TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Demam Berdarah Dengue
Demam Berdarah Dengue (DBD) DBD adalah penyakit infeksi virus akut
yang disebabkan oleh virus Dengue, terutama menyerang anak-anak dengan ciri-ciri
demam mendadak dengan manifestasi perdarahan dan memungkinkan terjadinya
syok dan kematian. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes sp. DBD dapat
menyerang seluruh usia tetapi dalam dekade terakhir terjadi peningkatan jumlah
penderita DBD dari golongan usia dewasa.4
2.1.2 Epidemiologi
Dengue adalah penyakit virus mosquito borne yang persebarannya paling cepat.
Dalam lima puluh tahun terakhir, insidensi penyakit meningkat tiga puluh kali dan
menyebar secara geografis ke negara yang sebelumnya belum terjangkit. Menurut
data WHO 1955-2007, didapatkan lima puluh juta infeksi Dengue setiap tahunnya
dan terdapat 2,5 miliar orang yang hidup di negara endemis.5
Dari 2,5 miliar populasi masyarakat di negara endemis, sekitar 1,8 miliar tinggal di
daerah Asia Tenggara dan Pasifik barat. Di daerah Asia Tenggara, Dengue telah
menjadi masalah kesehatan publik di Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan
Timor Leste yang diketahui daerah beriklim tropis dan memiliki lokasi di zona
equatorial, tempat dimana Aedes Aegepty menyebar secara merata baik di daerah
perdesaan maupun perkotaan.5.6 Di Indonesia Dengue pertama kali ditemukan di kota
Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang
diantaranya meninggal dunia. Dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk, jumlah penyebaran dan daerah persebarannya pun meningkat, dan hingga
sekarang sudah menyebar luas ke seluruh daerah di Indonesia. Menurut data Depkes
RI, sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan penyebaran jumlah provinsi dan
kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota menjadi 32 dan 382
kabupaten/kota pada tahun 2009. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus
DBD, dari 58 kasus pada tahun 1968 menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.7
Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang dan perempuan
berjumlah 8.991 orang. Hal ini menggambarkan bahwa risiko tinggi terkena DBD
untuk laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin. Berikut
ini persentase kasus DBD berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008.7
Gambar 2. Presentase Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan angka insidensi (AI) suatu daerah dapat dikategorikan termasuk dalam
risiko tinggi, sedang dan rendah.Dikatakan risiko tinggi bila AI > 55 per 100.000
penduduk, risiko sedang bila AI 20-55 per 100.000 penduduk dan risiko rendah bila
AI < 20 per 100.000 penduduk. Angka Insidensi tertinggi dicapai di provinsi yang
umumnya berada di pulau Jawa dan Bali, namun angka kematian tertinggi umumnya
berasal dari provinsi yang berada di luar pulau Jawa dan Bali. Menurut data Dinas
Kesehatan, selama periode 2005-2009, provinsi dengan angka insiden tertinggi
adalah DKI Jakarta dan dari data tahun 2009, provinsi dengan angka kematian
tertinggi adalah Bangka Belitung.7
Gambar 3. Angka insiden DBD per 100.000 penduduk menurut provinsi di Indonesia.
2.1.3 Etiologi
Virus Dengue, merupakan anggota dari genus flavivirus dalam family flaviviridae,
terdiri dari single stranded RNA virus, berdiameter 30 nm, yang bisa berkembang di
berbagai tipe nyamuk dan kultur jaringan.3 Diketahui terdapat 4 serotip berbeda,
yakni DENV1-4.2,3,12 Semua serotip tersebut memiliki antigen yang bereaksi silang
dengan virus lain yang bergenus sama, seperti yellow fever, Japanese Encephalitis
dan virus West Nile. Ditemukan bukti dari studi laboratorium, bahwa ada perbedaan
variasi genetik antara empat strain tersebut.Sampai sekarang, diketahui ada tiga
subtype dari DENV-1, enam dari DENV-2, empat dari DENV-3 dan empat dari
DENV-4. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa masing-masing subtype memiliki
distribusi geografi yang berbeda. DENV-2 memiliki dua subtype yang terbatas
penyebarannya di Asia Tenggara dan Amerika. Ditemukan juga bahwa virulensi dari
setiap subtype berbeda-beda, kapasitas untuk menyebabkan penyakit berat seperti
demam berdarah Dengue pun berbeda-beda. 8
Telur
Larva
Larva Aedes sp. terdiri atas kepala, toraks, dan abdomen. Segmen anal
dan sifon pada bagian ujung abdomen digunakan untuk mengambil
oksigen. Larva nyamuk hidup di air dan stadium hidupnya terdiri atas
empat instar yaitu : 9
1. Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2mm
2. Instar II : 2,5-3,8mm
3. Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II
4. Instar IV : berukuran paling besar 5mm
Pada kondisi optimal, waktu yang diperlukan dari telur menetas
hingga menjadi nyamuk dewasa adalah 7 hari, termasuk 2 hari masa pupa.
