Dosen:
Asisten:
Disusun oleh:
2016
LEMBAR PENGESAHAN
telah diperiksa dan disetujui memenuhi ketentuan serta layak untuk dinilai sebagai syarat
kelulusan mata kuliah SI-4231 Pengembangan Sumber Daya Air semester II tahun ajaran
2016/2017.
FORMULIR TUGAS
Berikut adalah kesan yang dirasakan penulis selama penyusunan Tugas Besar Pengembangan
Sumber Daya Air DAS Ciasem-Curug Agung Jawa Barat:
1. Air adalah salah satu sumber daya yang dikaruniai Tuhan yang memiliki manfaat yang
sangat besar bagi keberlangsungan dan kesejahteraan bagi umat manusia bila manusia
dapat memanfaatkan dan melestarikannya dengan baik dan tepat. Namun, air juga bisa
berdampak buruk dan menimbulkan bencana bagi umat manusia, seperti kekeringan,
banjir bandang, dan tanah longsor bila manusia tidak bisa memanfaatkan dan tidak
mau merawatnya dengan baik. Oleh karena itu, penulis menyadari bahwa pengelolaan
dan pengembangan sumber daya air sangatlah penting untuk meningkatkan
kesejahteraan umat manusia dan mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan kepada
ciptaan-Nya.
2. Dari pengerjaan tugas besar ini, penulis menyadari bahwa sebagai mahasiswa-generasi
penerus bangsa, seyogyanya tidak cukup hanya menguasai ilmu pengetahuan di satu
bidang, misalnya hanya teknik sipil. Sebagai mahasiswa, kita harus mau membuka
fikiran untuk mempelajari ilmu-ilmu lain juga, seperti ilmu sosial, ekonomi, dan teknik
lainnya karena di jenjang karier berikutnya, dibutuhkan keterampilan dan pengetahuan
di segala bidang agar dapat bekerja sama dengan berbagai pihak dan tidak mudah
ditipu oleh oknum-oknum pihak terkait.
3. Selain 2 poin di atas, penulis juga merasakan bahwa pengembangan sumber daya air
di Indonesia masih cukup rendah bila dibandingkan dengan negara-negara maju,
seperti Singapura, Jepang, Korea, dan lain-lain. Oleh karena itu, dibutuhkan generasi
penerus yang tidak hanya ahli di bidangnya, tetapi juga inovatif dan berwawasan luas.
Selain itu, dibutuhkan juga pemupukan karakter cinta tanah air dan kemampuan
bergotong royong pada generasi penerus bangsa agar secara bersama-sama senantiasa
dapat membangun tanah air menuju masa depan yang lebih makmur dan sejahtera,
minimal dari sisi sumber daya airnya.
ABSTRAK
Pengembangan Sumber Daya Air (PSDA) mempunyai pengertian sebagai ilmu yang
mempelajari tentang Teknik Sumber Daya Air yaitu: tentang caracara memahami kuantitas,
kualitas, jadwal ketersediaan dan kebutuhan sumber daya air serta penanggulangan
permasalahan yang ada, sehingga dapat dikembangkan pemanfaatan, kelestarian dan
pengelolaan sumber daya air tersebut untuk kesejahteraan kehidupan manusia beserta alamnya.
Dalam tugas besar ini, daerah kajian yang akan direncanakan pengembangan sumber daya
airnya adalah DAS Sungai Ciasem-Curug Agung yang terletak di Kecamatan Sagalaherang,
Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kecamatan ini memiliki lahan pertanian
seluas 1669,06 ha, perkebunan seluas 8667 ha, dan penduduk sebanyak 29.363 jiwa. Alternatif
skenario pengembangan yang diajukan penulis adalah waduk multiguna yang dapat memenuhi
kebutuhan PLTA, air baku, dan irigasi di daerah kajian tersebut.
Dalam perhitungan dan analisis ketersediaan dan kebutuhan, penulis menggunakan pemodelan
dengan Metode Rasional, NRECA, dan F.J. Mock. Setelah itu, dilakukan simulasi operasi
waduk dan optimasi kinerja waduk agar dicapai kelayakan teknis. Penulis juga melakukan
analisis kelayakan finansial untuk menilai kelayakan alternatif yang direncanakan secara
finansial. Analisis kelayakan teknis dan finansial tersebut selanjutnya digunakan penulis untuk
menyusun rekomendasi mengenai langkah yang harus diambil pihak-pihak yang terlibat dalam
pengembangan sumber daya air DAS Ciasem-Curug Agung.
LEMBAR KOREKSI
Rabu, 2 November
1 Progress I Pengumpulan Bab 1-2
2016
Rabu, 9 November
2 Progress II Pengumpulan Bab 3-4
2016
Rabu, 16
3 Progress III Pengumpulan Bab 5
November 2016
Sudah
Perhitungan routing reservoir diperbaiki,
Rabu, 28
4 Progress IV Pengumpulan Bab 6-7 diperbaiki agar mendapat nilai didapat
November 2016
tinggi waduk yang lebih baik tinggi waduk
22 meter.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat, dan
karunia-Nya tugas besar mata kuliah SI-4231 Pengembangan Sumber Daya Air ini dapat
diselesaikan.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada asisten, Asrini Chrysanti, S.T., Winda Diana Sari,
S.T., dan Dian Purwo, S.T., yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan
sehingga penyelesaian tugas besar ini dapat berjalan lancar. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada dosen mata kuliah SI-4231 Pengembangan Sumber Daya Air, Dr. Ir. Agung
Wiyono, M.S. M.Eng, dan Dr. Eng. Widyaningtias atas bimbingan dan ilmunya dalam mata
kuliah serta pengerjaan tugas besar ini.
Penulis menyadari bahwa tugas besar ini masih memiliki kekurangan baik dari segi isi maupun
penyajiannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
sebagai bahan masukan untuk ke depannya. Semoga tugas besar ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.
Medina Winandyani
15013098
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5. 1 PP No. 22 tahun 1982 tentang Prioritas Penggunaan Air/Sumber Air ............... 36
Gambar 5. 2 Alternatif Tata Letak Bangunan Air Waduk Ciasem-Curug Agung................... 37
Gambar 5. 3 Skema Tata Letak Bangunan Air Waduk Ciasem-Curug Agung ....................... 38
Gambar 5. 4 Elevasi vs Q Bendung ......................................................................................... 47
Gambar 5. 5 Volume Storage vs Elevasi ................................................................................. 47
Gambar 5. 6 Inflow vs Outflow ............................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
A. 1 Debit Sintetis Hasil Perhitungan dengan Metode NRECA Tahun 1978-1979 ................ 77
A. 2 Debit Sintetis Hasil Perhitungan dengan Metode NRECA Tahun 1980-1982 ................ 77
A. 3 Debit Sintetis Hasil Perhitungan dengan Metode NRECA Tahun 1983-1985 ................ 77
A. 4 Debit Sintetis Hasil Perhitungan dengan Metode NRECA Tahun 1986-1987 ................ 77
A. 5 Debit Sintetis Hasil Metode F.J. Mock Tahun 1978 ........................................................ 77
A. 6 Debit Sintetis Hasil Metode F.J. Mock Tahun 1979 ........................................................ 77
A. 7 Debit Sintetis Hasil Metode F.J.Mock Tahun 1980 ......................................................... 77
A. 8 Debit Sintetis Hasil Metode F.J. Mock Tahun 1981 ........................................................ 77
A. 9 Debit Sintetis Hasil Metode F.J. Mock Tahun 1982 ........................................................ 77
A. 10 Debit Sintetis Hasil Metode F.J. Mock Tahun 1983 ...................................................... 77
A. 11 Debit Sintetis Hasil Metode F.J. Mock Tahun 1984 ...................................................... 77
A. 12 Debit Sintetis Hasil Metode F.J.Mock Tahun 1985 ....................................................... 77
A. 13 Debit Sintetis Hasil Metode F.J. Mock Tahun 1986 ...................................................... 77
A. 14 Debit Sintetis Hasil Metode F.J.Mock Tahun 1987 ....................................................... 77
BAB I
PENDAHULUAN
a. air permukaan pada sungai, danau, rawa, dan sumber air permukaan lainnya;
1. Menjaga kelangsungan keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi SDA.
2. Memanfaatkan SDA secara berkelanjutan dengan mengutamakan pemenuhan
kebutuhan pokok kehidupan masyarakat secara adil.
3. Mencegah, menanggulangi, dan memulihkan akibat kerusakan kualitas lingkungan
yang diakibatkan oleh daya rusak air.
Wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya air adalah pemerintah baik
pusat, provinsi, kabupaten / kota dan desa berdasarkan Satuan Wilayah Sungai (SWS). Masing-
masing wilayah mempunyai tugas menetapkan kebijakan, pola, rencana melaksanakan
pengelolaan SDA dan memelihara, melindungi kawasan serta memberikan rekomendasi teknis
kepada pengambil kebijakan dalam pengambilan dan pemanfaatan air. Berikut adalah pihak-
pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumber daya air:
Berikut adalah fungsi dari setiap instansi terkait dalam pengelolaan sumber daya air:
Tabel 1. 1 Fungsi Instansi Terkait Pengelolaan Sumber Daya Air
Terlihat pada Tabel 1.1 bahwa masing-masing institusi mempunyai fungsi yang berbeda baik
instansi teknis maupun non teknis, tetapi ada juga instansi yang saling terkait. Seperti
BPSDAWS, PJT yang merupakan instansi teknis dalam pengambilan dan pemanfaatan air di
mana dalam fungsi pengelolaan mempunyai tugas yang berbeda namun saling terkait dimana
izin pengambilan dan pemanfaatan tidak akan diterbitkan oleh Dinas PSDA apabila tidak ada
rekomendasi teknis hasil survey lapangan yang dilakukan kedua instansi tersebut, sehingga
kedua instansi ini merupakan Primary Stakeholder. PDAM sebagai instansi pengguna baik air
baku maupun air permukaan untuk tenaga listrik atau untuk pemakaian beberapa sektor
termasuk untuk rumah tangga merupakan Secondary Stakeholder karena dalam fungsi
pengelolaan SDA hanya sebagai pemanfaat dan penyedia sapras. Instansi yang merupakan Key
Stakeholder antara lain Dinas PU Pengairan / PSDA provinsi, Dinas PSDA Kabupaten karena
dalam fungsi pengelolaannya instansi tersebut sebagai pemberi/penerbit izin pemanfaatan air.
Seperti dicontohkan oleh Mahar (1999), perencanaan pengelolaan sungai oleh DPU
tidak sinkron dengan perencanaan pengelolaan daerah tangkapan (catchment area)
yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan, sehingga tidak mustahil bahwa
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang seharusnya perlu segera diberikan penanganan
khusus, justru terjadi sebaliknya karena pengelolaannya masih parsial.
Akan tetapi pada kenyataannya, urutan prioritas yang kedua yakni pertanian, sering
dikalahkan oleh urutan prioritas ketiga seperti misalnya untuk kebutuhan
pembangunan industri. Dalam hal seperti ini, keberlanjutan pertanian di hilir
sungai bisa terancam akibat pemberian izin oleh pemerintah atas pengambilan air
di hulu sungai untuk keperluan industri yang tidak jarang menimbulkan
pencemaran sungai.
BAB II
Kecamatan Sagalaherang memiliki penduduk sekitar 30.289 jiwa dengan kepadatan penduduk
600 jiwa/km2. Jumlah penduduk Desa Sagalaherang Kaler menjadi yang terbanyak 5.714 jiwa
dan desa ini sekaligus menjadi pusat perdaganan dan jasa di wilayah Kecamatan Sagalaherang
maupun di Kecamatan Serang Panjang.
Dari Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa lalu lintas Kecamatan Sagalaherang dilalui jalan alternatif
dan beberapa jalan lokal (Jalan Rajapolah dan jalan lokal lainnya yang belum diketahui
namanya (unnamed)). Dari Gambar 2.2, dapat dilihat kondisi topografi Sagalaherang adalah
pegunungan dengan ketinggian 300 meter (Desa Curug Agung) - 1000 meter (Desa Cicadas)
(mdpl) diatas permukaan laut.
1. Cicadas
2. Curugagung
3. Dayeuhkolot
4. Leles
5. Sagalaherang
6. Sagalaherang Kaler
7. Sukamandi
1. Buka aplikasi Global Mapper, lalu buka file peta yang sesuai dengan lokasi yang
hendak kita tinjau (dalam kasus Sungai Ciasem digunakan peta Jawa Barat).
2. Setelah map terbuka, klik Tools pada toolbar lalu pilih menu configure. Setelah itu,
atur projection menjadi UTM.
3. Cari perkiraan DAS yang hendak ditinjau dengan menggunakan koordinat stasiun awal
yang diketahui. Adapun cara mencarinya yakni secara manual (mengarahkan kursor
dan mengatur zoom pada layar agar didapat koordinat yang sesuai ataupun
memasukkan koordinatnya pada menu). Setelah menemukan letak koordinat, catat
UTM yang tampil di layar lalu buka File pilih menu Export and Raster Elevation Data
kemudian pilih Export DEM.
4. Pilih toolbox Export Bounds kemudian pilih Draw a Box. Setelah itu, buatlah suatu
kotak yang mengelilingi titik koordinat yang kita peroleh. Adapun kotak ini adalah
perkiraan DAS sungai yang kita amati.
5. Save as gambar tersebut. Lalu, buka aplikasi WMS 8.1.
6. Aktifkan Drainage Module pada toolbar. Setelah itu, klik File -> Open -> pilih file
yang telah kita buat di aplikasi Globar Mapper tadi.
7.
Kemudian, arahkan kursor untuk mencari koordinat UTM yang sesuai dengan
koordinat stasiun yang kita miliki. Setelah itu, aktifkan ikon create outlet point.
Atur letak outlet sedemikian rupa sehingga DAS yang terukur di WMS 8.1
mendekati data luas sebenarnya.
Gambar 2. 7 Hasil Delineasi DAS Sungai Ciasem-CurugAgung pada Aplikasi WMS 8.1
(*sumber: DAFTAR INVENTARIS JARINGAN POS KERJASAMA DI JAWA BARAT TAHUN 2010)
Koordinat
No Nama Stasiun
LS BT
1 Ciherang-Kalijati 6,52 107,64
2 Ciracas 6,65 107,58
3 Lembang 6,49 107,36
Setelah itu, dengan menggunakan aplikasi AutoCAD, didapat jarak antarstasiun sebagai
berikut:
Jarak (km)
Kalijati K-C 12,98
Ciracas K-L 28,19
Lembang C-L 28,09
Kemudian, dengan menggunakan aplikasi Google Maps, didapat jarak antarstasiun ke lokasi
tinjauan (Kecamatan Ciasem) sebagai berikut:
Jarak (km)
Kalijati K-C 25.10
Ciracas C-C 38.89
Lembang L-C 53.95
bulanan mentah dari stasiun yang dipilih yakni Stasiun Ciherang Kalijati, Stasiun Ciracas, dan
Stasiun Lembang:
Selanjutnya, dilakukan pengisian data hujan yang hilang dan pengujian konsistensi data.
Berikut adalah tabel hasil pengisian data hujan yang hilang:
Nomor 135a
Stasiun Ciracas
Curah Hujan (mm) Bulan
Total Rerata
Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
1978 309,831466 287,96818 246,41653 181,896118 193,39692 114,991 207,257 84,68575 163,1669334 167,7864295 453,7005622 303,2135705 2714,310456 226,2
1979 242,005807 271,18335 235 560 537 234 114 234 427 299 506 639 4298,189154 358,2
1980 382 273 515 404 143 43 263 111 72 517 678 509 3910 325,8
1981 524 322 797 516 232 271 284 262 229 363 406 306 4512 376,0
1982 686 357 367 757 146 88 50 0 0 89 182 621 3343 278,6
1983 597 630 478 232 495 31 89 16 0 449 440 442 3899 324,9
1984 495 424 498 657 386 64,36089 167 474 509 467 377 385 4903,360889 408,6
1985 558 434 281 327 212 430 315 280 368 319 442 428 4394 366,2
1986 485 480 764 620 125 416 304 245 255 616 594 547 5451 454,3
1987 525 486 477 336 202 166 107 332 487 74 100 519 3811 317,6
Nomor 156a
Stasiun Lembang
Curah Hujan (mm) Bulan
Total Rerata
Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
1978 206 63 239 69 125 129 82 116 178 134 279 337 1957 163,1
1979 50 169 103 377 187 14 40 21 51 53 136 162 1363 113,6
1980 421,358261 236,63097 248 165 68 38 326,2721 62 73 216 367 237 2458,261375 204,9
1981 104 61 380 305 120 56 19 79 38 103 132 163 1560 130,0
1982 194 44 127 265 0 59 0 0 0 60 38 52 839 69,9
1983 150 408 213 278 288 79 61 8 5 413,6273861 337 235 2475,627386 206,3
1984 239 276 360,49519 491,595664 328 52 97,25118 0 28 98 321 283,8642165 2575,206256 214,6
1985 454,373187 316,42342 282,99282 169 191,57356 244,1692 190 125 214,0543986 219 176 329,3552457 2911,941866 242,7
1986 195 391,81757 306 269 96,104062 110 88 114 203 255 111 198 2336,92163 194,7
1987 205 409,77451 298 185 146,20095 24 4 233 256 16 82 325 2183,975455 182,0
Tabel 2. 8 Hasil Pengisian Data Hujan yang Hilang di Stasiun Ciherang Kalijati
Nomor 154a
Stasiun Kalijati
Curah Hujan (mm) Bulan
Total Rerata
Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
1978 332 336 248 206 208 112 234 78 160 175 491 296 2876 239,7
1979 283 293 259 527,992816 475,78407 158 3 196,7457 361,236606 249 299 249 3355 279,6
1980 461 200 378 267 9 53 390 102,4298 72,17490264 464,3543043 623,6052779 461,426481 3482 290,2
1981 541 69 352 280 194 41 79 97 142 290 388 196 2669 222,4
1982 599,947899 157 286 343 22 52 0 0 0 83,92782334 156,8140193 295 1996 166,3
1983 323 574 431,6508 451 345 39,39533 84,10273 3 0 378 254 190 3073 256,1
1984 551,50898 0 222 325 232 67 27 0,524708 0 135,3618244 173,8121043 182 1916 159,7
1985 350 198 285 299,365382 171 57 293,1372 252,8901 59 224 321 230 2740 228,4
1986 434,278233 303 249 475 67 175 121 58 245,9050625 552,8601457 509,5220232 485,9589774 3677 306,4
1987 469,031154 333 445,69243 309,589701 90 141,1638 88,98503 314,6846 446,5974894 63,85564668 96,85175242 485,0688872 3285 273,7
Setelah mengisi data hujan yang hilang, penulis menghitung curah hujan rerata bulanan
menggunakan Metode Aritmatik dan Metode Poligon Thiessen. Dari data Tugas Besar SI-2231
Rekayasa Hidrologi, didapat hasil error yang lebih kecil untuk Metode Poligon Thiessen,
sehingga, data curah hujan rerata yang digunakan adalah hasil dari metode tersebut. Kemudian,
dilakukan pemeriksaan konsistensi data untuk mengetahui tingkat konsistensi data curah hujan
pada suatu daerah. Selain itu, hal ini juga berfungsi untuk menguji kebenaran dan validitas
data. Data hujan disebut konsisten jika data yang terukur dan dihitung adalah teliti dan benar
serta sesuai dengan keadaan ketika terjadi hujan. Pengujian konsistensi data dilakukan dengan
metode kurva massa ganda. Berikut adalah curah hujan rerata hasil Metode Poligon Thiessen
dan yang telah diuji konsistensinya:
Berikut adalah data klimatologi yang penulis peroleh dari Laboratorium Mekanika Fluida ITB
untuk daerah Kalijati-Subang:
BAB III
Dari Gambar 3.1, terlihat bahwa tata guna lahan di Kecamatan Sagalaherang sebagian besar
terdiri dari area persawahan dan pemukiman.
Setelah pertanian dan pemukiman, lahan di kecamatan ini juga digunakan sebagai area
perkebunan. Berikut adalah rinciannya:
Tabel 3. 1 Luas Kawasan Perkebunan Kabupaten Subang
Dari tabel di atas, diperoleh luas perkebunan di kecamatan ini seluas 8.667 hektar.
Dengan data tersebut, tata guna lahan kawasan DAS Ciasem-Curug Agung dapat dirangkum
dalam tabel berikut:
3.2 Alternatif Skenario Pengembangan Sumber Daya Air DAS Ciasem-Curug Agung
Dari tata guna lahan yang telah dijelaskan pada subbab 3.1, skenario yang penulis ajukan untuk
pengembangan sumber daya air DAS Ciasem-Curug Agung adalah pembangunan satu waduk
multiguna yang dapat memenuhi kebutuhan pertanian, air minum, industri, dan perkebunan di
DAS Ciasem-Curug Agung.
BAB IV
Metode Rasional menyatakan bahwa puncak limpasan pada suatu DAS akan diperoleh
pada intensitas hujan maksimum yang lamanya sama dengan waktu konsentrasi (Tc).
Waktu konsentrasi adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk pengaliran air dari
yang paling ujung dari suatu DAS sampai ke outlet.
Q = C. I . A
3.6
dimana :
koefisien pengaliran yang tergantung pada tata guna lahan, kondisi tanah,
kemiringan dan vegetasi penutup lahan
Untuk pendugaan intensitas hujan dengan lama hujan kurang dari 24 jam, digunakan r
umus empirik dari dr. Mononobe :
2/3
R t 24 24
It =
24 T
dengan :
It = Intensitas hujan dengan t jam (mm/ jam),
R24 = Maksimum hujan 24 jam (mm).
T = Lama waktu curah hujan/lama waktu konsentrasi aliran (jam).
T = L / w (jam)
W = 72 ( h/L ) 0.6 (km / jam)
Jenis Tanah
Tata Guna
Kemiringan Loam Lempung Lempung
Lahan
Berpasir Sitloam Padat
Hutan 0% - 5% 0.1 0.3 0.4
5% - 10% 0.25 0.35 0.5
10% - 30% 0.3 0.5 0.6
Padang 0% - 5% 0.1 0.3 0.4
Rumput 5% - 10% 0.15 0.35 0.55
(semak- 10% - 30% 0.2 0.4 0.6
semak)
Tanah 0% - 5% 0.3 0.5 0.6
Pertanian 5% - 10% 0.4 0.6 0.7
10% - 30% 0.5 0.7 0.8
Sumber : Sosrodarsono, S. Kensaku, T. 2006
Dari Tabel 4.2, diambil nilai koefisien sebesar 0,85 karena daerah DAS merupakan
daerah pegunungan yang curam. Dengan menggunakan rumus metode rasional, dengan
luas DPS 94,35 km2, didapat bangkitan debit sintetis dan debit andalan sebagai berikut:
Dengan menggunakan forecast pada Ms. Excel, diperoleh debit andalan dengan
probabilitas 70%, 80%, dan 90% sebagai berikut:
Tabel 4. 3 Debit Andalan dengan Metode Rasional
P Q (m3/s)
0,7 4,48
0,8 2,84
0,9 1,83
DF = EM GWS
GWF = P2 x GWS
GWS = P1 x EM
S = WB EM
EM = EMR x WB
WB = Rb AET
Wi = Wo / N
N = 100 + 0.20 Ra
Di mana :
N = Nominal
a. Memasukkan nilai tampungan kelengasasn awal Wo. Nilai awal ini harus
dicoba-coba dan dicek agar nilai pada Januari mendekati nilai pada bulan
Desember. Setelah melakukan beberapa percobaan, maka didapatkan bahwa
nilai Wo awal adalah 2071,838.
c. Nominal
= 100 + 0.2*4680
= 1035,92
= 286,6/123 = 2,322
e. Ratio AET/PET
Nilai ration AET/PET ditentukan jika rasio kurang dari 1 dan tampungan
kelengasan awa = 1 0.5
=1
f. AET = Ratio x PET x Koef Evapo
= 1 x 123 x 0.45
= 55,53 mm
g. Neraca air
= Curah hujan - AET
= 286,6 55,53
= 231 mm
h. Ratio kelebihan kelengasan
Bila neraca air positif, maka rasio tersebut dapat diperoleh dengan memasukkan
harga Wi. Bila neraca air negatif, maka rasio = 0. Untuk bulan Januari tahun
1995 didapatkan nilai rasio kelebihan kelengasannya adalah 1.
i. Kelebihan kelengasan
= 231 x 1 = 231 mm
j. Perubahan tampungan
= neraca air-kelebihan kelengasan
= 231 231 = 0 mm
k. Tampungan air tanah
= PSUB x kelebihan kelengasan
= 0.9 x 231 = 207,96 mm
= 2071,84 + 0
= 2071,84 mm
CORREL 0,60614
TOTAL ERROR
AV DISCH MODEL 6,98
AV DISCH OBSERV 5,141196
Contoh perhitungan untuk air hujan tahunan dan nominal untuk Tabel 4.5.
b. Nominal
= 100 + 0.2 x 4680 = 1035,92
Tabel hasil perhitungan debit sintetis dengan metode NRECA untuk tahun 1978-1987
terdapat pada Lampiran. Berikut adalah grafik bangkitan debit sintetis dengan metode
NRECA:
Setelah mendapat debit sintetis perbulan selama 10 tahun, dilakukan perhitungan debit
andalan dengan menggunakan Metode Weibull. Metode ini dilakukan untuk mengetahui
debit urut sehingga akan diperoleh probabilitas dari masing-masing debit andalan seperti
pada Tabel 4.6. Adapun contoh perhitungan Tabel 4.6 dan Tabel 4.7 sebagai berikut.
a. Urutkan debit (dari data aliran total) dimulai dari yang terbesar ke terkecil atau
sebaliknya. Beri ranking untuk setiap debit, debit terbesar adalah ranking 1.
b. Hitung probabilitas menggunakan rumus Weilbull
Untuk rank 1
P = 1/(120+1) x 100% = 0.83 %
Lakukan proses ini hingga data terakhir
c. Cari debit andalan saat probabilitas 70, 80, 90, 95 % dari data yang telah diurutkan
menggunakan interpolasi data.
