Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan dan Perilaku


Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, dan rasa. Pengetahuan atau kognitif merupakan hal yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan dapat diperoleh
dari proses belajar yang dapat membentuk keyakinan tertentu sehingga seseorang
berperilaku sesuai dengan keyakinan yang diperoleh, semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang maka semakin besar kemampuan menyerap, menerima dan
mengadopsi informasi yang didapat. Sementara Soekamto (1997) berpendapat,
pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah melakukan penginderaan terhadap
suatu obyek tertentu yang diperoleh dari pendidikan, pengalaman sendiri maupun
orang lain, media massa maupun lingkungan sekitarnya. Adanya perubahan perilaku
pada seseorang merupakan suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu
relatif lama dimana tahapan yang pertama adalah pengetahuan. Sebelum seseorang
mengadopsi perilaku baru maka harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat
perilaku tersebut bagi dirinya maupun terhadap keluarga atau orang lain.10
Menurut Gibson.dkk (2001), kemampuan seseorang dapat dipengaruhi oleh
pengetahuan dan ketrampilan, sedangkan pengetahuan dapat diperoleh melalui
latihan, pengalaman kerja maupun pendidikan, dan ketrampilan dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor diantaranya sejenis pendidikan, kurikulum, pengalaman praktik
dan latihan.10
Pengetahuan terdiri atas fakta, konsep generalisasi dan teori yang
memungkinkan manusia dapat memahami fenomena dan memecahkan masalah.
Menurut Gibson.dkk, (2001) ada empat cara memperoleh pengetahuan yaitu :

Universitas Sumatera Utara


1. Melalui pengalaman pribadi secara langsung atau berbagai unsur
sekunder yang memberi berbagai informasi yang sering kali berlawanan
satu dengan yang lain
2. Mencari dan menerima penjelasan-penjelasan dari orang tertentu yang
mempunyai penguasaan atau yang dipandang berwenang
3. Penalaran deduktif
4. Pencarian pengetahuan yang dimulai dengan melakukan observasi
terhadap hal-hal khusus atau fakta yang nyata (induktif).

Pengetahuan mempunyai 5 tingkatan sebagai berikut :11


1. Kesadaran (awareness), orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
2. Tertarik (interest), orang mulai tertarik kepada stimulus.
3. Evaluasi (evaluation), orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap
baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.
4. Mencoba (trial), orang telah mulai mencoba perilaku baru.
5. Menerapkan (adoption), subyek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

Sementara itu, Kurt Lewin (1951) merumuskan suatu model hubungan perilaku
yang mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik individu dan
lingkungan. Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-
nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain dan
kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan
perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku,
bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik individu. Hal
inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks.12
Untuk tidak sekedar memahami, tapi juga agar dapat memprediksi perilaku,
Icek Ajzen dan Martin Fishbein mengemukakan Teori Tindakan Beralasan (Theory of
Reasoned Action). Dengan mencoba melihat penyebab perilaku volisional (perilaku

Universitas Sumatera Utara


yang dilakukan atas kemauan sendiri), teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi
bahwa:
a) Manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal.
b) Manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan
c) Secara eksplisit maupun implisit, manusia memperhitungkan implikasi
tindakan mereka.

Teori Tindakan Beralasan mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku


lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan, dan dampaknya
terbatas hanya pada tiga hal, yaitu:
a) Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum, tetapi oleh sikap yang
spesifik terhadap sesuatu.
b) Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap, tetapi juga oleh norma-norma
subjektif, yaitu suatu keyakinan mengenai apa yang orang lain inginkan
agar kita perbuat.
c) Sikap terhadap suatu perilaku bersama norma-norma subjektif membentuk
suatu intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.

Sikap
terhadap
perilaku
Intensi untuk
berperilaku PERILAKU

Norma-norma
subjektif

Gambar. 1. Teori Tindakan Beralasan12

Dari bagan di atas, tampak bahwa intensi merupakan fungsi dari dua
determinan dasar, yaitu sikap individu terhadap perilaku (merupakan aspek personal)

Universitas Sumatera Utara


dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak
melakukan perilaku yang bersangkutan atau yang disebut dengan norma subjektif.
Secara sederhana, teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu
perbuatan apabila ia memandang perbuatan tersebut positif dan ia percaya bahwa
orang lain ingin agar ia melakukannya.12

2.2 Pencabutan Gigi


Menurut Pedlar dkk (2001), pencabutan gigi adalah suatu prosedur bedah yang
dapat dilakukan dengan tang, elevator, atau dengan pendekatan transalveolar.
Pencabutan bersifat irreversibel dan terkadang menimbulkan komplikasi. Pencabutan
gigi yang ideal adalah pencabutan sebuah gigi atau akar yang utuh tanpa
menimbulkan rasa sakit dengan trauma yang sekecil mungkin pada jaringan
penyangganya sehingga luka bekas pencabutan akan sembuh secara normal dan tidak
menimbulkan masalah prostetik pasca-bedah.13
Menurut Starshak (1980) dan Kruger (1974), indikasi dilakukannya pencabutan
gigi adalah sebagai berikut13:
a) Gigi dengan patologis pulpa, baik akut maupun kronis, yang tidak mungkin
dilakukan terapi endodontik dan harus dicabut.
b) Gigi dengan karies yang besar, baik dengan atau tanpa adanya penyakit
pulpa atau periodontal, harus dicabut ketika restorasinya akan menyebabkan
kesulitan keuangan bagi pasien dan keluarga.
c) Penyakit periodontal yang terlalu parah untuk dilakukan perawatan.
Pertimbangan ini juga meliputi keinginan pasien untuk kooperatif dalam
rencana perawatan total dan untuk meningkatkan oral hygiene sehingga
menghasilkan perawatan yang bermanfaat.
d) Gigi malposisi dan overerruption.
e) Gigi impaksi dalam denture bearing area harus dicabut sebelum dilakukan
pembuatan protesa.
f) Gigi yang mengalami trauma harus dicabut untuk mencegah kehilangan
tulang yang lebih besar.

