Anda di halaman 1dari 21

Tugas Makala

Aspek Bioekologi Abalone (Halotis asinina), dan


Daerah Penangkapan Ikan

OLEH :

KELOMPOK 10

NELA WATI : I1A1 15 024

NELVIN BIRANA : I1A1 15 144

RINA ELFINA : I1A1 15 068

HARDIANTI : I1A1 15 073

ASNAWANG : I1A1 15 004

AHMAD FAUZI R. : I1A1 15 111

JURUSAN MANAJEMEN SUMBER DAYAPERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Secara geografis perairan Indonesia yang terletak di kawasan tropis, kaya

akan berbagai sumber daya alam laut (Fallu, 1991). Pemanfaatan sumber dayalaut

tidak hanya dilakukan melalui penangkapan, tetapi juga perlu dikembangkan

usaha budidaya. Saat ini pengembangan budidaya laut lebih banyak mengarah

pada ikan-ikan yang bernilai tinggi dan tiram mutiara, sementara di perairan

Indonesia masih banyak biota-biota laut yang masih bisa dikembangkan dan

mempunyai nilai ekonomis tinggi, salah satunya adalah abalone (Haliotis

asinina).

Abalone merupakan kelompok moluska laut, di Indonesia dikenal dengan

kerang mata tujuh, siput lapar kenyang, medao atau Sea ears. Abalone merupakan

gastropoa laut dengan satu cangkang yang hidup di daerah pasang surut yang

tersebar mulai dari perairan tropis sampai subtropis. Abalone memiliki nilai gizi

yang cukup tinggi dengan kandungan protein 54,13%; lemak 3,20%; serat 5,60%;

abu 9,11% dan kadar air 27,96%, serta cangkangnya mempunyai nilai estetika

yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan kancing baju dan berbagai

kerajinan lainnya. Beberapa nilai tambah yang dimiliki abalone itu menyebabkan

abalone hanya dijumpai di restoran-restoran kelas atas (Sofyan et al., 2006).

Permintaan dunia akan abalone meningkat sejalan dengan

meningkatnyakebutuhan akan variasi sumber protein serta perkembangan industri

perhiasan, namun budidaya abalone di Indonesia belum berkembang seperti

budidaya hewan moluska lainnya seperti tiram mutiara dan kerang hijau. Begitu

pula halnya di negara-negara lain (Asia dan Eropa), budidaya abalone baru

dilakukan sebatas oleh institusi yang bertanggung jawab terhadap pengembangan


teknik budidaya laut. Budidaya abalone sudah selayaknya dijadikan salah satu

alternatif usaha di masa yang akan datang (Irwansyah, 2006).

Berbagai kendala dihadapi pada budidaya abalone untuk memperoleh

kualitas abalone yang baik, salah satu diantaranya yang penting adalah serangan

hama dan penyakit yang mempengaruhi produksi abalone. Belum adanya

informasi tentang serangan hama dan penyakit terhadap abalone tidak berarti

bahwa tidak ada kasus serangan penyakit terhadap abalone, tetapi karena budidaya

abalone masih dalam tahap pengembangan sehingga belum ada informasi tentang

hasil penelitian yang lebih mengarah kepada hama dan penyakit abalone dan

teknik pengembangannya. Bentuk tubuh dan anatomi abalone secara umum dapat

dikategorikan sebagai siput (scallope) sehingga kemungkinan hama dan penyakit

yang menyerang moluska laut terutama yang berbentuk scallope/siput juga dapat

menyerang abalone (Irwansyah, 2006).

B. Rumusan Masalah

Berdasrkan latar belakang di atas adapun rumusan masalah dari makalah

ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Aspek Bioekologi Abalone ?

