Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Poliomyelitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh
virus dan sering dikenal dengan nama flaccid paralysis acute (AFP). Agen
pembawa penyakit ini adalah virus yang dinamakan poliovirus (PV) yang
terjadi didalam saluran pencernaan yang menyebar ke kelenjar limfe
regional dan sebagian kecil menyebar ke sistem saraf dengan predileksi
pada sel anterior masa kelabu sumsum tulang belakang dan inti motorik
batang otak dan akibat kerusakan bagian susunan saraf pusat tersebut akan
terjadi kelumpuhan dan atrofi otot. Sejumlah besar penderita meninggal
karena tidak dapat menggerakkan otot pernapasan. Di Indonesia banyak
dijumpai penyakit polio terlebih pada anak-anak hal ini disebabkan oleh
asupan gizi yang kurang. ( 1,2 )
Penyakit polio dapat menyerang semua usia, namun kelompok
umur yang paling rentan adalah usia 1-5 tahun dari semua kasus polio.
Penelitian menyebutkan bahwa sekitar 33,3% dari kasus polio adalah
anak-anak dibawah usia 5 tahun. Infeksi golongan enterovirus lebih
banyak terjadi pada laki-laki dari pada wanita dengan perbandingan (2:1).
Resiko kelumpuhan meningkat pada usia yang lebih tinggi terutama bila
menyerang individu yang berusia lebih dari 15 tahun. WHO
memperkirakan adanya 140.000 kasus baru dari kelumpuhan yang
diakibatkan oleh poliomyelitis sejak tahun 1992 dengan jumlah
keseluruhan penderita anak yang mengalami kelumpuhan akibat infeksi ini
diperkirakan 10-20 juta anak.( 4,5 )
Dalam melakukan pencegahan poliomyelitis tentu saja harus
mengetahui etiologi dan patofisiologi yang menyertai perjalanan penyakit
agar intervensi yang dilakukan tepat dan sesuai dengan karakteristik
penyakit. Oleh karena itu makalah ini disusun untuk memaparkan
penyakit dan kelainan yang timbul berkaitan dengan poliomyelitis yang
tepat untuk penderita poliomyelitis.

1
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui
segala hal yang berkaitan dengan Poliomielitis. Mulai dari hal yang umum
seperti definisi, etiologi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis dan
perjalanan penyakit, diagnosis, pengobatan, pencegahan dan prognosis
serta membahas mengenai vaksin dan eradikasi polio.(2)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Terminologi


Penyakit polio adalah penyakit infeksi paralisis yang disebabkan oleh
virus. Agen pembawa penyakit ini sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),
masuk kedalam tubuh melalui mulut dan menginfeksi system pencernaan. Virus
ini dapat memasuki aliran darah dan masuk ke sistem saraf pusat yang
mengakibatkan terjadinya kelemahan otot dan terkadang menyebabkan
kelumpuhan. Infeksi virus polio terjadi didalam saluran pencernaan yang
menyebar ke kelenjar limfe regional terjadi sebagian kecil penyebarannya ke
sistem saraf. Sistem saraf yang diserang adalah saraf motorik otak bagian grey
matter dan kadang-kadang menimbulkan kelumpuhan.(1,2,3,4)

2.2 Etiologi
Poliomielitis disebabkan oleh infeksi virus dari genus enterovirus yang
dikenal sebagai poliovirus (PV). Virus yang tergolong virus RNA ini biasanya
berada di traktus digestivus. PV hanya menginfeksi dan menyebabkan manifestasi
penyakit pada manusia. Strukturnya sederhana, tersusun oleh satu genom RNA
yang terbungkus protein yang disebut capsid. Selain melindungi materi genetic
dari virus tersebut, protein capsid memungkinkan PV untuk menyerang beberapa
jenis sel lain.
Ada 3 serotipe yang telah diidentifikasi yakni tipe 1 (PV1, Bruhilde), tipe
2 (PV2, Lansing) dan tipe 3 (PV3, Leon). Masing-masing memiliki protein capsid
yang sedikit berbeda. Ketiganya sangat virulen dan menyebabkan gejala yang
sama. Walaupun demikian PV1 adalah strain yang paling sering ditemukan, dan
paling sering menyebabkan kelumpuhan.
Suatu infeksi poliomyelitis dapat disebabkan satu atau lebih tipe tersebut,
yang dapat dibuktikan dengan 3 macam zat anti dalam serum penderita. Epidemi
yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh Tipe 1, Tipe 3 menyebabkan
epidemic ringan, sedang Tipe 2 menyebabkan epidemic sporadic.

3
Poliovirus menyebar dari Tractus Intestinal ke sistem saraf pusat dimana
mengakibatkan meningitis aseptic dan poliomyelitis. Poliovirus cukup kuat dan
bisa bertahan aktif selama beberapa hari dengan suhu kamar, dan bias tersimpan
dalam suhu -20oC. Poliovirus menjadi tidak aktif bila terkena panas, formaldehid,
klorin dan sinar ultraviolet. Virus ini juga tumbuh baik di berbagai biakkan
jaringan dan mengakibatkan efek sitopatik dengan cepat.
Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-tahun
dalam deep freeze. Dapat tahan terhadap banyak bahan kimia termasuk
sulfonamide, antibiotic (streptomisin, penisilin, kloromisetin), eter, fenol, dan
gliserin. Virus dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan
pemberian zat oksidator kuat seperti peroksida atau kalium permanganate.
Reservoir alamiah satu-satunya ialah manusia, walaupun virus juga terdapat pada
sampah atau lalat.
Masa inkubasi biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang-kadang terdapat
kasus dengan inkubasi antara 3-35 hari.(2,4,6)

Gambar.1 Poliovirus

4
2.3 Epidemiologi
Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat
transmisi virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negara-negara Barat,
eliminasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar di
seluruh dunia, kecuali beberapa Negara yang sampai saat ini masih ada transmisi
virus polio liar yaitu India, Timur Tengah dan Afrika. Reservoir virus polio liar
hanya pada manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa
gejala.
Goar (1955) dalam uraiannya tentang poliomyelitis di Negara berkembang
dengan sanitasi yang kurang baik berkesimpulan bahwa pada daerah-daerah
tersebut epidemic poliomyelitis ditemukan pada 90% anak bawah umur 5 tahun.
Ini disebabkan penduduk telah mendapatkan infeksi atau imunitas pada masa
anak, sehingga seperti juga halnya Indonesia penyakit ini jarang ditemui pada
dewasa. Selama tahun 1953-1957 di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM,
dari 21 penderita, 67% diantaranya berusia 1-5 tahun.(3,7)
Dari tahun 1996 sampai tahun 2005 negara Indonesia pernah dikatakan
bebas polio, tetapi pada bulan maret tahun 2005 sebuah kasus AFP tercatat dan
dalam waktu 23 minggu virus terus menyebar ke 4 provinsi di Jawa dan 2 provinsi
di Sumatra. Pada bulan April 2005 dilakukan isolasi terhadap virus ini yang
diambil dari pemeriksaan tinja dari penderita yang berada di daerah Sukabumi,
dan ditemukan merupakan virus polio liar tipe 1 yang merupakan virus impor
strain Nigeria yang masuk ke Indonesia melalui jalur Timur Tengah dan juga
menjadi penyebab terjadinya outbreak di Indonesia. Transmisi virus polio liar
tertinggi terjadi dari bulan Mei Juni tahun 2005 dan transmisi rendah mulai
bulan Oktober 2005. Ditemukan jumlah kasus polio liar mencapai 305 penderita
tersebar di 47 kabupaten. Selain itu juga ditemukan 46 kasus VDPV dimana 45
kasus terjadi di Pulau Madura (4 kabupaten) dan 1 kasus di probolinggo.
Setelah dilakukan upaya penguatan imunisasi rutin dan tambahan (PIN)
yang intensif, jumlah kasus polio liar menurun. Pada tahun 2006 hanya ditemukan
2 kasus. Kasus terakhir (virus polio liar tipe 1) ditemukan di Kabupaten Aceh
Tenggara Provinsi Aceh dengan onset tanggal 2 Februari 2006. Dua setengah
tahun setelah kasus terakhir, belum ada lagi kasus baru yang dilaporkan.(7,8)

5
Gambar.2 Epidemiologi Poliomielitis (diambil dari
http://journals.cambridge.org/fulltext_content/ERM/ERM1_13/S14623994990008
48sup022.gif)

Sejak tahun 1980, Indonesia telah mengenal program imunisasi polio


dengan Oral Polio Vaccine (OPV). Dan sejak tahun 1990 telah mencapai UCI
(universal of child immunization).
Poliomielitis jarang ditemui pada usia kurang dari 6 bulan, mungkin
karena imunitas pasif yang didapat dari ibunya, walaupun poliomyelitis pada bayi
baru lahir pernah dilaporkan. Penyakit dapat ditularkan oleh karier sehat atau
kasus abortif. Bila virus prevalen pada suatu daerah, maka penyakit ini dapat
dipercepat penyebarannya dengan tindakkan operasi seperti tonsilektomi,
ekstraksi gigi yang merupakan port d entre atau penyuntikkan.(4)

2.4 Patogenesis dan Patologi


Kerusakan saraf merupakan ciri khas poliomyelitis, virus berkembang biak
pertama kali didalam dinding faring atau saluran cerna bagian bawah, virus tahan
terhadap asam lambung, maka bisa mencapai saluran cerna bawah tanpa melalui
inaktivasi. Dari faring setelah bermultiplikasi, menyebar ke jaringan limfe dan
pembuluh darah. Virus dapat dideteksi pada nasofaring setelah 24 jam sampai 3-4
minggu.

6
Dalam keadaan ini timbul: 1. perkembangan virus, 2. tubuh bereaksi
membentuk antibody spesifik. Bila pembentukkan zat anti tubuh mencukupi dan
cepat maka virus dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau
tidak terdapat sama sekali dan timbul imunitas terhadap virus tersebut. Bila
proliferasi virus tersebut lebih cepat daripada pembentukkan zat anti, maka akan
timbul viremia dan gejala klinis.
Infeksi pada susunan saraf pusat terjadi akibat replikasi cepat virus ini.
Virus polio menempel dan berkembang biak pada sel usus yang mengandung
polioviruses receptor (PVR) dan telah berkoloni dalam waktu kurang dari 3 jam.
Sekali terjadi perlekatan antara virion dan replikator, pelepasan virion baru hanya
butuh 4-5 jam saja.
Daerah yang biasanya terkena lesi pada poliomyelitis ialah:
1. Medulla spinalis terutama kornu anterior
2. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta
formation retikularis yang mengandung pusat vital
3. Serebelum terutama inti-inti pada vermis
4. Midbrain terutama masa kelabu, substantia nigra dan kadang-kadang
nucleus rubra
5. Talamus dan hipotalamus
6. Palidum
7. Korteks serebri, hanya daerah motorik
Gambaran patologik menunjukkan adanya reaksi peradangan pada system
retikuloendotelial, terutama jaringan limfe, kerusakan terjadi pada sel motor
neuron karena virus ini sangat neurotropik, tetapi tidak menyerang neuroglia,
myelin atau pembuluh darah besar. Terjadi juga peradangan pada sekitar sel yang
terinfeksi sehingga kerusakkan sel makin luas. Kerusakan pada sumsum tulang
belakang, terutama terjadi pada anterior horn cell, pada otak kerusakan terutama
terjadi pada sel motor neuron formasi retikuler dari pons dan medulla, nuclei
vestibules, serebellum, sedang lesi pada korteks hanya merusak daerah motor dan
premotor saja. Pada jenis bulber, lesi terutama mengenai medulla yang berisi
nuclei motorik dari saraf otak. Replikasi pada sel motor neuron di SSP akan
menyebabkan kerusakan permanen.

7
Virus masuk ke susunan saraf melalui sawar darah otak (blood brain
barrier) dengan berbagai cara yaitu :
Transport pasif dengan cara piknositosis
Infeksi dari endotel kapiler
Dengan bantuan sel mononuclear yang mengadakan transmisi ke dalam
susunan saraf pusat.
Kemungkinan lain melalui saraf perifer, transport melalui akson atau
penyebaran melalui jaras olfaktorius.(1,3,4,5)

2.5 Gejala Klinis


Tanda-tanda klinis yang timbul akan sesuai dengan kerusakan anatomic
yang terjadi. Biasanya, masa inkubasin adalah 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi
dalam waktu 7-21 hari. Replikasi di motor neuron terutama terjadi di sumsum
tulang belakang yang menimbulkan kerusakan sel dan kelumpuhan serta atrofi
otot, sedang virus yang berkembang biak di batang otak akan menyebabkan
kelumpuhan bulbar dan kelumpuhan pernafasan.
Pada setiap anak yang datang dengan panas disertai dengan kesulitan
menekuk leher dan punggung, kekakuan otot yang diperjelas dengan tanda head
drop, tanda tripod saat duduk, tanda brudzinsky dan Kernique, harus dicurigai
adanya poliomyelitis.(7)
Infeksi virus polio pada manusia sangat bervariasi, dari gejala yang ringan
sampai terjadi paralysis. Infeksi virus polio dapat diklasifikasikan menjadi minor
illnesses (gejala ringan) dan major illnesses (gejala berat, baik paralitik, maupun
non-paralitik). Gejala lumpuh layuh (paralisis) yang dapat ditemukan pada anak,
gejalanya bervariasi antara lain :
a) Berjalan pincang atau tidak dapat berjalan
b) Tidak dapat meloncat menggunakan satu kaki
c) Tidak dapat berjongkok lalu berdiri lagi
d) Tidak dapat berjalan pada ujung jari atau tumit
e) Tidak dapat mengangkat kakinya saat ditempat tidur
f) Terasa lemas, tidak ada tahanan
g) Kaki mengecil (atrofi otot)

8
Gambar 4. Gejala klinis poliomyelitis

Minor Illnesses
1. Asimtomatis (silent infection)
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka tidak
terdapat gejala klinis sama sekali. Pada suatu epidemic diperkirakan
terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap
virus tersebut. Merupakan proporsi kasus terbanyak (72%).
2. Poliomielitis abortif
Diduga secara klinis hanya pada daerah yang terserang epidemic, terutama
yang diketahui kontak dengan penderita poliomyelitis yang jelas.
Diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu epidemi. Timbul
mendadak, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Biasanya
sekitar 2-10 hari. Gejala berupa infeksi virus, seperti malaise, anoreksia,
nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, konstipasi dan nyeri
abdomen. Diagnosis pasti hanya bias dengan menemukan virus di biakan
jaringan.
Diagnosis banding : influenza atau infeksi bakteri daerah nasofaring

9
Major Illnesses
1. Poliomielitis non-paralitik (Meningitis Aseptik Non-paralitik)
Gejala klinis sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala,
nausea dan muntah lebih berat. Gejala-gejala ini timbul 1-2 hari, kadang-
kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam
atau masuk dalam fase kedua dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini
adalah adanya nyeri atau kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai
dengan hipertonia mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak,
ganglion spinal dan kolumna posterior. Bila anak berusaha duduk dari
posisi tidur, maka ia akan menekuk kedua lutut ke atas sedangkan kedua
tangan menunjang kebelakang pada tempat tidur (Tripod sign) dan terlihat
kekakuan otot spinal oleh spasme, Kaku kuduk terlihat secara pasif dengan
Kernig dan Brudzinsky yang positif. Head drop yaitu bila tubuh
penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak sehingga
menyebabkan kepala terjatuh ke belakang. Refleks tendon biasanya tidak
berubah dan bila terdapat perubahan maka kemungkinan akan terdapat
poliomyelitis paralitik. Diagnosis Banding dengan meningitis serosa,
meningismus, tonsillitis akut yang berhubungan dengan adenitis servikalis.
2. Poliomielitis paralitik
Gejala yang terdapat pada poliomyelitis non-paralitik disertai kelemahan
satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis akut.
Pada bayi ditemukan paralysis vesika urinaria dan atonia usus.
Secara klinis dapat dibedakan beberapa bentuk sesuai dengan tingginya
lesi pada susunan saraf :
a. Bentuk spinal
Dengan gejala kelemahan/paralysis/paresis otot leher, abdomen, tubuh,
diafragma, toraks dan terbanyak ekstremitas bawah. Tersering otot
besar, pada tungkai bawah otot kuadriceps femoris, pada lengan otot
deltoideus. Sifat paralisis asimetris. Refleks tendon
mengurang/menghilang. Tidak terdapat gangguan sensibilitas.

10
Gambar. 5 Letak motor neuron pada kornu anterior Medulla Spinalis

Diagnosis banding :
Pseudoparalisis non neurogen : tidak ada kaku kuduk, tidak ada
pleiositosis. Disebabkan oleh trauma/kontusio, demam
reumatik akut, osteomielitis.
Polyneuritis: gejala para plegi dengan gangguan sensibilitas,
dapat dengan paralysis palatum molle dan gangguan otot bola
mata
Poliradikuloneuritis (Sindrom Guillain Barre): Biasanya
diawali demam, paralysis tidak akut tapi perlahan-lahan,
bilateral simetris, pada fase permulaan likuor serebrospinalis
SGB protein meningkat sedangkan Poliomielitis pleiositosis,
SGB bias sembuh tanpa gejala sisa, SGB ada gangguan
sensorik
Miopatia (kelainan progresif dari otot-otot dengan paralysis
dan kelelahan disertai rasa nyeri).(2,7,8)

Gambar. 6 Gambar penderita Poliomielitis

11
b. Bentuk bulbar
terjadi akibat kerusakan motorneuron pada batang otak sehingga
terjadi insufisiensi pernafasan, kesulitan menelan, tersedak, kesulitan
makan, kelumpuhan pita suara dan kesulitan bicara. Saraf otak yang
terkena adalah saraf V, IX, X, XI dan kemudian VII. Sebagaimana
kelainan saraf lainnya, tidak dapat digantikan atau diperbaiki.
Perbaikan secara klinik terjadi akibat kerja neuron yang rusak akan
diambil oleh neuron yang berdekatan (sprouting) atau alih fungsi oleh
otot lain atau perbaikan sisa otot yang masih berfungsi.
Gangguan motorik satu atau lebih saraf otak dengan atau tanpa
gangguan pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi

Gambar.7 Lokasi dari region bulbar

c. Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbar

d. Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium, kesadaran yang menurun, tremor dan
kadang-kadang kejang.(6,7)

2.6 Diagnosis

12
Penegakan diagnosis penyakit polio pada anak dapat dilakukan
pemeriksaan fisik, sebagai berikut :
1. Bayi
Perhatikan posisi tidur. Bayi normal menunjukkan posisi tungkai
menekuk pada lutut dan pinggul. Bayi yang lumpuh akan
menunjukkan tungkai lemas dan lutut menyentuh tempat tidur.
Lakukan rangsangan dengan menggelitik atau menekan dengan ujung
pensil pada telapak kaki bayi. Bila kaki ditarik berarti tidak terjadi
kelumpuhan.
Pegang bayi pada ketiak dan ayunkan. Bayi normal akan
menunjukkan gerakan kaki menekuk, pada bayi lumpuh tungkai
tergantung lemas.
2. Anak
Mintalah anak berjalan dan perhatikan apakah pincang atau tidak.
Mintalah anak berjalan pada ujung jari atau tumit.
Mintalah anak meloncat pada satu kaki.
Mintalah anak berjongkok atau duduk di lantai kemudian bangun
kembali.
Tungkai yang mengalami lumpuh lebih kecil.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Viral Isolation
Poliovirus dapat dideteksi dari faring pada seseorang yang diduga
terkena penyakit polio. Pada pasien dengan kecurigaan suatu polio dapat
dilakukan pemeriksaan spesimen dari cairan cerbrospinal, feses dan lendir
mukosa tenggorokan dan dilakukan kultur dari virus. Pengisolasian virus
diambil dari cairan cerebrospinal adalah diagnostik yang jarang
mendapatkan hasil yang akurat.
Jika poliovirus terisolasi dari seseorang dengan kelumpuhan yang
akut, orang tersebut harus diuji lebih lanjut menggunakan uji
oligonucleotide atau pemetaan genomic untuk menentukan apakah virus
polio tersebut bersifat ganas atau lemah. Virus polio dapat diambil dari
daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai terkena poliomyelitis.
Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat diagnostik, tetapi hal itu
jarang dikerjakan. Bila virus polio dapat disolasi dari seorang dengan
paralisis flasid akut harus dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan

13
cara oligonucleotide mapping (finger printing) atau genomic sequencing.
Untuk menentukan apakah virus tersebut termasuk virus liar atau virus
vaksin.
2. Uji Serology
Uji serology dilakukan dengan mengambil sampel darah dari
penderita. Jika pada darah ditemukan zat antibody polio maka diagnosis
bahwa orang tersebut terkena polio adalah benar. Akan tetapi zat antibody
tersebut tampak netral dan dapat menjadi aktif pada saat pasien tersebut
sakit. Dengan cara serologis yaitu mengukur zat anti yang menetralisasi
(neutralizing antibody) yang muncul awal dan mungkin ditemukan
meningkat tinggi pada saat penderita masuk rumah sakit oleh karena itu
dapat terjadi kenaikan 4 kali yang tidak diketahui. Pemeriksaan pada saat
fase akut dapat dilakukan dengan pemeriksaan antibodi immunoglobulin
M (IgM) yang akan didapatkan hasil yang positif.
3. Cerebrospinal Fluid ( CSF)
CSF di dalam infeksi poliovirus pada umumnya terdapat
peningkatan jumlah sel darah putih yaitu 10-200 sel/mm3 terutama adalah
sel limfositnya. Dan kehilangan protein sebanyak 40-50 mg/100 ml ( Paul,
2004 ). Pemeriksaan cairan serebrospinal pada infeksi virus polio,
umumnya terjadi kenaikan jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm3, yang
sebagian besar limfosit) dan terjadi kenaikan kadar protein ringan dari 40
sampai 50 mg/100ml.

2.8 Terapi dan Pengobatan


Tidak ada obat untuk polio, hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Vaksin
polio, diberikan beberapa kali, hampir selalu melindungi anak-anak seumur hidup.
Imunisasi lengkap sangat mengurangi risiko terkena polio paralitik. Tidak ada
antivirus yang efektif melawan poliovirus. Terapi utamanya adalah suportif.(2)
Tujuan pengobatan adalah mengontrol gejala selagi infeksi berlangsung.
Dalam kasus-kasus tertentu, beberapa membutuhkan tindakan lifesaving ,
terutama bantuan nafas.

14
Berikut pengobatan non spesifik untuk setiap manifest klinis dari polio
1. Silent infection : istirahat
2. Poliomielitis abortif : istirahat 7 hari, bila tidak terdapat gejala apa-apa,
aktifitas dapat dimulai lagi. Sesudah 2 bulan dilakukan pemeriksaan lebih
teliti terhadap kemungkinan kelainan musculoskeletal.
3. Poliomielitis paralitik/non-paralitik : istirahat mutlak sedikitnya 2 minggu;
perlu pengawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi paralysis
pernafasan.
Pengobatan sesuai dengan gejalanya, meliputi :
a. Fase akut
Antibiotik untuk mencegah infeksi pada otot yang flaccid
Analgetik untuk mengurangi nyeri kepala, myalgia, dan spasme
Antipiretik untuk menurunkan suhu.
Foot board, papan penahan pada telapak kaki, agar kaki terletak pada
sudut yang tetap terhadap tungkai
Bila terjadi paralysis pernafasan seharusnya dirawat di unti perawatan
khusus karena penderita memerlukan bantuan pernafasan mekanis.
Pada poliomyelitis tipe bulber kadang-kadang refleks menelan
terganggu dengan bahaya pneumonia aspirasi. Dalam hal ini kepala
anak diletakkan lebih rendah dan dimiringkan ke salah satu sisi.

b. Fase post-akut
Kontraktur, atrofi dan atoni otot dikurangi dengan fisioterapi.
Tindakkan ini dilakukan setelah 2 minggu. Penatalaksanaan fisioterapi
yang dilakukan :
- Heating dengan menggunakan IRR ( infra red radiation )
- Exercise (active/passive) terutama pada ekskremitas yang
mengalami kelemahan atau kelumpuhan
- Breathing exercise jika diperlukan

15
Bila perlu pemakaian braces, bidai, hingga operasi ortopedik.(6)

2.9 Prognosis
Hasil akhir dari penyakit ini tergantung bentuknya dan letak lesinya. Jika
tidak mencapai korda spinalis dan otak, maka kesembuhan total sangat mungkin.
Keterlibatan otak dan korda spinalis bisa berakibat pada paralysis atau kematian
(biasanya dari kesulitan bernafas). Secara umum polio lebih sering mengakibatkan
disabilitas daripada kematian.
Pasien dengan polio abortif bisa sembuh sepenuhnya . Pada pasien dengan
polio non-paralitik atau aseptic meningitis, gejala bisa menetap selama 2-10 hari,
lalu sembuh total.(7)
Pada bentuk paralitik bergantung pada bagian yang terkena. Pada kasus
polio spinal, sel saraf yang terinfeksi akan hancur sepenuhnya, paralysis akan
permanent. Sel yang tidak hancur tapi kehilangan fungsi sementara akan kembali
setelah 4-6 minggu setelah onset. 50% dari penderita polio spinal sembuh total,
25% dengan disabilitas ringan, 25% dengan disabilitas berat. Perbedaan residual
paralysis ini tergantung derajat viremia, dan imunitas pasien. Jarang polio spinal
yang bersifat fatal. Bentuk spinal dengan paralysis pernafasan dapat ditolong
dengan bantuan pernafasan mekanik. Tanpa bantuan ventilasi, kasus yang
melibatkan sistem pernafasan, menyebabkan kesulitan bernafas atau pneumonia
aspirasi. Keseluruhan, 5-10% pasien dengan polio paralysis meninggal akibat
paralysis otot pernafasan. Angka kematian bervariasi tergantung usia 2-5% pada
anak-anak, dan hingga 15-30% pada dewasa.
Tipe bulbar prognosisnya buruk, kematian biasanya karena kegagalan
fungsi pusat pernafasan atau infeksi sekunder jalan nafas. Polio bulbar sering
mengakibatkan kematian bila alat bantu nafas tidak tersedia. Dengan alat bantu
nafas angka kematian berkisar antara 25-50%. Bila ventilator tekanan positif
tersedia angka kematian bisa diturunkan hingga 15%.Otot-otot yang lumpuh dan
tidak pulih kembali menunjukkan paralysis tipe flasid dengan atonia, arefleksia,
dan degenerasi.
Komplikasi residual paralysis tersebut ialah kontraktur terutama sendi,
subluksasio bila otot yang terkena sekitar sendi, perubahan trofik oleh sirkulasi

16
yang kurang sempurna hingga mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan ini diberikan
pengobatan secara ortopedik.(6,7)

Post Polio Syndrome (PPS)


Sekitar 25% individual yang pernah mengalami polio paralitik
mendapatkan gejala tambahan beberapa decade setelah sembuh dari infeksi akut,
merupakan bentuk manifestasi lambat (15-40 tahun) sejak infeksi akut. Gejala
utamanya kelemahan otot, kelelahan yang ekstrem, paralysis rekuren atau
paralysis baru, nyeri otot yang luar biasa. Kondisi ini disebut post polio syndrome
(PPS). Gejala PPS diduga akibat kegagalan pembentukan over-sized motor unit
pada tahap penyembuhan dari fase paralitiknya. Walau demikian bagaimana
patogenesisnya masih belum diketahui. Faktor yang meningkatkan resiko PPS
antara lain jangka waktu sejak infeksi akutnya, kerusakan residual permanent
setelah penyembuhan dari fase akut, dan kerja neuron yang berlebihan.(3,4)

2.9 Eradikasi Polio (ERAPO)


Setelah pada penelitian ditemukan bahwa host dari virus polio hanya manusia
sedangkan virus polio liar tidak bertahan lama di lingkungan. Selain itu telah
ditemukan vaksin yang poten dan telah menyebar luas pada pertengahan 1950
yang mengakibatkan penurunan drastic insidensi polio di negara-negara maju.
Dan dinyatakan juga bahwa OPV memiliki efek terhadap komunitas
(community effect). Maka menjadi memungkinkan untuk dilakukan eradikasi
terhadap penyakit ini. Sehingga usaha global untuk eradikasi polio dimulai
pada tahun 1988, dipimpin oleh World Health Organization, UNICEF, dan The
Rotary Foundation. Eradikasi dilakukan dengan cara.

17
1. Imunisasi rutin dengan cakupan diatas 90%
Cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 90% untuk kelompok anak
dibawah 1 tahun. WHO menganjurkan diberikan vaksin polio oral sebanyak 5
kali. Cakupan yang tinggi ini akan menekan angka kesakitan polio pada tingkat
yang rendah dan menyiapkan negara tersebut untuk fase eradikasi. Cakupan
tinggi juga harus berkesinambungan dan dipertahankan oleh negara yang telah
bebas polio sampai seluruh dunia bebas dari polio, agar negara tersebut dapat
bertahan terhadap virus liar yang berasal atau dibawa dari negara lain.

2. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)


Imunisasi massal dapat dilakukan secara serentak pada semua anak dibawah 5
tahun dengan dua putaran imunisasi dengan selang waktu empat minggu.
Gerakan ini dilakukan pada saat transmisi polio paling rendah dan kekebalan
populasi ternyata lebih tinggi dari kekebalan populasi imunisasi rutin.

3. Surveilans Acute Flaccid Paralysis


Surveilans AFP atau lumpuh layuh akut eradikasi membutuhkan metode
surveilans yang sensitif dan mampu mendeteksi adanya kasus polio dimanapun
di dunia. Surveilans AFP bertujuan untuk mendeteksi virus polio liar dan
meningkatkan sistem pelacakan dan pelaporan nasional suatu negara. Kasus
polio tidak dapat dideteksi secara klinis saja, maka WHO menyarankan
laboratory based AFP surveilans untuk keperluan eradikasi. Surveilans ini
mencakup deteksi semua AFP dibawah usia 15 tahun dan kasus harus diteliti
secara klinik dan epidemiologik dengan cepat, sampel tinja dikumpulkan
secukupnya dengan selang waktu 24 jam dan dikirim dalam keadaan dingin ke
laboratorium. Virus yang ditemukan harus dibedakan apakah virus liar atau
virus vaksin. Minimal harus dilakukan pelacakan pada 1 kasus AFP setiap
tahun-nya untuk setiap 100.000 anak dibawah 15 tahun.
4. Mopping-up
Artinya tindakan vaksinasi massal terhadap anak dibawah usia 5 tahun didaerah
ditemukanya penderita polio tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya.

18
Tampaknya di era globalisasi dimana mobilitas penduduk antar negara sangat
tinggi dan cepat, muncul kesulitan untuk mengendalikan penyebaran virus ini.
Selain pencegahan dengan vaksinasi polio tentu harus disertai dengan
peningkatan sanitasi lingkungan dan sanitasi perorangan. Penggunaan jamban
keluarga, air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan serta memelihara
kebersihan makanan merupakan upaya pencegahan dan mengurangi resiko
penularan virus ini. Menjadi salah satu keprihatinan dunia bahwa kecacatan
yang ditimbulkan akibat infeksi virus ini menetap dan tidak bisa disembuhkan
atau tidak ada obat yang dapat menyembuhkan polio.

Usaha ini telah mengurangi jumlah kasus terdiagnosa setahun hingga 99%,
yaitu dari 350.000 pada 1988, hingga 1.310 kasus pada tahun 2007. Ini merupakan
kali kedua umat manusia berhasil mengeradikasi sepenuhnya suatu penyakit. Yang
pertama adalah smallpox, yang telah tereradikasi tahun 1979. Sekarang banyak
bagian dunia yang bebas polio. Amerika Serikat menyatakan bebas polio tahun
1994. pada tahun 2000, 36 negara-negara pasifik barat termasuk Cina dan
Australia dinyatakan bebas polio. 2002, Eropa dinyatakan bebas polio. Hingga
2006, polio masih endemic hanya di 4 negara : Nigeria, India, Pakistan, dan
Afganistan.

Di Indonesia sendiri program eradikasi dimulai dengan PIN tiga tahun


berturut-turut tahun 1995, 1996, 1997 dan sejak 1995 tidak ada kasus lagi selama
10 tahun. Tahun 2005 sempat ditemukan lagi kasus yang berawal dari lingkungan
padat di Sukabumi. Yang menyebar cepat keseluruh Indonesia. Kembali dilakukan
PIN dan pengetatan surveilans dan wabah teratasi, kasus terakhir adalah kasus
dari Aceh Tenggara, April 2006.(1,2,7)

19
BAB III
KESIMPULAN

Poliomyelitis adalah penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh


virus. Penyakit ini menyerang pusat saraf dan bisa menyebabkan paralysis total.
Bisa menyerang berbagai usia tapi lebih sering anak-anak. Virus masuk ke tubuh
lewat saluran pencernaan dan bermultiplikasi di usus. Lalu menyebar melalui
limfogen atau hematogen menuju sistem saraf pusat.
Gejala bervariasi dari asimtomatik (silent), sampai gejala nonspesifik
seperti demam, kelelahan, sakit kepala, muntah kaku kuduk, nyeri pada
ekstremitas. Cukup sering bermanifes hingga terjadi paralysis atau kelumpuhan.

20
Kelumpuhan bisa menjadi fatal jika terjadi pada komponen pernafasan yang
menyebabkan terjadinga gagal nafas.
Terapi pada poliomyelitis hingga kini belum ada. Yang bisa dilakukan
adalah penanganan suportif saja. Antara lain antibiotic, analgetik, antipiretik, bidai
atau braces, bantuan nafas mekanis (bila perlu). Nantinya mungkin memerlukan
tindakan tindakan fisioterapi ataupun bedah ortopedi.
Prognosis pada pasien penderita poliomyelitis dari segi angka hidup cukup
baik. Tetapi seringkali poliomyelitis mengakibatkan disabilitas atau keterbatasan.
Angka kematian cukup tinggi pada tipe bulbar, terutama jika menyerang pusat
pernafasan.
Karena belum adanya terapi, maka tindakan preventif sangat memegang
peranan dalam penenggulangan wabah polio. Yaitu penggunaan vaksin polio
untuk memberikan kekebalan pada manusia sebagai host. Vaksin itu sendiri terdiri
dari 2 macam yaitu Oral Attenuated Poliovirus Vaccine (OPV) yang berisi virus
hidup yang dilemahkan. Dan diberikan peroral, dan Inactivated Poliovirus Vaccine
(IPV) yang berisi virus polio yang di nonaktifkan dan diberikan injeksi.
Dengan menyebar luasnya vaksin polio ini maka masyarakat dunia dengan
dipimpin oleh WHO telah berhasil mewujudkan eradikasi global penyakit
poliomyelitis ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusepno Hassan, Husein Alatas. Ilmu Kesehatan Anak FKUI.


Poliomyelitis. 2005. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta.
2. Ranuh, I G N, dkk. Infeksi Virus : Poliomyelitis. 2008. Dalam : Pedoman
Imunisasi Di Indonesia. Satgas Imunisasi IDAI. Jakarta
3. Soedarmo, Sumarno S. Purwo, dkk. Infeksi Virus:Poliomyelitis. 2008.
Dalam: Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Badan Penerbit
IDAI. Jakarta

21
4. Simoes, Eric A. F. Polioviruses. 2003. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin
(ed). Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. Elsevier Science. Philadelpia.
WHO
5. World Health Organization. The Disease and The Virus. Dalam : Global
Polio Eradication Initiative.
(available from : www.who.int/topics/poliomyelitis/en/, )
6. Estrada, Benjamin MD. Poliomyelitis : Treatment and Medication. 2007.
7. Wenner, Kenneth M. MD. Poliomyelitis. Medline Medical Encyclopedia.
Last Updated : January, 22nd 2008.

22

Anda mungkin juga menyukai