Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH KIMIA MEDISINAL

HUBUNGAN STRUKTUR MOLEKUL OBAT DENGAN AKTIVITAS YANG


DITIMBULKAN

Disusun Oleh :
Kitra Kiara Sartika (1304015266)
Kelas : 7-D

Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka


Fakultas Farmasi dan Sains
Program Studi Farmasi
Jakarta
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Sejak tahun 1945 ilmu kimia, fisika dan kedokteran berkembang pesat dan hal ini
menguntungkan sekali bagi penelitian sistematis obat baru. Beribu-ribu zat sintetis telah
ditentukan rata-rata 500 zat setahunnya, yang mengakibatkan perkembangan revolusioner
dibidang farmakoterapi. Kebanyakan obat kuno ditinggalkan dan diganti dengan obat-
obat mutakhir. Akan tetapi, begitu banyak diantaranya tidak lama masa hidupnya, karena
segera terdesak oleh obat yang lebih baru dan lebih baik khasiatnya. Namun menurut
taksiran lebih kurang 80% dari semua obat yang kini digunakan secara klinis merupakan
penemuan dari 3 dasawarsa terakhir.
Dalam arti luas, obat adalah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses
hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk
seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya agar dapat menggunakan obat untuk maksud
pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa
penggunaan obat dapat mengobati berbagai gejala penyakit.
Dahulu farmakologi mencakup pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat kimia
dan fisik, komposisi, efek fisiologi dan biokimia, mekanisme kerja, absorbsi, distribusi,
biotransformasi, eksresi dan penggunaan obat. Namun dengan bertambahnya
pengetahuan, beberapa ilmu pengetahuan tersebut telah berkembang menjadi cabang ilmu
tersendiri.
Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan
obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi,
resorpsi, dan nasibnya dalam organisme hidup. Dan untuk menyelidiki semua interaksi
antara obat dan tubuh manusia khususnya, serta penggunaan pada pengobatan penyakit,
disebut farmakologi klinis. Ilmu khasiat obat ini mencakup beberapa bagian, yaitu
farmakognosi, biofarmasi, farmakokinetika dan farmakodinamika, toksikologi, dan
farmakoterapi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Untuk berinteraksi dengan reseptor, molekul obat harus mencapai sisi reseptor
dan sesuai dengan permukaan reseptor. Faktor sterik yang ditentukan oleh stereokimia
molekul obat dan permukaan sisi reseptor, memegang peran penting dalam menentukan
efisiensi interaksi obat-reseptor. Oleh karena itu agar berinteraksi dengan reseptor dan
menimbulkan respons biologis, molekul obat harus mempunyai struktur dengan drajat
kespesifikan tinggi.
Pada interaksi obat-reseptor ada dua nilai yang sangat penting yaitu distribusi
muatan elektronik dalam obat dan reseptor, serta bentuk konformasi obat dan reseptor.
Oleh karena itu aktivitas obat tergantung pada tiga faktor struktur yang penting, yaitu :
1. Stereokimia molekul obat.
2. Jarak antar atom atau gugus.
3. Distribusi elektronik dan konfigurasi molekul.
Perbedaan aktivitas farmakologis dari beberapa stereoisomer disebabkan oleh tiga
faktor yaitu :
1. Perbedaan dalam distribusi isomer dala tubuh.
2. Perbedaan dalam sifat-sifat iteraksi obat-reseptor.
3. Perbedaan dalam adsorpsi isomer-isomer pada permukaan resptor yang
sesuai.
Dua hal penting yang perlu diketahui adalah modifikasi isosterisme dan pengaruh
isomer terhadap aktivitas biologis obat.
A. MODIFIKASI ISOSTERISME

Untuk memperoleh obat dengan aktivitas yang lebih tinggi, dengan efek samping
atau toksisitas yang lebih rendah dan bekerja lebih selektif, perlu dilakukan modifikasi
struktur molekul obat. Istilah isosterisme telah digunakan secara luas untuk
menggambarkan seleksi dari bagian struktur yang karena karekterisasi steri, elektronik
dan sifat kelarutannya, memungkinkan untuk saling di pergantikan pada modifikasi
struktur molekul obat.
Arti isosteris secara umum adalah kelompok atom-atom dalam molekul, yang
mempuyai sifat kimia atau fisika mirip, karena mempunyai persamaan ukuran,
keelektronegatifan atau stereokimia.
Languir ( 1919 ), mencoba mencari hubungan yang dapat menjelaskan adanya
persamaan sifat fisik dari mulekul yang bukan isomer, dan memberikan batasan bahwa
isoteris adalah senyawa senyawa, kelompok atom atom, radikal atau mulekul yang
mempunyai jumlah dan pengaturan elektron sama, bersifat isoelektrik dan mempunyai
kemiripan sifat sifat fisik, contoh : moleku l N dan CO, masing masing mempunyai
total elektron = 14, sama sama tidak bermuatan dan menunjukan sifat fisik yang relatif
sama, seperti kekentalan, kerapatan, indexrefraksi, tetapan di elektrik dn kelarutan. Hal
ini berlaku pula molekul molekul NO dan CO, N dan NCO, serta CH N dan CH =
CO.
Gremm (1925), memperkenalkan hukum pergantian hidrida yang menyatakn
bahwa penambahan atom H, suatu elektron sunyi, pada atom atom mulekul yang
kekurangan elektron pada orbital terluarnya (peseudo atom), dpat menghasilkan pasangan
isosterik contoh konsep gremm tentang pergantian hidrida dapat di lihat pad tbel 1.
Contoh : gugus-CH = dan atom N=, masing masing mempunyai total lektron = 7 dan
bersifat sebagai peseudo atom. Penambahan atom H akan menghasulkan pasangan
isosterik- CH- dan NH-.
Erlenmeyer (1948), memperluas definisi isosteris yaitu atom, ion atau molekul yang

jumlah, bentuk, ukuran dan polaritas elektron pada lapisan terluar sama (Tabel 2).

