Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN KISTA BARTOLONI

LAPORAN PENDAHULUAN
1.Definisi
Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk di bawah kulit
atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista kelenjar Bartholin terjadi ketika kelenjar ini menjadi
tersumbat. Kelenjar Bartolini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi,
peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami infeksi maka
saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan
yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak
dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi.
Fisiologi
Kelenjar ini mengeluarkan lendir untuk memberikan pelumasan vagina. kelenjar Bartolini
mengeluarkan jumlah lendir yang relatif sedikit sekitar satu atau dua tetes cairan tepat sebelum
seorang wanita orgasme. Tetesan cairan pernah dipercaya menjadi begitu penting untuk
pelumas vagina, tetapi penelitian dari Masters dan Johnson menunjukkan bahwa pelumas
vagina berasal dari bagian vagina lebih dalam. Cairan mungkin sedikit membasahi permukaan
labia vagina, sehingga kontak dengan daerah sensitif menjadi lebih nyaman bagi wanita.
2.2.Etiologi
Kista Bartolini berkembang ketika saluran keluar dari kelenjar Bartolini tersumbat. Cairan
yang dihasilkan oleh kelenjar kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak
dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi. Abses Bartolini
dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri. Ini termasuk organisme yang menyebabkan penyakit
menular seksual seperti Klamidia dan Gonore serta bakteri yang biasanya ditemukan di saluran
pencernaan, seperti Escherichia coli. Umumnya abses ini melibatkan lebih dari satu jenis
organisme. Obstruksi distal saluran Bartolini bisa mengakibatkan retensi cairan, dengan
dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan kista. Kista dapat terinfeksi, dan abses
dapat berkembang dalam kelenjar. Kista Bartolini tidak selalu harus terjadi sebelum abses
kelenjar. Kelenjar Bartolini adalah abses polimikrobial. Meskipun Neisseria gonorrhoeae
adalah mikroorganisme aerobik yang dominan mengisolasi, bakteri anaerob adalah patogen
yang paling umum. Chlamydia trachomatis juga mungkin menjadi organisme kausatif. Namun,
kista saluran Bartolini dan abses kelenjar tidak lagi dianggap sebagai bagian eksklusif dari
infeksi menular seksual. Selain itu operasi vulvovaginal adalah penyebab umum kista dan abses
tersebut.
2.3.Patofisiologi
Tersumbatnya bagian distal dari duktus Bartholin dapat menyebabkan retensi dari sekresi,
dengan akibat berupa pelebaran duktus dan pembentukan kista. Kista tersebut dapat menjadi
terinfeksi, dan abses bisa berkembang dalam kelenjar. Kelenjar Bartholin sangat sering
terinfeksi dan dapat membentuk kista atau abses pada wanita usia reproduksi. Kista dan abses
bartholin seringkali dibedakan secara klinis.
Kista Bartholin terbentuk ketika ostium dari duktus tersumbat, sehingga menyebabkan distensi
dari kelenjar dan tuba yang berisi cairan.Sumbatan ini biasanya merupakan akibat sekunder
dari peradangan nonspesifik atau trauma. Kista bartholin dengan diameter 1-3 cms eringkali
asimptomatik. Sedangkan kistayang berukuran lebih besar, kadang menyebabkan nyeri dan
dispareunia. Abses Bartholin merupakan akibat dari infeksi primer dari kelenjar, atau
kista yang terinfeksi. Pasien dengan abses Bartholin umumnya mengeluhkan nyeri vulva yang
akut dan bertambah secara cepat dan progresif. Abses kelenjar Bartholin disebakan oleh
polymicrobial.

2.4. Gejala klinis


Pasien dengan kista dapat memberi gejala berupa pembengkakan labial tanpa disertai nyeri.
Pasien dengan abses dapat memberikan gejala sebagai berikut:
Nyeri yang akut disertai pembengkakan labial unilateral.
Dispareunia
Nyeri pada waktu berjalan dan duduk
Nyeri yang mendadak mereda, diikuti dengan timbulnya discharge ( sangat mungkin
menandakan adanya ruptur spontan dari abses)
2.5.Penatalaksanaan
Pengobatan kista Bartholin bergantung pada gejala pasien. Suatu kista tanpa gejala mungkin
tidak memerlukan pengobatan, kista yang menimbulkan gejala dan abses kelenjar memerlukan
drainase.
a.Tindakan Operatif
Beberapa prosedur yang dapat digunakan:
1) Insisi dan Drainase
Meskipun insisi dan drainase merupakan prosedur yang cepat dan mudahdilakukan serta
memberikan pengobatan langsung pada pasien, namun prosedur iniharus diperhatikan karena
ada kecenderungan kekambuhan kista atau abses.Ada studiyang melaporkan, bahwa terdapat
13% kegagalan pada prosedur ini.

