjuk-petunjuk dalam


mengetahui dunia dan bertindak sesuai dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Dalam kaitan
upaya menjadikan teori sebagai petunjuk dalam menelaah suatu fenomena komunikasi,
perlu diketahui eksistensi hakikinya terlebih dahulu agar fungsinya sebagai kompas benar-
benar dapat terberdayakan. Upaya memahami eksistensi hakiki dimaksud, dalam
terminologi filsafat ilmu, itu diantaranya dapat dilakukan melalui telaah ilmu pada aspek
epistemologi. Dari hasil telaah epistemologi secara histroris diketahui bahwa dengan
masing-masing argumentasinya, kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama dalam
upayanya menemukan kebenaran pada obyek ilmu dan karena itu berkonsekuensi pada
penteorisasian fenomena komunikasi. Sementara dari hasil pembahasan menurut Refleksi
Ragam Epistemologikal dalam Teorisasi fenomena komunikasi, diketahui bahwa relatif
rumitnya memahami eksistensi suatu teori komunikasi dengan baik. Namun, kerumitan ini
tampaknya antara lain bisa dikurangi dengan cara mengelompokkan teori-teori komunikasi
yang ada menurut setiap genreyang ada. Akan tetapi, sejauh pengamatan upaya yang
demikian masih sulit ditemui. Pengelompokan teori komunikasi yang telah dilakukan
akademisi cenderung masih sebatas menurut level, gugusan, dan menurut alpabetisnya.
Upaya pengelompokan teori yang mengacu pada nuansa epistemologinya, sejauh ini masih
berlum tampak. Upaya yang demikian berindikasi masih terbatas sebagai diskursif di
lingkup tertertentu seperti dalam perkuliahan tingkat magister. Guna mempersempit jurang
pengetahuan mengenai teori komunikasi secara epistemologis demi efektifitas
pemanfaatannya dalam riset, maka diskursif mengenai hal ini seyogyanya sudah mulai
dibangun dilingkungan komunitas akademika komunikasi sejak di level strata satu.

Daftar Pustaka

Cangara, Hafied, 1998, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Chandler, Daniel The word genre comes from the French (and originally Latin) word for 'kind' or
'class'. The term is widely used in rhetoric, literary theory, media theory, and more recently linguistics,
to refer to a distinctive type of 'text'*. How we define a genre depends on our purpose.
(http://www.aber.ac.uk/media/Documents/intgenre/ intgenre1.html).

F., Heylighen,Epistemology, introduction, dalam, Heylighen, F. , Epistemology, introduction,


dalam, http://pespmc1.vub.ac.be/ EPISTEMI. html, diakses, 22 Maret 2007.

Griffin, EM, 2003, A First Look At Communication Theory, Fifth edition, New York, Mc Graw
Hill, chapter 11.

Karl Deutsch, dalam : http//en.wikibooks.org., diakses tanggal 13 September 2006.

Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus Ohio, Charles E.
Merrill Publishing Company, p. 381-382.

Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson
Learning Inc., Wadsworth, Belmont, USA.

Neuman, W. Lawrence, 2000, The Ethics And Politic of Social Research, in chapter 5 on Social
Research Methods-Qualitative and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston,
USA., p. 40, 49-50.

Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta,
Bina Aksara, hal. 94.

Robert N. St. Clair; Walter E. Rodrguez; dan Carma Nelson, PLATO AND THE WORLDS OF IDEAL
AND MATERIAL FORMS dalam HABITUS AND COMMUNICATION THEORY,
dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret 2007.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, 1984, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES.

Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar
Harapan.
University of Twente, Netherlands , (http://www.tcw. utwente. nl/theorieenoverzicht /index.html).
Wright, Charles R., 1986, Sosiologi Komunikasi Massa, Editor, Jalaluddin Rakhmat, Bandung,
Remadja Karya, CV.
Situs Web :
http://www.utm.edu/research/iep/k/kantmeta.htm, diakses, 6 Juni 2007.
Taken from http//en.wikibooks.org, on Sept 13, 2006.
http://en.wikipedia.org/wiki/Communication_theory#History_of_communication_theor
y
http://en.wikipedia.org/wiki/Harold_Lasswell.
http://dictionary.reference.com/browse/pragmatic%20theory
http://en.wikipedia.org/wiki/Copenhagen_interpretation.http://gsi.berkeley.edu/resource
s/learning/social.html.
http://www.enolagaia. com/Tutorial1.html#MV.
http://aleph.se/Trans/Cultural/Memetics/.
http://pespmc1.vub.ac.be/MEMLEX.html.

Peneliti Madya Bidang Studi Komunikasi dan Media pada BPPI Wilayah II Jakarta, Badan Litbang SDM Depkominfo.
Lihat : http//en.wikibooks.org, on Sept 13, 2006.
Cangara, Hafied, 1998, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, hal. 1.
Schramm, 1982, dalam Cangara, 1998 :2).
Littlejohn, Stephen W., 1983, Theories of Human Communication, Columbus Ohio, Charles E. Merrill Publishing Company,
p. 381-382.
Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth,
Belmont, USA.
Mengenai komponen konsep, ini diartikan sebagai generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai
untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Singarimbun dan Effendy, 1984 : 17). Konsep ini sifatnya masih
bermakna tunggal sehingga belum bisa dilakukan pengukuran terhadap fenomena yang dijelaskannya. Guna memungkinkan
pengukuran, maka bagi ilmuwan tradisional terhadap suatu konsep harus diberikan sifat-sifat tertentu (Littlejohn (2005 : 25)
karena ilmu ini memerlukan ketepatan dalam melakukan observasi terhadap konsep yang dipelajari.
Komponen ketiga pada teori adalah penjelasan atau eksplanasi. Penjelasan tersebut banyak jenisnya, namun dua diantaranya
yang umum adalah penjelasan sebab-akibat (causal) dan penjelasan praktis (practical). Perbedaan antara penjelasan sebab
akibat dan praktis ini sangat penting dalam debat mengenai apa yang harus dilakukan sebuah teori. Banyak teoritisi
tradisional mengatakan bahwa teori-teori akan berhenti pada tingkatan penjelasan ini. (Lihat, dalam Littlejohn, 2005 : 22).
Sebuah prinsip adalah sebuah pedoman yang memungkinkan kita untuk melakukan interpretasi pada sebua peristiwa, membuat
sebuah penilaian mengenai apa yang terjadi, dan kemudian memutuskan bagaimana melakukan tindakan dalam suatu
situasi. Suatu prinsip memiliki tiga bagian; (1) prinsip mengidentifikasikan suatu situasi atau peristiwa; (2) prinsip ini
mengandung sebuah rangkaian norma-norma atau nilai-nilai, dan (3) prinsip menuntut sebuah hubungan antara suatu jarak
tindakan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin muncul. (Littlejohn, 2005 : 23).
Komponen asumsi filosofis sering dibagi ke dalam tiga jenis pembahasan, meliputi pembahasan menurut sub
komponen : epistemologi, atau pertanyaan tentang pengetahuan; ontologi, atau pertanyaan tentang eksistensi; aksiologi,
atau pertanyaan tentang nilai(Littlejohn, 2005 : 20).
Heylighen,, F., Epistemology, introduction, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/ EPISTEMI. html, diakses, 22 Maret 2007.

Suriasumantri, Jujun S., 1984, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan., hlm. 33-34.
Littlejohn, Stephen W., 2005, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth,
Belmont, USA, p. : 18).
Lihat, Robert N. St. Clair; Walter E. Rodrguez; dan Carma Nelson,Plato and the worlds of ideal and material forms,
dalam Habitus and Communication Theory, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret 2007.
Robert N. St. Clair; Walter E. Rodrguez; dan Carma Nelson, ,Plato and the worlds of ideal and material forms,
dalam Habitus and Communication Theory, dalam http://louisville.edu/~rnstcl01/R- Bourdieu.html, diakses 22 Maret 2007.