Hal itu tergantung dari keadaan lingkungan seperti suhu air, persediaan
makanan, dan kepadatan larva dalam sebuah kontainer. Pada suhu yang
rendah dan kurangnya persediaan makanan akan memperlambat
perkembangan larva sehingga diperlukan waktu beberapa minggu. Larva
hidup dengan mengambil makanan di dasar tempat penampungan air
(TPA) dan kembali ke permukaan air untuk mengambil oksigen dengan
menggunakan sifon. Setelah kempat instar dilalui kemudian berubah
menjadi pupa. 8,11
Pupa
Nyamuk Dewasa
.
Gambar 1. Siklus hidup Nyamuk Ae. Aegypti
2.1.5 Perilaku Nyamuk Dewasa
Ae. aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk
lain. Nyamuk tersebut mempunyai dasar hitam dengan bintik - bintik putih pada
bagian badan, kaki, dan sayapnya. Ae. aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau
sari bunga untuk keperluan hidupnya, sedangkan yang betina mengisap darah.
Nyamuk betina lebih menyukai darah manusia dibanding darah binatang.4 Setelah
kawin, nyamuk betina butuh darah untuk bertelur. Darah manusia dihisap setiap 2-3
hari sekali dan biasanya dilakukan pada pagi dan sore hari. Waktu yang paling
disenangi nyamuk adalah pagi hari pukul 8.00-12.00 dan sore hari pukul 15.00-17.00.
Untuk mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit lebih dari
satu orang (intermittent feeder) sehingga dapat menginfeksi lebih dari satu orang
pada satu lingkungan. Perilaku ini sangat meningkatkan efektifitas penularan pada
masa KLB atau wabah DBD. Jarak terbang nyamuk betina yaitu sekitar 100 meter
dan umurnya dapat mencapai satu bulan. Sedangkan nyamuk jantan umurnya lebih
pendek dibanding dengan nyamuk betina. Setelah kenyang menghisap darah, nyamuk
betina perlu istirahat selama 2-3 hari untuk mematangkan telur-telurnya.Tempat
beristirahat yang disukai oleh nyamuk, yaitu: 12,13
1. Tempat-tempat yang lembab dan kurang cahaya, seperti : kamar mandi, dapur,
dan WC.
2. Di dalam rumah, seperti : kelambu, baju yang digantung, dan tirai.
3. Di luar rumah, serperti : tanaman hias di halaman rumah. Setelah itu, nyamuk
Aedes sp. bertelur dan berkembang biak di tempat penampuangan air bersih, yaitu:
13
1. TPA untuk keperluan sehari-hari, seperti : bak mandi, WC, tempayan, drum air,
bak menara (tower air) yang tidak tertutup sumur gali.
2. Wadah berisi air bersih dan air hujan, seperti tempat minum burung, pot bunga,
ban bekas, kaleng-kaleng, botol, tempat pembuangan kulkas, dan lain-lain
Faktor lain yang berpengaruh adalah suhu dan curah hujan. Suhu berpengaruh
terhadap aktivitas makan serta laju pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa.
Curah hujan berhubungan dengan peningkatan jumlah nyamuk penyebab DBD. Pada
saat musim hujan, air tergenang diberbagai tempat sehingga nyamuk betina memiliki
tempat luas untuk meletaka telur-telurnya. Suhu yang lebih rendah juga menyebabkan
adanya naluri nyamuk betina untuk bertelur sehingga pada musim hujan, terjadi
peningkatan drastic Ae. Aegypti dan kasus DBD. 9
Renjatan dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari 3-7 mulai sakit.
Renjatan terjadi karena perdarahan atau kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler
melalui kapilar yang rusak. Tanda-tanda perdarahan adalah:
Gejala lainnya yang dapat menyertai adalah anoreksia, mual, muntah, lemah, sakit
perut, diare, konstipasi, dan kejang. 4
a) Dengue tanpa tanda bahaya dan dengue dengan tanda bahaya (Dengue Without
Warning Signs).
Kriteria dengue tanpa tanda bahaya dan dengue dengan tanda bahaya :
2) Demam disertai 2 dari hal berikut : mual, muntah, ruam, sakit dan nyeri, uji
tournikuet positif, lekopenia, adanya tanda bahaya.
b. Dengue Berat (Severe Dengue). Kriteria dengue berat : kebocoran plasma berat,
yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi cairan dengan distress pernafasan.
Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi gangguan organ berat, hepar (AST atau
ALT 1000, gangguan kesadaran, gangguan jantung dan organ lain). Untuk
mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji tourniquet.
2. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksis (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2, dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi
IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
Pada tahun 1973 terdapat hipotesis secondary infection yang menyatakan bahwa
DBD terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang berbeda.
Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan
konsentrasi kompleks imun yang tinggi. Pada tahun 1994 terori tersebut
disempurnakan dan dijelaskan bahwa limfokin dan interferon gamma akan
mengaktifasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-,
IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6, dan histamin yang mengakibatkan
disfungsi sel endotel dan kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui
aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan kebocoran plasma. 14
1. Asimtomatik atau dapat berupa demam yang tidak khas. Pada umumnyam pasien
mengalami fase demam selama 2-7 hari yang diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada
fase kritis, pasien sudah tidak demam tetapi mempunyai risiko untuk terjadi syok jika
tidak mendapat pengobatan adekuat.
a. Derajat I (ringan), demam mendadak 2 7 hari disertai gejala klinis lain, dengan
manifestasi perdarahan dengan uji torniquet positif
b. Derajat II (sedang), penderita dengan gejala sama, sedikit lebih berat karena
ditemukan perdarahan spontan kulit dan perdarahan lain.
c. Derajat III (berat), penderita dengan gejala syok/kegagalan sirkulasi yaitu nadi
cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (< 20 mmhg) atau hipotensi disertai kulit
dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah.
d. Derajat IV (berat), penderita syok berat dengan tensi yang tidak dapat diukur dan
nadi yang tidak dapat diraba.
a. Memberikan banyak minum, seperti: air masak yang dibubuhi garam oralit, susu,
air kelapa/air teh, rebusan air beras merah.
b. Bila suhu > 38,5 derajat Celsius, beri parasetamol dan kompres hangat.
- Pada 4-6 jam pertama diberikan air putih sebanyak 50 ml/kg BB.
- Setelah itu, beri minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan tiap 5 menit
secara rutin. Jenis minuman: air putih, teh manis, sirup, jus buah, susu, dan oralit
Dasar terapi DBD adalah pemberian cairan ganti secara adekuat. Pada penderita,
penggantian plasma secara efektif dilakukan dengan memberikan cairan yang
mengandung elektrolit, ekspander plasma dan/atau plasma akan memberikan hasil
yang baik. Penatalaksanaan DBD bersifat suportif. Hemokonsentrasi mencerminkan
derajat kebocoran plasma yang muncul terlebih dahulu dibandingkan dengan
perubahan vital secara klinis (hipotensi, penurunan tekanan nadi), sedangkan
turunnya nilai trombosit biasanya mendahului kenaikan nilai hematokrit. Penderita
DBD harus diperiksa nilai hematokrit dan trombositnya setiap hari mulai hari ke-3
sakit sampai 1-2 hari setelah demam menjadi normal. Pemeriksaan ini akan
menentukan perlu atau tidaknya penderita dirawat dan/atau mendapat pemberian
cairan intravena. 18,19
Untuk dewasa, ada lima protokol panduan tatalaksana DBD, yaitu: 20
2.1.12. Pencegahan
2.1.12.1. Prinsip pencegahan
Pemberantasan DBD seperti juga penyakit menular lain, didasarkan
atas pemutusan rantai penularan. Dalam hal DBD, komponen penularan
terdiri dari virus,nyamuk Aedes dan manusia. Karena sampai saat ini
belum terdapat vaksin yang efektif untuk virus itu, maka pemberantasan
ditujukan pada manusia dan terutama pada vektornya.
Prinsip yang tepat dalam pencegahan DBD ialah sebagai berikut:
1) Memanfaatkan perubahan keadaaan nyamuk akibat pengaruh
alamiah dengan melaksanakan pemberantasan vektor pada saat
kasus DBD/DSS sedikit.
Pelaporan kasus dalam tempo 24 jam ke Dinkes Dati II/Puskesmas tempat tinggal
pasien merupakan keharusan sesuai dengan Peraturan Mentri Kesehatan 560 tahun
1989. Tujuan pelaporan ini agar kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut
penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin. Dengan adanya
laporan kasus pada Puskesmas/Dinkes Dati II yang bersangkutan, dapat dengan
segera melakukan penyelidikan epidemiologi disekitar tempat tinggal kasus untuk
melihat kemungkinan risiko penularan.
Apabila dari hasil penyidikan epidemiologi diperoleh data adanya risiko penularan
DBD maka Puskesmas/Dinkes Dati II akan melakukan langkah-langkah
penanggulangan berupa fogging fokus dan abatisasi selektif. Tujuan abatisasi ialah
membunuh larva dengan butir-butir abate sand granula (SG) 1% pada tempat air
dengan dosis ppm (part per million), yaitu 10 gram per 100 liter air dan
menggalakkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti dalam PSN
Kontrol biologis 19
o Space Spray.19
Pada dasarnya ada dua bentuk dari space spray yang digunakan
untuk memberantas Aedes aegepty, yaitu thermal fogs dan cold
fogs.
REFERENSI
1. Widoyono. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008 P.70-78
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Waspada Demam Berdarah Dengue. 2015
[ dikutip 26 September 2016 jam 17:15 WIB]. Diunduh dari:
http://www.depkes.go.id/article/view/15011700003/demam-berdarah-biasanya-mulai-
meningkat-di-januari.html
3. Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang, 2015, Profil Kesehatan. Karawang:Depkes; 2015
4. Siregar FA. Epidemiologi dan pemberantasan demam berdarah dengue (DBD)di
Indonesia. 2009 [dikutip 29 September 2016]. Diunduh dari:
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-fazidah3.pdf
5. WHO Regional Office for South-East Asia. Comprehensive Guidelines for Prevention
and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. 2010. [dikutip 31 September
2016 jam 16.45]. Diunduh dari:
http://www.searo.who.int/entity/vector_borne_tropical_diseases/documents/SEAROTPS
60/en/
6. WHO. The Dengue Strategic Plan For The Asia Pasific Region 2008-2015. 2008.
[dikutip 31 September 2016 jam 17.15]. Diunduh dari:
http://www.searo.who.int/entity/vector_borne_tropical_diseases/documents/WP-DP8-
15/en/
7. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Volume 2. 2010. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
[dikutip 30 September 2016 jam 20:25 WIB]. Diunduh dari:
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-dbd.pdf
8. Suhendro, Nainggolan L, Chen K.Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. In: Sudoyo AW,
Setoyohadi B, Alwi I, et al, editors, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, edisi ke V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Dept. IPD FKUI; 2009. P.2773-79
9. Supartha IW. Pengendalian Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti (Linn)
dan Aedes Albopictus (Skuse)(Diptera: Culicidae). Denpasar: Universitas Udayana, 2008.
[dikutip 18 Oktober 2016 jam 20.45] Diunduh dari
http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/makalah-supartha-baru.pdf
10. Anonim. Faktor-faktor yang berhubungan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti di RW
IV Desa Ketitang Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. 2009.
11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk pelaksanaan pemberantasan sarang
nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) oleh juru pemantau jentik (jumantik).
Jakarta: Departemen Kesehatan Repiblik Indonesia; 2004
12. Anonim. Perilaku dan siklus hidup nyamuk Aedes aegepti sangat penting diketahui
dalam mengetahui kegiatan PSN termasuk pemantauan larva secara berkala. Buletin
Harian Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2004.
13. Tim Penanggulangn DBD Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Perilaku dan
siklus hidup nyamuk Aedes aegypti sangat penting diketahui dalam melakukan kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk termasuk pemantauan jentik berkala. 2009 [dikutip 2
September 2016]. Diunduh dari: http://www.depkes.go.id/downloads/Bulletin%20Harian
%2010032004.pdf
14. Suhendro, Nainggolan L, Chen K.Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. In: Sudoyo AW,
Setoyohadi B, Alwi I, et al, editors, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, edisi ke V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Dept. IPD FKUI; 2009. P.2773-79
15. Nazedul, H. Cara Mudah Mengalahkan Demam Berdarah, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas. 2007 P.20-5
16. Wirayoga, Mustazahid. Hubungan Kejadian Demam Berdarah Dengue Dengan Iklim Di
Kota Semarang Tahun 2006-2011. Skripsi. Universitas Negeri Semarang . 2011.P:1-2 .
[dikutip 21 Oktober 2016 jam 11.45] Diunduh dari
http://lib.unnes.ac.id/19377/1/6450407074.pdf
17. Sungkar S. Demam berdarah dengue. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter
Indonesia; 2002. p 1-30.
18. Subdin Kesehatan Masyarakat Kotamadya Jakarta Pusat. Pencegahan dan pemberantasan
demam berdarah dengue di Indonesia. Jakarta: Depkes RI; 2005.
19. Dengue Study Group. Demam berdarah di Indonesia. Jakarta: FKUI; 2009
20. Widodo D. Sindrom Renjatan dengue pada orang dewasa. In: Penatalaksanaan
Kegawatdaruratan di Bidang Penyakit Dalam, Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. P.51-8.
21. WHO. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention And Control. 2009.
[dikutip 23 Oktober, 2016 jam 14.22]. Diunduh dari : https://books.google.co.id/books?
id=dlc0YSIyGYwC&printsec=frontcover&dq=WHO.
+Dengue+Guidelines+For+Diagnosis,+Treatment,+Prevention+And+Control.
+2009.&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwj1xfrfnf_QAhVDto8KHWRuCDAQ6AEIHDAA
#v=onepage&q=WHO.%20Dengue%20Guidelines%20For%20Diagnosis%2C
%20Treatment%2C%20Prevention%20And%20Control.%202009.&f=false
22. Anies. Seri Lingkungan dan Penyakit : Manajemen Berbasis Lingkungan. Jakarta: Elex
Media Komputindo. 2006. p. 52-69.
23. Maulana, Heri. Promosi Kesehatan. Cetakan 1.Edisi 1. Jakarta: EGC. 2009.P:190-193
[dikutip 21 Oktober2016 jam 11.21 ]. Diunduh dari :
https://books.google.co.id/books?
id=sDKnWExH6tQC&pg=PA192&dq=notoatmodjo+perilaku+kesehatan&hl=en&sa=X
&ved=0ahUKEwj2t-vwseLQAhXDLY8KHR-YD-
MQ6AEILzAB#v=onepage&q=notoatmodjo%20perilaku%20kesehatan&f=false
24. Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. 2007. p.
133-151.
25. Wawan., Dewi. Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Cetakan
II, Edisi 1. Yogyakarta: Nuha Medika. 2011.P:11-17
26. Sujarwenti, Wiratna. Metodologi Penelitian Lengkap, Praktis, dan Mudah Dipahami.
Cetakan 1. Edisi 1. Yogyakarta: Pustaka Baru Press. 2014.P.19-20