Tabel 1. Konsep Grimm untuk pergantian hidrida

Kofigurasi 2(4) 2(5) 2(6) 2(7) 2(8) 2(9)

elektron

Gugus atau atom =C= -N= -O- -F Ne Na

-CH= -NH- -OH FH -

-CH- -NH OH FH

-CH NH OH

CH NH

Tabel 2. Tabel isosterik dari erlenmeyer

Elektron terluar 4 5 6 7 8

Ion atau atom N P S Cl CIH

P As Se Br BrH

S Sb Te I IH

As - PH SH SH

Sb - - PH PH
Arti isosteris secara umum adalah kelompok atom-atom dalam molekul, yang mempuyai

sifat kimia atau fisika mirip, karena mempunyai persamaan ukuran, keelektronegatifan

atau stereokimia.

Contoh pasangan isosterik yang mempunyai sifat sterik dan konfigurasi elektronik sama
adalah :
a. Ion karboksilat (-COO-) dan ion sulfonamida (-SO2NR-)
b. Gugus keton (-CO-) dan gugus sulfon (-SO2-)
c. Gugus klorida (-Cl) dan gugus trifluorometil (-CF3)
Gugus-gugus divalen eter (-O-), sulfida (-S-), amin (-NH-) dan metilen (-CH2-) meskipun
berbeda sifat elektroniknya tetapi hampir sama sifat steriknya sehingga sering pula
dipergantikan pada suatu modifikasi struktur.
Secara umum prinsip isosterisme ini digunakan untuk:
a. Mengubah struktur senyawa sehingga didapatkan senyawa dengan aktivitas biologis
yang dikehendaki.
b. Mengembangkan analog dengan efek biologis yang lebih selektif
c. Mengubah struktur senyawa sehingga bersifat antagonis terhadap normal metabolit
(antimetabolit)

Friedman (1951) memperkenalkan istilah bioisosterisme, yang kemudian

berkembang menjadi salah satu konsep dasar sebagai hipotesis untuk perkembangan

kimia medisinal. Idealnya, bioisosterisme melibatkan pergantian gugus fungsi dalam

struktur molekul yang spesifik aktif dengan gugus lain dan pergantian tersebut akan

menghasilkan senyawa baru dengan aktivitas biologis yang lebih baik.

Burger (1970) mengklasiifikasi bioisosterisme sebagai berikut :


1. Bioisosterisme klasik
a. Atom atau gugus monovalen, contoh : R-X-Hn , dimana X adalah atom C,
N, O atau atom S, dan R-X, dimana X adalah atom F, Cl, Br, dan I.
b. Atom atau gugus divalen, contoh : R-X-R, dimana X adalah O, S, CH
atau NH.
c. Atom atau gugus trivalen, contoh : R-N=R, R-CH=R,R-P=R,R-As=R,
dan R-Sb=R.
d. Atom atau gugus tetravalen, contoh : R=N= R, R=C=R, R=P=R,
R=As=R, dan R=Sb=R.
e. Kesamaan cincin, contoh : pergantian gugus dalam satu cincin, seperti
gugus S-, -O-, -NH-, -CH- atau CH=CH-.
2. Bioisoterisme nonklasik
a. Substitusi gugus akan memberikan pengaturan elektronik dan sterik yang
serupa dengan senyawa induk. Contoh : penggantian H dengan F
b. Penggantian gugus dengan gugus lain yang tidak mempunyai persamaan
sifat elektronik atau sterik tetapi masih menimbulkan aktivitas biologis
yang sama. Contoh : pergantian gugus alkilsulfonamida (-SONH-R)
dengan gugus hidroksi (-OH) pada turunan katekolaminan.
c. Penggantian cincin dengan struktur nonsiklik. Contoh : penggantian cincin
benzen dengan heksatriena (HC=CH-CH=CH-CH=CH).

