Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kasus vaksin palsu yang akhir-akhir ini menjadi berita dan menimbulkan
gejolak bermula karena adanya keluhan masyarakat yang mengaku balita mereka
tetap sakit meski sudah divaksin. Hal tersebut yang menyebabkan Polisi untuk
melakukan penyelidikan. Diawali dengan ditemukannya vaksin palsu tersebut di
Apotek AM di Bekasi, Jawa Barat pada Kamis 16 Mei 2016. Polisi akhirnya
menahan J, selaku distributor.Penyelidikan akan kasus ini berkembang hingga
akhirnya dilakukan penangkapan terhadap para pelaku, mulai dari distributor
hingga kurir1

Hingga akhirnya pada Kamis tanggal 14 Juli 2016 bertempat di Kompleks


Parelemen, Senayan, Jakarta Menteri Kesehatan mengungkap identitas 14 nama
rumah sakit yang menggunakan vaksin palsu. Keempat belas nama rumah sakit
yang diduga memakai vaksin palsu adalah RS DR. Sander (Cikarang), RS Bhakti
Husada (Terminal Cikarang), RS Sentral Medika (Jalan Industri Pasir Gombong),
RS Puspa Husada, RS Karya Medika (Tambun), RS Kartika Husada (Jalan MT
Haryono Setu Bekasi), RS Multazam (Bekasi), RS Permata (Bekasi), RSIA Gizar
(Villa Mutiara Cikarang), RS Harapan Bunda (Kramat Jati, Jakarta Timur), RS
Elisabeth (Narogong Bekasi), RS Hosana (Lippo Cikarang), dan RS Hosana
(Jalan Pramuka Bekasi), RS Sayang Bunda (Pondok Ungu Bekasi)2.

Dari kejadian-kejadian diatas dapat diketahui bahwa banyak pihak atau


lembaga seperti Kementerian Kesehatan dan jajarannya dan Badan Pengawasan
Obat dan Makanan beserta jajarannya hingga Rumah Sakit sebagai penyedia

1 www.liputan6.com/tag/vaksin-palsu,pada tanggal 5 Agustus 2016

2 http://nasional.kompas.com/read/2016/07/14/16083471, pada
tanggal 5 Agustus 2016

1
layanan kesehatan.Rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan
yang profesional dan bermutu. Bukan hanya pelayanannya saja akan tetapi juga
dengan mutu dan keamanan obat yang disediakan di rumah sakit

2.1. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka ada beberapa hal yang menjadi
permasalahan dalam penulisan ini:
1. Bagaimana pelayanan imunisasi dan pengadaan vaksin di rumah sakit
2. Bagaimana Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit terhadap Peredaran
Vaksin Palsu
3. Bagaimana Fungsi Pengawasan terhadap Rumah Sakit Dengan Adanya
Peredaran Vaksin Palsu

2
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Pelayanan Imunisasi dan Pengadaan Vaksin di Rumah Sakit


Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan mempertahankan status
kesehatan seluruh masyarakat diperlukan tindakn imunisasi sebagai tindakan
preventif. Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat
terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit
ringan. Pelayanan imunisasi dapat didapatkan pada puskesmas, puskesmas
pembantu, rumah sakit, klinik, bidan praktek, dokter praktik, posyandu, di
sekolah, atau melalui kunjungan rumah.
Menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
pemberian imunisasi terdapat pada Pasal 130, Pasal 131, Pasal 132.
Pasal 130
Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.

Pasal 131
(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus ditujukan untuk
mempersiapkan generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas
serta untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak.
(2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam
kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan
belas) tahun.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi
orang tua, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah, dan pemerintah daerah.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013


tentang Penyelenggaraan Imunisasi:
Bab IV : Pelaksana Pelayanan Imunisasi

3
Pasal 28
Pemberian imunisasi harus dilakukan berdasarkan standar pelayanan,
standar prosedur operasional dan standar profesi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan

Pasal 29
Proses pemberian imunisasi harus memperhatikan keamanan vaksin dan
penyuntikan agar tidak terjadi penularan penyakit terhadap tenaga kesehatan
pelaksana pelayanan imunisasi dan masyarakat serta menghindari terjadinya KIPI

Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak


terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi
kepada pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat
termasuk pelayanan farmasi klinik.
Apoteker khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk
merealisasikan perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian dari orientasi produk
menjadi orientasi pasien. Untuk itu kompetensi apoteker perlu ditingkatkan secara
terus menerus agar perubahan paradigma tersebut dapat diimplementasikan.
Apoteker harus dapat memenuhi hak pasien agar terhindar dari hal-hal yang tidak
diinginkan termasuk tuntutan hukum.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
Pasal 2
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan untuk :
a. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian; dan
b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. Melindungi pasien dan masyarakat dan penggunaan obat yang tidak
rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety)

Pasal 3
(1) standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi standar :
a. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai ; dan
b. Pelayanan farmasi klinik
(2) Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
sebagimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a) pemilihan
b) perencanaan kebutuhan;

4
c) pengadaan;
d) penerimaan;
e) penyimpanan;
f) pendistribusian;
g) pemusnahan dan penarikan ;
h) pengendalian;dan
i) administrasi

Penjelasan dari hal tersebut diatas adalah :


1. pemilihan
pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi , alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan.
Pemilihan tersebut berdasarkan :
a. formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi
b. standar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang telah ditetapkan
c. efektifitas dan keamanan
d. pengobatan berbasis bukti
e. mutu
f. harga
g. ketersediaan farmasi
2. perencanaan kebutuhan
perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah
dan periode pengadaan sediaan farmasi , alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin
terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien.
3. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin
ketersediaan jumlah dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau
dan sesuai standar mutu.
Pengadaan dapat dilakukan melalui :
a. Pembelian
b. Produksi sediaan farmasi
c. Sumbangan/dropping/hibah
4. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam

5
kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua
dokumen terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan baik.
5. Penyimpanan
Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan Sediaa
Farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan
persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi
persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban,
ventilasi dan penggolongan jenis sediaan Farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai
Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Bagian keenam
Pasal 15
(1) Persyaratan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi ,alat kesehatan yang bermutu
dan bermanfaat, aman dan terjangkau.
(2) Pelayanan sediaaan farmasi di rumah sakit harus mengikuti standar
pelayanan kefarmasian
(3) pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan medis habis pakai
di rumah sakit harus dilakukan oleh instalasi farmasi sistem satu pintu

Sistem satu pintu adalah suatu kebijakan kefarmasian termasuk pembuatan


formularium, pengadaan dan pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan
Bahan Medis habis pakai yang bertujuan untuk mengutamakan kepentingan
pasien melalui instalasi farmasi rumah sakit. Dengan demikian semua sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang beredar di rumah sakit
merupakan tanggung jawab instalasi farmasi rumah sakit, sehingga tidak ada
pengelolaan yang dilaksanakan selain oleh instalasi farmasi rumah sakit.
Untuk peningkatan mutu dan keamanan, rumah sakit harus menyusun
kebijakan terkait manajemen obat yang efektif. Salah satu kegiatan dalam
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai adalah
pengadaan. Untuk memastikan sediaan farmasi sesuai dengan mutu dan
spesifikasi yang dipersyaratkan maka jika proses pengadaan dilaksanakan oleh
bagian lain di luar instalasi farmasi harus melibatkan tenaga kefarmasian.
Sistem penyediaan vaksin di rumah sakit niasanya dilakukan melalui bagian
pengadaan rumah sakit dan seharusnya melibatkan instalasi farmasi rumah sakit

6
1.2 Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Dalam Peredaran Vaksin Palsu
Rumah sakit dalam kedudukannya sebagai subyek hukum ( sebagai provider
pelayanan kesehatan) mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan medik dan
penunjang medik tidak terbatas pada aspek kuratif dan rehabilitatif saja, tetapi
juga aspek preventif dan promotif.3
Secara eksplisit tanggung jawab hukum rumah sakit dirumuskan dalam
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit bahwa, Rumah
Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.
Rumusan tanggung jawab hukum dalam undang-undang ini hanya dari segi
perdata. Sebagai bagian dari hukum kesehatan maka hakekat hukum rumah sakit
adalah penerapan hukum perdata, hukum Pidana dan Hukum Administrasi
Negara.4
Hubungan hukum yang terjalin antara rumah sakit dengan pasien dalam
perspektif hukum perdata merupakan hubungan kontrakstual yang menimbulkan
hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Masalah keperdataan yang umum
terjadi adalah perbuatan melanggar hukum dan wanprestasi.
Bentuk wanprestasi adalah salah atau keliru dalam melakukan upaya
pelayanan kesehatan. Pasien yang dirugikan sebagai akibat dari tindakan
wanprestasi yang dilakukan rumah sakit dalam pelayanan kesehatan kepada
pasien.
Berdasar ketentuan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum dan membawa kerugian

3 Endang Wahyati Yustina, Mengenal Hukum Rumah Sakit,CV Keni


Media, 2012, hlm 76

4 Ibid.hlm 86

7
kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut
Sedangkan pada Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan bahwa, Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan yang diterimanya.
Sebagaimana diketahui prinsip dalam pertanggungjawaban hukum perdata
adalah bahwa barang siapa menimbulkan kerugian kepada pihak lain akibat dari
perbuatannya, maka diwajibkan padanya untuk mengganti kerugian.
Pada kasus vaksin palsu ini, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
dokter, perawat atau pegawainya sudah cukup menjadi dasar membebankan
rumah sakit untuk bertanggung jawab membayar kerugian materiil maupun
immateriil yang timbul akibat perbuatan para pelaku.
Seseorang dikatakan telah melakukan tindak pidana paling tidak harus ada
tiga unsur yakni : pertama, adanya pelanggaran terhadap hukum tertulis; kedua
perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum; dan ketiga perbuatan tersebut ada
unsur kesalahan (dolus).
Adapun unsur kesalahan dapat berupa kesengajaan dan dapat berupa kelalaian
(culpa, negligence). Yang dimaksud dengan kesengajaan adalah sifatnya sengaja
dan melanggar undang-undang, tindakan yang dilakukan secara sadar, tujuan dan
tindakannya terarah. Sedangkan kelalaian sifatnya adalah tidak sengaja, lalai tidak
ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat yang terjadi.
Unsur-unsur kesalahan (kelalaian) sebagai tolok ukur di dalam hukum pidana
yaitu : bertentangan dengan hukum; akibatnya dapat dibayangkan; akibatnya
dapat dihindarkan; perbuatannya dapat dipersalahkan kepadanya.5
Tertangkapnya tenaga medis disalah satu rumah sakit yang diduga
mempunyai andil dalam peredaran vaksin palsu dan oknum tenaga paramedis
yang disinyalir sebagai penyedia botol vaksin dapat dilihat dari hukum pidana

5 J.Guwandi,Dokter dan Rumah Sakit,FK Universitas Indonesia,


1991hlm.20

8
karena perbuatan tersebut sengaja dilakukan. Dan kepada oknum tersebut dapat
dikenakan sanksi.
Menurut Sudarto bahwa dalam perkembangan hukum pidana terdapat
kesengajaan (Dolus) dan kealpaan (Culva). Sengaja berarti menghendaki dan
mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan
sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari
tentang apa yang dilakukan.6
Disamping sikap batin berupa kesengajaan adapula sikap batin yang berupa
kealpaan. Hal ini terdapat dalam beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa,
sembrono, teledor, berbuat kurang hati-hati atau kurang penduga-duga.Dalam
buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat unsur kealpaan. Delik-delik
tersebut dimuat dalam :7
Pasal 359 : karena kealpaannya menyebabkan matinya orang
Pasal 360 : Karena kealpaannya menyebabkan orang luka berat dsb
Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya sedang dalam
arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan
Berkaitan dengan pelayanan kesehatan di rumah sakit, maka untuk
timbulnya tanggung jawab pidana dalam pelayanan kesehatan oleh rumah sakit,
pertama-tama harus dibuktikan adanya kesalahan profesional yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang melaksanakan upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Berdasarkan pengertian ini maka pertanggungjawaban pidana yang dimaksud
dibebankan kepada tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan saat
melaksanakan tugas pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Tindak pidana pelayanan kesehatan berbeda dengan tindak pidana biasa,
tindak pidana dalam ruang lingkup pelayanan rumah sakit, karena fokus pada
tindak pidana pelayanan kesehatan adalah pada sebuah sebab atau causa dari
tindak tersebut. Dalam tindak pidana pelayanan kesehatan disebut dengan
criminal malpractice, untuk adanya pertanggungjawaban pidana maka harus dapat
dibuktikan tentang adanya kesalahan profesional. Tanggung jawab Rumah Sakit
6 Nikmah Rosida, Asas-asas Hukum Pidana, Pustaka
Magister,Semarang, 2011,hlm 47

7 Ibid,hlm 59

9
dalam lingkup hukum pidana diantaranya adalah jika tenaga kesehatan yang
menjadi pelaksana tugas pelayanan di Rumah Sakit melakukan kesalahan
profesional.
Syarat syarat penjatuhan sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban
pidana adalah :
1. Perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum yang melaksanakan
tugas pelayanan kesehatan di Rumah Sakit yakni tenaga kesehatan
yang melaksanakan tugas profesionalnya di rumah sakit yang
bersangkutan
2. Kesalahan dalam pelayanan kesehatan pada umumnya terjadinya
karena kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.Bentuknya
berupa melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan atau
sebaliknya tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan
3. Perbuatan yang dilakukan bersifat melawan hukum. Bisa terhadap
hukum formil maupun materiil
4. Pelaku mampu bertanggung jawab yakni sehat jiwa atau akalnya
5. Tidak ada alasan yang menghapus pidana
Setiap tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan melanggar Standar
pelayanan Rumah Sakit termasuk sebagai perbuatan melawan hukum dan
memiliki konsekuensi yuridis berupa sanksi pidana8
Selain regulasi yang sudah penulis jelaskan sebelumnya, baik itu berupa
undang-undang, peraturan menteri kesehatan ataupun peraturan pemerintah, di
dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 :
Bagian Kelima Belas
Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Pasal 98 ayat (4) yang berbunyi :


Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi
pengadaan, penyimpanan, promosi, dan pengedaran .

Masyarakat merasa dirugikan dengan kejadian vaksin palsu ini. Selain biaya
vaksin yang mahal juga efek samping yang dilhawatirkan akan timbul oleh karena
botol vaksin yang digunakan adalah botol vaksin bekas.Yang perlu dipertanyakan

8 Endang Wahyati Yustina, Mengenal Hukum Rumah Sakit, CV Keni


Media, 2011,Bandung, hlm 89-90

10
darimana oknum perawat mendapatkan botol bekas vaksin dan bagaimana rumah
sakit tempatnya bekerja dalam mengolah limbah medisnya.
Hal tersebut sudah diatur dalam Peraturan menteri Kesehatan Nomor 42
Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi
Bagian Keenam: Pengelolaan Limbah
Pasal 25
(1) Puskesmas atau Rumah Sakit yang menyelenggarakan imunisasi wajib
bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah imunisasi
(2) Dalam hal imunisasi wajib dilaksanakan di luar Puskesmas atau diluar
rumah sakit, pelaksana pelayanan imunisasi bertanggung jawab
mengumpulkan limbah ke dalam safety box untuk selanjutnya dibawa ke
puskesmas setempat

Dalam UU Nomor 36 Tahun 2009, hal yang mengatur mengenai ketentuan pidana
terdapat pada Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, dan Pasal 201.
Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar
lima ratus juta rupiah).

Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan
praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Rumah sakit merupakan korporasi yang dapat dikenakan tindak pidana,


seperti yang dinyatakan dalam Pasal 201.

Pasal 201
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1),
Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal
200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana
denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana

11
dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal
197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.

Dalam hal tersbut diatas, Polisi melakukan penyidikan mendalam karena


bukan hanya saja pada oknum tetapi juga kepada korporasi yaitu rumah sakit,
orang-orang yang mempunyai kewenangan dalam menentukan keputusan dan
kebijakan rumah sakit harus dimintai keterangan dalam penyidikan
Terkait dengan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang melakukan kesalahan profesional maka untuk memastikan apakah oknum
tersebut benar-benar bersalah seperti yang disebutkan dalam 184 KUHAP bahwa
pidana baru dapat dihukum/dijatuhi pidana apabila perbuatannya itu dapat
dibuktikan dengan alat-alat bukti, yaitu: keterangan sanksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk, dan keterangan tersangka9.
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, hal yang
mengatur mengenai penyidikan terdapat pada
Pasal 189
(1) Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan
urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
kesehatan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang
tindak pidana di bidang kesehatan;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang kesehatan; bidang
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan;
d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak
pidana di kesehatan;
e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang kesehatan;

9 Moh Hatta, Hukum Kesehatan dan Sengketa Medik, Liberty


Yogyakarta, 2013, hlm 179

12
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang kesehatan;
g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang
membuktikan adanya tindak pidana di bidang kesehatan.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh
penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Dalam hukum administratif, hubungan hukum antara Pemerintah selaku


subyek hukum pemegang kekuasaan dengan Rumah Sakit subyek hukum yang
menjalankan perintah dari pemerintah, maksudnya bahwa Rumah Sakit
dilaksanakan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, diatur, dilaksanakan
dan diawasi oleh pemerintah.
Tanggung jawab Rumah Sakit dalam lingkup hukum administrasi dapat
dinilai dari persyaratan pendirian sampai dengan kegiatan penyelenggaraannya
untuk melaksanakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Apabila Rumah
Sakit melanggar ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Kesehatan dapat
dijatuhi sanksi administratif mulai dari peringatan tertulis sampai pada pencabutan
ijin.

1.3 Fungsi Pengawasan terhadap Rumah Sakit Dengan Adanya Peredaran


Vaksin Palsu

Setelah terjadi kasus peredaran vaksin palsu di beberapa sarana kesehatan


dimana salah satunya adalah Rumah Sakit, semua pihak terrkait seperti
Kementerian Kesehatan beserta jajarannya, BPOM beserta jajarannya dan Badan
Pengawas Rumah Sakit sontak bergerak.
Kementerian Kesehatan menidaklanjuti kasus ini dengan salah satu
langkahnya adalah melakukan imunisasi ulang dan melalui Dinas Kesehatan
Provinsi seerta Kabupaten/Kota bersama Balai Besar Pengawasan Obat dan
Makanan melakukan sidak ke sejumlah Rumah Sakit di daerah kewenangannya
Penjelasan tentang pembinaan dan pengawasan terdapat di dalam Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit , Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56
dan Pasal 57.
Khusus untuk Badan Pengawas Rumah Sakit diatur dalam Pasal 57 sampai
dengan Pasal 61

13
BAB III
KESIMPULAN

1.1. Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan diatas maka dapat diketahui bahwa peredaran
vaksin palsu seharusnya tidak terjadi di rumah sakit. Karena dari regulasi yang
ada sudah jelas bagaiman rumah sakit menyediakan sediaan farmasi termasuk
vaksin, alat kesehatan dan habis pakai melalui mekanisme yang sudah diatur
dengan tujuan menjamin mutu dan keamanan obat.
Pelayanan Imunisasi dapat dilakukan di puskesmas, puskesmas pembantu,
rumah sakit, klinik, bidan praktek, dokter praktik, posyandu, di sekolah, atau
melalui kunjungan rumah.sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi.
Rumah Sakit dalam pengadaan obatnya termasuk vaksin harus mengikuti
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Dimana penyediaan obat harus aman dan bermutu.
Sistem pengadaannya melibatkan Instalasi farmasi Rumah Sakit serta serta
pembeliannya melalui distributor resmi
Tanggung Jawab Rumah Sakit dalam peredaran vaksin palsu dapat ditinjau
dari aspek hukum perdata, hukum pidana dan hukum Administratif . Dengan
Sanksi mulai dari pencabutan izin praktek, denda uang sampai dengan hukuman
pidana, sesuai dengan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 196,
Pasal 197, Pasal 198, dan Pasal 201, serta KUHP pasal 359 dan Pasal 360.
Fungsi Pembinaan dan pengawasan dengan adanya peredaran vaksin palsu
harus lebih ditingkatkan dengan salah satunya menghidupkan Badan Pengawas

14
Rumah Sakit yang kewenangan dan tugasnya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal
61.

15

Anda mungkin juga menyukai