2) Kateter
Word catheter ditemukan pertama kali pada tahun 1960-an. Merupakan sebuah kateter kecil
dengan balon yang dapat digembungkan dengan saline pada ujung distalnya, biasanya
digunakan untuk mengobati kista dan abses Bartholin. Panjang dari kateter karet ini adalah
sekitar 1 inch dengan diameter No.10 French Foley kateter. Balon kecil di ujung Word catheter
dapat menampung sekitar 3-4 mL larutan saline
3) Marsupialisasi
Alternatif pengobatans elain penempatan Wordcatheter adalah marsupialisasi dari kista
Bartholin . Prosedur ini tidak boleh dilakukan ketika terdapat tanda- tanda abses akut.
Gambar 8. Marsupialisasi Kista Bartholin (kiri) Suatu incisi vertikal disebut pada bagian tengah
kista, lalu pisahkan mukosa sekiar; (kanan) Dinding kista dieversi dan ditempelkan pada tepi
mukosa vestibular dengan jahitan interrupted
Setelah dilakukan persiapan yang steril dan pemberian anestesi lokal, dinding kista dijepit
dengan dua hemostat kecil. Lalu dibuat incisivertikal pada vestibular melewati bagian tengah
kista dan bagian luar dari hymenal ring.Incisi dapat dibuat sepanjang 1.5 hingga 3cm,
bergantung pada besarnya kista. Setelah kista diincisi, isi rongga akan keluar. Rongga ini dapat
diirigasi dengan larutan saline, dan lokulasi dapat dirusak dengan hemostat. Dinding kista ini
lalu dieversikan dan ditempelkan pada dindung vestibular mukosa dengan jahitan interrupted
menggunakan benang absorbable 2 -0.18 Sitz bath dianjurkan pada hari pertama setelah
prosedur dilakukan. Kekambuhan kista Bartholin setelah prosedur marsupialisasi adalah
sekitar 5-10 %.

4) Eksisi (Bartholinectomy)
Eksisi dari kelenjar Bartholin dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak berespon
terhadap drainase, namun prosedur ini harus dilakukan saat tidak ada infeksi aktif.
Eksisi kista bartholin karena memiliki risiko perdarahan, maka sebaiknya dilakukan di ruang
operasi dengan menggunakan anestesi umum. Pasien ditempatkan dalam posisi dorsal
lithotomy. Lalu dibuat insisi kulit berbentuk linear yangmemanjang sesuai ukuran kista pada
vestibulum dekat ujung medial labia minora dansekitar 1 cm lateral dan parallel dari hymenal
ring. Hati hati saat melakukan incisikulit agar tidak mengenai dinding kista.Struktur vaskuler
terbesar yang memberi supply pada kista terletak pada bagian posterosuperior kista. Karena
alasan ini, diseksi harus dimulai dari bagian bawahkista dan mengarah ke superior. Bagian
inferomedial kista dipisahkan secara tumpul dan tajam dari jaringan sekitar. Alur diseksi harus
dibuat dekat dengandinding kista untuk menghindari perdarahan plexus vena dan vestibular
bulb danuntuk menghindari trauma pada rectum.
Gambar 8. Diseksi Kista
Setelah diseksi pada bagian superior selesai dilakukan, vaskulariasi utama dari kista dicari dan
diklem dengan menggunakan hemostat. Lalu dipotong dan diligasi dengan benangchromic atau
benang delayed absorbable 3-0.

