Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue (DBD) DBD adalah penyakit infeksi virus akut
yang disebabkan oleh virus Dengue, terutama menyerang anak-anak dengan ciri-ciri
demam mendadak dengan manifestasi perdarahan dan memungkinkan terjadinya
syok dan kematian. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes sp. DBD dapat
menyerang seluruh usia tetapi dalam dekade terakhir terjadi peningkatan jumlah
penderita DBD dari golongan usia dewasa.4

2.1.2 Epidemiologi
Dengue adalah penyakit virus mosquito borne yang persebarannya paling cepat.
Dalam lima puluh tahun terakhir, insidensi penyakit meningkat tiga puluh kali dan
menyebar secara geografis ke negara yang sebelumnya belum terjangkit. Menurut
data WHO 1955-2007, didapatkan lima puluh juta infeksi Dengue setiap tahunnya
dan terdapat 2,5 miliar orang yang hidup di negara endemis.5

Gambar 1. Negara dengan resiko transmisi virus DBD.

Sumber : WHO, 2011

Dari 2,5 miliar populasi masyarakat di negara endemis, sekitar 1,8 miliar tinggal di
daerah Asia Tenggara dan Pasifik barat. Di daerah Asia Tenggara, Dengue telah
menjadi masalah kesehatan publik di Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan
Timor Leste yang diketahui daerah beriklim tropis dan memiliki lokasi di zona
equatorial, tempat dimana Aedes Aegepty menyebar secara merata baik di daerah
perdesaan maupun perkotaan.5.6 Di Indonesia Dengue pertama kali ditemukan di kota
Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang
diantaranya meninggal dunia. Dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk, jumlah penyebaran dan daerah persebarannya pun meningkat, dan hingga
sekarang sudah menyebar luas ke seluruh daerah di Indonesia. Menurut data Depkes
RI, sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan penyebaran jumlah provinsi dan
kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota menjadi 32 dan 382
kabupaten/kota pada tahun 2009. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus
DBD, dari 58 kasus pada tahun 1968 menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.7

Dengue di Indonesia memiliki siklus epidemik setiap sembilan hingga sepuluh


tahunan. Hal ini terjadi karena perubahan iklim yang berpengaruh terhadap
kehidupan vektor, diluar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Perubahan iklim
menyebabkan perubahan curah hujan, kelembaban suhu, arah udara sehingga berefek
terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama
terhadap perkembangan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan lainnya.
Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam
kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor pertambahan jumlah
penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang sejalan dengan
membaiknya sarana transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin
mudah dan semakin luas. Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993-2009
terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar
kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, di tahun 1999-2009 kelompok umur
terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur 15 tahun. Dan bila dilihat
distribusi kasus dilihat berdasarkan jenis kelamin pada tehun 2008, presentase laki-
laki dan perempuan hampir sama.

Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang dan perempuan
berjumlah 8.991 orang. Hal ini menggambarkan bahwa risiko tinggi terkena DBD
untuk laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin. Berikut
ini persentase kasus DBD berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008.7
Gambar 2. Presentase Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI,20087

Berdasarkan angka insidensi (AI) suatu daerah dapat dikategorikan termasuk dalam
risiko tinggi, sedang dan rendah.Dikatakan risiko tinggi bila AI > 55 per 100.000
penduduk, risiko sedang bila AI 20-55 per 100.000 penduduk dan risiko rendah bila
AI < 20 per 100.000 penduduk. Angka Insidensi tertinggi dicapai di provinsi yang
umumnya berada di pulau Jawa dan Bali, namun angka kematian tertinggi umumnya
berasal dari provinsi yang berada di luar pulau Jawa dan Bali. Menurut data Dinas
Kesehatan, selama periode 2005-2009, provinsi dengan angka insiden tertinggi
adalah DKI Jakarta dan dari data tahun 2009, provinsi dengan angka kematian
tertinggi adalah Bangka Belitung.7

Gambar 3. Angka insiden DBD per 100.000 penduduk menurut provinsi di Indonesia.

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009

2.1.3 Etiologi
Virus Dengue, merupakan anggota dari genus flavivirus dalam family flaviviridae,
terdiri dari single stranded RNA virus, berdiameter 30 nm, yang bisa berkembang di
berbagai tipe nyamuk dan kultur jaringan.3 Diketahui terdapat 4 serotip berbeda,
yakni DENV1-4.2,3,12 Semua serotip tersebut memiliki antigen yang bereaksi silang
dengan virus lain yang bergenus sama, seperti yellow fever, Japanese Encephalitis
dan virus West Nile. Ditemukan bukti dari studi laboratorium, bahwa ada perbedaan
variasi genetik antara empat strain tersebut.Sampai sekarang, diketahui ada tiga
subtype dari DENV-1, enam dari DENV-2, empat dari DENV-3 dan empat dari
DENV-4. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa masing-masing subtype memiliki
distribusi geografi yang berbeda. DENV-2 memiliki dua subtype yang terbatas
penyebarannya di Asia Tenggara dan Amerika. Ditemukan juga bahwa virulensi dari
setiap subtype berbeda-beda, kapasitas untuk menyebabkan penyakit berat seperti
demam berdarah Dengue pun berbeda-beda. 8