Universitas Sumatera Utara


g) Beberapa gigi yang terdapat pada garis fraktur rahang harus dicabut untuk
meminimalisasi kemungkinan infeksi, penyembuhan yang tertunda, atau
tidak menyatunya rahang.

Menurut Starshak (1980), kontraindikasi pencabutan gigi terbagi menjadi dua,


yaitu kontraindikasi lokal dan kontraindikasi sistemik. Adapun kontraindikasi lokal
pencabutan gigi yaitu13:
a) Infeksi dental akut yang harus dievaluasi tergantung pada kondisi pasien
b) Perawatan infeksi perikoronal akut yang berbeda dengan abses periapikal.
Pada abses periapikal, drainase dapat dilakukan dengan pencabutan gigi,
sedangkan infeksi perikoronal dapat menyebar jika gigi yang terlibat
dicabut selama fase akut.

Sedangkan kontraindikasi sistemiknya adalah sebagai berikut13:


a) Penyakit medis yang tidak terkontrol, seperti hipertensi, coronary artery
disease, kelainan jantung, anemia parah, leukemia, dan blood dyscrasias
yang membutuhkan manajemen medis yang tepat sebelum pencabutan gigi
dapat dilakukan.
b) Penyakit kronik seperti diabetes, nefritis, dan hepatitis yang dapat
menyulitkan pencabutan gigi karena dapat menghasilkan infeksi jaringan,
penyembuhan yang tidak sempurna, dan penyakitnya semakin memburuk.
c) Neuroses dan psychoses merupakan kontraindikasi yang cenderung
menyulitkan perawatan dental.
d) Kehamilan merupakan kondisi fisiologis normal dan tidak diperhatikan
sebagai kontraindikasi pencabutan gigi, kecuali jika terdapat beberapa
komplikasi

2.3 Diabetes Melitus


Diabetes mellitus adalah keadaan peninggian kadar glukosa darah yang kronik
dan sering disertai dengan abnormalitas metabolisme pada karbohidrat, lipid, dan

Universitas Sumatera Utara


protein yang menghasilkan defisiensi insulin yang absolut ataupun relatif yang
menyebabkan resistensi jaringan terhadap efek metabolik selulernya.2,14 Diabetes
mellitus juga merupakan kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan
hiperglikemia kronik yang dihasilkan dari kerusakan sel beta pankreas (sel penghasil
insulin), reaksi insulin yang tidak seimbang, atau keduanya.15
Hiperglikemia kronis pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, adanya disfungsi dan kegagalan organ-organ lainnya, terutama mata, ginjal,
saraf, jantung, dan pembuluh darah.16

2.3.1 Patofisiologi
Pada individu yang sehat, kadar gula darah biasanya dipertahankan antara 60-
150 mg/dL per harinya. Insulin memiliki peranan penting dalam regulasi gula darah.
Insulin disintesis di sel beta pankreas dan disekresikan dengan cepat ke dalam darah
sebagai respon untuk meningkatkan gula darah, misalnya setelah makan. Insulin
mengatur homeostasis glukosa dengan cara meningkatkan penyerapan glukosa dari
darah ke dalam sel dan menyimpannya di dalam liver dalam bentuk glikogen. Insulin
juga meningkatkan penyerapan asam lemak dan asam amino, sebagaimana yang
selanjutnya diubah menjadi trigliserida dan cadangan protein.6
Terdapat beberapa proses patogenesis yang terkait dalam pembentukan
diabetes. Hal ini berkisar dari rusaknya autoimun sel beta pankreas dengan akibat
defisiensi insulin yang menyebabkan resistensi insulin. Dasar abnormalitas pada
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein pada diabetes adalah kurangnya insulin
pada jaringan. Dengan kata lain, kelainan utamanya adalah karena berkurangnya
insulin di dalam sirkulasi darah. Meningginya gula darah terjadi karena bertambahnya
glukosa yang dikeluarkan oleh hati, sedangkan penggunaan glukosa oleh jaringan
perifer menurun. Defisiensi insulin akan menyebabkan sekresi insulin yang inadekuat
dan berkurangnya respon jaringan terhadap insulin dalam reaksi hormon.
Pengurangan sekresi insulin dan kerusakan pada reaksi insulin biasanya terjadi pada
pasien yang sama, dan biasanya tidak jelas mana yang menjadi abnormalitas, dan jika
salah satu saja, maka penyebab utamanya adalah hiperglikemia.5,16