P Q andalan (m3/s)
0,7 5,49
0,8 4,95
0,9 4,35
0,95 3,33
Baris 1
Jumlah tinggi hujan harian dalam satu bulan. Jumlah tinggi hujan atau curah hujan
harian merupakan curah hujan representatif DAS Ciasem yang diperoleh dengan
metode Poligon Thiessen/Aritmatik (bergantung pada error yang lebih kecil). Untuk
bulan Januari, karena error thiessen lebih kecil dari error aritmatik, maka tinggi hujan
harian yang diambil adalah 334. 47 mm.
Baris 2
Jumlah hari hujan dalam satu bulan yang mewakili daerah yang ditinjau. Untuk bulan
Januari 1987 adalah 18 hari.
Baris 3
Jumlah hari dalam satu bulan. Jumlah hari untuk Januari 1987 adalah 31 hari.
Baris 4
Rata-rata suhu (temperature) bulanan dalam derajat Celcius untuk bulan Januari 1987
adalah 25,20C.
Baris 5
Rata-rata persentase penyinaran matahari bulanan dalam persen (%). Untuk DAS
Ciasem pada bulan Januari 1987 adalah 40.5%.
Baris 6
Rata-rata kelembaban relatif (relative humidity) bulanan dalam persen (%).Untuk DAS
Ciasem pada bulan Januari 1987 adalah 88%.
Baris 7
Rata-rata kecepatan angin (wind speed) bulanan dalam mil/day untuk DAS Ciasem
pada bulan Januari 1987 adalah 142.72 mil/day. Sebelumnya, konversi dulu data
kecepatan angin untuk Januari 1987 dalam knot menjadi mil/day.
Baris 8
Radiasi matahari (Solar Radiation, R) tergantung pada letak lintang. Lokasi tinjauan
Stasiun Ciasem Curug Agung terletak pada posisi 060 37 00 LS 1070 41 00
sehingga kita perlu melakukan interpolasi 5-10o S Lat seperti berikut:
Tabel 4. 9 Nilai Radiasi Matahari Pada Permukaan Horizontal di Luar Atmosfer (mm.hari)
Baris 9
Seperti disebutkan dalam Baris 4, temperatur rata-rata untuk Januari 1987 adalah
25,20C. Berdasarkan temperatur ini maka nilai A dicari dengan interpolasi suhu 24 dan
26 derajat pada Tabel 3.17 di bawah ini. Untuk lokasi tinjauan DAS Ciasem, diperoleh
A untuk Januari 1987 adalah 0.7933.
Baris 10
Radiasi benda hitam pada suhu udara rata-rata (B, mm H2O/hari). Nilai ini tergantung
pada temperatur rata-rata bulanan. Dengan cara yang sama dengan penentuan nilai A,
nilai B yang diperoleh untuk Januari 1987 adalah 16.033 mm H2O/hari.
Tabel 4. 10 Hubungan Temperatur Rata-Rata dengan Parameter Evapotranspirasi A, B, dan ea
Baris 11
Tekanan uap air jenuh (ea dalam mmHg) pada suhu udara rata-rata bulanan, yakni
25,20C. Untuk Januari 1987, dengan interpolasi data suhu 24 dan 26 derajat didapat ea
= 24.033 mmHg.
Baris 12
Baris 13
(0.18+0.55) 0.798(0.18+0.55(0.405))
F1 = f (T,S) = = = 0.3
+0.27 0.798+0.27
Baris 14
Baris 15
0.270.35() 0.270.35(24.03321.149)
F3 = f (T,h) = = = 0.256
+0.27 0.798+0.27
Baris 16
Baris 17
Baris 18
Baris 19
Baris 20
Baris 21
Baris 22
Baris 23
Baris 24
45
= 20 (18 ) = 20 (18 18) = 0
Baris 25
45
E = (18 ) = 0 x 20 (18 18) = 0
20
Baris 26
Baris 27
Baris 28
Baris 29
SMC yang diambil adalah 200 karena nilai P-Ea lebih besar dari nol.
Baris 30
Baris 31
Baris 32
Koefisien infiltrasi (if) yang diambil untuk Januari 1987 adalah 0.37.
Baris 33
Baris 34
Konstanta Resesi Aliran (K) yang digunakan untuk Januari 1987 adalah 0.9.
Baris 35
PF yang digunakan untuk Januari 1987 dan bulan lainnya adalah 10%.
Baris 36
Baris 37
Baris 38
Baris 39
Baris 40
Baris 41
Baris 42
Baris 43
Baris 44
Baris 45
| |
Error = 100%
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Stream Flow (Q) (m3/s) 6.467863 5.064058 8.668439 4.354227 2.983016 3.078398 1.020315 4.155024 8.705379 1.780087 1.522599 8.287627
Q observasi 8.74 10.70 8.16 4.69 4.58 2.13 2.11 2.22 2.19 1.93 2.65 4.07
Error (%) 35.12965 111.293 5.865403 7.71142 53.5359 30.80817 106.7988 46.57071 74.84314 8.421691 74.0445 50.89065
| 6.4678638.74|
Error = 100% = 35.12965%
6.467863
Dapat kita lihat bahwa terdapat perbedaan antara debit hasil perhitungan dengan debit
hasil observasi. Oleh karena itu, kita perlu mengkalibrasi beberapa variabel yang telah
kita asumsikan sebelumnya, yakni koefisien refleksi (r), exposed surface (m),
infiltration coefficient (if), K, dan percentage factor (PF).
0.7 K 0.9
0.05 PF 0.1
0.7 K 0.9
0.05 PF 0.1
Lalu klik Solve. Setelah itu, variabel-variabel tadi akan berubah dengan sendirinya
sehingga debit hasil perhitungan (stream flow) nilainya akan berubah yakni mendekati
debit hasil observasi:
Setelah Kalibrasi
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Stream Flow (Q) (m3/s) 8.74 10.12891 8.16 4.69 4.58 2.13 2.11 2.22 3.320476 1.93 2.65 4.918265
Q observasi 8.74 10.70 8.16 4.69 4.58 2.13 2.11 2.22 2.19 1.93 2.65 4.07
Error (%) 4.24E-07 5.638194 6.4E-07 1.34E-07 1.01E-06 9.73E-07 1.68E-10 2.76E-06 34.0456 6.89E-11 1.6E-06 17.24723
Dapat dilihat bahwa masih terdapat perbedaan (error) antara debit hasil kalibrasi
dengan debit observasi. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan waktu pengukuran
debit, yakni debit perhitungan yang diamati adalah 1978-1987 sedangkan debit
observasi yang diamati yaitu pada tahun 1994. Berdasarkan hal tersebut, sangat
memungkinkan adanya perbedaan keadaan iklim dan curah hujan di DAS Sungai
Ciasem sehingga menimbulkan perbedaan debit yang didapat.
Selanjutnya, lakukan kalibrasi untuk bulan-bulan lainnya di tahun 1987 sehingga akan
didapat nilai r, exposed surface, if, K, dan PF untuk setiap bulannya. Setelah mendapat
nilai variabel perbulan, lakukan kalibrasi untuk data debit 9 tahun lainnya dengan data
curah hujan terkalibrasi dan jumlah hari hujan masing-masing tahun.
Kemudian, untuk menentukan debit sintetis 10 tahunan, kita dapat membuat grafik
antara debit dengan bulan ke berapa dalam 10 tahun tersebut dengan menggunakan
scatter diagram.
Debit 10 Tahunan
14
12
10
Debit (m3/s)
8
6
4
2
0
0 20 40 60 80 100 120 140
Bulan ke-
Untuk mendapat debit andalan, kita harus mengumpulkan data debit 10 tahunan menjadi
satu (terdapat 120 data). Setelah itu, urutkan debit tersebut dari nilai terbesar ke nilai
terkecil. Kemudian, tentukan probabilitas kejadian masing-masing debit dengan
menggunakan Metode Weibull.
P= +1
1
P= 120+1 = 0.008264
Setelah dihitung semua probabilitasnya, kita dapat membuat kurva probabilitas debit
rendah seperti berikut:
10
8
6
4
2
0
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2
Probabilitas Kejadian
Dari data dan grafik tersebut, kita dapat menghitung debit Q75, Q80, dan Q90
menggunakan cara interpolasi.
Tabel 4. 14 Debit Andalan Hasil Metode F.J. Mock
P Q andalan (m3/s)
0,7 1,54
0,8 0,97
0,9 0,58
0,95 0,45
Dari Tabel 4.15, di Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang terdapat 9529 rumah.
