Anda di halaman 1dari 5

TINJAUAN PUSTAKA

Hijauan Pakan Ternak


Hijauan pakan merupakan bagian tanaman terutama rumput dan leguminosa
yang digunakan sebagai pakan ternak (Hartadi et al., 1993). Wilkins (2000)
menyatakan bahwa hijauan merupakan bagian tanaman yang dapat dimakan, termasuk
padi-padian yang diberikan dengan cara menggembalakan ternak maupun dipanen
untuk diberikan langsung pada ternak. Menurut keberadaannya, hijauan makanan
ternak terdiri dari hijauan yang tumbuh secara alami tanpa campur tangan manusia
seperti pastura alami dan hijauan yang sengaja ditanam oleh petani seperti rumput
gajah, gamal, lamtoro, dan waru (Budiasa, 2005).
Pemanfaatan produksi hijauan yang berlebih serta untuk mengatasi kekurangan
pakan ternak saat musim kemarau, rumput dapat diawetkan dalam bentuk silase
maupun hay. Silase merupakan hijauan pakan ternak yang diawetkan dengan cara
peragian atau fermentasi asam laktat (Siregar, 1996). McIlroy (1976) menyatakan
bahwa rumput gajah merupakan rumput yang sangat baik untuk silase. Hay merupakan
hijauan pakan ternak yang diawetkan melalui pengeringan hingga kadar air 15%
(Siregar, 1996). Waktu panen hijauan yang akan dibuat hay adalah pada masa
pertumbuhan terbaik saat fase mulai berbunga (McIlroy, 1976).

Rumput
Rumput (Gramineae) merupakan famili tumbuh-tumbuhan yang paling luas
penyebarannya. Rumput sebagai pakan ternak berupa rumput lapang (liar) dan rumput
pertanian. Rumput pertanian disebut juga dengan rumput unggul merupakan rumput
yang sengaja diusahakan dan dikembangkan untuk persediaan pakan bagi ternak.
Rumput unggul ini dibagi menjadi dua jenis yaitu pertama rumput potongan seperti
rumput gajah (Pennisetum purpureum Schum.), rumput benggala (Pannicum
maximum Jacq.), rumput mexico (Euchlaena mexicana Schrad.), dan Setaria
spachelata Schum. Kedua yaitu rumput gembala seperti Brachiaria brizantha (Hochst.
ex A. Rich.) Stapf., rumput ruzi atau rumput kongo (Brachiaria ruziziensis R. Germ.
and C. M. Evrard), rumput australia (Paspalum dilatatum Poir.), Brachiaria mutica
(Forsk.) Stapf., Cynodon plectostachyus (K. Schum.) Pilg., rumput pangola (Digitaria
decumbens Stent.), dan Chloris gayana Kunth. (Sudarmono dan Sugeng, 2009).

3
Rumput memiliki sistem perakaran berbentuk serabut yang mempunyai
peranan dalam pembentukan struktur tanah, titik tumbuh yang berada dekat pada
pangkal tanaman memungkinkan tumbuh kembali setelah pemotongan, kemampuan
membentuk anakan membantu menutup tanah dengan cepat pada fase pertumbuhan
pertama (McIlroy, 1976).