Universitas Sumatera Utara


Kekurangan insulin atau resistensi insulin yang terlihat pada DM menyebabkan
sel insulin tidak mampu menggunakan gula darah sebagai sumber energi. Trigliserida
yang tersimpan kemudian dirusak menjadi asam lemak, kemudian menjadi sumber
alternatif sebagai bahan bakar, dan terjadi peningkatan keton pada darah sehingga
akan menyebabkan ketoasidosis. Ketika kadar gula darah meningkat (hiperglikemia),
glukosa diekskresikan melalui urin dan terjadilah urinasi yang berlebihan (poliuria)
karena diuresis osmotik. Kehilangan cairan yang terus-menerus ini dapat memicu
dehidrasi dan perasaan haus yang berlebihan (polidipsia). Karena sel menjadi
kekurangan glukosa, pasien akan mengalami peningkatan rasa lapar (polifagia). Maka
dari itu, pasien diabetes sering mengalami penurunan berat badan karena sel tidak
bisa menyerap glukosa. Hal inilah yang menjadi tanda dan simptom DM.6
Pembedahan dan luka jaringan pada pasien non-diabetik menyebabkan
timbulnya respon katabolik yang dikarakteristikkan dengan peningkatan laju
metabolisme, peningkatan degradasi protein, dan intoleransi glukosa. Respon
katabolik ini terjadi sebagai akibat dari peningkatan sirkulasi berbagai jenis hormon
stress, seperti katekolamin, kortisol, glukagon, dan growth hormone, sebagaimana
penurunan pada sirkulasi konsentrasi insulin. Katekolamin yang meningkat
menyebabkan glukoneogenesis dan lipolisis. Peningkatan level kortisol akan
menyebabkan pemecahan protein pada jaringan ekstrahepatik dan meningkatkan
aliran prekursor glukoneogenik. Peningkatan glukagon memiliki efek utama pada
liver dalam menaikkan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan keton, sedangkan
peningkatan growth hormone menyebabkan peningkatan lipolisis. Kombinasi
hormon-hormon stress ini dapat menyebabkan efek katabolis.17
Namun, tidak ada di antara hormon tersebut yang dapat menyebabkan efek
katabolik secara tunggal tanpa hormon lainnya. Oleh karena itu, defisiensi insulin
memainkan peranan penting selama peningkatan kadar hormon stress pada saat
peristiwa katabolik dalam pembedahan.17
Penurunan pelepasan insulin selama proses pembedahan disebabkan oleh5,17:

Universitas Sumatera Utara


- Efek inhibitor langsung karena adanya agen anestesi. Anestesi dapat
berpengaruh pada metabolisme glukosa, yaitu mengakibatkan hiperglikemia
karena adanya pemecahan glikogen menjadi glukosa.
- Efek inhibitor stimulasi adrenomedulari insulin yang disebabkan oleh rasa
sakit dan stress.

Penurunan insulin dan kelebihan hormon stress menyebabkan kekacauan


metabolis yang dikarakteristikkan dengan peningkatan glukoneogenesis,
hiperglikemia, glikosuria, osmotik diuresis, kehilangan elektrolit, peningkatan
degradasi protein, dan keseimbangan nitrogen negatif.17
Osmotik diuresis semakin memperburuk kehilangan elektrolit yang terjadi
sebagai akibat dari proses operatif itu sendiri. Defisiensi insulin absolut pada pasien
diabetes akan menggabungkan ketidakseimbangan metabolisme ini dengan
katabolisme dan gangguan elektrolit. Respon katabolik terhadap pembedahan pada
pasien diabetes juga berhubungan dengan tingkat keparahan operasi, jaringan luka
yang luas dan komplikasi efek shock dan infeksi.17

2.3.2 Klasifikasi Diabetes Melitus


Dalam menentukan jenis diabetes mellitus pada seseorang sering kali
bergantung pada kondisi yang terjadi pada saat diagnosis, dan banyak penderita
diabetes yang tidak dapat digolongkan dalam satu klasifikasi dengan mudah.16 Pada
tahun 1999, American Diabetes Associations Expert Committee pada Diagnosis dan
Klasifikasi Diabetes Melitus menyetujui revisi nomenklatur dan sistem klasifikasi
berikut, yang berdasarkan pada etiologi penyakit daripada tipe spesifik perawatan
yang digunakan.6

2.3.2.1 Diabetes Melitus Tipe 1


Pada diabetes jenis ini, yang prevalensinya terjadi sekitar 5-10% dari seluruh
kasus diabetes dan disebut juga dengan insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM)

Universitas Sumatera Utara


atau juvenile onset diabetes, biasanya merupakan hasil dari kerusakan autoimun pada
sel beta pankreas.6,16
Immune mediated diabetes biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja,
tetapi dapat juga terjadi di semua usia. Hal ini terjadi karena defisiensi insulin dan
pasien memiliki insiden komplikasi yang parah. Penyebabnya adalah dikarenakan
oleh penghancuran autoimun-mediasi pada sel beta pankreas yang memproduksi
insulin. Jadi, pasien DM tipe 1 cenderung mengalami ketoasidosis, komplikasi dan
metabolisme akut yang mengancam kehidupan, dan sepenuhnya tergantung pada
insulin eksogen untuk bertahan hidup. Ketoasidosis dapat menurunkan pH dalam
darah dengan cepat, yang mengarah pada koma dan kematian. Tanda dan simptom
pada pasien ini relatif tiba-tiba dan biasanya timbul pada usia muda, misalnya 15
tahun, walaupun diabetes tipe ini dapat terjadi pada semua usia.6,14
Hiperglikemia merupakan tanda utama yang muncul pada diabetes mellitus
karena hal ini adalah komplikasi metabolik kronis. Komplikasi metabolik kronis
umumnya terjadi lebih parah pada pasien DM tipe 1. Hal ini termasuk pada
kerentanan terhadap infeksi dan penyembuhan yang melambat, neuropati, retinopati,
dan nefropati (penyakit mikrovaskular); dipercepat oleh aterosklerosis yang
kemudian dihubungkan dengan myocardial infark, stroke, aneurisme aterosklerosis
(penyakit makrovaskular), dan amputasi. Pembentukan lesi sekunder pada pasien
diabetes berhubungan dengan derajat keparahan dan durasi hiperglikemia.14
Pasien DM tipe 1 juga cenderung mengalami kelainan autoimun lainnya, seperti
Graves disease, Hashimotos thyroiditis, dan Addisons disease. Beberapa kasus DM
tipe 1 memiliki penyebab yang belum diketahui dan kemungkinan berkaitan dengan
infeksi viral atau karena faktor lingkungan yang sulit didefinisikan.6 Maka dari itu,
dokter gigi harus mempertimbangkan dengan hati-hati akan adanya potensi
pembentukan penyakit endokrin mediasi autoimun yang dikarakteristikkan dengan
hipofungsi ketika menilai manajemen klinis pada seorang penderita DM tipe 1.14

