Anda di halaman 1dari 113

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADAPASIEN SECTIO

CAESAREA DENGAN METODE DDD (Defined Daily Dose)


DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA KEDIRI

SKRIPSI

Oleh :
FARADIVA AYU DAMAYANTI
NIM. 10115116

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2019
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN SECTIO
CAESAREA DENGAN METODE DDD (Defined Daily Dose)
DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA KEDIRI

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi

Oleh :
FARADIVA AYU DAMAYANTI
NIM. 10115116

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2019

i
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa mencurahkan karunia

Nya dan memberikan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi

dengan judul “Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Sectio Caesarea

Menggunakan Metode DDD (Defined Daily Dose) di Rumah Sakit

Bhayangkara Kediri”.

Skripsi ini disusun tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu

penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak tersebut, diantaranya:

1. Dra. Ec. Linawati, MBA, selaku Ketua Yayasan Pendidikan Bhakti Wiyata

Kediri.

2. Prof. Dr. Muhamad Zainuddin, Apt selaku Rektor Institut Ilmu Kesehatan

Bhakti Wiyata Kediri.

3. Dewy Resty Basuki, M.Farm., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Institut

Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.

4. Krisna Kharisma Pertiwi, M.Sc., Apt selaku Kepala Program Studi S-1

Farmasi Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri.

5. Fitria Wahyuning Wulan, M. Farm. Klin., Apt selaku Dosen Pembimbing I

yang telah memberikan bimbingan, masukan, dan arahan dalam penyusunan

Skripsi ini.

6. Erni Anika Sari, M. Farm. Klin., Apt selaku Dosen Pembimbing II yang

memberikan bimbingan, masukan, dan arahan dalam penyusunan Skripsi ini.

v
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Farmasi Institut Ilmu Kesehatan Bhakti

Wiayata Kediri yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan yang

bermanfaat kepada penulis.

8. Kedua orang tua tercinta, Bapak Agus Pudjo Sukarsono dan Ibu Anis Dwi

Wuryanti, kakak, adik dan keluarga besar atas doa, dukungan moral, materil,

dan kasih sayang sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan.

9. Yana Risky Nurwahid yang selalu memberikan bantuan tenaga, semangat, dan

perhatian secara langsung maupun tidak langsung dengan penuh kasih sayang.

10. Teman-teman seperjuangan program studi S-1 Farmasi angkatan 2015 yang

turut berpartisipasi.

Penulis sadar bahwa Skripsi ini jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan

saran yang membangun demi perbaikan Skripsi ini sangat penulis harapkan. Akhir

kata, semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, baik mahasiswa maupun

masyarakat sebagai tambahan wawasan pengetahuan.

Kediri, 16 Juli 2019

Penulis

vi
ABSTRAK

Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Sectio Caesarea dengan Metode


DDD (Defined Daily Dose) di Rumah Sakit
Bhayangkara Kediri

Faradiva Ayu Damayanti, Fitria Wahyuning Wulan1, Erni Anika Sari2

Sectio Caesarea atau bedah sesar adalah suatu persalinan buatan dimana
janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim
dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram. Sectio
Caesarea merupakan tindakan operasi yang tergolong operasi bersih
terkontaminasi yang mempunyai resiko tinggi terjadinya infeksi. Pada Sectio
Caesarea sangat membutuhkan antibiotik profilaksis untuk pemberian pre operasi
dan antibiotik terapi untuk pemberian post operasi. Penggunaan antibiotik yang
tidak bijak merupakan faktor resiko berkembangnya resistensi. Evaluasi kuantitas
antibiotik merupakan salah satu upaya untuk menghindari penggunaan antibiotik
yang overuse dan underuse. Penelitian ini untuk mengetahui penggunaan
antibiotik secara kuantitatif yang merupakan penelitian deskriptif dengan desain
penelitian prospektif yang datanya akan di analisis menggunakan metode DDD
(Defined Daily Dose). Kuantitas penggunaan antibiotik pada terapi Sectio
Caesarea cukup tinggi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan jumlah sampel 30
pasien. Pasien yang mendapat antibiotik profilaksis 27 dan yang mendapat
antibiotik terapi 14 pasien. Jenis antibiotik yang paling banyak digunakan adalah
ceftriaxone 32,20 DDD/100 patient-days dan cefazoline 8,08 DDD/100 patient-
days, dan cefadroxil 1,89 DDD/100 patient-days. Antibiotik yang masuk dalam
segmen DU 90% adalah Ceftriaxone dan Cefazoline. Sedangkan, yang masuk
dalam segmen DU 10 % adalah Cefadroxil. Hasil evaluasi penggunaan antibiotik
pada pasien Sectio Caesarea adalah rasional.

Kata kunci : Sectio Caesarea, Antibiotik, DDD (Defined Daily Dose)

vii
ABSTRACT

Evaluation of Use Antibiotics in Sectio Caesarean Patients with DDD


(Defined Daily Dose) Method at Kediri Bhayangkara Hospital

Faradiva Ayu Damayanti, Fitria Wahyuning Wulan1, Erni Anika Sari2

Sectio Caesarea or cesarean section is an artificial labor whereby the


fetus is born through an incision in the front wall of the abdomen and uterine wall
provided the uterus is intact and the fetus weighs above 500 grams. Sectio
Caesarea is a surgical procedure classified as clean contaminated surgery which
has a high risk of infection. In Sectio Caesarea, antibiotic prophylaxis is needed
for preoperative administration and therapeutic antibiotics for postoperative
administration. Unwise use of antibiotics is a risk factor for developing resistance.
Evaluation of the quantity of antibiotics is an effort to avoid using antibiotics that
are overuse and underuse. This study is to determine the quantitative use of
antibiotics which is a descriptive study with a prospective research design whose
data will be analyzed using the DDD method (Defined Daily Dose). The quantity
of antibiotic use in Sectio Caesarea therapy is quite high. The results of this study
show a sample of 30 patients. Patients who received prophylactic antibiotics 27
and those who received antibiotic therapy 14 patients. The most commonly used
types of antibiotics are ceftriaxone 32.20 DDD / 100 patient-days and cefazoline
8.08 DDD / 100 patient-days, and cefadroxil 1.89 DDD / 100 patient-days. The
antibiotics included in the 90% DU segment are Ceftriaxone and Cefazoline.
Whereas, in the 10% DU segment is Cefadroxil. The results of evaluating the use
of antibiotics in Sectio Caesarea patients are rational.

Keywords : Sectio Caesarea, Antibiotics, DDD (Defined Daily Dose)

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i


HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................. v
ABSTRAK ................................................................................................................ vii
ABSTRACT .............................................................................................................. viii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xii
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH ................................. xiii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1


A. Latar Belakang ............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 6
D. Manfaat Penilitian .......................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 8


A. Tinjauan Tentang Operasi Sesar ................................................................... 8
1. Definisi Sectio Caesarea ......................................................................... 8
2. Istilah Sectio Caesrea .............................................................................. 9
3. Jenis – jenis Sectio Caesarea .................................................................. 10
4. Indikasi Sectio Caesarea ......................................................................... 14
5. Nasihat Paska OperasiSectio Caesarea ................................................... 17
6. Komplikasi Sectio Caesarea ................................................................... 17
B. Tinjauan Tentang Antibiotika ........................................................................ 18
1. Definisi Antibiotik ................................................................................... 18
2. Penggolongan Antibiotik ......................................................................... 19
3. Penggunaan Antibiotik ............................................................................. 28
C. Tinjauan Tentang Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Sectio Caesarea ....... 37
D. Tinjauan Tentang Antibiotik Terapi Pada Pasien Sectio Caesarea ............... 40
E. Tinjauan Tentang Infeksi Luka Operasi ......................................................... 40
1. Definisi Infeksi Luka Operasi .................................................................. 40

ix
2. Infeksi Luka Operasi pada Sectio Caesarea ............................................ 40
F. Tinjauan Tentang Evaluasi Penggunaan Antibiotik ...................................... 43
1. Klasifikasi ATC ...................................................................................... 43
2. Perhitungan DDD .................................................................................... 45
3. Perhitungan DU 90% .............................................................................. 48

BAB III KERANGKA KONSEP ............................................................................ 49


A. Kerangka Konsep ........................................................................................... 49
B. Keterangan Kerangka .................................................................................... 50

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 52


A. Desain Penelitian ............................................................................................ 52
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................................... 52
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling........................................................ 52
D. Variabel Penelitian ......................................................................................... 54
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian ....................................................... 55
F. Instrumen Penelitian....................................................................................... 56
G. Prosedur Pengumpulan Data .......................................................................... 56
H. Pengolahan dan Analisis Data ........................................................................ 56
I. Kerangka Kerja .............................................................................................. 59
J. Tabel Kerja .................................................................................................... 60

BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................... 61


A. Karakteristik Pasien ....................................................................................... 61
1. Distribusi Pasien Berdasarkan Umur ...................................................... 61
2. Distribusi Pasien Berdasarkan Usia Kehamilan ...................................... 62
3. Distribusi Paien Berdasarkan Indikasi Sectio Caesarea ......................... 63
4. Distribusi Pasien Berdasarkan Lama Rawat Inap ................................... 64
B. Analisis Kuantitatif Penggunaan Antibiotik .................................................. 65
1. Total LOS Pasien Bedah Sesar ................................................................ 65
2. Distribusi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Bedah Sesar .................. 65
3. Distribusi Perhitungan Nilai DDD dan Profil DU 90 % ......................... 67

BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................................69


BAB VII PENUTUP.................................................................................................77
A. Kesimpulan ....................................................................................................77
B. Saran ...............................................................................................................77

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 79


LAMPIRAN .............................................................................................................. 82

x
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel II. 1 Antibiotik Golongan Penisilin ................................................... 20
Tabel II. 2 Antibiotik Golongan Sefalosporin ............................................ 21
Tabel II. 3 Klasifikasi Kelas Operasi ......................................................... 30
Tabel II. 4 Tingkat Rekomendasi Pemberian Antibiotik Profilaksis ......... 32
Tabel II. 5 Regimen Dosis Antibiotik Profilaksis yang Umum Digunakan 33
Tabel IV. 1 Tabel Kerja ............................................................................. 60
Tabel V. 1 Distribusi Pasien Berdasarkan umur ........................................ 62
Tabel V. 2 Distribusi Paien Berdasarkan Usia Kehamilan ........................ 62
Tabel V. 3 Distribusi Pasien Berdasarkan Indikasi SC .............................. 64
Tabel V. 4 Distribusi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Pasien
Bedah Sesar ................................................................................ 66
Tabel V. 5 Distribusi Penggunaan Antibiotik Terapi pada Pasien Bedah
Sesar .......................................................................................... 66
Tabel V. 6 Perhitungan Nilai DDD Penggunaan Antibiotik di Rumah
Sakit Bhayangkara Kediri ......................................................... 67
Tabel V. 7 Profil DU 90 % Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit
Bhayangkara Kediri .................................................................. 68

xi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar III. 1 Kerangka Konsep ............................................................. 49
Gambar IV. 1 Skema Rancangan Pengumpulan Data ............................ 56
Gambar IV. 2 Prosedur Kerangka Kerja ................................................. 59
Gambar V. 1 Distribusi Pasien Berdasarkan Indikasi SC ..................... 63
Gambar V. 2 Distribusi Pasien Berdasarkan Lama Rawat Inap ........... 64

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Ijin Studi Pendahuluan ................................................. 83

Lampiran 2. Surat Balasan Ijin Studi Pendahuluan ................................... 84

Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian ............................................................... 85

Lampiran 4. Surat Keterangan Layak Etik ................................................. 86

Lampiran 5. Surat Balasan Ijin Penelitian dari Rumah Sakit ..................... 87

Lampiran 6. Lembar Pengambilan Data .................................................... 88

Lampiran 7. Karakteristik Pasien ............................................................... 89

Lampiran 8. Daftar Penggunaan Antibiotik Pada Pasien SC ..................... 95

Lampiran 9. Perhitungan Nilai DDD (Defined Daily Dose) ...................... 97

xiii
DAFTAR ARTI LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH

Daftar Arti Lambang :


& = Dan
+ = Penjumlahan
- = Pengurangan
X = Perkalian
% = Persen
≤ = Kurang dari Sama Dengan
≥ = Lebih dari Sama Dengan
/ = Atau

 = Centang

Daftar Singkatan :
DDD = Defined Daily Dose
DU 90% = Drug Utilization 90%
Permenkes = Peraturan Menteri Kesehatan
WHO = World Health Organization
ASHP = American Society of Health – System Pharmacists
SC = Sectio Caesarea
SIGN = Scottish Intercollegiate Guidelines Network

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sectio Caesarea atau bedah sesar adalah suatu persalinan buatan

dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan

dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di

atas 500 gram (Sarwono, 2009). Bedah sesar terbagi menjadi dua, yaitu

bedah sesar yang dilakukan secara terencana (elektif) maupun bedah sesar

yang dilakukan secara cito (non elektif) (Rasjidi, 2009). Meskipun pada

zaman dahulu Sectio Cesarea masih menjadi hal yang menakutkan.

Seiring dengan berkembangya zaman, kecanggihan di bidang ilmu

kedokteran dan kebidanan pandangan tersebut mulai bergeser. Namun,

pada saat ini persalinan melalui operasi kerap menjadi alternatif pilihan

persalinan (Feng XL dkk, 2012).

Menurut Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada,

(2012). Beberapa indikasi atau alasan agar dapat dilakukan Sectio

Caesarea diantaranya, proses persalinan normal yang lama, komplikasi

hipertensi, preeklamsia dan kegagalan saat persalinan dengan induksi ibu

penderita. Risiko kematian dengan persalinan Sectio Caesarea sekitar 1

kematian dari 2500 yang menjalani Sectio Caesarea sehingga Sectio

Caesarea cukup aman untuk dilakukan.

1
2

World Health Organization (WHO) menetapkan standar rata – rata

persalinan operasi sesar di sebuah negara adalah sekitar 5-15% per 1000

kelahiran di dunia. Di Indonesia, angka kejadian operasi sesar juga terus

meningkat baik di rumah sakit pemerintah maupun di rumah sakit swasta.

Menurut Riskesdas (2013) menunjukkan terjadi peningkatan operasi sesar

di Indonesia dari tahun 1991 – 2007 yaitu 1,3 – 6,8 %. Persalinan sesar di

kota diketahui jauh lebih tinggi dibandingkan di desa yaitu 11%

dibandingkan dengan di desa yang hanya sebesar 3,9%. Hasil Riskesdas

tahun 2013 menunjukkan kelahiran dengan metode operasi sesar sebesar

9,8% dari total 49,603 kelahiran sepanjang tahun 2010 sampai dengan

2013, dengan proporsi tertinggi di DKI Jakarta (19,9%) dan terendah di

Sulawesi Tenggara (3,3%). Secara umum pola persalinan melalui operasi

sesar menurut karakteristik menunjukkan proporsi tertinggi pada kuintil

indeks kepemilikan teratas (18,9%), tinggal di perkotaan (13,8%),

pekerjaan sebagai pegawai (20,9%) dan pendidikan tinggi atau lulus PT

(25,1%).

Operasi sesar memiliki resiko infeksi lebih besar 5-20 % kali lipat

dibandingkan persalinan normal. Infeksi bedah sesar yang umumnya

terjadi, yaitu demam, endometritis, infeksi luka, dan infeksi saluran kemih

(Rasjidi, 2009). Resiko infeksi dari tindakan bedah sesar tersebut dapat

diturunkan dengan adanya pemberian antibiotik profilaksis. Pemberian

antibiotik ini dapat menurunkan resiko endometritis sebesar 60 – 70% dan


3

menurunkan resiko luka infeksi sebesar 30 – 65% (Prasetya, 2013). Hal ini

juga akan menurunkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi.

Menurut Society of Obstetricians and Gynaecologist of Canada,

semua wanita yang menjalani sectio caesarea baik elektif maupun darurat

direkomendasikan menerima antibiotik profilaksis. Antibiotik profilaksis

bedah sendiri merupakan penggunaan antibiotik sebelum, selama, dan

paling lama 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak

memperlihatkan tanda infeksi. Tujuan dari pemberian antibiotik profilaksis

adalah untuk mengurangi terjadinya infeksi luka operasi pasca bedah

(Permenkes, 2015).

Prosedur bedah sesar digolongkan ke dalam operasi bersih

terkontaminasi yang sangat membutuhkan antibiotik profilaksis.

Antibiotik yang disarankan adalah sefazolin yakni golongan sefalosporin

generasi pertama dengan dosis 1 gram secara intravena (Permenkes,

2011). Selain antibiotik profilaksis, antibiotik untuk terapi disarankan

diberikan pada pasien pasca sectio caesarea. Hal ini dikarenakan pasien

sesar rentan terhadap bakteri yang timbul dari luar maupun dalam.

Antibiotik terapi meliputi antibiotik empiris dan definitif.

Penggunaan antibiotik empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus

infeksi atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebab

dan pola kepekaannya. Pada pasien bedah sesar infeksi sudah jelas terjadi

meskipun infeksi belum jelas diketahui. Sehingga, pemberian antibiotik

empiris sangat diperlukan. Antibiotik empiris diberikan paska operasi pada


4

pasien bedah sesar dalam jangka waktu 48 – 72 jam. Penggunaan

antibiotik definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang

sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya. Tujuan

pemberian antibiotik definitif adalah eradikasi atau penghambatan

pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi berdasarkan hasil

pemeriksaan mikrobiologi. Antibiotik ini diberikan sesuai dengan hasil

mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi (Permenkes, 2015).

Di Indonesia sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai dengan tepat

dan sedikitnya 40% berdasar indikasi dan penggunaan yang kurang tepat.

(Utami, 2012). Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap

penggunaan antibiotik. Evaluasi dapat menggunakan metode DDD (Define

Daily Dose). Dimana, DDD merupakan salah satu metode yang telah

ditetapkan oleh WHO sebagai standar untuk pengukuran jenis dan jumlah

penggunaan antibiotik (WHO, 2018). Dengan metode ini akan diperoleh

data pemakaian antibiotik yang baku dan dapat dibandingkan dengan

tempat lain sesuai standar WHO (Permenkes, 2011). Keuntungan dari

metode DDD adalah unit tetap yang tidak dipengaruhi perubahan harga,

mata uang dan bentuk sediaan. Selain itu, mudah diperbandingkan skala

institusi, nasional, regional dan internasional (WHO, 2013). Dari

pengukuran tersebut juga dapat diketahui bahwa semakin kecil kuantitas

antibotik yang digunakan, menunjukkan dokter lebih selektif dalam

menggunakan antibiotik, sehingga lebih mendekati prinsip penggunaan

antibiotik (Laras, 2012).


5

Menurut penelitian Anjar (2016) tentang Evaluasi Kuantitatif

Penggunaan Antibotik pada Pasien Caesarean Section di RSUD se –

Kabupaten Banyumas, penggunaan antibiotik masih tidak rasional. Hal ini

ditunjukkan dengan sangat rendahnya nilai DDD per 100 pasien – hari dari

masing – masing antibiotik yang tepat, yaitu sefotaksim dan baktesin, dan

sebaliknya DDD per 100 pasien – hari dari antibiotika yang tidak tepat

justru lebih tinggi. Selain itu, penelitian Purnamaningrum (2014) tentang

efektivitas penggunaan antibiotik profilaksis di Rumah Sakit “X” tahun

2013 menunjukkan bahwa seluruh pasien menggunakan antibiotik

profilaksis yang sama yaitu antibiotik Seftriakson 1 gram secara intravena

yang diberikan sebelum bedah sesar. Berdasarkan efektivitas antibiotik

profilaksis yang digunakan di Rumah Sakit “X” tahun 2013 menunjukkan

bahwa 17% pasien efektif dengan penggunaan antibiotik seftriakson dan

tidak terjadi tanda – tanda infeksi pasca bedah sesar.

Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan suatu penelitian

mengenai evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah

sesar dengan menggunakan metode DDD (Define Daily Dose) untuk

mengetahui kerasionalan antibiotik di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri.


6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka

dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien bedah sesar di

ruang operasi ditinjau dari DDD (Defined Daily Dose) periode Mei –

Juni 2019 di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri?

2. Bagaimana kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien bedah

sesar di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien bedah

sesardi ditinjau dari DDD (Defined Daily Dose) periode Mei – Juni

2019 di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri.

2. Mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien bedah

sesar di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan

pengetahuan lapangan tentang pekerjaan kefarmasian khususnya dalam

menjamin kuantitas dan rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien

bedah sesar.
7

2. Manfaat Bagi Rumah Sakit

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk

menjamin kuantitas dan rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien

bedah sesar.

3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam pengembangan

penelitian selanjutnya mengenai penggunaan antibiotik di rumah sakit.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TinjauanSectio Caesarea (SC)

1. Definisi Sectio Caesarea

Istilah sectio caesarea berasal dari perkataan Latin caedere

yang artinya memotong. Pengertian ini semula dijumpai dalam Roman

Law (Lex Regia) dan janin dalam kandungan ibu-ibu yang meninggal

harus dikeluarkan dari dalam rahim (Mochtar, 1998).

Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan

membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut

atau vagina, atau sectio caesarea adalah suatu histerotomia untuk

melahirkan janin dari dalam Rahim (Mochtar, 1998).

Sectio Caesarea atau bedah sesar adalah suatu persalinan

buatan dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding

depan perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan

utuh serta berat janin di atas 500 gram (Sarwono, 2009).

Sectio Caesarea didefinisikan sebagai lahirnya janin melalui

insisi pada dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus

(histerektomi) (Rasjidi, 2009).

Dewasa ini seksio sesarea jauh lebih aman dari pada dulu

berkat kemajuan dalam antibiotika, transfusi darah, anestesi dan

teknik operasi yang lebih sempurna. Karena itu saat ini terdapat

8
9

kecendurungan untuk melakukan operasi ini tanpa dasar indikasi yang

cukup kuat. Namun perlu diingat, bahwa seorang wanita yang telah

mengalami operasi pasti akan menimbulkan cacat dan luka parut pada

rahim yang dapat membahayakan kehamilan dan persalinan

berikutnya, walupun bahaya tersebut relative kecil (Mochtar, 1998).

2. Istilah Sectio Caesarea

a. Seksio sesarea primer (efektif)

Dari semula telah direncanakan bahwa janin akan

dilahirkan secara seksio sesarea, tidak diharapkan lagi kelahiran

biasa, misalnya pada panggul sempit (Mochtar, 1998).

b. Seksio sesarea sekunder

Dalam hal ini kita bersikap mencoba menunggu kelahiran

biasa (partus percobaan), bila tidak ada kemajuan persalinan atau

partus percobaan gagal, baru dilakukan seksio sesarea (Mochtar,

1998).

c. Seksio sesarea ulang (repeat caesarean section)

Ibu pada kehamilan yang lalu mengalami seksio sesarea

(previous caesarean section) dan pada kehamilan selanjutnya

dilakukan seksio sesarea ulang (Mochtar, 1998).

d. Seksio sesarea histeroktomi (caesarean section hysterectomy)

Adalah suatu operasi dimana setelah janin dilahirkan

dengan seksio sesarea, langsung dilakukan histerektomi oleh

karena sesuatu indikasi (Mochtar, 1998).


10

e. Operasi Porro (Porro operation)

Adalah suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari kavum

uteri (tentunya janin sudah mati), dan langsung dilakukan

histerektomi, misalnya pada keadaan infeksi rahim yang berat.

Seksio sesarea oleh ahli kebidanan disebut obstetric panacea,

yaitu obat atau terapi ampuh dari semua masalah obstetric

(Mochtar, 1998).

3. Jenis – jenis Sectio Caesarea

Terdapat beberapa jenis Sectio Caesarea menurut (Oxorn dan

Forte, 2010) adalah sebagai berikut :

a. Segmen bawah : insisi melintang

Tipe ini memungkinkan abdomen dibuka dan uterus di

singkapkan. Lipatan vesicouterina (bladder flap) yang terletak

dengan sambungan segmen atas dan bawah uterus ditentukan dan

di sayat melintang, lipatan ini dilepaskan dari segmen bawah dan

bersama – sama kandung kemih di dorong ke bawah serta ditarik

agar tidak menutupi lapang pandang (Oxorn dan Forte, 2010).

Keuntungan :

1) Insisinya ada pada segmen bawah uterus

2) Otot tidak dipotong tetapi dipisah kesamping, cara ini

mengurangi pendarahan

3) Insisi jarang terjadi sampai placenta

4) Kepala janin biasanya dibawah insisi dan mudah di ekstraksi


11

5) Lapisan otot yang tipis dari segmen bawah rahim lebih

mudah dirapatkan kembai di banding segmen atas yang tebal.

Kerugian :

1) Jika insisi terlampau jauh ke lateral, seperti pada kasus bayi

besar.

2) Prosedur ini tidak dianjurkan kalau terdapat abnormalitas

pada segmen bawah.

3) Apabila segmen bawah belum terbentuk dengan baik,

pembedahan melintang sukar dikerjakan.

4) Kadang – kadang vesica urinaria melekat pada jaringan

cicatrix yang terjadi sebelumnya, sehingga vesica urinaria

dapat terluka (Oxorn dan Forte, 2010).

b. Segmen bawah : insisi membujur

Insisi membujur dibuat dengan skalpel dan dilebarkan

dengan gunting tumpul untuk menghindari cedera pada bayi.

Keuntungan :

1) Memperlebar insisi keatas apabila bayinya besar

2) Pembuatan segmen bawah jelek

3) Ada malposisi janin seperti letak lintang atau adanya anomali

janin, seperti kehamilan kembar yang menyatu.

Kerugian utamanya adalah perdarahan dari tepi sayatan

yang lebih banyak karena terpotongnya otot (Oxorn dan Forte,

2010).
12

c. Sectio Caesarea Klasik

Insisi longitudinal di garis tengah dibuat dengan pisau

bedah ke dalam dinding anterior uterus dan dilebarkan ke atas

serta ke bawah dengan gunting berujung tumpul.

Indikasi :

1) Kesulitan dalam menyingkapkan segmen bawah yaitu adanya

pembuluh – pembuluh darah besar pada dinding anterior,

vesica urinaria yang letaknya tinggi dan melekat dengan

myoma segmen bawah.

2) Bayi yang tercekam pada letak lintang.

3) Beberapa kasus placenta previa anterior.

4) Malformasi uterus tertentu (Oxorn dan Forte, 2010).

Kerugian :

1) Myometrium yang tebal harus dipotong, sinus – sinus yang

lebar dibuka, dan perdarahannya banyak

2) Bayi sering diekstraksi bokong dahulu sehingga

kemungkinan aspirasi cairan ketuban lebih besar

3) Apabila placenta melekat pada dinding depan uterus, insisi

akan memotongnya dan dapat menimbulkan kehilangan

darah dari sirkulas janin yang berbahaya

4) Insidensi pelekatan isi abdomen pada luka jahitan uterus

lebih tinggi
13

5) Insiden ruptur uteri pada kehamilan berikutnya lebih tinggi

(Oxorn dan Forte, 2010).

d. Sectio Caesarea Extraperitoneal

Pembedahan ini dilakukan untuk menghindari perlunya

histerektomi pada kasus – kasus yang mengalami infeksi luas

dengan mencegah peritonitis generalisata yang bersifat fatal.

Teknik ini relatif sulit, sering tanpa sengaja masuk ke dalam

cavum peritonei dan insidensi cedera vesica urinaria meningkat

(Oxorn dan Forte, 2010).

e. Histerektomi Caesarea

Pembedahan ini merupakan sectio caesarea yang

dilanjutkan dengan pengeluaran uterus. Kalau mungkin

histerektotmi harus dikerjakan lengkap. Akan tetapi arena

pembedahan subtotal lebih mudah dan dapat dikerjakan lebih

cepat, maka pembedahan subtotal menjadi prosedur pilihan jika

terdapat perdarahan hebat dan pasien shock atau pasien dalam

keadaan buruk akibat sebab lain (Oxorn dan Forte, 2010).

Indikasi :

1) Perdarahan akibat atonia uteri setelah terapi konservatif gagal

2) Perdarahan yang tidak dapat dikendalikan pada kasus – kasus

plasenta pervia dan abruptioplacenta tertentu

3) Pada kasus – kasus tertentu, yaitu kanker serviks atau

ovarium (Oxorn dan Forte, 2010).


14

4) Ruptur arteri yang tidak dapat diperbaiki

5) Cicatrix yang menimbulkan cacat pada uterus

Komplikasi :

1) Angka morbiditasnya 20 persen

2) Darah lebih banyak hilang

3) Kerusakan pada traktus urinarius dan usus termasuk

pembentukkan fistula

4) Trauma psikologis akibat hilangnya rahim (Oxorn dan Forte,

2010).

4. Indikasi Sectio Caesarea

Tindakan bedah sesar dilakukan apabila tidak memungkinkan

dilakukan persalinan pervaginal yang disebabkan adanya resiko

terhadap ibu atau janin, dengan pertimbangan hal – hal yang perlu

tindakan bedah sesar, yaitu proses persalinan normal yang lama atau

gagalnya proses persalinan secara normal (Rasjidi,2009).

Indikasi dilakukannya Sectio Caesarea menurut Rasjidi

(2009)adalah sebagai berikut :

1. Indikasi Mutlak

a. Indikasi Ibu

1) Panggul sempit absolut

2) Kegagalan melahirkan secara normal karena kurang

adekuatnya stimulasi

3) Tumor – tumor jalan lahir yang menyebabkan obstruksi


15

4) Stenosis serviks atau vagina

5) Plasenta pervia

6) Disporposi sefalopelvik

7) Ruptur uteri membakat

b. Indikasi Janin

1) Kelainan letak

2) Gawat janin

3) Prolapus Plasenta

4) Perkembangan bayi yang terhambat

5) Mencegah hipoksia janin, misalnya karena preeklamsia

(Rasjidi, 2009).

2. Indikasi Relatif

a. Riwayat seksio sesarea sebelumnya

b. Presentasi bokong

c. Distosia

d. Fetal distress

e. Preeklamsia berat, penyakit kardiovaskuler dan diabetes

f. Ibu dengan HIV positif sebelum inpartu

g. Sesksio sesarea dianjurkan :

1) Bila janin pertama letak lintang atau presentasi bahu

2) Bila terjadi interlock

3) Distosia oleh karena tumor

4) IUFD (Intra Uterine Fetal Death)(Rasjidi, 2009).


16

3. Indikasi sosial

a. Wanita yang takut melahirkan berdasarkan pengalaman

sebelumnya

b. Wanita yang ingin sesksio sesarea elektif karena takut

bayinya mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan

atau mengurangi resiko kerusakan dari panggul

c. Wanita yang takut terjadinya perubahan pada tubuhnya atau

sexsuality image setelah melahirkan (Rasjidi, 2009).

Permintaan ibu untuk melakukan seksio sesarea sebenarnya

bukanlah suatu indikasi untuk dilakukan seksio sesarea. Alasan yang

spesifik dan rasional harus dieksplorasi dan didiskusikan. Ketika

seorang ibu meminta untuk dilakukan seksio sesarea dengan alasan

yang tidak begitu jelas, maka resiko keuntungan dari masing – masing

persalinan normal dan seksio sesarea harus didiskusikan. Ketika

seorang ibu meminta seksio sesarea dikarenakan takut akan proses

persalinan, maka ia harus dinasihati dan diberi pengertian untuk

mengalihkan dan mengurangi rasa takutnya sehingga mempermudah

proses kelahiran. Seorang klinisi dibenarkan untuk menolak

permintaan seksio sesarea apabila tidak ada indikasi yang jelas untuk

dilakukannya operasi. Namun, keputusan pasien harus tetap dihargai

dan perlu ditawari pilihan cara melahirkan yang lainnya (Rasjidi,

2009).
17

5. Nasihat Paska Operasi Sectio Caesarea

Pasien operasi sesar, hendaknya mematuhi nasihat paska operasi

untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan, adapun nasihatnya

antara lain :

a. Dianjurkan jangan hamil selama lebih kurang satu tahun, dengan

memakai kontrasepsi

b. Kehamilan berikutnya hendaknya diawasi dengan antenatal yang

baik

c. Dianjukan untuk bersalin di rumah sakit yang besar

d. Apakah persalinan yang berikut harus dengan seksio sesarea

bergantung dari indikasi seksio sesarea dan keadaan pada

kehamilan berikutnya.

e. Hampir diseluruh instusi di Indonesi tidak dianut diktum”once a

cesarean always a cesarean”.

f. Yang dianut adalah “once a cesarean not always a ceaseran”

kecuali pada panggul sempit atau disproporsi sefalo-pelvik

(Mochtar, 1998).

6. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada ibu yang melakukan bedah

sesar menurut Mochtar (1998) antara lain :

a. Infeksi purpureal (nifas)

1) Ringan; dengan kenaikan suhu bebarapa hari saja


18

2) Sedang; dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi, disertai

dehidrasi dan perut sedikit kembung.

3) Berat; dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini

sering kita jumpai pada partu terlantar, dimana sebelumnya

telah terjadi infeksi intrapartal karena ketuban yang telah pecah

terlalu lama.

Penanganannya adalah dengan pemberian cairan, elektrolit dan

antibiotika yang adekuat dan tepat.

b. Pendarahan, disebabkan karena:

1) Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka

2) Antonia uteri

3) Pendarahan pada placental bed.

c. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih

bila reperitonialisasi terlalu tinggi

d. Kemungkinan ruptur uteri spontan pada kehamilan mendatang

(Mochtar, 1998).

B. Tinjauan Antibiotik

1. Definisi Antibiotik

Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan

bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat

pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif

kecil. Turunan zat-zat ini yang dibuat secara semi-sintesis juga


19

termasuk kelompok ini, begitu pula semua senyawa sintesis dengan

khasiat antibakteri (Tjay dan Rahardja, 2010).

Pengertian lain dari antibiotika adalah senyawa yang dihasilkan

oleh berbagai jenis mikroorganisme (bakteri, fungi, aktinomisetes).

Namun, pada akhir – akhir ini pengertian antibiotika diperluas hingga

meliputi senyawa antimikroba sintetik seprti sulfonamide dan kuinolon

(Goodman dan Gilman, 2012).

2. Penggolongan Antibiotik

Menurut (Permenkes, 2011), antibiotik dapat digolongkan

berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu :

a. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri

1) Antibiotik beta – laktam

Antibiotik beta-laktam terdiri dari berbagai golongan obat

yangmempunyai struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin,

sefalosporin, monobaktam, karbapenem, dan inhibitor beta-

laktamase. Obat-obat antibiotik beta-laktam umumnya

bersifat bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap

organisme Gram -positif dan negatif. Antibiotik beta – laktam

mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan

menghambat langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan,

yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik

pada dinding sel bakteri.


20

a) Penisilin

Golongan penisilin diklarifikasi berdasarkan

spektrum aktivitas antibiotiknya (Permenkes, 2011)

Tabel II. 1 Antibiotik Golongan Penisilin

Golongan Contoh Aktivitas


Penisilin G dan Penisilin G dan Sangat aktif terhadap
penisilin V Penisilin V kokus Gram-Positif,
tetapi dihidrolisis oleh
penisilinase atau beta-
laktamase, sehingga
tidak efektif terhadap
S. aureus
Penisilin yang Metisilin, nafsilin, Merupakan obat
resisten terhadap oksasilin, kloksasilin, pilihan utama untuk
beta-laktamase/ dan diklosasilin terapi S. aureus yang
penisilinase ampisilin, amoksilin memproduksi
penisilinase. Aktivitas
antibiotik kurang
poten terhadap
mikroorganisme yang
sensitif terhadap
penisilin G.
Aminopenisilin Ampisiln, tikarsilin Selain mempunyai
aktivitas terhadap
bakteri Gram-positif,
juga mencangkup
mikroorganisme
Gram-negatif, seperti
Haemophilus
influenza,eschericha
coli, dan
proterusmirabilis,
obat-obat ini sering
diberikan bersama
inhibitor beta-
laktamase (asam
klavulanat, sulbaktam,
tazobaktam) untuk
mencegah hidrolisis
oleh beta-laktamase
yang semakin banyak
ditemukan pada
bakteri Gram-negatif
ini.
21

Golongan Contoh Aktivitas


Karboksipenisilin Karbenisilin, Antibiotik untuk
tikarsilin pseudomonas,
enterobacter, dan
proteus. Aktivitas
antibiotik lebih rendah
dibanding ampisilin
terhadap kokus Gram-
positif, dan kurang
aktif dibanding
piperasilin dalam
melawan
pseudomonas.
Golongan ini dirusak
oleh beta-laktamase.
Ureidopenisilin Mezlosilin, azlosilin, Aktivitas antibiotik
dan piperasilin terhadap
pseudomonas,
klebsiella, dan Gram-
negatif lainnya.
Golongan ini dirusak
oleh beta-laktamse.

(Permenkes, 2011).
b) Sefalosporin

Sefalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri

dengan mekanisme serupa dengan penisilin. Sefalosporin

diklasifikasikan berdasarkan generasinya (Permenkes,

2011)

Tabel II. 2 Antibiotik Golongan Sefalosporin

Generasi Contoh Aktivitas


I Sefaleksin, sefalotin, Antibiotik yang efektif
sefazolin, sefradin, terhadap Gram- positif
sefadroksil dan memiliki aktivitas
sedang terhadap
Gram- negatif.
II Sefaklor,sefamandol, Aktivitas antibiotik
sefuroksim, sefoksitin, Gram- negatif yang
sefotetan, sefmetazol, lebih tinggi daripada
sefprozil. generasi- I.
22

Generasi Golongan Aktivitas


III Sefotaksim,seftriakson, Aktivitas kurang aktif
seftazidim, sefiksim, terhadap kokus Gram-
sefoperazon,seftizoksi, positif dibanding
sefpodoksim, generasi- I, tapi lebih
moksalaktam aktif terhadap
Enterobacteriaceae,
termasuk strain yang
memproduksi beta-
laktamase. Seftazidim
dan sefoparazon juga
aktif terhadap P.
aeruginosa, tapi
kurang aktif
ketimbang generasi-
III lainaaanya terhadap
kokus Gram- positif.
IV Sefepim, sefpirom Aktivitas lebih luas
dibanding generasi- III
dan tahan terhadap
beta-laktamase.

(Permenkes, 2011)
c) Monobaktam (beta-laktammonosiklik)

Contoh: aztreonam.

Aktivitas: resisten terhadap beta-laktamase yang dibawa oleh

bakteri Gram- negatif. Aktif terutama terhadap

bakteri Gram- negatif.Aktivitasnya sangat baik

terhadap Enterobacteriacease, P. aeruginosa, H,

influenzae dan gonokokus.

Pemberian : parenteral, terdistribusi baik ke seluruh tubuh,

termasuk cairan serebrospinal.

Waktu paruh: 1,7 jam.

Ekskresi: sebagian besar obat diekskresi utuh melalui urin

(Permenkes, 2011).
23

d) Karbapenem

Karbapenem merupakan antibiotik lini ketiga yang

mempunyai aktivasi antibiotik yang lebih kuat daripada

sebagian besar beta-laktam lainnya. Yang termasuk

karbapenem adalah imipenem, meropenem dan doripenem.

Spektrum aktivitas: menghambat sebagian besar Gram-

positif, Gram- negatif, dan anaerob. Ketiganya sangat tahan

terhadap beta-laktamase.

Efek samping, paling sering adalah mual dan muntah,

dan kejang pada dosis tinggi yang diberi pada pasien dengan

lesi SSP atau dengan insufisiensi ginjal. Meropenem dan

doripenem mempunyai efikasi serupa imipenem, tetapi lebih

jarang memnyebabkan kejang (Permenkes, 2011).

e) Inhibitor beta-laktamase

Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotik beta-

laktam dengan cara menginaktivasi beta-laktamase. Yang

termasuk ke dalam golongan ini adalah asam klavulanat,

sulbaktam, dan tazobaktam. Asam klavulanat merupakan

suicide inhibitor yang mengikat beta-laktamase dari bakteri

Gram-positif dan Gram- negatif secara iriverbel. Obat ini

dikombinasikan dengan amoksilin untuk pemberian oral

dengan tikarsilin untuk pemberian parenteral.


24

Sulbaktam dikombinasi dengan ampisilin utnuk

penggunaan parenteral, dan kombinasi ini aktif terhadap

kokus Gram-positif, termasuk S. aureus penghasil beta-

laktamase, aerob Gram-negatif (tapi tidak terhadap

Pseudomonas) dan bakteri anaerob. Sulbaktam kurang poten

dibanding klavulanat sebagai inhibitor beta-laktamase.

Tazobaktam dikombinasi dengan piperasilin untuk

penggunaan parenteral. Waktu paruhnya memanjang dengan

kombinasi ini, dan ekskresinya melalui ginjal (Permenkes,

2011).

b. Obat yang Memodifikasi atau Menghambat Sintesis Protein

Obat antibiotik yang termasuk golongan ini adalah

aminoglikosid, tetrasiklin, kloramfenikol, makrolida (eritromisin,

azitromisin, klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan

spektinomisin (Permenkes, 2011).

1) Aminoglikosid

Spektrum aktivitas: Obat golongan ini menghambat

bakteri aerob Gram negatif. Obat ini mempunyai indeks

terapi sempit, dengan toksisitas serius pada ginjal dan

pendengaran, khususnya pada pasien anak dan usia lanjut.

Efek samping: Toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik

maupun vestibular), blokade neuromuskular (lebih jarang)

(Permenkes, 2011).
25

2) Tetrasiklin

Antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini adalah

tetrasiklin, doksisiklin, oksitetrasiklin, minosiklin, dan

klortetrasiklin. Antibiotik golongan ini mempunyai spektrum

luas dan dapat menghambat berbagai bakteri Gram-positif,

Gram-negatif, baik yang bersifat aerob maupun anaerob, serta

mikroorganisme lain seperti Ricketsia, Mikoplasma,

Klamidia, dan beberapa spesies mikobakteria (Permenkes,

2011).

3) Kloramfenikol

Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas,

menghambat bakteri Gram-positif dan negatif aerob dan

anaerob, Klamidia, Ricketsia, dan Mikoplasma.

Kloramfenikol mencegah sintesis protein dengan berikatan

pada sub unit ribosom 50 S. Efek samping: supresi sumsum

tulang, grey baby syndrome, neuritisoptik pada anak,

pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya ruam

(Permenkes, 2011).

4) Makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin,

roksitromisin)

Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi

juga dapat menghambat beberapa Enterococcus dan basil

Gram-positif. Sebagian besar Gram-negatif aerob resisten


26

terhadap makrolida, namun azitromisin dapat menghambat

Salmonela. Azitromisin dan klaritromisin dapat menghambat

H. influenzae, tapi azitromisin mempunyai aktivitas terbesar.

Keduanya juga aktif terhadap H. Pylori (Permenkes, 2011).

5) Klindamisin

Klindamisin menghambat sebagian besar kokus Gram-

positif dan sebagian besar bakteri anaerob, tetapi tidak bisa

menghambat bakteri Gram-negatif aerob seperti

Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia. Efek samping:

diare dan enterokolitis pseudo membranosa (Permenkes,

2011).

6) Mupirosin

Mupirosin merupakan obat topikal yang menghambat

bakteri Gram positif dan beberapa Gram-negatif. Tersedia

dalam bentuk krim atau salep 2% untuk penggunaan di kulit

(lesi kulit traumatik, impetigo yang terinfeksi sekunder oleh

S. Aureus atau S. pyogenes) dan salep 2% untuk intranasal.

Efek samping: iritasi kulit dan mukosa serta sensitisasi

(Permenkes, 2011).

7) Spektinomisin

Obat ini diberikan secara intramuskular. Dapat

digunakan sebagai obat alternatif untuk infeksi gonokokus

bila obat lini pertama tidak dapat digunakan. Obat ini tidak
27

efektif untuk infeksi Gonore faring. Efek samping: nyeri

lokal, urtikaria, demam, pusing, mual, dan insomnia

(Permenkes, 2011).

c. Obat Antimetabolit yang Menghambat Enzim-Enzim Esensial

dalam Metabolisme Folat

1) Sulfonamid dan Trimetoprim

Sulfonamid bersifat bakteriostatik. Trimetoprim

dalam kombinasi dengan sulfametoksazol, mampu

menghambat sebagian besar patogen saluran kemih, kecuali

P. aeruginosa dan Neisseria sp. Kombinasi ini menghambat

S. aureus, Staphylococcus koagulase negatif, Streptococcus

hemoliticus, H . influenzae, Neisseria sp, bakteri Gram-

negatif aerob (E. coli dan Klebsiella sp), Enterobacter,

Salmonella, Shigella, Yersinia, P. carinii (Permenkes, 2011).

d. Obat yang Mempengaruhi Sintesis atau Metabolisme Asam

Nukleat

1) Kuinolon

a) Asam nalidiksat

Asam nalidiksat menghambat sebagian besar

Enterobacteriaceae.

b) Fluorokuinolon

Golongan fluorokuinolon meliputi norfloksasin,

siprofloksasin, ofloksasin, moksifloksasin, pefloksasin,


28

levofloksasin, dan lain-lain. Fluorokuinolon bisa

digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh

Gonokokus, Shigella, E. coli, Salmonella, Haemophilus,

Moraxella catarrhalis serta Enterobacteriaceae dan P.

aeruginosa (Permenkes, 2011).

2) Nitrofuran

Nitrofuran meliputi nitrofurantoin, furazolidin, dan

nitrofurazon. Absorpsi melalui saluran cerna 94% dan tidak

berubah dengan adanya makanan. Nitrofuran bisa

menghambat Gram-positif dan negatif, termasuk E. coli,

Staphylococcus sp, Klebsiella sp, Enterococcus sp, Neisseria

sp, Salmonella sp, Shigella sp, dan Proteus sp (Permenkes,

2011).

3. Penggunaan Antibiotik

Berdasarkan tujuan penggunaannya, antibiotik dibedakan

menjadi antibiotik profilaksis dan antibiotik terapi. Antibiotik terapi

dapat dibedakan menjadi antibiotik untuk terapi empiris dan terapi

definitif (Permenkes, 2015).

a. Antibiotik Profilaksis

Antibiotik profilaksis bedah adalah penggunaan antibiotik

sebelum, selama, dan paling lama 24 jam pascaoperasi pada kasus

yang secara klinis tidak memperlihatkan tanda infeksi dengan

tujuan mencegah terjadinya infeksi luka daerah operasi (Menkes


29

RI, 2015). Diharapkan pada saat operasi antibiotik di jaringan

target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk

menghambat pertumbuhan bakteri.

Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis adalah didasarkan

pada kelas operasi, yaitu operasi bersih dan bersih terkontaminasi.

Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam

pemilihan jenis, juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotik

dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung. Tujuan

pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan

(Permenkes, 2015):

1) Penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi

2) Penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi.

3) Penghambatan muncul flora normal resisten.

4) Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.

Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis :

1) Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak

pada kasus bersangkutan.

2) Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri

3) Toksisitas rendah.

4) Tidak menimbukan reaksi merugikan terhadap pemberian obat

anastesi.

5) Bersifat bakterisidal

6) Harga terjangkau (Permenkes, 2015).


30

Untuk profilaksis bedah digunakan sefalosporin generasi I –

II. Pada kasus tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob

dapat ditambahkan metronidazol. Tidak dianjurkan menggunakan

sefalosporin generasi III dan IV, golongan karbapenem, dan

golongan kuinolon. Waktu pemberian antibiotik profilaksis

diberikan ≤ 30 menit sebelum insisi kulit. Idealnya diberikan pada

saat induksi anestesi (Permenkes, 2011).

Faktor – faktor yang berpengaruh terhadap resiko terjadinya

ILO menurut Permenkes (2011), antara lain :

1) Kategori/ kelas operasi ada 4 macam, antara lain :

Tabel II. 3Klasifikasi Kelas Operasi

Kelas Operasi Definisi


Bersih Operasi yang dilakukan pada daerah dengan kondisi
pra bedah tanpa infeksi, tanpa membuka traktus
(respiratorius, gastrointestinal, urinarius, bilier),
operasi terencana, atau penutupan kulit primer
dengan atau tanpa digunakan drain tertutup
Bersih Operasi yang dilakukan pada traktus (digestivus,
terkontaminasi bilier, urinarius, respiratorius, reproduksi kecuali
ovarium) atau operasi tanpa disertai kontaminasi
yang nyata.
Kontaminasi Operasi yang membuka saluran cerna, saluran
empedu, saluran kemih, saluran napas sampai oro
faring ,saluran reproduksi kecuali ovarium atau
operasi yang tanpa pencemaran nyata (Gross
Spillage).
Kotor Operasi pada perforasi saluran cerna, saluran
urogenital atau saluran napas yang terinfeksi ataupun
operasi yang melibatkan daerah yang purulen
(inflamasi bakterial). Dapat pula operasi pada luka
terbuka lebih dari 4 jam setelah kejadian atau
terdapat jaringan non vital yang luas atau nyata
kotor.
(Permenkes, 2011).
31

2) Lama rawat inap sebelum operasi

Lama rawat inap 3 hari atau lebih sebelum operasi akan

meningkatkan kejadian infeksi luka operasi (ILO) (Permenkes,

2011).

Berdasarkan ASHP Therapeutic Guideline pilihan regimen

antibiotik profilaksis yang umum digunakan dapat dilihat pada

tabel II.4. Pemilihan jenis antibiotik profilaksis harus sesuai dengan

kondisi lokal, patogen umum yang sering ditemukan dalam

penyakit dan kerentanan dari antibiotik. Selain itu, dosis yang

digunakan harus sesuai, agar tidak terjadi peningkatan resistensi

antibiotik. Rekomendasi dosis antibiotik profilaksis dapat dilihat

pada tabel II.4

Waktu dan rute pemberian antibiotik profilaksis sebaiknya

diberikan secara intravena 60 menit sebelum operasi dan sedekat

mungkin dengan waktu dimulainya insisi, namun untuk

menghindari resiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian

antibiotik melalui intravena drip. Secara umum dosis antibiotik

yang diberikan untuk profilaksis sama seperti dosis untuk terapi

infeksi, pemberian dosis tunggal antibiotik profilaksis dianggap

cukup pada hampir seluruh keadaan. Durasi pemberian antibiotik

profilaksis adalah ≤ 24 jam, namun dosis ulangan dapat diberikan

atas indikasi pedarahan lebih dari 1500 ml atau operasi berlangsung

dari 3 jam (SIGN, 2014., Bratzler et. al, 2013., Permenkes, 2015).
32

Tabel II. 4Tingkat Rekomendasi Pemberian


AntibiotikProfilaksis
Rekomendasi Contoh Keterangan
Highly Operasi katarak, Antibiotik profilaksis
recommended apendektomi, bedah terbukti dapat
kolorektal, casarean menurunkan jumlah
hysterectomy, morbiditas, mengurangi
transurectal resection biaya pengeluaran dan
of the prostate, open secara keseluruhan
facture, hip fracture menurunkan konsumsi
antibiotik di rumah sakit
Recommended Craniotomy, bedah Antibiotik profilaksis
spinal, head and neck menurunkan morbiditas
surgery dalam jangka pendek,
(contaminated/ clean mengurangi biaya
contaminated, perawatan dan bila
pulmonary resection, dimungkinkan
bedah saluran empedu, menurunkan konsumsi
operasi kandung antibiotik secara
kemih terbuka, bedah keseluruhan.
pankreas, abdominal
hysterectomy, vaginal
hysterectomy.
Should be Bedah kanker Antibiotik profilaksis
consindered payudara, belum memiliki bukti
hydrospadias repair, kuat dapat memberikan
operasi plastik pada keuntungan, dan
wajah menggunakan kemungkinan dapat
implan. meningkatkan biaya
perawatan dan konsumsi
antibiotik terutama pada
pasien dengan resiko
rendah terkena infeksi
luka operasi.
Not recomended Facial surgery Antibiotik profilaksis
(clean), ear surgery belum dibuktikan efektif
(clean, clean secara klinis sebagai
contsminsted, akibat dari infeksi, tidak
tonsillectomy, hernia menurunkan morbiditas
repair groin, dalam jangka pendek,
intrauterine dapat meningkatkan
contraceptive biaya perawatan serta
miscarriage (IUCD), meningkatkan konsumsi
antibiotik untuk
keuntungan klinis yang
kecil.
(SIGN, 2014)
33

Tabel II. 5 Regimen Dosis Antibiotik Profilaksis yang Umum Digunakan

Rekomendasi Dosis Rekomendasi


Waktu
Antibiotik 𝐃𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚𝒂 𝐀𝐧𝐚𝐤 − 𝐀𝐧𝐚𝐤 𝒃 Interval
Paruh
Pemberian Dosis
Dewasa
Ulang (Sejak
dengan
Pemberian Dosis
Ginjal
Pertama
Normal
Sebelum
(jam)
Operasi) (𝐉𝐚𝐦𝒄 )
Ampilin – 3 g (ampicilin 50 mg/kg 0,8-1,3 2
sulbactam 2g / sulbactam ampicilin
1g
Ampicilin 2g 50 mg/ kg 1 – 1,9 2
Aztreonam 2g 30 mg/ kg 1,3 – 2,4 4
Cefazolin 2 g, 3 g untuk 30 mg/ kg 1,2 – 2,2 4
BB ≥ 120 kg
Cefuroxime 1,5 g 50 mg/ kg 1–2 4
𝑑
Cefotaxime 1,5 g 50 mg/ kg 1-2 4
Cefoxitin 2g 40 mg/ kg 0,7 – 1,1 2
Cefotetan 2g 40 mg/kg 2,8 – 4,6 6
Ciprofloxacin 𝑓 400 mg 10 mg/kg 5,4 – 10,9 -
Clindamycin 900 mg 10 mg/ kg 2–4 6
Ertapenem 1g 15 mg/ kg 3–5 -
Fluconazole 400 mg 6 mg/ kg 30 -
Gentamicing 5 mg/ kg 2,5 mg/ kg 2–3 -
berdasarkan berdasarkan
berat badan berat badan
(dosis tunggal) (dosis tunggal)
Levofloxacinf 500 mg 10 mg/ kg 6–8 -
Metronidazole 500 mg 15 mg/ kg 6–8 -
(Neonatus yang
memiliki BB <
1200 g sebaiknya
menerima dosis
tunggal 7,5 mg/ kg)
Moxifloxacin f 400 mg 100g/ kg 8 – 15 -
Piperacillin – 3, 375 g Bayi 2-9 bulan : 80 0,7 – 1,2 2
tazobactam mg/ kg piperacillin.
Anak-anak > 9
bulan dan ≤40 kg :
100 mg/ kg
piperacillin
Vancomycin 15 mg/ kg 4–8 4–8 -
Antibiotik Profilaksis oral untuk bedah kolorektal (digunakan untuk penghubung dengan
sebuah mechanical bowel preparation)
(ASHP, 2013)
34

Rekomendasi Dosis Rekomendasi


Interval
Pemberian
Waktu Paruh
Dosis Ulang
Dewasa
𝐀𝐧𝐚𝐤 (Sejak
Antibiotik 𝐃𝐞𝐰𝐚𝐬𝐚𝒂 dengan Ginjal
− 𝐀𝐧𝐚𝐤 𝒃 Normal (jam)
Pemberian
Dosis Pertama
Sebelum
Operasi) (𝐉𝐚𝐦𝒄 )
Erythromycin 1g 20 mg/ kg 0,8 – 3 -
base
Metronidazole 1g 15 mg/ kg 6 – 10 -
Neomycin 1g 15 mg/ kg 2 – 3 (3% -
diserap
dibawah
kondisi normal
gastrointestinal)
(ASHP, 2013)

Keterangan :

𝑎
: Dosis dewasa diperoleh dari hasil penelitian , ketika dosis yang digunakan

berbeda setiap penelitian maka akan digunakan rekomendasi dosis yang

paling sering digunakan.


𝑏
: Dosis maksimum pediatrik tidak boleh melebihi dosis dosis dewasa

yangdigunakan.

c
: Untuk antibiotik yang memiliki waktu paruh pendek, (contoh: Cefazolin,

Cefoxitin) digunakan sebelum prosedur operasi pemberian dosis ulang

direkomendasikan ketika sudah mencapai dua kalinya waktu paruh dari

antibiotik yang digunakan oleh pasien dengan fungsi ginjal normal. Untuk

prosedur operasi yang panjang dibutuhkan pemberian dosis ulang.

d
: Meskipun FDA menyetujui besar dosis adalah 1g, namun para ahli

merekomendasikan 2 g untuk pasien obesitas.


35

e
: Ketika digunakan dosis tunggal dalam kombinasi dengan metronidazol

untuk prosedur kolorektal.

f
: Ketika fluoroquinolon sudah dihubungkan dengan peningkatan resiko

tendinitis/ rupture tendon dalam seluruh usia, antibiotik ini dapat

digunakan untuk dosis tunggal profilaksis secara aman.


g
: Umumnya, gentamisin untuk antibiotik profilaksis bedah diberikansecara

dosis tunggal sebelum operasi. Pemberian dosis tergantung dengan berat

badan pasien. Jika pasien memiliki BB lebih dari 20% dari berat badan

yang ideal (IBW), maka berat dosis (DW) dapat ditentukan dengan cara

DW = IBW + 0,4 (berat sebenarnya- berat ideal).

b. Antibiotik Terapi

Antibiotik terapi dibagi menjadi 2 macam, yaitu antibiotik empiris dan

definitif (Permenkes, 2011).

1) Antibiotik Empiris

Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan

antibiotik pada kasus infeksi atau diduga infeksi yang belum diketahui

jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya.

Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi

atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab

infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi. Indikasi

penggunannya adalah apabila ditemukan sindrom klinis yang mengarah

pada keterlibatan bakteri tertentu yang paling sering menjadi penyebab

infeksi (Permenkes, 2015).


36

Rute pemberian oral merupakan pilihan pertama untuk terapi

infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan

menggunakan antibiotik parenteral. Adapun lama pemberian antibiotik

empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam (Permenkes, 2015).

Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik untuk terapi empiris adalah :

1) Data epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di

komunitas atau dirumah sakit setempat.

2) Kondisi klinis pasien.

3) Ketersediaan antibiotik.

4) Kemampuan antibiotik untuk menembus kedalam jaringan/organ

yang terinfeksi.

5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat

digunakan antibiotik kombinasi.

2) Antibiotik definitif

Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan

antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab

dan pola resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik adalah eradikasi atau

penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi,

berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi (Permenkes, 2015).

Rute pemberian antibiotik oral merupakan pilihan pertama. Pada

infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan

antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian

antibiotik parenteral harus segera diganti dengan antibiotik peroral. Lama


37

pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk

eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi.

Selanjutnya, harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis

dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (Permenkes,

2015). Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik untuk terapi definitif:

1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.

2) Sensitivitas.

3) Biaya.

4) Kondisi klinis pasien.

5) Diutamakan antibiotik lini pertama/ spektrum sempit.

6) Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).

7) Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat

yang terkini.

8) Mempunyai faktor resiko minimal terjadinya bakteri resisten

(Permenkes, 2015).

C. Tinjauan Antibiotik Profilaksis pada Sectio Caesarea

Menurut ASHP (2013) flora normal dari vagina sendiri terdiri dari

staphylococci, streptococci, enterococci, lactobacilli, diphteroids, E. Coli,

anaerobic streptococci (Peptococcus species and Peptostreptococcus

species), Bacteroids species, and Fusobacterium.

Infeksi endometritis sering disebabkan oleh bebarapa mikroba,

antara lain streptococcus (particularly group B-hemolytic streptococcus

and enterococci), gram negatif aerobes (terutama E.coli), gram-negative


38

anaerobic rods (terutama B.bivius), dan anaerobic cocci (Peptococcus

species dan Peptostreptococcus species). Ureaplasma urealyticum

biasanya diperoleh dari endometrial dan pada saat bedah (ASHP, 2013).

Suatu meta-analisis yang diuji coba secara acak dengan 7 plasebo

terkontrol pada persalinan sesar elektif profilaksis memiliki aktivitas yang

signifikan dalam menurunkan resiko endometritis dan demam. Meta

analisis yang lebih besar dari 81 percobaan secara acak dengan sampel

11.937 wanita yang menjalani sesar elektif dan non-selektif menemukan

bahwa antibiotik profilaksis sangat signifikan dalam menurunkan risiko

demam, endometritis, SSI, infeksi saluran kemih, dan infeksi serius.

Dimana dapat diketahui bahwa resiko endometritis untuk sesar elektif

lebih rendah pada mereka yang menerima antibiotik profilaksis

dibandingkan kepada mereka yang tidak menerima antibiotik profilaksis

(ASHP, 2013).

Telah dievaluasi bahwa meskipun beberapa antibiotik profilaksis

digunakan sendiri atau dalam kombinasi, antibiotik profilaksis selama

persalinan sesar dapat menggunakan sefalosporin generasi pertama

(Khusus cefazolin). Antibiotik tersebut dipilih berdasarkan khasiat,

spektrum sempit, dan biaya rendah. Rekomendasi ini didukung oleh meta-

analisis dari 51 kontrol yang di uji coba secara acak dengan

membandingkan setidaknya dua rejimen antibiotik dapat menyimpulkan

bahwa ampisilin dan sefalosporin generasi pertama memiliki khasiat yang

serupa (ASHP, 2013).


39

Rekomendasi untuk penggunaan antibiotik profilaksis dinilai

menurut kekuatan bukti yang tersedia. Kekuatan bukti tersebut hanya

mewakili dukungan untuk atau terhadap profilaksis dan tidak berlaku

untuk agen antibiotik, dosis, atau regimen dosis.Studi pendukung

rekomendasi untuk penggunaan terapi antimikroba dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:

1. Level I (bukti dari penelitian yang besar, dilakukan dengan baik,

diacak, uji klinis terkontrol atau meta-analisis)

2. Level II (bukti dari penelitian kecil, dilakukan dengan baik, diacak, uji

klinis terkontrol)

3. Level III (bukti dari penelitian kohort yang dilakukan dengan baik),

4. Level IV (bukti dari penelitian kasus-kontrol yang baik)

5. Level V (bukti dari penelitian yang tidak terkontrol yang tidak

dilakukan dengan baik)

6. Tingkat VI (bukti yang bertentangan yang cenderung mendukung

rekomendasi), atau

7. Level VII (pendapat ahli atau data diekstrapolasi daribukti untuk

prinsip-prinsip umum dan prosedur lainnya) (ASHP, 2013).

Dari beberapa penelitian diatas regimen dosis yang disarankan

untuk semua wanita yang menjalani sesar adalah dosis tunggal cefazolin,

diberikan sebelum sayatan bedah (Tabel II. 5). (Kekuatan bukti untuk

profilaksis = A.) Untuk pasien dengan alergi b-laktam, rejimen alternatif

adalah klindamisin ditambah gentamisin (ASHP, 2013).


40

D. Tinjauan Antibiotik Terapi untuk Pasca Bedah Sectio Caesarea

Pasien yang menjalani bedah sesar sangat beresiko terkena infeksi

setelah menjalani pembedahan. Oleh karena itu, pasien bedah sesar juga

sangat membutuhkan antibiotik terapi (Rasjidi, 2009).

Menurut Rasjidi (2009) antibiotik yang digunakan untuk pasien

pasca bedah sesar dapat diberikan antibiotik intra vena dengan spektrum

luas. Antibiotik yang dapat digunakan adalah klindamisin 900 mg tiap 8

jam ditambah dengan gentamisin 1,5 mg/kg BB. Kemudian, Ampisilin 1 g

tiap 6 jam dapat ditambahkan bila dicurigai infeksi enterokokus atau tidak

ada perbaikan klinis selama 48 jam. Bila terapi berhasil, maka tidak perlu

dilanjutkan dengan terapi oral (Rasjidi, 2009).

E. Tinjauan Infeksi Luka Operasi (ILO)

Infeksi luka operasi (ILO) adalah infeksi dari sayatan atau organ

atau ruang yang terjadi setelah operasi. Kemunculan resistensi antibiotik

dapat meningkatkan biaya dan tantangan mengobati infeksi. Pencegahan

ILO semakin penting, hal ini dikarenakan jumlah prosedur bedah yang

dilakukan di Amerika Serikat terus meningkat. Diperkirakan bahwa sekitar

setengah dari ILO dapat dicegah dengan mengaplikasikan strategi berbasis

bukti (CDC, 2017).

Menurut Rasjidi (2009) infeksi pada operasi sesar terdapat

berbagai macam infeksi, antara lain :


41

1. Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih sering diderita oleh pasien pasca operasi.

Manifestasi klinis menyerupai infeksi saluran kemih pada umumnya

yaitu berupa Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) antara lain

urgensi, frekuensi, disuri, dan lain – lain. Urinalisis menunjukkan

terjadinya leukosituri dan bakteriuri yang bermakna. Infeksi diatasi

dengan antibiotik serta perlu perhatian untuk mengganti atau melepas

kateter setelah 12 jam pasca operasi (Rasjidi, 2009).

2. Infeksi Luka

Diagnosis infeksi luka ditegakkan dengan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Penatalaksanaan berupa wound toilet yang disertai

dengan perawatan luka dan antibiotik. Periksalah dengan seksama

apakah fasia masih intak atau telah terjadi dehisensi luka (Rasjidi,

2009).

3. Endometritis

Endometritis purpureal disebabkan oleh infeksi asenden dari

traktus genitalia bawah atau dari traktus gastrointestinal. Bakteri

penyebab infeksi bersifat polimikrobial. Manifestasi klinis pertama

berupa nyeri dan nyeri tekan perut. Demam terjadi pada 24 – 72 jam

pasca persalinan. Terkadang gejala yang muncul hanya demam ringan,

menggigil, sakit kepala, malas, dan sulit makan sering terjadi (Rasjidi,

2009).
42

Tanda – tanda yang dapat muncul adalah pucat, takikardi,

leukositosis, serta lokia yang berbau. Pada pemeriksaan dalam, uterus

teraba membesar, nyeri dan lunak. Adanya indurasi yang menyebar ke

dinding pelvis disertai dengan nyeri yang hebat dan demam yang

tinggi menandakan telah terjadinya perluasan infeksi ke parametrium

(Rasjidi, 2009).

4. Peritonitis

Terkadang peritonitis dapat terjadi sebagai komplikasi dehisensi

luka pasca seksio atau ruptur abses. Manifetasi klinis yang muncul

pertama kali adalag ileus paralitikus. Jangan menunggu munculnya

manifestasi klasik peritonitis (misalnya perut kaku seperti papan).

Manifestasi ini muncul terakhir karena dinding perut wanita hamil

lebih lentur (Rasjidi, 2009).

Terapi berupa antibiotik. Namun, bila dicurigai infeksi berasal

dari nekrosis pada luka bekas operasi atau lesi pada usus, diperlukan

operasi selain pemberian antibiotik (Rasjidi, 2009).

5. Trombofeblitis

Trombofeblitis merupakan perluasan infeksi pelvis ke vena

sekitar. Penyakit ini ditandai dengan nyeri yang umumnya muncul

pada hari II – III pasca persalinan. Pasien mengalami demam

menggigil meskipun manifestasi klinis lain membaik karena

pemberian antibiotik. Terkadang teraba massa dengan nyeri tekan di


43

kedua sisi uterus. Diagnosis pasti ditegakkan dengan CT scan atau

MRI. Terapi berupa antibiotik (Rasjidi, 2009).

F. Tinjauan Evaluasi Penggunaan Antibiotik

Evaluasi penggunaan antibiotik dilakukan bertujuan untuk

(Permenkes, 2015) :

1. Mengetahui jumlah penggunaan antibiotik di rumah sakit

2. Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik di

rumah sakit

3. Sebagai dasar dalam menetapkan surveilans penggunaan antibiotik di

rumah sakit secara sistematik dan terstandar.

Kuantitas penggunaan antibiotik adalah jumlah penggunaan

antibiotik di rumah sakit yang diukur secara retrospektif dan prospektif

dan melalui studi validasi. Studi validasi adalah studi yang dilakukan

secara prospektif untuk mengetahui perbedaan antara jumlah antibiotik

yang benar-benar digunakan pasien dibandingkan dengan yang tertulis di

rekam medik (WHO, 2018).

a. ATC

Dalam sistem klasifikasi Anatomical Therapeutic Chemical

(ATC) zat aktif dibagi menjadi kelompok-kelompok yang berbeda

sesuai dengan organ atau sistem dimana obat tersebut bekerja dan

menghasilkan efek terapi, farmakologi dan sifat kimia. Obat

diklasifikasikan dalam lima kelompok tingkat yang berbeda.

Tingkat pengelompokan obat dijabarkan sebagai berikut :


44

Level pertama, kelompok utama anatomis

A Alimentary tract and metabolism

B Blood and blood forming organs

C Cardiovascular system

D Dermatologicals

G Genito urinary system and sex hormones

H Systemic hormonal preparations, excl, sex hormones and

insulines

J Antiinfectives for systemic use

L Antineoplastic and immunomodulating agents

M Musculo-skeletal system

N Nervous system

P Antiparasitic products, insectides and repellents

R Respiratory system

S Sensory organs

V Various

Level kedua, sub kelompok terapi/ farmakologis

Level ketiga dan keempat, subkelompok terapi/ farmakologis kimia

Level kelima, senyawa kimia

Contoh :

J : Anti infeksi untuk penggunaan sistemik

(tingkat pertama : kelompok anatomi)

JO1 : Anti bakteri untuk penggunaan sitemik


45

(tingkat kedua : kelompok terapi/ farmakologi)

J01C : Beta-lactam antibacterial, penicilin

(tingkat ketiga : sub kelompok farmakologi)

J01C A : Penisilin berspektrum luas

(tingkat keempat : sub kelompok kimiawi obat)

J01C A01 : Ampisilin

(tingkat kelima : substansi kimiawi obat)

(WHO, 2018)

b. Unit Pengukuran DDD

Parameter perhitungan konsumsi antibiotik meliputi

persentase pasien yang mendapat terapi antibiotik selama rawat

inap di rumah sakit, jumlah penggunaan antibiotik dinyatakan

sebagai dosis harian ditetapkan dengan Defined Daily Dose(DDD)

per 100 patient-days. Defined Daily Dose (DDD) adalah dosis

harian rata – rata antibiotik yang digunakan pada orang dewasa

untuk indikasi utamanya. Perlu ditekankan di sini bahwa DDD

adalah unit baku pengukuran, bukan mencermikan dosis harian

yang sebenarnya diberikan pada pasien (prescribed daily dose atau

PDD). Dosis untuk masing – masing individu pasien bergantung

pada kondisi pasien tersebut (berat badan, dan lain – lain ). Untuk

memperoleh data baku dan supaya dapat dibandingkan data di

tempat lain maka WHO merekomendasikan klasifikasi penggunaan


46

antibiotik secara Anatomical Therapeutic Chemical (ATC)

Classification (WHO, 2018)

Unit ini memiliki keunggulan yaitu dapat merefleksikan

dosis obat secara global tanpa dipengaruhi oleh variasi genetik dari

setiap etnik. DDD tidak diberikan untuk sediaan topikal, sera,

vaksin, agen antineoplastik, ekstrak alergen, anastesi umum dan

lokal, serta media kontras. Analisis penggunaan obat dalam unit

kuantitas dapat membantu dalam mengidentifikasi penggunaan

yang overuse dan underuse dalam pengobatan sendiri dan

kelompok (WHO, 2018).

Setiap antibiotik mempunyai nilai DDD yang ditentukan

oleh WHO berdasarkan dosis pemeliharaan rata – rata, unit untuk

indikasi utama pada orang dewasa BB 70 kg.

1) Data yang berasal dari instalasi farmasi berbentuk data

kolektif, maka rumusnya :

Perhitungan numerator :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐷𝐷𝐷

𝑗𝑚𝑙 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑥 𝑗𝑚𝑙 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡 𝑝𝑒𝑟 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑥 𝑗𝑚𝑙 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑝𝑒𝑟 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡 𝑥 100
=
𝐷𝐷𝐷 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑔𝑟𝑎𝑚

Perhitungan denominator :

Jumlah hari – pasien = jumlah hari perawatan seluruh pasien dalam

suatu periode studi

2) Data yang berasal dari pasien menggunakan rumus untuk

pasien :
47

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝐴𝐵 (𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝐷𝐷𝐷)

𝐽𝑚𝑙 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘 (𝑔𝑟𝑎𝑚)


=
𝐷𝐷𝐷 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑔𝑟𝑎𝑚

𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐷𝐷𝐷 100


𝐷𝐷𝐷⁄100 𝑝𝑎𝑡𝑖𝑒𝑛𝑡 − 𝑑𝑎𝑦𝑠 = 𝑥
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑎𝑟𝑖 − 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑂𝑆

Unit DDD dapat digunakan untuk membandingkan

penggunaan obat yang berbeda dalam satu kelompok terapi yang

sama, dimana mempunyai kesamaan efikasi tapi berbeda dalam

dosis kebutuhan atau pengobatan dalam terapi yang berbeda.

Penggunaan obat dapat dibandingkan setiap waktu untuk

memonitor tujuan dan untuk menjamin dari adanya intervensi

komite terapi medik dalam meningkatkan penggunaan obat.

Klasifikasi ATC dan metode DDD biasa digunakan untuk

membandingkan konsumsi penggunaan antar negara. Apabila

diterapkan di lingkungan rumah sakit maka perhitungan DDD per

100 patient-days atau DDD per 100 bed-days adalah yang paling

banyak direkomendasikan. Sementara untuk perhitungan antar

negara biasanya digunakan DDD per 100 inibitans - day dapat

diartikan 1% dari populasi rata-rata mendapatkan terapi obat

tersebut setiap harinya (WHO,2018).


48

c. DU (Drug Utilization)90%

DU 90% merupakan jumlah obat yang membentuk 90% obat

yang diindikator ini dapat digunakan untuk menentukan kualitas

peresepan obat dan untuk membandingkan kesesuaian obat yang

digunakan dengan formularium yang ada. DU 90% dapat diperoleh

dengan cara mengurutkan obat berdasarkan volume

penggunaannya dalam DDD kemudian diambil obat yang

memenuhi segmen 90% penggunaan. Obat tersebut kemudian

dapat dilihat kecocokannya dengan formularium yang ada (WHO,

2018).

Penelitian penggunaan obat dapat dibagi menjadi studi

dekskriptif dan analitik. Perhatian khusus dilakukan untuk

menggambarkan penggunaan obat dan untuk mengidentifikasi

masalah yang terjadi. Pada studi analitik mencoba untuk melihat

data penggunaan obat sehingga dapat diketahui morbiditas, hasil

dari pengobatan dan kualitas pengobatan dengan penggunaan obat

yang rasional (WHO, 2018).


BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Operasi

Operasi Bersih Operasi Bersih Operasi Operasi


Terkontaminasi Kontaminasi Kotor

Operasi Sesar (Sectio Caesarea)

Penggunaan Antibiotik

Pre Operasi Post Operasi

Antibiotik Profilaksis Antibiotik Terapi

Antibiotik Empiris Antibiotik Definitif

Evaluasi menggunakan metode DDD (Defined Daily Dose)

Rasionalitas Antibiotik

Overuse Underuse
Terapi
Keterangan : = Yang diteliti = Yang tidak diteliti

Gambar III. 1. Kerangka Konsep Penelitian

49
50

B. Keterangan Kerangka Konsep

Pada penelitian ini akan meneliti tentang evaluasi penggunaan

antibiotik pada pasien Sectio Caesarea menggunakan metode DDD

(Define Daily Dose). Operasi dibedakan berdasarkan prosedur

pembedahan. Menurut Permenkes (2015) macam operasi dibagi menjadi 4,

yaitu operasi bersih, bersih terkontaminasi, kontaminasi, dan kotor. Bedah

sesar sendiri merupakan golongan operasi bersih terkontaminasi. Operasi

bersih terkontaminasi merupakan operasi yang dilakukan pada traktur

(digestivus, bilier, urinarius, respiratorius, reproduksi kecuali ovarium)

atau operasi tanpa disertai kontaminasi yang nyata. Menurut Rasjidi

(2009) operasi sesar melakukan tindakan invasif. Tindakan invasif sendiri

memiliki resiko yang besar maupun kecil masuknya kuman ke dalam

jaringan tubuh yang dapat menyebabkan infeksi luka operasi (ILO).

Sehingga, pada operasi sesar sangat dibutuhkan antibiotik.

Antibiotik yang dibutuhkan pada operasi sesar yaitu antibiotik

profilaksis dan antibiotik terapi. Antibiotik profilakis sendiri adalah

antibiotik yang diberikan sebelum (pre operasi), selama, dan paling lama

24 jam paska operasi yang secara klinis tidak memperlihatkan tanda

infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi luka operasi

(Permenkes, 2015). Selain itu, pada operasi sesar juga membutuhkan

antibiotik terapi. Dimana, antibiotik terapi diberikan setelah pasien

melakukan operasi (post operasi) dan sudah jelas terjadi infeksi meskipun

penyebab infeksi bakteri belum diketahui secara pasti (Permenkes,


51

2015).Antibiotik terapi dibedakan menjadi 2, yaitu antibiotik empiris dan

antibiotik definitif. Antibiotik empiris merupakan antibiotik yang

penggunaannya pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri

penyebabnya. Sedangkan, antibiotik definitif adalah antibiotik yang

penggunaannya sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola

resistensinya (Permenkes, 2011). Pada pasien sesar membutuhkan

antibiotik paska operasi meskipun belum diketahui jenis bakteri nya.

Sehingga, untuk antibiotik terapi diberikan antibiotik empiris.

Dilihat dari kebutuhan penggunaan antibiotik yang cukup tinggi

pada pasien bedah sesar, sangat diperlukan adanya evaluasi penggunaan

antibiotik. Evaluasi bisa dilakukan secara kuantitatif menggunakan metode

DDD (Define Daily Dose). Dengan metode ini dapat diketahui jumlah

penggunaan antibiotik yang digunakan untuk mengetahui rasionalitas

antibiotik yang dapat dilihat dari overuse atau underuse pada suatu

pengobatan (WHO, 2018).


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan observational descriptive

menggunakan desain pengambilan data secara prospektif, dimana

penelitian ini adalah penelitian yang bersifat melihat kedepan (forward

looking), artinya penelitian yang dimulai dari variabel penyebab atau

faktor risiko, kemudian diikuti akibatnya pada waktu yang akan datang

(Notoatmodjo, 2012).

Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juni 2019

B. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti (Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh pasien bedah sesar di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri

periode Mei – Juni 2019.

52
53

2. Sampel

Sampel merupakan objek yang diteliti dan dianggap mewakili

seluruh populasi (Notoatmodjo, 2012). Sampel dalam penelitian ini

adalah seluruh pasien bedah sesar di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri

periode Mei – Juni 2019.

Kriteria inklusi :

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri – ciri yang perlu

dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai

sampel (Notoatmodjo, 2012). Kriteria inklusi pada penelitian ini

adalah pasien yang menggunakan terapi antibiotik dan mempunyai

data yang lengkap meliputi umur pasien, status kehamilan, tanda vital,

dan lama rawat inap.

Kriteria eksklusi :

Kriteria eksklusi adalah kriteria atau ciri – ciri anggota populasi

yang tidak dapat diambil sebagai sampel karena tidak memenuhi syarat

sebagai sampel penelitian (Notoatmodjo, 2012). Kriteria eksklusi pada

penelitian ini adalah :

a. Pasien yang meninggal saat operasi

b. Pasien yang pulang paksa

3. Teknik Sampling

Teknik sampling pada penelitian ini adalah menggunakan teknik

purposive sampling yaitu didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu


54

yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat – sifat

populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2012).

C. Variabel Penelitian

Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota –

anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh

kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain

(Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini terdapat dua variabel, antara lain :

1. Variabel bebas (Independent)

Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab perubahan

atau timbulnya variabel terikat (Notoatmodjo, 2012). Variabel bebas

dari penelitian ini adalah penggunaan antibiotik pada pasien bedah

sesar.

2. Variabel terikat (Dependent)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi

akibat dari variabel bebas (Notoatmodjo, 2012). Variabel terikat dari

penelitian ini adalah kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien

bedah sesar yang dilihat menggunakan metode DDD (Defined Daily

Dose).

D. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang

dimaksud, atau tentang apa yang diukur oleh variabel yang bersangkutan

(Notoatmodjo, 2012).
55

1. Pasien operasi sesar adalah pasien yang diindikasikan bahwa proses

persalinan normal yang lama, komplikasi hipertensi, preeklamsia dan

kegagalan saat persalinan dengan induksi ibu penderita.

2. Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,

yangm emiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan

kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil.

3. Antibiotik Profilaksis adalah penggunaan antibiotik sebelum, selama,

dan paling lama 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis

tidak memperlihatkan tanda infeksi dengan tujuan mencegah

terjadinya infeksi luka daerah operasi

4. Antibiotik Terapi adalah penggunaan antibiotik pada kasus infeksi

atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebab dan

pola kepekaannya.

5. Metode ATC/ DDD adalah besarnya nilai DDD/100 patient-days

antibiotik yang digunakan.

6. Drug utilization (DU) 90% adalah jumlah penggunaan antibiotik

profilaksis yang termasuk dalam segmen 90%.

7. Kuantitas penggunaan antibiotik dapat dilihat dari penggunaan

antibiotik yang penggunaannya terlalu tinggi (overuse) dan terlalu

rendah (underuse) yang dilihat dari nilai DDD dan klasifikasi segmen

DU 90% yang dihasilkan.


56

8. Kerasionalan penggunaan antibiotik dapat dilihat dari kesesuaian

penggunaannya berdasarkan guideline dan peta kuman rumah sakit

setempat.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini adalah rekam medis pasien, dan lembar

pengumpulan data untuk data penggunaan antibiotik.

F. Prosedur Pengumpulan Data

Rekam medis pasien

Pengambilan Data

Pengolahan Data

Analisis hasil dan kesimpulan

Gambar IV. 1 Skema Rancangan Pengumpulan Data

G. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan teknik komputer yang

dimaksudkan dalam tabel.

1. Editing (memeriksa data)

Editing dilakukan dengan molekul memeriksakan data,

mengindari yang salah dari data telah dikumpulkan.


57

2. Coding (memberi kode)

Coding adalah kegiatan mengklasifikasikan data menurut

ketegori dan jenisnya masing – masinguntuk memudahkan dalam

pengolahan data. Sehingga setiap kategori dan jenisnya diberi kode.

3. Tabulating (menyusun data)

Tabulating adalah kegiatan meringkas data yang diperoleh

dimasukkan ke dalam tabel. Data kemudian dikelompokkan dan di

proses dengan menggunakan tabel tetentu menurut kategori dan

jenisnya.

4. Cleaning data

Cleaning data atau pemeriksaan kembali untuk memastikan data

benar atau siap diolah.

5. Analisis Data

Analisis dilakukan dengan menghitung kuantitas penggunaan

antibiotik profilaksis pada pasien apendisitis dengan metode DDD,

yang diproses dengan kombinasi program Microsoft Excel 2010.

Berikut tata cara analisis dengan menggunakan metode DDD:

a. Klasifikasi kode Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) suatu

antibiotik berdasarkan Guidelines for ATC Classification and

DDD Assignment WHO tahun 2013.

b. Identifikasi jenis antibiotik, baik tunggal maupun kombinasi yang

digunakan
58

c. Identifikasi Defined Daily Dose (DDD) untuk masing-masing

antibiotik berdasarkan Guidelines for ATC Classification and

DDD Assignment WHO tahun 2013.

d. Hitung jumlah kekuatan antibiotik (dalam gram) yang digunakan.

e. Hitung jumlah hari rawat pasien operasi sesar di rawat inap

Rumah Sakit Bhayangkara Kediri

f. Hitung nilai DDD/100 patient-days untuk masing-masing jenis

antibiotik atau kombinasi antibiotik dengan menggunakan rumus

seperti yang tertera dibawah ini :

𝐷𝐷𝐷 ⁄100 𝑝𝑎𝑡𝑖𝑒𝑛𝑡 − 𝑑𝑎𝑦𝑠

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 100


= x 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑂𝑆
𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝐷𝐷𝐷 𝑊𝐻𝑂 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑔𝑟𝑎𝑚

g. Data hasil perhitungan DDD/100 patient-days diubah dalam

bentuk persentase kemudian dikumulatifkan. Dari hasil kumulatif

tersebut didapatkan DU 90% untuk dikelompokkan dalam

segmen 90%.
59

H. Kerangka Kerja

Populasi
Pasien bedah sesar di RS Bhayangkara Kediri

Teknik Sampling
Dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling

Desain Penelitian
Desain penelitian berupa observasional descriptive dengan pendekatan
prospektif

Kriteria Sampel

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Pengumpulan Data
Dengan cara mengambil data melalui data rekam medis pasien

Pengelolaan Data
Dengan cara editing, coding, tabulating, clear data

Analisa Data

Penyajian Hasil
Penyajian dalam bentuk diagram, tabel, grafik

Kesimpulan
Gambar IV. 2 Prosedur KerangkaKerja
60

I. Tabel Kerja

Tabel IV. 1 Tabel Kerja

Alur Kerja Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Pembuatan Proposal 

Pembuatan Surat ijin 

Studi Pendahuluan 

Menentukan dan Menyusun 


instrument

Pengumpulan data  

Pengolahan dan analisis data  

Penyajian Hasil  

Pembahasan 

Kesimpulan 
BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan unutk mengevaluasi rasionalitas penggunaan

antibiotik pada pasien bedah sesar (Sectio Caesarea) pada periode Mei – Juni

2019 di RS Bhayangkara Kediri yang dikaji dari segi kuantitas penggunaannya.

Pada penelitian ini dilakukan evaluasi penggunaan antibiotik profilaksis dan pada

pasien bedah sesar berdasarkan ASHP Therapeutic Guideline: Clinical Practice

Guidelines For Antimicrobial Propylaxis In Surgery tahun 2013, dan perhitungan

konsumsi antibiotik berdasarkan nilai DDD WHO. Pengambilan data dilakukan

secara prospektif dengan jumlah populasi 34 pasien dan total sampel yang

memenuhi kriteria inklusi sebanyak 30 pasien. Sedangkan, 4 pasien di eksklusi

dikarenakan data tidak lengkap. Berikut hasil penelitian yang dilakukan di RS

Bhayangkara periode Mei – Juni 2019 :

A. Karakteristik Pasien

1. Distribusi Pasien Berdasarkan Umur

Data yang menunjukkan karakteristik pasien bedah sesar di

instalasi rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara Kediri periode Mei – Juni

2019 berdasarkan umur pasien dapat dilihat pada tabel V. 1.

61
62

Tabel V. 1 Distribusi Pasien berdasarkan umur

Umur
No Jumlah Pasien Presentase (%)
(Tahun)
1 < 20 0 0
2 20 – 35 25 83,3
3 > 35 5 16,7

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa umur pasien yang

melakukan bedah sesar di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri periode Mei

– Juni 2019 diperoleh pasien dengan umur < 20 tahun sebanyak 0 (0%),

umur 20 – 35 tahun sebanyak 25 (83,3 %), dan pasien umur > 35 tahun

sebanyak 5 (16,7 %).

2. Distribusi Pasien Berdasarkan Usia Kehamilan

Data yang menunjukkan karakteristik pasien bedah sesar di

instalasi rawat inap Rumah Sakit Bhayangkara Kediri periode Mei – Juni

2019 berdasarkan usia kehamilan dapat dilihat pada tabel V. 2

Tabel V. 2 Distribusi Pasien berdasarkan usia kehamilan

Usia Kehamilan Jumlah


No Presentase (%)
(Minggu) Pasien
1 < 38 9 30
2 38 – 40 11 36,7
3 > 40 7 23,3
4 Tidak diketahui 3 10

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa usia kehamilan

pasien yang melakukan bedah sesar di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri

periode Mei – Juni 2019 diperoleh data pasien dengan usia kehamilan <

38 minggu sebanyak 9 (30 %) pasien, usia kehamilan 38 – 40 minggu


63

sebanyak 11 (36,7 %) pasien, pasien dengan usia kehamilan > 40 minggu

sebanyak 7 (23,3 %) pasien, dan pasien yang tidak diketahui usia

kehamilannya 3 (10 %) pasien.

3. Distibusi Pasien Berdasarkan Indikasi Sectio Caesarea

Data yang menunjukkan karakteristik pasien berdasarkan indikasi

Sectio Caesarea pasien bedah sesar di instalasi rawat inap Rumah Sakit

Bhayangkara Kediri periode Mei – Juni 2019 dapat dilihat pada gambar

V. 1.

Indikasi Sectio Caesarea

3% Letak Sungsang
3% 7% 3%
Oligohidramnion
3% Post Date
27% Bekas SC
Kegagalan fase 1 laten
13% Letak Lintang
Ketuban Pecah Dini (KPD)
Pre Eklampsia
7%
14% Inpartus

14% Gerakan janin menurun


3% Fetal distress
3% Tanpa ada indikasi

Gambar V. 1 Distribusi Pasien Berdasarkan Indikasi Sectio Caesarea

Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa indikasi Sectio Caesarea

pasien bedah sesar di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri periode Mei –

Juni 2019 paling banyak disebabkan karena oligohidramnion 8 (26,7%)

dan ketuban pecah dini 8 (13,3%).


64

Tabel V. 3 Distribusi Pasien Berdasarkan Indikasi Sectio Caesarea

Jumlah
No Indikasi SC Presentase (%)
Pasien
1 Letak Sungsang 1 3,3
2 Oligohidramnion 8 26,7
3 Post Date 2 6,7
5 Bekas SC 4 13,3
6 Kegagalan fase 1 laten 1 3,3
7 Letak Lintang 1 3,3
8 Ketuban Pecah Dini (KPD) 4 13,3
9 Pre Eklampsia 4 13,3
10 Inpartus 1 3,3
11 Gerakan janin menurun 1 3,3
12 Fetal distress 1 3,3
13 Tanpa ada indikasi 2 6,7

4. Distribusi Pasien Berdasarkan Lama Rawat Inap

Data yang menunjukkan karakteristik pasien berdasarkan lama

rawat inap pasien bedah sesar di instalasi rawat inap Rumah Sakit

Bhayangkara Kediri periode Mei – Juni 2019 dapat dilihat pada gambar

V. 4.

16 15
14
Jumlah Pasien

12 10
10
8
6
4 3
2
2
0
3 4 5 >5
Lama Rawat Inap (Hari)

Gambar V. 2 Distribusi Pasien Berdasarkan Lama Rawat Inap


65

Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa lama rawat inap

pasien bedah sesar di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri periode Mei –

Juni 2019 diperoleh data pasien dengan lama rawat inap 3 hari sebanyak

3 (10 %) pasien, lama rawat inap 4 hari sebanyak 15 (50 %) pasien, lama

rawat inap 5 hari sebanyak 10 (33, 3 %) pasien, dan lama rawat inap > 5

hari sebanyak 2 (6,7 %) pasien.

B. Analisis Kuantitatif Penggunaan Antibiotik

1. Total Length Of Stay (LOS) pasien bedah sesar

Data jumlah rawat inap pasien digunakan untuk menghitung

penggunaan antibiotik pada pasien bedah sesar dengan satuan DDD / 100

patient – days. LOS (length of stay) merupakan lama hari rawat inap

pasien terhitung sejak pasien masuk rumah sakit sampai dengan hari

dimana pasien keluar dari rumah sakit. Berdasarkan penelitian yang

sudah dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Kota Kediri periode Mei –

Juni 2019 didapatkan total LOS dari 30 pasien sebanyak 132 hari dengan

rata – rata 4, 4 hari rawat inap.

2. Distribusi penggunaan antibiotik pada pasien bedah sesar

Penggunaan antibiotik pada pasien bedah sesar di Rumah Sakit

Bhayangkara Kediri pada periode Mei – Juni 2019 terdiri dari 2 macam,

yaitu antibiotik profilaksis dan antibiotik terapi. Berikut data antibiotik

profilaksis dapat dilihat pada tabel V. 3


66

Tabel V. 4 Distribusi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pasien

Bedah Sesar

Jumlah
No Antibiotik Presentase (%)
Pasien
1 Cefazoline 16 53,3
2 Cetriaxone 11 36,7
3 Tanpa Antibiotik 3 10

Sedangkan untuk penggunaan antibiotik terapi pada pasien bedah

sesar diperoleh data sebagai berikut :

Tabel V. 5 Distribusi Penggunaan Antibiotik Terapi Pasien Bedah

Sesar

Jumlah Presentase
No Terapi Antibiotik Jenis Antibiotik
Pasien (%)
Ceftriaxone 11 36,7
1 Antibiotik tunggal
Cefadroxil 1 3,3
Cetriaxone +
2 Antibiotik Kombinasi 2 6,7
Cefadroxil
3 Tanpa Antibiotik - 16 53,3

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa penggunaan antibiotik

profilaksis pada pasien bedah sesar di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri

periode Mei – Juni 2019 terdapat 2 macam antibiotik, yaitu cefazolin dan

dan ceftriaxone. Penggunaan antibiotik cefazolin sebanyak 16 (53,3 %)

pasien, antibiotik ceftriaxone 11 (36,7 %) pasien, dan juga terdapat

pasien yang tidak menggunakan antibiotik sebanyak 3 (10%) pasien.

Sedangkan, untuk penggunaan antibiotik terapi terdapat 2 macam yaitu

antibioik tunggal dan kombinasi. Untuk antibiotik tunggal yaitu


67

ceftriaxon dan cefadroxil. Antibiotik kombinasinya adalah ceftriaxon +

cefadroxil. Penggunaan antibiotik tunggal ceftriaxon sebanyak 11

(36,7%) pasien, antibiotik tunggal cefadroxil sebanyak 1 (3,3 %) pasien,

antibiotik kombinasi (Ceftriaxone + Cefadroxil) sebanyak 2 (14, 3 %)

pasien, dan terdapat pasien yang tidak menggunakan antibiotik terapi

sebanyak 16 (53,3%) pasien.

3. Distribusi Perhitungan Nilai DDD Profil DU (Drug Utilization) 90 %

Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri

Data yang menunjukkan perhitungan nilai DDD dan Profil DU 90

% penggunaan antibiotik di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri periode

Mei – Juni 2019 dapat dilihat pada tabel V. 5 dibawah ini :

Tabel V. 6 Perhitungan Nilai DDD Penggunaan Antibiotik di Rumah

Sakit Bhayangkara Kediri

Total
Total DDD Total
Kode Total DDD/ 100
No Antibiotik Dosis WHO LOS
Antibiotik DDD patient-
(g) (g) (hari)
days
1 J01DD04 Ceftriaxone 85 2 42, 50 32,20
2 J01DB04 Cefazoline 32 3 10, 00 132 8, 08
3 J01DB05 Cefadroxil 5 2 2,50 1, 89

Dari hasil perhitungan kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien

bedah sesar yang dihitung menggunakan unit pengukuran DDD dengan

satuan DDD/ 100 patient-days. Total DDD/ 100 patien-days dibuat

dalam bentuk presentase kemudian diakumulatifkan berdasarkan

presentase dari presentase terbesar ke presentase terkecil untuk melihat


68

jenis – jenis obat yang masuk segmen DU 90 % yang dapat dilihat pada

tabel V. 6.

Tabel V. 7 Profil DU 90 % Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit

Bhayangkara Kediri

Total
DDD DDD/
Kode Penggunaan Segmen
No Antibiotik WHO 100
ATC (%) DU
(g) patient-
days
1 J01DD04 Ceftriaxone 2 32,20 76,3
90 %
2 J01DB04 Cefazoline 3 8, 08 19,2
3 J01DB05 Cefadroxil 2 1, 89 4,5 10 %
Jumlah 42,17 100

Pada tabel V. 6 dapat dilihat bahwa hasil nilai DDD/ 100 patient-

days antibiotik cefazoline 8, 08 DDD/ 100 patient-days, ceftriaxone

32,20 DDD/ 100 patient-days, cefadroxil 1,89 DDD/ 100 patient-days.

Pada tabel V. 7 menunjukkan bahwa obat – obat yang masuk ke

dalam segmen DU 90 % setelah diakumulatifkan adalah ceftriaxone dan

cefazoline. Sedangkan, yang masuk ke dalam segmen DU 10% adalah

Cefadroxil. Obat – obat yang masuk kedalam segmen DU 90 % adalah

jenis antibiotik pada pasien bedah sesar yang paling banyak digunakan.

Sedangkan, yang masuk ke dalam segmen 10 % adalah obat - obat yang

penggunaannya rendaah di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri periode

Mei – Juni 2019.


BAB VI

PEMBAHASAN

Sectio Caesarea atau bedah sesar adalah suatu persalinan buatan dimana

janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding rahim

dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram

(Sarwono, 2009).

Sectio Caesarea merupakan operasi yang membutuhkan antibiotik. Untuk

mengevaluasi rasionalitas pengguanan antibiotik secara kuantitas pada pasien

Sectio Caesarea dilakukan evaluasi penggunaan antibiotik dengan metode

Defined Daily Dose (DDD) di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri pada periode

Mei – Juni 2019 di ruang rawat inap pasien bedah sesar dengan jumlah populasi

sebanyak 34 pasien, dan yang masuk kriteria inklusi sebanyak 30 pasien dan 4

pasien dieksklusi, dikarenakan data tidak lengkap. Data sekunder yang digunakan

berupa rekam medik, dan metode pengambilan data secara prospektif. Evaluasi

penggunaan antibiotik secara kuantitas dilakukan dengan cara menghitung nilai

DDD (Defined Daily Dose) dan DU 90%.

Dari data yang diperoleh didapatkan penilaian karakteristik pasien

meliputi umur pasien, usia kehamilan, indikasi Sectio Caesarea, dan lama rawat

inap. Bila dilihat dari umur pasien yang melakukan Sectio Caesarea di Rumah

Sakit Bhayangkara Kediri, umur yang paling banyak melakukan Sectio Caesarea

pada usia 20 – 35 tahun yaitu 25 (83,3 %) pasien, kemudian untuk usia > 35 tahun

5 (16,7 %) pasien, dan untuk pasien dengan umur < 20 tahun 0 (0 %).

69
70

Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa pada umur 20 – 35 tahun banyak

yang melakukan bedah sesar.

Menurut penelitian Rohan dan Siyoto (2013) pada umur 20 -35 tahun

bukan merupakan umur yang mempunyai resiko tinggi untuk dilakukannya bedah

sesar. Hal ini dikarenakan pada umur tersebut rahim dan bagian tubuh lainnya

sudah siap untuk menerima kelahiran dan diharapkan dapat lebih memperhatikan

kehamilannya. Sedangkan, pada umur < 20 tahun memiliki resiko 4 kali lipat

mengalami luka serius dan meninggal saat melahirkan. Selain itu, organ – organ

reproduksi belum berfungsi dengan sempurna sehingga apabila terjadi kehamilan

dan persalinan akan lebih mudah mengalami komplikasi persalinan dan kekuatan

otot perineum dan otot perut belum bekerja secara optimal sehingga sering terjadi

pesalinan lama atau macet yang memerlukan tindakan, salah satunya Sectio

Caesarea (Kusumawati, 2006). Dan untuk umur >35 tahun tingkat kesuburan dari

ibu semakin menurun sehingga hanya memiliki kesempatan untuk hamil sebanyak

5 % dibandingkan kehamilan pada wanita dengan umur < 35 tahun yaitu sebesar

20 % (Rohan dan Siyoto, 2013). Selain itu, 4 kali lebih beresiko untuk terjadi

distosia (penyulit persalinan) dibandingkan dengan umur <20 tahun (Kusumawati,

2006).

Apabila dilihat dari indikasi pasien sendiri, sebagai alasan dilakukannya

bedah sesar dapat diketahui bahwa pada rentang umur tersebut sering terjadi

oligohidramnion atau kekurangan cairan ketuban sebanyak 8 (26,7%) pasien dan

ketuban pecah dini (KPD) 4 (13,3%) pasien. Dimana, hal tersebut tidak

memungkinkan untuk dilakukan persalinan secara normal, sehingga tim medis


71

memutuskan untuk melakukan bedah sesar. Dari hasil peneltian tersebut dapat

diketahui bahwa meskipun umur pasien sudah sesuai, tidak menjadi jaminan

seseorang untuk dapat melakukan persalinan secara normal.

Karakteristik pasien selanjutnya yaitu usia kehamilan. Usia kehamilan

pasien Sectio Caesarea di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri paling banyak

berumur 38 – 40 minggu 11 (40,7 %) pasien, kemudian untuk usia kehamilan < 38

minggu 9 (33, 3 %) pasien, dan untuk usia kehamilan > 40 minggu 7 (26 %)

pasien.

Menurut penelitian Rachimhadhi dan Wiknjosastro (2010) usia kehamilan

38 – 40 minggu dikelompokkan pada golongan aterm, dimana pada usia

kehamilan ini merupakan usia kehamilan yang normal. Pada usia < 38 minggu

(33, 3 %) dikelompokkan pada golongan preterm atau sering disebut kejadian

bayi prematur yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor ibu, faktor janin

dan plasenta atau faktor lain seperti faktor sosial ekonomi. Sedangkan, pada usia >

40 minggu (26 %) dikelompokkan pada golongan postterm. Pada usia kehamilan

ini mempunyai pengaruh terhadap perkembangan janin sampai terjadinya

kematian pada janin. Dimana, kehamilan postterm mempunyai resiko yang lebih

tinggi dibandingkan kehamilan aterm. Selain itu, pada saat persalinan juga akan

menimbulkan penyulit persalinan yang dapat digunakan sebagai alasan untuk

dilakukannya Sectio Caesarea yang disebut indikasi Sectio Caesarea.

Dari data yang diperoleh dapat diketahui beberapa indikasi Sectio

Caesarea dengan jumlah paling banyak adalah oligohidramnion sebanyak 9 (22,5

%) pasien. Selain itu, ketuban pecah dini (KPD) juga menjadi indikasi paling
72

banyak kedua dilakukannya Sectio Caesarea setelah oligohidramnion yaitu

sebanyak 4 (13,3%) pasien. Oligohidramnion adalah air ketuban kurang dari 500

cc, dimana keadaan ini kurang baik untuk pertumbuhan janin karena pertumbuhan

dapat terganggu karena janin mengalami tekanan dinding rahim (Sastrawinata,

2004). Oligohidramnion terjadi karena 2 sebab, yaitu secara primer dan sekunder.

Secara primer karena pertumbuhan amnion yang kurang baik dan secara sekunder

dikarenakan ketuban pecah dini (Marmi, dkk, 2011). Sedangkan, ketuban pecah

dini (KPD) merupakan keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan

(Rachimadhi dan Wiknjosastro, 2010). Dari beberapa indikasi kehamilan tersebut

dapat menentukan lama rawat inap pasien Sectio Caesarea di rumah sakit.

Berdasarkan lama rawat inap pasien Sectio Caesarea paling banyak adalah

4 hari yaitu sebanyak 15 (50 %) pasien, kemudian untuk lama rawat inap 5 hari 10

(33, 3 %) pasien, lama rawat inap 3 hari sebanyak 3 (10%) pasien, dan > 5 hari

sebanyak 2 (6,7 %) pasien. Menurut penelitian Baston dan Hall (2010) bahwa

lama rawat inap pada pasien bedah sesar adalah 2 – 4 hari, tanpa memperhatikan

apakah pembedahan yang dilakukan bersifat elektif atau tidak. Selain itu, lama

rawat inap ditentukan berdasarkan kondisi klinis pasien sendiri apakah sudah

membaik atau masih memerlukan perawatan secara intensif di rumah sakit

(Mutmainah N dkk, 2014).

Menurut Rasjidi (2009) lama perawatan paska operasi sectio sesarea di

rumah sakit adalah 3 – 4 hari, lebih lama dibandingkan dengan paska kelahiran

pervaginam (1 – 2 hari). Namun, jika pasien telah dianggap pulih tanpa demam

dan tidak memiliki komplikasi apapun, dapat dipulangkan lebih dini dari rumah
73

sakit dan diikuti perkembangannya selama dirumah. Dari penelitian ini dapat

diketahui bahwa lama rawat inap pasien Sectio Caesarea paling banyak adalah 4

hari. Dimana hasil tersebut sudah sesuai dengan literatur.

Dari karakteristik pasien yang sudah diperoleh dapat dilakukan evaluasi

penggunaan antibiotik secara kuantitatif. Evaluasi penggunaan antibiotik secara

kuantitatif dilakukan dengan cara menghitung nilai DDD (Defined daily

Dose)/100 patient-days. Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit

Bhayangkara Kediri periode Mei – Juni 2019 diperoleh total hari rawat inap

(Length Of Stay) dari 30 pasien adalah 132 hari. Dalam metode DDD, total LOS

digunakan sebagai pembagi dengan nilai standar DDD dari WHO. Berdasarkan

rumus metode DDD, nilai LOS berbanding terbalik dengan hasil nilai DDD yang

akan didapat. Nilai DDD yang didapat akan semakin kecil apabila nilai total LOS

semakin besar. Akan tetapi besarnya nilai LOS tidak selalu berarti nilai DDD

akan lebih kecil dan sesuai dengan nilai standar (Hadi et al, 2008). Sesuai dengan

pernyataan tersebut, hasil LOS dan nilai DDD pada penelitian ini sebesar 132 hari

dan total nilai DDD sebesar 55,00. Pada dasarnya, DDD adalah metode untuk

mengkonversi dan menstandarisasi data kuantitas produk menjadi estimasi kasar

penggunaan obat dalam suatu pelayanan kesehatan dan tidak menggambarkan

penggunaan obat sesungguhnya (WHO, 2012).

Kuantitas penggunaan antibiotik di Rumah Sakit Bhayangkara Kediri

dalam satuan DDD/100 patient-days. Penggunaan antibiotik tertinggi pada pasien

bedah sesar periode Mei – Juni 2019 adalah ceftriaxone. Perhitungan DDD untuk
74

ceftriaxone mencapai 32,20 DDD/100 patient-days menunjukkan bahwa terdapat

32 pasien mengkonsumsi 1 DDD ceftriaxone setiap harinya.

Ceftriaxone memiliki spektrum aktivitas yang luas dan efektif untuk

pengobatan infeksi yang disebabkan oleh berbagai bakteri Gram positif dan Gram

negatif. Mekanisme kerja ceftriaxone sebagai antibiotik adalah dengan

menghambat sintesa dinding sel mikroba melalui penghambatan kerja enzim

transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukkan dinding sel.

Golongan sefalosporin generasi ke 3 kurang efektif terhadap bakteri aerobik Gram

positif (Staphylococcus) bila dibandingkan generasi pertama dan kedua, tetapi

lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae sehingga umumnya ceftriaxone tidak

dianjurkan untuk digunakan dalam pengobatan infeksi yang disebabkan oleh

Staphylococcus (Permenkes, 2011). Antibiotik ini efektif untuk diberikan sebagai

antibiotik terapi pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan dengan kelas

bersih terkontaminasi termasuk salah satunya bedah sesar. Tetapi ceftriaxone

kurang efektif apabila diberikan sebagai antibiotik profilaksis pada pasien bedah

sesar. Hal ini dikarenakan pada pasien bedah sesar, infeksi disebabkan oleh

bakteri Gram positif (ASHP, 2013).

Penggunaan tertinggi kedua adalah cefazoline sebanyak 8,08 DDD/ 100

patient-days, menunjukkan bahwa terdapat 8 pasien yang mengkonsumsi 1 DDD

cefazolin setiap harinya. Cefazoline merupakan antibiotik golongan sefalosporin

generasi pertama yang efektif terhadap Gram positif dan memiliki aktivitas

sedang terhadap Gram negatif (Permenkes, 2011). Antibiotik ini efektif digunakan

sebagai profilaksis, khususnya pada pasien bedah sesar. Menurut ASHP (2013)
75

bakteri penyebab infeksi pada bedah sesar adalah bakteri dari spesies

Staphylococcus dan enterococci yang merupakan bakteri Gram positif. Regimen

dosis yang direkomendasikan untuk pasien bedah sesar adalah dosis tunggal

cefazoline sebelum dilakukan insisi. Kemudian, alternatif untuk pasien yang

alergi dengan beta – laktam diganti dengan klindamisin + gentamisin. Pada

penelitian ini penggunaan cefazoline sebagai antibiotik profilaksis cukup tinggi

dan hal ini sudah sesuai dengan standar yang ditentukan oleh ASHP dan pedoman

penggunaan antibiotik RSSA Malang. Tingginya kuantitas penggunaan antibiotik

yang tepat sebagai terapi bedah sesar, khususnya sebagai profilaksis menunjukkan

bahwa rasionalitaas penggunaan antibiotik cukup tinggi di Rumah Sakit

Bhayangkara Kediri.

Penggunaan antibiotik terendah pada pasien bedah sesar di Rumah Sakit

Bhayangkara adalah cefadroxil sejumlah 1,89 DDD/100 patient-days, dimana

hasil tersebut menunjukkan bahwa hanya 1 pasien yang mengkonsumsi 1 DDD

cefadroxil setiap harinya. Cefadroxil merupakan antibiotik golongan sefalosporin

generasi pertama yang efektif terhadap Gram positif dan memiliki aktivitas

sedang terhadap Gram negatif (Permenkes, 2011). Pada penelitian ini, cefadroxil

digunakan sebagai antibiotik terapi. Dimana antibiotik ini kurang efektif untuk

digunakan sebagai antibiotik terapi. Hal ini dikarenakan, apabila digunakan

sebagai antibiotik terapi khususnya empiris, cefadroxil hanya efektif terhadap

Gram positif. Dimana, seharusnya dapat efektif terhadap semua bakteri baik Gram

positif atau Gram negatif.


76

Dari nilai DDD/ 100 patient-days dapat ditentukan segmen DU 90% yang

dapat digunakan untuk mengetahui penggunaan tertinggi antibiotik pada suatu

rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya. Drug Utilization (DU) 90%

diperoleh dengan cara membagi jumlah DDD/100 patient-days dari antibiotik

dengan total DDD/100 patient-days dari semua antibiotik pasien bedah sesar yang

digunakan kemudian dikali 100%. Presentase penggunaan antibiotik selanjutnya

diakumulatifkan dan diurutkan dari presentase tertinggi ke presentase terendah.

Obat yang masuk dalam segmen DU 90% adalah obat yang masuk akumulasi

90% penggunaan.

Dari data pada tabel V. 8 menunjukkan bahwa antibiotik yang masuk

dalam segmen DU 90% adalah ceftriaxone 76,3% dan cefazoline 19,2%,

sedangkan yang masuk segmen 10% adalah cefadroxil 4,5%. Dari hasil tersebut

dapat diketahui bahwa penggunaan ceftriaxone dan cefazoline di Rumah Sakit

Bhayangkara cukup tinggi dan penggunaan cefadroxil rendah. Pengukuran

konsumsi antibiotik sangat direkomendasikan untuk menilai kepatuhan

penggunaan antibiotik berdasarkan pedoman nasional atau internasional.


BAB VII

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kuantitas penggunaan antibiotik pada terapi Sectio Caesarea cukup

tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai DDD/100 patient-days. Jenis

antibiotik yang paling banyak digunakan adalah ceftriaxone dengan nilai

32,20 DDD/100 patient-days dan cefazoline 8,08 DDD/100 patient-days,

dan cefadroxil 1,89 DDD/100 patient-days. Antibiotik yang masuk dalam

segmen DU 90% adalah Ceftriaxone dan Cefazoline. Sedangkan, yang

masuk dalam segmen DU 10 % adalah Cefadroxil.

2. Hasil evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien Sectio Caesarea adalah

rasional. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan antibiotik yang overuse

pada penggunaan antibiotik profilaksis dan terapi yang tepat menurut

ASHP dan pedoman penggunaan antibiotik RSSA Malang.

B. Saran

1. Bagi Penelitian Selanjutnya

a. Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut dengan membandingkan

penggunaan antibiotik rumah sakit satu dengan yang lain.

b. Perlu dilakukan evaluasi penggunaan antibiotik berdasarkan DRPs

dengan periode yang lebih lama.

77
78

2. Bagi Institusi Pendidikan

Disarankan untuk lebih melengkapai buku referensi yang terdapat di

perpustakaan dengan buku – buku yang terbaru, sehingga dapat

digunakan sebagai acuan untuk penyusunan Skripsi atau Karya Tulis

Ilmiah.

3. Bagi Mahasiswa

Data dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

informasi tambahan guna menambah wawasan mengenai penggunaan

antibiotik di lapangan.

4. Bagi Rumah Sakit

Disarankan bagi rumah sakit untuk terapi antibiotik cefazoline sebagai

antibiotik profilaksis khususnya terus dijadikan sebagai terapi antibiotik

pilihan. Hal ini dikarenakan cefazoline merupakan terapi yang paling

efektif
DAFTAR PUSTAKA

Anjar M, Gita F, dkk. 2016. Evaluasi Kuantitatif Penggunaan Antibiotik pada

Pasien Ceaserean Section di RSUD se – Kabupaten Banyumas.

Purwokerto: Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Ashp, & BHH. 2013. Clinical Practice Guidelines for Antimicrobial Prophylaxis

in Surgery Guidelines Development and Use.

Bratzler, D. W., Dellinger, E. P., Olsen, K. M., Perl, T. M., Auwaerter, P. G.,

Bolon, M. K., Weinstein, R. A. 2013. Clinical practice guidelines for

antimicrobial prophylaxis in surgery. American Journal of Health-

System Pharmacy.

Goodman dan Gilman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi Edisi X. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC.

National Healthcare Safety Network. 2017. Centers forDisease Control and

Prevention. Surgical siteinfection (SSI) event.

Feng XL, Xu L, Guo Y, Ronsmans C. 2012. Factors Influencing Rising Cesarean

Section Rates In China Between 1988 and 2008. Bull World Health

Organ.

79
80

Imam Rasjidi. 2009. Manual Seksio Sesarea dan Laparatomi Kelainan Adneksa.

Jakarta: Sagung Seto. Hal : 88 – 130.

Kusumawati Y. 2006. Faktor – faktor risiko yang berpengaruh terhadap

persalinan dengan tindakan (tesis). Universitas Diponegoro. Semarang.

Laras NW. 2012. Kuantitas Penggunaan Antibiotik di Bangsal Bedah dan

Obstetri – ginekologi RSUP DR. Karyadi setelah kampanye penggunaan

antibiotik secara bijak. Skripsi Universitas Diponegoro; Semarang.

Marmi. 2011. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Hamil. Yogyakarta: Penerbit Pelajar

Mutmainah N dkk. 2014. Evaluasi Penggunaan dan Efktivitas Antibiotik

Profilaksis pada Pasien Bedah sesar di Rumah sakit Surakarta Tahun

2010. Fakultas farmasi Universitas Muhamadiyah. Surakarta

Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid 2. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC (Hal : 117 – 121).

Notoatmodjo,S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Oxorn H dan Forte W.R. 2010. Ilmu Kebidanan: Patologi & Fisiologi Persalinan.

Editor Dr. Mohammad Hakimi, Ph.D. Yogyakarta: Yayasan

EssentiaMedika (YEM).

Permenkes RI. 2011. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta

Kementrian Kesehatan RI.


81

Pemenkes RI. 2013. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar. Kementrian

Kesehatan.

Permenkes RI. 2015. Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah

Sakit. Kementrian Kesehatan.

Prasetya, D. B. 2013. Efektifitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien

Bedah Sesar di Rumah Sakit “X”. Jurnal Ilmiah. Surabaya: Fakultas

Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Prawirohardjo Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka.

Purnamaningrum, F. 2013. Efektifitas Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada

Pasien Bedah Sesar di Rumah Sakit “X”. Jurnal Ilmiah. Surabaya:

Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Rachimadhi, T & Wiknjosastro, G.H. 2010. Ilmu Kebidanan Edisi IV. Jakarta. PT.

Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Rohan, H. H & Siyoto, H. S. 2013. Buku Ajar Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta.

Nuha Medika.

Sastrawinata, S. 2004. Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi. Ed. 2.

Jakarta : EGC

SIGN, S. I. G. N. 2014. SIGN 104. Antibiotic prophylaxis in surgery. NHS -SIGN

Clinical Guideline.
82

SOGC. 2012. Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada.

Clasification of caesarean section in canada : themodified robson

criteria.

Tjay, Tan Ha, R. K. 2010. Obat-obat penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek

sampingnya. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Utami ER. 2012. Antibiotika, resistensi, dan rasionalitas terapi. Saintis

World Health Organization. 2018. Guideline for ATC Clasification and DDD

Assignment. Oslo. Norwey: WHO Colaborating Centre for Drug Statistic

Methodology
83

LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ijin Studi Pendahuluan


84

Lampiran 2. Surat Balasan Ijin Studi Pendahuluan dari Rumah Sakit


85

Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian Skripsi


86

Lampiran 4. Surat Keterangan Layak Etik


87

Lampiran 5. Surat Balasan Penelitian dari Rumah Sakit


88

Lampiran 6. Lembar Pengumpulan Data


89

Lampiran 7. Karakteristik Pasien

Nama Umur Tanda Vital


No Diagnosa Tgl MRS Tgl KRS LOS
Pasien (Th) Tgl t TD RR N
19/05/2019 36 130⁄85 88 20

GII P1001 Ab000 uk 39 – 40 20/05/2019 36 110⁄70 82 20


1 Ny. Ajxxx 37 mgg/T/H + oligohidramnion + 21/05/2019 37 110⁄70 84 20 19/05/2019 24/05/2019 6
letak sungsang 22/05/2019 36 120⁄70 88 20
23/05/2019 37 120⁄80 80 20
20/05/2019 37 120⁄80 80 20
21/05/2019 37 110⁄70 84 20
GI P0000 Ab000 uk 42 – 43
2 Ny. Rexxx 23 22/05/2019 36 100⁄60 86 20 20/05/2019 25/05/2019 6
mgg + post date
23/05/2019 36 110⁄75 86 20
24/05/2019 36 110⁄80 80 20
20/05/2019 37 120⁄81 70 20
GI P0000 Ab000 uk 39 – 40 21/05/2019 36 110⁄80 84 20
3 Ny. Dixxx 23 20/05/2019 24/05/2019 4
mgg 22/05/2019 36 110⁄80 80 20
23/05/2019 36 110⁄ 82 20
80
21/05/2019 37 110⁄ 80 20
70
22/05/2019 36 110⁄ 84 20
GI P1001 Ab000 uk 39 – 40 70
4 Ny. Lixx 29 21/05/2019 24/05/2019 4
mgg T/H + oligohidramnion 23/05/2019 36 110⁄ 82 20
70
24/5/2019 36 110⁄ 80 20
70
90

21/05/2019 36 110⁄ 84 20
GII P1001 Ab000 uk 39 – 40 70
5 Ny. Suxxx 39 mgg T/H + CPD + bekas SC 7 22/05/2019 36 110⁄ 84 20 21/05/2019 24/05/2019 5
80
th 110⁄
23/05/2019 36 70 82 20
22/05/2019 36 128⁄ 80 20
73
23/05/2019 36 110⁄ 88 20
70
GI P0000 Ab000 uk 39 – 40 110⁄
6 Ny. Sixxx 26 24/05/2019 36 70 88 20 22/05/2019 26/05/2019 5
mgg T/H + kala fase 1 laten
25/05/2019 36 110⁄ 86 20
70
26/05/2019 36 110⁄ 82 20
80
23/05/2019 37 115⁄ 82 20
88
GIII P1102 Ab000 uk 37 – 38 110⁄
7 Ny. Yuxxx 33 24/05/2019 36 80 20 23/05/2019 27/05/2019 5
mgg T/H + oligohidramnion 70
25/05/2019 36 110⁄ 86 20
70
26/05/2019 36 110⁄ 84 20
70
GII P0000 Ab100 uk 37 – 38 120⁄
8 Ny. Lixxx 24 27/05/2019 36 80 84 20 26/05/2019 29/05/2019 4
mgg
28/05/2019 36 120⁄ 82 20
70
27/05/2019 36 110⁄ 80 20
GI P0000 Abooo uk 39 – 40 70
9 Ny. Yoxx 27 27/05/2019 29/05/2019 3
mgg + KPD 28/05/2019 36 110⁄ 82 20
70
27/05/2019 36 117⁄ 88 20
86
GII P1001 Ab000 uk 39 – 40 110⁄
10 Ny. Dixxx 38 28/05/2019 36 70 82 20 27/05/2019 30/05/2019 4
mgg T/H + bekas SC
29/05/2019 36 110⁄ 82 20
60
11 Ny. Adxxx 35 GII P0000 Ab000 uk 37 – 38 28/05/2019 36 110⁄ 84 20 28/05/2019 30/05/2019 3
70
91

mgg T/H + oligohidramnion 29/05/2019 37 110⁄ 88 20


70
29/05/2019 36 197⁄ 80 20
117
GIII P2002 Ab000 uk 40 – 41 30/05/2019 36 150⁄ 88 22
12 Ny. Enxxx 35 mgg T/H + PE + 90 29/05/2019 02/06/2019 5
31/05/2019 36 197⁄ 86 20
oligohidramnion 119
01/06/2019 36 190⁄ 82 20
80
29/05/2019 36 169⁄ 80 22
GII P1001 Ab000 uk 37 – 38 113
13. Ny. Hexxx 33 mgg T/H + KPD + bekas SC 10 30/05/2019 37 130⁄ 80 22 29/05/2019 01/06/2019 4
90
th + PE 140⁄
31/05/2019 36 100 88 20
28/05/2019 36 110⁄ 80 20
70
29/05/2019 36 110⁄ 80 20
GII P1001 Ab000 + 80
14. Ny. Sixxx 26 28/05/2019 01/06/2019 5
oligohidramnion 30/05/2019 36 120⁄ 88 20
80
31/05/2019 37 110⁄ 82 20
70
30/05/2019 37 110⁄ 80 20
80
GIII P1001 Ab100 uk 38 – 39 110⁄
15. Ny. Luxxx 29 31/05/2019 36 82 20 30/05/2019 02/06/2019 4
mgg T/H + bekas SC 5 th 70
01/06/2019 36 110⁄ 80 20
70
12/06/2019 37 144⁄ 102 20
96
13/06/2019 36 120⁄ 80 20
GI P0000 Ab000 uk 40 – 41 70
16. Ny. Ayxxx 21
mgg T/H + KPD + floating + PE 14/06/2019 36 120⁄ 84 20 12/06/2019 16/06/2019 5
70
15/06/2019 36 120⁄ 88 20
70
92

12/06/2019 37 130⁄ 87 20
80
17. Ny. Kuxxx 34 GII P1001 Ab000 + KPD 13/06/2019 37 110⁄ 80 20 12/06/2019 15/06/2019 4
70
14/06/2019 36 110⁄ 86 20
70
10/06/2019 36 120⁄ 82 20
80
GII P0000 Ab000 uk 31 – 32 11/06/2019 36 120⁄ 84 20
18. Ny. Suxxx 27 mgg T/H + KPD + 70 09/06/2019 14/06/2019 5
12/06/2019 36 110⁄ 88 20
oligohidramnion 70
13/06/2019 37 120⁄ 80 20
80
11/06/2019 36 120⁄ 88 20
80
GII P1001 Ab000 uk 37 – 38 110⁄
19. Ny. Sixxx 38 12/06/2019 36 80 88 20 11/06/2019 14/06/2019 4
mgg T/H + KPD + bekas SC
13/06/2019 36 110⁄ 80 20
70
12/06/2019 36 112⁄ 88 20
80
13/06/2019 36 110⁄ 80 20
GII P1001 Ab000 uk 41 mgg 70
20. Ny. Dexxx 24 12/06/2019 15/06/2019 5
T/H + gerakan janin menurun 14/06/2019 37 110⁄ 80 20
70
15/06/2019 36 110⁄ 86 20
70
13/06/2019 36 129⁄ 83 20
GIII P0201 Ab000 uk 38 – 39 90
21. Ny. Dexxx 23 mgg dengan inpartus + fetal 14/06/2019 36 130⁄ 88 20 13/06/2019 16/06/2019 4
88
distress 110⁄
15/06/2019 36 84 20
70
12/06/2019 36 110⁄ 98 20
GIII P2001 Ab000 uk 35 – 36 69
22. Ny. Wixxx 37 mgg T/H + APB ec placenta 13/06/2019 36 112⁄ 90 20 12/06/2019 16/06/2019 4
71
previa totalis + letak lintang 110⁄
14/06/2019 37 84 20
70
93

15/06/2019 36 110⁄
70 84 20
14/06/2019 36 120⁄
23. Ny. Urxxx 32
GII P1001 Ab000 uk 40 – 41 80 88 20
14/06/2019 16/06/2019 3
mgg T/H + KPD + bekas SC 15/06/2019 36 110⁄
70 80 20
17/06/2019 36 136⁄
93 78 20
GII P1001 Ab000 uk 40 mgg 130⁄
24. Ny. Lixxx 31 18/06/2019 36 70 84 20 17/06/2019 20/06/2019 4
T/H + post date
19/06/2019 36 110⁄
70 80 20
17/06/2019 36 110⁄
79 80 20
GIII P2002 Ab000 uk 41 – 42 110⁄
25. Ny. Alxxx 24 18/06/2019 36
mgg + inpartu 75 88 20 17/06/2019 20/06/2019 4
19/06/2019 36 110⁄
70 80 20
19/06/2019 36 110⁄
72 88 20
GI P0000 Ab000 uk 39 mgg 120⁄
26. Ny. Gexxx 26 20/06/2019 36 80 84 20 19/06/2019 22/06/2019 4
T/H + letak sungsang
21/06/2019 36 120⁄
70 86 20
19/06/2019 36 120⁄
80 82 20
GIII P1001 Ab100 uk 37 mgg 110⁄
27. Ny. An 35 20/06/2019 37
T/H + floating + bekas SC 70 80 20 19/06/2019 22/06/2019 4
21/06/2019 36 110⁄
70 80 20
19/06/2019 36 117⁄
GII P1001 Ab000 uk 41 – 42 68 84 20
28. Ny. Rixxx 32 mgg T/H + oligohidramnion + 20/06/2019 36 110⁄
70 88 20 19/06/2019 22/06/2019 4
oblig 110⁄
21/06/2019 36 70 84 20
19/06/2019 36 121⁄
29. Ny. Rixxx 29
GIII P2003 Ab000 T/H + 87 84 20
19/06/2019 22/06/2019 4
oligohidramnion 20/06/2019 36 110⁄
70 80 20
94

21/06/2019 36 110⁄ 80 20
80
21/06/2019 36 169⁄ 90 20
93
22/06/2019 36 147⁄ 88 20
82
GIII P2002 Ab000 uk 39 – 40 159⁄
30. Ny. Hexxx 29 23/06/2019 37 80 20 21/06/2019 26/06/2019 6
mgg T/H + PE 89
24/06/2019 37 160⁄ 80 20
100
25/06/2019 37 110⁄ 88 20
82
95

Lampiran. 8. Daftar Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Sectio Caesarea

Nama Nama Regimen Total


No Rute
Pasien Antibiotik Dosis (g) Dosis (g)
1. Ny. Ajxx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
2. Ny. Rexx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
Ceftriaxone (P) 1x1g 1g IV
3. Ny. Lixx
Cefadroxil (T) 3 x 0,5 g 1,5 g PO
4. Ny. Suxx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
5. Ny. Dixx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
Ceftriaxone (P) 1x1g 1g IV
6. Ny. Sixx Ceftriaxone (T) 3x1g 3g IV
Cefadroxil (T) 3 x 0,5 g 1, 5 g PO
7. Ny. Yuxx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
8. Ny. Lixx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
Ceftriaxone (P) 1x2g 2g IV
9. Ny. Yoxx
Ceftriaxone (T) 3x1g 3g IV
10. Ny. Dixx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
11. Ny. Adxx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
12. Ny. Enxx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
Ceftriaxone (P) 1x1g 1g IV
13. Ny. Hexx
Ceftriaxone (T) 3x1g 3g IV
14. Ny. Sixx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
15. Ny. Luxx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
16. Ny. Ayxx Ceftriaxone (P) 1x1g 1g IV
Ceftriaxone (P) 1x1g 1g IV
17. Ny. Kuxx Ceftriaxone (T) 3x1g 3g IV
Cefadroxil (T) 3 x 0, 5 g 1, 5 g PO
Ceftriaxone (P) 1x1g 1g IV
18. Ny. Suxx
Ceftriaxone (T) 3x1g 3g IV
Ceftriaxone (P) 1x1g 1g IV
19. Ny. Sixx
Ceftriaxone (T) 3x1g 3g IV
96

Ceftriaxone (P) 1x1g 1g IV


20. Ny. Dexx
Ceftriaxone (T) 3x1g 3g IV
21. Ny. Dexx Ceftriaxone (P) 1x1g 1g IV
Ceftriaxone (T) 3x1g 3g IV
22. Ny. Wixx Cefazoline (P) 1x2g 3g IV
23. Ny. Urxx Ceftriaxone (T) 3x1g 3g IV
24. Ny. Lixx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
25. Ny. Alxx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
26. Ny. Gexx Ceftriaxone (T) 3x1g 3g IV
27. Ny. Anxx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
28. Ny. Rixx Ceftriaxone (T) 3x1g 3g IV
29. Ny. Rixx Cefazoline (P) 1x2g 2g IV
Ceftriaxone (P) 1x2g 2g IV
30. Ny. Hexx
Ceftriaxone (T) 3x1g 3g IV
97

Lampiran 9. Perhitungan Nilai DDD (Defined Daily Dose)

1. CEFTRIAXONE
Diketahui :
Jumlah Gram Antibiotik yang digunakan oleh pasien = 3 g
Standar DDD WHO dalam gram = 2 g
Total LOS (Length Of Stay) = 132
Perhitungan :

DDD⁄100 patient − days

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐺𝑟𝑎𝑚 𝐴𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 100


= 𝑥
𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝐷𝐷𝐷 𝑊𝐻𝑂 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝐺𝑟𝑎𝑚 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑂𝑆

3 100
= x
2 132

= 1, 14 DDD/100 patient-days

2. CEFAZOLINE

Diketahui :

Jumlah Gram Antibiotik yang digunakan oleh pasien = 2 g

Standar DDD WHO dalam gram = 3 g

Total LOS (Length Of Stay) = 132

Perhitungan :

DDD⁄100 patient − days

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐺𝑟𝑎𝑚 𝐴𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 100


= 𝑥
𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝐷𝐷𝐷 𝑊𝐻𝑂 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝐺𝑟𝑎𝑚 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑂𝑆

2 100
= x
3 132

= 0,51 DDD/100 patient-days


98

3. CEFADROXIL

Diketahui :

Jumlah Gram Antibiotik yang digunakan oleh pasien = 1,5 g

Standar DDD WHO dalam gram = 2 g

Total LOS (Length Of Stay) = 132

Perhitungan :

DDD⁄100 patient − days

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐺𝑟𝑎𝑚 𝐴𝑛𝑡𝑖𝑏𝑖𝑜𝑡𝑖𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛 100


= 𝑥
𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝐷𝐷𝐷 𝑊𝐻𝑂 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝐺𝑟𝑎𝑚 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑂𝑆

1,5 100
= x
2 132

= 0,57 DDD/100 patient-days

Anda mungkin juga menyukai