Anda di halaman 1dari 28

Bantuan Teknis Operasionalisasi

Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

BAB 2
PPRRO
OFFIILL KKEELLEEM
MBBAAG
GAAAANN PPEENNAATTAAAANN RRUUAANNG G
DDAAEERRAAHH DDAANN IISSUUEE PPEENNAATTAAAANN RRUUAANNG
G

2.1 KEBERADAAN KELEMBAGAAN PENATAAN RUANG


Pada dasarnya kelembagaan yang berkaitan / berhubungan dengan penataan
ruang (wilayah) telah ada sejak awal tahun 90an, dibentuk sesaat dan bersifat
sebagai tim konsultasi teknis pada saat berlangsungnya kegiatan proyek
perencanaan wilayah/kota (sementara). Tim ini dibentuk didasari oleh Surat
Keputusan (SK) Gubernur, Bupati atau Walikota sesuai dengan tingkatan wilayah
kegiatannya.

Keberadaan UU No. 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang perlu diamankan


dan harus didukung sepenuhnya agar Undang-undang tersebut dapat berjalan
sepenuhnya, efisien, efektif dan berkelanjutan, diperlukan lembaga yang
mewadahi/memfasilitasi kegiatannya baik dalam penataan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang, berupa Tim Koordinasi Penataan Ruang
Daerah (TKPRD) dan kemudian dikukuhkan melalui SK Mendagri No. 147 Tahun
2004 menjadi Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD).

2.1.1 Kebijakan Dan Strategi Penyelenggaraan Penataan Ruang


Dalam merespons berbagai isu dan tantangan pembangunan dalam era otonomi
daerah, maka keberadaan visi penyelenggaraan penataan ruang ke depan yang
tegas menjadi sangat penting. Dalam RAKERNAS BKTRN di Surabaya yang
lalu, Menko Perekonomian selaku Ketua BKTRN telah menjabarkan keywords
yang menjadi jiwa daripada visi tata ruang ke depan. Adapun keywords
dimaksud adalah : integrasi tata ruang darat, laut dan udara, pengelolaan
pusat pertumbuhan baru, pengembangan kawasan perbatasan, pengendalian

Laporan Pendahuluan II - 1
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

dalam pengelolaan tata ruang dan peningkatan aspek pertahanan dan


keamanan dalam penataan ruang (demi keutuhan NKRI).

Selain itu perumusan kebijakan dan strategi tersebut tidak dapat pula dilepaskan
dari 2 (dua) pokok kesepakatan yang dicapai dalam RAKERNAS BKTRN, yaitu
pengaturan penataan ruang nasional dan penguatan peran daerah dalam
penataan ruang.

Berpijak pada jiwa visi tata ruang ke depan dan kesepakatan RAKERNAS
BKTRN tersebut, maka sebagaimana yang telah dirumuskan dalam kebijakan
dan strategi pokok penataan ruang, salah satunya adalah meningkatkan
kapasitas penyelenggaraan penataan ruang di daerah, sehingga langkah
strategis yang menjadi penting yaitu:
1) memperkuat peran Gubernur dalam penyelenggaraan penataan ruang,
khususnya untuk memfasilitasi kerjasama penataan ruang antar-daerah
otonom dan mengendalikan pembangunan (pemanfaatan ruang) secara lebih
efektif,
2) memberdayakan Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD), baik
pada tingkat Provinsi, Kabupaten maupun Kota, dalam rangka menjalankan
fungsi-fungsi koordinasi, inisasi, supervisi, dan mediasi (conflict resolution
body).

2.1.1.1 Kebijaksanaan Dan Strategi Penyelenggaraan Pembentukan Tim


Koordinasi Tata Ruang Daerah
Pembentukan Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah sudah diatur melalui
Inmendagri No. 19 Tahun 1996 dengan penanggung jawab adalah Pimpinan
Daerahnya (Gubernur, Bupati/Walikota) yang di dalam pelaksanaannya dibantu
oleh Tim Teknis/Kelompok Kerja yang diketuai oleh Kepala Bidang Tata Ruang
dengan anggotanya dari semua unsur terkait.

Laporan Pendahuluan II - 2
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

Struktur Organisasi dari TKPRD :


1. Penanggung Jwb : Gubernur/Bupati/Walikota
2. Ketua : KetuaBappedaProvinsi/Kabupaten/Kota
3. Wakil Ketua : Kepala Dinas Kimpraswil/Tata Ruang
4. Sekretaris : Kepala Bidang Fisik Prasarana Bappeda
5. Anggota : Kepala Kantor Wialyah BPN
6. Anggota : Kepala Dinas Kehutanan
7. Anggota : Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan
8. Anggota : Kepala Biro Hukum
9. Anggota : Kepala Biro Lingkungan Hidup
10. Anggota : Ketua BKPMD
11. Anggota : Asda Bidang Ekonomi
12. Anggota : Asda Bidang Sosial Budaya
13. Anggota : Ass. Ter Kodam/Den Rem/Dandim
14. Anggota : Kepala Dinas/Instansi terkait.

Struktur Organisasi dari Tim Teknis/Pokja :


1. Ketua : Kepala Bidang Tata Ruang
2. Wakil Ketua : Kepala Bidang Fisik Prasarana Bappeda
3. Sekretaris : Kepala Seksi Bidang Tata Ruang Dinas Kimpraswil
4. Anggota : Unsur-unsur BPN
5. Anggota : Unsur-unsur Kehutanan
6. Anggota : Unsur-unsur Perikanan dan Kelautan
7. Anggota : Unsur-unsur Lingkungan Hidup
8. Anggota : Unsur-unsur Bidang Ekonomi, Sosial Budaya
9. Anggota : Unsur-unsur instansi terkait
10. Anggota : Unsur-unsur Kodam/Den Rem/Dan Dim
11. Anggota : Unsur-unsur dari Perguruan Tinggi, Pakar, Organisasi
Profesi, LSM, Tokoh Masyarakat.

Laporan Pendahuluan II - 3
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

2.1.1.2 Ruang Lingkup Kegiatan Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah


(TKPRD)
A. Latar Belakang
Dalam rangka pelaksanaan di daerah diperlukan kebijaksanaan dan langkah-
langkah yang terpadu dalam penataan ruang. Untuk mewujudkan hal tersebut
perlu dibentuk Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD) Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang dalam pelaksanaannya diatur dengan Instruksi Menteri
Dalam Negeri No. 19 Tahun 1996. Akan tetapi dalam era desentralisasi/otonomi
ini Inmendagri tersebut perlu untuk disesuaikan yang antara lain adanya
perubahan institusi di daerah dengan demikian untuk Mengakomodasikan
dinamika pembangunan secara berkelanjutan serta kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat.

Penyelenggaraan Penataan Ruang Wilayah yang kegiatannya meliputi


perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Penataan ruang menjadi tugas
dan tanggung jawab :
1. Gubernur Kepala Daerah Provinsi untuk Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Provinsi.
2. Bupati/Walikota Kabupaten/Kota untuk Rencana Tata Ruang Wilayah
Daerah Kabupaten/Kota.
3. Dalam pelaksanaan melibatkan seluruh instansi terkait yang ada di daerah
sesuai dengan tugas dan fungsinya.

B. Lingkup Kegiatan
1. Membantu Pimpinan Daerah dalam merumuskan kebijaksanaan
pemanfaatan ruang;
2. Mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor dengan
memanfaatkan SDM secara maksimal;
3. Melibatkan semua instansi daerah untuk membantu Gubernur,
Bupati/Walikota dalam penataan ruang.

Laporan Pendahuluan II - 4
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

C. Tujuan dan Sasaran


Tujuan :
Untuk Melakukan sosialisasi mengenai dibentuknya Tim Koordinasi Penataan
Ruang Daerah (TKPRD) beserta Tim Teknis/Kelompok Kerja (Pokja).

Sasaran :
1. Mengkoordinasi/mengatur dan membina kerja sama seluruh kegiatan
instansi, otonom dan vertikal Daerah Provinsi, dalam perumusan kebijakan
Kepala Daerah di bidang penataan ruang tingkat Provinsi.
2. Membina/melaksanakan konsultasi dengan Badan Koordinasi Tata Ruang
Nasional (BKTRN) dalam bidang Penataan Ruang dan perumusan arahan
Gubernur Kepala Daerah kepada Bupati/Walikota, Kepala Daerah dalam
rangka sinkronisasi dan pengendalian, pelaksanaan RTRW Provinsi serta
RTRW Kabupaten/Kotamadya.
3. Mengadakan penyuluhan/merumuskan kegiatan pelaksanaan
pemasyarakatan kebijaksanaan strategi penataan ruang, Tingkat Provinsi
kepada seluruh instansi otonom dan vertikal serta masyarakat luas.

2.1.2 Penataan Ruang Dalam Era Otonomi Daerah


Dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal pada
tahun 2001, dimulailah era baru dalam sistem pembangunan di daerah. Pada
hakekatnya otonomi daerah mengandung makna yaitu diberikannya kewenangan
(authority) kepada pemerintah daerah menurut kerangka perundang-undangan
yang berlaku untuk mengatur kepentingan (interest) daerah masing-masing.
Melalui kebijakan otonomi daerah ini, pemerintah telah mendesentralisasikan
sebagian besar kewenangannya kepada pemerintah daerah.

Konflik kewenangan yang muncul saat ini pada dasarnya bersifat vertikal dengan
lebih diakibatkan oleh ekses munculnya UU No. 22 tahun 1999, dimana pada
masa sebelum otonomi, seluruh kebijakan pembangunan ditetapkan dan diatur

Laporan Pendahuluan II - 5
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

oleh Pemerintah Pusat sehingga terjadi sentralisasi kekuasaan yang berarti


kewenangan Pemerintah Pusat terhadap seluruh aspek pembangunan baik
dipusat maupun didaerah berada ditangan Pemerintah Pusat di Jakarta.

Akan tetapi pada masa otonomi sekarang ini sebagian besar kewenangan yang
tadinya berada di pusat diserahkan kepada pemerintah daerah otonom.
Sehingga terjadi euphoria pada Pemerintah Kabupaten yang berlebihan dalam
mengimplementasikan kewenangan otonominya, bahkan sudah sampai tingkat
yang mengkhawatirkan, ketika diterbitkannya beberapa macam Peraturan
Daerah (PERDA) baru di Kabupaten/Kota di Indonesia, persoalannya muncul
ketika PERDAPERDA tersebut justru bertentangan dengan kebijakan
Pemerintah Pusat, salah satu contohnya adalah terbitnya berbagai macam
PERDA yang menyangkut retribusi daerah sehingga justru menimbulkan iklim
yang tidak kondusif bagi kegiatan dunia usaha.

Hal lain adanya konflik kewenangan antara pemerintah provinsi dengan


pemerintah kabupaten/kota. Dimana dengan adanya otonomi daerah praktis
kewenangan pemerintah provinsi dibatasi, dan pemerintah kabupaten tidak
bertanggung jawab kepada pemerintah provinsi, dengan adanya otonomi maka
hirarki provinsi terhadap kabupaten menjadi hilang. Persoalan yang muncul
kemudian adalah kepentingan Pemerintah Kabupaten dalam memanfaatkan
fungsi ruang tertentu yang diatur dalam RTRW Kabupaten/ Kota, bisa saja tidak
sejalan dan tidak sinkron dengan RTRW Provinsi, tanpa dapat diatasi atau di
cegah oleh Pemerintah Provinsi.

Sesuai dengan UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, sistem


perencanaan tataruang wilayah diselenggarakan secara hirarkis menurut
kewenangan administratif, yakni dalam bentuk RTRW Nasional, RTRW Provinsi
dan RTRW Kabupaten/Kota serta rencana-rencana yang sifatnya lebih rinci.
RTRWN disusun dengan memperhatikan wilayah nasional sebagai kesatuan

Laporan Pendahuluan II - 6
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

wilayah yang lebih lanjut dijabarkan kedalam strategi serta struktur dan pola
pemanfaatan ruang pada wilayah provinsi (RTRWP), termasuk didalamnya
penetapan sejumlah kawasan tertentu dan kawasan andalan yang diprioritaskan
penanganannya.

Aspek teknis perencanaan tata ruang wilayah dibedakan berdasarkan hirarki


rencana. RTRWN merupakan perencanaan makro strategis jangka panjang
dengan horizon waktu 2550 tahun kedepan dengan menggunakan skala
ketelitian peta 1 : 1.000.000. RTRW Provinsi merupakan perencanaan makro
strategis jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun pada skala ketelitian
1:250.000 semetara itu, RTRW Kabupaten dan Kota merupakan perencanaan
mikro operasional jangka menengah (510) tahun dengan skala ketelitian peta
1:20.000 hingga 1:100.000, yang kemudian diikuti dengan rencana-rencana detil
yang bersifat mikro operasional jangka pendek dengan skala ketelitian dibawah
1:5.000.

Sedangkan bila mengacu kepada konsep desentralisasi dapat dibedakan atas 4


(empat) bentuk dengan turunan yang berbeda:
(1) Devolusi, merupakan penyerahan urusan fungsi-fungsi pemerintahan dari
pemerintah pusat atau pemerintah yang lebih atasnya kepada pemerintah
di bawahnya sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah;
(2) Dekonsentrasi, merupakan pelimpahan kewenangan dari pemerintah
pusat atau pemerintah atasannya kepada para pejabat mereka di daerah;
(3) Delegasi, merupakan penunjukkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah
atasannya kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan dengan pertanggungjawaban tugas kepada atasannya;
(4) Privatisasi, merupakan pengalihan kewenangan dari pemerintah kepada
organisasi non-pemerintah baik yang berorientasi profit maupun non-profit.

Laporan Pendahuluan II - 7
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

Lazimnya prinsip devolusi mengacu kepada desentralisasi politik, dekonsentrasi


pada pengertian desentralisasi administrasi, dan delegasi maupun privatisasi
sebagai tugas sub-contracting.

Berlakunya kebijaksanaan otonomi daerah melalui UU No. 22/1999 berimplikasi


pada biasnya hirarki dalam sistem perencanaan tata ruang wilayah. Dengan
tidak adanya hirarki antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,
RTRW Nasional dan RTRW Provinsi yang sebelumnya menjadi pedoman bagi
daerah tingkat bawahannya (ps. 20 (3c) dan ps 21 (3d) UU No. 24/1992 dapat
menjadi tidak efektif karena daerah mempunyai kewenangan penuh dalam
penataan ruang daerahnya. Dalam PP No 25/1999 bahkan menyebutkan bahwa
penyusunan RTRWN berdasarkan tata ruang kabupaten/kota dan provinsi (ps.2
(3) butir 13.c. Sementara penyusunan RTRWP harus berdasarkan kesepakatan
antara provinsi dan Kabupaten/Kota (ps.3 (5) butir 12.a). Meskipun pada satu sisi
penataan ruang yang paling fundamental merupakan kewenangan daerah,
namun pada sisi lain RTRW Provinsi bukanlah mosaik dari Kabupaten/Kota.

Dalam konteks ini, concern Pemerintah Pusat dalam bidang penataan ruang
adalah untuk menjamin:
Tercapainya keseimbangan pemanfaatan ruang makro antara kawasan
berfungsi lindung dan budidaya, antara kawasan perkotaan dan perdesaan,
antar wilayah dan antar sektor.
Tercapainya pemulihan daya dukung lingkungan untuk mencegah
terjadinya bencana yang lebih besar dan menjamin keberlanjutan
pembangunan.
Terwujudnya keterpaduan dan kerjasama pembangunan lintas provinsi dan
lintas sektor untuk optimasi dan sinergi struktur pemanfaatan ruang.
Terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat (basic needs) akan pelayanan
publik yang memadai.

Laporan Pendahuluan II - 8
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

Di sisi lain, menurut PP No. 25 tahun 2000, kewenangan pusat dalam bidang tata
ruang meliputi :
Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro,
serta (penetapan) pola dan struktur pemanfaatan ruang nasional.
Fasilitasi kerjasama atau penyelesaian masalah antar provinsi/daerah.
Pengaturan tata ruang perairan di luar 12 mil dan kriteria penataan
perwilayah ekosistem daerah tangkapan air.
Penyiapan standar, kriteria dan fasilitasi kerjasama penataan ruang.

Berkenaan dengan hal tersebut, instrumen pengikat yang dapat digunakan


sebagai acuan sekaligus alat keterpaduan dan kerjasama pembangunan antar-
daerah adalah melalui :
Instrumen perundang-undangan yang mengikat.
Kebijakan-kebijakan yang jelas dan responsif sesuai dengan kebutuhan
daerah.
Bantuan dan kompensasi dalam bentuk fiskal.
Penyediaan langsung prasarana berfungsi lintas wilayah dan backbone
pengembangan wilayah.
Mendorong kemitraan secara vertikal dan horisontal yang bersifat
kerjasama pengelolaan (co-management) dan kerjasama produksi (co-
production).

2.1.3 Penguatan Peran Lembaga Penataan Ruang


Dalam rangka mewujudkan terlaksananya penataan ruang yang serasi, selaras,
seimbang dan terpadu diseluruh wilayah Indonesia maka perlu adanya langkah-
langkah yang dapat mensinergiskan penataan ruang di daerah. Selain produk
tata ruang yang harus sinergi antara tingkat nasional, Provinsi, kabupaten/kota,
kawasan, hingga blok peruntukan juga perlu adanya optimalisasi koordinasi
lembaga penataan ruang antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota.

Laporan Pendahuluan II - 9
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

Dengan terciptanya produk tata ruang sinergis (terpadu) yang dapat


diaplikasikan sejalan dengan operasionalnya lembaga koordinasi penataan
ruang di semua tingkatan maka pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang
yang meliputi perizinan, pengawasan dan penertiban sebagai usaha menjaga
kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang dapat terwujud.

Adapun beberapa langkah strategis dalam rangka pelaksanaan penataan ruang


dan operasionalisasi koordinasi lembaga tata ruang sebagai upaya penguatan
peranan daerah dalam rangka penataan ruang meliputi sebagai berikut:

2.1.3.1 Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah


Kondisi penataan ruang didaerah ditinjau dari lembaga yang berwenang dalam
penyelenggaraan penataan ruang memiliki peranan dan langkah-langkah yang
harus dilakukan antara lain:
1. Penanganan masalah penataan ruang dilaksanakan secara kesatuan
sistem yang terstruktur dengan memantapkan peran gubernur dalam
mengkoordinasikan penataan ruang di daerah.
2. RTRW Provinsi diposisikan sebagai rujukan bagi penyerasian RTRW
Kabupaten/Kota agar konsisten dengan strategi pembangunan nasional.
Bahwa pemberdayaan DPRD dalam penataan ruang untuk terus
ditingkatkan.
3. Dalam rangka peningkatan efektivitas penataan ruang telah diatur sebagai
berikut :
Departemen Dalam Negeri menghimpun segenap produk peraturan
bidang penataan ruang terutama Keputusan Mendagri yang berkaitan
dengan tata ruang guna dievaluasi kembali sesuai ketentuan dan
kebutuhan di lapangan.
Pemerintah mengupayakan berbagai dukungan yang memadai di
bidang penataan ruang untuk menunjang tugas Gubernur dalam
penyelenggaraan penataan ruang terutama bagi kepentingan

Laporan Pendahuluan II - 10
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

monitoring dan evaluasi, pengawasan, penertiban pemanfaatan ruang,


serta supervisi penataan ruang.
Gubernur dan Bupati/Walikota meningkatkan kerjasama kemitraan
dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Pemerintah merumuskan ketentuan hukum yang mengikat sehingga
sanksi penyimpangan pemanfaatan ruang dapat ditindak secara tegas
demi tegaknya hukum di bidang penataan ruang.
Pemerintah segera menyelesaikan revisi UU No. 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang yang selaras dengan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah.

2.1.3.2 Kelembagaan Koordinasi Penataan Ruang Nasional dan Daerah


Dalam melakukan koordinasi antara para pelaku dan penentu kebijakan bidang
pembangunan dan penataan ruang di daerah ada beberapa langkah yang
selama ini dilakukan diantaranya adalah:
1. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) dulu Tim Koordinasi
Penataan Ruang Daerah (TKPRD) sebagai lembaga koordinasi penataan
ruang di daerah, terutama di tingkat provinsi difungsikan untuk
mengamankan berbagai kepentingan nasional.

2. Dalam rangka mengefektifkan peran BKTRN :


Diusulkan untuk menyertakan Menteri Kehutanan dan Menteri
Keuangan, serta menteri dan Kepala LPND terkait lainnya dalam
keanggotaan BKTRN.
BKTRN lebih mengembangkan fungsi-fungsi: (a) koordinasi; (b)
supervisi kepada pemda; (c) pembinaan; (d) mediasi; (e) inisiasi; dan
(f) arbitrasi dalam pelaksanaan tugasnya agar penyelenggaraan
penataan ruang dapat lebih efektif dan efisien.

Laporan Pendahuluan II - 11
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

2.1.3.3 Lingkup, Struktur Oganisasi, Tugas Pokok, dan Kelompok Kerja


BKPRD
Lingkup kelembagaan koordinasi penataan ruang yang dibentuk dengan nama
BKPRD tersebut merupakan badan bersifat ad-hoc untuk membantu
pelaksanaan tugas penataan ruang di daerah.

A. Tata Cara Koordinasi Penataan Ruang


1. Pasal 2 Tugas dan Tanggungjawab koordinasi penataan ruang Provinsi
dilakukan oleh Gubernur.
2. Pasal 3 ayat 1 Pelaksanaan tugas koordinasi penataan ruang Provinsi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dibentuk BKPRD.
3. Pembentukan BKPRD sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oleh
Gubernur.

B. Koordinasi Penataan Ruang Provinsi


(1). BKPRD Provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 susunan
keanggotan terdiri dari :
a. Penanggung jawab : Gubernur
b. Ketua : Wakil Gubernur
c. Ketua Harian : Sekretaris Daerah Provinsi
d. Sekretaris : Kepala BAPEDA Provinsi
e. Wakil Sekretaris : Kepala Dinas yg mengurus Tata Ruang
f. Anggota : Disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan potensi
daerah.

(2). BKPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mempunyai tugas


terdiri dari :
a. Merumuskan berbagai kebijakan penyelenggaraan penataan ruang
Provinsi dengan memperhatikan kebijakan penataan ruang Nasioanal
dan Kabupaten/Kota.

Laporan Pendahuluan II - 12
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

b. Mengkoordinasikan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah


Provinsi.
c. Mengkoordinasikan penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang Kawasan
sesuai dengan kewenangan Provinsi.
d. Mengintegrasikan dan memaduserasikan Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota,
Rencana Tata Ruang Nasioanal, Rencana Tata Ruang Kawasan
Tertentu, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang berbatasan.
e. Memaduserasikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan
Tahunan yang dilakukan Pemerintah Provinsi, Masyarakat dan Dunia
Usaha dengan Rencana Tata Ruang.
f. Melaksanakan kegiatan pengawasan yang meliputi pelaporan , evaluasi,
dan pemantauan penyelenggaraan pemanfaatan ruang.
g. Memberikan rekomendasi penertiban terhadap pemanfaatan ruang
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
h. Memberikan rekomendasi perizinan tata ruang provinsi.
i. Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
j. Mengembangkan informasi penataan ruang provinsi untuk kepentingan
penggunan ruang di jajaran pemerintah, masyarakat, dan swasta.
k. Mensosialisasikan dan menyebarluaskan informasi penataan ruang
Provinsi.
l. Mengkoordinasikan penanganan dan penyelesaian masalah atau konflik
yang timbul dalam penyelenggaraan penataan ruang baik di provinsi
maupun di Kabupaten/Kota, dan memberikan pengarahan serta saran
pemecahannya.
m. Memberikan rekomendasi guna memecahkan masalah atau konflik
pemanfaatan ruang Provinsi dan masalah atau konflik pemanfaatan
ruang yang tidak dapat diselesaikan Kabupaten/Kota

Laporan Pendahuluan II - 13
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

n. Melaksanakan fasilitas, supervisi dan koordinasi dengan Dinas/Instansi


Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, masyarakat dan dunia usaha
berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang
o. Menterpadukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang dengan Kabupaten/Kota dan
Propvinsi sekitarnya.
p. Melakukan evaluasi tahunan atas kinerja penataan ruang provinsi.
q. Menjabarkan petunjuk Gubernur berkenaan dengan pelaksanaan fungsi
dan kewajiban Koordinasi Penyelenggaraan Penataan Ruang Provinsi.
r. Menyampaikan laporan pelaksanaan tugas BKPRD Provinsi secara
berkala kepada Gubernur.

Untuk memperlancar tugas BKPRD Provinsi sebagaimana dimaksud dalam


pasal 4 ayat 1 dibentuk sekretariat, Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang
dan kelompok kerja Pengendalian Pemanfaatan Ruang, dengan penjelasan
sebagai berikut :
(1). Sekretariat BKPRD Provinsi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5
dipimpin oleh Kepala Bidang Bapeda Provinsi yang mengurus Tata Ruang.
(2). Kepala Bidang Bapeda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1
bertanggung jawab kepada sekretaris BKPRD Provinsi.
(3). Sekretariat BKPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1
mempunyai tugas :
a. Menyiapkan bahan dalam rangka kelancaran tugas BKPRD Provinsi.
b. Memfasilitasi terselenggaranya jadwal kerja kegiatan BKPRD Provinsi.
c. Menyiapkan dan mengembangkan informasi tata ruang Provinsi.
d. Menerima pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan terjadinya
pelanggaran dalam penyelenggaraan penataan ruang.

Untuk kelompok kerja perencanaan tata ruang mempunyai susunan


keanggotaan dan tugas sebagai berikut :

Laporan Pendahuluan II - 14
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

(1). Kelompok Perencanaan Tata Ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal


5 mempunyai susunan keanggotaan sebagai berikut :
a. Ketua : Kepala Bidang pada Bapeda yang mengurus Tata
Ruang
b. Wakil Ketua : Kepala Bagian pada Biro Hukum.
c. Sekretaris : Kepala Sub Bidang pada Bapeda yang mengurusi
Tata Ruang
d. Anggot:a : Disesuaiakan dengan tingkat kebutuhan, dan yang
terkait dengan fungsi penyusunan Rencana Tata
Ruang

(2). Kelompok Kerja Perencananaan Tata Ruang sebagaimana dimaksud


pada ayat 1 mempunyai tugas :
a. Memberikan masukan kepada BKPRD Propinsi dalam rangka
perumusan kebijakan penataan ruang provinsi.
b. Mengkoordinasikan yang menjadi wewenang dan tanggung jawab
Provinsi.
c. Mengkoordinasikan dan melakukan fasilitas serta supervisi
penyusunan rencana tata ruang yang menjadi wewenang dan
tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota.
d. Mengkoordinasikan penyusunan RTRW Provinsi dalam rangka
sinkronisasi RTRW Provinsi yang berbatasan.
e. Menginventarisasi dan mengkaji masalah masalah yang timbul
dalam perencanaan serta memberikan alternatif pemecahannya.
f. Melaporkan kegiatan kepada BKPRD Provinsi serta menyampaikan
usulan pemecahan/kebijaksanaan untuk dibahas dalam sidang pleno
BKPRD Provinsi.

Adapun kelompok kerja pengendalian pemanfaatan ruang mempunyaia susunan


keanggotaan dan tugas sebagai berikut :

Laporan Pendahuluan II - 15
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

(1). Kelompok kerja pengendalian Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud


dalam pasal 4 mempunyai susunan keanggotaan terdiri dari :
a. Ketua : Kepala Bagian pada Biro Pemerintah
b. Wakil Ketua : Kepala Sub Dinas yang mengurusi Tata Ruang
c. Sekretais : Kepala Sub Bidang Dinas yang mengurus Tata
Ruang
d. Anggota : Disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan yang
terkait dengan fungsi pengawasan,penertiban, dan
perizinan pemanfaatan ruang.

(2). Kelompok kerja pengendalian Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud


pada ayat 1 mempunyai tugas :
a. Memberikan masukan kepada BKPRD Provinsi dalam rangka
perumusan kebijaksanaan pemanfaatan dan pengendalian ruang
Provinsi.
b. Mengkoordinasikan pengawasan (pemantauaan, evaluasi, dan
pelaporan) terhadap rencana tata ruang.
c. Mengkoordinasikan penertiban dan perizinan pemanfaatan ruang
Provinsi.
d. Menginventarisasikan dan mengkaji masalah masalah yang timbul
dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang serta memberikan
alternatif pemecahannya.
e. Melaporkan kegiatan kepada BKPRD Provinsi serta menyampaikan
usulan pemecahan/kebijaksanaan untuk dibahas dalam sidang pleno
BKPRD Provinsi

Kegiatan lain yang harus dilakukan BKPRD Provinsi sebagai berikut:


(1) BKPRD Provinsi menyelenggarakan pertemuan minimal 1 (satu) kali
dalam 3 (tiga) bulan berupa rapat pleno untuk menghasilkan rekomendasi
alternatif kebijakan penataan ruang.

Laporan Pendahuluan II - 16
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

(2) Hasil rapat pleno sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ditandatangani


oleh Ketua BKPRD Provinsi dan dilaporkan kepada Gubernur sebagai
dasar pengambilan kebijakan.
(3) Gubernur melaporkan Hasil rapat pleno sebagaimana dimaksud pada ayat
2 kepada Menteri Dalam Negeri.

C. Koordinasi Penataan Ruang Kabupaten/Kota


Tugas dan tanggung jawab Koordinasi penataan ruang Kabupaten/Kota
dilakukan oleh Bupati/Walikota. Bupati/Walikota membentuk dan menugaskan
BKPRD untuk melaksanakan tugas Koordinasi Penataan Ruang Daerah
Kabupaten/Kota

BKPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 mempunyai


tugas :
a. Merumuskan dan mengkoordinasikan berbagai Kelompok kerja
pengendalian Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud agari kebijakan
penataan ruang Nasional dan Provinsi.
b. Mengkoordinasikan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota.
c. Mengkoordinasikan penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang dan Rencana
Tata Ruang Kawasan sebagai jabaran lebih lanjut Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota.
d. Mengintegrasikan dan memaduserasikan penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang
berbatasan.
e. Memaduserasikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan
Tahunan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota, Masyarakat dan
Dunia Usaha dengan Rencana Tata Ruang .

Laporan Pendahuluan II - 17
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

f. Mengoptimalkan penyelenggaraan penertiban, pengawasan (pemantauan,


evaluasi, dan pelaporan) dan perizinan pemanfaatan ruang.
g. Melaksanakan kegiatan pengawasan yang meliputi pelaporan evaluasi, dan
pemantauan penyelenggaraan pemanfaatan ruang.
h. Memberikan rekomendasi penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
i. Memberikan rekomendasi perizinan tata ruang Kabupaten/Kota
j. Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
k. Mengembangkan data dan informasi penataan ruang Kabupaten/Kota
untuk kepentingan pengguna ruang dijajaran pemerintah, masyarakat, dan
swasta.
l. Mensosialisasikan dan menyebar luaskan informasi penataan ruang
Kabupaten/Kota.
m. Mengkoordinasikan penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul
dalam penyelenggaraan penataan ruang Kabupaten/Kota, dan memberikan
pengarahan serta saran pemecahannya.
n. Melaksanakan fasilitasi, supervisi kepada Dinas/Instansi, masyarakat dan
dunia usaha berkaitan dengan penataan ruang.
o. Menterpadukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang Kabupaten/Kota dengan Kabupaten
/Kota yang berbatasan.
p. Melakukan evaluasi tahunan atas kinerja penataan ruang Kabupaten /Kota.
q. Menjabarkan petujuk Bupati/Walikota berkenaan dengan pelaksanaan
fungsi dan kewajiban Koordinasi Penyelenggaran Penataan Ruang
Kabupaten/Kota.
r. Menyampaikan laporan pelaksanan tugas BKPRD Kabupaten/Kota secara
berkala kepada Bupati/Walikota.

Laporan Pendahuluan II - 18
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

Adapun susunan keanggotaan BKPRD Kabupaten/Kota sebagai berikut:

(1). BKPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 susunan


keanggotaan terdiri dari :
a. Penanggung jawab : Bupati/Walikota
b. Ketua : Wakil Bupati/Walikota
c. ketua Harian : Sekretaris Daerah
d. Sekretaris : Kepala Bapeda
e. Wakil Sekretaris : Kepala Dinas yang mengurusi Tata Ruang
f. Anggota : Disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan
potensi Daerah

(2). BKPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1, membentuk


sekretariat, Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang, dan Kelompok Kerja
Pengendalian Pemanfaatan Ruang.

Sedangkan tugas dari BKPRD Kabupaten/Kota sebagai berikut:

(1). Sekretaris BKPRD Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11


ayat 2 bertanggung jawab kepada Sekretaris BKPRD Kabupaten/Kota dan
dipimpin oleh Kepala Bidang Bapeda Kabupaten/Kota yang mengurus Tata
Ruang.

(2) Sekretariat BKPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat 1


mempunyai tugas :
a. Menyiapkan bahan dalam rangka kelancaran tugas BKPRD Kab/Kota
b. Memfasilitasi terselenggaranya jadwal kerja kegiatan BKPRD Kab/Kota
c. Menyiapkan dan mengembangkan informasi tata ruang Kab/Kota
d. Menerima pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan terjadinya
pelanggaran dalam penyelenggraa penataan ruang.

Laporan Pendahuluan II - 19
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

2.2 KONDISI TKPRD / BKPRD DI WILAYAH TENGAH


Sudah seharusnya keberadaan TKPRD / BKPRD terdapat di masing-masing
Propinsi bahkan tiap kabupaten / kota, hal ini mengingat mulai diberlakukannya
UU No. 24 tahun 1992 tentang penataan ruang.

Namun keberadaan lembaga ini sangatlah bergantung kepada kemauan politik


(good will) dari masing-masing daerah, sehingga keberadaan dan kegiatan dari
lembaga ini sangat bervariatip. Hal ini tercermin dari kondisi TKPRD / BKPRD di
masing-masing wilayah propinsi diwilayah tengah, seperti diperlihatkan pada
tabel berikut.

Tabel. STATUS TKPRD WILAYAH TENGAH


No. Nama Lembaga Dasar Keterangan
Berfungsi tetapi
1 TKPRD Prop. Banten
Kurang Efektif
InMenDagri Berfungsi tetapi
2 TKPRD Prop. DKI Jakarta
No. 19 Th. 1996 Kurang Efektif
InMenDagri Berfungsi tetapi
3 TKPRD Prop. Jabar
No. 19 Th. 1996 Kurang Efektif
InMenDagri Berfungsi tetapi
4 TKPRD Prop. Jateng
No. 19 Th. 1996 Kurang Efektif
SK. GUB. DIY. Berfungsi tetapi
5 TKPRD Prop. DI Yogyakarta
No. 24/TIM/2002 Kurang Efektif
SK. GUB. Jatim.
Berfungsi tetapi
6 TKPRD Prop. Jatim No. 49 Th. 1997
Kurang Efektif
29 April 1997

InMenDagri
7 TKPRD Prop. Kalbar Berfungsi
No. 19 Th. 1996
InMenDagri
8 TKPRD Prop. Kalteng Berfungsi
No. 19 Th. 1996
InMenDagri Berfungsi tetapi
9 TKPRD Prop. Kalsel
No. 19 Th. 1996 Kurang Efektif

InMenDagri Berfungsi tetapi


10 TKPRD Prop. Kaltim
No. 19 Th. 1996 Kurang Efektif

Sumber : Keterpaduan Penataan Ruang Wilayah Tengah 2003

Laporan Pendahuluan II - 20
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

2.3 ISSUE PENATAAN RUANG


Keberadaan UU. No. 24 th 1992 tentang tata ruang hingga saat ini masih belum
memberikan pengaruh effektif bagi kegiatan pembangunan yang berkelanjutan.

Hal ini tercermin dari berbagai issue yang timbul antara lain : issue strategis
Penataan Ruang Nasional, permasalahan umum nasional dan issue Penataan
Ruang Wilayah Tengah.

2.3.1 Issue Strategis Penataan Ruang Nasional


Beberapa issue strategis dalam penyelenggaraan penataan ruang nasional,
adalah sebagai berikut :
a) Terjadinya konflik kepentingan antar-sektor dan antar wilayah, seperti
pertambangan, lingkungan hidup, kehutanan, prasarana wilayah, dan
sebagainya,
b) Belum berfungsinya secara optimal penataan ruang dalam rangka
menyelaraskan, mensinkronkan, dan memadukan berbagai rencana dan
program sektor tadi,
c) Terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari ketentuan dan norma
yang seharusnya ditegakkan. Penyebabnya adalah inkonsistensi kebijakan
terhadap rencana tata ruang serta kelemahan dalam pengendalian
pembangunan,
d) Degradasi lingkungan akibat penyimpangan tata ruang, baik di darat, laut
dan udara,
e) Belum tersedianya alokasi fungsi-fungsi yang tegas dalam RTRWN,
f) Dukungan terhadap pengembangan wilayah belum optimal, seperti
diindikasikan dari minimnya dukungan kebijakan sektor terhadap
pengembangan kawasan-kawasan strategis nasional dalam RTRWN seperti
kawasan perbatasan negara, kawasan andalan, dan KAPET.

Laporan Pendahuluan II - 21
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

2.3.2 Permasalahan Umum Nasional


1). Menurunnya kualitas lingkungan.
a. Di Pulau Jawa misalnya, hutan lindungnya telah terkonversi dengan laju
sebesar 19.000 ha/tahun (BPS, 2001). Bahkan Badan Planologi
Kehutanan menyebutkan bahwa hingga 2001 penjarahan hutan di Jawa
telah mencapai 350.000 ha sehingga luas hutan tersisa 23% saja dari
luas daratan Pulau Jawa. Selain itu, terjadi konversi lahan pertanian
untuk penggunaan non-pertanian seperti untuk industri, permukiman
dan jasa di Pulau Jawa yang mencapai 1.002.005 ha atau 50.100
ha/tahun antara 1979 1999 (Deptan, 2001).
b. Penurunan luas kawasan resapan air pada pulau-pulau besar yang
signifikan.
Hutan tropis, misalnya, sebagai kawasan resapan air telah berkurang
luasannya baik akibat kebakaran maupun akibat penjarahan/
penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown International
Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun
waktu 19971998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di
Pulau Sumatra dan Kalimantan. Bahkan WWF (2000) menyebutkan
angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada
periode yang sama. Jika tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka
kerusakan hutan yang berfungsi lindung akan menyebabkan run-off
yang besar, mengganggu siklus hidrologis, memperluas kelangkaan air
bersih pada jangka panjang, dan meningkatkan resiko pendangkalan
dan banjir pada kawasan muara sungai dan pesisir .
c. Kondisi satuan-satuan wilayah sungai di Indonesia telah berada pada
kondisi yang mengkhawatirkan.
Dari keseluruhan 89 SWS yang ada di Indonesia, hingga tahun 1984
saja telah terdapat 22 SWS berada dalam kondisi kritis. Pada tahun
1992, kondisi ini semakin meluas hingga menjadi 39 SWS.
Perkembangan yang buruk terus meluas hingga tahun 1998, dimana 59

Laporan Pendahuluan II - 22
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

SWS di Indonesia telah berada dalam kondisi kritis, termasuk hampir


seluruh SWS di Pulau Jawa.
Seluruh SWS kritis tersebut selain mendatangkan bencana banjir besar
pada musim hujan, juga sebaliknya menyebabkan kekeringan yang
parah pada musim kemarau. Dari sisi ketahanan pangan, kekritisan
satuan-satuan wilayah sungai telah memberikan sinyal yang nyata
bahwa apabila kecenderungan negatif dalam pengelolaan SWS tersebut
terus berlanjut, maka produktivitas sentra-sentra pangan yang terletak di
SWS-SWS potensial (seperti Citarum, Sadang, Brantas, dsb) akan
terancam pula.
d. Pada kawasan pesisir telah terjadi degradasi kualitas lingkungan yang
serius.
Pertama dengan adanya penurunan hutan mangrove di Indonesia dari
luas 5.209.543 ha (1982) menjadi 3.235.700 ha (1987) hingga
2.496.185 ha (1993). Dalam 10 tahun (1982-1993), terjadi penurunan
hutan mangrove 50% dari total luasan semula. Apabila hutan
mangrove tidak dapat dipertahankan maka pertama abrasi pantai,
pencemaran dari sungai ke laut, dan zona aquaculture pun akan
terancam. Kedua adalah intrusi air laut yang diakibatkan oleh kenaikan
muka air laut serta land subsidence akibat penghisapan air tanah secara
berlebihan. Contoh, antara 2050 hingga 2070, intrusi air laut akan
mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
Ketiga adalah hilangnya ekosistem terumbu karang yang merupakan
tempat pemijahan (breeding and nursery ground) bagi
perkembangbiakan ikan-ikan. Keempat adalah ancaman dampak global
warming berupa gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi kawasan,
diantaranya adalah : (a) jalan lintas dan KA di Pantura Jawa dan Pantai
Timur-Selatan Sumatera ; (b) permukiman penduduk pada wilayah
Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan,
Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c)

Laporan Pendahuluan II - 23
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

hilangnya sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta ha;
sentra produksi pangan (4 %) terancam alih fungsi lahan, dan (d)
penurunan produktivitas sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum,
Brantas, dan Saddang.

2). Ketimpangan pertumbuhan


Isu berikutnya yang sangat serius adalah mengenai kenaikan jumlah
penduduk perkotaan (urban era). Data menunjukkan bahwa jumlah
penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup
pesat dari 32,8 juta atau 22,3% dari total penduduk nasional (1980),
meningkat menjadi 55,4 juta atau 30,9% (1990), dan dari 74 juta atau 37%
(1998), menjadi 90 juta jiwa atau 44% (2002). Diperkirakan akan mencapai
angka 150 juta atau 60% dari total penduduk nasional (2015) dengan laju
pertumbuhan penduduk kota rata-rata 4,49% (1990-1995).

3) Ketimpangan Informasi
Persepsi yang berbeda mengenai hak dan kewajiban dari masyarakat
seringkali menghadirkan konflik pemanfaatan ruang yang sulit dicarikan
solusinya, tingginya transaction cost, dan cenderung merugikan kepentingan
publik. Hal lainnya adalah menyangkut tatacara penyampaian aspirasi agar
berbagai kepentingan seluruh stakeholders dapat terakomodasi secara adil,
efektif, dan seimbang. Pelibatan masyarakat perlu dikembangkan
berdasarkan konsensus yang disepakati bersama serta dilakukan dengan
memperhatikan karakteristik sosial-budaya setempat (local unique). Dalam
konteks ini pembinaan peran serta masyarakat dalam penataan ruang.
Dukungan teknologi informasi dalam proses pengambilan keputusan atau
intervensi kebijakan penataan ruang belum dioptimalkan pemanfaatannya,
walaupun kompleksitas permasalahan pengembangan wilayah yang
dihadapi telah nyata. Era otonomi daerah akan menempatkan masing-
masing wilayah otonom dalam iklim kompetisi yang ketat. Eksistensi suatu

Laporan Pendahuluan II - 24
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

wilayah dalam hal ini sangat ditentukan oleh kemampuan para pengambil
keputusan dalam mengatasi kekurangan dan memanfaatkan kelebihan yang
dimilikinya dengan optimal. Untuk itu, salah satu kunci sukses terletak pada
kecepatan mengakses informasi, melakukan analisis dan penyesuaian
kebijakan pembangunan wilayahnya.
Kompatibilitas dan kesesuaian standar peta yang digunakan dalam
perencanaan tata ruang wilayah di masing-masing wilayah otonom
merupakan salah satu prasyarat terwujudnya keterpaduan dalam
pengelolaan sumber daya. Untuk itu, PP No. 10 tahun 2000 tentang
ketelitian peta diharapkan dapat mensinergikan peta-peta yang digunakan
untuk penataan ruang wilayah sehingga ke depan dapat menjadi sistem
informasi yang handal untuk penataan ruang wilayah tersebut. Untuk itu, PP
No 10 tahun 2000 ini masih perlu disosialisasikan agar jelas manfaatnya dan
mendorong BAKOSURTANAL dan instansi terkait dengan penataan ruang
untuk siap melayani kebutuhan akan pengadaan peta dasar wilayah, peta
tematik dan informasi digital lainnya.

2.3.3 Isue Penataan Ruang (umum) Wilayah Tengah


Wilayah tengah yang meliputi 10 propinsi merupakan kombinasi dari : (menurut
ALKI = Alur Kepulauan Indonesia) kawasan telah berkembang, yaitu propinsi di
Pulau Jawa dan kawasan mulai berkembang, yaitu propinsi di Pulau Kalimantan.

Keadaan ini memberikan kondisi permasalahan yang kompleks dari semua


aspek kegiatan, baik aspek politik, social, ekonomi, dan lingkungan. Isue tersebut
antara lain :

a. Kawasan telah Berkembang ( Propinsi di Pulau Jawa).


Isue tersebut di kawasan ini antara lain :
Pesatnya alih fungsi lahan, dari lahan pertanian ke lahan non pertanian
(Industri, Permukiman).

Laporan Pendahuluan II - 25
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

Kemacetan lalu-lintas di kota-kota metropolitan dan kota besar.


Menurunnya kualitas lingkungan, dengan merebaknya kawasan kumuh,
ancaman banjir, degradasi kualitas air, tanah dan udara.
Mengancam sosial kapital, seperti : kemiskinan dan pengangguran
pekerjaan,dan kriminalitas.
Memburuknya kualitas pengguna air bersih.

b. Kawasan mulai Berkembang (Propinsi di Pulau Kalimantan).


Ketimpangan pertumbuhan perkotaan dan perdesaan.
Menurunnya kualitas lingkungan akibat pembukaan lahan 1 juta Ha.
Kawasan perbatasan, terpencil dan pesisir pantai.
Persoalan pengelolaan lahan antar sektor yang berkepentingan.
Terbatasnya sumber daya manusia.
Terbatasnya transportasi darat.
Peluang kerusuhan sosial.

2.4 KONDISI PENATAAN RUANG, KELEMBAGAAN PENATAAN


RUANG DAN PERMASALAHAN WILAYAH DI 10 PROVINSI
WILAYAH TENGAH
2.4.1. Keberadaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kab/Kota di 10 Provinsi
Wilayah Tengah.

A. Masa berlaku

A.1 RTRW Kabupaten


Gambaran Presentase Status RTRW Kabupaten yang masih
berlaku 61% dari RTRW Kab. 118 Yang telah disusun
Persentase paling tinggi Provinsi. Kal-Tim ( 89% )
Persentase terendah Provinsi. DKI ( 0% )

A.2 RTRW Kota


Gambaran Presentase Status RTRW Kota yang masih berlaku

Laporan Pendahuluan II - 26
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

75% dari RTRW Kota di 40 Kota


Persentase paling tinggi Provinsi Banten, DKI, Kalbar, Kalteng,
Kaltim, dan Kalsel (100% )
Persentase paling rendah DIY (0%)

B. Status Perda

B.1. RTRW Kabupaten


Status Perda dari suatu RTRW, merupakan salah satu indikator
kemauan daerah untuk pelaksanaan UU Penataan Ruang.
Dari 118 Kab. di Wialayah Tengah baru 18% yang telah
diperdakan.
Jumlah % paling tinggi untuk RTRW Kab. yang telah di Perdakan
adalah Provinsi Jawa Barat ( 60% ), terendah adalah untuk
Provinsi DKI, DIY, dan Provinsi Kalimantan Barat ( 0%)

B.2. RTRW Kota


Jumlah RTRW Kota yang terdapat di Provinsi Wilayah Tengah
yang telah Di Perdakan 65,2%
Jumlah terbanyak di Provinsi Banten, DKI, Kalbar, Kalteng, dan
Kaltim ( 100% )
Jumlah terendah di Provinsi DIY ( 0% ).

Secara rinci Status RTRW Kabupaten dan Kota dapat dilihat pada lampiran 3
.
2.4.2. Kondisi Kelembagaan TKPRD Provinsi Tahun 2003

A. Dasar Hukum Pembentukan TKPRD

7 Provinsi di bentuk berdasarkan Inmendagri No. 19 Th 1996. dan


2 Propvinsi dibentuk berdasarkan Intruksi Gubernur, masing-
masing :
TKPRD Provinsi Jatim SK.Gub. No. 49 Th 1997
TKPRD Provinsi DIY SK. Gub. No. 24 /Tim/2002
1 Provinsi belum didapatkan impormasi dasar hukum
pembentukannya yaitu Provinsi Banten

B. Kondisi kegiatan
Pengertian kondisi kegiatan mengacu kepada status kegiatan
berupa, Berfunngsi, dan atau belum efektif, masing-masing hanya
2 Provinsi yaitu : Provinsi Kalbar, Kalteng yang dianggap berfungsi,
sedangkan 8 Provinsi lainnya dalam status berfungsi tapi tidak
efektif

2.4.3. Permasalahan terkait dengan pengembangan Wilayah

Laporan Pendahuluan II - 27
Bantuan Teknis Operasionalisasi
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) di Wilayah Tengah

Permasalahan yang dihadapi Provinsi berkaitan dengan


pemgembangan Wilayah di masing-masing Provinsi di Wilayah
Tengah.
Dari 10 Provinsi di Wilayah Tengah baru 7 Provinsi (sementara)
yang mendapatkan permasalahan dalam kaitan dengan
pengembangan Wilayah yaitu :

No. Provinsi Permasalahan berkaitan dengan Pengembangan Wilayah

01. Jawa Barat Kurangnya Koordinasi BKTRN BKTRD


Bantek BKTRN kepada TKPRD
Pada serasi antar RTRW dengan RTRWN dan sosialisasi RTRWN,
Provinsi, Kab/kota
Penyusunan peta tematik Tata Ruang wilayah berbasis SIG Provinsi
02. DIY Ketimpangan tingkat pengembangan Yogya bagian utara dan selatan

03. Jawa Timur Perlu Bantek penyusunan Gerbang Kertasusila dan Jatim bagian selatan

04. Kal - Barat Ketimpangan perkembangan sepanjang perbatasan RI Malaysia


Terbatasnya Prasarana Jalan
Kota sebagai parasit terhadap desa sekitarnya
Ekploitasi SDA berlebihan
05. Kal -Tengah Perlu dikaji ulang kesesuainya ( RTRW Provinsi )

06. Kal -Timur Ketimpangan perkembangan Wilayah perbatasan RI Malaysia


Terbatasnya dukungan SDM
Pembenahan Birokrasi untuk implementasi RTRW Provinsi
Belum ada batas wilayah Administrasi yang berlaku
07. Kal -Selatan Perlu Bantek penanganan kembali RTRW Provinsi dan pengembangan
Kawasan Andalan Kandangan

Laporan Pendahuluan II - 28

Anda mungkin juga menyukai