Universitas Sumatera Utara


2.3.2.2 Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 atau yang sering disebut dengan non-insulin-
dependent-diabetes mellitus (NIDDM) terjadi hampir pada 90-95% kasus diabetes,
meliputi individu yang resisten terhadap insulin dan biasanya mengalami defisiensi
insulin relatif.6,14,16 Yang dimaksud dengan defisiensi insulin relatif adalah kadar
insulin dalam tubuh masih berada dalam batas normal, tetapi cara kerjanya kurang
efektif sehingga menunjukkan adanya gejala defisiensi insulin. DM tipe ini juga
sering disebut dengan diabetes dewasa karena lebih sering terjadi pada umur di atas
40 tahun dan diturunkan melalui gen dominan dan biasanya dikaitkan dengan
kegemukan.1 Level insulin yang mempengaruhi pasien bisa normal, meningkat, atau
menurun, tetapi tidak ada defisiensi insulin yang mendalam. Bagaimanapun juga,
selama bertahun-tahun, mayoritas penderita DM tipe 2 menunjukkan penurunan level
insulin secara terus-menerus.14
Etiologi dan patogenesis DM tipe 2 kemungkinan lebih bermacam-macam
dengan multipel lesi biokemis atau molekuler. Kerusakannya termasuk pada sekresi
insulin yang terganggu, kerusakan pada reseptor insulin, dan kerusakan pada
penyerapan glukosa pada hati yang berkontribusi terhadap intoleransi insulin.14
Meskipun penyebab DM tipe 2 ini tidak diketahui secara spesifik, kerusakan
autoimun pada sel beta pankreas tidak ditemukan. Ketoasidosis tidak ditemukan,
namun hiperosmolar asidosis non-ketosis dapat terjadi sebagai hasil dari
hiperglikemia dalam jangka waktu panjang. Insulin eksogen tidak dibutuhkan pada
perawatan pasien NIDDM untuk bertahan hidup, melainkan digunakan untuk
meningkatkan kontrol hiperglikemia.6,14
Hiperglikemia pada pasien NIDDM ditemukan karena adanya kegagalan sel
beta pankreas untuk mengetahui peningkatan permintaan insulin (sekresi insulin
terganggu karena kerusakan reseptor insulin). Resiko pembentukan DM tipe 2
meningkat berdasarkan faktor usia, obesitas, dan kekurangan aktivitas fisik. Obesitas
dan kadar kolesterol yang tinggi dapat memperburuk aterosklerosis. DM tipe 2 juga
ditemukan lebih banyak pada individu yang mengalami hipertensi atau dislipidemia.

Universitas Sumatera Utara


Sering pula ditemukan faktor predisposisi genetik dimana faktor ini lebih banyak
ditemukan pada populasi Afrika-Amerika, Spanyol, dan Amerika-India.6,14

2.3.2.3 Diabetes Melitus Gestasional


Jenis diabetes ini ditandai dengan adanya derajat intoleran glukosa dengan
onset atau pertama kali dikenali pada masa kehamilan. Di Amerika, GDM
mengkomplikasi sekitar 4% dari seluruh kehamilan. Pada kebanyakan kasus, regulasi
glukosa akan kembali normal setelah melahirkan. Bagaimanapun juga, wanita yang
menderita GDM memiliki resiko untuk mengalami DM tipe 2 setelah masa
kelahiran.6,15

2.3.3 Tanda dan Gejala Diabetes Melitus


Adapun tanda-tanda dan gejala pada diabetes mellitus adalah sebagai
berikut2,4,18,19:
1. Poliuria, yaitu urinasi yang berlebihan.
2. Polidipsia, yaitu perasaan haus yang berlebihan.
3. Polifagia, yaitu peningkatan selera makan.
4. Glikosuria, yaitu terdapat kandungan glukosa di dalam urin.
5. Retinopati diabetik, yaitu suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh
kerusakan dan sumbatan-sumbatan pembuluh halus yang meliputi arteriol
prekapiler retina, kapiler-kapiler, dan vena-vena.
6. Neuropati diabetik, yaitu kerusakan saraf sebagai komplikasi serius akibat
diabetes. Tergantung dari tingkat kerusakan, neuropati diabetik dapat
menimbulkan nyeri, mati rasa dan gangguan pada saluran pencernaan,
kemih, pembuluh darah dan jantung.
7. Nefropati diabetik, yaitu komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal yang
dapat berakhir sebagai gagal ginjal.
8. Peningkatan resiko penyakit arteri koroner.
9. Infeksi kandung kemih, terutama infeksi yang disebabkan oleh fungi.
10. Gatal-gatal, kulit kering, dan lambatnya penyembuhan luka.

Universitas Sumatera Utara


11. Lemah, lelah, dan simptom seperti flu.
12. Rasa gatal atau terbakar pada tangan atau kaki (terutama pada DM tipe 2).
13. Pandangan mengabur.
14. Tanda-tanda diabetes lainnya yang timbul di rongga mulut.

