Anda di halaman 1dari 3

Pembentukan Radioisotop dalam Reaksi Int

Seringkali kita menggunakan reaksi untuk menghasilkan berbagai isotope radioaktif. Dalam prosedur ini,
sebuah isotope X stabil (tidak radioaktif) diradiasi dengan partikel x untuk membentuk isotope radioaktif
Y; partikel keluar y tidak menarik perhatian di sini, karena itu tidak diamati.

Kita ingin menghitung aktivitas isotope Y yang dihasilkan dari penyinaran hingga suatu jumlah partikel x
tertentu suatu selang waktu tertentu t. Misalkan R menyatakan laju tetap yang menghasilkan Y. Besaran
ini mengaitkan penampang dengan intensitas berkas x, sebagamana diberikan oleh persamaan (10.1).
(Anda harus meyakinkan diri bahwa laju R yang membentuk Y identic dengan laju I yang memancarkan
y). Dalam selang waktu dt, jumlah inti Y yang dihasilkan adalah R dt. Karena isotope Y bersifat radioaktif,
jumlah inti Y yang meluruh dalam selang dt adalah N dt , dimana adalah tetapan luruh (
=0,693/t1/2) dan N jumlah inti Y yang ada. Perubahan neto dN dalam jumlah inti Y adalah

dN =R dt N dt
Atau

dN
=R N
dt
Pemecahan bagi persamaan diferensial ini adalah

R
N (t)= ( 1e t )

Jadi, aktivitasnya adalah

( t )= N =R ( 1e t )
Perhatikan bahwa pada t=0, =0 (tidak ada inti jenis Y pada saat awal). Untuk waktu penyinaran yang
lama t>>>t1/2, pernyataan ini menghampiri nilai tetap R. Jika t kecil dibandingkan terhadap usia paruh t 1/2,
maka aktivitas naik secara linear terhadap waktu:

( t )=R ( 1( 1 t+ ) )

( t ) R t ( t t 1/ 2)

Gambar 10.6 memperlihatkan hubungan antara ( t ) dan t. Sebagaimana dapat anda lihat, tidak
banyak aktivitas yang diperoleh untuk lama penyinaran melebihi sekitar dua usia-paruh.

Dalam reactor, intesitas neutron biasanya dinyatakan dalam laju neutron per satuan luas, atau fluks
neutron (neutron/cm2/s). Penampang neutron adalah (sentimeter persegi per inti per
neutron dating). Laju R juga bergantung pada jumlah inti sasaran. Andaikan massa sasaran adalah m,
maka jumlah inti sasaran adalah (m/M)N A, di mana M adalah berat molekul, yang dapat sama dengan
nomor massa A jika sasaran adalah atom murni, dan N A adalah bilangan Avogadro (6,02 x 1023 atom per
mol). Jadi, untuk reaksi imbas-neutron, dengan menggunakan Persamaan (10.1), diperoleh

m
R= N
M A
Kinematka Reaksi Energi Rendah

Untuk bahasan ini, kita anggap bahwa kecepatan partikel-partikel inti cukup rendah sehingga kita dapat
menggunakan kinematika tidak relavistik. Kita tinjau sebuah partikel x bergerak dengan momentum p x
dan energy kinetic Kx. Inti sasaran dalam keadaan diam, dan hasil reaksi masing-masing memiliki
momentum py dan pY, dan energy kinetic Ky dan KY. Partikel y dan Y berturut-turut dipancarkan pada
y dan Y terhadap arah berkas datang. Gambar 10.7 melukiskan reaksi ini. Kita menganggap
bahwa inti hasil reaksi Y tidak diamati dalam laboratorium (jika ia berupa inti berat, geraknya relative
lambat, sehingga umumnya berhenti dalam bahan sasaran.

Seperti yang kita lakukan pada kasus peluruhan radioaktif, kita gunakan kekekalan energy untuk
menghitung nilai Q dari reaksi ini (dengan anggapan X mula-mula diam):

Energi awal = energi akhir


2 2 2 2
mx c + K x +mx c =m y c + K y +mY c + K Y

Ketika m dalam persamaan 10.8 menyatakan massa inti sebenarnya dari semua partikel yang bereaksi.
Tetapi, sebagaimana telah kita bahas, jumlah proton dan neutron sebelum dan sesudah reaksi harus
sama, yakni :

GAMBAR

Karena itu, kita dapat menambahkan jumlah massa electron yang sama pada kedua belah ruas Persaman
(10.8) dan, seperti biasanya, mengabaikan energi ikat electron. Dengan demikian, massa inti menjadi
massa atom tanpa memerlukan lagi koreksi tambahan. Dengan menuliskan kembali persamaan (10.8)
kita peroleh :
2 2 2 2
mx c + mx c m y c mY c =K y + K Y K x

Beda massa antara partikel awal dan akhir didefinisikan sebagai nilai Q reaksi,
2
Q=( mx + mx m y mY ) c

Jadi, dengan menggabungkan Persamaan (10.10) dan (10.11), kita lihat bahwa nilai Q sama pula dengan
beda energy kinetic antara partikel akhir dan awal :

Q=K y + K Y K x

Reaksi yang menghasilkan Q>0, mengubah energy inti menjadi energy kinetic dari y dan Y, dan disebut
reaksi eksotermik atau eksoergik. Reaksi yang menghasilkan Q<0, memerlukan masukan energy, dalam
bentuk energy kinetic x, untuk diubah menjadi energy ikat inti. Ini dikenal sebagai reaksi endotermik atau
endoergic.

Pada reaksi endoergic, kita sekurang-kurangnya harus memasok sejumlah energy kinetic tertentu untuk
memberikan tambahan massa diam pada partikel-partikel hasil reaksi. Dengan demikian, terdapat nilai
minimum, atau ambang, bagi energy kinetic x. Bila energy kinetic ini lebih kecil daripada energy ambang,
maka reaksi tidak dapat berlangsung. Energi kinetic ambang ini tidak hanya harus memasok kelebihan
massa partikel hasil reaksi, tetapi juga harus memasok energy kinetic hasil reaksi. Pada energy minimum
pun, partikel hasil reaksi tidak boleh dalam keadaan diam, karena keadaan tersebut melanggar kekekalan
momentum linearmomentum px sebelum tumbukan tidak akan sama dengan momentum partikel-
partikel akhir setelah tumbukan.

Persoalan ini lebih mudah dianalisis dalam kerangka acuan pusat massa. Dalam kerangka lab, sebelum
reaksi, pusat massa bergerak dengan laju v = m xvx/(mx + mx). Jika kita bergerak dengan laju tersebut, kita
akan melihat x bergerak dengan laju vx x dan X dengan laju v, seperti yang diperlihatkan pada Gambar
10.8. Jika x bergerak dengan energy kinetic ambang, maka dalam kerangka acuan ini, hasil reaksi y dan Y
akan tampak diam.

Hukum kekekalan energy relativistic total K + m 0c2 harus dipenuhi dalam reaksi, dan bahasan kita dibatasi
hanya pada kecepatan-kecepatan rendah v<<<c. Jadi, kita dapat menggunakan pernyataan klasik energy
kinetic. Kekekalan energy dalam kerangka pusat-massa memberikan:

1 1
m ( v v )2 + mx (v )2+ m x c2 +m x c 2=m y c 2+ mY c 2
2 x x 2
vx menyatakan laju ambang dalam ambang kerangka laboratorium. Dengan menyisipkan nilai v dan
melakukan sedikit aljabar, kita peroleh energy kinetic ambang (dalam kerangka acuan laboratorium):

mx
(
K th =Q 1+
mX )

Anda mungkin juga menyukai