Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENGAWETAN KULIT

Disusun Oleh :

Eka Pratama Apsoni (14021005)

Defi Arif Prabowo (14021030)

Moch Khasna R (14021058)

Maghfirudini Nugroho (14021025)

Bayu Prasetyo (14021070)

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS AGROINDUSTRI

UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA

YOGYAKARTA

2017
Pengawetan Kulit

Pendahuluan

Pemanfaatan kulit ternak /hewan untuk kepentingan manusia itu berjalan searah dengan
perkembangan peradaban manusia. Dari keseluruhan produk sampingan hasil pemotongan
ternak, maka kulit merupakan produk yang memiliki nilai ekonomis yang paling tinggi. Berat
kulit pada sapi, kambing dan kerbau memiliki kisaran 7-10% dari berat tubuh Secara ekonomis
kulit memiliki harga berkisar 10-15% dari harga ternak .
Sejak masa prasejarah pemanfaatan kulit telah dikenal oleh masyarakat. Hal tersebut terbukti
dari peninggalan tertulis maupun pahatan/relief pada batu yang menunjukkan bagaimana proses
pengolahan kulit dan kegunaannya pada manusia sebagai pakaian serta rumah tenda dari bahan
kulit (bangsa Indian).Di Semenanjung Asia terutama India dan China ditemukan bukti tertulis.
Di Afrika khususnya Mesir ditemukan pakaian dari kulit yang dipakai untuk membungkus
mummy. Di Eropa, pengembaraan bangsa Moor telah membawa budayanya sampai Spanyol
sehingga teknologi pengolahan kulit berkembang sampai negara-negara Eropa lainnya. Di
Museum Berlin disimpan batu yang menggambarkan proses pengolahan kulit harimau.
Demikian pula di British Museum kini tersimpan pakaian dan sepatu dari kulit (mummy) dari
masa prasejarah. Perkembangan proses pengolahan kulit secara sederhana dan pemanfaatannya
di Asia disebarkan ke Asia dan Afrika oleh Marcopolo.
Potensi hasil ikutan berupa kulit di Indonesia masih sangat besar, hal ini disebabkan masih
sedikitnya industri besar yang mengelola secara intensif. Kalaupun ada kapasitasnya belum
mampu memenuhi permintaan pasar. Sebagai contoh industri kulit hanya mampu menghasilkan
350.000.000 sqft/tahun sedangkan permintaan untuk industri alas kaki maupun untuk barang jadi
sebesar 673.000.000 sqft/tahun sehingga setiap tahunnya terjadi kekurangan 323.000.000 sqft.
Sebelum era krisis moneter, pihak pemerintah dengan syarat tertentu masih mengizinkan
industri-industri penyamakan kulit untuk mengimpor kulit mentah dan awetan dari luar negeri,
dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kulit dalam negeri yang sepenuhnya
belum mencukupi. Namun demikian sejak dimulainya krisis moneter, pemerintah akhirnya
mengeluarkan suatu kebijakan untuk melarang impor kulit mentah maupun kulit setengah jadi
dari luar negeri dengan alasan tingginya harga dasar barang (naik + 300-400%) dan pajak impor
yang harus ditanggung oleh importir akibat fluktuasi rupiah oleh mata uang asing. Dengan
langkah kebijakan tersebut para pengusaha dalam negeri tentunya harus menyediakan bahan
mentah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Masalah yang timbul, apakah mutu kulit
mentah maupun kulit awetan yang dihasilkan oleh masyarakat di dalam negeri sudah memenuhi
standar yang sesuai atau paling tidak telah mendekati standar kualitas yang telah ditetapkan .
Sebuah fenomena yang patut kita ingat bahwa pada saat industri perkulitan mengalami kejayaan
pesat, ekspor kulit samak (leather) merupakan sumber devisa negara non migas selain kayu,
tekstil dan elektronik. Berdasarkan gambaran tersebut, tentunya banyak hal yang harus dikaji
dan terpulang kepada, bagaimana perkembangan ilmu dan teknologi khususnya ilmu dan
teknologi pengolahan kulit ke depan serta kualitas SDM peternakan yang dimiliki. Pada bagian-
bagian selanjutnya akan dikaji mengenai teknik penanganan dan pengolahan pada kulit.