2.3.4 Diagnosis Diabetes Melitus


Kedua jenis utama DM (tipe 1 dan tipe 2) menyebabkan hiperglikemia atau
kadar gula darah tinggi jika tidak dilakukan perawatan.4 Pada Februari 2010, ADA
(American Diabetes Association) secara resmi merekomendasikan penggunaan uji
hemoglobin glikosilasi (HbA1c) untuk mendiagnosis dan memantau DM.
Hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) merupakan gugus heterogen yang terbentuk dari
reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin. Kecepatan pembentukan HbA1c
proporsional dengan konsentrasi glukosa darah. Pemeriksaan ini sangat diperlukan
dalam upaya manajemen DM yang optimal untuk memperkecil risiko komplikasi
diabetes. Laporan tahunan ADA mengusulkan bahwa penemuan tingkat HbA1c yang
lebih dari 6,5% menghasilkan terdiagnosanya diabetes. Standard baru ini didasarkan
pada sebagian besar bukti ilmiah oleh Diabetes Control and Complication Trial
(DCCT). Uji diagnostik diabetes lainnya mencakup tingkat gula darah puasa yang
lebih dari 126 mg/dL, tingkat gula darah 2 jam yang lebih dari 200 mg/dL selama uji
toleransi glukosa oral (OGTT), dan tingkat glukosa acak lebih dari 200 mg/dL pada
pasien simptomatik untuk krisis hiperglikemia atau hipoglikemia.15,20
Pemeriksaan HbA1c telah digunakan sebagai penaksiran jangka panjang,
menyediakan pengukuran untuk regulasi glukosa rata-rata selama 6 sampai 12
minggu sebelumnya. Tujuan pada pasien diabetes adalah untuk menjaga level HbA1c
kurang dari 7% dimana glukosa dianggap terkontrol dengan baik. Uji lain, seperti uji
toleransi glukosa, biasanya digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan diabetes
gestasional dan gangguan absorpsi glukosa.15
Pasien diabetes harus menjalani pemantauan reguler dengan menguji tingkat
gula darah puasa dan tingkat HbA1c. Uji serum fruktosamin digunakan untuk
mengukur kontrol glikemik pasien diabetes selama 2 sampai 3 minggu sebelum

Universitas Sumatera Utara


pemeriksaan. Telah dilaporkan pada suatu studi adanya korelasi positif antara derajat
perdarahan gingiva dan tingkat fruktosamin yang tinggi. Pemeriksaan serum
fruktosamin sering kali terlihat pada wanita hamil dan khususnya wanita hamil yang
kebutuhan insulin dan glukosanya untuk waktu tertentu dipengaruhi oleh penyakit
akut maupun sistemik.15
Pemeriksaan gula darah puasa yang hasilnya lebih dari 126 mg/dL terdiagnosa
akan adanya diabetes. Jika pengukuran gula darah puasa antara 110 sampai 126
mg/dL, maka pemeriksaan toleransi glukosa oral harus dilakukan untuk menentukan
derajat intoleransi glukosa. Gula darah puasa lebih dari 126 mg/dL, tingkat glukosa
acak lebih dari 200 mg/dL, dan di samping gejala DM lainnya (polidipsia, poliuria,
polifagia, kehilangan berat badan, dan rasa lemah) merupakan indikator yang pasti
untuk mendiagnosis DM. Penemuan gula darah positif harus dikonfirmasi dengan
mengulang pemeriksaan pada hari-hari berikutnya.15

2.3.5 Komplikasi Oral yang Ditimbulkan Oleh Diabetes Melitus


Komplikasi oral yang terjadi pada diabetes mellitus yang tidak terkontrol
sangatlah merusak. Hal ini mencakup gingivitis dan penyakit periodontal, xerostomia
dan disfungsi kelenjar saliva, kerentanan pada bakteri yang meningkat, infeksi viral
dan fungal (kandidiasis), karies, abses periapikal, kehilangan gigi, terganggunya
kemampuan untuk menggunakan protesa (berhubungan dengan disfungsi kelenjar
saliva), gangguan pengecapan, lichen planus, dan sindrom mulut terbakar.21

2.3.5.1 Gingivitis dan Penyakit Periodontal


Kerentanan terhadap penyakit periodontal merupakan komplikasi oral yang
paling sering ditemukan pada pasien diabetes mellitus. Pasien dengan kontrol
diabetes mellitus yang rendah memiliki risiko tertinggi dalam pembentukan penyakit
periodontal. Hal ini dimulai dari gingivitis dan kemudian, dengan kontrol glikemik
yang rendah, berkembang ke penyakit periodontal lanjutan. Anak-anak dengan
diabetes dan orang dewasa dengan kontrol metabolik yang dibawah optimal
menunjukkan kecendrungan ke arah skor gingivitis yang lebih tinggi.21

Universitas Sumatera Utara


Pada sebuah studi menyatakan bahwa prevalensi penyakit periodontal berkisar
9,8% dari 263 pasien dengan diabetes tipe 1, dibandingkan dengan 1,7% pada pasien
tanpa diabetes. Beberapa studi telah mendemonstrasikan bahwa pasien dengan
diabetes tipe 1 dan kronis, kontrol metabolik pada penyakit harus diperpanjang dan
penyakit periodontal lebih parah daripada pasien yang dengan teliti mengontrol
diabetesnya. Pasien dengan diabetes tipe 1 dan retinopati cenderung menunjukkan
kehilangan perlekatan gingiva lebih besar. Jadi, oral hygiene yang baik sangatlah
penting pada pasien dengan diabetes tipe 1.21
Terdapat studi yang lebih banyak pada pasien dengan diabetes tipe 2 yang
dihubungkan dengan penyakit periodontal. Studi ini menunjukkan bahwa pasien
dengan diabetes tipe 2 dapat mengalami penyakit periodontal tiga kali lipat lebih
banyak dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes. Suatu studi pada India Pima,
dimana 40% orang-orangnya menderita diabetes tipe 2, orang-orang yang usianya
dibawah 40 tahun mengalami peningkatan kehilangan perlekatan gingiva lebih besar
dibandingkan dengan orang-orang tanpa diabetes, sebagaimana juga terjadi
kehilangan tulang alveolar yang berhubungan dengan peningkatan intoleransi glukosa
atau kontrol metabolik yang rendah. Pada studi ini pula diketahui bahwa kerusakan
jaringan periodontal meningkat berdasarkan usia dan derajat keparahan diabetesnya.
Kehilangan gigi juga memiliki persentase 15 kali lebih tinggi pada penderita diabetes
dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki diabetes.21

