Anda di halaman 1dari 13

Tari Pamonte

Tanggal 24 Juni 2014 oleh Roby Darisandi. Revisi 1


Kategori: Tarian Daerah
Elemen Budaya: Tarian
Provinsi: Sulawesi Tengah
Asal Daerah: Palu

Tari Pomonte adalah salah satu tari daerah yang telah merakyat di Provinsi Sulawesi Tengah,
yang merupakan simbol dan refleksi gerak dari salah satu kebiasaan gadis-gadis suku Kaili
pada zaman dahulu dalam menuai padi, yang mana mayoritas penduduk suku Kaili adalah
hidup bertani. Tari Pomonte telah dikenal sejak tahun 1957 yang di ciptakan oleh seorang
seniman besar, putra asli Sulawesi tengah yaitu (alm) Hasan. M. Bahasyuan, beliau
terinspirasi dari masyarakat Sulawesi Tengah yang agraris. Tari Pomonte melambangkan sifat
gotong-royong dan memiliki daya komunikasi yang tinggi, hidup dan berkembang ditengah
masyarakat yang telah menyatu dengan budaya masyarakat itu sendiri. Kata POMONTE
berasal dari bahasa Kaili Tara ; - PO artinya = Pelaksana - MONTE artinya = Tuai (menuai) -
POMONTE artinya = Penuai Tari Pomonte menggambarkan suatu kebiasaan para gadis-gadis
suku Kaili di Sulawesi Tengah yang sedang menuai padi pada waktu panen tiba dengan
penuh suka cita, yang dimulai dari menuai padi sampai dengan upacara kesyukuran terhadap
sang Pencipta atas keberhasilan panen. Dan sebelum menuai setiap pekerjaan didahului oleh
seorang Penghulu yang dalam bahasa Kaili disebut TADULAKO. TADULAKO pada tarian
ini berperan sebagai pengantar rekan-rekannya mulai dari menuai, membawa padi kerumah,
membawa padi ke lesung, menumbuk padi, menapis serta membawa beras ke rumah yang
kemudian disusul dengan upacara selamatan yakni Norano, Vunja, Meaju dan Noraego
mpae yang merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan pada upacara panen suku Kaili di
provinsi Sulawesi Tengah. Tari Pomonte memiliki daya pikat yang kuat karena dalam
penampilannya mampu menimbulkan suasana gembira terhadap penonton, baik dalam gerak
maupun lagu yang dinyanyikan dalam berhasa daerah yaitu bahasa Kaili, sehingga tari
Pomonte dapat dimengerti langsung oleh yang menyaksikannya khususnya masyarakat di
lembah Palu.
Pakaian Adat Sulawesi Tengah
Tanggal 24 September 2014 oleh Oase Kirana Bintang
Kategori: Pakaian
Elemen Budaya: Pakaian Tradisional
Provinsi: Sulawesi Tengah
Asal Daerah: Sulteng
Pakaian tradisional merupakan bentuk fisik atau artefak budaya yang dimiliki suatu
wilayah. Pakain budaya dapat memperlihatkan keragaman dan kekayaan negeri ini.
Pakaian daerah juga dapat memperkokoh jatidiri bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang memegang teguh semboyan Bhineka Tungga Ika.
Apabila di jawa terkenal dengan kebayanya, lantas di nias terkenal dengan pakaian
