Disusun Oleh :
Kitra Kiara Sartika (1304015266)
Kelas : 7-D
Sejak tahun 1945 ilmu kimia, fisika dan kedokteran berkembang pesat dan hal ini
menguntungkan sekali bagi penelitian sistematis obat baru. Beribu-ribu zat sintetis telah
ditentukan rata-rata 500 zat setahunnya, yang mengakibatkan perkembangan revolusioner
dibidang farmakoterapi. Kebanyakan obat kuno ditinggalkan dan diganti dengan obat-
obat mutakhir. Akan tetapi, begitu banyak diantaranya tidak lama masa hidupnya, karena
segera terdesak oleh obat yang lebih baru dan lebih baik khasiatnya. Namun menurut
taksiran lebih kurang 80% dari semua obat yang kini digunakan secara klinis merupakan
penemuan dari 3 dasawarsa terakhir.
Dalam arti luas, obat adalah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses
hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk
seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya agar dapat menggunakan obat untuk maksud
pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa
penggunaan obat dapat mengobati berbagai gejala penyakit.
Dahulu farmakologi mencakup pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat kimia
dan fisik, komposisi, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja, absorbsi, distribusi,
biotransformasi, eksresi dan penggunaan obat. Namun dengan bertambahnya
pengetahuan, beberapa ilmu pengetahuan tersebut telah berkembang menjadi cabang ilmu
tersendiri.
Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan
obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi,
resorpsi, dan nasibnya dalam organisme hidup. Dan untuk menyelidiki semua interaksi
antara obat dan tubuh manusia khususnya, serta penggunaan pada pengobatan penyakit,
disebut farmakologi klinis. Ilmu khasiat obat ini mencakup beberapa bagian, yaitu
farmakognosi, biofarmasi, farmakokinetika dan farmakodinamika, toksikologi, dan
farmakoterapi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Untuk berinteraksi dengan reseptor, molekul obat harus mencapai sisi reseptor
dan sesuai dengan permukaan reseptor. Faktor sterik yang ditentukan oleh stereokimia
molekul obat dan permukaan sisi reseptor, memegang peran penting dalam menentukan
efisiensi interaksi obat-reseptor. Oleh karena itu agar berinteraksi dengan reseptor dan
menimbulkan respons biologis, molekul obat harus mempunyai struktur dengan drajat
kespesifikan tinggi.
Pada interaksi obat-reseptor ada dua nilai yang sangat penting yaitu distribusi
muatan elektronik dalam obat dan reseptor, serta bentuk konformasi obat dan reseptor.
Oleh karena itu aktivitas obat tergantung pada tiga faktor struktur yang penting, yaitu :
1. Stereokimia molekul obat.
2. Jarak antar atom atau gugus.
3. Distribusi elektronik dan konfigurasi molekul.
Perbedaan aktivitas farmakologis dari beberapa stereoisomer disebabkan oleh tiga
faktor yaitu :
1. Perbedaan dalam distribusi isomer dala tubuh.
2. Perbedaan dalam sifat-sifat iteraksi obat-reseptor.
3. Perbedaan dalam adsorpsi isomer-isomer pada permukaan resptor yang
sesuai.
Dua hal penting yang perlu diketahui adalah modifikasi isosterisme dan pengaruh
isomer terhadap aktivitas biologis obat.
A. MODIFIKASI ISOSTERISME
Untuk memperoleh obat dengan aktivitas yang lebih tinggi, dengan efek samping
atau toksisitas yang lebih rendah dan bekerja lebih selektif, perlu dilakukan modifikasi
struktur molekul obat. Istilah isosterisme telah digunakan secara luas untuk
menggambarkan seleksi dari bagian struktur yang karena karekterisasi steri, elektronik
dan sifat kelarutannya, memungkinkan untuk saling di pergantikan pada modifikasi
struktur molekul obat.
Arti isosteris secara umum adalah kelompok atom-atom dalam molekul, yang
mempuyai sifat kimia atau fisika mirip, karena mempunyai persamaan ukuran,
keelektronegatifan atau stereokimia.