2.3.5.2 Disfungsi Kelenjar Saliva dan Xerostomia


Terdapat beberapa laporan bahwa mulut kering (xerostomia) dan hipofungsi
kelenjar saliva ditemukan pada pasien diabetes, yang disebabkan oleh poliuria atau
karena masalah endokrin atau metabolik. Ketika lingkungan normal dalam mulut
berubah karena adanya penurunan aliran saliva atau perubahan dalam komposisi
saliva, dalam mulut yang sehat dapat menjadi rentan terhadap karies dental.
Kekeringan, atropi, dan mukosa oral yang pecah-pecah merupakan komplikasi
terhadap produksi saliva yang tidak cukup. Disertai dengan mukositis, ulser dan
deskuamasi, sebagaimana inflamasi dan depapilasi lidah merupakan masalah yang

Universitas Sumatera Utara


biasa dijumpai. Kesulitan dalam lubrikasi makanan, mengunyah, merasa, dan
menelan juga merupakan komplikasi dalam disfungsi saliva dan kemungkinan
berkontribusi dengan gangguan asupan nutrisi.21
Peningkatan jumlah karies dental telah diketahui terjadi pada pasien muda yang
menderita diabetes dan kemungkinan berhubungan dengan disfungsi saliva. Namun,
terdapat hubungan antara pasien dewasa dengan diabetes dan karies yang aktif dan
kehilangan gigi dimana hal ini lebih sering ditemui pada pasien diabetes dengan
kontrol glikemik yang rendah.21

2.3.5.3 Kandidiasis
Kandidiasis oral merupakan infeksi fungal yang biasanya berhubungan dengan
hiperglikemia dan merupakan komplikasi pada diabetes yang terkontrol rendah
maupun tidak terkontrol. Lesi oral berhubungan dengan kandidiasis, termasuk median
rhomboid glossitis (atropi papilla tengah), glositis atropik, denture stomatitis,
pseudomembraneous candidiasis (thrush), dan angular cheilitis. Candida albicans
adalah komponen flora oral normal yang jarang berkolonisasi dan menginfeksi
mukosa oral tanpa faktor pendukung. Hal ini mencakup kondisi yang berkompromis
dengan imun, misalnya AIDS, kanker, atau diabetes, maupun penggunaan gigitiruan
yang digubungkan dengan oral hygiene yang buruk dan penggunaan antibiotik
spektrum luas dalam jangka waktu panjang. Disfungsi saliva, kompromis fungsi
imun, dan hiperglikemia yang memberikan potensi substrat untuk pertumbuhan fungi
merupakan faktor utama terjadinya kandidiasis oral pada pasien dengan diabetes.21

2.3.5.4 Sindroma Mulut Terbakar (Burning Mouth Syndrome)


Pasien dengan Burning Mouth Syndrome (BMS) biasanya tidak menunjukkan
tanda-tanda klinis atau lesi yang terdeteksi, walaupun terdapat simptom rasa sakit dan
terbakar yang intens. Etiologi BMS bervariasi dan biasanya sulit untuk diuraikan
secara klinis. Simptom rasa sakit dan terbakar muncul sebagai hasil dari satu faktor
atau bisa saja dari beberapa faktor yang berkombinasi. Pada diabetes tak terkontrol,
faktor etiologinya adalah disfungsi kelenjar saliva, kandidiasis, dan abnormalitas

Universitas Sumatera Utara


neurologi, seperti depresi. Saraf otonom dan sensorik-motorik neuropati merupakan
bagian dari sindrom diabetes dan prevalensi neuropati pada diabetes mellitus sekitar
50%, 25 tahun setelah onset pertama diabetes, dengan 30% terjadi pada orang dewasa
yang mengalami diabetes.21
Neuropati dapat menyebabkan simptom parestesi dan kesemutan, mati rasa,
rasa sakit atau terbakar yang disebabkan oleh perubahan patologis yang melibatkan
saraf pada daerah oral. Diabetes berhubungan dengan BMS, namun, neuropati dari
diabetes berhubungan dengan rasa sakit dan terbakar pada bagian tubuh lainnya,
seperti kaki.21
Pada kasus tertentu menemukan bahwa BMS sering ditemukan pada kasus
diabetes tipe 2 yang tidak terdiagnosis, dimana kebanyakan kasus juga diselesaikan
setelah diagnosis medis dan perawatan lebih lanjut saat melakukan kontrol glikemik.
Kemajuan kontrol glikemik memegang peranan penting dalam menurunkan kejadian
komplikasi, seperti xerostomia dan kandidiasis, dan faktor-faktor ini kemungkinan
berkontribusi lebih signifikan terhadap resolusi simptom yang berhubungan dengan
BMS pada pasien diabetes.21

2.3.5.5 Lichen Planus


Lichen planus sering dijumpai dan merupakan penyakit mukokutan dengan
penyebab yang tidak diketahui. Hal ini secara umum dianggap sebagai proses imun
yang dimediasi yang melibatkan reaksi hipersensitifitas pada level mikroskopik. Hal
ini dikarakteristikkan dengan infiltrasi limfosit T yang terletak pada jaringan epitel.
Sel imun lainnya, misalnya makrofag, sel dendrit, dan sel Langerhans, juga terlihat
mengalami peningkatan jumlah pada lesi lichen planus. Terlihat ada hubungan antara
lichen planus dan hipertensi ataupun diabetes. Namun, suatu studi pada 40 pasien
dengan lichen planus ditemukan bahwa 11 pasien (28%) memiliki diabetes,
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang menyatakan bahwa diabetes mungkin
berhubungan dengan immunopatogenesis lichen planus.21

2.3.5.6 Infeksi Oral Akut

Universitas Sumatera Utara


Infeksi oral akut biasanya terjadi pada diabetes dengan kontrol rendah dan
berdasarkan pada tingkat keparahannya. Kontrol glikemik pada manajemen diabetes
merupakan kunci utama untuk menurunkan dampak oral infeksi akut.21

2.4 Tindakan Pencabutan Gigi Pada Penderita Diabetes Melitus


Riwayat medis dan pemeriksaan klinis pada pasien merupakan hal yang penting
dilakukan untuk memastikan keberhasilan hasil dari prosedur pencabutan gigi.
Pemeriksaan riwayat medis ditegakkan melalui sejumlah pertanyaan yang
menyinggung keberadaan kondisi patologis yang mungkin merugikan dan
mempengaruhi prosedur pencabutan gigi dan membahayakan kehidupan pasien.22
Penaksiran risiko operatif pada pasien dengan diabetes mellitus umumnya mirip
dengan pasien lain, yakni di antaranya penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi,
dan merawat sistemiknya sebelum pencabutan gigi dilakukan. Sebagai tambahan,
penaksiran ini harus fokus pada komplikasi jangka panjang yang disebabkan diabetes,
seperti mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati, yang kemungkinan memiliki
risiko. Perhatian khusus juga harus diberikan pada pasien yang belum terdiagnosa.
Maka dari itu, dokter gigi harus sangat berhati-hati apabila akan melakukan tindakan
pencabutan gigi pada pasien yang memiliki diabetes mellitus, dan hal-hal berikut ini
diikuti dengan baik.22,23

2.4.1 Tes Skrining


Pemeriksaan kadar glukosa terakhir adalah hal yang sangat penting.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan di praktik dokter gigi sebelum pencabutan gigi
dilakukan dengan menggunakan glukometer, yaitu suatu alat yang dioperasikan
dengan tenaga baterai. Setetes darah kapiler dari ujung jari diletakkan pada strip uji
setelah ditusukkan dengan alat tusuk pada alat tersebut dan dalam satu menit hasilnya
yang berbentuk numerik akan muncul pada layar.22

Universitas Sumatera Utara


2.4.2 Waktu Pencabutan Gigi
Untuk menghindari risiko terjadinya reaksi hipoglikemia (syok insulin), maka
waktu pencabutan gigi yang paling baik adalah dilakukan pada pagi hari, tepatnya
satu sampai satu setengah jam setelah sarapan dan setelah pasien meminum obat
diabetes untuk menghindari reaksi puncak bagi pasien yang melakukan injeksi
insulin. Pencabutan gigi tidak boleh dilakukan pada siang hari atau dijadikan sebagai
pasien terakhir sebelum makan malam karena kadar gula darah sudah menjadi rendah
dan prosedur penyembuhan dapat terganggu karena adanya aktifitas makan. Pasien
juga harus diinformasikan untuk datang ke praktik dokter gigi dalam keadaan sudah
beristirahat dengan cukup dan tidak stress.4,22
Prosedur pencabutan gigi harus dihindari jika pasien4:
- Belum makan dan meminum obat antidiabetes
- Dalam keadaan tidak sehat, misalnya pasien terkena flu, demam, atau terlalu
letih.
- Belum mengadakan kunjungan pada dokter yang menangani diabetesnya
sebelum proses pencabutan gigi dilakukan sehingga tidak diketahui kadar
gula darah terakhirnya.
- Memiliki kadar gula darah < 70 mg/dL atau > 150 mg/dL
- Mengalami kegawatdaruratan diabetes.

2.4.3 Diet
Diet pada pasien diabetes tidak boleh diubah baik sebelum maupun sesudah
tindakan pencabutan gigi dilakukan. Sebelum pencabutan, dan khususnya setelahnya,
pasien sering kali menolak untuk makan atau tidak bisa makan karena adanya rasa
sakit setelah pencabutan dan perdarahan yang apabila keadaan ini berlanjut maka
akan menyebabkan hipoglikemia.22

2.4.4 Diabetes dan Infeksi


Diabetes yang terkontrol dengan baik tidak memerlukan profilaksis antibiotik
untuk pencabutan gigi. Pasien dengan diabetes tidak terkontrol akan mengalami

Universitas Sumatera Utara


penyembuhan lebih lambat dan cenderung mengalami infeksi sehingga memerlukan
pemberian profilaksis antibiotik. Responnya terhadap infeksi tersebut diduga sebagai
akibat defisiensi leukosit polimorfonuklear dan menurunnya atau terganggunya
fagositosis, diapedesis, dan kemotaksis karena hiperglikemia. Sebaliknya, infeksi
orofasial menyebabkan kendala dalam pengaturan dan pengontrolan diabetes,
misalnya meningkatnya kebutuhan insulin. Pasien dengan riwayat kehilangan berat
badan yang penyebabnya tidak diketahui yang terjadi bersamaan dengan kegagalan
penyembuhan infeksi dengan terapi yang biasa dilakukan, bisa dicurigai menderita
diabetes.1,22

2.4.5 Pemberian Anestesi Lokal


Anestesi lokal harus diberikan dengan hati-hati karena konsentrasi
vasokonstriktornya harus minimal. Adrenalin, yang merupakan salah satu anestesi
dengan vasokonstriktor yang paling sering digunakan, dapat menyebabkan
glukoneogenesis dan berinteraksi dengan insulin. Efek vasokonstriktor tersebut yang
dapat menyebabkan terjadinya glukoneogenesis, dimana proses ini menghancurkan
glikogen kembali menjadi glukosa lagi dalam aliran darah sehingga hal ini akan
membahayakan penderita diabetes mellitus. Noradrenalin memiliki efek
glukoneogenesis yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan adrenalin sehingga
lebih dianjurkan untuk digunakan pada pasien diabetes. Umumnya, karena jumlah zat
vasokonstriktor sangat kecil dalam satu ampul (konsentrasi terbesar adalah
1:100.000) sehingga risiko yang ditimbulkan lebih sedikit.22