A.Teknologi Pengawetan pada Kulit Mentah

Pengawetan kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau proses untuk
mencegah terjadinya lisis atau degradasi komponen-komponen dalam jaringan kulit. Prinsip
pengawetan kulit adalah menciptakan kondisi yang tidak cocok bagi pertumbuhan dan
perkembangbiakan mikroorganisme perusak kulit. Hal tersebut dilakukan dengan menurunkan
kadar air sampai tingkat serendah mungkin dengan batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak
mampu untuk tumbuh ( 5-10%).
Pengawetan kulit memiliki beberapa tujuan antara lain :
1. Mempertahankan struktur dan keadaan kulit dari pengaruh lingkungan untuk sementara
waktu sebelum dilakukan proses pengolahan/penyelesaian
2. Untuk tujuan penyimpanan dalam waktu yang relatif lebih lama
3. Agar kulit dapat terkumpul sehingga dapat dikelompokkan menurut besar dan kualitasnya
serta mengantisipasi terjadinya over produksi karena stok kulit yang terlalu banyak
Secara umum proses pengawetan kulit mentah yang dikenal di Indonesia terdiri atas 4
macam, yakni :
1. Pengawetan dengan cara pengeringan + zat kimia
2. Pengawetan dengan cara kombinasi penggaraman dan pengeringan
3. Pengawetan dengan cara garam basah
4. Pengawetan dengan cara pengasaman (pickling)
1. Pengawetan dengan cara pengeringan + zat kimia