B. ISOMER DAN AKTIVITAS BIOLOGIS OBAT

Sebagian besar obat yang termasuk golongan farmakologis sama, pada umumnya
mempunyai gambaran struktur tertentu. Gambaran struktur ini disebabkan oleh orientasi
gugus-gugus fungsional dalam ruang dan pola yang sama. Dari gambaran sterik dikenal
beberapa macam struktur isomeri, antara lain adalah isomer geometrik, isomer
konformasi, diastereoisomer dan isomer optik. Bentuk-bentuk isomer tersebut dapat
mempengaruhi aktivitas biologis obat.
1. Isomer Geometrik dan Aktivitas Biologis
Isomer geometrik atau isomer cis-trans adalah isomer yang disebabkan
adanya atom-atom atau gugus-gugus yang terkait secara langsung pada suatu
ikatan rangkap atau dalam suatu sistem alisklik. Ikatan rangkap dan sistem
alisklik tersebut membatasi gerakan atom dalam mencapai kedudukan yang stabil
sehingga terbentuk isomer cis-trans.
2. Isomer Konformasi dan Aktivitas Biologis
Isomer konformasi adalah isomer yang terjadi karena ada perbedaan
pengaturan ruang dari atom-atom atau gugus-gugus dalam struktur molekul obat.
Isomer konformasi lebih stabil pada struktur senyawa non aromatik. Contoh
sikloheksan dapat membentuk 3 konfomer yaitu bentuk kursi, perahu, dan
melipat. Sikloheksan cenderung dalam bentuk konfirmasi kursi dibanding bentuk
konfirmasi perahu atau melipat. Substituen atau gugus pada cincin sikloheksan
cenderung ditahan pada kedudukan equatorial oleh karena bentuk aksial lebih
muda terpengaruh oleh efek sterik.
Pada bentuk 1,3 diaksial, subtituennya cenderung tolak-menolak satu sama
lain sehingga mengubah kelenturan cincin dan menmpatkan substituen pada
kedudukan ekuatorial yang kurang terpengaruh oleh efek sterik. Pada cincin non
aromatik, atom atau gugus yang terikat dapat pada kedudukan ekuatorial atau
aksial atau kedua-duanya dan dapat menunjukkan aktivitas biologis yang sama
atau berbeda. Contoh ,
Trimeperidin adalah senyawa narkotik analgesik poten pada struktur
molekulnya bentuk konfirmasi ekuatorial atau aksial ditunjang dan berorientasi
pada gugus fenil dan gugus alisiklik. Gugus fenil cendrung dipertahankan dalam
bidang cincin pada kedudukan ekuatorial. Untuk mengubah kedudukan aksial
dibutuhkan energi lebih kurang7 kilo kalori/mol. Isomer aksial dan ekuatorial dari
trimeperidin mempunyai analgesik sama. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
bentuk isomer konfirmasi terhadap aktivitas analgesik trimeperidin sangat kecil.
Planaritas pada bagian tertentu molekul obat sangat penting untuk dapat
menimbulkan aktivitas biologis pada umumnya. Pada umumnya akan menunjang
rigiditas molekul obat dan ini terjadi pada cincin aromatik atau suatu sistem
kerkonjugasi yang lain . atom atau gugus yang terikat secara langsung pada cincin
atau sistem tersebut akan berada pada ruang yang sama.
Kadang-kadang aktivitas biologis senyaswa tidak berhubungan dengan gugus
fungsi tetapi hanya bergantung pada aromatik atau karakteristik planar dari
molekul.
Contoh :
1. Amfetamin yang mempunyai cincin aromatik lebih aktif dibanding
analog jenuhnya. Aktivitasnya ditunjang oleh planaritas cincin yang menigkatkan
kemampuan senayawa untuk mengikat reseptor yang juga mempunyai permukaan
planar melalui ikatan vander waals yang relatif kuat. Pada interaksi obat yang
tidak planar dengan reseptor planarikatan van der waals relatif rendah.
2. Aktivitas pemblok adrenergik dari - haloalkilamin tergantung pada
koplanaritas substituen pada cincin benzen.
Kadang-kadang suatu molekul senyawa tertentu memberikan lebih dari satu efek
biologis karena mempunyai bentuk konfirmaasi yang unik dan lentur sehingga
dapat berinteraksi dengan reseptor-reseptor yang berbeda.
Contoh
1. Asetil kolin
Asetilkolin memiliki dua bentuk konfirmasi yaitu
a. bentuk konfirmasi tertutup
Pada bentuk ini atom H dari N-metil letaknya berdekatan demgam atom O
dari gugus asetoksi sehingga terjadi ikatan hidrogen intermolekul membentuk
struktur tertutup. Bentuk konfirmasi ini dapoat berinteraksi dengan reseptor
nikotinik dari ganglia dan penghubung saraf otot.
b. bentuk konfirmasi memanjang penuh
Pada bentuk ini atom H dari N-metil letaaknya berjauhan dengan atom O
sehingga membentuk struktur memanjang. Bentuk konfirmasi ini dapat
berinteraksi dengan reseptor muskarinik dari saraf post ganglionik parasimpatik
dan mudah dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase,
2. 2-Asetoksisiklopropiltrimetilamonium iodida
Pada bentuk (+) trans, atom H dari N-metil letaknya berjauhan dan
terpisah dari atom O gugus asektosi sehingga mempunyai bentuk konfirmasi
memanjang seperti asetilkolin. Senyawa ini memiliki derajat kekakuan yang lebih
besar dari asetilkolin dan mempunyai aktivitas muskarinik pada pembuluh darah
anjing 5 kali lebih besar dari asetilkolin.
Bentuk isomer (+) trans juga mudah dihidrolisis oleh enzim esterase
dengan kecepatan yang sama seperti hidrolisis asetilkolin. Bentuk isomer (-) trans,
(+)cis, dan (-) cis, aktivitas muskariniknya sangat rendah.
3. histamin
Histamin mempunyai tiga bentuk isomer konformasi, yaitu 2 bentuk
konformasi memanjang dan bentuk konformasi tertutup.
Pada struktur triprolidin, senyawa antagonis H1, jarak antara kedua atom
N=4,88 0,2 angstrom dan diduga berfungsi sebagai antagonis spesifik terhadap
histamin bentuk konfirmasi A. senyawa antagonis H2, seperti simetidin diduga
merupakan antagonis dari histamin bentuk konfirmasi B.