2.4.6 Pemberian Obat


Analgesik dosis rendah dan sedatif yang mengandung acetaminophen (Tylenol)
merupakan obat-obat yang biasa diberikan. Kortikosteroid harus dihindari karena
adanya reaksi glikogenolitik, begitu pula dengan salisilat (aspirin) karena berpotensi
menimbulkan reaksi hipoglikemia pada tablet antidiabetik. Pemberian obat anti-
kecemasan atau antidepresan dianjurkan pada pagi maupun siang sebelum proses
pencabutan gigi.22

Universitas Sumatera Utara


2.4.7 Penyembuhan Luka
Mikroangiopati yang terjadi pada penderita diabetes mellitus dapat
menyebabkan pembuluh darah menjadi inefektif. Hal inilah yang menyebabkan
penyembuhan luka pada penderita diabetes mellitus menjadi lambat. Prosedur
pencabutan gigi pada rongga mulut harus dilakukan dengan cara yang hati-hati dan
halus agar memberikan hasil penyembuhan luka yang optimal. Linggir tulang harus
dihaluskan agar menghindari iritasi gingiva. Penjahitan luka (suturing) juga dapat
membantu agar luka lebih cepat sembuh.22

2.4.8 Kadar Gula Darah Saat Pencabutan Gigi Dilakukan


Kadar gula darah yang sebaiknya dimiliki pasien diabetes mellitus saat
pencabutan gigi akan dilakukan yaitu tidak kurang dari 70 mg/dL dan tidak lebih dari
150 mg/dL.4,22

2.5 Keadaan Darurat Pada Diabetes Melitus


Terdapat dua keadaan darurat utama yang akan dihadapi dokter gigi pada
pasien diabetes, yaitu syok insulin (hipoglikemia) dan ketoasidosis (hiperglikemia).
Kedua kondisi ini lebih sering timbul pada diabetes tipe 1 daripada tipe 2 karena
diabetes tipe 1 lebih sulit dikontrol dan perawatannya memerlukan insulin (insulin
dependent). Hipoglikemia adalah kasus yang paling penting, dimana muncul pada
saat kadar gula darah lebih rendah daripada 55mg/100mL. Hipoglikemia muncul
dengan cepat dan dikarakteristikkan dengan adanya rasa lapar, rasa lelah, berkeringat,
kebingungan, vertigo, gemetar, wajah memucat, perasaan gelisah, sakit kepala,
parestesia bibir dan lidah, diplopia dan pandangan mengabur, dan kelainan neurologi.
Pada kasus yang lebih parah, dapat terjadi pengeluaran keringat yang berlebihan,
hipertensi otot, dan akhirnya kehilangan kesadaran, koma, bahkan kematian.1,22
Karena hipoglikemia dapat terbentuk dengan cepat, keadaan ini lebih sering
terlihat pada praktik dokter gigi daripada hiperglikemia. Hipoglikemia muncul karena
asupan karbohidrat yang inadekuat dalam hubungannya dengan insulin atau karena

Universitas Sumatera Utara


pemberian obat hipoglikemik. Kemungkinan penyebab yang paling sering yang
terjadi pada pencabutan gigi adalah ketika pasien menerima dosis normal insulinnya
pada pagi hari, namun karena rasa cemas dan takut, serta dan pasien tidak makan
dengan cukup sebelum pencabutan sehingga asupan karbohidratnya kurang.1,3
Sementara itu, hiperglikemia atau ketoasidosis biasanya terbentuk secara
progresif dalam waktu beberapa hari. Hiperglikemia dikarakteristikkan dengan rasa
lelah, sakit kepala, mual, muntah, xerostomia, dehidrasi, dypsnea, dan akhirnya
letargi yang menyebabkan koma.22 Kehilangan atau kekurangan insulin, ditambah
dengan faktor yang meningkatkan kebutuhan insulin, seperti infeksi, trauma, bedah,
kehamilan, dan gangguan emosional yang parah, biasanya merupakan penyebab
utamanya.3

Universitas Sumatera Utara


KERANGKA TEORI

Pencabutan Gigi pada


Pasien Diabetes Mellitus

Pengetahuan dan Pencabutan Diabetes Tindakan Keadaan darurat


Perilaku Gigi Mellitus pada DM

Tes Skrining
Patofisiologi Syok insulin
DM Tipe 1
Waktu
DM Tipe 2 Klasifikasi Ketoasidosis
Pencabutan

GDM Tanda dan Diet


Gejala
Diabetes dan
Diagnosis Infeksi

Pemberian
Komplikasi anestesi lokal
Oral
Pemberian
Gingivitis dan Penyakit obat
Periodontal
Penyembuhan
Disfungsi kelenjar saliva luka
dan xerostomia
KGD saat
Kandidiasis pembedahan

Burning Mouth
Syndrome (BMS)

Lichen Planus

Infeksi Oral Akut

Universitas Sumatera Utara


KERANGKA KONSEP

Pengalaman Pribadi Karakteristik individu


Penjelasan orang lain dan lingkungan
Penalaran deduktif
Penalaran induktif

Dokter Gigi

Pengetahuan Perilaku

Diabetes Mellitus

Patofisiologi Klasifikasi Tanda dan Diagnosis Komplikasi Keadaan


DM DM Gejala DM DM Oral DM Darurat DM

Pencabutan Gigi yang


Optimal

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai