Anda di halaman 1dari 9

Mencari jejak-jejak peninggalan Kerajaan Pajajaran

Secara resmi, kawasan yang disebut-sebut sebagai bekas ibu kota Pajajaran (Pakuan) baru
ditemukan oleh Scipio dalam waktu satu abad kemudian setelah kehancurannya. Berbekal informasi
tersebut, para sejarawan kemudian menarik benang merah dari naskah-naskah kuno seperti carita
Parahyangan, Naskah Wangsakerta, dan Serat Banten, sedangkan upaya lain yang dilakukan adalah
penelusuran melalui sejarah lisan, seperti carita pantun atau keterangan dari para juru kunci. Namun
terkadang penelusuran tersebut sering dikait-kaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis atau
supranatural, yang menyebabkan penemuan sejarah malah jadi kabur.

Di satu pihak, Kota Bogor sebagai kota modern yang terus berkembang dengan jumlah penduduk
yang semakin padat, seolah tidak mempedulikan sejarah masa lalunya. Bekas-bekas peninggalan
seperti lokasi situs Rancamaya yang diyakini sebagai situs Pajajaran yang banyak disebut-sebut
dalam catatan sejarah kini telah menjadi kawasan perumahan (Real Estate).

Selain itu, satu hal yang mungkin menghambat terkait dengan pencarian jejak-jejak peninggalan
Kerajaan Pajajaran adalah adanya keyakinan yang berhubungan dengan masalah religius, atau
keengganan untuk menguak kebenaran dari sejarah Pajajatan. Dan mungkin saja apa yang pernah
diutarakan oleh Prabu SIliwangi benar-benar terjadi pada masa kini,
"Sing Waspada! Sabab engke arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongengkeun. Sabab
sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta
nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bule. Arinyana teu nyaraho,
jaman manusa dikawasaan ku sato!".

Dalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabumi 1/2 menyebutkan bahwa runtuhnya Pajajaran terjadi
pada tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501 Saka, atau bertepatan dengan tanggal 5
Mei 1579 M. Berikut penjelasan isi Naskah tersebut:

"Pajajaran sirna ing ekadasa suklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul ikang
Sakakala" Sedangkan "Runtagna" Pajajaran didalam naskah "Waruga Jagat" dan naskah
"Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh" diseutkan: "Pajajaran burak pada tahun jim akhir".
Bersamaan dengan naskah tersebut, dalam Serat Banten dikisahkan pula tentang keberangkatan
pasukan Banten pada waktu akan melakukan penyerangan ke wilayah Pakuan dengan pupuh
Kinanti, yang kalau diterjemahkan adalah:

"Waktu keberangkatan itu (pasukan Banten) terjadi pada bulan Muharam tepat pada awal bulan hari
Ahad tahun Alif, inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu"

Hingga kini, para ahli sejarah masih mencari penyebab sebenarnya mengapa Pakuan bisa direbut
dengan mudah, meskipun telah ditinggalkan selama 12 tahun oleh rajanya, namun benteng Pakuan
yang dibangun pada masa Sri Baginda Maharaja tersebut masih tetap berdiri kokoh. Namun, untuk
sementara ini, kisah yang termuat dalam Serat Banten menjadi semakin masuk di akal. Konon
kabarnya, peristiwa runtuhnya Pajajaran hampir mirip dengan peristiwa 'kuda Troya" dari Yunani.

Kerajaan Pajajaran bisa dengan mudah dirobohkan setelah terjadinya sebuah penghianatan yang
telah dilakukan oleh seorang komandan pengawal benteng Pakuan yang merasa sakit hati lantaran
tidak mendapat kenaikan pangkat. Dan secara kebetulan pula, komandan tersebut adalah saudara
dari Ki Jongjo yaitu orang kepercayaan Maulana Yusuf. Pada suatu malam, sang komandan
kemudian membukakan pintu gerbang Pakuan lebar-lebar untuk mempersilakan para pasukan dari
Banten memasuki wilayah Pakuan, dan tanpa disadari oleh para penghuni Pakuan, pasukan Banten
sudah berada di antara mereka.
Ilustrasi Istana Pakuan Pajajaran

Jika melihat dalam banyak catatan sejarah, akan banyak sekali ditemukan penyebab runtuhnya
Pajajaran, mulai dari masalah internal Kadatuan Pajajaran sampai alasan dari Cirebon, Demak dan
Banten untuk mengislamkan Pajajaran. Meski begitu, tidak sedikit para ahli yang beranggapan
bahwa kejatuhan Pajajaran tidak terlepas dari keinginan Hasanudin yang ingin menaklukan Pajajaran
dan mengingkari perjanjian yang dibuat pada masa Jayadewata dengan para penghulu dari Demak,
Banten, dan Cirebon. Begitu pun dengan invasi perniagaan yang dilakukan oleh para Saudagara
Islam di wilayah Pasundan yang kemungkinan ada kaitannya.

Pajajaran Sirna Hing Bumi

Pajajaran benar-benar dihancurkan, bahkan tanah Pakuan tidak diberi izin untuk kemunculan ahli
waris Kerajaan. Hal tersebut diperkuat dengan diboyongnya semua hal-hal yang berbau kerajaan ke
kawasan Banten, termasuk Palangka Sriman Sriwacana, sebuah batu yang kerap dijadikan sebagai
singasana ketika melakukan penobatan bagi raja-raja Pajajaran. Batu itu dibawa oleh pasukan
Panembahan Yusuf ke Surasowan, Banten lama. Dengan diboyongnya batu tersebut, maka tidak ada
lagi penerus kerajaan Pajajaran yang bisa menerima tahta.

Di satu sisi, hal tersebut ternyata memberikan legitimasi pada Maulana Yusuf sebagai penerus
kekuasaan Pajajaran yang sah, karena bagaimanapun Maulana Yusuf dianggap sebagai 'teureur' Sri
Baduga Maharaja. Batu Palangka Sriman Sriwacana hingga saat ini masih bisa ditemukan di depan
bekas Keraton Surasowan Banten Lama. Orang Banten sendiri menyebutnya sebagai watu gigilang,
atau batu mengkilap yang sama artinya dengan batu 'sriman'.

Batu Palangka Sriman Sriwacana

Mengenai batu Palangka Sriman Sriwacana sudah dikisahkan dalam Carita Parahyangan:

Sang Susuktunggal inyananu nyieuna palangka Sriman SriwacanaSri Baduga


MaharajadirajaRatu Haji di Pakwan Pajajarannu mikadatwan Sri Bima PuntaNarayana Madura
Suradipati,inyana Pakwan SanghiyangSri Ratu Dewata
Artinya:

Sang Susuktunggal beliauyang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga
Maharajaratu penguasa Pakuan Pajajaranyang bersemayam di keraton Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati,yaitu istana SanghiyangSri Ratu Dewata

Palangka berarti tempat duduk atau tahta, dalam tradisi Pajajaran, Palangka atau batu Palangka ini
digunakan pada setiap acara penobatan. Di atas batu Palangka inilah para calon raja diwastu atau
diberkati oleh Purohita. Batu ini disimpan di kabuyutan kerajaan dan tidak berada dalam istana.
Palangka Sriman Sriwacana

Batu Palangka terbuat dari batu yang digosok hingga menjadi halus dan mengkilap. Perkembangan
selanjutnya, masyarakat sunda kemudian menyebutnya dengan batu pangcalikan atau batu ranjang,
sebagaimana yang ditemukan di makam kuno dekat Situ Sangiang, Cibalarik Sukaraja Tasikmalaya
dan di Karang Kamulyan yang merupakan bekas pusat Kerajaan Galuh. Sedangkan Batu Ranjang
ditemukan di desa Batu Ranjang Cimanuk, Pandeglang, dan pada saat ditemukan batu tersebut ada
ditengah-tengah sawah.

Mengungsinya para penerus Pajajaran

Sebagian dari penduduk yang masih memiliki pertalian darah dengan keluarga Keraton pada saat itu
turut mengungsi bersama dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu
Sang Ragamulya Suryakancana, putra dari Prabu Nila Kendra. Suryakancana kemudian mengungsi
ke arah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan
Menes, Kabupaten Pandeglang.

Menurut legenda "Kadu Hejo", di wilayah Pulasari ada seorang raja yang hidup tanpa membawa
mahkota kerajaan. Sedangkan dalam kisah lain disebutkan bahwa semua atribut dan mahkota dari
Kerajaan Pajajaran telah diselamatkan oleh Jayaperkosa dan saudara-saudaranya. Karena itulah
kemudian Sang Ragamulya Suryakancana memerintah tanpa mahkota kerajaan, sehingga sering
disebut dengan raja pendeta. Namun pemerintahannya itu pun kemudian dihancurkan oleh Pasukan
Banten yang menyerangnya.

Makam Embah Jaya Perkosa di Desa Dayeuh Luhur, Kecamatan Ganeas, Sumedang

Bagi Jayaperkosa dan para saudaranya dengan tidak adanya batu Palangka tidak berarti harus
mengakhiri trah raja-raja Pajajaran di tatar Sunda, sebab ia masih memiliki atribut (pakaian) raja
Pajajaran dan membawanya ke Sumedang Larang. Kelak, Geusan Ulun diistrenan sebagai pewaris
sah dari Kerajaan Pajajaran, ia juga dipercaya untuk memegang 44 Kandaga Lante dan 8 umbul.
Namun sayang, putranya (Pangeran Arya Suriadiwangsa) kemudian menyerahkan Sumedang pada
Sultan Agung Mataram tanpa syarat, yang menyebabkan tatar Sunda menjadi Vasaal Mataram.

Penemuan sisa-sisa Kerajaan Pajajaran

Satu abad kemudian, yaitu pada 1 September 1687, tim ekspedisi Scipio menemukan puing-puning
bekas Kadatuan Pajajaran ditengah hutan. Dalam laporan dari Gubernur Jenderal Belanda
disebutkan bahwa: Istana tersebut , terutama tempat duduk raja dikerumuni dan dirawat oleh
sejumlah besar harimau. Kemungkinan besar, dari hasil temuan itu kemudian muncul mitos yang
menyebutkan pasukan Pajajaran berubah wujud menjadi harimau.
Dalam ekspedisi tersebut, Scipio diantar oleh Penduduk dari Kedunghalang dan dari Parung
Angsana. Tak heran, sebagai peziarah pribumi asli pertama setelah Pakuan dinyatakan hilang,
mereka kemudian menganggap puing-puing yang mereka temukan itu sebagai singasana raja Sri
Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.

Tentang sakralnya singgasana tersebut pernah pula diceritakan oleh Abraham van Riebeeck (1703),
ia melihat adanya sajen yang diletakkan di atas piring di kabuyutan tersebut , sehinga masyarakat
setempat beranggapan sejak ditemukannya kembali puing-puing Pakuan oleh Scipio, mereka merasa
telah menemukan kembali Pajajaran yang hilang...
Lokasi pakuan

Tahun 1709, Van RIebeeck melihat adanya sebuah ladang baru di lereng Cipakancilan. Disini ia
menemukan adanya tanda-tanda kehidupan baru di bekas Pakuan. Diperkirakan peladang tersebtu
akan membuat dangau untuk tempat tinggalnya di sisi sungai Cipakancilan. Dengan demikian orang
Belanda telah mengetahui nama Pakuan, Pajajaran, dan Siliwangi jauh-jauh hari sebelum nama
Pakuan Pajajaran ditemukan dalam sebuah tulisan di prasasti batu tulis oleh Friederich dua abad
kemudian, yaitu pada tahun 1853.

Pakuan bagi masyarakat Sunda tidak hanya sekedar lokasi kerajaan, namun juga menyimpan berjuta
kenangan tentang kejayaan dan kemakmuran Pajajaran di masa lalu, lengkap dengan budayanya.
Bahkan sebagian besar masyarakat sunda sangat meyakini kalau Pajajaran tidaklah runtuh tapi tilem.
Meskipun begitu, Uga Wangsit Siliwangi telah memberikan kata-kata bijaknya mengenai sikap yang
harus dilakukan oleh masyarakat Sunda tentang Pajajaran yaitu:
Lalakon urang ngan nepi ka poe ieu,najan dia kabehan ka ngaing pada satua!Tapi ngaing
henteu meunang mawa dia pipilueun,ngilu hirup jadi balangsek, ngilu rudin bari lapar.Dia mudu
marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engke jagana, jembar senang sugih mukti,bisa
ngadegkeun deui Pajajaran!Lain Pajajaran nu kiwari tapi Pajajaran anu anyar,nu ngadegna
digeuingkeun ku obah jaman!

sumber:
- tuturussangrakean.blogspot.com

Read more: http://www.bogorheritage.net/2015/02/mencari-jejak-jejak-

peninggalan.html#ixzz4O5dRjhsN

Anda mungkin juga menyukai