3. Diastereoisomer dan aktivitas biologis


Diastereoisomer adalah isomer yang disebabkan oleh senyawa yang
mempunyai dua atau lebih pusat atom asimetrik, mempunyai gugus fungsional
sama dan memberikan tipe reaksi yang sama pula. Kedudukan gugus-gugus
substitusi terletak pada ruang yang relatif berbeda sehingga diastereoisomer
mempunyai sifat fisik, kecepatan reaksi dan sifat biologis yang berbeda pula.
Perbedaan sifat-sifat diatas berpengaruh terhadap distribusi, metabolisme dan
interaksi isomer reseptor.
Diasterioisomer kemungkinan juga mempunyai aktifitas optic.
Contoh : efedrin, mempunyai 2 atom C asimetrik dengan 4 bentuk aktif optis,
dapat membentuk diasterioisomer (+-) eritro dan (+-) itreo
Tabel. Hubungan isomer-isomer efedrin dan aktivitas presor relative (APR)
Isomer APR
D (-) Eferdrin 36
L (+) Efedrin 11
D(-) Pseudoefedrin 7
L(+) Pseudoefedrin 1
DL(+-) Efedrin 26
DL(+-) Pseudoefedrin 4

Aktifitas presor relative (APR) isomer-isomer efedrin dapat dilihat pada


table. Dari gambar dan table terlihat bahwa aktivitas maksimal dicapai bila pusat
C berada pada kedudukan (S) dan pusat C pada kedudukan (R). Jadi hanya
bentuk D (-) efedrin yang secara nyata dapt memblok reseptor -adrenergik dan
menurunkan tekanan darah.
4. Isomer Optik dan Aktivitas Biologis
Isomer optik adalah isomer yang disebabkan oleh senyawa yang
mempunyai atom C asimetrik. Isomer optik mempunyai sifat kimia fisika yang
sama dan hanya berbeda pada kemampuan dalam memutar bidang cahaya
terpolarisasi atau berbeda rotasi optknya. Masing-masing isomer hanya dapat
memutar bidang cahaya terpolarisasi kekiri atau kekanan saja dengan sudut
pemutaran yang sama.
Contoh obat yang dapat membentuk isomer optic dengan aktivitas biologis
berbeda :
1. (-)- Hiosiamin, aktivasi medriatiknya 15-20 kali lebih besar disbanding isomer
(+)
2. D-(-)adrenalin, aktivitas vasokonsttiktornya 12-15 kali lebih basar disbanding
isomer (+)
3. (-)-Sinefrin, aktivitas presornya 60 kali lebih besar disbanding isomer (+)
4. (-)--Metildopa, mempunyai efek antihipertensi, sedang isomer (+) tidak
menimbulkan efek antihipertensi
5. D-(-)-treo-Kloramfenikol mempunyai efek antibakteri, sedang isomer L (+)
eritro efeknya negative
6. (+)-Norhormoepinefrin, aktivitas presosnya 160 kali lebih besar disbanding
isomer (-)
Perbedaan aktivitas dari isomer-isomer optic dapat dijelaskan dengan
beberapa perkiriraan sebagai berikut :
1. Ada perbedaan distribusi dari isomer-isomer dalam tubuh, tanpa memandang
perbedaan kerja pada sisi reseptor. Perbedaan ini disebabkan isomer optic
diseleksi terlebih dahulu oleh system biologis sebelum mencapai reseptor
spesifiknya.
Contoh :
a. Isomer optic berinteraksi dengan senyawa aktif optic dalam cairan
tubuh, missal protein plasma, membentuk diasterioisomer sehungga terjadi
perbedaan absorbs, distribusi dan metabolism isomer-isomer tersebut.
b. Salah satu isomer optic cenderung dimetabolisis oleh enzim yang
bersifat stereospesifik
c. Salah satu isomer diabsorbsi secara selektif pada sisi kehilangan yang
stereospesifik, missal pengikatan oleh protein plasma tertentu
2. Menurut Cushny , perbedaan aktivitas tersebut disebabkan karena isomer
optic berinteraksi denga sisi reseptor yang aktif optis, menghasilkan
diasterioisomer dengan sifat kimia fisika berbeda sehingga terjadi perbedaan
dalam distribusi dan interaksi dengan reseptor spesifik.
3. Menurut Easson dan Stedman, struktur isomer optic secara teoritis dapat
menimbulkan efek fisiologis yang berbeda karena ada perbedaan dalam hal
pengaturan molekul sehingga salah satu isomer dapat berinteraksi dengan reseptor
hipotesis sedang isomer yang lain tidak dapat berinteraksi.

C. JARAK ANTAR ATOM DAN AKTIVITAS BIOLOGIS

Hubungan antara struktur kimia dengan aktivitas biologis sering ditunjang


oleh konsep kelenturan reseptor. Pada beberapa tipe kerja biologis, jarak antar
gugus-gugus fungsional molekul dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologis
obat. Contoh :
1. Obat parasimpatomimetik, seperti turunan asetikolin (karbakol) dan
parasimpatolitik, seperti obat pemblok adrenergic, jarak antara ester karbonil
dengan atom N-metil adalah 7,2 , yang berarti 2 x 3,61
2. Obat kurare, seperti dekametonium, jarak antar atom N-kuarterner adalah
14,5 , yang berarti 4 x 3,61
3. Hormone estrogen nonsteriod, seperti dietilstiolbestrol, gugus-gugus
hidroksilnya juga dipisahkanoleh ikatan hydrogen dengan jarak 14,5
Selain jarak antara ikatan peptide, jarak antara dua struktur -heliks protein (5,5
) didapatkan sama dengan jarak antar gugus-gugus fungsional dari banyak obat.
Didapatkan pada obat-obat yang termasuk golongan anestesi setempat, seperti
prokain, antihistamin, seperti difendiramin, spasmolitik, seperti adifenin dan obat
pemblok adrenergic, seperti piperoksan.
Konfigurasi dan jarak antar atom dari senyawa antagonis metabolic juga penting
untuk aktivitas
Contoh : turunan sulfanilamide mempunyai jarak antar atom yang serupa dengan
asam p-aminobenzoat dan dapat berfungsi sebagai antimetabolit
Contoh-contoh di atas menunjukan bahwa jarak antar atom dari gugus-gugus
fungsional berperan dalam proses interaksi obat dengan tempat reseptor spesifik.
Respons biologis merupakan akibat interaksi molekul obat dengan gugus
fungsional molekul reseptor. Interaksi ini dapat berlangsung karena kekuatan ikatan
kimia tertentu.
Pada umumnya, ikatan obat-reseptor bersifat reversible sehingga obat segera
meninggalkan reseptor bila kadar obat dalam cairan luar sel menurun. Ikatan yang terlibat
pada interaksi obat-reseptor harus relatif lemah tetapi masih cukup kuat untuk
berkompetisidengan ikatan lainnya.
Pada interaksi obat dengan reseptor, senyawa dapat menggabungkan beberapa
ikatan yang lemah sehingga dapat menghasilkan ikatan yang cukup kuat dan stabil.
Tipe ikatan kimia yang terlibat dalam interaksi obat reseptor antara lain adalah
ikatan-ikatan kovalen, ion-ion yang saling memperkuat (reinforce ions), ion
(elektrostatik), hidrogen, ion-dipol, dipol-dipol, van der waals, ikatan hidrofob dan
transfer muatan.

1. Ikatan Kovalen
Ikatan kovalen terbentuk bila ada dua atom saling menggunakan sepasang
elektron secara bersama-sama. Ikatan kovalen merupakan ikatan kimia yang paling kuat
dengan rata-rata kekuatan ikatan 1000 kkal/mol. Dengan kekuatan ikatan yang tinggi ini,
pada suhu normal ikatan bersifat ireversibel dan hanya dapat pecah bila ada pengaruh
katalisator enzim tertentu. Interaksi obat-katalisator melalui ikatan kovalen menghasilkan
kompleks yang cukup stabil dan sifat ini dapat digunakan untuk tujuan pengobatan
tertentu.
Mekanisme kerja obat yang melibatkan ikatan kovalen yaitu turunan nitrogen mustar,
turunan antibiotika -laktam,senyawa organofosfat, senyawa as-organik dan asam
etakrinat.

a. Turunan nitrogen mustar


Turunan nitrogen mustar adalah senyawa pengalkilasi yang pada
umumnya digunakan sebagai obat antikanker. Contohnya yaitu mekloretamin,
siklofosfamid, klorambusil dan tiotepa. Adapun mekanisme kerja obat turunan nitrogen
mustar yaitu senyawa melepaskan ion cl- membentuk kation antara yang tidak stabil yaitu
ion etilen imonium, diikuti pemecahan cincin membentuk ion karbonium yang
bersifat reaktif. Ion ini dapat bereaksi melalui reaksi alkilasi dengan gugus-gugus
donor elektron, seperti gugus-gugus karboksilat, fosfat dan sulfhidril pada struktur
asam amino, asam nukleat dan protein yang sangat dibutuhkan untuk proses
biosintesis sel. Akibatnya pembentukan sel menjadi terganggu dan pertumbuhan
sel kanker dihambat.

b. Turunan antibiotika -laktam


Turunan antibiotika -laktam merupakan senyawa pengasilasi kuat dan
mempunyai kespesifikan yang tinggi terhadap gugus amino serin dari enzim
transpeptidase yang dapat mengkatalisis tahap akhir sintesis dinding sel bakteri.
Reaksi asilasi ini menyebabkan kekuatan dinding sel bakteri menjadi lemah dan
mudah terjadi lisis sehingga bakteri mengalami kematian.
Contoh: turunan penisilin dan turunan sefalosporin.

c. Senyawa organofosfat
Senyawa organofosfat merupakan suatu insektisida yang dapat
berinteraksi dengan gugus serin yang mana gugus serin ini merupakan bagian
fungsional dari sisi aktif enzim asetilkolinesterase. Atom p akan berikatan dengan
atom o gugus serin melalui reaksi fosfolirasi membentuk ikatan kovalen, sehingga
fungsi enzim menjadi terganggu . Hambatan tersebut mempengaruhi proses katalitik
asam amino sehingga terjadi penumpukan asetilkolin yang bersifat toksik terhadap
serangga.
Contoh: diisopropilfluorofosfat (dfp) dan malation

d. Senyawa as-organik dan hg-organik


Turunan as-organik seperti salvarsan dan karbarson yang digunakan
sebagai antibakteri dan turunan hg-organik seperti merkaptomerin dan
klormerodrin yang digunakan sebagai diuretik dapat mengikat gugus sulfhidril dari
enzim atau sisi reseptor membentuk ikatan kovalen dan menghasilkan hambatan
yang bersifar ireversibel sehingga enzim tidak dapat bekerja normal.

e. Asam etakrinat
Asam etakrinat merupakan senyawa diuretik yang strukturnya
mengandung gugus -keto tidak jenuh membentuk ikatan kovalen dengan gugus sh
dari enzim yang bertanggung jawab terhadap produksi energy yang diperlukan untuk
penyerapan kembali ion na+ di tubulus renalis. Ion na+ yang tidak diserap kembali
dikeluarkan dengan diikuti sejumlah air sehingga terjadi efek diuresis.

2. Ikatan Ion
Ikatan ion adalah ikatan yag dihasilkan oleh daya tarik menarik elektrostatik
antara ion-ion yang muatannya berlawanan. Kekuatan tarik-menarik akan makin
berkurang bila jarak antar ion makin jauh dan pengurangan tersebut berbanding terbalik
dengan jaraknya.
Makromolekul dalam sistem biologis berfungsi sebagai komponen reseptor yang
mengandung gugus protein dan asam nukleat yang bervariasi, mempunyai gugus kation
dan anion potensial tetapi hanya beberapa saja yang dapat terionisasi pada ph fisiologis.
Gugus kation protein berupa gugus amino yang terdapat pada asam-asam amino seperti
lisin glutamin, asparagine, arginine, glisin dan histidin.
Obat yang mengandung gugus kation potensial seperti r3nh+, r4n+ dan r2c=nh2+
maupun anion potensial seperti rcoo-, rso3 dan rcos- dapat membentuk ikatan ion dengan
gugus reseptor atau protein yang bermuatan berlawanan.
Senyawa turunan ammonium kuartener (n+r3)cl- seperti dekualinium klorida,
benzalkonium klorida dan setilpiridinium klorida menunjukan aktivitas bakteri dengan
cara kerja zat warna basa .
3. Interaksi ion-dipol dan dipol-dipol
Adanya perbedaan keelektronegatifan atom c dengan atom yang lain seperti o dan
n, akan membentuk distribusi elektron tidak simetrik atau dipol, yang mampu
membentuk ikatan dengan ion atau dipol lain, baik yang mempunyai daerah kerapatan
elektron tinggi maupun yang rendah.
Contoh: turunan metadon senyawa narkotik analgesic, strukturnya mengandung gugus n-
basa dan karbonil yang dalam larutan dapat membentuk siklik akibat adanya daya tarik
menarik dipol-dipol.

4. Ikatan hidrogen
Ikatan hidrogen adalah suatu ikatan antara atom h yang mempunyai muatan
positif parsial dengan atom lain yang bersifat elektronegatif dan mempunyai sepasang
elektron bebas dengan oktet lengkap seperti o, n, f. Atom yang bermuatan positif parsial
dapat berinteraksi dengan atom negatif parsial dari molekul atau atom lain yang berbeda
ikatan kovalennya dalam satu molekul.
Contoh : h2o
Ikatan hidrogen dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Ikatan hidrogen intramolekul yaitu ikatan yang terjadi dalam satu molekul.
b. Ikatan hidrogen intermolekul, yaitu ikatan hidrogen yang terjadi antar molekul-
molekul.
Kekuatan ikatan intermolekul lebih lemah disbanding ikatan intramolekul. Ikatan
hidrogen dapat mempengaruhi sifat-sifat kimia fisika senyawa seperti titik didih, titik
lebur, kelarutan dalam air, kemampuan pembentukan kelat dan keasaman.
Contoh:
a. Turunan pirazolon
1-fenil-3-metil-5-pirazolon mempunyai ikatan hidrogen intermolekul dan dapat
membentuk polimer linier dan menghasilkan tenaga ikat antar molekul yang
besar.
b. Turunan asam hidroksibenzoat
Asam orto-hidroksibenzoat mempunyai ikatan hidrogen intramolekul dan secara
efektif mengurangi aktivitas gugus oh dan cooh terhadap molekul air sehingga
kelarutan dalam air menurun.
c. Turunan ester asam hidroksibanzoat
Metil ester orto-hidroksibenzoat (metil salisilat) dapat membentuk ikatan
hidrogen intramolekul, gugus hidroksi fenol terlindung sehingga efek
antibakterinya lemah
Metil ester para-hidroksibenzoat (nipagin) dapat membentuk ikatan hidrogen
intermolekul. Penggabungan melalui ikatan hidrogen dapat membentuk senyawa
dimer dengan gugus hidroksi fenol masih bebas sehingga senyawa dapat
berfungsi sebagai antibakteri.
d. Turunan benzotiadiazin dan sulfamilbenzoat
Obat diuretik turunan benzotiadiazin seperti klorotiazid, hidroklorotiazid dan
hidroflumetiazid serta turunan sulfamilbenzoat seperti furosemide dan klortalidon
dapat memberikan efek diuretic karena mengandung gugus sulfamil bebas yang
mampu menduduki sisi aktif enzim sehingga dapat menghambat enzim karbonik
anhydrase melalui mekanisme penghambatan bersaing.

