Makalah Inkontenitas Urine Kelompok 1
Makalah Inkontenitas Urine Kelompok 1
(INKONTINENSIA URINE)
Di Susun Oleh :
1. ABDUL GOFUR (12.03714.0604)
2. ACHMAD MUZAKKI (12.03714.0606)
3. AGUNG SISWOYO (12.03714.0607)
4. AWLIAH NUR AULIA (12.03714.0610)
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kehadiran Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang
diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas INKONTINENSIA URINE.
Dalam penyusunan Makalah ini, penulis memperoleh banyak dukungan dari
berbagai pihak dan bantuan moral serta bimbingan, petunjuk dan saran-saran yang
berguna dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis
ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tiada batas kepada yang terhormat :
Penulis
Page | ii
DAFTAR ISI
Page | iii
BAB I
PENDAHULUAN
Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari
proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh
setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku
yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia
tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang
kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan
berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat
kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut
tidak tertandingi.
Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun
demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering
menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak
seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan
pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi
sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.
Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang
pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses
penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya
Page | 1
daya tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman bagi
integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan
kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang
yang dicintai.
Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang
telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan
adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan
adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi
satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat
digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan
fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan
keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses
kemunduran.
Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang
normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan
tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan ancaman
bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan
dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-
orang yang dicintai.
Page | 2
merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta
dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan
rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga
akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).
1.2 TUJUAN
Page | 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Inkontinensia urine merupakan suatu jenis urge incontinence
(keluarnya urine secara tidak sadar, terjadi ketika tekanan kandung kemih
melebihi tekanan uretra selama fase pengisian) yang dihubungkan dengan
keinginan kuat untuk buang air kecil dan berhubungan dengan overaktif otot
detrusor.
Page | 4
kontraksi independen dan refleks detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula,
neuropati.
1. Inkontinen sia stress tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya
dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia
stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak
dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan
meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba.
Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi
sewaktu batuk, bersin, mengangkat benda yang
berat, tertawa (Panker, 2007).
1. inkontinensia reflex Keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan.
2.2 Etiologi
Kelainan klinik yang erat hubungannya dengan gejala inkontinensia urine
antara lain :
- Kelainan neurologis
Page | 5
Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson, multipel
sklerosis), medula spinalis (sklerosis servikal atau lumbal, trauma,
multipel sklerosis), dan persarafan perifer (diebetes neuropati, trauma
saraf).
- Kelainan sistemik
3. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk
berkemih.
Page | 6
5. Urge inkontinensia yaitu dorongan yang kuat sekali unuk berkemih
dan tidak dapat ditahan sehingga kadangkadang sebelum sampai
ke toilet urine telah keluar lebih dulu.
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui
kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa
urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
Page | 7
Urinalisis Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk
mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia
urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes
diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum
jelas. Tes lanjutan tersebut adalah : Tes laboratorium tambahan seperti
kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.
2 Pemeriksaan penunjang
3 Laboratorium
Page | 8
perawat kontinensia, dan psikolog. Pemberi pelayanan primer dapat
mendiagnosis inkontinensia urine dengan pemeriksaan riwayat medis yang
lengkap dan menggunakan tabel penilaian gejala.
Page | 9
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah
urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena
tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang
diminum.
Page | 10
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra
dapat tertutup dengan baik.
3. Terapi farmakologi
4. Terapi pembedahan
5. Modalitas lain
o Pampers
Page | 11
Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah
seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers
sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu
dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
o Kateter
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia
lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu
tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu
memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.
Page | 12
2.6 WOC
Penyebab Akut Penyebab Kronik Faktor Predisposisi
D --> Delirium - Kelemahan otot dasar - Pembedahan urogenital
R --> Restriksi mobilitas, panggul/ otot kandung - Menurunnya tahanan
retensi urin kemih yang sudah berat uretra dan muara
- Ggn Neurologis (stroke, kandung kemih
I --> Infeksi, inflamasi,
penyakit Parkinson, - Pembesaran kelenjar
Impaksi dimensia) prostat
P --> Poliuria, pharmasi
INKONTINENSIA URINE
Page | 13
2.7 Pengkajian Keperawatan
1. Anamnesa
a. Identitas pasien
b. Keluhan utama
e. Riwayat Psikososial
2. Pemeriksaan Fisik
Page | 14
d. Pemeriksaan pelvis yang biasanya normal pada penderita overaktif
kandung kemih, untuk menilai adakah kontribusi dari gejala overaktif
kandung kemih dan juga pemeriksaan rectal harus dinilai.
3. Pemeriksaan Penunjang
b. Test lanjutan.
Pemeriksaan sistoskopi
Page | 15
7. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik yang
berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tenttang penyebab
inkontinen, penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih,
tanda dan gejala komplikasi, serta sumbe komonitas.
Intervensi :
Kriteria hasil : klien mampu istirahat dan tidur dengan waktu yang cukup, klien
mengungkapkan sudah bisa tidur, klien mampu menjelaskan factor penghambat
tidur.
Intervensi :
Page | 16
1. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur/istirahat dan
kemungkinan cara untuk menghindarinya.
3. Batasi masukan cairan waktu malam hari dan berkemih sebelum tidur.
Kriteria Hasil : klien dapat mengatakan secara akurat tentang diagnosis dan
pengobatan, mengikuti prosedur dengan baik dan menjelaskan tentang alas an
mengikuti prosedur tersebut, mempunyai inisiatif dalam perubahan gaya hidup
dan berpartisipasi dalam pengobatan, bekerjasama dengan pemberi informasi.
Intervensi :
2. Beri informasi yang akurat dan actual. Jawab pertanyaan secara spesifik,
hindari informasi yang tidak diperlukan.
Page | 17
3. Berikan bimbingan kepada klien atau keluarga sebelum mengikuti prosedur
pengobatan, terap, dan komplikasi.
Page | 18
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Sistem urinaria adalah suatu system tempat terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan
oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-
zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan
berupa urine (air kemih).
3.2 SARAN
Page | 19
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Page | 20