baru oholu untuk pakaian laki-laki dan rba Sili untuk pakaian perempuan,. Maka
di Sulawesi Tengah kita akan banyak menemukan berbagai pakaian adat.
Di Sulawesi Tengah, setiap etnis memiliki pakaian adatnya tersendiri. Misalnya
pakaian adat etnis Kaili Kota Palu. Pakaian adat untuk perempuan dikenal dengan
nama baju nggembe. Baju Nggembe merupakan busana yang dipakai oleh remaja
putri. Biasanya baju ini dipakai saat upacara adatnya.
Baju Nggembe berbentuk segi empat, berkerah bulat berlengan selebar kain,
panjang blus sampai pinggang dan berbentuk longgar. Baju Nggembe ini dilengkapi
dengan penutup dada atau sampo dada dan memakai payet sebagai pemanis
busana. Sarung tenun Donggala menjadi aksesoris bagian bawah pakaian ini.
Donggala yang berbenang emas dalam bahasa Kaili disebut dengan Buya Sabe
Kumbaja.
Cara pemakaian pakai adat ini mengalami perkembangan, dalam perkembangannya
pemakaian sarung Donggala dirubah dengan mengikat sarung dan kemudian
disamping kiri atau kanan dilipat untuk memperindah serta memberi kebebasan
bergerak bagi si pemakai.
Aksesoris yang digunakan untuk pakaian ini ialah anting-anting panjang atau Dali
Taroe, Kalung beruntai atau Gemo, Gelang panjang atau Ponto Ndate, Pending atau
Pende.
Pende atau pending merupakan ikat pinggang yang digunakan pada saat seseorang
(perempuan) memainkan tarian khas Sulawesi Tengah. Bahan emas dan perak
menjadi bahan untuk membuat ikat pinggang ini dengan cara dicetak. Pada bagian
dalam pende dibuat sebuah tempat untuk memasukkan tali pengikat kain yang
berwarna kuning dan diberi hiasan. Namun dalam perkembangannya, hari tidak lagi
digunakan ikat pinggang seperti itu. Ikat pinggang biasa lebih banyak digunakan hari
ini untuk dikenakan bersama pakaian ini.
Semetara itu, pakaian adat untuk pria bernama Baju Koje/Puruka Pajana. Pakaian
ini terdiri dari dua bagian, yaitu Baju Koje dan Puruka Pajama. Baju Koje atau baju
ceki adalah kemeja yang bagian keragnya tegak dan pas dileher, berlengan panjang,
panjang kemeja sampai ke pinggul dan dipakai di atas celana. Puruka Pajana atau
celana sebatas lutut, modelnya ketat, namun killnya harus lebar agar mudah untuk
duduk dan berjalan. Sarung dipinggang, keris, serta sebagian kepala menggunakan
destar atau siga menjadi aksesoris pakaian ini.
Pakaian adat berikutnya ialah pakaian adat etnis Mori di Kab. Morowali. Pakaian
adat etnis Mori terdiri dari pakaian adat untuk perempuan dan laki-laki.
Kaum hawa biasa mengenakan blus lengan panjang atau bahasa Mori disebut
dengan Lambu, berwarna merah dengan hiasan dan motif rantai berwama kuning.