Gambar 9. Ligasi Pembuluh Darah


Cool packs pada saat 24 jam setelah prosedur dapat mengurangi nyeri, pembengkakan, dan
pembentukan hematoma. Setelah itu, dapat dianjurkan sitz bath hangat 1-2 kali sehari untuk
mengurangi nyeri post operasi dan kebersihan luka.
b.Pengobatan Medikamentosa
Antibiotik sebagai terapi empirik untuk pengobatan penyakit menular seksual biasanya
digunakan untuk mengobati infeksi gonococcal dan chlamydia. Idealnya, antibiotik harus
segera diberikan sebelum dilakukan insisi dan drainase. Beberapa antibiotikyang digunakan
dalam pengobatan abses bartholin:
1.Ceftriaxone
Ceftriaxone adalah sefalosporin generasi ketiga dengan efisiensi broad spectrum terhadap
bakteri gram-negatif, efficacy yang lebih rendah terhadap bakteri gram-positif, dan efficacy
yang lebih tinggi terhadap bakteri resisten. Dengan mengikat pada satu atau lebih penicillin-
binding protein, akan menghambat sintesis dari dinding sel bakteri dan menghambat
pertumbuhan bakteri. Dosis yang dianjurkan: 125 mg IM sebagai single dose .

2. Ciprofloxacin
Sebuah monoterapi alternatif untuk ceftriaxone. Merupakan antibiotik tipe bakterisida yang
menghambat sintesis DNA bakteri dan, oleh sebab itu akan menghambat pertumbuhan bakteri
dengan menginhibisi DNA-gyrase pada bakteri.
Dosis yang dianjurkan: 250 mg PO 1 kali sehari

3. Doxycycline
Menghambat sintesis protein dan replikasi bakteri dengan cara berikatan dengan 30S dan50S
subunit ribosom dari bakteri. Diindikasikan untuk Ctra chomatis.
Dosisyang dianjurkan: 100 mg PO 2 kali sehari selama 7 hari

4. Azitromisin
Digunakan untuk mengobati infeksi ringan sampai sedangyang disebabkan oleh beberapa
strain organisme. Alternatif monoterapi untukC trachohomatis.
Dosisyang dianjurkan: 1 g PO 1x

2.6.Komplikasi
Komplikasi yang paling umum dari absesBartholin adalah kekambuhan.
Pada beberapa kasus dilaporkan necrotizing fasciitis setelah dilakukan drainase abses.
Perdarahan, terutama pada pasien dengan koagulopati
DAFTAR PUSTAKA
1. Sarwono Prawiro hardjo, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka, 2006,Jakarta
2. http://obginfo.blogspot.com/2009/08/kista-bartolini.html
3. http://obgynunair.wordpress.com/tour-of-duty/ginek-akut/
4. http://www.scribd.com/doc/43731478/LapKas-Kista-Bartholin-Ctine-
drNandono
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN BARTOLINITIS
II. KONSEP DASAR ASKEP
a. Data focus
Pembesaran kalenjar bartolini, merah, nyeri dan lebih panas didaerah sekitarnya / perineum,
ada nanah, kadang dirasakan sebagai benda berat dan atau menimbulkan kesulitan pada koitus,
iritasi vulva, dapat terjadi abses yang kadang-kadang dapat sebesar telur bebek.
b. Diagnose keperawatan yang mungkin muncul yaitu :
1. Nyeri berhubungan dengan peradangan kalenjar bartolin ditandai dengan pembesaran kalenjar
bartolin, nyeri dan lebih panas didaerah perineum / sekitarnya, iritasi vulva, kadang terasa
seperti benda berat.
2. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder terhadap penyakit
kronis ditandai dengan pembesaran kalenjar bartholin, nyeri dan lebih panas didaerah
sekitarnya / perineum, ada nanah, kadang dirasakan sebagai benda berat,ada abses yang
kadang-kadang dapat sebesar telur bebek.
3. PK : Infeksi
4. Perubahan pola seksual berhubungan dengan nyeri ditandai dengan kalenjar bartholin
membengkak, merah, nyeri pada daerah perineum, dan nanah.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bahan iritan dari lingkungan sekunder terhadap
kelembaban ditandai dengan merah, iritasi vulva, nanah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar tentang Kista Bartholini