Kulit segar yang baru dilepas dari ternak selanjutnya dilakukan pengawetan dengan maksud
untuk mengurangi kadar air yang terdapat dalam kulit hingga mencapai batas minimum kadar air
yang diperlukan untuk persyaratan hidup bakteri perusak. Adapun urutan pelaksanaannya
adalah sebagai berikut :
a. Pencucian dan pembuangan daging
Kulit yang baru dilepas dicuci dengan air mengalir dan kelebihan daging maupun lemak yang
masih melekat dibuang. Pisau yang digunakan harus tajam dan bentuknya melengkung untuk
mencegah robeknya kulit. Setelah semua lemak dan daging telah bersih selanjutnya dicuci
kembali dengan air mengalir
b. Pengetusan (Pentirisan)
Kulit yang telah dicuci kemudian disampirkan atau ditiriskan diatas kuda-kuda kayu dan
dibiarkan menetes selama 30 menit.
c. Pemberian zat kimia
Kulit direndam dalam bak yang berisi zat kimia jenis Natrium Arsenat 0,5% selama 5-10 menit.
Setelah proses tersebut selesai, kulit masih disampirkan diatas bak agar sisa-sisa zat kimia masih
tetap menetes kembali ke dalam bak
d. Pementangan
Setelah zat kimia menetes dengan baik, kulit dipentang dan ditarik dengan tali pada kerangka
kayu (pentangan kulit). Pentangan untuk kulit sapi, kerbau maupun kuda menggunakan kayu
bulat dengan diameter kira-kira 5-10 cm yang menyerupai model bingkai gambar. Ukuran
panjang maupun lebarnya disesuaikan dengan kondisi kulit dengan acuan bahwa pentangan
tersebut dapat menampung luas maksimal dari kulit. Kulit yang akan dipentang dilubangi pada
bagian pinggirnya dengan jarak kira-kira 2-3 cm dari batas pinggir kulit dan ditarik hingga posisi
kulit terpentang dengan sempurna tanpa adanya pengkerutan dan pelipatan pada bagian pinggir
maupun tengah. Proses pementangan untuk kulit kecil seperti domba, kambing maupun reptil
dapat dilakukan diatas papan dan teknik pementangannya tidak perlu menggunakan tali tapi
cukup dilakukan dengan menggunakan paku
e. Pengeringan
Kulit yang telah dipentang selanjutnya siap untuk dijemur. Proses pengeringan tidak boleh
dilakukan terlalu cepat, sebab zat-zat kulit pada lapisan luar akan mengering lebih cepat
dibanding pada bagian dalam dari kulit.
Temperatur yang terlalu tinggi menyebabkan zat-zat kulit (kolagen) mengalami proses
gelatinisasi menjadi gelatin yang bersifat mengeras dan tentunya dapat menghalangi proses
penguapan air pada bagian dalam. Bila hal tersebut terjadi mengakibatkan kulit akan membusuk
pada saat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengantisipasi hal tersebut beberapa
petunjuk teknis sederhana tentang posisi letak kulit dalam proses penjemuran kulit dibawah sinar
matahari.
Penjemuran pertama dimulai pada bagian daging (flesh). Pukul 09.00-11.00 dan pukul 15.00-
17.00 penjemuran dilakukan dengan arah sinar matahari tegak lurus dengan permukaan kulit.
Pada waktu siang hari yaitu pukul 11.00-15.00 penjemuran dengan arah sinar matahari sejajar
dengan arah datangnya sinar matahari. Bila kulit pada bagian dagingnya telah kering, maka
posisi kulit dapat dibolak balik sedemikian rupa hingga semua pengeringan dapat merata
disemua permukaan kulit. Proses pengeringan kulit dapat selesai dalam waktu kurang lebih 2-3
hari dengan kondisi panas matahari yang cukup dan penguapan yang teratur.
Beberapa petunjuk sederhana untuk mengetahui apakah proses pengeringan telah cukup, yakni
apabila :
- Keadaan kulit terlihat tembus cahaya (transparan)
- Keadaan kulit tegang (kaku)
- Bagian daging dan bulu telah mengering
- Penampang kulit bila diketuk akan berbunyi nyaring
f. Pelipatan
Setelah kulit menjadi kering selanjutnya dilepas dari pentangannya dan dilipat dua dengan arah
lipatan membujur dari pangkal ekor menuju ke kepala sejajar dengan garis punggung dan
membagi dua bagian tubuh yaitu kiri dan kanan. Bagian daging atau bulu dapat ditempatkan
pada bagian dalam maupun luar. Setelah dilakukan pelipatan kemudian kulit dapat disimpan
sebagai kulit awetan.
2. Pengawetan dengan cara kombinasi penggaraman dan pengeringan

