Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KMB III ASKEP SISTEM PERKEMIHAN

(INKONTINENSIA URINE)

Di ajukan untuk memenuhi tugas Kmb iii Sistem Perkemihan


yang di bimbing oleh :
Heri Siswanto, S.Kep Ns

Di Susun Oleh :
1. ABDUL GOFUR (12.03714.0604)
2. ACHMAD MUZAKKI (12.03714.0606)
3. AGUNG SISWOYO (12.03714.0607)
4. AWLIAH NUR AULIA (12.03714.0610)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


UNIVERSITAS BONDOWOSO
2014
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kehadiran Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang
diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas INKONTINENSIA URINE.
Dalam penyusunan Makalah ini, penulis memperoleh banyak dukungan dari
berbagai pihak dan bantuan moral serta bimbingan, petunjuk dan saran-saran yang
berguna dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis
ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tiada batas kepada yang terhormat :

1. Heri Siswanto selaku Dosen Pengajar KMB III Sistem Perkemihan


2. Leni Agustin, S. Kep Ns, selaku wali kelas 2A yang telah memberi
semangat dan pengarahan dan bimbingan baik secara mental dan
moral.
3. Serta semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan
Makalah ini
Yang mana berkat dukungan beliaulah Makalah ini dapat terselesaikan
meski banyak kesalahan, baik dari cara penulisan maupun format makalah ini.
Oleh karena itu kami mohon kritik dan saran yang dapat membangkitkan
semangat belajar kami. Sehingga kami tidak lagi melakukan kesalahan yang
kedua kalinya.

Bondowoso, Mei 2014

Penulis

Page | ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 4


2.1 Definisi ..................................................................................................... 4
2.2 Etiologi ..................................................................................................... 5
2.3 Tanda Gejala ............................................................................................ 6
2.4 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................... 7
2.5 Penatalaksanaan Medis ............................................................................ 9
2.6 WOC ........................................................................................................ 13
2.7 Pengkajian Keperawatan .......................................................................... 14
2.8 Diagnosa Keperawatan yang muncul ....................................................... 15
2.9 Intervensi Keperawatan pada 3 Diagnosa Prioritas ................................. 16
BAB III. PENUTUP ..................................................................................... 18

3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 18

3.2 Saran ........................................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 20

Page | iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahanlahan kemampuan


jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus
berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua
makhluk hidup.

Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari
proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh
setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku
yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia
tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang
kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan
berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat
kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut
tidak tertandingi.

Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun
demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering
menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak
seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan
pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi
sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.

Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun
mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang
pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses
penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya

Page | 1
daya tahan tubuh , lebih mudah terkena konstipasi merupakan ancaman bagi
integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan
kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang
yang dicintai.

Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang
telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan
adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan
adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi
satu sama lain . Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat
digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan
fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan
keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses
kemunduran.

Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah
dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang
normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan
tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine maupun tinja merupakan ancaman
bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan
dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-
orang yang dicintai.

Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering


ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin
berkisar antara 1530% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang
dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan
bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.

Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang


dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu
atau tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu
yang wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi

Page | 2
merupakan gejala yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta
dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan
rasa rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga
akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

1.2 TUJUAN

Dari rumusan masalah diatas adapun tujuannya adalah:

1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin pada


lanjut usia.

2. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin pada


lanjut usia.

3. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau faktor


pencetus inkontinensia urin pada lanjut usia.

4. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia urin


pada lanjut usia.

5. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala inkontinensia


urin pada lanjut usia.

6. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang pada


lanjut usia.

7. Mengetahui dan memahami mengenai pathway inkontinensia urin pada


lanjut usia.

8. Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan inkontinensia


urin pada lanjut usia.

Page | 3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Inkontinensia urine merupakan suatu jenis urge incontinence
(keluarnya urine secara tidak sadar, terjadi ketika tekanan kandung kemih
melebihi tekanan uretra selama fase pengisian) yang dihubungkan dengan
keinginan kuat untuk buang air kecil dan berhubungan dengan overaktif otot
detrusor.

Inkontinensia urine adalah gangguan atau kerusakan pada susunan


saraf yang ikut mengontrol kandung kemih dan kelainan yang belum
diketahui sebabnya sampai saat ini (idiopatik).

Inkontinensia urine (pengeluaran urune di luar kehendak) dapat


terjadi akibat cedera pada sfingter urunarius eksterna, kelainan neurologic
yang di dapat atau akibat gejala urgensi hebat yang di sebabkan oleh infeksi.