2.1.4 Vektor Demam Berdarah


2.1.4.1 Karakteristik
Terdapat dua jenis nyamuk Aedes sp. yang menjadi vektor utama virus DBD yaitu
Ae. aegypti dan Ae. Albopictus. Kedua spesies ini berasal dari genus Aedes dan famili
Culicidae. Kedua nyamuk tersebut sangat mirip tetapi dapat dibedakan dari strip
putih yang terdapat pada bagian skutumnya. Skutum Ae. aegypti berwarna hitam
dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua garis
lengkung berwarna putih. Sementara skutum Ae. albopictus yang juga berwarna
hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya.9

2.1.4.2 Siklus Hidup Vektor


Nyamuk Aedes sp. Mengalamai metamorphosis sempurna, yaitu: telur, larva, pupa,
dan nyamuk. Stadium telur, larva, dan pupa hidup di dalam air. Pada umumnya telur
akan menjadi larva dalam waktu kurang lebih dua hari setelah telur terendam di air.
Stadium larva biasanya selama 6-8 hari dan stadium pupa selama 2-4 hari.
Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa memerlukan waktu 9-10 hari. 10

Telur

Telur Aedes sp. berbentuk pancung, panjangnya 0,6 mm dengan berat


0,013 mg, pada awalnya berwarna putih dan kemudian menjadi hitam.
Telur diletakkan 1-2 cm di permukaan air secara terpisah supaya mudah
menyebar dan berkembang dalam media air. Media air yang digunakan
adalah air bersih dan tidak mengalir serta terlindung dari cahaya matahari
langsung dan juga tidak berisi spesies lain sebelumnya. Telur akan menjadi
larva setelah sekitar 2 hari. Telur dapat bertahan sampai 6 bulan di tempat
kering. 8,11

Larva

Larva Aedes sp. terdiri atas kepala, toraks, dan abdomen. Segmen anal
dan sifon pada bagian ujung abdomen digunakan untuk mengambil
oksigen. Larva nyamuk hidup di air dan stadium hidupnya terdiri atas
empat instar yaitu : 9
1. Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2mm
2. Instar II : 2,5-3,8mm
3. Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II
4. Instar IV : berukuran paling besar 5mm
Pada kondisi optimal, waktu yang diperlukan dari telur menetas
hingga menjadi nyamuk dewasa adalah 7 hari, termasuk 2 hari masa pupa.
Hal itu tergantung dari keadaan lingkungan seperti suhu air, persediaan
makanan, dan kepadatan larva dalam sebuah kontainer. Pada suhu yang
rendah dan kurangnya persediaan makanan akan memperlambat
perkembangan larva sehingga diperlukan waktu beberapa minggu. Larva
hidup dengan mengambil makanan di dasar tempat penampungan air
(TPA) dan kembali ke permukaan air untuk mengambil oksigen dengan
menggunakan sifon. Setelah kempat instar dilalui kemudian berubah
menjadi pupa. 8,11

Pupa

Pupa terdiri atas sefalotoraks, abdomen, dan kaki pengayuh. Pupa


merupakan fase inaktif, hidup di lingkungan air, tidak membutuhkan
makanan tetapi membutuhkan oksigen untuk bernapas sehingga letak pupa
di dekat permukaan air. Corong pernapasan terletak di sefalotoraks yang
berbentuk segitiga. Fase pupa bergantung pada suhu air dan sepsies
nyamuk, lamanya sekitar satu hari sampai beberapa minggu. Setelah fase
pupa selesai, kulit pupa akan terlepas kemudian keluarlah imago ke
permukaan air yang dalam waktu singkat akan siap terbang. 8,11