1. Definisi
a. Kista bartholini adalah gangguan pada vulva yang timbul karena penyumbatan saluran
bartholini akibat dari infeksi kuman Neisseria gonorheae (Baradero, 2006).
b. Kista bartholini adalah suatu pembesaran berisi cairan yang terjadi akibat sumbatan
pada salah satu duktus sehingga mucus yang dihasilkan tidak dapat disekresi. Kista
dapat berkembang pada kelenjar itu sendiri atau pada duktus bartholini (Amiruddin,
2004)
c. .Kista bartholini adalah benjolan berbentuk kantung yang mengandung cairan seperti
lendir, tertimbun dalam lumen karena saluranrannya buntu (Manuba, 2008).
d. Kista adalah kantung yang berisi cairan yang terbentuk dibawah kulit atau disuatu
tempat di dalam tubuh. Kista kelenjar bartholini dapat terjadi ketika kelenjar ini menjadi
tersumbat. Kelenjar bartholini bisa tersumbat karena berbagai alasan seperti infeksi,
peradangan. Cairan yang dihasilkan kelenjar ini kemudian terakumulasi
menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk satu kista (Setyadeg, 2010).
Beberapa defenisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Kista bartholini
merupakan tumor kisti jinak. Ditimbulkan akibat duktus kelenjar bartholini yang
mengalami sumbatan, biasanya disebabkan oleh infeksi. Kuman yang sering
menginfeksi kelenjar bartholini adalah bakteri bakteri Gonococcus.
2. .Anatomi
Kelenjar bartholoni merupakan salah satu organ genetalia eksterna, kelenjar
bartholini atau glandula vestibularis mayor, kelenjar ini biasanya berukuran sebesar
kacang dan ukurannya jarang melebihi satu cm.kelenjar ini tidak teraba kecuali pada
keadaan penyakit atau infeksi. Saluran keluar dari kelenjar ini bermuara pada celah
yang terdapat diantara labium minus pudendi dan tepi himen. Glandula ini homolog
dengan glandula bulbourethralis pada pria. Kelenjar ini tertekan pada waktu coitus
dan mengeluarkan sekresinya untuk membasahi atau melicinkan permukaan vagina
(Mast, 2010).
Kelenjar bartholini terletak posterolateral dari vestibulum arah jam 4 & 8,
mukosa kelenjar dilapisi oleh sel-sel epitel kubus, panjang saluran pembuangannya
sekitar 2,5 cm dan dilapisi oleh sel-sel epitel transisional. Saluran pembuangan ini
berakhir diantara labia minor dan hymen dan dilapisi sel epitel skuamus (Amiruddin,
2004).

Gambar 1. Anatomi Kista Bartholini (Setyadeng, 2011).