Untuk bawahannya merka mengenakan rok panjang berwama merah atau hawu
juga bermotif rantai berwama kuning. Mahkota atau pasapu digunakan untuk bagian
kepala.
Adapun aksesoris yang digunakan pada pakaian ini ialah Konde atau Pewutu
Busoki, Tusuk Konde atau Lansonggilo, Anting-anting atau Tole-tole, Kalung atau
Enu-enu, Gelang Tangan atau Mala, Ban Pinggang atau Peboo, Cincin atau Sinsi.
Sementara itu, untuk pakaian adat yang dikenakan laki-laki ialah kemeja lengan
panjang atau bahasa Mori dengan sebutan Lambu. Kemeja ini berwarna merah
dengan hiasan motif rantai berwama kuning sama seperti pakaian perempuan.
Untuk bawahan kaum laki-laki menggunakan celana panjang berwama merah atau
Saluara. Bate atau destar digunakan dibagian kepala. Ikat pinggang menjadi
perlengkapan untuk pakaian adat pria.
Pakaian adat etnis selanjutnya ialah pakaian adata etnis Toli-Toli di Kabupaten Toli-
Toli. Seperti adat lainnya, pakaian adat etnis Toli-Toli terdiri dari pakaian adat
perempuan dan laki-laki.
Kaum perempuan biasanya memakai blus lengan pendek atau Badu yang pada
bagian lengan terdapat lipatan-lipatan kecil, dihiasi manik-manik dan pita emas.
Bawahan yang dikenakana, yaitu celana panjang atau Puyuka panjang dihiasi pita
emas dan manik-manik. Sarung juga digunakan namun sebatas lutut atau Lipa.
Kemudian dikenakan pula selendang atau Silempang dan ban pinggang berwarna
kuning.
Aksesoris yang digunakan dalam pakaan ini ialah anting-anting panjang, gelang
panjang, kalung panjang warna kuning, dan kembang goyang.
Sementara, untuk laki-laki mengenakan blus lengan panjang dengan leher tegak
yang dihiasi dengan pita emas dan manik-manik wama kuning. Utuk bawahan
celana panjang atau Puyuka panjang. Digunakan pula sarung sebatas lutut dan
tutup kepala atau Songgo.
Berikutnya ialah pakaian Adat Etnis Saluan di Kab. Luwuk. Pada pakaian adat etnis
ini, perempuan mengenakan blus atau pakaian wanita yang disebut dalarn bahasa
Saluan adalah Pakean Nuboune. Rok panjang yang disebut dalam bahasa Saluan
adalah Rok Mahantan menghiasi bawahan pakaian ini. Digunakan pula perhiasan
berbentuk bintang.
Adapun aksesoris yang digunakan ialah gelang atau potto, kalung atau kalong,
sunting, anting atau sunting, jaling, selempang atau salandoeng.
Para kaum pria atnis saluan mengenakan kemeja pria yang disebut dalam bahasa
Saluan adalah Pakean Numoane, celana panjang yang disebut dalam bahasa
Saluan adalah Koja, penutup kepala/topi (Sungkup Nuubak), sarung pelengkap
celana panjang (Lipa).
Ada pun bahan yang digunakan pakaian sehari-hari ialah bahan yang teridiri dari
kulit kayu Nuru (pohon beringin). Pembuatan bahan pakaian ini meliputi:

Menguliti kayu Nunu sebagai sumber bahan.


Merebus kulit kayu tersebut sampai masak lalu di bungkus selama tiga hari.
Di cuci dengan air untuk membersihkan getahnya dan biasanya
menggunakan pula abu dapur.

Kulit kayu tersebut di pukul dengan alat yang disebut pola (bahannya dari
batang enau) sampai mengembang dan melebar. Kemudian dipukul dengan
alat yang bernama tinahi yang di buat dari batu yang agak kasar. Disini dapat
disambung bahan yang satu dengan bahan yang lainnya agar menjadi lebar
dan panjang, di susul dengan alat ike yang halus sampai bahan tersebut
sudah menjadi sehelai kain yang panjangnya tiga sampai lima meter.

Setelah menjadi kain kemudian di gantung untuk di anginkan (nillave)


Sesudah kering dilipat untuk diratakan dengan pola tidak bergigi (niparondo)
yaitu semacam setrika.
Pakaian upacara menggunakan kulit kayu Ivo sebagai bahannya. Kulit kayu Ivo
merupakan kulit kayu yang lebih halus dan bermutu, dan lebih baik daripada yang
terbuat dari kulit kayu Nunu.

Sumber: http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/997/pakaian-adat-sulawesi-
tangah
Torompio
Tanggal 23 Juni 2012 oleh agus deden. Revisi 1
Kategori: Tarian
Elemen Budaya: Tarian
Provinsi: Sulawesi Tengah
Asal Daerah: Sulawesi Tengah
Torompio adalah ungkapan dalam bahasa Pamona, Sulawesi Tengah. Ungkapan ini terdiri
atas dua kata, yakni toro yang berarti berputar dan pio yang berarti angin. Jadi, torompio
berarti angin berputar. Makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah gelora cinta
kasih yang dilambangkan oleh tarian yang dinamis dengan gerakan berputar putar bagaikan
insan yang sedang dilanda cinta kasih, sehingga tarian ini disebut torompio. Pengertian gelora
cinta kasih sebenarnya bukan hanya untuk sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta,
melainkan juga untuk semua kehidupan, seperti: cinta tanah air, cinta sesama umat, cinta
kepada tamu-tamu (menghargai tamu-tamu) dan lain sebagainya. Namun, yang lebih
menonjol ialah cinta kasih antarsesama remaja atau muda-mudi, sehingga tarian ini lebih
dikenal sebagai tarian muda-mudi. Torompio dalam penampilannya sangat ditentukan oleh
syair lagu pengiring yang dinyanyikan oleh penari dan pengiring tari.

Tarian ini dahulu ditarikan secara spontan oleh para remaja dengan jumlah yang tidak terbatas
dan dipergelarkan di tempat terbuka, seperti halaman rumah atau tempat tertentu yang agak
luas. Para penontonnya muda-mudi yang berdiri dan membentuk lingkaran, karena tari ini
didominasi oleh komposisi lingkaran dan berbaris.

Peralatan dan BusanaPeralatan musik yang digunakan untuk mengiringi tari torompio
diantaranya adalah: (1) ganda (gendang); (2) nonggi (gong); (3) karatu (gendang duduk); dan
gitar. Sedangkan, busana yang dikenakan oleh penari perempuan adalah: (1) lemba (blus
berlengan pendek yang berhiaskan manik-manik); (2) topi mombulu (rok bersusun); (3) tali
bonto (ikat kepala yang terbuat dai teras bambu dibungkus dengan kain merah sebesar 2
sampai 3 jari dan dihias dengan manik-manik; dan (4) kalung yang terbuat dari sejenis
tumbuhan siropu atau dari batu. Sedangkan busana dan perlengkapan pada penari laki-laki
adalah: (1) baju banjara (baju seperti teluk belanga yang diberi hiasan dari manik-manik); (2)
salana (celana panjang yang berhias manik-manik); (3) siga atau destar; dan (4) salempa
(kain untuk selempang).

Selain peralatan musik dan busana bagi penarinya, tarian ini diiringi oleh beberapa buah lagu.
Salah satu lagu yang dahulu biasa dinyanyikan pada masa Orde Baru adalah lagu Wati
Ndagia. Lagu ini berisi pesan pemerintah untuk menggiatkan pembangunan. Berikut ini
adalah terjemahan dari beberapa syair yang dilantunkan:

Tumpah darahku yang kucintai tempat ibu bapaku dan aku dilahirkan. Poso Sulawesi Tengah
sangat subur indah permai. Danaunya yang elok indah menawan yang takan kulupakan.

Inilah kami anak-anak dari seberang akan bermain khas daerah kami.

Pada pertemuan ini begitu indah kita bernyanyi, bersyair dengan rasa yang sesungguhnya.
Pembangunan negara kita ini telah dirasakan sampai ke pedesaan. Wahai teman-teman, kita
seirama dalam pembangunan ini.

Serasi selaras pertemuan kita ini melambangkan persatuan kita. Budaya yang datang dari luar
datang di negeri kita dan filter bagi bangsa kita adalah Pancasila.

Ingat wahai kawan, tahun depan adalah pesta nasional kita perlihara keamanannya. Repelita
adalah perjuangan bangsa sama kita laksanakan. Hapuskan rongrongan baik dari luar maupun
dari dalam. Masyarakat adil dan makmur yang diimpikan bersama, bersatulah dalam
perjuangan agar tercapai tujuan ini. Kekuatan adil dan makmur yang diimpikan bersama,
bersatulah dalam perjuangan agar tercapai tujuan ini. Kekuatan harapan bangsa melalui kerja
keras jeli dalam tindakan agar nyata dan tercapai cita-cita bangsa.

Dengan selesainya permainan ini kami mohon diri sebab pertemuan yang begitu indah
membuat kesan yang tak terlupakan. Kalung kenangan akan kutinggalkan sebagai lambang
persatuan kita.

Selamat tinggal wahai kawan, jangan lupa pesan pemerintah, sukseskan pembangunan di
segala bidang, (baik siang dan malam).

Pertunjukan Tari TorompioPertunjukan tari torompio diawali dengan gerakan linggi doe atau
panggilan buat para penari. Dalam linggi doe para penari akan masuk ke pentas dari dua arah.
Penari pria dari arah kiri dan wanita dari kanan. Selanjutnya, mereka bertemu dalam satu
barisan dan kemudian berpisah membentuk satu baris memanjang untuk melakukan gerakan
penghormatan. Setelah itu, disusul dengan gerakan mantuju ada. Dalam gerakan ini penari
membentuk bulatan besar kemudian bulatan kecil, dengan maksud menyampaikan pesan
bahwa mereka anak-seberang akan mempertunjukkan tari torompio.

Setelah introduksi selesai, maka tarian dilanjutkan dengan gerakan masinpanca, yaitu para
penari bertemu untuk mencari pasangan masing-masing sambil menyanyikan lagu yang
menceritakan indahnya pertemuan tersebut. Kemudian, penari pria akan membuat gerakan-
gerakan yang seakan merayu penari wanita. Gerakan ini disebut mencolodi. Dalam
mencolodi ini lagu yang dibawakan syairnya menceritakan bahwa pertemuan antara penari
pria dan wanita melambangkan persatuan di antara mereka.

Setelah gerakan moncoldi selesai, maka dilanjutkan dengan gerakan mompalakanamo dan
mosangko lima. Pada gerakan mompalakanamo penari dalam posisi berhadapan sambil
menyanyikan syair yang menceritakan pertemuan ini sangat indah, berkesan dan tak dapat
dilupakan. Sedangkan, gerakan selanjutnya yaitu mosangko lima, penari pria menyematkan
seuntai kalung kepada penari wanita dan diteruskan dengan berjabat tangan sebaga ungkapan
eratnya persatuan. Kemudian, dilanjutkan dengan ucapan selamat tinggal yang ditandai
dengan lambaian tangan. Pada masa Orde Baru, saat melambaikan tangan tersebut digunakan
juga untuk menyampaikan pesan pemerintah kepada para penonton, yang berisi tentang
ajakan untuk mensukseskan pembangunan di segala bidang. (gufron)

Foto: http://www.berutapalu.comSumber:Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal


Kebudayaan. 1993. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.http://www.beritapalu.com

http://uun-halimah.blogspot.com/2008/06/tari-torompio-sulawesi-tengah.html
Misteri Batu Raksasa di Sulawesi Tengah

Situs Megalitikum
Situs megalitikum yang misterius di Indonesia, tidak hanya di Gunung Padang, Cianjur. Di
Doda, Sulawesi Tengah, wisatawan juga bisa melihat kumpulan batu misterius yang serupa.

Doda adalah sebuah desa yang terletak di lembah daratan Kabupaten Lore Utara, Sulawesi
Tengah. Lanskap desa ini begitu indah karena dikelilingi pegunungan hijau, bernama Lore.

Sepanjang mata memandang, Anda akan disuguhkan dengan hamparan padang rumput hijau.
Tak ketinggalan padang ilalang yang mempercantik pandangan mata.

Tapi di balik itu semua, Doda menyimpan misteri yang belum terpecahkan. Ada banyak batu
besar yang berdiri tegak di atas tanahnya. Hamparan batu ini tersebar di dua situs berbeda,
dan sampai sekarang belum diketahui asal muasal yang pasti. Konon, batu tersebut
merupakan batu yang berasal dari zaman megalitikum.

Situs pertama yang bisa dikunjungi di Doda adalah Pokekea. Di situs Pokekea, wisatawan
bisa melihat batu-batu besar bulat yang tersebar di padang rumput. Jika diperhatikan, ada
juga batu relief yang menggambarkan daun.
Sampai sekarang, tidak ada yang tahu fungsi batu tersebut secara pasti. Masyarakat setempat
percaya kalau batu tersebut merupakan batu tempat mandi raja. Tetapi ada juga yang
mengatakan batu tersebut merupakan tempat minum raja.

Patung batu di Pokekea juga ada yang mirip dengan manusia. Patung manusia ini memiliki
ukiran wajah yang khas. Uniknya, ternyata ukiran wajah ini tidak hanya ada di Pokekea saja,
tetapi juga di berbagai situs Megalitikum yang tersebar di Lembah Doda

Kumpulan batu zaman Megalitikum


Patung mirip manusia ini disebut masyarakat dengan nama patung suami istri. Disebut
demikian karena patung ini berpasangan dan mirip pasangan suami istri.

Dari Pokekea, perjalanan menyusuri batu megalitikum Doda bisa dilanjutkan ke situs
Tadulako. Dalam bahasa Lore, Tadulako berarti raja.

Sama seperti situs Pokekea, batu megalitik yang ada di Tadulako tersebar merata di atas
tanah. Tapi ada satu yang membedakan dan cukup menarik perhatian, yaitu batu manusia
setinggi 2 meter. Wow!
Untuk mencapai tempat ini, wisatawan bisa memulai perjalanan dari Kota Palu. Waktu
tempuh menuju Doda cukup panjang, yaitu sekitar 3 jam dengan jarak sekitar 157 km.

Siapkan fisik Anda, capailah Doda, dan pecahkan misterinya.


sumber :http://travel.detik.com/read/2012/05/24/190621/1924173/1025/misteri-batu-raksasa-
di-sulawesi-tengah?991104topnews

Misteri Batu Raksasa di Sulawesi Tengah


diterbitkan oleh : http://www.klikunic.net
TARI SAMAUDA (MANTRA PEMIKAT)

SINOPSIS

Seperti halnya daerah lain di Indonesia, di Sulawesi Tengah khususnya Tana Kaili pun
memiliki mantra-mantra yang sampai saat ini masih di percaya oleh penganutnya, di antara
mantra-mantra tersebut adalah SAMAUDA (Mantra Pemikat).

Seseorang dapat terkena mantra Samauda apabila orang tersebut telah membuat lawan
jenisnya tersinggung oleh sikapnya yang menolak atau tidak menerima cinta dari lawan
jenisnya tersebut dengan cara-cara yang tidak wajar, misalnya dengan membuang muka atau
meludah. Bila terjadi hal seperti itu maka orang yang tersinggung tersebut akan mengirim
mantra melalui angin yang ditujukan pada orang yang dimaksud.

Dalam tari ini digambarkan tentang muda-mudi yang sedang kasmaran tetapi salah satu dari
pemuda itu ditolak cintanya dan pada akhirnya sang pemuda melakukan ritual untuk
memantrai sang gadis dengan menggunakan mantra Samauda. Bagaimanapun juga kejahatan
akan selalu bisa dikalahkan. Beberapa sahabat sang gadis kemudian memanggil ahli yang
dapat menangkal mantra Samauda, dialah sang Dukun Samauda/Sando Samauda. Mantra
Samauda yang dikirim ternyata berbalik arah pada diri sang pemuda.

Penanggungjawab Produksi :

Kepala UPT Taman Budaya Propinsi Sulawesi Tengah, Dra. Hj. Enong H. Nawi, M.Pd

Penari: Ilham, Faruk, M. Taufik, Andika Nompo, Yeni Faradila Sandy, Gita.

Pemusik: Hendra, Indra, Rizki Ramadhan, Mimink

Anda mungkin juga menyukai