Nyamuk Dewasa

Nyamuk dewasa terdiri atas kepala, toraks, dan abdomen. Bagian


dorsal toraks terdapat lyre, yaitu sepasang garis putih yang sejajar di
tengah dan garis lengkung putih yang lebih tebal di sisinya. Ketika
menetas, nyamuk yang pertama kali kelar adalah nyamuk jantan baru
kemudian nyamuk betina. Nyamuk dewasa melakukan kopulasi dan dapat
hidup sekitar 10 hari.
Telur diletakkan oleh nyamuk betina di dinding TPA bersih, telur akan
berubah menjadi larva dalam waktu dua hari, 6-8 hari kemudian akan
berubah menjadi pupa, dan akhirnya akan menjadi nyamuk dewasa dalam
waktu 1-2 hari. Perkembangan dari telur hingga menjadi nyamuk dewasa
memerlukan waktu kirakira 9 hari. Setelah kopulasi nyamuk betina
menghisap darah selama 3 hari untuk persiapan bertelur. Setelah kenyang
menghisap darah, nyamuk betina berisitrahat selama 2-3 hari lalu siap
bertelur dan dapat menghasilkan 100 butir sekali bertelur. Aedes sp.
Mempunyai kemampuan untuk menularkan virus kepada keturunannya
secara transovarial, sehingga nantinya keturunannya akan menjadi nyamuk
dewasa infektif yang dapat menularkan virus DBD pada manusia 8,11

.
Gambar 1. Siklus hidup Nyamuk Ae. Aegypti
2.1.5 Perilaku Nyamuk Dewasa
Ae. aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk
lain. Nyamuk tersebut mempunyai dasar hitam dengan bintik - bintik putih pada
bagian badan, kaki, dan sayapnya. Ae. aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau
sari bunga untuk keperluan hidupnya, sedangkan yang betina mengisap darah.
Nyamuk betina lebih menyukai darah manusia dibanding darah binatang.4 Setelah
kawin, nyamuk betina butuh darah untuk bertelur. Darah manusia dihisap setiap 2-3
hari sekali dan biasanya dilakukan pada pagi dan sore hari. Waktu yang paling
disenangi nyamuk adalah pagi hari pukul 8.00-12.00 dan sore hari pukul 15.00-17.00.
Untuk mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit lebih dari
satu orang (intermittent feeder) sehingga dapat menginfeksi lebih dari satu orang
pada satu lingkungan. Perilaku ini sangat meningkatkan efektifitas penularan pada
masa KLB atau wabah DBD. Jarak terbang nyamuk betina yaitu sekitar 100 meter
dan umurnya dapat mencapai satu bulan. Sedangkan nyamuk jantan umurnya lebih
pendek dibanding dengan nyamuk betina. Setelah kenyang menghisap darah, nyamuk
betina perlu istirahat selama 2-3 hari untuk mematangkan telur-telurnya.Tempat
beristirahat yang disukai oleh nyamuk, yaitu: 12,13

1. Tempat-tempat yang lembab dan kurang cahaya, seperti : kamar mandi, dapur,
dan WC.
2. Di dalam rumah, seperti : kelambu, baju yang digantung, dan tirai.
3. Di luar rumah, serperti : tanaman hias di halaman rumah. Setelah itu, nyamuk
Aedes sp. bertelur dan berkembang biak di tempat penampuangan air bersih, yaitu:
13

1. TPA untuk keperluan sehari-hari, seperti : bak mandi, WC, tempayan, drum air,
bak menara (tower air) yang tidak tertutup sumur gali.
2. Wadah berisi air bersih dan air hujan, seperti tempat minum burung, pot bunga,
ban bekas, kaleng-kaleng, botol, tempat pembuangan kulkas, dan lain-lain

2.1.6 Cara penularan


DBD Virus DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes sp. sebagai vektornya.
Nyamuk mendapat virus dengue pada waktu menggigit dan menghisap darah orang
yang sakit DBD atau tidak sakit tetapi di dalam darahnya terdapat virus dengue. Virus
ditularkan melalui air liurnya yang mengandung virus dengue saat menggigit dan
menghisap darah manusia, yang kemudian air liurnya masuk dan menyebarkan virus
di aliran darah manusia yang akan menjadi sakit setelah melalui masa inkubasi
selama 4-6 hari. Jika penderita digigit nyamuk penular, maka virus akan
memperbanyak diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk di
dalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita,
nyamuk siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Setelah
itu, nyamuk tersebut telah menjadi infektif, dan dapat menularkan virus DBD melalui
air liurnya setiap kali menghisap darah manusia. Virus akan tetap berada dalam tubuh
nyamuk sepanjang hidupnya. 4 Oleh karena itu, nyamuk yang telah menghisap virus
dengue akan menjadi penular DBD selama hidupnya. Penularan virus DBD juga
dipengaruhi oleh : 9

Pendidikan, mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan,


penyuluhan, pencegahan, dan pemberantasan demam berdarah

Kerentanan terhadap penyakit, semakin rentan maka semakin mudah


terjangkit demam berdarah

Perilaku, sifat malas membersihkan, kotor dan cuek terhadap


lingkungan memudahkan terjangkitnya demam berdarah

Kepadatan penduduk memudahkan terjadinya penularan DBD

Mobilitas penduduk sebagai sarana transportasi dari penularan


demam berdarah dari satu tempat ke tempat yang lain.