2. Bagaimana Penyebaran Abalone ?

3. Bagaimana Status Keberadaan Abalone Saat ini ?

4. Bagaimana Tingkah Laku Abalone?

5. Bagaimana Posisi Abalone Dalam Ekosistem?

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk Mengetahui Aspek Bioekologi Abalone

2. Untuk Mengetahui Penyebaran Abalone

3. Untuk Mengetahui Status Keberadaan Abalone

4. Untuk Mengetahui Tingkah Laku Abalone

5. Untuk Mengetahui Posisi Abalone Dalam Ekosistem.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. ASPEK BIOEKOLOGI ABALONE

ASPEK BIOLOGI ABALONE

1. Klasifikasi

Klasifikasi abalon menurut Hegner dan Engeman (1968) adalah sebagai


berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Class : Gastropoda
Ordo : Prosobranchia
Famili : Haliotidae
Genus : Haliotis
Spesies : Haliotis asinine

2. Morfologi Abalone

2.1 Cangkang

Abalone memiliki cangkang tunggal atau monovalve dan menutupi

hamper seluruh tubuhnya. Pada umumnya berbentuk oval dengan sumbu

memanjang dari depan (anterior) ke belakang (posterior) bahkan beberapa spesies

berbetuk lebih lonjong. Sebagaimana umumnya siput, cangkang abalone

berbentuk spiral namun tidak membentuk kerucut akan tetapi berbentuk gepeng

(Fallu, 1991)
Kepala terdapat dibagian anterior sedangkan puncak dari lingkaran (spiral)

adalah bagianbelakang (posterior) pada sisi kanan. Bagian luar cangkang biasanya

agak kasar sedangkanbagian dalamnya halus bahkan beberapa species berwarna-

warni. Pada bagian sisi kiri cangkang terdapat lubang-lubang kecil berjajar.

Lubang di bagian depan lebih besar semakin ke belakang mengecil dan tertutup.

Biasanya lubang-lubang yang terbuka jumlahnya lima, lubang ini berfungsi

sebagai jalan masuknya air yang mengandung oksigen dan keluarnya

karbondioksida bahkan keluarnya sel-sel telur atau sperma. Pertumbuhan

cangkang terjadi dengan adanyapenambahan di bagian depan pada sisi kanan.

Garis-garis pada cangkang menunjukkan pertumbuhan (Anonim, 2008).

2.2 Kaki

Kaki pada abalone bersifat sebagai kaki semu, selain untuk berjalan juga

untuk menempel pada substrat/dasar perairan. Kaki ini sebagian besar tertutup

oleh cangkang dan terlihat jelas bila abalone dibalik. Sebagian dari kaki ini tidak

seluruhnya tertutup oleh cangkangnampak seperti sepasang bibir. Bibir ini

biasanya ditutup oleh kulit yang keras/kuat yang berfungsi sebagai perisai untuk

melawan musuhnya. Warna bibir sangat bervariasi pada setiap spesies akhirnya

digunakan dalam pengklasifikasian spesies seperti brownlip abalone dan greenlip

abalone (Fallu, 1991).

Pada sekeliling tepi kaki jelas terlihat dari atas sederetan tentakel untuk

mendeteksi makanan atau predator yang mendekat. Bagian dari abalone yang

dimakan (dikonsumsi) adalah otot daging yang menempel pada cangkang dan

kaki sedangkan bagian isi perut dan gonad pada kulit terluar dari kaki dibuang

(Fallu, 1991).
2.3 Kepala

Kepala abalone terdapat dibagian depan dari kaki, dilengkapi dengan

sepasang tentakel panjang pada bibir. Tentakel ini ukurannya lebih besar seperti

halnya tangkai mata pada siput darat. Mulut terdapat dibagian dasar dari kepala,

tidak memiliki gigi tapi terdapat lidah yang ditutupi oleh gigi geligi dan disebut

radula yang digunakan untuk memarut atau menggerus makanan yang menempel

pada substrat (Fallu, 1991).

3. Anatomi Abalone

3.1 Kelenjar Reproduksi

Kelenjar reproduksi atau gonad berbentuk kerucut yang terletak antara

cangkang dankaki. Posisi gonad sejajar dengan cangkang seperti halnya lubang

pada cangkang, dan memanjang sampai ke bagian puncak gelungan cangkang.