Kacangan
Kacangan merupakan jenis hijauan lain yang digunakan untuk pakan ternak
dari famili Leguminoceae. Gutteridge dan Shelton (1993) menyatakan bahwa
Leguminoceae terdiri lebih dari 1.800 spesies. Leguminoceae terbagi menjadi tiga
subfamili yaitu Papilionoideae, Mimosoideae, dan Caesalpinioideae (Wojciechowski,
2006). Papilionoideae (Papilionaceae) merupakan subfamilia yang spesiesnya
merupakan tanaman legum makanan manusia dan ternak, sedangkan Mimosoideae
(Mimosaceae) dan Caesalpinioideae (Caesalpiniaceae) merupakan tanaman legum
yang khusus untuk hijauan makanan ternak (Reksohadiprodjo, 1985).
Rukmana (2005) menyatakan bahwa kacangan dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu kacangan yang tumbuh menjalar, kacangan yang tumbuh tegak berupa pohon,
dan kacangan hasil sisa tanaman pangan. Kacangan yang tumbuh menjalar digunakan
sebagai penutup tanah di perkebunan, seperti sentro, kalopo, dan kudzu. Kacangan
yang tumbuh tegak biasanya ditanam di tegalan atau pinggir kebun, seperti lamtoro,
gamal, kaliandra. Sedangkan kacangan hasil sisa tanaman pangan merupakan hasil
ikutan dari proses usaha tani seperti kacang tanah dan kacang kedelai.
Legum (kacangan) memiliki kandungan protein yang lebih tinggi daripada
Gramineae. Kandungan protein kacangan (Leguminoceae) lebih dari 20%, sedangkan
rumput kurang dari 10%. Selain kandungan protein yang tinggi, Leguminoceae
mengandung mineral seperti kalsium, fosfor, magnesium, tembaga dan kobal
(Sudarmono dan Sugeng, 2008). Gutteridge dan Shelton (1993) menyatakan bahwa
saat musim kemarau, jenis kacangan pohon mampu menyediakan hijauan dengan
kandungan protein, mineral dan vitamin yang tinggi.

Ramban
Ramban merupakan jenis lain hijauan pakan yaitu selain rumput dan legum.
Kelompok tumbuhan lain ini mencakup tumbuhan tahunan, serta tumbuhan semak dan
pohon berkayu (Martin, 1993). Suminar (2011) menyatakan bahwa hijauan yang
4
termasuk jenis ramban di Desa Cigobang yaitu daun kedondong kecil (Spondias lutea
LINN.), daun kelor (Moringa oleifera LAMK.), daun singkong (Manihot utilissima
POHL.), daun jambu air (Eugenia aquena BURM.f.), daun randu (Ceiba petandra
GAERTN.), daun nangka (Artocarpus heterophyllus LAMK.), daun mangga
(Mangifera indica L.), daun kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis LINN.), daun
kersem (Mutingia calabura L.), daun kawijaran (Lannea grandis ENGL.), daun benalu
mangga (Dendrophthoe pentandra (L.) Miq.).

Ternak Sapi
Sapi termasuk dalam filum Chordate, (yaitu hewan-hewan yang memiliki
tulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), ordo Atiodaktil (berkuku atau berteracak
genap), sub ordo Ruminansia (pemamah biak), famili Bovidae (tanduk berongga),
genus Bos (pemamah biak berkaki empat). Spesiesnya terbagi dua, yaitu Bos taurus
(sebagian besar bangsa sapi yang ada) dan Bos indicus (sapi-sapi yang memiliki
punuk) (Blakely dan Bade, 1991).
Jenis-jenis sapi potong yang terdapat di Indonesia saat ini adalah sapi asli
Indonesia dan sapi yang diimpor. Bangsa ternak sapi yang digunakan dalam usaha sapi
potong di Desa Air Sulau yaitu sapi bali. Sapi bali yang banyak dijadikan komoditi
daging atau sapi potong pada awalnya dikembangkan di Bali dan kemudian menyebar
ke beberapa wilayah di Indonesia.

Sapi Bali
Sarwono dan Arianto (2001) menyatakan bahwa sapi bali adalah sapi asli
Indonesia yang merupakan domestikasi banteng (sapi yang hidup liar di hutan).
Kemampuan reproduksi sapi bali mampu beranak setiap tahun. Pertambahan berat
badan hariannya mencapai 0,7 kg/hari (Abidin, 2008). Sapi bali mampu tumbuh baik
walaupun pakan yang diberikan bernilai gizi rendah (Williamson dan Payne, 1993).
Yulianto dan Saparinto (2010) menyatakan bahwa daging sapi bali bertekstur lembut
dan tidak berlemak. Sapi bali merupakan sapi lokal dengan penampilan produksi yang
cukup tinggi sehingga menjadi primadona di kalangan peternak di Indonesia.
Sapi bali memiliki ciri yaitu berukuran sedang, berdada dalam, kaki bagus.
Warna bulu merah, keemasan, coklat tua. Bibir, kaki dan ekor hitam dan kakinya putih
dari lutut ke bawah, dan terdapat warna putih di bawah paha dan bagian oval putih
yang sangat jelas pada bagian pantat. Terdapat suatu garis hitam yang jelas pada
5
bagian punggung, dari bahu dan berakhir di atas ekor. Warna bulu pada jantan lebih
gelap daripada betina, dan akan menjadi coklat tua sampai hitam pada saat dewasa.
Bulunya pendek, halus, dan licin. Kulit berpigmen dan halus. Kepala lebar dan pendek
dengan puncak kepala yang datar; telinga berukuran sedang dan berdiri. Tanduk sapi
bali jantan besar, tumbuh ke samping dan kemudian ke atas dan runcing. Tanduk
betina sangat kecil. Jantan memiliki kepala yang jelas dan gelambirnya tubuh baik
pada jantan dan betina. Ambing pada betina pertumbuhannya jelek dan ditutupi bulu
(Williamson dan Payne, 1993).

Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi


Sudarmono dan Sugeng (2009) menyatakan bahwa pemeliharaan sapi potong
di Indonesia dilakukan dengan tiga sistem yaitu ekstensif, semi intensif dan intensif.
Sistem ekstensif merupakan sistem dimana sapi dilepaskan di padang penggembalaan
dan digembalakan sepanjang hari (pagi sampai sore), kemudian digiring ke kandang
terbuka (tanpa atap) dengan tidak memberikan pakan tambahan lagi. Sistem semi
intensif merupakan sistem pemeliharaan dimana pada siang hari sapi diikat dan
ditambatkan di ladang, kebun, atau pekarangan yang rumputnya tumbuh subur,
kemudian sapi dikandangkan pada sore hari, dan pada malam harinya diberi pakan
tambahan berupa hijauan rumput atau daun-daunan.
Pemeliharaan sistem intensif merupakan sistem pemeliharaan dimana sapi
dikandangkan sepanjang hari dengan pemberian pakan sebanyak dan sebaik mungkin
sehingga menjadi cepat gemuk (Sudarmono dan Sugeng, 2009). Sistem pemeliharaan
intensif (ternak di kurung dalam suatu kandang), kebutuhan pakannya tergantung dari
apa yang diberikan peternak kepada ternak tersebut. Sistem pemeliharaan ternak
dengan cara intensif (dikandangkan) di Desa Air Sulau dilakukan berdasarkan
Peraturan Daerah (Perda) Bengkulu Selatan No. 03 Tahun 1997 tentang pemeliharaan
dan penertiban hewan ternak yang diberlakukan oleh Pemerintah Daerah (PEMDA)
pada tahun 2001.

Usaha Ternak Sapi


Usaha ternak merupakan suatu proses mengkombinasikan faktor-faktor
produksi berupa lahan, ternak, tenaga kerja, dan modal untuk menghasilkan produk
peternakan. Keberhasilan usaha ternak sapi bergantung pada tiga unsur, yaitu bibit,
pakan, dan manajemen atau pengelolaan (Abidin, 2008).
6
Yulianto dan Saparinto (2010) menyatakan bahwa usaha ternak sapi dapat
dilakukan secara perorangan atau kerjasama dengan orang lain. Sebagian besar ternak
ruminansia dihasilkan oleh peternakan rakyat yang berskala kecil dan merupakan
usaha sampingan, teknologi sederhana, pengetahuan mengenai cara beternak yang
masih rendah, produktivitas ternak yang rendah, dan kualitas ternak yang belum
seragam. Pemeliharaan sapi bibit bagi petani di pedesaan terutama dalam pemeliharan
induk sebagai penghasil bakalan/pedet, hampir 90% usaha ini dilakukan oleh peternak
kecil.
Bentuk usaha kerjasama dalam usaha ternak sapi biasanya disebut sistem
gaduh. Sistem ini dilakukan seseorang yang memilik cukup modal dan ingin beternak
sapi tetapi tidak memiliki tempat dan pengetahuan mengenai ternak sapi, sehingga sapi
diserahkan pada orang yang dipercaya mampu memelihara ternak (penggaduh) hingga
ada hasilnya (Yulianto dan Saparinto, 2010).

Anda mungkin juga menyukai