3. Fisiologi
Pada introitus vagina terdapat kelenjar bartholini yang berfungsi untuk
membasahi mengeluarkan lendir untuk menberikan pelumas vagina saat melakukan
hubungan seksual, kira-kira spertiga dari introitus vagina kanan dan kiri yang terletak
posterolateral. Dalam keadaan normal kelenjar ini tidak teraba pada palpasi (Manuba,
2008).
4. Etiologi
Infeksi kelenjar bartholini terjadi oleh infeksi gonokokus, pada bartholinitis
kelenjar ini akan membesar, merah, dam nyeri kemudian isinya akan menjadi nanah
dam keluar pada duktusnya, karena adanya cairan tersebut maka dapat terjadi
sumbatanpada salah satu duktus yang dihasilkan oleh kelenjar dan terakumulasi,
menyebabkan kelenjar membengkak dan menbentuk suatu kista. Suatu abses terjadi
bila kista menjadi terinfeksi. Abses bartholini dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri.
Ini termasuk orgasme yang menyebabkan penyakit menular seksual seperti Klamidia
dan Gonoreserta. Umumnya abses ini melibatkan lebih dari lebih dari satu jenis
organisme. Obstruksi distal saluran bartolini bisa mengakibatkan retensi cairan,
dengan dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan kista. Kista dapat
terinfeksi, dan abses dapat berkembang dalam kelenjar. Kista bartolini tidak selalu
harus terjadi sebelum abses kalenjar (Setyadeng, 2010).
5. PatofisiologiKelenjar bartholini menghasilkan cairan membasahi vagina mulai masa
pubertas, yang selain berfungsi untuk melumasi vagina mulai masa pubertas, yang
selain berfungsi untuk melumasi vagina pada saat berhubungan juga pada kondisi
normal. Adanya peradangan pada kelenjar bartholini yang disebabkan oleh bakteri
Gonococcus. Kista bartholini terjadi karena adanya sumbatan pada salah satu duktus
sehingga mucus yang dihasilkan tidak dapat disekresi. Sumbatan dapat disebabkan
oleh mucus yang mengental, infeksi, trauma atau gangguan congenital. Jika terjadi
infeksi pada kista bartholini maka kista ini berubah menjadi abses yang ukurannya
dapat meningkat setiap hari dan terasa nyeri (Amiruddin, 2004)
6. Epidemiologi
Kista bartholini adalah masalah yang terbanyak ditemukan pada perempuan
usia reproduktif. Frekuensi tersering timbulnya kista terutama pade umur 20-30 tahun,
yang merupakan insiden tertinggi. Kista bartholini merupakan kista yang banyak
ditemukan di daerah vulva tepatnya di sekitar labium mayora. Kurang dari 2%
perempuan dapa mengalami kista atau abses bartolini pada suatu priode
kehidupannya (Amiruddin, 2004).
Pada saat perempuan berumur 30 tahun terjadi involusio kelenjar bartholini
secara berlahan-lahan oleh karana itu kejadian usia 40 tahun keatas jarang
ditemukan. Namun tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada perempuan yang
lebih tua atau lebih muda (Amiruddin, 2004)
7. Tanda dan gejala.
Pada saat kelenjar bartholini terjadi peradangan maka akan membengkak,
merah dan nyeri tekan. Kelenjar bartholini membengkak dan terasa nyeri bila
penderita berjalan dan sukar duduk (Djuanda, 2007).
Kista bartholini tidak selalu menyebabkan keluhan akan tetapi kadang
dirasakan sebagai benda yang berat dan menimbulkan kesulitan pada waktu koitus.
Bila kista bartholini berukuran besar dapat menyebabkan rasa kurang nyaman saat
berjalan atau duduk. Tanda kista bartholini yang tidak terinfeksi berupa penonjolan
yang tidak nyeri pada salah satu sisi vulva disertai kemerahan atau pambengkakan
pada daerah vulva disertai kemerahan atau pembengkakan pada daerah vulva
(Amiruddin, 2004).
Adapun jika kista terinfeksi maka dapat berkenbang menjadi abses bartholini
dengan gajala klinik berupa (Amiruddin, 2004) :
a. Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik atau berhubungan seksual.