Ikatan hidrogen memegang peranan penting pada proses reproduksi sel dan
memelihara keutuhan adn dan arn. Ikatan hidrogen juga membantu kestabilan konformasi
-heliks peptide-peptida dan interaksi pasangan basa khas seperti purin dan pirimidin
pada adn. Obat antikanker tertentu seperti golongan senyawa pengalkilasi, dapat
mengalkilasi pasangan basa adn dan mencegah pembentukan ikatan hidrogen sehingga
replikasi normal dari adn tidak terjadi. Senyawa pengalkilasi dapat mengikat asam
nukleat dan protein secara ireversibel sehingga dapat menghambat proses biosintesis
protein sel dan berfungsi sebagai obat antikanker.
Contoh: mekloretamin, klorambusil, melfalam, siklofosfamid, busulfan, tiotepa,
antibiotika bleomisin dan mitomisin C.

5. Ikatan van der waals


Ikatan van der waals merupakan kekuatan tarik-menarik antar molekul atau atom
yang tidak bermuatan dan letaknya berdekatan atau jaraknya 4-6 . Ikatan ini terjadi
karena sifat kepolarisasian molekul atau atom. Meskipun secara individu lemah tetapi
hasil penjumlahan ikatan van del waals merupakan faktor pengikat yang cukup
bermakna terutama untuk senyawa-senyawa yang mempunyai berat molekul tinggi.
Ikatan van der waals terlibat pada interaksi cincin benzen dengan daerah bidang datar
reseptor dan pada interaksi rantai hidrokarbon dengan makromolekul protein atau
reseptor.
Contoh:
a. Cincin benzene yang mengandung 6 atom c dan mempunyai kekuatan ikatan yang
hamper sama dengan kekuatan ikatan hidrogen.
b. Turunan isatin--tiosemikarbazon, obat antivirus memiliki aktivitas yang
berhubungan dengan jari-jari van der waals dari subtituen pada posisi 5 dan 6.

6. Ikatan hidrofob
Ikatan hidrofob merupakan salah satu kekuatan penting pada proses
penggabungan daerah non polar molekul obat dengan daerah non polar reseptor biologis.
Daerah non polar molekul obat yang tidak larut dalam air dan molekul-molekul air
disekelilingnya akan bergabung melalui ikatan hidrogen membentuk struktur quasi-
crystalline (icebergs).
Bila dua daerah non polar seperti gugus hidrokarbon molekul obat dan daerah non
polar reseptor, bersama-sama berada dalam lingkungan air maka akan mengalami suatu
penekanan sehingga jumlah molekul air yang kontak dengan daerah-daerah non polar
tersebut menjadi berkurang. Akibatnya, struktur quaisi-crystalline akan pecah
menghasilkan peningkatan entropiyang digunakan untuk isolasi struktur non polar.
Peningkatan energy bebas ini dapat menstabilkan molekul air sehingga tidak kontak
dengan daerah non polar. Penggabungan tersebut disebut dengan ikatan hidrofob.