Pada umumnya abalone bersifat dioecious dimana kelamin jantan dan betina

terpisah. Warna gonad menunjukkan kelamin jantan atau betina. Gonad jantan

berwarna cream, ivory atau putih tulang, sedangkan betina berwarna hijau

kebiruan. Biasanya gonad abalone yang belum dewasa berwarna abu-abu

sehingga sulit membedakan jenis kelaminnya (Fallu, 1991).

3.2 Insang

Abalone memiliki sepasang insang dalam sebuah rongga mantel di bawah

deretan lubang pada cangkang. Air laut melalui lubang pada cangkang, masuk ke

dalam rongga mantel bagian depan dan keluar melalui insang. Pada saat air

melewati insang oksigen diserap dan sisa gas dibuang (Fallu, 1991).

3.3 Sistem Pernafasan


Lubang pada cangkang abalone berfungsi sebagai jalan air. Air akan

masuk melalui bukaan cangkang anterior seterusnya melalui insang yang bekerja

mengambil O2 dan mengeluarkan CO2. Kemudian air akan dikeluarkan kembali

melalui lubang respirasi ini. Segala macam ekskreta dan egesta serta gamet juga

dikeluarkan dari rongga mantel melalui lubang- lubang respirasi ini. Pada abalone

yang cangkangnya halus, aliran air pada lubang respirasi disebabkan oleh gerakan

silia, sedangkan aliran air pada abalone yang cangkangnya kasar disebabkan oleh

beda tekanan air di dalam dan di luar cangkang. Darah abalone mengandung

haemocyanin dimana akan berwarna biru bila kandungan oksigen tinggi dan tidak

berwarna bila kandungan oksigen rendah. Jantung memompa darah yang kaya

akan oksigen dari insang masuk ke dalam kaki/otot melalui 2 pembuluh utama

kemudian masuk ke dalam kapiler. Dari kapiler oksigen merembes ke dalam

seluruh jaringan (Fallu, 1991). Anatomi abalone terlihat seperti

Gambar 2.1

Gambar 2.1. Anatomi Abalone (Fallu, 1991)

4. Siklus Hidup Abalone


Larva abalone tidak makan (lesitotrofik) dan tidak memiliki alat

pencernaan. Manahan (1992) mengemukakan bahwa larva abalone dapat

memanfaatkan karbon organik yang secara alami terlarut dalam air laut sebagai

sumber energi. Larva abalone yang baru menetas bersifat planktonik dan disebut

larva trokofor (trocophore), pada perkembangan selanjutnya larva yang sudah

mulai memiliki cangkang dan memiliki velum disebut larva veliger. Setelah

memiliki statosis (statocyst) atau alat keseimbangan, larva abalone akan mencari

tempat untuk menetap dan memulai kehidupannya sebagai organisme bentik yang

kemudian akan berkembang menjadi juwana (juvenile). Larva bentik ini sudah

mulai menggerus alga pada batu-batu karang sebagai makanannya. Larva abalone

membutuhkan stimulan yang sangat spesifik untuk melangsungkan proses

metamorphosis dan menetap menjadi larva bentik. Apabila larva tidak

menemukan tempat menetap, ia akan bertahan sebagai plankton hingga 3 minggu

dalam kondisi lingkungan yang optimal (Morse, 1984 dalam Searcy-Bernal et al,

1992).

5.Siklus Reproduksi

Menurut Rusdi, e t a l . ( 2010), abalon merupakan hewan yang

termasuk dioecious (jantan dan betina terpisah) seperti maluska lainnya. Abalon

memiliki satu gonad yang terletak di sisi kanan tubuhnya. Gonad jantan dan

betina abalone y a n g d e w a s a d a p a t d i b e d a k a n k a r e n a t e s t i s

m e n a m p a k k a n w a r n a k r e m sedangkan ovarium berwarna kehijau-

hijauan. Pada gambar A dapat dilihat bentuk dan warna gonad pada Haliotis

midae
Gambar Gonad Haliotis midae. A: gonad betina warna hijau; B : gonad jantan

warna krem (Rouc, 2011)

Gambar 2.2. Siklus Hidup Abalone (Fallu, 1991)

Aspek Ekologi Abalone ( H. asinina )

5.1 Kondisi Lingkungan yang Mendukung Pertumbuhan Abalone

Moluska (keong laut dan kerang-kerangan) merupakan kelompok biota

perairan laut Indonesia yang memiliki tingkat keragaman paling tinggi. Spesies

moluska banyak hidup di daerah ekosistem karang dan mangrove (Dahuri, 2003).