b. Umunnya tidak diserati demam kecuali jika terifeksi dengan organisem yang ditularkan
melaui hubungan seksual.
c. Pembengkakan pada vulva selam 2-4 hari.
d. Biasanya ada secret di vagina.
e. Dapat terjadi rupture spontan.
8. Diagnosis.
Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fsik sangat mendukung suatu
diagnosis. Pada anamnese dinyatakan tentang gejala seperti Panas, Gatal, Sudah
berapa lama gejala berlangsung, Kapan mulai muncul, Apakah pernah berganti
pasangan seks, Keluhan saat berhubungan, Riwayat penyakit menulat seksual
sebelumnya, Riwayat penyakit kelamin pada keluarga (Amiruddin, 2004)
Kista bartholini di diagnosis melalui pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan
dengan posisi litotomi, terdapat pembengkakan pada kista pada posisi jam 5 atau jam
7 pada labium minus posterior. Jika kista terinfeksi, maka pemeriksaan kultur jaringan
dibutuhkan untuk mengidantifikasi jenis bakteri penyebab abses dan untuk
mengetahui ada tau tidaknya infeksi menular (Amiruddin, 2004).
9. Penatalaksanaan dan Pengobatan
Penatalaksanaan kista bartholini tergantung pada beberapa faktor seperti
gejala klinik nyeri atau tidak, ukuran kista, dan terinfeksi tidaknya kista. Jika kistanya
tidak besar dan tidak menimbulkan ganguan tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa.
Pada kasus jika kista kecil hanya perlu diamati beberapa waktu untuk melihat ada
tidaknya pembesaran (Wiknjosastro, 2007).
Kista bartholini tidak selalu menyebabkan keluhan, akan tetapi kadang-kadang
dirasakan sebagai benda berat dan menimbulkan kesulitan pada saat coitus. Jika
kistanya tidak besar dan tidak menimbulkan gangguan, tidak perlu dilakukan tindakan
apa-apa. Dalam hal ini perlu dilakukan tindakan pembedahan, tindakan itu terdiri atas
ekstirpasi, akan tetapi tindakan ini bisa menyebabkan perdarahan. Akhir-akhir ini
dianjurkan marsupisialisasi sebagai tindakan tanpa resiko dan dengan hasil yang
memuaskan. Pada tindakan ini setelah diadakan sayatan dan isi kista dikeluarkan,
dinding kista yang terbuka dijahit pada kulit yang terbuka pada sayatan (Wiknjosastro,
2007)
Jika bentuk kista yang tidak membesar dan tidak mengganggu tidak perlu
dilakukan tindakan apa-apa tetapi jika sudah bernanah harus dikeluarkan dengan
sayatan. Pembedahan berupa ekstirpasi dapat dilakukan bila diperlukan yang
dianjurkan adalah marsupialisasi
Penanganan tergantung kondisi kista dan keluhan yang dirasakan, kalau
kelenjar kista bartholininya kecil dan tidak mengganggu bisa diobservasi saja. Tapi
kalau kistanya besar dan menyebabkan keluhan atau terinfeksi menjadi bisul (abses)
terapi definitifnya berupa operasi kecil (marsupialisasi).
Marsupialisasi yaitu sayatan dan pengeluaran isi kista diikuti penjahitan dinding
kista yang terbuka pada kulit vulva yang terbuka. Tindakan ini terbukti tidak beresiko
dan hasilnya memuaskan. Insisi dilakukan vertical pada vestibulum sampai tengah
kista dan daerah luar cincin hymen. Lebar insisi sekitar 1,5 3 cm, tergantung
besarnya kista kemudian kavitas segera dikeringkan. Kemudian dilakukan penjahitan
pada bekas irisan. Bedrest total dimulai pada hari pertama post operatif ( Arief
Mansjoer dkk, 2006).
B. Konsep Dasar Manajemen Kebidanan
1. Pengertian Manajemen Kebidanan.
Proses manajeman kebidanan adalah metode pendekatan pemecahan
masalah yang digunakan oleh bidan dalam proses pemacahan masalah dalam
pemberian pelayanan asuhan kebidanan atau merupakan proses pemecahan
masalah yang digunakan oleh bidan serta merupakan metode yang terorganisasi
melalui tindakan yang logical dalam memberikan pelayanan (Varney, 2008).

2. Tahapan Dalam Manajemen Kebidanan (Varney, 2008)


Proses manajemen kebidanan dalam tujuh langkah yang ada pada waktu
tertentu dapat diperluas dan diperbaharui. Hal ini dimulai dari pengumpulan data dasar
dan diakhiri dengan evaluasi. Tujuh langkah itu adalah :
a. Langkah I : Pengumpulan Data Dasar
Dalam tahap ini data atau fakta yang dikumpulkan adalah data subjektif dan
data objektif dari pasien. Bidan dapat mencatat hasil penemuan data dalam catatan
harian sebelum didokumentasikan (sudarti dkk, 2010).
Langkah pertama ini dilakukan pengumpulan, pengkajian, serta analisa data
dasar untuk memulai kondisi klien, yang didapat dengan cara :
1) Anamnese meliputi melakukan tanya Jawab untuk memperoleh biodata meliputi :
a) Identitas utama
Pada identitas utama dianamnese nama, umur, suku, agama, pendidikan, pekerjaan,
perkawinan yang keberapa, dan alamat.
b) Riwayat keluhan utama
Pada riwayat keluhan utama dapat dianamneses, klien mengeluh adanya rasa panas,
mengeluh gatal, mengeluh adanya benjolan / pembengkakan yang nyeri pada daerah
kemaluan dan ada keputihan.
c) Riwayat kesehatan lalu
Pada riwayat kesehatan lalu dapat dianamnese adanya riwayat penyakit menular
seksual sebelumnya atau dikeluarga klien ada riwayat penyakit kelamin.
d) Riwayat menstruasi
Pada riwayat menstruasi dianamnese pertama kali klien mendapatkan haid pada umur
berapa, lamanya haid berapa hari, siklus haidnya berapa hari dan nyeri yang
menyertai haid (dismenorhoe).
e) Riwayat Gynekologi
Pada riwayat gynekologi, sebelumnya klien pernah mengalami riwayat reproduksi,
dan klien pernah mengalami penyakit menular seksual.
f) Riwayat sosial ekonomi dan psikologi
Keluarga selalu mendampingi dan memberikan support kepada klien dalam menjalani
perawatan serta berserah diri kepada tuhan YME. Suami bertanggung jawab atas
pengambilan keputusan dan biaya perawatan.
2) Pemeriksaan tanda-tanda vital dan fisik dilakukan secara inspeksi, dan palpasi. Hasil
pemeriksaan fisik pada ibu dengan kista bartholini didapatkan :
a) Inspeksi : tampak pembengkakan pada kista pada posisi Jm 5 atau jam 7 pada labium
minus posterior disertai kemerahan dan tampak ada secret (keputihan) di vagina.
b) Palpasi : teraba penonjolan / pembengkakan yang nyeri saat dipalapasi pada salah
satu sisi vulva.
3) Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan meliputi pemeriksaan laboratorium
untuk membedakan jenis bekteri yang menginfeksi kista kelenjar bartholini,
Pemeriksaan tersebut meliputi :
a) Pemeriksaan gram untuk membedakan bakteri penyebab.
b) Pemeriksaan dengan menggunakan apusa darah tepi untuk melihat ada atau tidaknya
leukositosis.
c) Pemeriksaan kultur jaringan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab infeksi.
d) Biopsi dilakukan jika dicurigai terjadi keganasan.
e) Palno tes untuk memastikan klien tidak dalam keadaan hamil.
b. Langkah II : Identifikasi Diagnosis / Masalah Aktual
Mengidentifikasi data secara spesifik ke dalam suatu rumusan diagnosis dan
masalah kebidanan. Kata diagnosis dan masalah digunakan kedua-duanya dan
mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Problem tidak dapat didefenisikan
sebagai suatu diagnosis tetapi memerlukan suatu pengembangan rencana
keperawatan secara menyeluruh kepada klien. Masalah lebih sering berhubungan
dengan bagaiman klien menguraikan keadadan yang dirasakan, sedangkan diagnosis
lebih sering diidentifikasikan oleh badan yang difokuskan pada apa yang dialami oleh
klien.
Berdasarkan keluhan berupa penonjolan yang tidak nyeri pada salah satu sisi
vulva disertai kemerahan atau pembengkakan pada daerah vulva dan pada
pemeriksaan palpasi terdapat pembengkakan pada kista pada posisi jam 5 atau jam
7 pada labium minus posterior, maka dapat ditegakkan suatu diagnose kista bartholini
dan masalah masalah aktual adanya rasa panas, rasa gatal, ada
benjolan/pembengkakan yang nyeri pada daerah kemaluan atau keputihan.
c. Langkah III : Identifikasi diagnosa/Masalah Potensial
Langkah ini dilakuakan dengan mengidentifikasi masalah atau diagnosis
masalah yang lain berdasarkan beberapa masalah dan diagnosis yang sudah
diidentifikasi. Langkah ini membutuhkan antisipasi yang cukup dan apabila
memungkinkan dilakukan proses pencegahan atau dalam kondisi tertentu pasien
membutuhkan tindakan segera (sudarti dkk, 2010).
Sehubungan dengan teori kasus ganguan system reproduksi dengan kista
bartholini ini maka masalah potensial yang mungkin terjadi yaitu : kista
bartholini dapat terinfeksi maka akan menjadi abses yang semakin hari semakin
membesar yang dapat menjadi repture. Jika kista terinfeksi, maka pemeriksaan kultur
jaringan dibutuhkan untuk mengidentifikasi jenis bakteri penyebab abses dan untuk
mengetahui ada atau tidakanya infeksi menular ( Amiruddin, 2004 )
d. Langkah IV : Pelaksanaan Tindakan Segera/Emergency
Tahap ini dilakukan dengan melakukan identifikasi dan menetapkan beberapa
kebutuhan setelah diagnosis dan masalah ditegakkan. Kegiatan bidan pada tahap ini
adalah konsultasi, kolaborasi, dan melakukan rujukan (Sudarti dkk, 2010).
Pada kasus ini kista bartholini untuk menyelamatkan klien dengan melakuka
kolaborasi antara bidan dengan dokter dalam melakukan tindakan pembedahan dan
marsupialisasi (Wikenjosastro, 2007).