Inkontinensia urine adalah, adanya gangguan pada control volunter


akibat adanya gangguan pada system saraf yang menangani kandung kemih,
medulla spinalis dan otak.

Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2006

1. inkontinensia Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran


dorongan urin tanpa sadar, terjadi segera setelah merasa
dorongan yang kuat setelah berkemih.

Inkontinensia dorongan ditandai dengan seringnya


terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali) dan
spame kandung kemih (Hidayat, 2006). Pasien
Inkontinensia dorongan mengeluh tidak dapat
menahan kencing segera setelah timbul sensasi
ingin kencing. Keadaan ini disebabkan otot detrusor
sudah mulai mengadakan kontraksi pada saat
kapasitas kandung kemih belum terpenuhi.
1. inkontinensia total Keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran
urin yang terus menerus dan tidak dapat
diperkirakan. Kemungkinan penyebab
inkontinensia total antara lain: disfungsi neorologis,

Page | 4
kontraksi independen dan refleks detrusor karena
pembedahan, trauma atau penyakit yang
mempengaruhi saraf medulla spinalis, fistula,
neuropati.
1. Inkontinen sia stress tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya
dorongan berkemih, dan sering miksi. Inkontinensia
stress terjadi disebabkan otot spingter uretra tidak
dapat menahan keluarnya urin yang disebabkan
meningkatnya tekanan di abdomen secara tiba-tiba.
Peningkatan tekanan abdomen dapat terjadi
sewaktu batuk, bersin, mengangkat benda yang
berat, tertawa (Panker, 2007).
1. inkontinensia reflex Keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan.

Inkontinensia tipe ini kemungkinan disebabkan


oleh adanya kerusakan neurologis (lesi medulla
spinalis). Inkontinensia refleks ditandai dengan
tidak adanya dorongan untuk berkemih, merasa
bahwa kandung kemih penuh, dan kontraksi atau
spasme kandung kemih tidak dihambat pada
interval teratur
1. inkontinensia keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran
fungsional urin secara tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan. Keadaan inkontinensia ini ditandai
dengan tidak adanya dorongan untuk berkemih,
merasa bahwa kandung kemih penuh, kontraksi
kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan
urin

2.2 Etiologi
Kelainan klinik yang erat hubungannya dengan gejala inkontinensia urine
antara lain :

- Kelainan traktus urinearius bagian bawah

Infeksi, obstruksi, kontraktiltas kandung kemih yang berlebihan,


defisiensi estrogen,kelemahan sfingter, hipertropi prostat.

- Kelainan neurologis

Page | 5
Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson, multipel
sklerosis), medula spinalis (sklerosis servikal atau lumbal, trauma,
multipel sklerosis), dan persarafan perifer (diebetes neuropati, trauma
saraf).

- Kelainan sistemik

Gagal jantung, insufisiensi vena, diabetes melitus, gangguan tidur,


abnormalitas arginin vasopresin.

- Kondisi fungsional dan tingkah laku

Konsumsi alkohol dan kafein berlebihan, kebiasaan makan yang


buruk dan konstipasi, gangguan mobilitas, kondisi psikologis.

- Efek samping pengobatan

Diuretik, antikolionergik, narkotika, kalsium chanel bloker, inhibitor


kolinestrase.

2.3 Tanda Gejala


Gejala yang terjadi pada inkontinensia urine antara lain :

1. Sering berkemih: merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih


sering dari normal bila di bandingkan denga pola yang lazim di
miliki seseorang atau lebih sering dari normal yang umumnya di
terima, yaitu setiap 3-6 jam sekali.

2. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali


dalam waktu 24 jam.

3. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk
berkemih.

4. Urgensi yaitu keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih


walaupun penderita belum lama sudah berkemih dan kandung
kemih belum terisi penuh seperti keadaan normal.

Page | 6
5. Urge inkontinensia yaitu dorongan yang kuat sekali unuk berkemih
dan tidak dapat ditahan sehingga kadangkadang sebelum sampai
ke toilet urine telah keluar lebih dulu.

Orang dengan inkontinensia urine mengalami kontraksi yang tak


teratur pada kandung kemih selama fase pengisian dalam siklus miksi.
Urge inkontinensia merupakan gejala akhir pada inkontinensia urine.
Jumlah urine yang keluar pada inkontinensia urine biasanya lebih banyak
daripada kapasitas kandung kemih yang menyebabkan kandung kemih
berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Pasien dengan inkontinensia urine
pada mulanya kontraksi otot detrusor sejalan dengan kuatnya keinginan
untuk berkemih, akan tetapi pada beberapa pasien mereka menyadari
kontraksi detrusor ini secara volunter berusaha membantu sfingter untuk
menahan urine keluar serta menghambat kontraksi otot detrusor, sehingga
keluhan yang menonjol hanya urgensi dan frekuansi yaitu lebih kurang 80
%. Nokturia hampir ditemukan 70 % pada kasus inkontinensia urine dan
simptom nokturia sangat erat hubungannya dengan nokturnal enuresis.
Keluhan urge inkontinensia ditemukan hanya pada sepertiga kasus
inkontinensia urine

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1 Tes diagnostik pada inkontinensia urin

Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan


untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan
inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe
inkontinensia.

Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara :

Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui
kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa
urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.

Page | 7
Urinalisis Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk
mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia
urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes
diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum
jelas. Tes lanjutan tersebut adalah : Tes laboratorium tambahan seperti
kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.

Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran


kemih bagian bawah Tes tekanan urethra mengukur tekanan di dalam
urethra saat istirahat dan saat dianmis.Imaging tes terhadap saluran
perkemihan bagian atas dan bawah.

2 Pemeriksaan penunjang

Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan


alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada
pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan
ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan
penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan
ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih.
Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau
berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat
diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak
adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung
kemih.

3 Laboratorium

Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji


untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.

Menurut National Womens Health Report, diagnosis dan terapi


inkontinensia urine dapat ditegakkan oleh sejumlah pemberi pelayanan
kesehatan, termasuk dokter pada pelayanan primer, perawat, geriatris,
gerontologis, urologis, ginekologis, pedriatris, neurologis, fisioterapis,

Page | 8
perawat kontinensia, dan psikolog. Pemberi pelayanan primer dapat
mendiagnosis inkontinensia urine dengan pemeriksaan riwayat medis yang
lengkap dan menggunakan tabel penilaian gejala.

Tes yang biasanya dilakukan adalah urinealisa (tes urine untuk


menetukan apakah gejalanya disebabkan oleh inkontinensia urine, atau
masalah lain, seperti infeksi saluran kemih atau batu kandung kemih). Bila
urinealisa normal, seorang pemberi pelayanan primer dapat menentukan
untuk mengobati pasien atau merujuknya untuk pemeriksaan gejala lebih
lanjut.

Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik yang terfokus pada


saluran kemih bagian bawah, termasuk penilaian neurologis pada tungkai
dan perineum, juga diperlukan. Sebagai tambahan , pasien dapat diminta
untuk mengisi buku harian kandung kemih (catan tertulis intake cairan,
jumlah dan seringnya buang air kecil, dan sensasi urgensi) selama
beberapa hari untuk mendapatkan data mengenai gejala. Bila setelah
langkah tadi diagnosis definitif masih belum dapat ditegakkan, pasien
dapat dirujuk ke spesialis untuk penilaian urodinamis. Tes ini akan
memberikan data mengenai tekanan/ volume dan hubungan tekanan/ aliran
di dalam kandung kemih. Pengukuran tekanan detrusor selama sistometri
digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis overaktifitas detrusor.

2.5 Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah
mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol
inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan
pembedahan.

Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih

Page | 9
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah
urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena
tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang
diminum.

2. Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya


inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah :

Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu


berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih
6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila
belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu
tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap
sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.Membiasakan berkemih pada
waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.

Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal


kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau
pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif (berpikir).

Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot


dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan
otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :

- Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka,


kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri 10 kali, ke depan
ke belakang 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum
jam 10 kali.
- Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar
dilakukan 10 kali.

Page | 10
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra
dapat tertutup dengan baik.

3. Terapi farmakologi

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah


antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,
Imipramine.

Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu


pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.

Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol


atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi,
dan terapi diberikan secara singkat.

4. Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress


dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak
berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan
pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps
pelvic (pada wanita).

5. Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang


menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah
pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.

o Pampers

Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana


pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin.

Page | 11
Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah
seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers
sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu
dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.

o Kateter

Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin


karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi
pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara
yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan
kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat
mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko
menimbulkan infeksi pada saluran kemih.

o Alat bantu toilet

Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia
lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu
tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu
memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.

Page | 12
2.6 WOC
Penyebab Akut Penyebab Kronik Faktor Predisposisi
D --> Delirium - Kelemahan otot dasar - Pembedahan urogenital
R --> Restriksi mobilitas, panggul/ otot kandung - Menurunnya tahanan
retensi urin kemih yang sudah berat uretra dan muara
- Ggn Neurologis (stroke, kandung kemih
I --> Infeksi, inflamasi,
penyakit Parkinson, - Pembesaran kelenjar
Impaksi dimensia) prostat
P --> Poliuria, pharmasi

Penghambat pusat Melemahnya otot Aktivitas otot Obstuksi bagian Inkoordinasi


kontrikal dasar panggul detrusor luar kandung system saraf pusat
kemih dan system saraf
tepi di daerah
sakrum
Mempengaruhi Tekanan Kontraksi
pusat berkemih di intraabdomen kandung kemih Kandung kemih
sakrum (batuk,bersiar, tidak terkontrol openuh dan
tertawa) regang

INKONTINENSIA URINE

BIOLOGIS PSIKOLOGIS SOSIAL System urinaria Integument


(daerah perineal)

Frustasi / Hubungan Ggn kontraksi


Aktivitas
depresi sosial kandung kemih Kerusakan
seksual
integritas kulit

Ggn. Ggn. Ggn. Interaksi Penurunan


Seksualitas sosial pola eliminasi
- Cintra tubuh
- Interaksi social
- Kurang
pengetahuan

Page | 13
2.7 Pengkajian Keperawatan
1. Anamnesa

a. Identitas pasien

b. Keluhan utama

Keluhan utama yang sering terjadi pada kasus OAB adalah


sering mengompol, pola istirahat dan tidur terganggu karena sering
terbangun.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Mengapa pasien masuk rumah sakit sehingga dapat ditegakkan


prioritas masalah keperawatan yang muncul

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau


penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit urologi.

e. Riwayat Psikososial

Bagaimana pasien menghadapi penyakitnya saat ini apakah


pasien dapat menerima keadaannya, apakah ada tekanan psikologis
yang berhubungan dengan penyakitnya, kaji tingkah laku dan
kepribadian apakah ada perubahan karena kondisinya.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Evaluasi neurologis pada segmen bawah sakrum, termasuk


bulbocavernosus dan reflek spinter anus.

b. Pemeriksaan status mental.

c. Pemeriksaan abdomen untuk mengevaluasi massa atau kumpulan


cairan, yang dapat mempengaruhi tekanan intra abdomen dan fungsi
detrusor.

Page | 14
d. Pemeriksaan pelvis yang biasanya normal pada penderita overaktif
kandung kemih, untuk menilai adakah kontribusi dari gejala overaktif
kandung kemih dan juga pemeriksaan rectal harus dinilai.

e. Test penekanan akibat batuk, untuk menilai adakah inkontinensia akibat


stress.

f. Estimasi volume residu setelah pengosongan baik melalui kateter atau


ultrasound pelvis, residu < 50 cc normal, residu 100 cc 200 cc
dianggap pengosongan kandung kemih tidak sempurna.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Urinealisis dan kultur digunakan untuk menyingkirkan hematuria


(karena tumor atau batu pada traktus urenarius), glukosuria (yang
mungkin menyebabkan peningkatan frekuensi pengosongan), pyuria
dan bakteriuria.

b. Test lanjutan.

Pemeriksaan sistoskopi

Test Urodynamic dan cytometry

2.8 Diagnosa Keperawatan yang muncul


1. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan sering berkemih

2. Gangguan pola istirahat dan tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan

3. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan

4. Resiko infeksi b.d inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama.

5. Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan


oleh urine

6. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan


akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine

Page | 15
7. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik yang
berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tenttang penyebab
inkontinen, penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih,
tanda dan gejala komplikasi, serta sumbe komonitas.

2.9 Intervensi Keperawatan pada 3 Diagnosa Prioritas


Diagnosa 1 : Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan sering berkemih

Tujuan : Pola eliminasi normal.

Kriteria Hasil : Klien dapat berkemih volunter.

Intervensi :

1. Jelaskan pada klien tentang peruhan pola eliminasi

R/ Meningkatkan pengetahuan klien sehingga klien kooperatif dalam tindakan


keperawatan.

2. Hindari minum 2 jam sebelum tidur

R/ Meminimalkan rasa ingin berkemih

3. Anjurkan klien melakukan latihan kegel

R/ Untuk mengencangkan otot di sekitar vagina, sehingga klien lebih mampu


menahan keinginan buang air kecil.

Diagnosa 2 : Gangguan pola istirahat dan tidur berhubungan dengan


ketidaknyamanan

Tujuan : Kebutuhan istirahat dan tidur terpenuhi.

Kriteria hasil : klien mampu istirahat dan tidur dengan waktu yang cukup, klien
mengungkapkan sudah bisa tidur, klien mampu menjelaskan factor penghambat
tidur.

Intervensi :

Page | 16
1. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur/istirahat dan
kemungkinan cara untuk menghindarinya.

R/ Meningkatkan pengetahuan klien sehingga klien mau kooperatif terhadap


tindakan keperawatan.

2. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.

R/ Menentukan rencana untuk mengatasi gangguan.

3. Batasi masukan cairan waktu malam hari dan berkemih sebelum tidur.

R/ Mengurangi frekuensi berkemih pada malam hari

4. Batasi masukan minuman yang mengandung kafein

R/ Kafein dapat merangsang untuk sering berkemih

Diagnosa 3 : cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan

Tujuan : supaya pengetahuan klien tentang kondisinya bertambah.

Kriteria Hasil : klien dapat mengatakan secara akurat tentang diagnosis dan
pengobatan, mengikuti prosedur dengan baik dan menjelaskan tentang alas an
mengikuti prosedur tersebut, mempunyai inisiatif dalam perubahan gaya hidup
dan berpartisipasi dalam pengobatan, bekerjasama dengan pemberi informasi.

Intervensi :

1. Tentukan persepsi klien tentang kondisinya

R/ Memungkinkannya dilakukan pembenaran terhadap kesalahan persepsi dan


konsepsi serta kesalahan pengertian.

2. Beri informasi yang akurat dan actual. Jawab pertanyaan secara spesifik,
hindari informasi yang tidak diperlukan.

R/ Membantu klien dalam memahami proses penyakit

Page | 17
3. Berikan bimbingan kepada klien atau keluarga sebelum mengikuti prosedur
pengobatan, terap, dan komplikasi.

R/ Membantu klien dan keluarga dalam membuat keputusan pengobatan.

4. Anjurkan klien untuk memberikan unpan balik verbal dan mengkoreksi


miskonsepsi tentang penyakitnya

R/ Mengetahui sampai sejauh mana pemahaman klien dan keluarga mengenai


penyakit klien

Page | 18
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Sistem urinaria adalah suatu system tempat terjadinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan
oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-
zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan
berupa urine (air kemih).

Inkontinensia urine merupakan suatu jenis urge incontinence


(keluarnya urine secara tidak sadar, terjadi ketika tekanan kandung kemih
melebihi tekanan uretra selama fase pengisian) yang dihubungkan dengan
keinginan kuat untuk buang air kecil dan berhubungan dengan overaktif otot
detrusor.

Kegel exercises adalah suatu rangkaian latihan yang didisain untuk


memperkuat otot-otot dasar panggul. Banyak wanita dengan inkontinensia
urin dapat mengurangi keluarnya air seni saat batuk, tertawa, bersin atau
aktivitas lainnya melalui latihan pada otot-otot dasar panggul. Latihan ini
disebut Kegel exercises.

3.2 SARAN

Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dalam dunia


pendidikan, maka penulius dapat menyampaikan saran sebagai berikut :

- Diharapkan kepada mahasiswa khususnya kelas VI U agar lebih


meningkatkan pemahaman dalam pembuatan asuhan keperawatan
khususnya pada asuhan keperawatan sistem perkemihan
- Diharapkan kepada mahasiswa aktif dalam pembuatan asuhan
keperawatan guna meningkatkan kualitas pendidikan keperawatan.
- Diharapkan kepada mahasiswa Aktif dalam persentasi Asuhan
keperawatan untuk lebih menambah wawasan berfikir secara ilmiah.

Page | 19
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta :


Salemba Medika.

Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.

Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses


pemulihan inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal
pada tanggal 19 Mei 2014

Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep


dan proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Proses dan


praktik. Ed. 4. Jakarta: EGC

Rochani. (2002). Penduduk indonesia idap inkontinensia urin. Diakses dari


http://www.pdpersi.co.id pada tanggal 19 Mei 2014

Uliyah, Musfiratul. 2008. Ketrampilan Dasar praktik Klinik. Jakarta : Salemba


Medika

Page | 20

Anda mungkin juga menyukai