Secara umum, gastropoda terbanyak hidup di laut dangkal, dan rataan

terumbu merupakan bagian dari habitat laut dangkal terdiri dari pasir, karang,

lamun, dan alga. Rataan terumbu banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik,
yaitu gerakan ombak, salinitas dan suhu (Nyabakken, 1992). Disamping itu,

gastropoda hidup menempel pada substrat batu, karang dan karang mati.

Abalone bergerak menggunakan otot perut yang berfungsi sebagai kaki

dan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Kakinya tidak cocok untuk kondisi

dasar berpasir karena abalone tidak dapat melekat atau menempel. Abalone

menghindari cahaya, pada saat terang mereka bersembunyi/menempel di bawah

karang. Abalone hidup di perairan dengan salinitas konstan, lebih senang berada

di lautan terbuka dan menghindari air tawar, sehingga abalone tidak ditemukan di

daerah estuaria, dimana air tawar dapat masuk secara tiba-tiba, keruh dan suhu

dapat meningkat secara tiba-tiba. Suhu air

juga merupakan faktor yang memegang peranan penting bagi kehidupan

organisme perairan termasuk abalone. Kisaran suhu perairan yang optimal bagi

pertumbuhan dan mempengaruhi tingkat kematangan gonad dari individu abalone

berkisar antara 27-280C. Selain itu, suhu perairan yang optimal tersebut

membantu dalam proses pemijahan individu H. asinina

5.2 Kondisi Lingkungan yang Menghambat Pertumbuhan Abalone

Kondisi lingkungan menjadi salah satu indikator yang dapat menghambat

pertumbuhan abalone. Lingkungan yang kotor menyebabkan kualitas air menurun

yang menimbulkan stress pada abalone atau penanganan yang kurang hati-hati

yang dapat menimbulkan luka. Pada keadaan ini, abalone sangat riskan terhadap

serangan penyakit.

Dalam kehidupannya di alam, abalone menghadapi ancaman dari berbagai

macam predator. Telur dan larva abalone biasanya ikut termakan oleh hewan

pemakan plankton (plankton feeder). Pada fase juvenile, ketika mereka aktif di
malam hari hewan-hewan seperti kepiting, lobster, bintang laut, ikan-ikan karang

dan siput juga bisa memangsa mereka. Lepore (1993) menyatakan bahwa kerang

abalone pada keadaan tertentu seringkali dimangsa oleh hewan lain di sekitar

habitat karang. Hal ini disebabkan hewan lain tersebut tertarik dengan kaki

muscular pada abalone yang memiliki rasa enak dan tinggi kalori. Selain itu,

abalone yang hidup di perairan dangkal juga menghadapi ancaman dari ombak

besar yang menghantam karang.

Abalone yang berukuran besar tidak dapat dimangsa oleh predator yang

memangsanya pada saat masih berukuran kecil, tetapi masih ada pemangsa lain

yang tidak kalah pentingnya. Beberapa jenis ikan besar dapat memangsa abalone

dengan sekali telan seluruhnya. Pada suhu tertentu, sebagai hewan yang berdarah

dingin akan terjadi kondisi dorman. Jika suhu meningkat, metabolisme akan

meningkat dan nafsu makan akan terangsang. Bila suhu terus meningkat maka

akan terjadi kematian.

Penangkapan dari alam yang terjadi secara besar-besaran dan terus

menerus juga mengakibatkan populasi abalone di alam menjadi terancam.

Demikian halnya dengan terumbu karang sebagai habitat asli abalone, juga

terancam kelestariannya.

6. Makanan dan Kebiasaan Makan

Abalone merupakan hewan herbivora yaitu hewan pemakan

tumbuhtumbuhan dan aktif makan pada suasana gelap. Jenis makanannya adalah

seaweed yang biasa disebut makro alga. Jenis makro alga yang tumbuh di laut

sangat beraneka ragam. Secara garis besar ada 3 golongan makro alga yang hidup

di laut yaitu: makro alga merah (red seaweeds), alga coklat (brown seaweeds), dan
alga hijau (green seaweed). Ketiga golongan tersebut terbagi atas beberapa jenis

dan beraneka ragam. Keragaman tersebut tidak semuanya dapat dimanfaatkan

abalone sebagai makanannya. Jenis makro alga merah diantaranya: corallina,

lithothamnium, gracilaria, jeanerettia, porphyra. Makro alga coklat: ecklonia,

laminaria, macrocystis, nereocystis, undaria, sargasum. Makro alga hijau seperti

ulva

B. PENYEBARAN ABALONE

Penyebaran kerang abalone sangat terbatas. Tidak semua pantai yang

berkarang terdapat kerang abalone. Secara umum, kerang abalone tidak ditemukan

di daerah estuaria yaitu pertemuan air laut dan tawar yang biasa terjadi di muara

sungai. Ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adanya air

tawar sehingga fluktuasi salinitas yang sering terjadi, tingkat kekeruhan air yang

lebih tinggi dan kemungkinan juga karena konsentrasi oksigen yang rendah.

Abalone habitatnya di daerah pasang surut dan berkarang serta cenderung

endemik di Indonesia Timur. Siput ini sifatnya nokturnal yang aktif di Malam

hari. Keluarga Haliotidae hanya berisi satu genus, Haliotis. Genus itu

mengandung sekitar 4-7 subgenera. Jumlah spesies diakui di seluruh dunia adalah

sekitar 100

C. STATUS KEBERADAAN ABALONE

Abalon dikenal dengan nama umum kerang mata tujuh merupakan

gastropoda ekonomis oleh karena bentuk dan warna kerang yang indah dan

merupakan makanan prestise terutama bagi keturunan tionghoa di berbagai tempat di

dunia. Abalon mengandung nutrisi yang baik, namun tidak umum dikonsumsi oleh

masyarakat Indonesia. Eksploitasi abalon di Indonesia lebih ditujukan untuk ekspor.


Permintaan dunia akan abalon meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan

akan sumber protein serta perkembangan industri perhiasan dan akuarium. Disisi

lain informasi keberadaan abalon di alam dan variasi genetiknya terutama di

Indonesia masih sangat terbatas. Sulawesi Selatan memiliki daerah perairan yang

cukup luas, memiliki sumber daya hayati laut yang berpotensi untuk

dikembangkan.

Status Perikanan dan Budidaya

Abalon

Diantara abalon yang telah dikenal dewasa ini, 15 jenis diantaranya ekonomis

penting (Jarayabhand and Paphavasit, 1996). Abalon menjadi penting karena bernilai

ekonomis disebabkan oleh bentuk dan warna kerang yang indah. Selain cangkang

yang dimanfaatkan pada industri kancing perhiasan, daging abalon mengandung

protein yang cukup tinggi sehingga merupakan salah satu makanan utama dan

prestise terutama di kalangan masyarakat keturunan Tionghoa, Jepang, dan Amerika.

Abalon sebagai komoditi perikanan komersial skala besar terdapat terlihat jelas

pada tujuh negara dengan total nilai sekitar U$ 100.000 (Miller et al. 2009).

Namun, beberapa daerah utama penghasil abalon alami tidak memproduksi lagi

(mengalami collapse) pada dekade terakhir tanpa ada proses pemulihan. Salah satu

contoh yang signifikan adalah perikanan komersil di California yang pernah

memproduksi > 2000 ton/tahun, ditutup pada tahun 1997 (Karpov et al. 2000).

Empat dari lima species yang merupakan komoditi target daerah ini telah terdaftar

dalam daftar species yang dilindungi atau dipertimbangkan untuk dilindungi

(Mitchell et al. 2008). Kebutuhan dunia akan abalon yang terus meningkat telah

berdampak pada eksploitasi berlebihan sehingga menyebabkan penurunan populasi

alami dimana-mana.
Eksploitasi abalon seperti telah dijelaskan di depan secara ektensif telah

dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Abalon tropis jenis H. asinina L. diketahui

terdapat dan telah dieksploitasi secara ekstensif di perairan kepulauan Seribu DKI,

Bali, Lombok, Sumbawa, Sulwesi dan Maluku (Setyono, 2007). Abalon mata tujuh

telah dieksploitasi di perairan pulau Bone Tambu (Anwar, 2006), di pulau Badi

Pangkep (Hadijah, 2007). Kedua lokasi terakhir berada di kawasan Spermonde

Sulawesi Selatan.

D. TINGKAH LAKU ABALONE

Kerang abalone bergerak dan berpindah tempat menggunakan satu organ,

yaitu kaki. Gerakan kaki yang sangat lambat, sangat memudahkan predator untuk

memangsanya. Pada siang hari atau suasana terang, kerang abalone lebih

cenderung bersembunyi di karang-karang dan pada malam atau gelap lebih aktif

melakukan gerakan berpindah tempat. Ditinjau dari segi perairan, kehidupan

kerang abalone sangat dipengaruhi oleh kualitas air. Secara umum, spesies kerang

abalone mempunyai toleransi terhadap suhu air yang berbeda-beda, contoh; H.

kamtschatkana dapat hidup dalam air yang lebih dingin sedangkan H. asinina

dapat hidup dalam air bersuhu tinggi (300C). Parameter kualitas air yang lainnya

yaitu, pH antara 7-8, Salinitas 31-32ppt, H 2S dan NH3 kurang dari 1ppm serta

oksigen terlarut lebih dari 3ppm.

E. POSISI ABALONE DALAM EKOSISTEM

Bivalvia merupakan salah satu kelompok organisme invertebrate yang

banyak ditemukan dan hidup yang hidup di daerah interdal. Hewan ini

mempunyai adaptasi khusus yang memungkinkan dapat bertahan hidup pada

daerah yang memperoleh tekanan fisik dan kimia seperti yang terjadi pada daerah
interdal.Organisme ini juga memiliki adaptasi untuk bertahan terhadap arus dan

gelombang.Namun, bivalvia tidak memiliki kemampuan untuk berpindah tempat

secara cepat (motil), sehingga menjadi organisme yang mudah untuk ditangkap.

Bivalvia mempunyai dua keping cangkang yang setangkup. Diperkirakan terdapat

sekitar 1000 jenis yang hidup di perairan Indonesia. Mereka menetap di dasar laut,

membenam di dalam pasir, lumpur maupun menempel pada batu karang.Bivalvia

melekatkan diri pada seubstrat dengan menggunakan byssus yang berupa

benangbenang yang sangat kuat. Cangkang bivalvia berfungsi untuk melindungi

diri dari lingkungan dan predator serta sebagai tempat melekatnya otot. Cangkang

bivalvia merupakan engsel secara dorsal dan terbuka di sekitar katup margin

ketika terbuka (Meglitsch, 1972). Wilayah intertidal secara periodik akan

mengalami perubahan mendasar sebagai sebuah ekosistem peralihan. Aktivitas

pasang air laut yang periodik berlangsung dua kali dalam sehari semalam,

menyebabkan daerah intertidal juga mengalami perubahan sebanyak dua kali

dalam sehari semalam sebagai ekosistem daratan dan juga lautan. Aktivitas pasang

air laut yang terjadi pada siang yang terik menyebabkan intertidal menjadi

wilayah daratan yang terbuka dan panas atau sebaliknya aktivitas pasang yang

terjadi pada saat turun hujan deras menyebabkan intertidal menjadi wilayah laut

dengan kadar salinitas yang rendah karena bercampurnya air hujan. Tekanan-

tekanan fisik di atas secara langsung akan menyebabkan perubahan pada

parameter kimia intertidal, dan hanya organisme dengan adaptasi tertentu yang

mampu hidup di daearah intertidal ini. Bivalvia bernafas dengan menggunakan

insang yang terdapat dalam rongga mantel dan memperoleh makanan dengan

menyaring partikel-partikel yang terdapat dalam air. Dari semua anggauta


Mollusca, bivalvia lebih dikategorikan sebagai deposit feeder ataupun suspension

feeder (Stanley, 1970 dalam Peterson & Wells, 1998). Bivalvia memiliki

kemampuan hidup pada rentangan salinitas yang lebar dan terjadi pada waktu

yang relative singkat (3-6 jam) dan terjadi secara periodic sepanjang tahun yang

menyebabkan daerah ini dihuni oleh organisme-organisme yang memiliki

kemampuan adaptasi perubahan salinitas yang ekstream. Bivalvia sangat tolerans

terhadap perubahan salinitas dan kondisi kekurangan oksigen. Kemampuan

bertahan hidup pada oksigen rendah disebabkan karena larva ke dua species ini

hanya membutuhkan sedikit nutrient dan bentuk polisakarida proporsinya juga

relatif kecil dari total energi cadangannya. Dan juga memanfaatkan

sumbernutrisi.Sebagai biofiltration dan biodeposition yang hidup sesil umumnya

sumber nutrisinya relatif minim dan Mytilus hanya membutuhkan sedikit nutrisi

untuk 12 hidupnya dan mampu melepas kembali bahan organik ke dalam

lingkungan melaluifeses. Penelitian yang dilakukan Camacho et al., (1994),

Mytilus memiliki efisiensipakan mencapai 13,5% dan efisiensi assimilasi

mencapai 79%. Sisa pakan akan dilepas kembali ke dalam lingkungan perairan

dalam bentuk senyawa carbon, fosfat, NO2 +NH4-N, dan silikat. Senyawa-

senyawa tersebut terutama N dan P menurut Gahnstrom etal., (1993), merupakan

limiting faktor bagi phytoplankton, dan dengan melepaskan senyawa-senyawa

tersebut maka kebutuhan yang mendukung pertumbuhan dan regenerasi

phytoplankton akan terpenuhi. Pertumbuhan phytoplankton akanmenyediakan

sumber nutrisi bagi organisme herbivor dan Mytilus sendiri serta memberikan

tambahan oksigen terlarut dalam perairan sebagai hasil fotosintesis. Efisiensi

nutrisi juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Smaal (1994), di Sea Wedden.
Hanya mengkonsumsi 300 mg C/hari, kerang Mytilus perhari mampu melepas 56

mg NH4-N, 21 mg NO2 + NO3, 15 mg fosfat dan 70 mg silikat. Species Pinna

muricata dan Atrina vexillum, yang merupakan anggauta dari famili

pinnidae.Anggauta dari famili ini memiliki ciriciri cangkang tipis, agak

transparan, sedikit rapuh serta melebar pada salah satu sisinya sehingga disebut

juga cangkang kipas atau cangkang sayap.Memiliki bisus pada bagian

anterior.Habitat kerang ini adalah di perairan pantai berlumpur, pasir atau kerikil

dan juga pantai berbatu. Pada pantai berbatu (berkarang), kerang ini

memanfaatkan bisus untuk melekatkan diri pada celah-celah batu sehingga

terhindar dari hempasan ombak, sedangkan pada pantai berpasir atau berlumpur

kerang ini hidup menguburkan dirinya ( J.D. Fish and S. Fish, 1996).
III. PENUTUP
A. Simpulan