Kulit segar setelah bersih dari lemak, darah, sisa-sisa daging maupun kotoran yang melekat
(seperti cara -1) kemudian direndam dalam dalam cairan garam (NaCl) jenuh dengan kadar
kepekatan garam (salinitas) 20-24oBe selama 1-2 hari. Tingkat kepekatan garam tidak boleh
berada dibawah 20oBe. Kadar salinitas tersebut diukur dengan alat yang disebut Baume meter.
Bila tingkat salinitas mengalami penurunan maka sebaiknya ditambah dengan garam. Bila alat
ukur tersebut tidak dijumpai, maka kadar salinitas dapat diprediksi dengan formulasi berikut.
Untuk membuat larutan garam dengan tingkat kepekatan 1 oBe maka dibutuhkan garam
murni (NaCl) sebanyak 1% dari total berat air pelarut, sedangkan bila menggunakan garam
teknis dibutuhkan 1,5 % dari total berat air pelarut. Mengingat garam murni sangat sulit untuk
diperoleh dan secara ekonomis mahal, sehingga lebih baik menggunakan garam teknis (garam
kotor) yang banyak dijual di pasaran.
Standar baku untuk salinitas 1oBe dapat dibuat dengan melarutkan 1 kg garam murni ke
dalam 100 liter air atau 1,5 kg untuk garam teknis. Berdasarkan acuan tersebut berarti untuk
mencapai larutan dengan tingkat kepekatan 20oBe, berarti untuk penggunaan garam murni
dibutuhkan 20 kg (20 x 1% x 100 = 20) dan untuk garam teknis 30 kg (20 x 1,5% x 100 = 30).
Cara lain untuk menentukan tingkat kejenuhan garam dalam pelarut, yakni dengan
melarutkan garam ke dalam air sambil diaduk. Bila garam tidak dapat larut lagi, berarti
konsentrasi garam dalam larutan tersebut telah jenuh , Kulit yang telah direndam ditiriskan pada
bagian atas bak perendaman. Bagian daging dari kulit tersebut ditaburi kembali dengan garam
dengan persentase 10% dari berat kulit basah dan kulit didiamkan selama 1-2 jam untuk
memperbaiki kondisi peresapan. Kulit kembali dipentang pada bingkai kayu (seperti cara-1)
dengan waktu pengeringan 3-5 hari. Kulit yang telah kering selanjutnya dilipat (seperti cara-
1).
Dalam proses ini memiliki beberapa keuntungan maupun kerugian antara lain :
a. Keuntungan
- Selama waktu pengeringan kulit tidak lekas menjadi busuk sekalipun pengeringannya
memerlukan waktu yang relatif lama misalnya pada saat musim penghujan.
- Kualitas kulit menjadi lebih baik dari pada yang dikeringkan saja (cara-1) oleh karena
serat-serat kulit tidak melekat satu sama lain
- Kulit sangat baik untuk disamak terutama dalam proses perendaman (soaking) yang tidak
membutuhkan waktu yang terlalu lama lagi
b. Kerugian
Biaya pengawetan yang dibutuhkan menjadi lebih banyak dibanding cara-1 karena jumlah
penggunaan garamnya bertambah pula
3. Pengawetan dengan cara garam basah

Kulit yang telah bersih dimasukkan ke dalam garam jenuh selama 24 jam (seperti pada cara-2).
Setelah perendaman, kulit tidak lagi dikeringkan seperti (cara-2), tetapi kulit diletakkan pada
lantai miring yang diatasnya telah ditaburi dengan garam. Kulit yang berada pada posisi paling
bawah diletakkan dengan bagian bulu menghadap ke lantai dan bagian berdaging menghadap
keatas.
Bagian berdaging ditaburi garam kira-kira 30% dari berat kulit basah (setelah perendaman).
Penempatan kulit berikutnya sama halnya dengan posisi pertama yaitu untuk kulit-kulit yang
memiliki bulu pendek seperti sapi, kerbau dan kuda. Jadi bagian daging posisi pertama
bersentuhan dengan bagian bulu posisi kedua. Begitu seterusnya hingga tinggi tumpukan
maksimal 1 meter. Kulit terakhir yang berada pada posisi atas berfungsi sebagai penutup
sehingga posisi penempatannya terbalik dari keadaan semula yaitu bagian bulu menghadap ke
atas. Tumpukan kulit didiamkan selama 1 malam hingga air dalam kulit menetes sedikit demi
sedikit. Kulit yang telah digarami tersebut didiamkan selama 2-4 minggu supaya cairannya bisa
seluruhnya keluar. Dengan demikian kulit dapat dilipat untuk diperdagangkan atau disimpan
sebagai kulit garaman.
Penyimpanan kulit-kulit yang telah diikat tersebut dalam gudang tidak lebih dari1 meter untuk
mencegah timbulnya panas yang berlebihan. Pengawetan dengan cara ini terutama dilaksanakan
di daerah-daerah yang memiliki iklim dingin/sejuk yang kurang terkena sinar matahari. Teknik
ini digunakan pula untuk pengawetan kulit yang tidak tahan terhadap sinar matahari seperti kulit
ikan dan kulit reptil. Seperti halnya cara-2 jenis pengawetan ini memiliki beberapa keuntungan
dan kerugian antara lain :
a. Keuntungan :
- Pengawetan tidak tergantung dengan sinar matahari
- Sedikit sekali terjadi kerusakan kulit
- Proses perendaman (soaking) dalam proses penyamakan kulit membutuhkan waktu yang
singkat
- Pelaksanaan cepat dan tidak membutuhkan ruangan yang luas
b. Kerugian :
- Untuk daerah tropik seperti di Indonesia pengawetan dengan menggunakan garam basah
masih disangsikan keberhasilannya mengingat temperatur ruangan yang sangat baik untuk
pertumbuhan bakteri khususnya bila penyimpanan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup
lama. Bakteri yang seringkali ditemukan pada kulit garaman adalah jenis bakteri halapofilik
yang diketahui relatif tahan terhadap suasana garam.
- Biaya pengawetan sedikit lebih mahal karena pemakaian garam yang relatif lebih banyak
serta membutuhkan penyimpanan dengan temperatur yang rendah.
4. Pengawetan dengan cara pengasaman (pickling)

Teknik pengawetan ini terutama dipakai untuk mengawetkan kulit domba (terutama di
New Zaeland, Australia, Amerika dan pabrik-pabrik kulit yang berskala besar lainnya). Untuk
keperluan ekspor kulit dipickle selama 2 bulan atau lebih. Pengawetan kulit dengan cara
dipickle dikerjakan untuk kulit-kulit yang telah dikeluarkan bulunya melalui proses pengapuran
(liming), buang kapur (deliming) dan telah didegradasi sebagian protein penyusunnya yang
disebut bating (beitzing) (Prosesnya sama dengan tahap pendahuluan dalam proses penyamak
kulit). Proses bating tersebut dilakukan dengan mereaksikan enzim dengan kulit. Setelah proses
bating selesai, kulit diputar dalam cairan asam (pickle) yang terdiri dari garam dapur (NaCl),
asam dan air. Komposisi yang digunakan adalah 15% NaCl + 1,2% H 2SO4 atau asam lain +
100% air pada pH 2,5. Persentase bahan-bahan yang dipakai diperhitungkan dari berat kulit.
Kepekatan cairan pickle antara 10-12 oBe. Kulit dimasukkan ke dalam cairan pickle secara
bersama-bersama diputar dalam drum berputar (paddle) selama 2 jam dan selanjutnya dilakukan
proses pemerasan (sammying). Kulit yang telah diperas dilipat seperti cara terdahulu yaitu
membujur dari pangkal ekor menuju ke bagian kepala membagi bagian tubuh menjadi dua yakni
kiri dan kanan. Kulit dimasukkan ke dalam tong kayu dengan bagian dasarnya diberi dengan
garam begitu pula di antara lapisan-lapisan lembar kulit. Bagian kulit paling atas ditaburi garam
dan ditutup rapat. Kandungan air diusahakan tidak lebih dari 40% dengan pH 2-2,5.
Dari keempat jenis pengawetan kulit tersebut, tentunya masing-masing jenis pengawetan
memiliki keuntungan dan kerugian, namun pada prinsipnya proses pengawetan yang dilakukan
tentunya mengarah kepada suatu upaya bagaimana kulit mentah tersebut memiliki umur simpan
yang maksimal hingga memasuki tahap pengolahan. Selama proses penyimpanan tersebut
struktur penyusun kulit sangat rentan sekali oleh pengaruh mikroorganisme. Selain itu tentunya
perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur penyusun diupayakan dapat diminimalisir.
Tingginya kadar air dan protein pada kulit menyebabkan kulit merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme. Dengan fenomena ini menunjukkan bahwa, produk kulit mentah
merupakan produk hasil sampingan pemotongan ternak yang memerlukan penanganan khusus
setelah lepas dari tubuh ternak
Selain zat-zat kimia tersebut, di dalam kulit yang masih segar terdapat pula beberapa jenis enzim
yang dihasilkan oleh sel-sel di dalam kulit itu sendiri yakni enzim cathepsin, collagenase, dan
dopa oxidase. Enzim collagenase disintesis oleh sel fibroblast. Selama hewan masih hidup
enzim tersebut dalam bentuk pro-collagenase yang tidak aktif, namun setelah hewan dipotong
pro-collagenase tersebut akan menjadi aktif sebagai collagenase yang dapat mencerna serabut
kolagen. Selama kulit masih segar setelah lepas dari tubuh dan sebelum mengalami pengawetan
dalam kondisi lingkungan yang sesuai, enzim cathepsin bersama-sama dengan enzim
collagenase mencerna zat-zat dalam kulit. Kejadian tersebut lazim disebut autolisis. Enzim
dopa oxidase memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan warna pada kulit ternak/hewan
pada saat masih hidup. Akibat pengaruh sinar ultraviolet, tirosin berubah menjadi dopa yang
selanjutnya dopa teroksidasi menjadi senyawa melanin yakni butir zat warna pada kulit (Sarkar,
1995). Warna kulit yang gelap (pada saat masih hidup) kemungkinan disebabkan oleh terekspose
dibawah terik matahari dalam jangka waktu lama. Warna kulit berpengaruh terhadap cara
pengawetan, dimana warna kulit yang gelap bila diawetkan dengan cara pengeringan, akan cepat
mengubah protein kolagen menjadi gelatin (Djojowidagdo, 1999).
Selain enzim-enzim yang terdapat dalam kulit itu sendiri juga terdapat pula enzim-enzim yang
dihasilkan oleh mikroorganisme penyerang kulit seperti halnya bakteri, jamur maupun
mikroorganisme lain. Gabungan enzim-enzim dari kulit itu sendiri dengan enzim dari
mikroorganisme tersebut akan mempercepat proses degradasi terhadap komponen kulit dan hasil
digestinya disebut lisis.
Komponen kulit yang paling penting untuk dipertahankan adalah protein kolagen, karena
kolagen merupakan struktur utama yang dibutuhkan dalam proses penyamakan kulit dan sangat
menentukan kualitas akhir dari kulit tersamak (leather). Dalam upaya mempertahankan struktur
kulit sangat perlu dilakukan proses pengawetan sebelum dilakukan proses penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA:

Abustam, E., Said. M.I, Wahyuddin, E, Sukendar, N.K. 2002. Produksi Gelatin dan Produk
Kapsul dari Kulit Kaki Ayam. Laporan Penelitian Proyek Hibah Bersaing X. Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Djojowidagdo, S 1999. Histologi Sebagai Ilmu Dasar dan Perannya dalam Pengembangan Iptek
Pengolahan Kulit. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Junqueira., L.C., Corneiro, J dan Kelly, R.O. 1998. Alih Bahasa : Tambayong, J. 1998.
Histologi Dasar. EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

LP.POM-MUI. 1997. Tulang yang berserakan. Jurnal halal. Bogor.

Pearson, A.M and Dutson, T.R. 1992. Inedible Meat By-Products. Advances In Meat Research.
Vol.8. Elsevier Applied Science, London and New York.

Roddy, W.T. 1956. Histology of Animal Skins. Chapt.2. Vol I. in The Chemistry and
Technology of Leather. Robert E. Krieger Publishing Co. Huntington, New York.

Sarkar, K.T. 1995. Theory and Practice Leather Manufacture. THE AUTHOR. 4. Second
Avenue. Mahatma Ghandi Road. 600 041

Sukarbowo, P dan Sudarjo, S. 1989. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit.


Akademi,Teknologi Kulit, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai