BLOK NEFROUROPOITIKA
Skenario 4
Kelompok 5
Ketua : Mahidin 1413010006
Sekretaris : Hudaya Taufiq 1413010017
Anggota:
Silka Reslia Riswanto 1413010004
Sinta Merlinda Yuni 1413010015
Dhimar Dwi Yuda N 1413010028
Fatimah Qonitah Diyanah 1413010029
Padang Tri Handoyo 1413010037
Tsara Arbiaty K 1413010046
Fatma Nashriati 1413010036
Nur Rizki Fajrin K 1413010050
SKENARIO IV
2
Seorang pria berumur 30 tahun datang ke dokter umum dengan keluhan kencing
nanah dari kemaluannya. Seminggu sebelumnya dia berhubungan kelamin dengan
PSK tanpa memakai kondom. Sebelum menikah dia juga sering jajan kemudian
mengeluh sakit yang sama, biasanya setelah periksa ke dokter keluhannya akan
sembuh. Setelah memeriksa pasien, dokter memberikan resep obat dan
dianjurkan untuk diminum selama 5 hari. Pada hari ke-6, pasien kontrol kembali
ke dokter. Dia merasa keluhannya membaik namun mengeluh penisnya gatal dan
masih mengeluarkan cairan bening dari lubang kencing. Istrinya juga mengeluh
keluar cairan bening dari vaginanya. Walaupun tidak ada rasa nyeri pada organ
genitalnya tapi dia khawatir penyakitnya bertambah parah dan berefek negatif
pada rahimnya, sementara dia belum pernah hamil. Pertanyaannya : Apakah
penyakitnya ini berefek pada kesuburannya? Jika istrinya hamil, apakah yang
akan terjadi pada kehamilannya?
3
BAB I
KLARIFIKASI ISTILAH
1 Kencing Nanah
Kencing nanah atau pyuria dapat dinilai secara makroskopik yaitu terlihat
gambaran urin yang keruh seperti susu dan mikroskopik terlihat adanya sel
darah putih lebih dari 10 per-lapang pandang (Purnomo, 2014).
4
BAB II
IDENTIFIKASI MASALAH
5
BAB III
ANALISIS MASALAH
6
Kencing nanah menandakan adanya proses infeksi yang
disebabkan oleh bakteri. Berdasarkan letak keluhannya dapat dicurigai
adanya infeksi menular seksual. (Price, 2013)
Infeksibakteri/mikroorganisme
Terutamapadauretradancanalisendoserviks
Komponenpermukaanselbakteri (Lipopolisakaridadanpeptidoglikanakanmemicuproduksiendotoksin)
Menimbulkanresponinflamasi
Lokalinvasineutrofil, pembentukanmikroabsessubmukosa
Kerusakannepitel
7
Organ Reproduksi Laki-laki
Penis
Terdiri dari 2 pars yaitu :
a. Pars fixata/afixa
Crus penis
Bulbus penis
8
b. Pars Libera
Corpora cavernosa
Corpus spongiosum
Terdiridari 3 bagian :
a. Radix penis
b. Corpus penis
c. Glands penis
10
Tabel 1. Patogenpenyebabdanjenis IMS yang ditimbulkan
Laki-
laki&perempuan:ulkusgenitalisyangnyeri,dapatdisertaidenganbu
Klebsiella GRANULOMA INGUINALE (DONOVANOSIS)
(Calymmatobacterium) Laki-
granulomatis laki&perempuan:pembengkakankelenjargetahbeningdanlesiuls
Mycoplasma genitalium Laki-laki: duh tubuhuretra (uretritis non-gonore)
Perempuan: servisitisdanuretritis non-gonore,
mungkinpenyakitradangpanggul
11
Ureaplasmaurealyticum Laki-laki: duh tubuhuretra (uretritis non-gonokokus)
Perempuan: servisitisdanuretritis non-gonokokus,
mungkinpenyakitradangpanggul
INFEKSI VIRUS
Laki-laki: kutil di daerah penis dan anus, kanker penis dan anus
Virus hepatitis B HEPATITIS VIRUS
Laki-laki&perempuan: hepatitis akut, sirosishati, kankerhati
Virus moluskumkontagiosum MOLUSKUM KONTAGIOSUM
Laki-laki&perempuan: papulmultipel, diskret, berumbilikasi di
daerah genitalia ataugeneralisata
INFEKSI PROTOZOA
Trichomonasvaginalis TRIKOMONIASIS
Laki-laki: uretritis non-gonokokus, seringkaliasimtomatik
INFEKSI JAMUR
12
(Pedoman IMS, 2011)
3.6. Mengapasetelahdiberiobatkeluhanpasientidakmembaik?
3.7 Mengapaistrinyamengeluhkangataldanmengluarkancairanbewarna
bening?
14
Penularanmelaluikontaklangsung
Suamiberhubunganseksualdenganistri
Padacanalisendoservikalis
Pingpong phenomenon
(Daili, 2009)
15
3.8 Bagaimana pengaruh keluhan pasien terhadap kesuburan istrinya?
2) KET
3) Endometriosis
4) Aborsi spontan
Terjadipadaanak:
16
1) Sepsis infeksi aliran darah
3) Arthritis
4) Conjungtivitis
BAB IV
SISTEMATIKA MASALAH
17
Laki laki 30 tahun
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN
5.1. Mahasiswa mengetahui mengenai infeksi menular seksual
18
5.2. Mahasiswa mengetahui Gonore
BAB VI
BELAJAR MANDIRI
19
BAB VII
BERBAGI INFORMASI
20
Penularan Penyakit Menular Seksual
Penyakit Menular Seksual ini terutama melalui hubungan seksual yang
tidak terlindungi, baik pervaginal, anal, maupun oral.Cara penularan
lainnya secara perinatal, yaitu dari ibu ke bayinya, baik selama kehamilan,
saat kelahiran ataupun setelah lahir. Bisa melalui transfuse darah atau
kontak langsung dengan cairan darah atau produk darah. Dan juga bisa
melalui penggunaan pakaian dalam atau handuk yang telah dipakai
penderita Penyakit Menular Seksual(PMS).
Perilaku seks yang dapat mempermudah penularan PMS adalah :
1. Berhubungan seks yang tidak aman (tanpa menggunakan kondom).
2. Gonta-ganti pasangan seks.
3. Prostitusi.
4. Melakukan hubungan seks anal (dubur), perilaku ini akan menimbulkan
luka atau radang karena epitel mukosa anus relative tipis dan lebih
mudah terluka disbanding epitel dinding vagina.
5. Penggunaan pakaian dalam atau handunk yang telah dipakai penderita
6. PMS (Hutagalung, 2002).
21
A. Definisi
Gonore merupakan penyakit menular seksual yang bersifat akut yang
disebabkan oleh Neisseriagonorrhoeae (Djuanda et al, 2008), dimana
pada permulaannya keluar nanah dari OUE (orifisium uretra
eksternum) sesudah melakukan hubungan kelamin (Freedberg, 2003).
B. Etiologi
Dapat di sebabkan karena, kontak seksual dan infeksi karena
kelahiran.Secara morfologik, gonokok ini terdiri atas 4 tipe, yaitu tipe
1 dan 2 yang mempunyai pili dan bersifat virulen, serta tipe 3 dan 4
yang tidak mempunyai pili dan bersifat nonvirulen. Tipe
mikroorganisme tersebut yaitu (Brian, 2010):
1) Neisseria gonorrhoeae
2) Neisseria meningitides
3) Neisseria pharyngitis
4) Neisseria catarrhalis
Neiserria gonorrhoeae dan Neisseria meningitidis bersifat
patogen sedangkan dua lainnya bersifat komensalisme.Neiserria
gonorrhoeaeadalah organisme gram negative, nonmotil, non-
spore forming, intraseluler, dan merupakan diplococcus aerobik
(Brian, 2010).
C. Patofisiologi
Gonore didapatkan melalui kontak seksual, akibat kebersihan yang
buruk atau pengobatan dengan menggunakan urin. Penularan juga
dapat terjadi secara vertikal dari ibu ke anak pada waktu persalinan.
Patogenesisnya terkait ikatan dengan sel epitel kolumner melalui pili
atau fimbri (Wolff K et al, 2005).
Mekanisme molekuler yang tepat dari invasi gonokokus ke dalam sel
inang masih belum diketahui. Beberapa faktor virulensi yang
terlibat dalam proses patogenesisnya meliputi peradangan mukosa
dan invasi. Karena pili meningkatkan adhesi ke sel inang, sehingga
pili juga memainkan peran penting dalam patogenesis, hal ini
mungkin dapat menjelaskan mengapa gonokokus non pili kurang
mampu menyebabkan infeksi pada manusia. Gonokokus berikatan
dengan sel inang yaitu pada epitel dan neutrofil polimorfonuklear,
ikatan gonokokus tidak hanya bergantung pada pili tetapi juga pada
22
Opa ligan. Antibodi antipilus telah memperlihatkan pemblokiran
keterikatan epitel dan meningkatkan pembunuhan melalui fagositosis.
Diketahui bahwa pentingnya ekspresi reseptor transferin dan ekspresi
lipo oligosakarida (LOS) yang tampak pada infektivitas maksimal.
Gonokokus mampu mengalikan dan membagi intraseluler, dimana
mikroorganisme ini kebal terhadap mekanisme pertahanan tubuh
(host). Invasi mikroorganisme disukai oleh ekspresi protein Opa
tertentu dan non-sialylated LOS.
Gonokokus memiliki kemampuan untuk menyebabkan kerusakan
jaringan oleh produksi berbagai peptida dan lipid seperti fosfolipase,
peptidases, lipid A dan peptidoglikan. Hal ini tampaknya berpengaruh
dalam kerusakan saluran tuba dan terjadinya arthritis post inflamasi.
D. Manifestasi Klinis
E. Faktor Resiko
Seks bebas tanpa pengaman
Banyak pasangan seks
Homoseksualitas
23
Status sosial ekonomi rendah
Status minoritas (Blacks, Hispanik, dan penduduk asli
Amerika).
Riwayat penyakit menular seksual
Onset aktivitas seksual dini
Penyakit radang panggul (PID)
Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD) (Brian,
2010).
F. Macam-macam Gonore
1) Gonore Genitalia
a. Infeksi gonokokal pada pria
Infeksi gonokokal pada pria bersifat asimtomatik (10%).
Gambaran klinis yang paling umum dari infeksi
gonokokal uretritis adalah akut dengan disuria dan
keluarnya cairan dari uretra yang sebagian besar purulen
dan banyak dan muncul secara spontan di uretra.
24
atas dapat menyebabkan epididimitis, prostatitis dan
vesikulitis. Pasien dengan epididimitis gonokokal datang
dengan nyeri testis unilateral dan pembengkakan disertai
dengan uretritis.
2) Gonore Ekstragenital
- Gonore faring
- Gonore rectal
- Oftalmia gonokokal
- Infeksi gonokokal siseminata
- Oftalmia neonatorum
G. Penegakkan Diagnosis
1) Anamnesis
Hubungan seks (oral seks) (Listawan, 2005).
2) Pemeriksaan fisik
Pria:
Sakit waktu kencing
Orifisium uretra yang edema dan eritematosus
Sekret uretra yang purulen
Ektropion keluar ecoulement
Wanita
a. Saluran urogenital bawah
Sekret mukopurulen atau purulen dari serviks
Sekret atau perdarahan dari vagina
b. Saluran urogenital atas
26
Pelvic Inflammatory Disease (PID)
Nyeri abdomen bagian bawah dengan atau
tanpa penyebaran rasa nyeri
Nyeri pada waktu serviks digerakkan
Nyeri tekan adneksa
Panas badan
Nyeri tekan abdomen bagian kanan atas
(Listawan, 2005).
3) Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
1) Hitung darah lengkap
Pasien dengan gonococcemia mungkin memiliki sel
darah putih (wbc) count tinggi, di kisaran 10.000-
15.000/l (Listawan, 2005).
2) Pengecatan gram
3) Kultur
27
Gambar 5. Hasil kultur bakteri gonokokus (Listawan, 2005).
H. Tatalaksana
Penyakit Regimen yang Dosis dan/atau rute
direkomendasikan
Dewasa, remaja, Seftriakson dan 250 mg IM dosis tunggal
Azitromisin
28
dan anak-anak 1 g oraldosis tunggal
>45 kg: infeksi
gonokokus tanpa
komplikasi pada
serviks, uretra,
dan rectum
Kehamilan Seftriakson dan 250 mg IM dosis tunggal
Azitromisin
1 g oraldosis tunggal
Pilihan alternatif
Jika seftriakson tidak tersedia:
Sefiksim 400 mg oral dosis tunggal dan
Azitromisin 1 g oral dosis tunggal
Jika alergi sefalosporin:
Gemifloksasin 320 mg oral dosis tunggal dan
Azitromisin 2 g oral dosis tunggal, atau
29
dugaan ganda. Jika hunungan seksual dilakukan lebih dari 60 hari sebelu
onset gejala atau diagnosis, maka partner seksual harus diterapi. Untuk
mencegah reinfeksi, partner seksual harus diintruksikan untuk melakukan
abstinensia dari hubungan seksual yang tidak terlindungi hingga 7 hari
setelah pasien dan partner seksualnya telah melengkapi terapi dan setelah
hilangnya gejala, jika muncul. Obat yang digunakan yaitu sefiksim 400 mg
dan azitromisin 1 g oral dosis tunggaal, dapat diberikan kepada partner
seksual oleh pasien (CDC, 2015).
I. Komplikasi
Gonore merupakan infeksi utama saluran genital bagian bawah yang
tidak begitu kompleks dan memiliki gejala gonore yang tampak pada
kebanyakan pria (90-95%) dan sekitar 50% gejala gonore pada wanita
bersifat asimtomatik. Jika gonore tidak dapat dideteksi, atau
pengobatannya tidak adekuat, hal ini dapat menyababkan komplikasi
berupa infeksi pada saluran genital bagian atas (Devrajani, 2010).
Pelvic inflammatory disease (PID) pada wanita dan epididymo-
orchitis pada pria biasanya merupakan komplikasi dari penyebaran lokal
infeksi gonokokus. Gonokokus bakteremia jarang terjadi (kurang dari
1% yang terinfeksi) dan biasanya manifestasi klinis berupa lesi pada kulit,
demam, arthralgia, arthritis akut dan tenosynovitis (Disseminated
Gonococcal Infection).
Gonore diketahui memudahkan penerimaan dan transmisi HIV.
Prevalensi gonore tinggi pada pria yang telah melakukan hubungan sex
dengan pria (MSM: Men Sex Men), dimana mereka juga beresiko tinggi
memperoleh HIV, deteksi dini dan pengobatan merupakan hal yang sangat
penting (Devrajani, 2010).
30
tanpa manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan kepada bayi di dalam
kandungan. (Natahusada, 2010)
Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan
Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales,
familiaSpirochaetaceae, dan genus Treponema.Bentuknya sebagai spiral
teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri atas delapan
sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang
aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol.Membiak secara pem-
belahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam.
(Natahusada, 2010)
Epidemiologi
Asal penyakit ini tak jelas.Sebelum tahun 1492 belum dikenal di
Eropa. Ada yang menganggap penyakit ini berasal dari penduduk Indian
yang dibawa oleh anak bush Columbus waktu mereka kembali ke
Spanyol pada tahun 1492. Pada tahun 1494 terjadi epidemi di Napoli.
Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis dan gonore
31
disebabkan oleh sanggama dan keduanya dianggap disebabkan oleh
infeksi yang sama (Natahusada, 2010)
Patogenesis
Stadium dini
T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput
lender, biasanya melalui sanggama.Kuman tersebut membiak, jaringan
bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan
sel- sel plasma, terutama di perivaskular, pembuluh-pembuluh darah kecil
berproliferasi di kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel radang.Treponema
tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan perivaskular di
sekitarnya.Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan
hipertrofikendotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis
obliterans). Kehilangan pendarahan akan menyebabkan erosi, pada
pemeriksaan klinis tampak sebagai S1 (Natahusada, 2010)
Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening
regional secara limfogen dan membiak. Pada saat itu terjadi pula pen-
jalaran hematogen dan menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi
manifestasinya akan tampak kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi
jaringan sebagai SII, yang terjadi enam sampai delapan minggu sesudah
S1. S1akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut
jumlahnya berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan
akhirnya sembuh berupa sikatriks. SII jugs mengalami regresi perlahan-
lahan dan lalu menghilang.
32
Tibalah stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi
yang aktif masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu
dapat melahirkan bayi dengan sifilis kongenital.
Stadium lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya
treponema dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada
dalam serum penderita.Keseimbangan antara treponema dan jaringan
dapat sekonyong-konyong berubah, sebabnya belum jelas, mungkin
trauma merupakan salah satu faktor presipitasi.Pada saat itu muncullah
SIII berbentuk guma.Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan
T. pallidum, reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan berlangsung
bertahun-tahun. Setelah mengalami mass laten yang bervariasi guma
tersebut timbul di tempat-tempat lain.
Gejala Klinis
Gejala dan tanda dari sifilis banyak dan berlainan; sebelum
perkembangan tes serologikal, diagnosis sulit dilakukan dan penyakit ini
sering disebut "Peniru Besar" karena sering dikira penyakit lainnya..Bila
tidak terawat, sifilis dapat menyebabkan efek serius seperti kerusakan
sistem saraf, jantung, atau otak. Sifilis yang tak terawat dapat berakibat
fatal. Orang yang memiliki kemungkinan terkena sifilis atau menemukan
pasangan seks yang mungkin terkena sifilis dianjurkan untuk segera
menemui dokter secepat mungkin.
33
kebal terhadap azithromycin dan sekitar 10% kasus terjadi pada tahun
2004. Perawatan lain kurang efektif karena pasien diharuskan memakan
pil beberapa kali per hari.
34
tersebut akan menghilang. Stadium ini merupakan stadium yang sangat
menular.
Stadium dua. Kalau sifilis stadium satu tidak diobati, biasanya para
penderita akan mengalami ruam, khususnya di telapak kaki dan tangan.
Mereka juga dapat menemukan adanya luka-luka di bibir, mulut,
tenggorokan, vagina dan dubur. Gejala-gejala yang mirip dengan flu,
seperti demam dan pegal-pegal, mungkin juga dialami pada stadium ini.
Stadium ini biasanya berlangsung selama satu sampai dua minggu.
Stadium tiga. Kalau sifilis stadium dua masih juga belum diobati,
para penderitanya akan mengalami apa yang disebut dengan sifilis laten.
Hal ini berarti bahwa semua gejala penyakit akan menghilang, namun
penyakit tersebut sesungguhnya masih bersarang dalam tubuh, dan bakteri
penyebabnya pun masih bergerak di seluruh tubuh. Sifilis laten ini dapat
berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya.
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis harus
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium berupa :
(Hutapea,2009)
1. a. Pemeriksaan lapangan gelap (dark field)
Ream sifilis primer, dibersihkan dengan larutan NaCl
fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar/dalam lesi dengan cara
menekan lesi sehingga serum akan keluar. Diperiksa dengan
mikroskop lapangan gelap menggunakan minyak imersi.T. pall
berbentuk ramping, gerakan lambat, dan angulasi. Hares hati-hati
membedakannya dengan Treponema lain yang ada di daerah
genitalia. Karena di dalam mulut banyak dijumpai Treponema
komensal, maka bahan pemeriksaan dari rongga mulut tidak dapat
digunakan.3
35
b. Mikroskop fluoresensi
Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi
dengan aseton, sediaan diberi antibodi spesifik yang dilabel
fluorescein, kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresensi.
Penelitian lain melaporkan bahwa pemeriksaan ini dapat memberi
hasil nonspesifik dan kurang dapat dipercaya dibandingkan
pemeriksaan lapangan gelap.
37
Tes FTA-ABS (Fluorescent Treponema Absorbed).
Tes TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay)
38
homogenkan, ambil 25 ul masukan kesumur ke 5, ambil 25 ul
masukkan kesumur 6.
4. Tambahkan 75 ul control test pada sumur ke 2
5. Tambahkan 75 ul tets cell pada sumur ke 3, 4, 5.
6. Homogenkan keseluruhan dengan sedikit getaran.
Interpretasi
Hasil reaktif : sedang terinfeksi, pernah infeksi reaksi positif semu.
Hasil non reaktif : tidak pernah terinfeksi atau pada masa inkubasi
(belum terbentuk antibodi)
Tes Elisa (Enzyme linked immuno sorbent assay)
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti
ditegakkan berdasarkan hasil pemerikasan laboratorium dan pemeriksaan
fisik.
Pada fase primer atau sekunder, diagnosis sifilis ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap cairan dari luka di
kulit atau mulut. Bisa juga digunakan pemeriksaan antibodi pada contoh
darah.
Untuk neurosifilis, dilakukan pungsi lumbal guna mendapatkan
contoh cairan serebrospinal. Pada fase tersier, diagnosis ditegakkan
berdasarkan gejala dan hasil pemeriksan antibodi
Penatalaksanaan
39
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga
diobati, dan selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama.Pengo-
batan dimulai sedini mungkin, makin dini hasilnya makin balk. Pada sifilis
laten terapi bermaksud mencegah proses lebih lanjut. (Nathusada, 2010)
Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain.
1. PENISILIN
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin.Obat tersebut dapat
menembus placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat
menyembuhkan janin yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis.
Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan
kurang dari 0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan
dalam serum selama sepuluh sampai empat betas hari untuk sifilis dini dan
lanjut, dua puluh sate hari untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika
kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat
sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak.
Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:
a. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat
40
memberi rasa nyeri pada tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses
jika suntikan kurang dalam; obat ini kini jarang digunakan.
Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan
penisilin G benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan
interval seminggu. Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah
penisilin G prokain dalam akua 18-24 juta unit sehari, diberikan 3-4 juta
unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.
Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain
dalam akua 100.000150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan
50.000 unit/kg B.B., i.m., setiap hari selama 10 hari.
Reaksi Jarish-Herxheimer
Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish-
Herxheimer.Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin
disebabkan oleh hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh
banyak T. paffidum yang coati.Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis
dini.Pada sifilis dini dapat terjadi setelah enam sampai due betas jam pada
suntikan penisilin yang pertama.
Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal.Gejala umum biasanya
hanya ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam
yang tinggi, nyeri kepala, artralgia, malese, berkeringat, dan kemerahan
pada muka.8 Gejala lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena
edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan
menghilang setelah sepuluh sampai dua betas jam tanpa merugikan
penderita pada S I.
Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya:
edema glotis pada penderita dengan gums di laring, penyempitan
arteriakoronaria pada muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis
serebral. Selain itu juga dapat terjadi ruptur aneurisms atau ruptur dinding
aorta yang telah menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan
fibrotik yang berlebihan akibat penyembuhan yang cepat.
Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid,
contohnya dengan prednison 20-40 mg sehari.Obat tersebut juga dapat
digunakan sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada
gangguan aorta dan diberikan dua sampai tiga hari sebelum pemberian
penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian.
41
2. ANTIBIOTIK LAIN
Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat
digunakan sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin.
Bagi yang alergi terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500
mg/hari, atau aeritromisin 4 x 500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100
mg/hari. Lama pengobatan 15 hari bagi S I dan S II dan 30 hari bagi
stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil, efektivitasnya
meragukan.Doksisiklin absorbsinya lebih baik daripada tetrasiklin, yakni
90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.
Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau
eritromisin yang diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari,
menunjukkan perbaikan(Wong, 2008)
Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x
500 mg sehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis
tunggal i.m. atau i.v. selama 15 hari.
Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama
dinegara yang sedang berkembang untuk menggantikan penisilin.
(Reidner, 2005)
Dosisnya 500 mg sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan
10 hari. Menurut laporan Verdun dkk. Penyembuhannya mencapai 84,4%.
tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan Verdun dkk.,
penyembuhannya mencapai 84,4%.
Pencegahan
Hindari berhubungan sex dengan lebih dari satu pasangan
Menjalani screening test bagi anda dan pasangan anda
Hindari alkohol dan obat-obatan terlarang
Gunakan kondom ketika berhubungan sexual
Sifilis tidak bisa dicegah dengan membersihkan daerah genital setelah
berhubungan sexual(Wong, 2008).
Definisi
Merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan oleh virus
herpes simplex (Suyono, 2001).
42
Etiologi
(Suyono, 2001).
Penularan
(Prawirohardjo, 2009).
(Prawirohardjo, 2009).
Patogenesis
43
simptomatis maupun tidak simptomatis. Secara periodik, HSV dapat
mengalami reaktivasi dari kondisi latensi dimana virus akan bergerak
melalui saraf sensoris menuju ke kulit dan mukosa dan menyebabkan
rekurensi penyakit (Suyono, 2001).
Manifestasi klinis
44
duh tubuh uretra atau vagina, limfadenopati inguinal,
limfadenopati pelvis.
(Suyono, 2001)
Gambar 10. Herpes labial (kiri), dan herpes genital feminina (kanan)
(Prawirohardjo, 2009).
45
Terapi untuk herpes labialis
46
Terapi untuk herpes genital
Definisi
47
Etiologi
Patofisiologi
Sel dari lapisan basal epidermis diinvasi oleh HPV.Hal ini berpenetrasi
melalui kulit dan menyebabkan mikro abrasi mukosa. Fase virus laten
dimulai dengan tidak ada tanda atau gejala dan dapat berakhir hingga 1
bulan dan 1 tahun. Mengikut fase laten, produksi DNA virus, kapsid dan
partikel dimulai. Sel Host menjadi terinfeksi dan timbul atipikal
morfologis koilocytosis dari kondiloma akuminata.Area yang paling sering
48
terkena adalah penis, vulva, vagina, serviks, perineum dan perineal.Lesi
mukosa yang tidak biasa adalah di oropharynx, larynx, dan trachea telah
dilaporkan. HPV-6 bahkan telah dilaporkan di area lain yang tidak biasa
(ekstremitas). Lesi simultan multiple juga sering dan melibatkan keadaan
subklinis sebagaimana anatomi yang berdifferensiasi dengan baik. Infeksi
subklinis telah ditegakkan dalam membawa keadaan infeksi dan potensi
akan onkogenik.VPH masuk kedalam tubuh melalui mikrolesi pada kulit
sehingga kondiloma akuminatum sering timbul pada daerah yang mudah
mengalami trauma pada saat hubungan seksual( Sudoyo,2014 ).
1. Bentuk akuminata
2. Bentuk papul
3. Bentuk datar
Secara klinis, lesi bentuk ini terlihat sebagai makula atau bahkan sama
sekali tidak tampak dengan mata telanjang, dan baru terlihat setelah
dilakukan tes asam asetat. Dalam hal ini penggunaan kolposkopi sangat
menolong (Mansjoer, 2014).
49
Gejala Klinis
50
sehingga KA sering timbul di daerah yang mudah mengalami trauma pada
saat hubungan seksual .
Pada pria tempat sering terkena adalah glans penis , sulkus koronarius ,
frenulum dan batang penis , sedang pada wanita adalah fourchette
posterior, vestibulum( Sudoyo, 2014) .
Penegakan Diagnosis
Bubuhkan asam asetat 5% dengan lidi kapas pada lesi yang dicurigai.
Dalam beberapa menit lesi akan berubah warna menjadi putih
(acetowhite). Perubahan warna pada lesi di daerah perianal perlu waktu
lebih lama (sekitar 15 menit).
2. kolposkopi
3. Histopatologi
51
Diagnosis Banding
2. Moluskum kontagiosum.
3. Veruka vulgaris.
5. Rhabdomyolysis
Penatalaksanaan
52
besar , lokalisasi , jenis dan jumlah lesi , serta keterampilan dokter yang
melakukan pengobatan .
a. Kemoterapi
b. Tindakan bedah
1.Bedah scalpel
2.Bedah litrik
53
c.Interferon
d.Immunoterapi
Pada penderita dengan lesi yang luas dan resisten terhadapn pengobatan
dapat diberikan pengobatan bersama immunodulator .Salah satu obat yang
saat ini sering dipakai adalah Imiquimod. Imiquimod dalam bentuk krem ,
dioleskan 3 x seminggu , paling lama 16 minggu . Dicuci setelah 6 8 jam
pemakaian .
1. Tutul (olesi sedikit) dengan tinctura podofilin 20-25% (ini tidak boleh
diberikan pada wanita hamil, karena dapat terjadi kematian fetus/janin).
2. Pada wanita hamil, tutul dengan asam triklorasetat (TCA) 80-90%. Atau
digunakan larutan dengan konsentrasi 50%, dioleskan setiap minggu.
6. Bedah skalpel.
7. Laser karbondioksida.
54
dengan dosis 1-5 mU i.m. selama 6 minggu.
b. Interferon beta diberikan dengan dosis 2x10 g unit i.m. selama 10 hari
berturut-turut.
9. Pada pria yang tidak dikhitan (disunat) dapat dilakukan eksisi dan
sirkumsisi (khitan).
( Sudoyo, 2014 )
Prognosis
b. Infeksi HPV tampak untuk menjadi lebih sering dan memburuk pada
pasien dengan variasi tipe defisiensi imun. Angka rekurensi, ukuran,
ketidaknyamanan dan risiko dari perkembangan onkologis merupakan
yang tertinggi di antara pasien ini.Infeksi sekunder adalah hal yang tidak
biasa.
55
d. Kedua jenis kelamin dapat rentan terhadap infeksi.
f. Prevalensi adalah yang terbesar pada orang dengan usia antara 17-33
tahun, dengan insidensi meningkat pada orang yang berusia 20-24 tahun.
j. Keluahan utama biasanya salah satu dari benjolan yang tidak nyeri,
pruritus, atau keluar cairan(zubier f, 2009).
Definisi
Etiologi
56
berhubungan seksual, melakukan hubungan seksual tidak wajar
(anal,oral), dan lain-lain (Kemenkes, 2011).
a. Morfologi
b. Klasifikasi
Ordo : Chlamydiales
Famili : Chlamydiaceae
Genus : Chlamydia
(Atlanta, 2010)
Faktor risiko
Usia dibawah 25 tahun.
57
Pasangan seks mengidap IMS yang lain
(Kemenkes, 2011)
Epidemiologi
Patofisiologi
Bakteri Chlamydia trachomatis dapat masuk ke
tubuh m a n u s i a melalui beberapa cara, dapat melalui hubungan
seksual maupun kontak dengan mata. Orang yang terinfeksi
klamidia dapat menularkan bakteri Chlamydiatrachomatis
melalui sentuhan fisik, hubungan seksual, jabatan tangan.
Daritangan yang sudah terinfeksi ini bakteri bisa masuk ke tubuh,
misalnya melaluimata saat secara tidak sengaja mengucek-ngucek mata.
klamidiasis disebabkan oleh bakteri dan dapat ditularkan melalui seks
tanpa pelindung pada vagina, mulut atau dubur. Wanita hamil dapat
menularkan Chlamydia pada janin, menyebabkan infeksi mata dan paru-
paru yang serius. Bila menderita Chlamydia, juga akan menjadi mudah
58
tertular dan menularkan HIV. Kesulitannya adalah kebanyakan orang
tidak mengetahui bahwa mereka mengidap klamidia karena mereka tidak
merasa atau melihat ada yang salah. Tanpa mereka ketahui mereka dapat
menularkan Chlamydia pada pasangan mereka (Kemenkes, 2011).
59
Siklus hidup Chlamydia trachomatis
Gejala Klinis
Rasa terbakar atau sakit sewaktu mengeluarkan air seni.
Keluaran vagina yang tidak biasa.
Rasa sakit pada perut bagian bawah.
Rasa sakit sewaktu melakukan seks.
Pendarahan yang tidak biasa atau bercak di antara waktu haid.
Keluaran keputihan atau kuning dari penis.
Rasa terbakar atau sakit sewaktu mengeluarkan air seni.
Iritasi atau pedih disekitar uretra (lubang penis).
Tanpa pengobatan dini, wanita dan gadis dapat menderita infeksi
pada serviks, kandungan dan tuba fallopian. Ini disebut dengan Pelvic
Inflammatory Diseases (PID). Tuba fallopian (yang membawa telur ke
kandungan) dapat berparut bahkan dapat tersumbat. Hal ini juga
mencegah telur yang sudah dibuahi masuk ke dalam kandungan, dan
menyebabkan kehamilan ektopik (di mana telur tumbuh di tuba fallopian)
yang memerlukan pembedahan dan dapat menyebabkan kematian. Ingat,
kebanyakan anak laki-laki dan pria yang mengidap chlamydia tidak
merasakan tanda apapun (Kemenkes, 2011).
60
Penyakit yang ditimbulkan
Laki-laki
a. Urethritis
61
d. Prostatitis
62
Salfingitis terjadi oleh karena penjalaran infeksi secara
ascenden sehingga infeksi sampai ke tuba dan menyebabkan
kerusakan pada tuba (terjadi tuba scarring). Hal ini dapat
menyebabkan infertilitas dan kehamilan ektopik. Wanita dengan
PID, lebih separuh disebabkan oleh Chlamydia, umumnya mengeluh
rasa tidak enak terus di perut bawah. Itu lantaran infeksi menyebar
ke rahim, saluran telur, indung telur, bahkan sampai ke leher rahim
juga (Karmila, 2001).
d. Perihepatitis
63
belum menemukan kesepakatan universal apakah skrining penting
untuk laki-laki atau tidak.
Penatalaksanaan
a. Tetrasiklin
64
Regimen untuk wanita hamil:
Pencegahan
a. Selalu memakai kondom atau dam gigi dan pelumas berdasar air.
Kondom adalah cara terbaik untuk melindungi anda dari chlamydia
dan IMS yang lain. Selalu pakai kondom sewaktu melakukan seks
vagina atau dubur, dan dam gigi sewaktu seks mulut., sampai anda
sangat yakin bahwa anda dan pasangan anda tidak menderita IMS.
(Kemenkes, 2011)
Definisi
AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang
merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Mansjoer, 2010).
Etiologi
Epidemiologi
65
anak-anak berusia kurang dari 15 tahun. Infeksi HIV telah menyebabkan
kematian sekitar 21,8 juta orang. Belahan dunia yang paling parah
terjangkit HIV/AIDS adalah Afrika sub-sahara, daerah lain yang
mengkhawatirkan adalah Asia Selatan dan Asia Tenggara (Djuanda,
2007).
Cara penularan
Hubungan seksual
Melalui darah
a) Transfusi darah yang mengandung HIV
b) Tertusuk jarum yang mengandung HIV
c) Terpapar mukosa yang mengandung HIV
Transmisi dari ibu ke anak
a) Selama kehamilan
b) Saat persalinan
c) Melalui ASI
(Djuanda, 2007)
66
Patofisiologi
Spesifikasi HIV terhadap CD4+ T cell ini membuat virus ini bisa
digunakan sebagai vektor untuk pengobatan gen (gene therapy) yang
efisien bagi pasien HIV/AIDS. Soalnya, vektor HIV yang membawa gen
anti-HIV hanya akan masuk ke dalam sel yang sudah dan akan diinfeksi
oleh virus HIV itu sendiri. Limfosit CD4+ merupakan target utama
infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul
67
permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah
fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan
gangguan respon imun yang progresif. Kejadian infeksi HIV primer
dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus
(SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa
vagina (Djuanda, 2007).
68
Manifestasi klinis
Gejala mayor:
Penegakkan diagnosis
1) Anamnesis
Past conditions mengindikasikan tanda infeksi HIV, misalnya:
zooster, vaginal candidiasis, leukoplakia.
Past oppotunistic and associated conditions cryptococcal
meningitis, TB,pneumocystis cranii pneumonia.
Current conditionsand symptoms demam, keringat malam,
sakit kepala, diare, lymphadenopathy.
Social history riwayat pengobatan, penggunaan jarum suntik,
riwayat hubungan seksual, riwayat penyakit cardiovascular pada
keluarga.
Previous immunisations
(Djuanda, 2007)
69
2) Pemeriksaan fisik
BB, temperatur, oropharynx, limfenodi, pemeriksaanthorax,
pemeriksaan abdominal, genitalia, pemeriksaannervous system
Tuberculin test
Pap smear untuk wanita
STD screening
(Djuanda, 2007)
3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dalam menentukan diagnosis
infeksi HIV dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan
menunjukkan adanya antibodi spesifik. Berbeda dengan virus lain,
antibodi tersebut tidak mempunyai efek perlindungan. Pemeriksaan
secara langsung dapat dilakukan, yaitu antara lain dengan melakukan
biakan virus, antigen virus (p24), asam nukleat virus (Djuanda,
2007).
Pemeriksaan adanya antibodi spesifik dapat dilakukan
dengan rapid test, Enzime Linked Sorbent Assay (ELISA) dan
western blot. Sesuai dengan pedoman nasional,diagnosis HIV dapat
ditegakkan dengan 3 jenis pemeriksaan rapid test yangberbeda atau 2
jenis pemeriksaan rapid test yang berbeda dan 1 pemeriksaanELISA
(Djuanda, 2007).
Pada pemeriksaan ELISA, hasil test ini positif bila antibodi
dalam serum mengikat antigen virus murni di dalam enzyme-linked
antihuman globulin. Pada minggu 23 masa sakit telah diperoleh basil
positif, yang lama-lama akan menjadi negatif oleh karena sebagian
besar HIV telah masuk ke dalam tubuh .interpretasi pemeriksaan
ELISA adalah pada fase pre AIDS basil masih negatif, fase AIDS
basil telah positif. Hasil yang semula positif menjadi negatif,
menunjukkan prognosis yang tidak baik (Djuanda, 2007).
Pemeriksaan western bolt merupakan penentu diagnosis
AIDS setelah test ELISA dinyatakan positif. Bila terjadi
serokonversi HIV pada test ELISA dalam keadaan infeksi HIV
primer, harus segera dikonfirmasikan dengan test ini. Hasil test yang
positif akan menggambarkan garis presipitasi pada proses
elektroforesis antigen-antibodi HIV di sebuah kertas nitroselulosa
70
yang terdiri atas protein struktur utama virus. Setiap protein terletak
pada posisi yang berbeda pada garis, dan terlihatnya satu pita
menandakan reaktivitas antibodi terhadap komponen tertentu virus
(Djuanda, 2007).
Berdasarkan kriteria WHO,serum dianggap positif antibodi
HIV-1 bila 2 envelope pita glikoprotein terlihat pada garis. Serum
yang tidak menunjukkan pita-pita tetapi tidak termasuk 2 envelope
pita glikoprotein disebut indeterminate. Hasil indeterminate harus
dievaluasi dan diperiksa secara serial selama 6 bulan sebelum
dinyatakan negatif. Bila hanya dijumpai 1 pita saja yaitu p24, dapat
diartikan hasilnya fase positif atau fase dini AIDS atau infeksi HIV-1
(Djuanda, 2007).
Waktu antara infeksi dan serokonversi yang berlangsung
beberapa minggu disebut antibody negative window period. Pada
awal infeksi, antibodi terhadap glikoprotein envelope termasuk gp41
muncul dan menetap seumur hidup. Sebaliknya antibodi antigen inti
(p24) yang muncul pada infeksi awal, jumlahnya menurun pada
infeksi lanjut. Pada infeksi HIV yang menetap, titer antigen p24
meningkat, dan ini menunjukkan prognosis yang buruk. Penurunan
cepat dan konsisten antibodi p24 juga menunjukkan prognasi yang
buruk(Djuanda, 2007).
Penatalaksanaan
71
1) Terapi antiretroviral (ARV)
Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalahHighly Active
Antiretroviral Therapy (HAART), yang menggunakan kombinasi
minimal tiga obat antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam
menekan replikasi virus (viral load) sampai dengan kadar di bawah
ambang deteksi. Waktu memulai terapi ARV harus
dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan
dalam jangka panjang. ARV dapat diberikan apabila infeksi HIV
telah ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan
dibuktikan secara laboratoris (Djuanda, 2007).
Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah
menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnoss AIDS
atau menunjukkan gejala yang sangat berat tanpa melihat jumlah
CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik
dengan jumlah limfosit CD4 kurang dari 200 sel/mm3. Pasien
asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3
dapatditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik
dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih
dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula
ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan
jumlah limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang
dari 100.000 kopi/ml (Djuanda, 2007).
Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang
menggunakan obat ARV yang berfungsi menekan
perkembangbiakan virus HIV. Obat ini adalah inhibitor dari enzim
yang diperlukan untuk replikasi virus seperti reverse transcriptase
(RT) dan protease. Inhibitor rt ini terdiri dari inhibitor dengan
senyawa dasar nukleosid (nucleoside-based inhibitor) dan
nonnukleosid (nonnucleoside-based inhibitor). Obat ARV terdiri
dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NNRTI), protease inhibitor (PI) (Djuanda, 2007).
Nucleoside Reverse Transcriptase Iinhibitor atau NRTI
merupakan analog nukleosida. Obat golongan ini bekerja dengan
72
menghambat enzim reversetranskriptase selama proses transkripsi
RNA virus pada DNA hospes. Analog NRTI akan mengalami
fosforilasi menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian secara
kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai
DNA virus akan mengalami terminasi sedangkan analog NNRTI
akan berikatan langsung dengan enzim reversetranskriptase dan
menginaktifkannya. Obat yang termasuk dalam golongan NRTI
antara lain abacavir (ABC), zidovudine (AZT), emtricitabine
(FTC), didanosine (DDI), lamivudine (3TC) dan stavudine (D4T),
tenofovir. Obat yang termasuk NNRTI antara lain efavirenz (EFV)
nevirapine (NVP), delavirdine (Djuanda, 2007).
Protese inhibitor (PI) bekerja dengan cara menghambat
protease HIV. Setelah sintesis mRNA dan poliprotein HIV terjadi,
tahap selanjutnya protease HIV akan memecah poliprotein HIV
menjadi sejumlah protein fungsional. Dengan pemberian PI,
produksi virion dan perlekatan dengan sel pejamu masih terjadi,
namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel. Yang
termasuk golongan PI antara lain ritonavir (RTV), atazanavir
(ATV), fos-amprenavir (FPV), indinavir (IDV), lopinavir (LPV)
and saquinavir (SQV) (Djuanda, 2007).
Terapi lini pertama yang direkomendasikan WHO adalah
kombinasi dua obat golongan NRTI dengan satu obat golongan
NNRTI. Kombinasi ini mempunyai efek yang lebih baik
dibandingkan kombinasi obat yang lain dan membutuhkan biaya
yang lebih sedikit karena terdapat generiknya. Analog thiacytadine
(3 TC atau FTC) merupakan obat pilihan dalam terapi lini pertama.
3 TC atau FTC dapat dikombinasi dengan analog nukleosida atau
nukleotida seperti AZT, TDF, ABC atau D4T. Didanosine (DDI)
merupakan analog adenosine direkomendasikan untuk terapi lini
kedua. Obat golongan NNRTI, baik efv atau nvp dapat dipilih
untuk dikombanasikan dengan obat NRTI sebagai terapi lini
pertama. Terapi lini pertama dapat juga dengan mengkombinasikan
73
3 obat golongan NRTI apabila obat golongan NNRTI sulit untuk
diperoleh (Djuanda, 2007).
Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di
dalam darah dan dapat digunakan untuk memantau beratnya
kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV. Kegagalan terapi dapat
dilihat secara klinis dengan menilai perkembangan penyakit secara
imunologis dengan penghitungan CD4+ dan atau secara virologi
dengan mengukur viral-load. Kegagalan terapi terjadi apabila
terjadi penurunan jumlah CD4+ (Djuanda, 2007).
Selain itu terjadinya toksisitas terkait dengan
ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari obat, sehingga
terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat
dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil
pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium,
tergantung dari macam kombinasi obat yang dipakai (Djuanda,
2007).
Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom
pemulihan kekebalan (immuno reconstitution inflammatory
syndrome atau IRIS), yaitu keadaan yang dapat muncul pada awal
pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi
oportunistik beberapa minggu setelah art dimulai sebagai suatu
respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang semula
subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengan
gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi
imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi
oportunistik (Djuanda, 2007).
Apabila terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa
pengobatan terapi lini pertama dan didapat tanda terjadinya
toksisitas dapat dipertimbangkan untuk mengganti terapi.Pada
kegagalan terapi dianjurkan untuk mengganti semua obat lini
pertama dengan rejimen lini kedua. Rejimen lini kedua pengganti
harus terdiri dari obat yang kuat untuk melawan galur/strain virus.
Terapi lini kedua yang direkomendasikan WHO terdiri dari
kombinasi 2 regimen obat golongan NRTI dengan regimen obat
74
golongan pi dosis rendah. Ritonavir merupakan pilihan utama
golongan pi dalam terapi lini kedua. Golongan NRTI yang menjadi
pilihan untuk terapi lini kedua adalah ddi atau tdf. Penambahan
golongan NNRTI dapat digunakan apabila pada terapi lini pertama
menggunakan 3 obat golongan NRTI (Djuanda, 2007).
2) Terapi infeksi opportunistik
Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas AIDS, dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau
kemoterapeutik disesuaikan dengan infeksi-infeksi yang sebetulnya
berasal dari mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di
sekitar kita, sehingga jenis infeksi sangat tergantung dari
lingkungan dan cara hidup penderita (Djuanda, 2007).
Hampir 65% penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi
pulmonologis dimana pneumonia karena P.carinii merupakan
infeksi oportunistik tersering, diikuti oleh infeksi m tuberculosis,
pneumonia bakterial dan jamur, sedangkan pneumonia viral lebih
jarang terjadi.alasan terpenting mengapa sering terjadi komplikasi
pulmonologis pada infeksi HIV adalah konsekuensi anatomis paru
sehingga terpapar secara kronis terhadap bahan-bahan infeksius
maupun noninfeksius dari luar (eksogen), di sisi lain juga terjadi
paparan secara hematogen terhadap virus HIV (endogen) yang
melemahkan sistem imun. Komplikasi pulmonologis, terutama
akibat infeksi oportunistik merupakan penyebab morbiditas dan
mortalitas utama serta bisa terjadi pada semua stadium dengan
berbagai manifestasi (Djuanda, 2007).
Pneumocystis carinii (P. Cranii) diklasifikasikan sebagai
jamur. P. cranii merupakan penyebab pneumocystis carinii
pneumonia (PCP) yang merupakan infeksi oportunistik tersering
pada infeksi HIV/AIDS.lebih dari separuh (70-80%) penderita
AIDS mendapatkan paling sedikit satu episode PCP pada
perjalanan klinis penyakitnya, denganmortalitas berkisar antara 10-
40% (Djuanda, 2007).
Manajemen PCP tergantung dari derajat berat-ringannya
pneumonia yang terjadi. Pada pneumonia yang sedang-berat atau
75
berat, penderita harus di rawat di rumah sakit karena mungkin
memerlukan bantuan ventilator (sekitar 40% kasus). Obat pilihan
adalah kotrimoksazol intravena dosis tinggi. Terapi antibiotika ini
diberikan selama 21 hari. Penderita yang berespon baik dengan
antibiotika intravena, dapat melanjutkan terapi dengan antibiotika
peroral untuk jika sudah memungkinkan. Hipoksemia yang
signifikan (PaO2 < 70 mmhg atau gradien arterial-alveolar > 35),
memerlukan kortikosteroid dan diberikan sesegera mungkin (dalam
72 jam) belum terapi antibiotika untuk menekan risiko komplikasi
dan memperbaiki prognosis (Djuanda, 2007).
Pada kasus-kasus ringan-sedang dapat diberikan
kotrimoksazol oral dengan dosis 2 x 960 mg selama 21 hari.
Alternatif terapi lainnya untuk PCP berat adalah pentamidin
intravena (pilihan kedua) dan klindamisin plus primakuin (pilihan
ketiga), sedangkan PCP ringan-sedang dapat diberikan dapsone
plus trimetoprim, klindamisin ditambah primakuin, atovaquone
atau trimetrexateditambah leucovorin(Djuanda, 2007).
Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem
penting pada infeksi HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian
pada sekitar 11% penderita. Berdasarkan data world health
organization (WHO), pada akhir tahun 2000 kira-kira 11,5 juta
orang penderita infeksi HIV di dunia mengalami ko-infeksi m.
Tuberculosis dan meningkatkan risiko kematian sebesar 2 kali lipat
dibandingkan tanpa tuberkulosis, dan seiring dengan derajat
beratnya imunosupresi yang terjadi (Djuanda, 2007).
Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya
sama dengan tanpa infeksi HIV. Saat pemberian obat pada
koinfeksi TBc-HIV harus memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai
dengan rekomendasi yang ada. Namun pada beberapa atudi
mendapatkan tingginya angka kekambuhan pada penderita yang
menerima obat anti tuberkulosis (OAT) selama 6 bulan
dibandingkan dengan 9-12 bulan (Djuanda, 2007).
Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, terutama
rifampicin karena rangsangannya terhadap aktivitas sistem enzim
76
liver sitokrom p450 yang memetabolisme pi dan NNRTI, sehingga
terjadi penurunan kadar pi dan NNRTI dalam darah sampai kadar
sub-terapeutik yang berakibat incomplete viral suppresion dan
timbulnya resistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula
mempertinggi atau menghambat sistem enzim ini dan berakibat
terganggunya kadar rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini
akhirnya berakibat tidak efektifnya sehingga terjadi penurunan
kadar pi dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-terapeutik yang
berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat
(Djuanda, 2007).
Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau
menghambat sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar
rifampicin dalam darah. Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat
tidak efektifnya obat ARV dan terapi tuberkulosis serta
meningkatnya risiko toksisitas obat, sehingga pemakaian bersama
obat-obat tersebut tidak direkomendasikan (Djuanda, 2007).
Sarkoma kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi
keganasan yang paling sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS.
Penyakit yang disebabkan oleh cytomegalovirus ini ditandai
dengan lesi-lesi tersebar di daerah mukokutan, batang tubuh,
tungkai atas dan bawah, muka dan rongga mulut. Bentuk lesi
berupa makula eritematosa agak menimbul, berwarna hijau
kekuningan sampai violet. Cara penularannya melalui kontak
seksual. Karsinoma sel skuamosa tipe in situ maupun invasif di
daerah anogenital, limfoma terutama neoplasma sel limfosit b;
keganasan kulit non melanoma serta nevus displastik dan
melanoma, merupakan neoplasma lainnya yang sering dijumpai
pada penderita HIV/AIDS(Djuanda, 2007).
Seperti halnya keganasan lain, tetapi sarkoma kaposi akan
lebih efektif bila dalam keadaan baru dan besarnya terbatas.
Radiasi, kemoterapi dan imunomodulator interferon telah dicoba,
yang sebenarnya lebih ditujukan untuk memperpanjang masa
hidup, sehingga lama terapi sulit ditentukan(Djuanda, 2007).
77
Dalam keadaan tidak dapat mengurus dirinya sendiri atau
dikhawatirkan sangat menular, sebaiknya penderita dirawat di
rumah sakit tipe a atau b yang mempunyai berbagai disiplin
keahlian dan fasilitas icu. Perawatan dilakukan di unit sesuai
dengan gejala klinis yang menonjol pada penderita. Harapan untuk
sembuh memang sulit, sehingga perlu perawatan dan perhatian
penuh, termasuk memberikan dukungan moral sehingga rasa takut
dan frustrasi penderita dapat dikurangi(Djuanda, 2007).
Guna mencegah penularan di rumah sakit terhadap
penderita lain yang dirawat maupun terhadap tenaga kesehatan dan
keluarga penderita, perlu diberikan penjelasan-penjelasan khusus.
Perawatan khusus diperuntukkan dalam hal perlakuan spesimen
yang potensial sebagai sumber penularan. Petugas yang merawat
perlu mempergunakan alat-alat pelindung seperti masker, sarung
tangan, yang jasa pelindung, pelindung mata, melindungi kulit
terluka dari kemungkinan kontak dengan cairan tubuh penderita
dan mencegah supaya tidak terkena bahan/sampah
penderita(Djuanda, 2007).
Prognosis
78
menyusui) dan pasca produksi (masa menopouse). Persoalan-persoalan
lain yang acap tertinggal dalam kajian atasnya adalah tentang kehidupan
seksual perempuan secara memuaskan dan aman, tidak dipaksa, hak-
haknya untuk mengatur kelahiran, menentukan jumlah anak, hak-haknya
untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari semua pihak baik dalam
sektor domestik maupun publik, hak untuk mendapatkan informasi dan
pelayanan kesehatan yang benar dan lain-lain.
79
Situasi perempuan seperti di atas sesungguhnya telah menimbulkan
kondisi eksistensi perempuan yang serius. Berdasarkan hasil Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, angka kematian ibu
mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Hasil-hasil penelitian para ahli
kependudukan menyatakan bahwa komplikasi kehamilan dan persalinan
benar-benar merupakan pembunuh utama dari kaum wanita usia subur.
Data-data menunjukkan bahwa 20 45 % dari semua kematian kaum
wanita dalam kelompok usia subur (15-49 tahun) di kebanyakan negara
berkembang disebabkan oleh penyakit yang ada kaitannya dengan
kehamilan
80
menjadi tenteram dan Dia menjadikan di antara kamu (relasi yang) saling
mencinta dan merahmati (mengasihi). Hal itu (seharusnya) menjadi
renungan bagi orang-orang yang berpikir (Q.S. al-Rum [30]:21). Ada
sejumlah tujuan yang hendak dicapai dari pernikahan ini. Pertama sebagai
cara manusia menyalurkan hasrat libidonya untuk memperoleh
kenikmatan/kepuasan seksual. Inilah yang sering disebut rekreasi.
Kedua merupakan ikhtiar manusia untuk melestarikan kehidupan manusia
di bumi. Pernikahan dalam arti ini mengandung fungsi prokreasi
sekaligus reproduksi. Ketiga, menjadi wahana manusia menemukan
tempat ketenangan dan keindahannya. Melalui perkawinan, kegelisaan dan
kesusahan hati manusia mendapatkan salurannya. Untuk pencapaian
tujuan tersebut disyaratkan melalui pola relasi kesalingan (al-tabadul).
BAB VIII
PENUTUP
8.1 . Kesimpulan
Pasien laki-laki mengeluhkan kencing nanah karena sering jajan dan diberi
obat namun pada hari ke-6 penisnya gatal, keluar cairan bening dari penis dan
istrinya mengeluhkan keluarnya cairan behih dari vaginanya. Penyakit yang
diderita oleh pasien besar kemungkinan adalah infeksi menular seksual karena
letaknya berada pada organ genitalia, yang mana ada 4 penyebabnya yaitu bakteri,
virus, parasit dan protozoa. Kencing nanah menandakan adanya proses infeksi
yang disebabkan oleh bakteri. Proses terjadinya kencing nanah dikarenakan
81
bakteri menginvasi mukosa saluran genital sehingga menstimulasi dilepaskannya
mediator-mediator inflamasi area sekitar infeksi, yang mengundang makrofag,
monosit dan sel PMN secara kemotaksis untuk melokalisasi area infeksi,
memfagosit mikroorganisme, dan sisa jaringan nekrosis. Hal ini menimbulkan
respon perandangan secara cepat akibat destruksi sel mukosa sehingga
mengakibatkan keluarnya sekret purulen kuning kehijauan dari uretra pria dan
dari ostium vagina atau serviks wanita.
Infeksi menular seksual dapat menyebar kearea lain yang lebih luas salah
satu diantaranya adalah pada endometrium dan tuba fallopi yang menyebabkan
perdarahan abnormal vagina, nyeri panggul dan abdomen, serta gejala radang
panggul progresif, sebagai penyebab utama timbulnya infertilitas pada
perempuan. Jika istri pasien hamil maka yang akan terjadi pada ibunya adalah
keguguran, KET, endometriosis, dan aborsi spontan, sedangkan pada janinnya
adalah sepsis infeksi aliran darah, infeksi kulit kepala, arthritis, konjungtivitis dan
bahkan kebutaan.
Adapun hari ke-6 pasien mengelukan gatal dan keluar cairan bening dari
penisnya kemungkinan disebabkan karena infeksi yang berulang, resistensi
antibiotik, atau ketidakpatuhan dalam pengobatan. Oleh karena itu pentingnya
kepatuhan terhadap dokter dalam proses penyebuhan penyakit pasien.
8.2. . Saran
82
3. Mahasiswa menuliskan logbok dengan rapi agar dapat dibaca lagi apabila
lupa dengan materi yang telah disampaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Aprianti S, Pakashi RDN, Hardjoeno. 2003. Tes Sifilis dan Gonorrhoe dalam:
Hardjoeno dkk. Interpretasi Hasil Tes Laboratorium
Diagnostik.Makasar: Penerbit LETHAS
Aprilianingrum, F., 2002, Survei Penyakit Sifilis dan Infeksi HIV pada Pekerja
Seks Komersial Resosialisasi Argorejo Kelurahan Kalibanteng Kulon
Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang Tahun 2002, Laporan
Penelitian, Semarang.
83
Arief Mansjoer. 2010.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
FKUI
Chiuman, Linda., 2009. Gambaran Pengetahuan dan Sikap Remaja SMA Wiyata
Dharma Medan Terhadap Infeksi Menular Seksual. [skripsi] Medan :
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Daili, S.F., 2009. Gonore. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th
ed.Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 65-76.
Djuanda, Adhi, Mochtar, Aisah, Siti. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi
Kelima. Jakarta : FKUI
84
Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Edisi Kelima. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI
Hutapea, NO. 2009. Sifilis dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi
Menular Seksual. Jakarta. Balai Penerbit FKUI
85
Riedner G, Rusizoka M, Todd J, Maboko L, Hoelscher M, Mmbando D et al.
2005. Single-Dose Azithromycin versus Penicillin G Benzathine for the
Treatment of Early Syphilis. NEJM 2005 Volume 353:1236-124
Suyono, Slamet, (2001), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta
Wolff K, Richard AJ, Dick S. 2005. fitzpatrick's color atlas and synopsis of
clinical dermatology. English: McGraw-Hill Professional.
86