Aspek biologi abalone klasifikasi, morfologi, anatomi, siklus hidup

abalone dan siklus reproduksi. Aspek ekologi abalone kondisi lingkungan yang

mendukung pertumbuhan abalone, Kondisi lingkungan yang menghambat

pertumbuhan abalone dan makanan dan kebiasaan makan. Penyebaran abalone

Penyebaran kerang abalone sangat terbatas. Tidak semua pantai yang berkarang

terdapat kerang abalone. Secara umum, kerang abalone tidak ditemukan di daerah

estuaria yaitu pertemuan air laut dan tawar yang biasa terjadi di muara sungai. Ini

mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adanya air tawar sehingga

fluktuasi salinitas yang sering terjadi, tingkat kekeruhan air yang lebih tinggi dan

kemungkinan juga karena konsentrasi oksigen yang rendah. Status abalone Abalon

dikenal dengan nama umum kerang mata tujuh merupakan gastropoda ekonomis

oleh karena bentuk dan warna kerang yang indah dan merupakan makanan prestise

terutama bagi keturunan tionghoa di berbagai tempat di dunia. Abalon mengandung

nutrisi yang baik, namun tidak umum dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Eksploitasi

abalon di Indonesia lebih ditujukan untuk ekspor. Tingkah laku abalone Kerang

abalone bergerak dan berpindah tempat menggunakan satu organ, yaitu kaki.

Gerakan kaki yang sangat lambat, sangat memudahkan predator untuk

memangsanya. Pada siang hari atau suasana terang, kerang abalone lebih

cenderung bersembunyi di karang-karang dan pada malam atau gelap lebih aktif

melakukan gerakan berpindah tempat. Posisi abalone dalam ekositem Hewan ini

mempunyai adaptasi khusus yang memungkinkan dapat bertahan hidup pada

daerah yang memperoleh tekanan fisik dan kimia seperti yang terjadi pada daerah

interdal.Organisme ini juga memiliki adaptasi untuk bertahan terhadap arus dan
gelombang.Namun, bivalvia tidak memiliki kemampuan untuk berpindah tempat

secara cepat (motil), sehingga menjadi organisme yang mudah untuk ditangkap.

Bivalvia mempunyai dua keping cangkang yang setangkup.

B. Saran

Saran saya untuk makalah ini adalah, jika terdapat kesalahan pada makalah

ini kami mohon bimbingan dari bapak dosen karena untuk kesempurnaan makalah

selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Fallu, 1991. Abalone Farming. Fishing News Book, Oshey Mead, Oxford Oxoel,
England.
Morse, 1984. Biochemical and Genetic Engineering for Improved Production of
Abalones and Valuable Mollusca. Aquaculture, 39: 263-282.
Ambariyanto (1995) Giant clams culture and its prospect in Indonesia. IARDJ.
17(1) : 13-17
Ambariyanto dan Suryono (2001). Pelatihan teknik pembesaran Abalone pada
masyarakat. INFO IV (2): 99-106.
Ambariyanto. 2009. Penangkaran dan Restocking Abalone. Unnes Press.
Semarang. 130 pp.
Braley, R.D. (1992). The Giant Clams: A hatchery and nursery culture manual.
ACIAR Monograph No. 15. Canberra. p: 144.
Copland J W dan Lucas J S. 1988. Giant Clams in Asia and the Pacifik. Canberra
: Australian Centre of International Agricultural Research.
Hunter, R. 1983. The Mollusca. Volume 6 Ecology. Academic Press. New York.
Mudjiono. 1988. Catatan Beberapa Aspek Kehidupan Abalone (Molusca,
Pelecypoda). Oseana. XIII, 37-47.
Nontji, A. 1982. Oceana : Peranan Zooxanthella Dalam Ekosistem Terumbu
Karang. LIPI. Pusat Pendidikan dan Pengembangan Oseanologi. Jakarta.

Newman, W. A. & E. D. Gomez. 2000. On the status of Giant Clams, relics of


Thethys (Mollusca: Bivalvia; Tridacninae). Proceedings 9th International
Coral Reef Simposium, Bali Indonesia, 23-27 October 2000.

Romimohtarto, K dan Juwana, S. 2001. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan tentang


Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Rosewater, J. 1982. The Family Haliotidae in The Indo Pacific. Indo Pacific
Mollusca : Vol 1 / no.6. The Department of Mollusca : Academy of Natural
Science of Philadelphia. Pennsilvania. pp 347 396.

Anda mungkin juga menyukai