e. Langkah V : Intervensi/ Rencana tindakan


Setelah beberapa kebutuhan pasien ditetapkan, diperlukan perencanaan
secara menyeluruh terhadap masalah dan diagnosis yang ada. Dalam proses
perencaan asuhan secara menyeluruh juga dilakukan identifikasi beberapa data yang
tidak lengkap agar pelaksanaan secara menyeluruh dapat berhasil (sudarti dkk, 2010)
Dalam langkah ini yang dapat dilakukan oleh bidan yaitu berupa perencanaan
persiapan tindakan pembedahan dan marsupialisasi.Rencana asuhan bidan pada
pasien dengan kista bartholini:
1) Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital ibu.
2) Beri dukungan mental dan spiritual
3) Ajarkan klien tehnik relaksasi jika merasa nyeri.
4) Anjurkan pasien istirahat yang cukup.
5) Observasi infus dan kateter.
6) Observasi proses eliminasi ( BAK dan BAB )
7) Pemberian obat sesuai instruksi dokter.
f. Langkah VI : Implementasi/Pelaksanaan asuhan
Tahap ini merupakan tahap pelaksana dari semua rencana sebelumnya, baik
terhadap masalah pasien ataupun diagnosis yang ditegakkan. Pelaksanaan ini dapat
dilakukan oleh bidan secara mandiri maupun berkolaborasi dengan tim kesehatan
lainnya (sudarti dkk, 2010).
Implementasi atau pelaksanaan asuhan bidan pada klien kista bartholini
dilakukan berdasarkan rencana asuhan.
g. Langkah VII
Merupakan tahap akhir dalam manajemen kebidanan yakni dengan melakukan
evaluasi dari perencanaan yang dilakukan bidan. Evaluasi sebagai bagian dari proses
yang terus menerus untuk menungkatkan paleyanan secara komprehensif dan selalu
berubah sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien (sudarti dkk, 2010).
Mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan asuhan yang diberikan kepada
klien, pada tahap ini bidan harus melakukan pengamatan dan observasi terhadap
masalah yang dihadapi oleh klien. Apakah masalah diatasi seluruhnya, sebagian telah
dipecahkan atau timbul masalah baru. Evaluasi yang diharapkan akan tercapai
setelah asuhan kebidanan diberikan adalah :
1) Keadaan umum baik.
2) Tanda-tanda vital dalam batas normal.
TD : Normal (120/80 mmHg)
N : Normal (60-90 x/menit)
S : Normal (36,5-37,5C)
P : Normal (18-24 x/menit)
3) Kista bartholini teratasi.
4) Rasa nyeri berkurang.
C. Pendokumentasian Hasil Asuhan Kebidanan
Dokumentasi merupakan catatan tentang interaksi antara tenaga kesehatan,
pasien, serta respon pasien terhadap semua kegiatan yang dilakukan. Asuhan itu
harus dicatat dengan benar, jelas, logis, sehingga dapat menkomunikasikan kapada
orang lain mengenai asuhan yang diberikan secara sistematis dalam SOAP yaitu :
1) Subjektif
Semua yang dikatakan, disampaikan dan yang dikeluhkan oleh klien sebagai
langkah I Varney.
2) Objektif
Apa yang diinspeksi dan dipalpasi oleh bidan saat melakukan pemeriksaan dan
hasil dari pemeriksaan laboratorium sebagai langkah I Varney.
3) Assesmen
Kesimpulan yang dibuat berdasarkan data subjektif dan objektif sebagai hasil
pengambilan keputusan terhadap klien tersebut sebagai langkah II, III, IV Varney.

4) Planning
Apa yang dilakukan berdasarkan hasil kesimpulan dan evaluasi terhadap keputusan
klinis yang diambil dalam rangka memenuhi kebutuhan klien yang telah diberikan
sebagai langkah V, VI, VII Varney.
Tabel 01. Pendokumentasian Manajemen Asuhan Kebidanan
7 langkah Halen Varney 5 langkah SOAP
kompetensi bidan
1. Pengumpulan data dasar Data Subjektif
Objektif
2. Identifikasi diagnosis / Assesment / Assesment /
masalah aktual Diagnosis diagnosis
3. Identifikasi diagnosis /
masalah potensial
4. Pelaksanaan tindakan
segera / emergency
5. Intervensi / rencana Rencana asuhan Planning
tindakan
6. Implementasi Implementasi
7. Evaluasi Evaluasi

Anda mungkin juga menyukai