Kualitas perumahan, jarak satu rumah ke rumah lainnya, kebersihan,


pencahayaan, bahan bangunan akan mempengaruhi penularan demam
berdarah. Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat
nyamuk penular.

Beberapa tempat yang potensial terjadinya penularan yaitu:4


1. Wilayah yang banyak kasus DBD (endemis).
2. Tempat-tempat umum yang sering menjadi pertemuan orang dari
berbagai wilayah sehingga memungkinkan pertukaran virus, misalnya:
sekolah, rumah sakit, hotel, pertokoan, pasar, restoran, dan tempat ibadah.
3. Pemukiman baru di pinggir kota yang menjadi tempat pertemuan
penduduk dari berbagai wilayah yang mungkin ada pembawa virus dengue
dengan tipe yang berbeda-beda.
2.1.6.1 Habitat Aedes sp
Ae. aegypti memiliki habitat yang berbeda dengan Ae. albopictus. Ae. aegypti lebih
menyukai hidup di dalam rumah, sedangkan Ae. albopictus lebih menyukai hidup di
luar rumah. Ae. aegypti lebih menyukai tempat yang gelap dan lembab untuk
beristirahat. 9

2.1.7 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Vektor


Faktor lingkungan seperti curah hujan, suhu, dan evaporasi sangat berperngaruh
terhadap kehidupan vektor karena dapat mengganggu proses perubahan telur, larva,
atau pupa menjadi nyamuk dewasa. Keberadaan predator parasit dan kompetitor yang
ada di habitat yang sama dengan telur juga mempengaruhi keberhasilan menjadi
nyamuk dewasa. Selain itu, bentuk, ukuran, dan letak container akan mempengaruhi
kualitas kehidupan nyamuk. 9,15

Faktor lain yang berpengaruh adalah suhu dan curah hujan. Suhu berpengaruh
terhadap aktivitas makan serta laju pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa.
Curah hujan berhubungan dengan peningkatan jumlah nyamuk penyebab DBD. Pada
saat musim hujan, air tergenang diberbagai tempat sehingga nyamuk betina memiliki
tempat luas untuk meletaka telur-telurnya. Suhu yang lebih rendah juga menyebabkan
adanya naluri nyamuk betina untuk bertelur sehingga pada musim hujan, terjadi
peningkatan drastic Ae. Aegypti dan kasus DBD. 9

2.1.8. Gejala klinis


DBD didahului oleh demam tinggi mendadak terus-menerus berlangsung 2 - 7 hari,
kemudian turun secara cepat. Demam tinggi mendadak disertai gejala klinis yang
tidak spesifik seperti: anoreksia lemas, nyeri pada tulang, sendi, punggung, dan
kepala. Perdarahan terjadi pada semua organ umumnya timbul 2-3 hari setelah demam
karena terjadinya trombositopenia. Bentuk perdarahan dapat berupa petekie, purpura,
ekimosis, perdarahan konjungtiva, perdarahan dari hidung (mimisan atau epistaksis),
perdarahan gusi, muntah darah, buang air besar berdarah, atau kencing berdarah.
Pembesaran hati dapat diraba pada permulaan demam. Pembesaran hati mungkin
berkaitan dengan strain serotipe virus dengue.

Renjatan dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari 3-7 mulai sakit.
Renjatan terjadi karena perdarahan atau kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler
melalui kapilar yang rusak. Tanda-tanda perdarahan adalah:

Kulit teraba dingin pada ujung hidung, jari, dan kaki.

Nadi cepat, lemah, kecil sampai tidak teraba.


Tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang)

Tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmhg


atau kurang). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya lebih
buruk.

Gejala lainnya yang dapat menyertai adalah anoreksia, mual, muntah, lemah, sakit
perut, diare, konstipasi, dan kejang. 4

2.1.9 Klasifikasi Demam Berdarah Dengue

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2010), klasifikasi penyakit Demam Berdarah


Dengue yaitu :

a) Dengue tanpa tanda bahaya dan dengue dengan tanda bahaya (Dengue Without
Warning Signs).

Kriteria dengue tanpa tanda bahaya dan dengue dengan tanda bahaya :

1) Bertempat tinggal di atau bepergian ke daerah endemik dengue.

2) Demam disertai 2 dari hal berikut : mual, muntah, ruam, sakit dan nyeri, uji
tournikuet positif, lekopenia, adanya tanda bahaya.

3) Tanda bahaya adalah nyeri perut atau kelembutannya, muntah berkepanjangan,


terdapat akumulasi cairan, perdarahan mukosa, letergis, lemah, pembesaran hati
>2cm, kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat.
4) Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran plasma
tidak jelas)

b. Dengue Berat (Severe Dengue). Kriteria dengue berat : kebocoran plasma berat,
yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi cairan dengan distress pernafasan.
Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi gangguan organ berat, hepar (AST atau
ALT 1000, gangguan kesadaran, gangguan jantung dan organ lain). Untuk
mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji tourniquet.

2.1.9 Patofisiologis dan Patogenesis


Respons imun yang berperan dalam patogenesis DBD yaitu: 14
1. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisasi yang dimediasi komplemen, dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit dan makrofag. Teori ini disebut dengan hipotesis ini
disebut antibody dependent enhancement (ADE).

2. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksis (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2, dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi
IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.

3. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi


antibodi, namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
sekresi sitokin oleh makrofag.

4. Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan


C5a.

Pada tahun 1973 terdapat hipotesis secondary infection yang menyatakan bahwa
DBD terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda.
Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan
konsentrasi kompleks imun yang tinggi. Pada tahun 1994 terori tersebut
disempurnakan dan dijelaskan bahwa limfokin dan interferon gamma akan
mengaktifasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-,
IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6, dan histamin yang mengakibatkan
disfungsi sel endotel dan kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui
aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan kebocoran plasma. 14

Beratnya DBD disebabkan oleh tingginya permeabilitas dinding pembuluh darah,


menurunnya sitoplasma, trombositopenia, dan meningkatknya hematokrit.7,15
Meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah mengakibatkan kebocoran
plasma ke ekstravaskular dan meningkatnya hematokrit.14 Trombositopenia terjadi
karena agregasi trombosit sebagai tanggapan antibodi terhadap virus dengue. Nilai
trombosit akan turun drastis di bawah normal (100.000/ uL) pada masa demam dan
akan meningkat cepat pada masa penyembuhan.

2.1.10 Diagnosis DBD


Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar Hb, Ht, jumlah trombosit,
dan hapusan darah tepi untuk melihat limfositosis relatif disertai gambaran limfosit
plasma biru. Diagnosis penyakit DBD ditegakkan jika ditemukan: 4,14

1. Asimtomatik atau dapat berupa demam yang tidak khas. Pada umumnyam pasien
mengalami fase demam selama 2-7 hari yang diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada
fase kritis, pasien sudah tidak demam tetapi mempunyai risiko untuk terjadi syok jika
tidak mendapat pengobatan adekuat.

2. Manifestasi perdarahan, misalnya petekie, ekimosis, purpura, perdarahan mukosa,


hematemesis, atau melena.

3. Tombositopenia yaitu jumlah trombosit di bawah 100.000/mm3 , biasanya


ditemukan antara hari ke 3-7 sakit.

4. Tanda-tanda kebocoran plasma (minimal satu), yaitu:

a. Kenaikan Ht 20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin.

b. Penurunan hematokrit 20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan


nilai hematokrit sebelumnya.

c. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia.

Klasifikasi penyakit DBD berdasarkan WHO 1975: 4

a. Derajat I (ringan), demam mendadak 2 7 hari disertai gejala klinis lain, dengan
manifestasi perdarahan dengan uji torniquet positif

b. Derajat II (sedang), penderita dengan gejala sama, sedikit lebih berat karena
ditemukan perdarahan spontan kulit dan perdarahan lain.

c. Derajat III (berat), penderita dengan gejala syok/kegagalan sirkulasi yaitu nadi
cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (< 20 mmhg) atau hipotensi disertai kulit
dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.

d. Derajat IV (berat), penderita syok berat dengan tensi yang tidak dapat diukur dan
nadi yang tidak dapat diraba.

2.1.11 Pertolongan Pertama pada DBD


Berdasarkan pedoman Depkes RI, pertolongan terhadap penderita DBD yaitu
memberikan terapi cairan (kristaloid maupun koloid), terapi simtomatik untuk
menghilangkan gejala dan terapi komplikasi seperti perdarahan saluran cerna,
kegagalan sirkulasi, koagulasi intravaskular diseminata, dan gagal napas. 17
Pertolongan pertama bersifat suportif dengan mengatasi kehilangan cairan plasma
akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan akibat perdarahan. Pasien pun harus
istirahat total selama terjadinya masa demam. Hal yang dapat dilakukan keluarga
pasien atau orang disekitarnya sebagai pertolongan pertama terhadap DBD adalah:4

a. Memberikan banyak minum, seperti: air masak yang dibubuhi garam oralit, susu,
air kelapa/air teh, rebusan air beras merah.

b. Bila suhu > 38,5 derajat Celsius, beri parasetamol dan kompres hangat.

c. Demam tinggi, anoreksia, dan muntah dapat menyebabkan dehidrasi, sehingga


dibutuhkan pemberian cairan secara oral, dengan ketentuan:

- Pada 4-6 jam pertama diberikan air putih sebanyak 50 ml/kg BB.

- Setelah itu, beri minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan tiap 5 menit
secara rutin. Jenis minuman: air putih, teh manis, sirup, jus buah, susu, dan oralit

d. Bila kejang beri obat anti konvulsan.

e. Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.

Dasar terapi DBD adalah pemberian cairan ganti secara adekuat. Pada penderita,
penggantian plasma secara efektif dilakukan dengan memberikan cairan yang
mengandung elektrolit, ekspander plasma dan/atau plasma akan memberikan hasil
yang baik. Penatalaksanaan DBD bersifat suportif. Hemokonsentrasi mencerminkan
derajat kebocoran plasma yang muncul terlebih dahulu dibandingkan dengan
perubahan vital secara klinis (hipotensi, penurunan tekanan nadi), sedangkan
turunnya nilai trombosit biasanya mendahului kenaikan nilai hematokrit. Penderita
DBD harus diperiksa nilai hematokrit dan trombositnya setiap hari mulai hari ke-3
sakit sampai 1-2 hari setelah demam menjadi normal. Pemeriksaan ini akan
menentukan perlu atau tidaknya penderita dirawat dan/atau mendapat pemberian
cairan intravena. 18,19
Untuk dewasa, ada lima protokol panduan tatalaksana DBD, yaitu: 20

1. Penanganan suspect DBD dewasa tanpa syok 21

2. pemberian cairan suspect DBD dewasa di ruang rawat

3. penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%

4. penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa, dan

5. tatalaksana sindroma syok Dengue pada dewasa.

2.1.12. Pencegahan
2.1.12.1. Prinsip pencegahan
Pemberantasan DBD seperti juga penyakit menular lain, didasarkan
atas pemutusan rantai penularan. Dalam hal DBD, komponen penularan
terdiri dari virus,nyamuk Aedes dan manusia. Karena sampai saat ini
belum terdapat vaksin yang efektif untuk virus itu, maka pemberantasan
ditujukan pada manusia dan terutama pada vektornya.
Prinsip yang tepat dalam pencegahan DBD ialah sebagai berikut:
1) Memanfaatkan perubahan keadaaan nyamuk akibat pengaruh
alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat
kasus DBD/DSS sedikit.

2) Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan


vektor pada tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan
penderita viremia sembuh secara spontan.

3) Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran,


yaitu di sekolah dan rumah sakit termasuk pula daerah penyangga
disekitarnya.

4) Mengusahakan pemberantasan vektor di semua daerah berpotensi


penularan tinggi

Pelaporan kasus dalam tempo 24 jam ke Dinkes Dati II/Puskesmas tempat tinggal
pasien merupakan keharusan sesuai dengan Peraturan Mentri Kesehatan 560 tahun
1989. Tujuan pelaporan ini agar kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut
penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin. Dengan adanya
laporan kasus pada Puskesmas/Dinkes Dati II yang bersangkutan, dapat dengan
segera melakukan penyelidikan epidemiologi disekitar tempat tinggal kasus untuk
melihat kemungkinan risiko penularan.

Apabila dari hasil penyidikan epidemiologi diperoleh data adanya risiko penularan
DBD maka Puskesmas/Dinkes Dati II akan melakukan langkah-langkah
penanggulangan berupa fogging fokus dan abatisasi selektif. Tujuan abatisasi ialah
membunuh larva dengan butir-butir abate sand granula (SG) 1% pada tempat air
dengan dosis ppm (part per million), yaitu 10 gram per 100 liter air dan
menggalakkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti dalam PSN

2.1.12.2 Integrated Vector Management (IVM)


WHO menyatakan Intergrated Vector Management (IVM) merupakan program
pemberantasan dan pencegahan DBD yang direkomendasikan untuk digunakan di
setiap negara. IVM mempunyai lima elemen penting dalam prosesnya, yaitu:

Advokasi, kepedulian dalam masyarakat dan legislasi.


Kolaborasi antara sector kesehatan dengan sector yang lainnya.
Penanganan yang terintergrasi dalam mengontrol penyakit.
Pengambilan keputusan yang didasarkan penelitian.
Pembangunan yang mendukung (Capacity- building).
Metode pengontrolan vektor dalam IVM menggunakan tiga cara:
Manajemen berbasis lingkungan

Meliputi perencanaan, eksekusi dan pemantauan dari segala


perubahan atau intervensi pada lingkungan untuk meminimalisir
perkembangbiakan vektor dan penularan penyakit. Metode ini
meliputi : 21,22

o Modifikasi lingkungan : Perubahan lingkungan secara fisik,


guna mengurangi habitat dari vektor.

o Manipulasi lingkungan : Aktivitas rutin yang dilakukan untuk


meminimalisir perkembangan vektor.
o Perubahan kebiasaan dan perilaku manusia : Usaha untuk
mengindari kontak antara manusia vektor-virus.

Upaya praktis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

o Bersihkan tempat penyimpanan air sekurang-kurangnya


seminggu sekali.

o Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti


tempayan, drum dan lain-lain agar nyamuk tidak dapat masuk
dan berkembang biak di tempat itu.

o Kubur sampah yang dapat menampung air, agar tidak


menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk.

o Tutuplah lubang pada pagar dengan tanah atau adukan semen.

o Jangan mempunyai kebiasaan meletakkan pakaian di


gantungan yang terbuka.
o Untuk tempat air yang sulit dikuras taburkan bubuk abate
untuk membunuh jentik nyamuk.

Kontrol biologis 19

Prinsip dari Kontrol biologis adalah mengenalkan organisme


yang menjadi saingan, parasit, atau yang mampu mengurangi
jumlah dari spesies yang dituju. Organisme yang dapat bekerja
sebagai kontrol biologis antara lain adalah ikan (Cambusia
affinis dan Poecilia reticulate), bakteri (Bacillus thuringiensis
serotype H-14 dan Bacillus sphaericus) dan siklopoda.
Kontrol kimiawi
Bahan kimia telah dipakai untuk mengontrol Aedes aegepty sejak
awal abad ke-20. Metode pemakaian insektisida ada 2 macam,
yaitu larvasida dan space spray.
o Larvasida. 19
Metode ini baik digunakan pada lokasi yang sedang terserang
penyakit dan terindikasi berisiko tinggi terhadap penularan
penyakit demam berdarah Dengue. Metode ini sulit dan mahal
serta tidak memungkinkan untuk diberikan secara jangka
panjang.
Namun, menurut WHO guidelines on drinking water quality
terdapat tiga larvasida yang aman digunakan pada wadah air
minum, yaitu Temephos 1% sand granules, pytiproxyfen dan
Bacillus thuringiensis H-14 18

o Space Spray.19

Metode ini menggunakan prinsip penyebaran droplet


insektisida ke udara ruangan guna membunuh nyamuk
dewasa. Space spray telah menjadi metode utama dalam
mengontrol penyakit DBD di negara-negara Asia tenggara
selama 25 tahun terakhir. Namun metode tersebut terbukti
kurang efektif,. Terbukti dari peningkatan kasus DBD yang
tajam di negara-negara tersebut dalam periode yang sama.
Metode space spray (fogging) tidak boleh digunakan kecuali
dalam situasi endemis. Metode ini harus digunakan tepat waktu,
di tempat yang strategis dan dalam jangkauan yang luas, guna
memberikan efek yang diharapkan

Pada dasarnya ada dua bentuk dari space spray yang digunakan
untuk memberantas Aedes aegepty, yaitu thermal fogs dan cold
fogs.

REFERENSI
1. Widoyono. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008 P.70-78
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Waspada Demam Berdarah Dengue. 2015
[ dikutip 26 September 2016 jam 17:15 WIB]. Diunduh dari:
http://www.depkes.go.id/article/view/15011700003/demam-berdarah-biasanya-mulai-
meningkat-di-januari.html
3. Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang, 2015, Profil Kesehatan. Karawang:Depkes; 2015
4. Siregar FA. Epidemiologi dan pemberantasan demam berdarah dengue (DBD)di
Indonesia. 2009 [dikutip 29 September 2016]. Diunduh dari:
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-fazidah3.pdf
5. WHO Regional Office for South-East Asia. Comprehensive Guidelines for Prevention
and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. 2010. [dikutip 31 September
2016 jam 16.45]. Diunduh dari:
http://www.searo.who.int/entity/vector_borne_tropical_diseases/documents/SEAROTPS
60/en/
6. WHO. The Dengue Strategic Plan For The Asia Pasific Region 2008-2015. 2008.
[dikutip 31 September 2016 jam 17.15]. Diunduh dari:
http://www.searo.who.int/entity/vector_borne_tropical_diseases/documents/WP-DP8-
15/en/
7. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Volume 2. 2010. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
[dikutip 30 September 2016 jam 20:25 WIB]. Diunduh dari:
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-dbd.pdf
8. Suhendro, Nainggolan L, Chen K.Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. In: Sudoyo AW,
Setoyohadi B, Alwi I, et al, editors, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, edisi ke V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Dept. IPD FKUI; 2009. P.2773-79
9. Supartha IW. Pengendalian Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti (Linn)
dan Aedes Albopictus (Skuse)(Diptera: Culicidae). Denpasar: Universitas Udayana, 2008.
[dikutip 18 Oktober 2016 jam 20.45] Diunduh dari
http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/makalah-supartha-baru.pdf
10. Anonim. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di RW
IV Desa Ketitang Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. 2009.
11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk pelaksanaan pemberantasan sarang
nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) oleh juru pemantau jentik (jumantik).
Jakarta: Departemen Kesehatan Repiblik Indonesia; 2004
12. Anonim. Perilaku dan siklus hidup nyamuk Aedes aegepti sangat penting diketahui
dalam mengetahui kegiatan PSN termasuk pemantauan larva secara berkala. Buletin
Harian Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2004.
13. Tim Penanggulangn DBD Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Perilaku dan
siklus hidup nyamuk Aedes aegypti sangat penting diketahui dalam melakukan kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk termasuk pemantauan jentik berkala. 2009 [dikutip 2
September 2016]. Diunduh dari: http://www.depkes.go.id/downloads/Bulletin%20Harian
%2010032004.pdf
14. Suhendro, Nainggolan L, Chen K.Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. In: Sudoyo AW,
Setoyohadi B, Alwi I, et al, editors, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, edisi ke V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Dept. IPD FKUI; 2009. P.2773-79
15. Nazedul, H. Cara Mudah Mengalahkan Demam Berdarah, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas. 2007 P.20-5

16. Wirayoga, Mustazahid. Hubungan Kejadian Demam Berdarah Dengue Dengan Iklim Di
Kota Semarang Tahun 2006-2011. Skripsi. Universitas Negeri Semarang . 2011.P:1-2 .
[dikutip 21 Oktober 2016 jam 11.45] Diunduh dari
http://lib.unnes.ac.id/19377/1/6450407074.pdf

17. Sungkar S. Demam berdarah dengue. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter
Indonesia; 2002. p 1-30.
18. Subdin Kesehatan Masyarakat Kotamadya Jakarta Pusat. Pencegahan dan pemberantasan
demam berdarah dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI; 2005.
19. Dengue Study Group. Demam berdarah di Indonesia. Jakarta: FKUI; 2009
20. Widodo D. Sindrom Renjatan dengue pada orang dewasa. In: Penatalaksanaan
Kegawatdaruratan di Bidang Penyakit Dalam, Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. P.51-8.

21. WHO. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention And Control. 2009.
[dikutip 23 Oktober, 2016 jam 14.22]. Diunduh dari : https://books.google.co.id/books?
id=dlc0YSIyGYwC&printsec=frontcover&dq=WHO.
+Dengue+Guidelines+For+Diagnosis,+Treatment,+Prevention+And+Control.
+2009.&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwj1xfrfnf_QAhVDto8KHWRuCDAQ6AEIHDAA
#v=onepage&q=WHO.%20Dengue%20Guidelines%20For%20Diagnosis%2C
%20Treatment%2C%20Prevention%20And%20Control.%202009.&f=false

22. Anies. Seri Lingkungan dan Penyakit : Manajemen Berbasis Lingkungan. Jakarta: Elex
Media Komputindo. 2006. p. 52-69.

23. Maulana, Heri. Promosi Kesehatan. Cetakan 1.Edisi 1. Jakarta: EGC. 2009.P:190-193
[dikutip 21 Oktober2016 jam 11.21 ]. Diunduh dari :
https://books.google.co.id/books?
id=sDKnWExH6tQC&pg=PA192&dq=notoatmodjo+perilaku+kesehatan&hl=en&sa=X
&ved=0ahUKEwj2t-vwseLQAhXDLY8KHR-YD-
MQ6AEILzAB#v=onepage&q=notoatmodjo%20perilaku%20kesehatan&f=false

24. Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. 2007. p.
133-151.

25. Wawan., Dewi. Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Cetakan
II, Edisi 1. Yogyakarta: Nuha Medika. 2011.P:11-17

26. Sujarwenti, Wiratna. Metodologi Penelitian Lengkap, Praktis, dan Mudah Dipahami.
Cetakan 1. Edisi 1. Yogyakarta: Pustaka Baru Press. 2014.P.19-20

27. Hastono, Luknis, Statistik Kesehatan. Jakarta : RajaGrafindo. 2013 P.30-35


28. Reinhard,.Rattu. Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Dengan Tindakan
Pencegahan Demam Berdarah Dengue di Kelurahan Malalayang 2 Lingkungan III.
Jurnal Ilmiah, Volume 5, Nomor 1, 1 Februari 2016. Manado. 2016.P:2302-2493 [dikutip
12 November 2016 jam 21.02]. Diunduh dari
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/pharmacon/article/download/11382/10971
29. Wuryaningsih, T. Hubungan Antara Pengetahuan dan Persepsi dengan Perilaku
Masyarakat dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-
DBD) di Kota Kediri, (Tesis), Surakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas
Maret. 2008 [dikutip 13 November 2016 jam 22.35]. Diunduh dari :
https://eprints.uns.ac.id/10237/1/75631407200903581.pdf

Anda mungkin juga menyukai