Anda di halaman 1dari 41

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Refleksi Kasus Infeksi Tropik

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

Demam Berdarah Dengue

Disusun oleh:

Ahmad Shafwan N.

1610029065

Pembimbing:

dr. William S. Tjeng, Sp.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Mei 2017
Refleksi Kasus

Demam Berdarah Dengue

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak


AHMAD SHAFWAN NATSIR

Menyetujui,

dr. William S. Tjeng, Sp.A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
Mei 2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan yang berjudul Demam berdarah dengue .
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan tutorial ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. William S. Tjeng, Sp.A, sebagai dosen pembimbing klinik selama stase anak.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2017 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

16 Mei 2017

Penulis
BAB 1
KASUS

Identitas pasien
- Nama : An. AG
- Jenis kelamin : Perempuan
- Umur : 7 bulan
- Alamat : Perumhan Bengkuring Blok E Samarinda
Utara
- Anak ke : 2 dari bersaudara 2
- MRS : 17 Mei 2017
- No. RM : 960172
- Kamar : Melati 10

Identitas Orang Tua


- Nama Ayah : Tn. MM
- Umur : 29 tahun
- Alamat : Perumhan Bengkuring Blok E Samarinda
Utara
- Pekerjaan : Pekerja Swasta
- Ayah perkawinan ke :1
- Riwayat kesehatan :-

- Nama Ibu : Ny. K


- Umur : 27 tahun
- Alamat : Perumhan Bengkuring Blok E Samarinda
Utara
- Pekerjaan : Guru TK
- Ibu perkawinan ke :1
- Riwayat kesehatan :-

Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesa pada tanggal 18 Mei 2017
dengan ibu kandung pasien.

Keluhan Utama : Demam sejak 5 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD AWS dengan keluhan demam sejak 5 hari
yang lalu. Demam yang dirasakan lebih terasa pada malam hari tanpa disertai
menggigil. Ibu pasien menuturkan demam paling terasa pada hari ke 4 malam
hari.
Selain itu pasien mengeluhkan batuk sejak 3 hari yang lalu disertai dahak
berwarna putih. Pasein mengeluhkan muntah 1 kali setelah batuk 1 kali dan
memuntahkan makan yang dimakan saat di IGD RSUD AWS.
Pasien mengeluhkan nyeri kepala dan gelisah sejak muncul demam 5 hari
yang lalu. Ruam pada kulit berupa rash muncul sejak 1 hari yang lalu disertai
dengan keadaan mengantuk dan lemas.
Keluhan kejang tidak ada. asupan minum pasien dan makan pasein bagus
dan BAK normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak memiliki keluhan atau penyakit serupa sebelum keluhan ini
dan tidak teerdapat penyakit lain sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Keluhan serupa pernah diderita oleh ibu pasien berupa kejang sewatku
kecil.

Riwayat Lingkungan
Di sekitar rumah pasien terdapat anak yang menderita keluhan sejenis
dengan diagnosis DBD 1 bulan yang lalu.

Riwayat Saudara-Saudaranya :
Kondisi saat Sehat/tida
persalinan meninggal meninggal

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :


Berat badan lahir : 3,2 kg
Panjang badan lahir : 52 cm
Berat badan sekarang : 7,5 kg
Panjang badan sekarang : 68 cm
Gigi keluar : -
Tersenyum : 2 bulan
Miring : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk :-
Merangkak :-
Berdiri :-
Berjalan :-
Berbicara 2 suku kata :-
Makan dan minum anak
ASI : berhenti pada bulan ke 4 karena ASI sedikit
Susu sapi : mulai 4 bulan dengan merek SGM
Bubur susu : mulai 6,5 bulan
Tim saring :-
Buah :-
Lauk dan makan padat :-

Pemeliharaan Prenatal
Periksa di : Bidan
Penyakit Kehamilan : Gastritis
Obat-obatan yang sering diminum : Obat Gastritis dan Vitamin

Riwayat Kelahiran :
Lahir di : Klinik bidan
Persalinan ditolong oleh : Bidan
Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan
Jenis partus : Spontan per vaginam

Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : Puskesmas
Keadaan anak :2
Keluarga berencana : Tidak
Jenis kontrasepsi :-

IMUNISASI
Imunisasi Usia saat imunisasi
Booster II

Hepatitis B
Imunisasi campak bulan ke 9 belum dilaksanakan.

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 8 Mei 2015
Kesan umum : Sakit Sedang
Kesadaran : E4V5M6

Tanda Vital
Frekuensi nadi : 140 x/menit, lemah, tepukan ringan.
Frekuensi napas : 40 x/ menit
Temperatur o
: 36,3 C per axial
Tekanan darah : 70/40 mmHg

Status Gizi
Berat badan : 7,5 kg
Panjang Badan : 68 cm
Status Gizi : Gizi
o TB/Usia : z score -2 diantara 0
o BB/Usia : z score -2 diantara 0
o BB/TB : z score -1 diantara 0
Status generalisata
Kepala
Bentuk : Normal
Rambut : Rambut Hitam, lebat, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Refleks
Cahaya (+/+), Pupil Isokor (2mm/2mm), mata cowong
(-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), secret (-), bekas bekuan darah
Telinga : bentuk normal, secret (-)
Mulut : lidah kotor (-), faring Hiperemis (-), mukosa bibir basah,
pembesaran tonsil (-/-), gusi berdarah (-)

Leher
Pembesaran Kelenjar : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thoraks
Inspeksi : Bentuk dan gerak dinding dada simetris dextra = sinistra,
retraksi (-), Ictus cordis tampak
Palpasi : Fremitus raba dekstra = sinistra, Ictus cordis teraba ICS
V MCLS
Perkusi : Sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), S1S2 tunggal reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Dalam batas normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (sde) splenomegali (sde),
turgor kulit kembali cepat
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal, metalic sound (-)

Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (-), capillary refill test < 2 detik,
sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-), pembesaran
KGB inguinal (-/-). Terdapat ruam ptekie pada seluruh
area kulit. Tes tourniquet > 20/ 2 mm2.

Neurologis : Meningial sign (-), kelainan pada saraf kranialis (-),


refleks fisiologis lemah pada sisi kanan, refleks patologis
(-), pemreriksaan sensosrik normal, pemeriksaan mororik
dalam batas normal.

Diagnosis Kerja sementara :


Demam berdarah dengue + ISPA
Pemeriksaan Penunjang
Pemerikasaan Darah Lengkap

Hasil Lab tanggal 17 Mei 2017 pukul 12.58


Lab Value Interpretasi
Hasil Nilai normal
GDS 85 g/dl 70-140 g/dl Normal
Eritrosit 3910000 /L 3900000-5500000/ Normal
Haemoglobin 9,7 g/dL 11-13,5 g/dl Menurun
Leukosit 7960 /L 6000-17000/ Menurun
Hematokrit 30,2 % 34,0-40,0 % Menurun
MCV 77,1 fL 81,0-99,0 fL Menurun
MCH 24,7 pg 27,0-31,0 pg Menurun
MCHC 32,0 g/dL 33,0-37,0 g/dL Menurun
PLT 79000 /L 150000-450000 /L Menurun
RDW-SD 39,9 fL 35,0-47,0 fL Normal
RDW-CV 14,1 % 11.5-14,5 % Normal
PDW 15,9 fL 9,0-13,0 fL Meningkat
MPV 9,7 fL 7,2-11,1 fL Normal
P-LCR 26 % 15-25 % Meningkat
PCT 0,08 % 0,15-0,40 % Menurun
Neutrofil 1300 / 1500-7000 /L Menurun
Neutrofil % 17 % 40-74 % Menurun
Limfosit 5860 / 1000-3700 /L Meningkat
Limfosit % 74 % 19-48 % Meningkat
Monosit 690 / 160-1000 /L Normal
Monosit % 9% 3-9 % Normal
Eosinofil 30 / 0-800 /L Normal
Eosinofil % 0% 0-7 % Normal
Basofil 100 / 0-200 /L Normal
Basofil % 1% 0-1 % Normal
Na 138 mmol/L 135-155 mmol/L Normal
K 4,1 mmol/L 3,6-5,5 mmol/L Normal
Cl 102 mmol/L 98-108 mmol/L Normal

Darah Lengkap Serial

Tanggal 17/05/17 17/05/17 17/05/17 18/05/17 19/05/17

Jam 13.00 18.00 24.00 06.00 9.00

Hb 9,7 g/dL 10,5 g/dL 11,2 g/dL 11,7 g/dL 11 g/dL

Htc 30,2 % 32 % 38 % 38 % 35,9 %


PLT 79000 77000 /L 98000 /L 89000 /L 201000 L
/L

Leukosit 7960 11700 /L 14100 /L 11400 /L 9910 L

Hasil Pemeriksaan Serologi


Lab Nilai normal Hasil
Dengue IgG Negatif Negaif
Dengue IgM Negatif Positif
Tubex 0-2 Negatif Skala 2

Follow Up
Tanggal/ Subjektif & Objektif Assesment & Planning
Tempat
Hari ke- 1 S: Demam sejak 5 hari yang A: Obs. Febris + Susp. DBD
17/5/2017 lalu, batuk (+), pilek (+),
IGD mimisan (+) P: Co. dr.Sp.A
O: KU : Sakit Sedang IVFD 10 tpm
N : 110 x/i Paracetamol 3 x cth
RR : 32 x/i Cek DL serial / 6jam
T: 36,7 C o

TD: 110/70 mmHg


BB:7,5 kg
Sp.O2: 99%

Hari ke- 1 S: Demam sejak 5 hari yang A: Susp. DBD grade 2


17/5/2017 lalu, batuk (+), pilek (+),
Melati mimisan (+) P:
O: IVFD 10 tpm
T: 36,3 C o
Paracetamol 3 x cth
N: 140 x/i Cek DL serial / 6jam
RR: 40x/i
TD: 70/40 mmHg
BB: 7,5 kg
TB: 68 cm
LILA: 12 cm
Hari ke- 2 S: Panas (-) Batuk (+) A: ISPA et Susp. DBD
18/5/2017 O:
Melati T: 35,2 oC P:
N: 111 x/i CTM 0,8 mg 3 x 1 pulv
RR: 60 x/i Salbutamol 0,6 mg 3x 1 pulv
TD: 90/70 mmHg Cek DL pagi, IgM, IgG, Anti
BB: 7,5 kg IgM
Hari ke -3 S: Keluhan (-) Demam (-) A: ISPA et Susp. DBD
19/5/2017 O:
Melati T: 35,4 oC P:
N: 111 x/i Lanjutkan terapi
RR: 51 x/i
TD: 80/60 mmHg
BB: 7,5 kg
Hari ke -4 S: Batuk (+) A: DBD
20/5/2017 O:
Melati T: 37 oC P:
N: 84 x/i Rawat Jalan
RR: 50 x/i Lanjutkan obat oral
TD: 80/60 mmHg Obat pulang
BB: 7,5 kg Parasetamol Syr3 x cth

Prognosa :
Dubia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Demam berdarah

Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD.7 DBD
adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue (Chen, Pohan,
& Sinto, 2009).

Epidemiologi
Demam berdarah dengue ( DBD ) merupakan penyakit arbovirus dari
keluarga flavivirus yang memiliki empat serotype berbeda (DEN-1, -2, -3, and -4)
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Demam berdarah dengue ( DBD ) menjadi perhatian di seluruh dunia terutama di
Asia dikarenakan sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian anak. 1 Data dari
WHO menunjukkan sekitar 1,8 miliar (lebih dari 70%) dari populasi berisiko dengue
di seluruh dunia yang tinggal di negara anggota WHO wilayah Asia Tenggara dan
Pasifik Barat, menderita hampir 75% dari beban penyakit global saat ini disebabkan
oleh demam berdarah dengue (DBD) (Zein, 2015).

Epidemi demam berdarah dengue (DBD) adalah masalah kesehatan utama


masyarakat di Indonesia, Myanmar, Sri Langka, Thailand dan Timor Leste yang
berada di zona hujan tropis dan katulistiwa dimana nyamuk Aedes aegypti tersebar
luas di daerah perkotaan dan pedesaan, tempat beberapa serotype virus beredar.
Demam berdarah dengue (DBD) pertama kali digunakan di Asia Tenggara tahun
1953 di Filipina. DBD di Indonesia pertama kali dicurigai pada tahun 1968
terdapat di Surabaya dan konfirmasi virologisnya diperoleh pada tahun 1970.
Tahun 1972 epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan terdapat di Sumatera Barat
dan lampung kemudian tahun 1973 disusul Riau, Sulawesi Utara dan Bali. Saat ini
demam berdarah dengue (DBD) sudah endemis di kota besar dan penyakit ini
telah berjangkit di daerah pedesaan (Zein, 2015).
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2012
menyebutkan jumlah penderita DBD di Indonesia sebanyak 90.245 kasus dengan
jumlah kematian 816 orang (Indeks Rate/IR= 37,27 per 100.000 penduduk dan
Case Fatality Rate/CFR= 0,90 %). Jumlah kasus penyakit DBD terbanyak terdapat
di Provinsi Jawa Barat yaitu 19.663 kasus diikuti oleh Jawa Timur (8.177 kasus),
Jawa Tengah (7.088 kasus) dan DKI Jakarta (6669 kasus). Keempatnya
merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar dimana ini
merupakan faktor risiko dari penyebaran penyakit dengue (Zein, 2015).

Sedangkan untuk jumlah kematian penyakit demam berdarah dengue


(DBD) tiap provinsi pada tahun 2012, tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat
yaitu 167 kematian yang diikuti oleh Provinsi Jawa Timur (114 kematian) dan
Jawa Tengah (108 kematian) dan Provinsi DKI Jakarta dengan jumlah kematian
DBD yang rendah yaitu 4 kematian, hal tersebut dikarenakan sistim surveilans
dan manajemen penatalaksanaan kasus DBD di DKI Jakarta yang cukup baik
(Zein, 2015).
Etiologi
1. Penyebab
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan
virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses)
yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu; DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah
satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan,
sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga
tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain
tersebut (Hanim, 2013).
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3
atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan
di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat
serotype ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan
serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi
klinik yang berat (Hanim, 2013).

2. Vektor Penyakit
Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan
dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam dengan intik-
bintik putih pada bagian badan, kaki, dan sayapnya. Nyamuk Aedes aegypti jantan
mengisap cairan tunlbuhan atan sari bunga untuk keperluan hidupnya. Sedangkan
yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia
daripada binatang. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari.
Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 9.00-10.00) sampai petang hari (16.00-
17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali untuk
memenuhi lambungnya dengan darah (Hanim, 2013).
Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif sebagai penular penyakit.
Setelah mengisap darah , nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau diluar
runlah. Tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang tergantung dan
biasanya ditempat yang agak gelap dan lembab. Disini nyamuk menunggu proses
pematangan telurnya. Selanjutnya nyamuk betina akan meletakkan telurnya
didinding tempat perkembangbiakan, sedikit diatas permukaan air. Pada umumnya
telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah terendam air. Jentik
kemudian menjadi kepompong dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa (Hanim,
2013)

3. Cara Penularan
Penyakit Demam Berdarah Dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti.
Nyamuk ini mendapat virus Dengue sewaktu mengigit mengisap darah orang
yang sakit Demam Berdarah Dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya
terdapat virus dengue. Seseorang yang didalam darahnya mengandung virus
dengue merupakan sumber penularan penyakit demam berdarah. Virus dengue
berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita
tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap masuk
kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan
tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya.
Kira-kira 1 minggu setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk
menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap
berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes
aegypti yang telah mengisap virus dengue itu menjadi penular (infektif) sepanjang
hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk/mengigit,
sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya
(proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus
dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (Hanim, 2013)

Patogenesis
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi
dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection
theory) dan hipotesis immune enhancement (Chen, Pohan, & Sinto, 2009).
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977,
sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon
antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan
transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena
bertempat di limfosit, proliferas limfosit juga menyebabkan tingginya angka
replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-
antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan
C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar
hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa
(Chen, Pohan, & Sinto, 2009).
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak
langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi
herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran
leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan
syok (Chen, Pohan, & Sinto, 2009).

Klasifikasi
Setelah klasifikasi diagnosis dengue WHO 2009 disebarluaskan, maka
beberapa negara di Asia Tenggara mengadakan evaluasi kemungkinan
penggunaannya. Ternyata klasifikasi WHO 2009 belum dapat diterima seluruhnya
untuk menggantikan klasifikasi 1997, terutama untuk kasus anak. Terdapat
perbedaan mendasar pada kedua klasifikasi tersebut, yaitu spektrum klinis infeksi
dengue tidak dibedakan antara kelompok spektrum dengan perembesan plasma
(DBD, DSS) dan tanpa perembesan plasma (DD). Kedua, batasan untuk dengue
warning signs terlalu luas sehingga akan menyebabkan ove-diagnosis. Namun,
diakui bahwa perlu dibuat spektrum klinis terpisah dari DBD, yaitu expanded
dengue syndrome yang terdiri dari isolated organopathy dan unusual
manifestations. Berdasarkan hal tersebut, klasifikasi diagnosis dengue WHO 2011
disusun hampir sama dengan klasifikasi diagnosis WHO 1997, namun kelompok
infeksi dengue simtomatik dibagi menjadi undifferentiated fever, DD, DBD, dan
expanded dengue syndrome terdiri dari isolated organopathy dan unusual
manifestation (Gambar 3). Klasifikasi yang merupakan revisi edisi sebelumnya
dimuat dalam buku WHO Comprehensive guidelines for prevention and control
of dengue and dengue haemorrhagic fever, revised and expanded edition tahun
2011 (Hadinegoro, 2012).
Manifestasi Klinik
a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan
dengan penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular
timbul saat demam reda. Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering
dijumpai (Karyanti, 2012).

b. Demam dengue (DD)

Anamnesis
demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala, nyeri otot & sendi/tulang,
nyeri retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung, facial flushed, lesu, tidak
mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok, dan depresi umum
(Karyanti, 2012).

Pemeriksaan fisik
Demam: 39 - 40C, berakhir 5 - 7 hari
Pada hari sakit ke 1 - 3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan),
leher, dan dada
Pada hari sakit ke 3 - 4 timbul ruam kulit makulopapular/ rubeolliform
Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian
dorsal, lengan atas, dan tangan
Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada
kulit yg normal, dapat disertai rasa gatal
Manifestasi perdarahan :
o Uji bendung positif dan/atau petekie
o Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran
cerna (jarang terjadi, dapat terjadi pada DD dengan
trombositopenia) (Karyanti, 2012).

c. Demam berdarah dengue

Secara klinis DBD diagnosis dengan klinis mendadak dan terus menerus
selama 2-7 hari
1. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu
bentuk perdarahan lain (petekie, purpura, ekimosis, epistaksis,
perdarahan,
2. Perbesaran hati
3. Syok ditandi oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menerun (
20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik 80 mmHg) disertai
kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari, dan
kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut
(Soedarmo, 2012)
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis,
dan masa penyembuhan (convalescence, recovery) (Karyanti, 2012).

Fase demam
Anamnesis
Demam tinggi, 2 - 7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi kejang
demam. Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri
tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri
perut (Karyanti, 2012).
Pemeriksaan fisik
o Manifestasi perdarahan
Uji bendung positif (10 petekie/inch2) merupakan manifestasi
perdarahan yang paling banyak pada fase demam awal.
Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.
Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.
Epistaksis, perdarahan gusi.
Perdarahan saluran cerna
Hematuria (jarang)
Menorrhagia
o Hepatomegali teraba 2 - 4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan
fungsi hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD (Karyanti,
2012).
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal,
perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal),
hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.
Perembesan plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga
pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24 - 48 jam (Karyanti, 2012).
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa
transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever
defervescence) ditandai dengan,
Peningkatan hematokrit 10% - 20% di atas nilai dasar
Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada
dinding kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus
= RLD) dan ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.
Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang
merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma.
Tanda - tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran,
sianosis, nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi,
tekanan nadi 20 mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral
dingin, capillary refill time memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (<
1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.
Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan
elektrolit, kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok
tidak dapat segera diatasi (Karyanti, 2012).

Fase penyembuhan (convalescence, recovery)


Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan
kembali merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum
dapat ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial
rash seperti pada DD (Karyanti, 2012).

d. Expanded dengue syndrome


Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati,
ginjal, otak,dan jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi
penyerta, komorbiditas, atau komplikasi dari syok yang berkepanjangan.

Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua
hal ini terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif;
petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia (Chen, Pohan, & Sinto, 2009).

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:


Derajat 1 : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2 : Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran
lain.
Derajat 3 : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan
nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat 4 : Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur
(Chen, Pohan, & Sinto, 2009).
.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,
jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia
umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi
dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam (Chen, Pohan, & Sinto, 2009).
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah
albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin (Chen, Pohan, & Sinto, 2009).
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara
tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi
virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu
yang lama (lebih dari 12 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena
keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler
dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse
transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR
memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami
kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan
yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan
mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai
hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari.
Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi
sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2 (Chen, Pohan, & Sinto, 2009).
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah
pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1
(NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue.
Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen
NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode
ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama
sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada
infeksi sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga
dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%).
Oleh karena berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan
deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer (Chen,
Pohan, & Sinto, 2009).
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan)
dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada
hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat
ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan USG (Chen, Pohan, & Sinto, 2009).

Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah
pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai
apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap
kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun
asites yang masif perlu selalu diwaspadai (Chen, Pohan, & Sinto, 2009).
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi
yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi
saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum) (Chen, Pohan, & Sinto, 2009).
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini
terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat.
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%.
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (Chen, Pohan, & Sinto, 2009).
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis
cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.
Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang
intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan
salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang
sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan
lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu
sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal (Chen, Pohan, &
Sinto, 2009).
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan
efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi (Chen, Pohan, & Sinto, 2009).
Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh
darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek
penambahan volume vascular hanya dalam waktu yang singkat sebelum
didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan
perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya
5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam
ruang interstisial. Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa
keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga
terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan
dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik (Chen,
Pohan, & Sinto, 2009).
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa
keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi
volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih
lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan
oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa
kekurangan yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko
anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid
terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh:
hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid pada sindrom
renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi
hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada
kedua jenis cairan. Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan
penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di
Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi (Chen, Pohan, &
Sinto, 2009).
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya
kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan
berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan
rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma.
Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg,
adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma
yang terjadi sebanyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24 jam.
Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil
adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar
hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih
berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau
masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis
pasien,stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi
hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau
tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil
secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil.
Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi
hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu
dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal (Chen,
Pohan, & Sinto, 2009).
Tanda kegawatan
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit
infeksi dengue, seperti berikiut.
Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa
transisi ke fase bebas demam / sejalan dengan proses penyakit
Muntah yg menetap, tidak mau minum
Nyeri perut hebat
Letargia dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak.
Perdarahan epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi
yang hebat, warna urin gelap.
Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab
Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam (Karyanti, 2012).

Monitor perjalanan penyakit DD/DBD


Parameter yang harus dimonitor mencakup,
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala
lain
Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok,
serta mudah dan cepat utk dilakukan
Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal
setiap 2-4 jam pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.
Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih
sering pada pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.
Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien
dengan syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.
Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan
ideal) (Karyanti, 2012).

Indikasi pemberian cairan intravena


Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah
Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral
Ancaman syok atau dalam keadaan syok (Karyanti, 2012).

Prinsip umum terapi cairan pada DBD


Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.
Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat,
dan tidak ada respon pada minimal volume cairan kristaloid yang
diberikan.
Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga
volume dan cairan intravaskular yang adekuat.
Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan
untuk menghitung volume cairan.
Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.
Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis tidak
dianjurkan
Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat
tidak ada perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup,
maka perhatikan ABCS yang terdiri dari, A Acidosis: gas darah, B
Bleeding: hematokrit, C Calsium: elektrolit, Ca++ dan S Sugar: gula
darah (dekstrostik) (Karyanti, 2012)

Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit

Fase Demam
Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau
cairan oral apabila anak masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24
jam
Medikamentosa
o Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan
aspirin.
o Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya
antasid, anti emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam
hati.
o Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat
perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.
o Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.

Supportif
o Cairan: cairan pe oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% defisit
o Diberikan untuk 48 jam atau lebih
o Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma,
sesuai keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit (Karyanti,
2012).

Fase Kritis
Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan
rumatan + deficit, disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam
(Karyanti, 2012).

DBD dengan syok berkepanjangan (DBD derajat IV)


Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah
sudah didapat cairan selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III
Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat
diberikan bersama koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan
koreksi hasil laboratorium yang tidak normal
Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya
(setelah review hematokrit sebelum resusitasi)
Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena
pusat / jalur arteri)
Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah

Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per
oral bila pasien sadar atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam
keadaan darurat atau setelah dua kali kegagalan mendapatkan jalur vena perifer
atau setelah gagal pemberian cairan melalui oral. Cairan intraosesus harus
dikerjakan secara cepat dalam 2-5 menit (Karyanti, 2012).

Perdarahan hebat
Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi
darah segera adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun
terlalu rendah. Bila darah yang hilang dapat dihitung, harus diganti.
Apabila tiak dapat diukur, 10 ml/kg darah segar atau 5 mg/kg PRC harus
diberikan dan dievaluasi.
Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa
proton dapat digunakan.
Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti
suspense trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan
larutan tersebut ini dapat menyebabkan kelebihan cairan (Karyanti, 2012).

DBD ensefalopati
DBD ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak.
Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka
penilaian ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi.
o Apabila kesadaran membaik setelah syok teratasi, maka kesadaran
menurun atau kejang disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada
syok
o Pertahankan oksigenasi jalan napas yg adekuat dengan terapi oksigen.
Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah
dilewati maka,
o Cegah / turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan,
Memberikan cairan intravena minimal untuk mempertahankan
volume intravaskular, total cairan intravena tidak boleh >80%
cairan rumatan
Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila hematokrit
terus meningkat dan volume cairan intravena dibutuhkan pada
kasus dengan perembesan plasma yang hebat.
Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan
cairan
Posisikan pasien dengan kepala lebih tinggi 30 derajat.
Intubasi segera untuk mencegah hiperkarbia dan melindungi jalan
napas.
Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan intrakranial,
dengan pemberian deksametasone 0,15mg/kg berat badan/dosis
intravena setiap 6-8 jam.
o Menurunkan produksi amonia
Berikan laktulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare
osmotik.
Antibiotik lokal akan mengganggu flora usus maka tidak
diperlukan pemberian
o Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa yang
dianjurkan 4-6 mg/kg/jam.
o Perbaiki asam basa dan ketidakseimbangan elektrolit
o Vitamin K1 IV dengan dosis:umur < 1tahun: 3mg, <5 tahun: 5mg, >5
tahun:10mg.
o Anti kejang phenobarbital, dilantin, atau diazepam IV sesuai indikasi.
o Transfusi darah, lebih baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen
darah lain seperti suspense trombosit dan plasma segar beku tidak
diberikan karena kelebihan cairan dapat meningkatkan tekanan
intrakranial.
o Terapi antibiotik empirik apabila disertai infeksi bakterial.
o Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk
mencegah perdarahan saluran cerna.
o Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat
dimetabolisme di hati.
Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan
(Karyanti, 2012).

Fase Recovery
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta
monitor tiap 12-24 jam (Karyanti, 2012).

Indikasi untuk pulang


Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai
berikut.
Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik
Nafsu makan telah kembali
Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi
teratur
Diuresis baik
Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok
Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites
Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada
umumnya jumlah trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5
hari (Karyanti, 2012).
BAB 3
ANALISA KASUS
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang
dilakukan pada An. AG usia 7 bulan yang datang bersama orang tuanya ke IGD
RSUD AWS Samarinda pada 17 Mei 2017 dengan keluhan utama Demam seajack
5 hari yang lalu. Diagnosis masuk dan diagnosis kerja pasien ini adalah Susp.
DBD et ISPA. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan hasil dari anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.

TEORI KASUS
ANAMNESIS
Pada DBD terdapat Demam tinggi, 2 - 7 Pasien datang ke IGD
hari, dapat mencapai 40C, serta RSUD AWS dengan keluhan
terjadi kejang demam. Dijumpai facial demam sejak 5 hari yang lalu.
flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot Demam yang dirasakan lebih
dan sendi, nyeri tenggorok dengan terasa pada malam hari tanpa
faring hiperemis, nyeri di bawah disertai menggigil. Ibu pasien
lengkung iga kanan, dan nyeri perut. menuturkan demam paling terasa
Selain itu terdapat gejala batuk pada pada hari ke 4 malam hari.
beberapa kasus (Karyanti, 2012). Selain itu pasien
mengeluhkan batuk sejak 3 hari
yang lalu disertai dahak berwarna
putih. Pasein mengeluhkan muntah
1 kali setelah batuk 1 kali dan
memuntahkan makan yang
dimakan saat di IGD RSUD AWS.
Pasien mengeluhkan nyeri
kepala dan gelisah sejak muncul
demam 5 hari yang lalu. Ruam
pada kulit berupa rash muncul
sejak 1 hari yang lalu disertai
dengan keadaan mengantuk dan
lemas.
Keluhan kejang tidak ada.
asupan minum pasien dan makan
pasein bagus dan BAK normal.
PEMERIKSAAN FISIK
Pada DBD didapatkan hasil: Pemeriksaan fisik pada 17 mei
o Manifestasi perdarahan 2017 pukul 16.30 di melati
Uji bendung positif (10 Keadaan Umum: Sakit sedang
petekie/inch2) merupakan
manifestasi perdarahan yang T: 36,3 oC
paling banyak pada fase demam N: 140 x/i
awal.
Mudah lebam dan berdarah pada RR: 40x/i
daerah tusukan untuk jalur vena. TD: 70/40 mmHg
Petekie pada ekstremitas, ketiak, BB: 7,5 kg
muka, palatum lunak. TB: 68 cm
Epistaksis, perdarahan gusi.
Perdarahan saluran cerna LILA: 12 cm
Hematuria (jarang)
Menorrhagia Terdapat darah kering bekas
o Hepatomegali teraba 2 - 4 cm di mimisan pada hidung
bawah arcus costae kanan dan
kelainan fungsi hati (transaminase) Terdapat ruam ptekie pada seluruh
lebih sering ditemukan pada DBD area kulit. Tes tourniquet > 20/ 2
(Karyanti, 2012). mm2
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD Tidak ditemukan organomegali
(WHO, 1997), yaitu:
Derajat 1 : Demam disertai gejala tidak
khas dan satu-satunya
manifestasi perdarahan
adalah uji torniquet.
Derajat 2 : Seperti derajat 1, disertai
perdarahan spontan di kulit
dan perdaran lain.
Derajat 3 : Didapatkan kegagalan
sirkulasi, yaitu nadi cepat
dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau
kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut kulit
dingin dan lembab, tampak
gelisah.
Derajat 4 : Syok berat, nadi tidak
dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur (Chen, Pohan, & Sinto, 2009).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada DBD yang disertai Lab :
manifestasi perdarahan atau kecurigaan Diambil di IGD tanggal 17 Mei
terjadinya gangguan koagulasi, dapat 2017 pukul 12.58
dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT,
APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP).
Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan
adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/
kreatinin (Chen, Pohan, & Sinto, 2009). GDS 85 g/dl
Untuk membuktikan etiologi Haemoglobin 3910000 /L
DBD, dapat dilakukan uji diagnostik Leukosit 97 g/dL
melalui pemeriksaan isolasi virus, Hematokrit 7960 /L
pemeriksaan serologi atau biologi MCV 30,2 %
molekular. Di antara tiga jenis uji MCH 77,1 fL
etiologi, yang dianggap sebagai baku MCHC 24,7 pg
emas adalah metode isolasi virus. PLT 32,0 g/dL
Namun, metode ini membutuhkan RDW-SD 79000 /L
tenaga laboratorium yang ahli, waktu RDW-CV 39,9 fL
yang lama (lebih dari 12 minggu), serta PDW 14,1 %
biaya yang relatif mahal. Oleh karena MPV 15,9 fL
keterbatasan ini, seringkali yang dipilih P-LCR 9,7 fL
adalah metode diagnosis molekuler
PCT 26 %
dengan deteksi materi genetik virus
Neutrofil 0,08 %
melalui pemeriksaan reverse
Neutrofil % 1300 /
transcriptionpolymerase chain reaction
(RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR Limfosit 17 %
memberikan hasil yang lebih sensitif Limfosit % 5860 /
dan lebih cepat bila dibandingkan Monosit 74 %
dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan Monosit % 690 /
ini juga relatif mahal serta mudah Eosinofil 9%
mengalami kontaminasi yang dapat Eosinofil % 30 /
menyebabkan timbulnya hasil positif Basofil 0%
semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak Basofil % 100 /
digunakan adalah pemeriksaan serologi, Na 1%
yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG- K 138 mmol/L
anti dengue. Imunoserologi berupa IgM Cl 4,1 mmol/L
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat
sampai minggu ke 3 dan menghilang Darah Serial
setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer,
IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14,
sedangkan pada infeksi sekunder dapat Tanggal 17/05/17 17/05/17
terdeteksi mulai hari ke 2 (Chen, Pohan,
& Sinto, 2009). Jam 13.00 18.00
Salah satu metode pemeriksaan
terbaru yang sedang berkembang adalah Hb 9,7 g/dL 10,5 g/dL
pemeriksaan antigen spesifik virus
Dengue, yaitu antigen nonstructural Htc 30,2 % 32 %
protein 1 (NS1). Antigen NS1
diekspresikan di permukaan sel yang At 79000 /L 77000 /L
terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat
perbedaan dalam berbagai literatur Leukosit 7960 /L 11700 /L
mengenai berapa lama antigen NS1
dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah
kepustakaan mencatat dengan metode
Tanggal 17/05/17 18/05/17
ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi
dalam kadar tinggi sejak hari pertama Jam 24.00 06.00
sampai hari ke 12 demam pada infeksi
primer Dengue atau sampai hari ke 5 Hb 11,2 g/dL 11,7 g/dL
pada infeksi sekunder Dengue.
Pemeriksaan antigen NS1 dengan Htc 38 % 38 %
metode ELISA juga dikatakan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi At 98000 /L 89000 /L
(88,7% dan 100%). Oleh karena
berbagai keunggulan tersebut, WHO Leukosit 14100 /L 11400 /L
menyebutkan pemeriksaan deteksi
antigen NS1 sebagai uji dini terbaik
untuk pelayanan primer (Chen, Pohan,
Tanggal 19/05/17
& Sinto, 2009).
Jam 9.00

Hb 11 g/dL

Htc 35,9 %

At 201000 L

Leukosit 9910 L

Lab Serologi

Nilai
Lab Hasil
normal
Dengue
Negatif Negaif
IgG
Dengue
Negatif Positif
IgM
Negatif
Tubex 0-2
Skala 2

DIAGNOSIS
Berdasarkan klinis diatas pasien
3 Syok ditandi oleh nadi lemah dan
di DBD + ISPA
cepat disertai tekanan nadi
menerun ( 20 mmHg), tekanan
darah menurun (tekanan sistolik
80 mmHg) disertai kulit yang
teraba dingin dan lembab
terutama pada ujung hidung, jari,
dan kaki, pasien menjadi gelisah,
dan timbul sianosis di sekitar
mulut (Soedarmo, 2012)
PENATALAKSANAAN
Tatalaksana BDB berdasarkan fase Penatalaksanaan di berikan di
perjalanan penyakit ruang Melati yaitu:
IVFD 10 tpm/ 24 jam
Fase Demam
Pada fase demam, dapat Paracetamol 3 x cth
diberikan antipiretik + cairan rumatan / CTM 0,8 mg 3 x 1 pulv
atau cairan oral apabila anak masih mau Salbutamol 0,6 mg 3 x tab
minum, pemantauan dilakukan setiap
12-24 jam
Medikamentosa
o Antipiretik dapat diberikan,
dianjurkan pemberian
parasetamol bukan aspirin.
o Diusahakan tidak memberikan
obat-obat yang tidak diperlukan
(misalnya antasid, anti emetik)
untuk mengurangi beban
detoksifikasi obat dalam hati.
o Kortikosteroid diberikan pada
DBD ensefalopati apabila
terdapat perdarahan saluran
cerna kortikosteroid tidak
diberikan.
o Antibiotik diberikan untuk DBD
ensefalopati.
Supportif
o Cairan: cairan pe oral + cairan
intravena rumatan per hari + 5%
defisit
o Diberikan untuk 48 jam atau
lebih
Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan
kecepatan kehilangan plasma, sesuai
keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan
hematokrit (Karyanti, 2012).
BAB 4
KESIMPULAN

Pasien An. AG, berjenis kelamin perempuan, dengan usia 7 bulan dengan
keluhan demam sejak 5 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit dengan
diagnosis DBD et ISPA. Selama perawatan, ditemukan anak tersebut sesuai
dengan teori dan menjalani penatalaksanaan sesuai teori.

Secara umum, mulai dari anamnesis, hasil pemeriksaan fisik dan penunjang,
penegakan diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus ini sudah sesuai dengan
teori yag penulis dapatkan dari literatur yang ada. Prognosis pada pasien ini
berdasarkan perjalanan penyakit dan penatalaksanaan yang telah didapatkannya
adalah dubia.
DAFTAR PUSTAKA
Chen, K., Pohan, H. T., & Sinto, R. (2009). Diagnosis dan Terapi Cairan pada
Demam Berdarah Dengue. Medicinus , 1-48.
Hadinegoro, S. R. (2012). New Dengue Case Classification. Update Management
of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders , 1-156.
Hanim, D. (2013). Program Pengendalian Menular: Demam Berdarah Dengue.
Modul Field Lab FK UNS , 1-26.
Karyanti, M. R. (2012). DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA TERKINI DENGUE.
Jakarta: Divisi Infeksi dan Pediatri Tropik, Departemen Ilmu Kesehatan
Anak, RSUPN Cipto Mangunkusumo, FKUI.
Soedarmo, S. S. (2012). Infeksi Virus Dengue. In S. S. Soedarmo, Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis (pp. 155-188). Jakarta: IDAI.
Zein, D. A. (2015). Gambaran Karakteristik Warning Sign WHO 2009 pada
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Anak dan Dewasa. Fakultas
Kedokteran Undip , 1-71.

Anda mungkin juga menyukai