Languir ( 1919 ), mencoba mencari hubungan yang dapat menjelaskan adanya
persamaan sifat fisik dari mulekul yang bukan isomer, dan memberikan batasan bahwa
isoteris adalah senyawa senyawa, kelompok atom atom, radikal atau mulekul yang
mempunyai jumlah dan pengaturan elektron sama, bersifat isoelektrik dan mempunyai
kemiripan sifat sifat fisik, contoh : moleku l N dan CO, masing masing mempunyai
total elektron = 14, sama sama tidak bermuatan dan menunjukan sifat fisik yang relatif
sama, seperti kekentalan, kerapatan, indexrefraksi, tetapan di elektrik dn kelarutan. Hal
ini berlaku pula molekul molekul NO dan CO, N dan NCO, serta CH N dan CH =
CO.
Gremm (1925), memperkenalkan hukum pergantian hidrida yang menyatakn
bahwa penambahan atom H, suatu elektron sunyi, pada atom atom mulekul yang
kekurangan elektron pada orbital terluarnya (peseudo atom), dpat menghasilkan pasangan
isosterik contoh konsep gremm tentang pergantian hidrida dapat di lihat pad tbel 1.
Contoh : gugus-CH = dan atom N=, masing masing mempunyai total lektron = 7 dan
bersifat sebagai peseudo atom. Penambahan atom H akan menghasulkan pasangan
isosterik- CH- dan NH-.
Erlenmeyer (1948), memperluas definisi isosteris yaitu atom, ion atau molekul yang
jumlah, bentuk, ukuran dan polaritas elektron pada lapisan terluar sama (Tabel 2).
elektron
-CH- -NH OH FH
-CH NH OH
CH NH
Elektron terluar 4 5 6 7 8
P As Se Br BrH
S Sb Te I IH
As - PH SH SH
Sb - - PH PH
Arti isosteris secara umum adalah kelompok atom-atom dalam molekul, yang mempuyai
sifat kimia atau fisika mirip, karena mempunyai persamaan ukuran, keelektronegatifan
atau stereokimia.
Contoh pasangan isosterik yang mempunyai sifat sterik dan konfigurasi elektronik sama
adalah :
a. Ion karboksilat (-COO-) dan ion sulfonamida (-SO2NR-)
b. Gugus keton (-CO-) dan gugus sulfon (-SO2-)
c. Gugus klorida (-Cl) dan gugus trifluorometil (-CF3)
Gugus-gugus divalen eter (-O-), sulfida (-S-), amin (-NH-) dan metilen (-CH2-) meskipun
berbeda sifat elektroniknya tetapi hampir sama sifat steriknya sehingga sering pula
dipergantikan pada suatu modifikasi struktur.
Secara umum prinsip isosterisme ini digunakan untuk:
a. Mengubah struktur senyawa sehingga didapatkan senyawa dengan aktivitas biologis
yang dikehendaki.
b. Mengembangkan analog dengan efek biologis yang lebih selektif
c. Mengubah struktur senyawa sehingga bersifat antagonis terhadap normal metabolit
(antimetabolit)
berkembang menjadi salah satu konsep dasar sebagai hipotesis untuk perkembangan
struktur molekul yang spesifik aktif dengan gugus lain dan pergantian tersebut akan
Sebagian besar obat yang termasuk golongan farmakologis sama, pada umumnya
mempunyai gambaran struktur tertentu. Gambaran struktur ini disebabkan oleh orientasi
gugus-gugus fungsional dalam ruang dan pola yang sama. Dari gambaran sterik dikenal
beberapa macam struktur isomeri, antara lain adalah isomer geometrik, isomer
konformasi, diastereoisomer dan isomer optik. Bentuk-bentuk isomer tersebut dapat
mempengaruhi aktivitas biologis obat.
1. Isomer Geometrik dan Aktivitas Biologis
Isomer geometrik atau isomer cis-trans adalah isomer yang disebabkan
adanya atom-atom atau gugus-gugus yang terkait secara langsung pada suatu
ikatan rangkap atau dalam suatu sistem alisklik. Ikatan rangkap dan sistem
alisklik tersebut membatasi gerakan atom dalam mencapai kedudukan yang stabil
sehingga terbentuk isomer cis-trans.