Dengan asumsi daya per rumah dan industri seperti pada Tabel 4.16, diperoleh
kebutuhan daya listrik untuk Kecamatan Ciasem sebagai berikut:
Tabel 4. 16 Kebutuhan Daya Listrik Total
Setelah mendapat besar daya yang dibutuhkan, kita dapat menghitung debit yang
dibutuhkan untuk memenuhi permintaan daya tersebut. Hubungan daya dan debit
secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan:
- P = Daya (watt)
- = Efisiensi
- = Massa jenis air (kg/m3) = 1000 kg/m3
- g = 9,81 m/s2
- Head = didapat dari beda tinggi intake dengan turbin (google earth pro)
- Q = Debit (m3/s)
Lokasi yang dipilih adalah lokasi yang memiliki topografi cekungan, untuk
menjamin keberadaan dead storage saat waduk beroperasi. Gambar 4.10
menunjukkan perkiraan lokasi waduk yang dipilih oleh penulis.
3. Tentukan Head
Dari Gambar 4.12, diperoleh elevasi intake 331 meter dan elevasi turbin 316
meter, sehingga:,
Setelah mendapat nilai head, kita dapat menghitung debit yang dibutuhkan untuk
PLTA, yakni:
8,6 106
=
0,85 1000 9,81 110
Q = 9,35 m3/s
Dari data tersebut, kita dapat menghitung kebutuhan air bersih untuk Kecamatan
Ciasem sesuai dengan jumlah penduduk yang telah disebutkan di subbab sebelumnya.
Berikut adalah hasil perhitungan kebutuhan air minum:
4.2.3 Irigasi
Besar kebutuhan air untuk irigasi diambil dari hasil perhitungan Tugas Besar SI-3131
Irigasi dan Drainase, yakni DR sebesar 1,72 liter/detik/ha dengan luas sawah 1669,06
hektar, sehingga setelah dikonversi menjadi 2,87 m3/s.
Selanjutnya, hitung debit andalan 80% untuk masing-masing bulan. Dengan bantuan forecast
pada MS. Excel, diperoleh debit andalan 80% per bulan sebagai berikut:
Tabel 4. 19 Kebutuhan dan Ketersediaan Air Ciasem-Curug Agung
Setelah itu, plot grafik kebutuhan dan ketersediaan air untuk mengetahui tingkat keseimbangan
ketersediaan dan kebutuhan air, sebagai berikut:
Dari Gambar 4.13, dapat dilihat bahwa kebutuhan air selalu lebih besar daripada ketersediaan
air, sehingga diperlukan optimasi waduk untuk meningkatkan water balance. Langkah-langkah
yang dapat dilakukan di antaranya adalah mempersempit daerah layan, misal dari satu
kecamatan menjadi hanya beberapa desa (daerah layan tidak 100% kecamatan), mengatur
waktu pengaliran sehingga tidak terjadi konflik kepentingan, dan lain-lain yang akan dibahas
pada Bab VI.
Keterangan:
A : laju erosi lahan (ton/ha/tahun)
K : koefisian erodibilitas tanah
R : nilai erosivitas hujan
Setelah mengetahui besarnya laju erosi, maka volume dari dead storage dapat
ditentukan sebagai berikut:
(3 ) =
Erodibilitas tanah adalah nilai kepekaan hancurnya tanah pada proses erosi. Perkiraan
nilai K berdasarkan parameter-parameter kohesi, struktur, kandungan bahan organik,
dan permeabilitas tanah. Untuk melakukan analisa lebih lanjut, perlu dilakukan
pengambilan undisturbed sample tanah untuk pemeriksaan di laboratorium mencakup
parameter-parameter berikut ini:
Persentase pasir
Kadar bahan organik
Struktur tanah
Permeabilitas
Oleh Weschmeier struktur tanah dibagi ke dalam 4 kelas dan permeabilitas dalam 6
klasifikasi sebagai berikut:
Halus (very granular) tanah berbutir sangat halus.
Agak halus (fine granular) tanah berbutir halus.
Sedang (coarse granular) tanah berbutir kasar.
Kasar (blcky massive) tanah kasar berbentuk blok dan massive.
Data nilai K rata-rata dari beberapa jenis klasifikasi tanah di Indonesia dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 4. 20 Koefisien Erodibilitas Tanah
Nilai erosivitas hujan sebanding dengan besar energi kinetik curah hujan (E), yang
didefinisikan sebagai besarnya intensitas hujan maksimum yang terjadi dalam selang
waktu 30 menit (I30), menggunakan data curah hujan regional rata-rata setiap bulannya
selama 10 tahun (1978-1987). Nilai erosivitas hujan didefinisikan sebagai besarnya
nilai EI30 yang dirumuskan sebagai berikut:
12
= (2,21 1.36 )
=1
Keterangan:
Ri : curah hujan bulan (cm)
1
= ( ) 34.71 ( )1.5 ( ( )5/4 + ( )9/4 )
22 2
Keterangan:
L : Panjang lahan (m)
S : Kemiringan lahan (%)
m : Faktor kemiringan lahan
= 0.50 untuk lereng dengan kemiringan lebih dari 5.0%
= 0.40 untuk lereng dengan kemiringan 3.5% sampai dengan 4.9%
= 0.30 untuk lereng dengan kemiringan kurang dari 3.5%
Setelah harga K, R, LS, dan P diperoleh, maka nilai A bisa ditentukan dan besarnya
dead storage dapat dihitung:
(3 ) =
Keterangan:
A : Laju erosi (ton/m2/tahun)
: Berat jenis lumpur = 2,546 ton/m3
Perhitungan dead storage untuk Waduk Ciasem-Curug Agung adalah sebagai berikut:
Indonesia dan digunakan untuk pertanian. Maka nilai K yang digunakan adalah
sebesar 0.3.
12
= (2,21 1.36 )
=1
Panjang kemiringan lereng (L) adalah 15.430 meter (dari data WMS). Kemiringan
adalah 1,75% (data WMS). Besarnya nilai Ls dihitung menggunakan rumus:
L m 1 5 9
Ls = ( ) 34.71 (cos )1.5 ( (sin )4 + (sin )4 )
22 2
(3 ) =
Dengan berat jenis tanah sedimentasi ( ) sebesar 2,546 kN/m3 dan umur
layan waduk diasumsikan selama 50 tahun, maka besar endapan sedimentasi di
Waduk Ciasem-Curug Agung dapat dihitung sebagai berikut:
208,58 94,35 50
(3 ) = = 38,65x106 3
2,546 (10)4
Life storage adalah storage yang dimanfaatkan untuk menampung air selama masa
layan waduk. Langkah-langkah dalam menentukan volume dari life storage adalah
sebagai berikut.
1. Tentukan data yang diperlukan, seperti luas DAS, luas waduk, dan koefisien
pengaliran (C)
Tabel 4. 22 Parameter dalam Perhitungan Life Storage
Data
Luas DPS 94,35 x 10^6 m2
Luas Waduk 3,35 x 10^6 m2 Luas Genangan pada Google PRO
Koef. Runoff (C) 0,85
2. Tentukan curah hujan bulanan. Curah hujan bulanan yang digunakan dalam
perhitungan ini adalah curah hujan bulanan selama 10 tahun untuk DAS Ciasem-
Curug Agung (1978-1987).
3. Hitung debit DPS. Debit DPS yang digunakan adalah debit hasil perhitungan
metode F.J.Mock pada subbab 4.1.3.
4. Hitung debit waduk. Debit waduk dihitung dengan metode rasional, yakni:
Q = C. I . A
3.6
dimana :
Q = Debit Puncak banjir (m3/dt)
C = Koefisien Limpasan ( 0 < C < 1 )
koefisien pengaliran yang tergantung pada tata guna lahan, kondisi tanah,
kemiringan dan vegetasi penutup lahan
I = Intensitas hujan maksimum dengan lama hujan sama dengan waktu
konsentrasi (mm / jam)
A = Luas DAS (km2)
5. Hitung debit total. Debit total adalah hasil penjumlahan debit DPS dengan debit
waduk.
6. Hitung debit total kumulatif.
7. Hitung debit kebutuhan rerata. Kebutuhan rerata didapat dari rata-rata debit total.
8. Hitung debit kebutuhan rerata kumulatif.
9. Hitung selisih debit tersedia kumulatif dengan kebutuhan rerata kumulatif.
10. Plot grafik Debit vs Bulan.
11. Hitung life storage, yakni nilai selisih maksimum dikurang nilai selisih minimum.
Dari perhitungan, diperoleh life storage untuk Waduk Ciasem-Curug Agung sebesar
117,43 x 106 m3.
Berikut adalah grafik hubungan antara kebutuhan dan ketersediaan air yang diperoleh
untuk penentuan life storage:
Dari Gambar 4.16, dapat dilihat terjadi kekurangan air pada beberapa bulan. Strategi
yang dapat dilaksanakan sama dengan strategi yang diambil pada subbab 4.3.
BAB V
Adapun menurut Urutan prioritas pemanfaatan air menurut UU No. 11 Tahun 1974 tentang
pengairan adalah sebagai berikut:
3. Peternakan.
4. Perkebunan.
5. Perikanan.
6. Ketenagaan.
7. Industri.
8. Pertambangan.
10. Rekreasi.
Oleh karena itu, penulis menjadikan aturan tersebut sebagai pedoman dalam penyusunan
alternatif tata letak bangunan air. Pertama, berdasarkan kebutuhan topografi, penulis
menempatkan PLTA sebagai intake pertama karena membutuhkan head yang besar.
Selanjutnya, berdasarkan aturan dan tata guna lahan, penulis menempatkan Air Minum sebagai
intake kedua dan ketiga. Kemudian, di batas daerah layan (Desa Curug Agung), penulis
menempatkan intake untuk irigasi berdasarkan topografi dan tata guna lahan yang mayoritas
adalah persawahan.
Berikut adalah skema alternatif tata letak bangunan air dari Waduk Ciasem-Curug Agung yang
penulis susun:
Adapun perhitungan debit yang digunakan masing-masing intake akan dihitung pada subbab
5.2.
Kolom : No urut
=1
=2,15 [ +
2
0.4523
]
Kolom 21 : Head
= (C . Vrd)+ e
= 0,9605 [ . +.
2
0.5546
] + 0,6214
= 16,43 m
8,6 60602430
= 0,85 10009,8148,44
Kolom 15 :
= Ketersediaan air kebutuhan rencana
= 156,076 + (-144,19)
Karena Kolom 16 < volume minimum, maka untuk bulan November 39 x 106 m3.
1. Mengubah koefisien pemenuhan kebutuhan daya listrik, dari 100% menjadi 10% dari
kebutuhan perbulannya. Pada bulan Agustus, September, dan Oktober pemenuhan
kebutuhan daya listrik < 10% sesuai dengan debit hasil analisis.
2. Diambil asumsi tampungan air total dan terjadi sebesar volume maksimum waduk, agar
dapat memenuhi kebutuhan yang ada.
3. Koefisien pemenuhan kebutuhan air minum dan irigasi diambil 100%, sesuai dengan
aturan pemerintah yang terdapat pada subbab 5.1.
Kebutuhan Irigasi = L/s/Ha 1,72 Luas DPS (106) m2 94,4 Volume Min Waduk = 104 m3 39
6 2 4 3
Kebutuhan Air Minum = L/day/orang 150 Luas Area Waduk x10 m 3,35 Volume Maks Waduk = 10 m 156
Kebutuhan Sungai = m3/s 0 Luas Sawah = Ha 1669,06 Volume Waduk Awal Oktober = 104 m3 156
Kebutuhan Industri = L/s/Ha 0,00 Luas Perikanan = Ha 0 Volume Waduk Akhir Oktober= 104 m3 156
Kebutuhan ikan = L/s/Ha 0,00 Luas Industri = Ha 0 Koefisien Run-Off (C) = 0,85
Evaporasi dan losses = mm/day 4,43 Jumlah Penduduk = orang 29363 30 hari
- Elevasi
52 meter
- Head
6m
- Volume Storage
VS = A x H = 1000000 x 6 = 6000000 m3
- Head Bendung
1 meter
- Q Bendung
Q = 3.3 L H1/3 = 3.3x 3 x 11/3 = 9.9 m3/s
- 2S/t + O
= (2x6000000)/(2x3600) + 9.9 = 1676.5667 m3/s
Setelah mendapat debit inflow dan outflow, kita dapat mencari tinggi waduk berdasarkan
2
Qmax outflow = 3 2 3/2
dengan Cd = 0,745, lebar spillway = 3 meter, g = 9,81 m/s2, dan Qmax outflow = 33,57 m3/s,
didapat:
H waduk = 22 meter
BAB VI
Analisis finansial bertujuan untuk mengetahui perkiraan dalam hal pendanaan dan aliran kas,
sehingga dapat diketahui layak atau tidaknya bisnis yang dijalankan. Menurut Husnan
Suswarsono (2000) analisis finansial merupakan suatu analisis yang membandingkan antara
biaya dan manfaat untuk menentukan apakah suatu bisnis akan menguntungkan selama umur
bisnis.
Analisis finansial mengkaji beberapa analisis kelayakan yang digunakan yaitu, Net B/C Ratio,
Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Payback Period (PP), Laba rugi
dan Analisis Sensitivitas. Adapun analisis finansial yang diterapkan dalam tugas besar ini,
adalah Benefit Cost Ratio, Net Present Value (NPV), dan Internal Rate of Return (IRR).
Kriteria penilaian untuk Net Present Value (NPV) adalah sebagai berikut:
- Jika NPV > 0, maka usaha yang dijalankan layak untuk dilaksanakan.
- Jika NPV < 0, maka usaha yang dijalankan tidak layak untuk dilaksanakan.
- Jika NPV = 0, maka usaha yang dijalankan tidak rugi dan tidak untung.
Selanjutnya, dengan umur rencana selama 50 tahun dan waktu konstruksi selama 3
tahun (tahun awal konstruksi = tahun 2017), didapat cashflow sebagai berikut:
Tabel 6. 6 Pemasukan dan Pengeluaran Pembangunan Waduk Ciasem-Curug Agung
Dari perhitungan tersebut, kita dapat menyusun cashflow untuk Pembangunan Waduk
Ciasem Curug Agung seperti berikut:
Net Present Value dihitung dengan cara menjumlahkan nilai sekarang dari kas yang
ada. Dengan i = 12% dan umur rencana 50 tahun, didapat (P/A, i, n) sebesar 8,3, dan
(P/F,i,n) untuk 2 tahun sebesar 0,797 (Tarquin, 2010). Dengan data tersebut dan data
arus kas seperti di Gambar 6.1, diperoleh NPV sebagai berikut:
NPV = Rp 45.447.859.000
Dengan demikian, didapat NPV sebesar Rp 45.447.859.000. Oleh sebab nilai tersebut positif
(lebih besar dari 0, artinya memberi keuntungan), Pembangunan Waduk Ciasem-Curug Agung
layak secara finansial untuk dilaksanakan.
Net benefit cost ratio (Net B/C Ratio) adalah perbandingan antara present value dari net benefit
yang positif dengan present value dari net benefit yang negatif (Kadariah,1986). Jika Net B/C
ratio > 1, proyek tersebut layak untuk diusahakan karena setiap pengeluaran sebanyak Rp.
1 akan menghasilkan manfaat sebanyak Rp. 1. Jika Net B/C < 1, proyek tersebut tidak layak
untuk diusahakan karena setiap pengeluaran akan menghasilkan penerimaan yang lebih
kecil dari pengeluaran. Berikut adalah perhitungan BCR untuk Pembangunan Waduk Ciasem-
Curug Agung:
Pendapatan
BCR =
+ &
93.329.487.926
BCR =
40.500.000.000+ 7.381.629.316
BCR = 1,95
Dari perhitungan di atas, karena BCR yang didapat lebih besar dari 1, maka Pembangunan
Waduk Ciasem-Curug Agung layak untuk dilaksanakan.
Sedangkan menurut Umar (2005) Internal Rate of Return (IRR) digunakan untuk mencari
tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan di masa datang,
atau penerimaan kas, dengan mengeluarkan investasi awal. Apabila IRR sama dengan
tingkat discount maka usaha tidak dapat mendapatkan untung atau rugi, tetapi jika IRR <
tingkat discount rate maka usaha tersebut tidak layak diusahakan, sedangkan apabila IRR >
tingkat discount rate maka usaha tersebut layak untuk diusahakan.
Berikut adalah perhitungan untuk mencari nilai internal rate of return (IRR):
NPV = 0
i = 22 %
Dari perhitungan di atas, diperoleh i = 13 % yang nilainya lebih besar dari MARR. Berdasarkan
penjelasan sebelumnya, bila i = 22% > MARR = 12%, artinya Pembangunan Waduk Ciasem-
Curug Agung layak secara finansial.
BAB VII
6.1 Kesimpulan
Berikut adalah kesimpulan yang dapat ditarik penulis dari pengerjaan Tugas Besar
Pengembangan Sumber Daya Air di DAS Ciasem-Curug Agung:
1. DAS Ciasem-Curug Agung adalah salah satu daerah aliran sungai di Provinsi Jawa Barat
dengan luas DAS sebesar 94.28 km2.
2. Peruntukkan tata guna lahan DAS Ciasem-Curug Agung adalah permukiman, pertanian,
dan perkebunan.
3. Waduk Ciasem-Curug Agung memiliki volume dead storage dan life storage, masing-
masing sebesar 39 x 106 m3 dan 156 x 106 m3.
4. Waduk Ciasem-Curug Agung direncanakan berfungsi sebagai sumber air untuk
memenuhi kebutuhan air minum sebesar 1.58 x 106 m3 per tahun, PLTA sebesar 10,8
MW per tahun, dan irigasi sebesar 89.29 x 106 m3 per tahun
5. Debit waduk mampu memenuhi 100% total kebutuhan air penduduk dan irigasi. Untuk
PLTA, nilainya bervariasi setiap bulannya dengan range 9-10% kebutuhan tiap bulan.
6. Dengan dead storage dan life storage yang dimiliki, dibutuhkan tinggi Waduk Ciasem-
Curug Agung sebesar 22 meter.
7. Dengan adanya waduk ini, pengelolaan dan pengendalian air sungai terhadap ancaman
banjir dan kekeringan di wilayah Sungai Ciasem-Curug Agung dapat teratasi.
8. Nilai investasi pembangunan Waduk Ciasem-Curug Agung adalah sebesar Rp.
40.500.000.000. Biaya operasi dan pemeliharaan Waduk Ciasem-Curug Agung adalah
Rp 1.115.000.000 pertahun selama 50 tahun.
9. Keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan Waduk Ciasem-Curug Agung di bidang
pertanian yaitu sebesar Rp. 10.914.667.000 pertahun, pendapatan air baku (PDAM)
sebesar Rp. 3.171.204.000 pertahun, dan pendapatan PLTA sebesar Rp. 11.610.000 per
tahunnya.
10. Hasil analisis parameter-parameter kelayakan finansial mendapatkan NPV sebesar
Rp. 45.447.859.000, BCR sebesar 1,95 dan IRR sebesar 22%.
11. Hasil analisis kelayakan finansial pembangunan Waduk Ciasem-Curug Agung yang
dilakukan pada penelitian ini menunjukan layak untuk diteruskan pada semua alternatif
analisis yang dilakukan, karena pada tingkat suku bunga sebesar 12% menunjukan
indikator kelayakan yaitu nilai NPV positif, BCR lebih dari 1, dan nilai IRR lebih besar
dari 12% (bunga pinjaman investasi).
6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang ditarik penulis dan hasil perhitungan, maka penulis
dapat memberikan beberapa saran terhadap pembangunan Waduk Ciasem-Curug Agung di
Kabupaten Subang, Jawa Barat, yaitu :
BAB VIII
STUDI KASUS
8.1.1 Jepang
Jepang memproduksi sekitar 52.360.000 ton sampah setiap tahun. Meskipun menjadi
nomor 3 dalam daftar, tingkat daur ulang di Jepang tinggi. Pada tahun 2006, tingkat
daur ulang adalah 95% untuk kaleng baja, 90% untuk botol kaca, 89% untuk
aluminium, 60% untuk kertas, dan 38% untuk kemasan kertas untuk cairan.
Di Jepang, setiap rumah jika hendak buang sampah wajib berlangganan ke perusahaan
pengelola sampah kota, jika sudah berlangganan maka rumah itu boleh meletakkan
sampah di tempat penampungan sampah. Sampah yang dibuang di Jepang harus
dikemas oleh kantong plastik khusus dari kota dan tidak sembarangan.
Bahkan untuk setiap kota pun kantong plastiknya berbeda beda. Jika memakai kantong
plastik lain, sampah akan dibiarkan begitu saja di tempat penampungan sampah. Tidak
diambil sehingga sang pemilik sampah tersebut wajib mengambil lagi sampahnya untuk
dibawa pulang. Lalu, sampah yang diberikan harus dipisah, jika tidak dipisah maka
sampah akan dikembalikan ke rumah pemiliknya, karena petugas kebersihan
memeriksa isi plastik sampah tersebut. Dicek dan jika tidak dipisah, maka akan
ditinggal atau dikembalikan ke pemiliknya, karena memisahkan sampah adalah tugas
dari pemiliknya.
Pemisahan sampah di Jepang tidak hanya dua kategori organik-anorganik, bisa lima
sampai enam kategori. Sampah terbakar, sampah tidak terbakar, sampah dapur, sampah
daur ulang seperti sampah kertas, sampah kaleng, sampah kaca, sampah botol, dan
sampah elektronik. Pemisahan tergantung peraturan pemerintah daerah masing-masing.
Di Jepang jarang sekali ditemukan kotak sampah. Namun, lingkungan kota sangat-
sangat bersih. Tidak ada sama sekali sampah berceceran bahkan sampai selokan pun
dapat dihidupi oleh ikan koi karena kebersihannya. Semua ini akibat dari kebiasaan
yang sudah dibudayakan sejak kecil dengan mentalitas untuk membuang sampah
tepat pada tempat-nya. Jika tidak ada tempat sampah, maka akan disimpan terlebih
dahulu, dan dibuang di tempat sampah di rumah jika diperlukan.
8.1.2 Singapura
Dalam pengelolaan sampah, NEA bekerja sama dengan beberapa perusahaan swasta
yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Perusahan-perusahaan tersebut
bergerak pada tataran teknis atau menjadi pelaksana di lapangan. Jadi dengan demikian,
selain mengatasi permasalahan sampah, juga menjadi sebuah peluang usaha dan solusi
untuk terbukanya lapangan pekerjaan baru.
Untuk lebih jelasnya penulis akan membagi proses pengolahan sampah di Singapura ke
dalam beberapa tahapan, antara lain; pengangkutan, pengumpulan & pemilahan, daur
ulang & pembakaran, dan pembuangan akhir.
- Pengangkutan
Di Singapura, terutama pada bangunan-bangunan HDB atau Housing &
Development Board (di negara kita biasa disebut dengan rumah susun), sudah
memiliki desain standar. Pada masing-masing unit memiliki sebuah lubang
pembuangan sampah yang bermuara pada sebuah bak sampah dengan kapasitas
cukup besar yang biasanya terletak di bawah masing-masing blok rumah susun.
Setiap hari, sampah yang terkumpul tersebut akan diambil oleh petugas yang
dipekerjakan oleh Town Council, yaitu seorang yang diberi tanggung jawab oleh
pemerintah untuk mengelola sebuah blok HDB (semacam lurah). Sampah dari
masing-masing blok tersebut kemudian dikumpulkan dan dikompres, untuk
kemudian akan diangkut oleh truk sampah.
Sampah yang sudah diangkut dari beberapa area tersebut, kemudian akan
dikumpulkan dan dilakukan pemilahan yang bertujuan untuk memisahkan antara
sampah yang dapat didaur ulang dan yang tidak dapat didaur ulang. Sampah yang
dapat didaur ulang misalnya sampah plastik, karet, kayu, kaleng, besi.
Sedangkan sisa-sisa dapur, restoran, dan material lainnya yang sudah tidak dapat
didaur ulang nantinya akan dibakar.
Sampah-sampah yang sudah tidak dapat didaur ulang akan dibakar dan menjadi
sumber energi listrik. Singapura mengadopsi sebuah teknologi yang bernama
Waste to Energy / Incineration. Prinsip kerjanya adalah, uap hasil pembakaran
tersebut akan menggerakkan turbin yang berfungsi sebagai pembangkit listrik.
Dengan temperatur yang berkisar antara 800 sampai dengan 1000 derajat
Celcius, sampah akan menjadi abu dengan volume sekitar 10% dari volume
asalnya. Untuk mencegah pencemaran udara dan bau yang tidak sedap, ruang
pembakaran tersebut didesain sedemikian rupa sehingga tekanannya lebih
rendah dari tekanan atmosfer. Selain itu, sebelum gas sisa pembakaran dibuang
keluar melalui sebuah cerobong setinggi 150 m, harus dinetralkan terlebih
dahulu dengan proses Electrostatic Precipitators.
- Pembuangan Akhir
Abu sisa hasil pembakaran pada incinerator kemudian diangkut oleh truk
menuju Tuas Marine Transfer Station dan selanjutnya dikirim ke Semakau
Landfill dengan menggunakan kapal.
8.1.3. Bandung
Secara umum, jenis sampah dapat dibagi 2 (dua) yaitu organik (biasa disebut sebagai
sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sampah basah adalah sampah
yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll. Sampah jenis
ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya dengan sampah
kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dll. Sampah jenis ini tidak dapat terdegradasi
secara alami. Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Bandung
merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-75% dari total volume sampah.
Sampah yang dihasilkan Kota Bandung merupakan sampah yang berasal dari beberapa
sektor yaitu: (1) pemukiman, (2) Daerah komersil, (3) Industri, (4) perkantoran dan
lainnya (5) Sapuan jalan. Pengelolaan sampah Kota Bandung masih menggunakan
pengolahan yang sederhana yaitu pengumpulan dan dibuang ke tempat pembuangan
akhir seperti pada gambar 3.3. Pemilahan dilaksanakan tidak pada tingkat rumah
tanggal akan tetapi pada tempat pembuangan sementara dan itupun bukan oleh petugas
kebersihan akan tetapi dilakukan oleh pemulung sehingga tidak optimal. Pengolahan
lebih lanjut dilakukan pada di tempat pembuangan akhir dengan pengolahan
pembakaran dengan insinerator, pengkomposan dan daur ulang.
4. Lahan TPA yang terbatas. Luas daerah kota Bandung 16730 ha, hal tersebut
menyebabkan tempat penampung sampah akhir yang berada di kota Bandung sangat
terbatas. Hal tersebut mengakibatkan lokasi penampung harus ekspansi melalui kerja
sama dengan pemerintahan daerah tetangganya. Permasalahan koordinasi merupakan
permasalahan utama, apalagi kalau ada konflik di masyarakat.
5. Penegakan hukum (law inforcement) tidak konsisten. Pemerintah kota Bandung dan
DPRD kota Bandung telah mengeluarkan kebijakan yaitu Undang-undang No 11 tahun
2005: perubahan UU No 03 tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Ketertiban,
Kebersihan dan Keindahan. Pada undang-undang tersebut diatur mengenai pengelolaan
sampah dan sanksi-sanksi bagi masyarakat yang melanggarnya. Akan tetapi undang-
undang tersebut tidak dilaksanakan tidak konsisten.
- Pasal 1 ayat 8: Bantaran sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki
tanggul sebelah dalam yang terletak di kiri dan/atau kanan palung sungai.
- Pasal 1 ayat 9: Garis sempadan adalah garis maya di kiri dan kanan palung
sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai.
- Pasal 5 ayat 5: Sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar
fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu.
- Pasal 8 ayat 1: Sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1
huruf b meliputi ruang di kiri dan kanan palung sungai di antara garis sempadan
dan tepi palung sungai untuk sungai tidak bertanggul, atau di antara garis
sempadan dan tepi luar kaki tanggul untuk sungai bertanggul.
- Pasal 8 ayat 2: Garis sempadan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
pada:
a. sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan;
b. sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan;
c. sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan;
d. sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan;
e. sungai yang terpengaruh pasang air laut;
f. danau paparan banjir; dan
g. mata air.
- Pasal 9: Garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan
perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 huruf a ditentukan:
a. paling sedikit berjarak 10 m (sepuluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung
sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama
dengan 3 m (tiga meter).
b. paling sedikit berjarak 30 m (tiga puluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung
sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 20 m (dua
puluh meter).
Dari aturan tersebut, penulis dapat menggambarkan ilustrasi sempadan sungai dalam
kota sebagai berikut:
Gambar 8. 10 Ilustrasi Garis Sempadan untuk Sungai Tidak Bertanggul dalam Kota dengan Kedalaman
Tanggul 3 meter
Dalam bab ini, penulis akan memaparkan dan memberi ilutrasi mengenai pengelolaan
bantaran sungai di Singapura, Jepang, dan Kota Bandung.
8.2.2 Jepang
Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal dengan ketertiban, keamanan,
kebersihaan serta tingkat usia tertinggi di dunia. Memang kerapian dan kebersihannya
tidak serta merta tanpa adanya tumpukan rongsokan ataupun debu di jalan. Namun jika
di bandingkan dengan Indonesia, memang sangat jauh sekali. Hal yang menarik dari
Jepang selain penghargaan terhadap guru (sensei) yang sangat dihormati, juga nilai-
nilai budaya tradisional atau sejarah yang masih dihargai. Selain itu penghargaan
terhadap alam yang luar biasa, sehingga tidak heran jika kebersihan di Jepang sangat
terjaga. Semua ini karena kesadaran masyarakat Jepang sendiri.
Satu hal yang menarik, pemanfaatan lahan dan pencegahannya sangat diperhitungkan
oleh Jepang. Sebagian besar kota-kota yang bukan di pinggir pantai, tidak akan jauh
dari sungai. Mungkin karena topografi Jepang berupa pegunungan atau juga mereka
berpikir air merupakan kebutuhan utama sehingga sebaran tempat tinggalnya sepanjang
sungai, namun sangat jarang atau mungkin bisa dikatakan tidak ada daerah kumuh
sepanjang sungai. Beberapa kota menerapkan area publik di sempadan sungai. Hal ini
dimaksudkan untuk pemanfaatan lahan sempadan yang seringkali tidak tergenang air
serta jika sewaktu-waktu terdapat banjir, bisa diminimalisir korban karena hany area
publik, bukan tempat tinggal yang tergenang. Di samping itu untuk kota-kota hampir
dipastikan adanya tanggul sepanjang sungai-sungai, sehingga area publik berupa
taman, parkir mobil atau tempat permainan berada di dalam tanggul. Beberapa jalan
yang berada di bawah tanggul biasanya dilengkapi dengan gerbang setinggi tanggul.
Hal ini untuk mempersiapkan jika terjadi banjir, jalan yang melintasi tanggul dan sungai
akan ditutup, sehingga air sungai tidak akan mengenangi pemukiman.
Gambar sebelah kiri merupakan salah satu taman (Koen) yang berada di Kota Gifu
(Gifu-shi). Foto diambil dari tengah-tangah jembatan yang melintasi sungai tersebut.
Sebelah kanan adalah tanggul, sedangkan tanggul sebelah kiri berada di sisi sungai
besar (Nagara-gawa).
Gambar sebelah kanan merupakan sempadan sungai yang digunakan untuk area publik,
tempat bermain/olahraga.
8.2.3 Singapura
Pengelolaan bantaran sungai di Singapura tergolong sangat baik karena sudah menaati
aturan sempadan seperti pada Pasal 11 dan Pasal 17 ayat (1). Berikut adalah ilustrasi
pengelolaan bantaran sungai di Singapura:
8.2.4 Bandung
Gambar 8. 14 Kondisi Sempadan yang Sudah Dikelola dengan Benar (Sempadan Sungai Cikapundung)
karena itu, penulis mengajukan penerapan Organizational Behaviour (OB) sejak dini di
lingkungan masyarakat.
Masyarakat secara struktural terdiri dari individu, kelompok, dan struktur sosial yang teratur.
Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah di lingkungan masyarakat, kita dapat
menerapkan Perilaku Organisasi sebagai salah satu solusinya. Mari kita tinjau definisi dari
Perilaku Organisasi, perilaku organisasi adalah sebuah bidang studi-keterampilan yang jelas
dengan tubuh keilmuan yang umum-yang mempelajari tiga penentu perilaku dalam organisasi,
yaitu individu, kelompok, dan struktur. Perilaku organisasi menerapkan pengetahuan yang
diperoleh mengenai individu, kelompok, dan efek dari struktur terhadap perilaku untuk
membuat organiasi bekerja dengan lebih efektif (Judge, 2015). Perilaku organisasi mencakup
topik berikut ini:
- Motivasi
- Perilaku dan Kekuasaan Pemimpin
- Komunikasi Intrapersonal
- Struktur dan Proses Kelompok
- Pengembangan dan Persepsi Sikap
- Proses Perubahan
- Konflik dan Negosiasi
- Rancangan Kerja
Dari teori di atas, berikut adalah langkah-langkah yang penulis ajukan dalam mengatasi
permasalahan sampah dan pengelolaan bantaran sungai, serta masalah konservasi air dan lahan
lainnya di Indonesia dengan menerapkan konsep Organizational Behaviour (OB):
1. Mengajarkan anak mengenai pentingnya konservasi lahan dan air. Dari ajaran tersebut,
diharapkan anak-anak dapat termotivasi untuk menjaga lahan dan air di sekitar mereka.
2. Mengarahkan anak sejak dini untuk membiasakan diri membuang sampah tepat pada
tempatnya. Pada tahap ini, diperlukan ketegasan dan konsistensi orang tua dalam
pengarahannya.
3. Membiasakan diri dan orang-orang sekitar untuk saling mengingatkan dalam merawat
lingkungan. Pada tahap ini, dibutuhkan pengetahuan dan komunikasi intrapersonal yang
matang.
4. Pada skala pemerintahan, pemerintah wajib membuat program konservasi air dan lahan
seperti membuat pengelolaan sampah yang jelas dan tepat guna serta mengelola
bantaran sungai sesuai dengan aturan. Selanjutnya, program tersebut disusun dan
dirumuskan pada rancangan kerja yang dibawa pemerintah.
5. Secara umum, masyarakat dan pemerintah harus bisa bekerja sama dalam mengelola
lahan dan air dengan cara siap menerima perubahan yang akan terjadi, mengembangkan
dan memperluas persepsi, serta bisa meredakan konflik dan bernegosiasi. Hal tersebut
sangat penting, khususnya saat dilakukan perbaikan pengelolaaan sempadan sungai
yang semula digunakan sebagai pemukiman. Pada kasus ini, masyarakat harus mau
dipindahkan dari sempadan tersebut karena tidak sesuai dengan aturan. Di lain sisi,
pemerintah juga harus sudah menyiapkan alternatif bagi masyarakat yang lingkungan
tempat tinggalnya digusur dan mempersiapkan konsep pengelolaan sempadan yang baik
dan tepat guna.
LAMPIRAN