Lihat:dalam : http://www.utm.edu/research/iep/k/kantmeta.htm, diakses, 6 Juni 2007)


Heylighen,, F., Epistemology, introduction, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI .html, diakses, 22 Maret 2007.
Lihat : (http://www.enolagaia. com/Tutorial1.html#MV).
Heylighen,, F., Epistemology, introduction, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI .html, diakses, 22 Maret 2007.
Heylighen,, F., Epistemology, introduction, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI. html, diakses, 22 Maret 2007.
Memetics is the study of ideas and concepts viewed as "living" organisms, capable of reproduction and evolution in an
"Ideosphere" (similar to the Biosphere) consisting of the collective of human minds. Memes reproduce by spreading to new
hosts, who will spread them further (typical examples are jokes, catchphrases or politicial ideas).
(http://aleph.se/Trans/Cultural/Memetics/).
Heylighen,, F., Epistemology, introduction, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI. html,diakses, 22 Maret 2007.
Dapat diartikan sebagai setiap orang dalam satu generasi ke generasi berikutnya.
Heylighen,, F., Epistemology, introduction, dalam , http://pespmc1.vub.ac.be/EPISTEMI.html, diakses, 22 Maret 2007.
Neuman, W. Lawrence, 2000, The Ethics And Politic of Social Research, in chapter 5 on Social Research Methods-Qualitative
and Quantitative Approaches, Allyn and Bacon, Boston, USA.
Daniel Chandler , dalam : http://www.aber.ac.uk/media/Documents/intgenre/ intgenre1.html.
Littlejohn, Steven W., 1994, Theories of Human Communication, eighth edition, Thomson Learning Inc., Wadsworth,
Belmont, USA, p. : 13).

Lihat, Poedjawijatna, I.R., 1983, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke Ilmu dan Filsafat, Jakarta, Bina Aksara., hlm. 94.

Lihat, University of Twente, Netherlands , dalam (http://www.tcw.utwente.nl/theorieen-overzicht/index.html).

Diposkan oleh Ahmad Kurnia di 19.38 Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Label: Hakikat Komunikasi

MEMAHAMI GAYA KOMUNIKASI

Berkomunikasi merupakan kegiatan rutin manusia sejak mereka dilahirkan; mulai dari tangisan
sang bayi yang menyampaikan pesan berisi kebutuhan psiklogis dan fisiologisnya, sampai dengan
pesan berisi kebutuhan komplementer orang dewasa. Semuanya tidak terlepas dari proses
penyampaian dan penerimaan pesan yang disebut komunikasi.

PALING menarik dari komunikasi itu sendiri adalah keunikan dari karakter gaya komunikasi yang
dimiliki setiap individu. Pentingnya kita untuk mengetahui dan mempelajari gaya komunikasi dari
setiap karakter manusia adalah agar saat kita melakukan proses komunikasi, komunikasi tersebut
berjalan dengan lancar, serta mencegah agar tidak terjadi miskomunikasi.

1. Pertama, empat kepribadian manusia (sanguinis, melankolis, koleris, dan plegmatis).


Keempat kepribadian tersebut mempunyai karakter masing-masing yang harus didekati
dengan gaya komunikasi yang tepat agar komunikasi berhasil. Untuk orang sanguinis yang
ceria, misalnya, pendekatan komunikasi yang harus dikedepankan bersifat terbuka, penuh
semangat, kata-kata yang berbunga-bunga dan sejenisnya. Hasilnya akan berbeda bila
diterapkan kepada mereka yang berkepribadian melankolis, yang cenderung diam dan
penuh konsentrasi dalam pikiran. Lain pula bila diterapkan kepada mereka yang
berkepribadian koleris, yang tegas dan langsung pada persoalan ketika berbicara. Dan, lain
lagi hasilnya bila diterapkan kepada mereka yang cinta damai dan tenang,
seperti plegmatis.

2. Kedua, karakter manusia juga sangat berbeda jika ditinjau dari sisi psikologis. Disini
terdapat tipe-tipe orang,
seperti extravert (terbuka), introvert (tertutup),intuitive (intuitif), feeling (perasa), judgi
ng (penilai). Setiap orang dengan tipe-tipe di atas memiliki karakter yang unik. Orang
dengan karakter terbuka hanya akan dapat ditaklukkan dalam komunikasi bila kita
berbicara secara terbuka, tidak ada yang ditutup-tutupi, semuanya transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Akan berbeda halnya bila berhadapan dengan mereka yang
berkarakter tertutup, yang sangat menjaga asas kerahasiaan dan privasi. Bagi mereka yang
berkarakter intuitif, yang lebih mengandalkan hal-hal yang tidak nyata dan hanya
berdasarkan pada pandangan (intuisi), pembicaraan terbuka dan tertutup tidak akan dapat
memenuhi standar mereka. Ada tipe intuitif, ada pula tipe perasa dan penilai. Kedua tipe
terakhir ini tidak akan dapat menerima sebuah ungkapan, baik terbuka maupun tertutup,
secara langsung pada saat mendengarkan. Mereka akan melakukan penilaian yang
melibatkan perasaan. Mereka akan menyerap informasi dan ujaran dengan cara yang juga
berbeda.

3. Ketiga, karakter manusia berdasarkan fungsi otak. Orang dengan fungsi otak kiri dominant
akan berbeda gaya komunikasinya dibandingkan dengan mereka yang berfungsi otak kanan
dominant. Orang dengan otak kiri dominant relative lebih serius, sistematis, dan
metodologis. Sebaliknya, orang-orang dengan fungsi otak kanan dominant relative lebih
terbuka, berorientasi pada garis besar dan santai. Dengan kedua orang tipe ini, gaya
komunikasi kita harus disesuaikan.

4. Keempat, karakter manusia berdasarkan gender (jenis kelamin). Kaum laki-laki dan
perempuan memiliki gaya komunikasi yang berbeda. Kaum lelaki lebih cenderung berbicara
secara monolitik dalam hal topic, sementara perempuan dapat melakukan pembicaraan
multi topic. Hal ini terjadi karena wanita memiliki multi tracking brain, sementara pria
harus cukup puas dengan mono tracking brain. Oleh karena perbedaan tersebut,
pendekatan komunikasinya juga harus disesuaikan. Dengan wanita penjelasan berlapis
dengan multi tema dapat dilakukan, namun tidak demikian bila pria yang menjadi lawan
bicara kita.

5. Kelima, karakter manusia berdasarkan golongan darah. Ternyata golongan darah


menentukan karakter manusia. Paling tidak, hal itu diyakini oleh sebagian besar orang
Jepang. Golongan darah A, B, AB, dan O sangat unik dengan perbedaan yang ada. Orang
dengan golongan darah A cenderung sangat hangat, tenang, hati-hati, bertanggung jawab,
dan sebagainya. Berbeda dengan orang bergolongan darah B yang cenderung dingin dan
sistematis dalam menghadapi sesuatu. Lain lagi dengan orang bergolongan darah AB yang
mudah berubah-ubah; golongan darah ini kurang diminati di Jepang untuk diajak bekerja
sama. Orang dengan golongan darah O mendominasi di Jepang. Mereka tidak banyak ambil
pusing, penuh semangat, namun terkadang tidak dapat menyelesaikan pekerjaan yang
dibebankan kepada mereka. Kepada orang-orang dengan golongan darah yang berbeda-
beda dan memiliki karakter beragam tersebut, pendekatan komunikasi yang dilakukan pun
berbeda.