2. Isomer Konformasi dan Aktivitas Biologis
Isomer konformasi adalah isomer yang terjadi karena ada perbedaan
pengaturan ruang dari atom-atom atau gugus-gugus dalam struktur molekul obat.
Isomer konformasi lebih stabil pada struktur senyawa non aromatik. Contoh
sikloheksan dapat membentuk 3 konfomer yaitu bentuk kursi, perahu, dan
melipat. Sikloheksan cenderung dalam bentuk konfirmasi kursi dibanding bentuk
konfirmasi perahu atau melipat. Substituen atau gugus pada cincin sikloheksan
cenderung ditahan pada kedudukan equatorial oleh karena bentuk aksial lebih
muda terpengaruh oleh efek sterik.
Pada bentuk 1,3 diaksial, subtituennya cenderung tolak-menolak satu sama
lain sehingga mengubah kelenturan cincin dan menmpatkan substituen pada
kedudukan ekuatorial yang kurang terpengaruh oleh efek sterik. Pada cincin non
aromatik, atom atau gugus yang terikat dapat pada kedudukan ekuatorial atau
aksial atau kedua-duanya dan dapat menunjukkan aktivitas biologis yang sama
atau berbeda. Contoh ,
Trimeperidin adalah senyawa narkotik analgesik poten pada struktur
molekulnya bentuk konfirmasi ekuatorial atau aksial ditunjang dan berorientasi
pada gugus fenil dan gugus alisiklik. Gugus fenil cendrung dipertahankan dalam
bidang cincin pada kedudukan ekuatorial. Untuk mengubah kedudukan aksial
dibutuhkan energi lebih kurang7 kilo kalori/mol. Isomer aksial dan ekuatorial dari
trimeperidin mempunyai analgesik sama. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
bentuk isomer konfirmasi terhadap aktivitas analgesik trimeperidin sangat kecil.
Planaritas pada bagian tertentu molekul obat sangat penting untuk dapat
menimbulkan aktivitas biologis pada umumnya. Pada umumnya akan menunjang
rigiditas molekul obat dan ini terjadi pada cincin aromatik atau suatu sistem
kerkonjugasi yang lain . atom atau gugus yang terikat secara langsung pada cincin
atau sistem tersebut akan berada pada ruang yang sama.
Kadang-kadang aktivitas biologis senyaswa tidak berhubungan dengan gugus
fungsi tetapi hanya bergantung pada aromatik atau karakteristik planar dari
molekul.
Contoh :
1. Amfetamin yang mempunyai cincin aromatik lebih aktif dibanding
analog jenuhnya. Aktivitasnya ditunjang oleh planaritas cincin yang menigkatkan
kemampuan senayawa untuk mengikat reseptor yang juga mempunyai permukaan
planar melalui ikatan vander waals yang relatif kuat. Pada interaksi obat yang
tidak planar dengan reseptor planarikatan van der waals relatif rendah.
2. Aktivitas pemblok adrenergik dari - haloalkilamin tergantung pada
koplanaritas substituen pada cincin benzen.
Kadang-kadang suatu molekul senyawa tertentu memberikan lebih dari satu efek
biologis karena mempunyai bentuk konfirmaasi yang unik dan lentur sehingga
dapat berinteraksi dengan reseptor-reseptor yang berbeda.
Contoh
1. Asetil kolin
Asetilkolin memiliki dua bentuk konfirmasi yaitu
a. bentuk konfirmasi tertutup
Pada bentuk ini atom H dari N-metil letaknya berdekatan demgam atom O
dari gugus asetoksi sehingga terjadi ikatan hidrogen intermolekul membentuk
struktur tertutup. Bentuk konfirmasi ini dapoat berinteraksi dengan reseptor
nikotinik dari ganglia dan penghubung saraf otot.
b. bentuk konfirmasi memanjang penuh
Pada bentuk ini atom H dari N-metil letaaknya berjauhan dengan atom O
sehingga membentuk struktur memanjang. Bentuk konfirmasi ini dapat
berinteraksi dengan reseptor muskarinik dari saraf post ganglionik parasimpatik
dan mudah dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase,
2. 2-Asetoksisiklopropiltrimetilamonium iodida
Pada bentuk (+) trans, atom H dari N-metil letaknya berjauhan dan
terpisah dari atom O gugus asektosi sehingga mempunyai bentuk konfirmasi
memanjang seperti asetilkolin. Senyawa ini memiliki derajat kekakuan yang lebih
besar dari asetilkolin dan mempunyai aktivitas muskarinik pada pembuluh darah
anjing 5 kali lebih besar dari asetilkolin.
Bentuk isomer (+) trans juga mudah dihidrolisis oleh enzim esterase
dengan kecepatan yang sama seperti hidrolisis asetilkolin. Bentuk isomer (-) trans,
(+)cis, dan (-) cis, aktivitas muskariniknya sangat rendah.
3. histamin
Histamin mempunyai tiga bentuk isomer konformasi, yaitu 2 bentuk
konformasi memanjang dan bentuk konformasi tertutup.
Pada struktur triprolidin, senyawa antagonis H1, jarak antara kedua atom
N=4,88 0,2 angstrom dan diduga berfungsi sebagai antagonis spesifik terhadap
histamin bentuk konfirmasi A. senyawa antagonis H2, seperti simetidin diduga
merupakan antagonis dari histamin bentuk konfirmasi B.
1. Ikatan Kovalen
Ikatan kovalen terbentuk bila ada dua atom saling menggunakan sepasang
elektron secara bersama-sama. Ikatan kovalen merupakan ikatan kimia yang paling kuat
dengan rata-rata kekuatan ikatan 1000 kkal/mol. Dengan kekuatan ikatan yang tinggi ini,
pada suhu normal ikatan bersifat ireversibel dan hanya dapat pecah bila ada pengaruh
katalisator enzim tertentu. Interaksi obat-katalisator melalui ikatan kovalen menghasilkan
kompleks yang cukup stabil dan sifat ini dapat digunakan untuk tujuan pengobatan
tertentu.
Mekanisme kerja obat yang melibatkan ikatan kovalen yaitu turunan nitrogen mustar,
turunan antibiotika -laktam,senyawa organofosfat, senyawa as-organik dan asam
etakrinat.
c. Senyawa organofosfat
Senyawa organofosfat merupakan suatu insektisida yang dapat
berinteraksi dengan gugus serin yang mana gugus serin ini merupakan bagian
fungsional dari sisi aktif enzim asetilkolinesterase. Atom p akan berikatan dengan
atom o gugus serin melalui reaksi fosfolirasi membentuk ikatan kovalen, sehingga
fungsi enzim menjadi terganggu . Hambatan tersebut mempengaruhi proses katalitik
asam amino sehingga terjadi penumpukan asetilkolin yang bersifat toksik terhadap
serangga.
Contoh: diisopropilfluorofosfat (dfp) dan malation
e. Asam etakrinat
Asam etakrinat merupakan senyawa diuretik yang strukturnya
mengandung gugus -keto tidak jenuh membentuk ikatan kovalen dengan gugus sh
dari enzim yang bertanggung jawab terhadap produksi energy yang diperlukan untuk
penyerapan kembali ion na+ di tubulus renalis. Ion na+ yang tidak diserap kembali
dikeluarkan dengan diikuti sejumlah air sehingga terjadi efek diuresis.
2. Ikatan Ion
Ikatan ion adalah ikatan yag dihasilkan oleh daya tarik menarik elektrostatik
antara ion-ion yang muatannya berlawanan. Kekuatan tarik-menarik akan makin
berkurang bila jarak antar ion makin jauh dan pengurangan tersebut berbanding terbalik
dengan jaraknya.
Makromolekul dalam sistem biologis berfungsi sebagai komponen reseptor yang
mengandung gugus protein dan asam nukleat yang bervariasi, mempunyai gugus kation
dan anion potensial tetapi hanya beberapa saja yang dapat terionisasi pada ph fisiologis.
Gugus kation protein berupa gugus amino yang terdapat pada asam-asam amino seperti
lisin glutamin, asparagine, arginine, glisin dan histidin.
Obat yang mengandung gugus kation potensial seperti r3nh+, r4n+ dan r2c=nh2+
maupun anion potensial seperti rcoo-, rso3 dan rcos- dapat membentuk ikatan ion dengan
gugus reseptor atau protein yang bermuatan berlawanan.
Senyawa turunan ammonium kuartener (n+r3)cl- seperti dekualinium klorida,
benzalkonium klorida dan setilpiridinium klorida menunjukan aktivitas bakteri dengan
cara kerja zat warna basa .
3. Interaksi ion-dipol dan dipol-dipol
Adanya perbedaan keelektronegatifan atom c dengan atom yang lain seperti o dan
n, akan membentuk distribusi elektron tidak simetrik atau dipol, yang mampu
membentuk ikatan dengan ion atau dipol lain, baik yang mempunyai daerah kerapatan
elektron tinggi maupun yang rendah.
Contoh: turunan metadon senyawa narkotik analgesic, strukturnya mengandung gugus n-
basa dan karbonil yang dalam larutan dapat membentuk siklik akibat adanya daya tarik
menarik dipol-dipol.
4. Ikatan hidrogen
Ikatan hidrogen adalah suatu ikatan antara atom h yang mempunyai muatan
positif parsial dengan atom lain yang bersifat elektronegatif dan mempunyai sepasang
elektron bebas dengan oktet lengkap seperti o, n, f. Atom yang bermuatan positif parsial
dapat berinteraksi dengan atom negatif parsial dari molekul atau atom lain yang berbeda
ikatan kovalennya dalam satu molekul.
Contoh : h2o
Ikatan hidrogen dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Ikatan hidrogen intramolekul yaitu ikatan yang terjadi dalam satu molekul.
b. Ikatan hidrogen intermolekul, yaitu ikatan hidrogen yang terjadi antar molekul-
molekul.
Kekuatan ikatan intermolekul lebih lemah disbanding ikatan intramolekul. Ikatan
hidrogen dapat mempengaruhi sifat-sifat kimia fisika senyawa seperti titik didih, titik
lebur, kelarutan dalam air, kemampuan pembentukan kelat dan keasaman.
Contoh:
a. Turunan pirazolon
1-fenil-3-metil-5-pirazolon mempunyai ikatan hidrogen intermolekul dan dapat
membentuk polimer linier dan menghasilkan tenaga ikat antar molekul yang
besar.
b. Turunan asam hidroksibenzoat
Asam orto-hidroksibenzoat mempunyai ikatan hidrogen intramolekul dan secara
efektif mengurangi aktivitas gugus oh dan cooh terhadap molekul air sehingga
kelarutan dalam air menurun.
c. Turunan ester asam hidroksibanzoat
Metil ester orto-hidroksibenzoat (metil salisilat) dapat membentuk ikatan
hidrogen intramolekul, gugus hidroksi fenol terlindung sehingga efek
antibakterinya lemah
Metil ester para-hidroksibenzoat (nipagin) dapat membentuk ikatan hidrogen
intermolekul. Penggabungan melalui ikatan hidrogen dapat membentuk senyawa
dimer dengan gugus hidroksi fenol masih bebas sehingga senyawa dapat
berfungsi sebagai antibakteri.
d. Turunan benzotiadiazin dan sulfamilbenzoat
Obat diuretik turunan benzotiadiazin seperti klorotiazid, hidroklorotiazid dan
hidroflumetiazid serta turunan sulfamilbenzoat seperti furosemide dan klortalidon
dapat memberikan efek diuretic karena mengandung gugus sulfamil bebas yang
mampu menduduki sisi aktif enzim sehingga dapat menghambat enzim karbonik
anhydrase melalui mekanisme penghambatan bersaing.
Ikatan hidrogen memegang peranan penting pada proses reproduksi sel dan
memelihara keutuhan adn dan arn. Ikatan hidrogen juga membantu kestabilan konformasi
-heliks peptide-peptida dan interaksi pasangan basa khas seperti purin dan pirimidin
pada adn. Obat antikanker tertentu seperti golongan senyawa pengalkilasi, dapat
mengalkilasi pasangan basa adn dan mencegah pembentukan ikatan hidrogen sehingga
replikasi normal dari adn tidak terjadi. Senyawa pengalkilasi dapat mengikat asam
nukleat dan protein secara ireversibel sehingga dapat menghambat proses biosintesis
protein sel dan berfungsi sebagai obat antikanker.
Contoh: mekloretamin, klorambusil, melfalam, siklofosfamid, busulfan, tiotepa,
antibiotika bleomisin dan mitomisin C.
6. Ikatan hidrofob
Ikatan hidrofob merupakan salah satu kekuatan penting pada proses
penggabungan daerah non polar molekul obat dengan daerah non polar reseptor biologis.
Daerah non polar molekul obat yang tidak larut dalam air dan molekul-molekul air
disekelilingnya akan bergabung melalui ikatan hidrogen membentuk struktur quasi-
crystalline (icebergs).
Bila dua daerah non polar seperti gugus hidrokarbon molekul obat dan daerah non
polar reseptor, bersama-sama berada dalam lingkungan air maka akan mengalami suatu
penekanan sehingga jumlah molekul air yang kontak dengan daerah-daerah non polar
tersebut menjadi berkurang. Akibatnya, struktur quaisi-crystalline akan pecah
menghasilkan peningkatan entropiyang digunakan untuk isolasi struktur non polar.
Peningkatan energy bebas ini dapat menstabilkan molekul air sehingga tidak kontak
dengan daerah non polar. Penggabungan tersebut disebut dengan ikatan hidrofob.
7. Transfer muatan
Kompleks yang terbentuk antara dua molekul melalui ikatan hidrogen merupakan
kasus khusus dari fenomena umum kompleks donor-aseptor, yang distabilkan melaui
daya tarik-menarik elektrostatis antara molekul donor elektron dan molekul aseptor
elektron.
Contoh: komplek transfer muatan n-metilpiridinum iodida
Menurut baker, kompleks transfer dikelompokan menjadi dua yaitu senyawa yang
berfungsi sebagai donor elektron dan sebagai aseptor elektron.
a. Transfer muatan sebagai donor electron yaitu:
Senyawa yang kaya -elektron seperti alkena, alkuna dan senyawa aromatic
yang tersubtitusi dengan gugus elektron donor.
Senyawa yang mempunyai pasangan electron sunyi seperti r-o:-h, r-o:-r, r-s:-r,
r-i:, r3n: dan r-s:-s-r, yang juga dapat berfungsi sebagai aseptor proton dalam
ikatan hidrogen.
b. Transfer muatan sebagai aseptor electron yaitu:
Senyawa yang kekurangan -elektron seperti 1,3,5-trinitrobensen,
tetrasianoetilen dan tetraklorobenzokuinon yang mempunyai gugus pendorong
electron sangat kuat.
Molekul mengandung hidrogen yang bersifat asam lemah seperti br3c-h, r-o-h,
ar-o-h, r-s-h dan imidazole-h yang juga dapat berfungsi sebagai donor proton
dalam ikatan hidrogen.
Makromolekul system biologis yang bekerja sebagai komponen reseptor
mempunyai gugus protein atau asam amino yang dapat membentuk komplek melalui
transfer muatan, yaitu:
a. Sebagai donor elektron seperti aspartate, glutamate, sistin, metionin, dan tirosin
(hanya cincin aromatik).
b. Sebagai aseptor elektron seperti sistein, arginine dan lisin.
c. Sebagai donor dan aseptor elektron seperti histidin, asparagin, glutamin, serin,
treonin, hidroksiprolin, triptofan, tirosin (hanya gugus oh) dan fenilalanin (hanya
cincin aromatik).
Molekul obat juga dapat membentuk kompleks melalui transfer muatan, antara lain:
a. Molekul obat yang bekerja sebagai donor elektron adalah:
Senyawa yang mengandung gugus anionik
Basa lemah tertentu
Senyawa sulfur yang netral
Beberapa senyawa nitrogen yang netral
Senyawa fosfor netral
Senyawa nitrogen netral
Senyawa halogen
Senyawa furan, pirol dan pirazol.
b. Molekul obat yang bekerja sebagai aseptor elektron adalah:
Asam-asam lemah
Beberapa senyawa fosfor netral
Senyawa yang mengandung gugus kationik
c. Molekul obat yang bekerja sebagai donor dan aseptor elektron
Beberapa senyawa yang mengandung gugus anionic
Basa lemah tertentu
Beberapa asam lemah
Senyawa nitrogen netral
Senyawa fosfor netral
Senyawa oksigen netral
Senyawa monosiklik heterosiklik
Senyawa lain seperti senyawa aromatic dan r2c=cr2.
Beberapa obat halusinogen, psikotomimetik, psikotropik, dan turunan indol
bersifat sebagai donor electron yang dapat membentuk kompleks melalui transfer muatan
dengan reseptor yang bersifat aseptor electron.
Ariens (1954) dan Stephenson (1959), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor
menjadi dua tahap yaitu :
a. Pembentukan komplek obat-reseptor
b.Menghasilkan respon biologis
Tetapan ini digunakan untuk menjawab fakta bahwa sebagian agonis menghasilkan
respon maksimum yang lebih kecil daripada respon maksimum terhadap agonis lain.
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat
menunjang afinitas interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk menimbulkan
respon biologis sebagai akibat pembentukan komplek. Proses interaksinya adalah sebagai
berikut:
Afinitas
O + R komplek OR respon biologis
Afinitas merupakan ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas
sangat bergantung dari struktur molekul obat dan sisi reseptor.
Efikasi
Efikasi (aktivitas instrinsik) adalah ukuran kemampuan obat untuk memulai
timbulnya respon biologis.
O + R < == > O-R respon (+):senyawa agonis (afinitas besar dan aktivitas instrinsik
=1)
O + R < == > O-R respon (-):senyawa antagonis(afinitas besar&aktivitas instrinsik =
0)
Teori Kecepatan
Croxatto dan Huidobro (1956) memberikan postulat bahwa obat hanya efisien
pada saat berinteraksi dengan reseptor.
Paton (1961) mengatakan bahwa efek biologis obat setara dengan kecepatan
kombinasi obat-reseptor dan bukan jumlah reseptor yang didudukinya. Di sini, tipe kerja
obat ditentukan oleh kecepatan penggabungan (asosiasi) dan peruraian (disosiasi)
komplek obat-reseptor dan bukan dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil
Asosiasi Dissolusi
O + R < == > komplek (OR) > respon biologis
Senyawa dikatakan agonis jika memiliki kecepatan asosiasi (mengikat reseptor )
dan dissolusi yang besar. Senyawa dikatakan antagonis jika memiliki kecepatan asosiasi
(mengikat reseptor) dan dissolusi kecil. Di sini, pendudukan reseptor tidak efektif karena
menghalangi asosiasi senyawa agonis yang produktif.
Senyawa dikatakan agonis parsial jika kecepatan asosiasi dan dissolusinya tidak
maksimal. Konsep di atas ditunjang oleh fakta bahwa banyak senyawa antagonis
menunjukkan efek rangsangan singkat sebelum menunjukkan efek pemblokiran.
Pada permulaan kontak obat-reseptor, jumlah reseptor yang diduduki oleh
molekul obat masih relatif sedikit, kecepatan penggabungan obat-reseptor maksimal
sehingga timbul efek rangsangan yang singkat. Bila jumlah reseptor yang diduduki
molekul obat cukup banyak, maka kecepatan penggabungan obat-reseptor akan turun
sampai di bawah kadar yang diperlukan untuk menimbulkan respon biologis sehingga
terjadi efek pemblokiran
Reseptor obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup, mengandung gugus
fungsional atau atom-atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat spesifik, dapat
berinteraksi secara reversibel dengan molekul obat yang mengandung gugus fungsional
spesifik, menghasilkan respons biologis yang spesifik pula.
Interaksi obat-reseptor terjadi melalui dua tahap, yaitu:
1. Interaksi molekul obat dengan reseptor spesifik, Interaksi ini memerlukan afinitas
2. Interaksi yang dapat menyebabkan perubahan konformasi makromolekul protein
sehingga timbul respons biologis.
1. Teori Klasik
Crum, Brown dan Fraser (1869), mengatakan bahwa aktivitas biologis
suatu senyawa merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat
berinteraksi pada sistem biologis mempunyai sifat yang karakteristik.
Langley (1878), dari studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin,
memperkenalkan konsep reseptor yang pertama kali dan kemudian dikembangkan
oleh Ehrlich.
Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep
sederhana tentang interaksi obat-reseptor yaitu corpora non agunt nisi fixata atau
obat tidak dapat menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor.
2. Teori Pendudukan
Clark (1926), memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati
satu sisi reseptor dan obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebih agar tetap
efektif selama proses pembentukan kompleks.
Obat akan berinteraksi dengan reseptor membentuk kompleks obat-
reseptor. Clark hanya meninjau dari segi agonis saja yang kemudian dilengkapi
oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari segi antagonis.
Respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat
merupakan:
a. Rangsangan aktivitas (efek agonis)
b. Pengurangan aktivitas (efek antagonis)
Ariens (1954) dan Stephenson (1956), memodifikasi dan membagi
interaksi obat-reseptor menjadi dua tahap, yaitu:
a. Pembentukan kompleks obat-reseptor
b. Menghasilkan respons biologis
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas
dapat menunjang afinitas interaksi obat-reseptor dan mempunyai efisiensi untuk
menimbulkan respons biologis sebagai akibat pembentukan kompleks obat
reseptor.
Afinitas Efikasi
O + R Kompleks O-R Respons biologis
3. Teori Kecepatan
Croxatto dan Huidobro (1956), memberikan postulat bahwa obat hanya
efisien pada saat berinteraksi dengan reseptor. Paton (1961), mengatakan bahwa
efek biologis dari obat setara dengan kecepatan ikatan obat-reseptor dan bukan
dari jumlah reseptor yang didudukinya.
Asosiasi Disosiasi
O + R Kompleks O-R Respons biologis
6. Teori Pendudukan-Aktivasi
Ariens dan Rodrigues de Miranda (1979), mengemukakan teori
pendudukan-aktivasi dari model dua keadaan yaitu bahwa sebelum berinteraksi
dengan obat, reseptor berada dalam kesetimbangan dinamik antara dua keadaan
yang berbeda fungsinya, yaitu:
a. Bentuk teraktifkan (R*) : dapat menunjang efek biologis
b. Bentuk istirahat (R) : tidak dapat menunjang efek biologis
BAB III
KESIMPULAN
1. Faktor sterik yang ditentukan oleh stereokimia molekul obat dan permukaan sisi
reseptor, memegang peran penting dalam menentukan efisiensi interaksi obat-
reseptor. Oleh karena itu agar berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons
biologis, molekul obat harus mempunyai struktur dengan drajat kespesifikan tinggi.
2. Pada interaksi obat-reseptor ada dua nilai yang sangat penting yaitu distribusi muatan
elektronik dalam obat dan reseptor, serta bentuk konformasi obat dan reseptor.
3. Untuk memperoleh obat dengan aktivitas yang lebih tinggi, dengan efek samping atau
toksisitas yang lebih rendah dan bekerja lebih selektif, perlu dilakukan modifikasi
struktur molekul obat.
4. Sebagian besar obat yang termasuk golongan farmakologis sama, pada umumnya
mempunyai gambaran struktur tertentu. Gambaran struktur ini disebabkan oleh
orientasi gugus-gugus fungsional dalam ruang dan pola yang sama.
5. Hubungan antara struktur kimia dengan aktivitas biologis sering ditunjang oleh
konsep kelenturan reseptor. Pada beberapa tipe kerja biologis, jarak antar gugus-
gugus fungsional molekul dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologis obat.
DAFTAR PUSTAKA
Siswando, dan Bambang Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Airlangga University Press.
Surabaya
Tim Penyusun. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik. Universitas Indonesia. Jakarta.
Anonim. 2004. Farmakologi dan Terapi. Edisi keempat. Gaya Baru. Jakarta