6. Keenam, karakter berdasarkan sifat dasar manusia: agesif, pasif, dan asertif. Orang-
orang agresif sangat berapi-api ketika mengemukakan pandangan. Sebaliknya,
orang pasif relative lebih kalem ketika mengutarakan pendapat. Orang asertif adalah tipe
diantara keduanya. Tipe ini lebih akomodatif, namun tegas. Terhadap sifat dasar manusia
ini, gaya komunikasinya juga harus dapat mengikuti alur sifat yang ada. Kepada mereka
yang agresif, imbangi pembicaraan dengan semangat membara. Kepada yang pasif, kita
harus mengganti gaya kita ke suasana kalem dan tenang. Kepada orang asertif, pilih topic
pembicaraan yang inklusif, bukan eksklusif.
7. Ketujuh, karakter manusia berdasarkan pola laku: doer (pelaku), influencer(pemberi
pengaruh), dan connector (penghubung). Sesuai namanya, para pelaku akan lebih suka
pada tindakan daripada kata-kata. Sementara itu, orang bertipe pemberi pengaruh akan
mencoba mewarnai orang lain denga keyakinan yang dimiliki. Orang tipe penghubung
cenderung menjadi juru damai yang intens. Ketiga pola laku tadi membuat kita harus
membedakan gaya berkomunikasi. Untuk orang tipe pelaku, jika berbicara langsunglah pada
permaslahan. Berbeda dengan orang bertipe pemberi pengaruh yang harus lebih didekati
dengan cara menurut. Sementara untuk orang dengan tipe penghubung, hal-hal social
kemasyarakatan harus lebih dikedepankan.

8. Kedelapan, karakter manusia berdasarkan


ekspresi : expresser (pengungkap),driver (pendorong), dan analytical (analistis). Manusia
memang unik dalam mengekspresikan diri mereka. Ada yang dengan gembira seperti para
pengungkap, ada yang tegas, dan ada pula yang kritis menyikapi sesuatu. Kesemuanya itu
mendapatkan porsi berbeda dalam kaitannya dengan komunikasi. Untuk orang bertipe
pengungkap, bergembiralah dengan mereka. Untuk orang bertipe pendorong, ikutilah
arahan mereka, dan utnuk orang bertipe analistis, berbicaralah secara teratur dan terukur.

9. Kesembilan, karakter manusia berdasarkan


gerak: socializer (penggembira),thinker (pemikir), dan director (pengarah). Sesuai dengan
atribut mereka, gaya komunikasi yang diterapkan jauh lebih mudah. Orang dengan tipe
penggembira akan mudah dihadapi dengan sifat persahabatan yang hangatdan tanpa
prasangka. Untuk tipe pemikir, gaya yang lebih tepat tentu lebih mengutamakan kerangka
berpikir ilmiah dan rasional, dan untuk tipe pengarah lebih mudah jika didekati dengan
gaya menuruti apa yang tengah disampaikan.

10. Terakhir, kesepuluh, adalah karakter manusia berdasarkan system


representasional: visual (penglihatan), auditory (pendengaran),
dankinesthetic (gerakan). Ada orang-orang tertentu yang lebih terangsang pada
saat mereka menerima informasi melalui matanya. Namun, aada juga yang lebih
mengandalkan telinga, tidak jarang pula yang mengutamakan gerakan dan
perasaan. Semua indra akan memberikan indicator kepada kita bagaimana
seharusnya kita menghadapi seseorang saat berkomunikasi. Orang dengan tipe
penglihatan akan lebih efektif bila diberi objek gambar, grafik, dan sejenisnya
ketika kita berkomunikasi dengan mereka. Sementara utuk mereka yang
mengutamakan pendengaran, yang perlu ditingkatkan adalah teknik suara. Untuk
tipe gerak/perasaan, kata-kata bersifat psikologis yang menggugah seharusnya
dikedepankan, ditambah gerakan emosional.

Sumber :
Understanding Your Communication Styles, Ponijan Liaw, elekmedia komputindo, Jakarta, 2005

Anda mungkin juga menyukai