7. Transfer muatan
Kompleks yang terbentuk antara dua molekul melalui ikatan hidrogen merupakan
kasus khusus dari fenomena umum kompleks donor-aseptor, yang distabilkan melaui
daya tarik-menarik elektrostatis antara molekul donor elektron dan molekul aseptor
elektron.
Contoh: komplek transfer muatan n-metilpiridinum iodida
Menurut baker, kompleks transfer dikelompokan menjadi dua yaitu senyawa yang
berfungsi sebagai donor elektron dan sebagai aseptor elektron.
a. Transfer muatan sebagai donor electron yaitu:
Senyawa yang kaya -elektron seperti alkena, alkuna dan senyawa aromatic
yang tersubtitusi dengan gugus elektron donor.
Senyawa yang mempunyai pasangan electron sunyi seperti r-o:-h, r-o:-r, r-s:-r,
r-i:, r3n: dan r-s:-s-r, yang juga dapat berfungsi sebagai aseptor proton dalam
ikatan hidrogen.
b. Transfer muatan sebagai aseptor electron yaitu:
Senyawa yang kekurangan -elektron seperti 1,3,5-trinitrobensen,
tetrasianoetilen dan tetraklorobenzokuinon yang mempunyai gugus pendorong
electron sangat kuat.
Molekul mengandung hidrogen yang bersifat asam lemah seperti br3c-h, r-o-h,
ar-o-h, r-s-h dan imidazole-h yang juga dapat berfungsi sebagai donor proton
dalam ikatan hidrogen.
Makromolekul system biologis yang bekerja sebagai komponen reseptor
mempunyai gugus protein atau asam amino yang dapat membentuk komplek melalui
transfer muatan, yaitu:
a. Sebagai donor elektron seperti aspartate, glutamate, sistin, metionin, dan tirosin
(hanya cincin aromatik).
b. Sebagai aseptor elektron seperti sistein, arginine dan lisin.
c. Sebagai donor dan aseptor elektron seperti histidin, asparagin, glutamin, serin,
treonin, hidroksiprolin, triptofan, tirosin (hanya gugus oh) dan fenilalanin (hanya
cincin aromatik).
Molekul obat juga dapat membentuk kompleks melalui transfer muatan, antara lain:
a. Molekul obat yang bekerja sebagai donor elektron adalah:
Senyawa yang mengandung gugus anionik
Basa lemah tertentu
Senyawa sulfur yang netral
Beberapa senyawa nitrogen yang netral
Senyawa fosfor netral
Senyawa nitrogen netral
Senyawa halogen
Senyawa furan, pirol dan pirazol.
b. Molekul obat yang bekerja sebagai aseptor elektron adalah:
Asam-asam lemah
Beberapa senyawa fosfor netral
Senyawa yang mengandung gugus kationik
c. Molekul obat yang bekerja sebagai donor dan aseptor elektron
Beberapa senyawa yang mengandung gugus anionic
Basa lemah tertentu
Beberapa asam lemah
Senyawa nitrogen netral
Senyawa fosfor netral
Senyawa oksigen netral
Senyawa monosiklik heterosiklik
Senyawa lain seperti senyawa aromatic dan r2c=cr2.
Beberapa obat halusinogen, psikotomimetik, psikotropik, dan turunan indol
bersifat sebagai donor electron yang dapat membentuk kompleks melalui transfer muatan
dengan reseptor yang bersifat aseptor electron.

Respons biologis merupakan akibat interaksi molekul obat dengan gugus


fungsional molekul reseptor. Interaksi ini dapat berlangsung karena kekuatan ikatan
kimia tertentu.

Hubungan perubahan pH dengan aktifitas biologis asam dan basa lemah

Contoh: Fenol, suatu asam lemah, memberikan gambaran hubungan perubahan pH


dengan aktifitas biologis yang berbeda. Pada pH lebih kecil 4,5 aktifitas anti bakterinya
akan semakin meningkat, tetapi bila pH dinaikkan lebih besar 4,5 aktifitas akan menurun.
Hal ini terjadi sampai pada pH 10. pada pH lebih besar aktifitas akan meningkat lagi
karna fenol teroksidasi menjadi bentuk kuinon, yang juga mempunyai aktifitas bakteri
cukup besar. Sedikit perubahan struktur dapat menyebabkan perubahan yang bermakna
dari sifat ionisasi asam atau basa, dan hal ini akan mempengaruhi aktifitas biologis obat.
Besarnya efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah
reseptor khas yang diduduki molekul obat. Clark hanya meninjau dari segi agonis saja
yang kemudian dilengkapi oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari sisi antagonis. Jadi
respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat berupa :
a. rangsangan aktivitas (efek agonis )
b.pengurangan aktivitas (efek antagonis )

Ariens (1954) dan Stephenson (1959), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor
menjadi dua tahap yaitu :
a. Pembentukan komplek obat-reseptor
b.Menghasilkan respon biologis
Tetapan ini digunakan untuk menjawab fakta bahwa sebagian agonis menghasilkan
respon maksimum yang lebih kecil daripada respon maksimum terhadap agonis lain.
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat
menunjang afinitas interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk menimbulkan
respon biologis sebagai akibat pembentukan komplek. Proses interaksinya adalah sebagai
berikut:

Afinitas
O + R komplek OR respon biologis
Afinitas merupakan ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas
sangat bergantung dari struktur molekul obat dan sisi reseptor.

Efikasi
Efikasi (aktivitas instrinsik) adalah ukuran kemampuan obat untuk memulai
timbulnya respon biologis.
O + R < == > O-R respon (+):senyawa agonis (afinitas besar dan aktivitas instrinsik
=1)
O + R < == > O-R respon (-):senyawa antagonis(afinitas besar&aktivitas instrinsik =
0)
Teori Kecepatan
Croxatto dan Huidobro (1956) memberikan postulat bahwa obat hanya efisien
pada saat berinteraksi dengan reseptor.
Paton (1961) mengatakan bahwa efek biologis obat setara dengan kecepatan
kombinasi obat-reseptor dan bukan jumlah reseptor yang didudukinya. Di sini, tipe kerja
obat ditentukan oleh kecepatan penggabungan (asosiasi) dan peruraian (disosiasi)
komplek obat-reseptor dan bukan dari pembentukan komplek obat-reseptor yang stabil
Asosiasi Dissolusi
O + R < == > komplek (OR) > respon biologis
Senyawa dikatakan agonis jika memiliki kecepatan asosiasi (mengikat reseptor )
dan dissolusi yang besar. Senyawa dikatakan antagonis jika memiliki kecepatan asosiasi
(mengikat reseptor) dan dissolusi kecil. Di sini, pendudukan reseptor tidak efektif karena
menghalangi asosiasi senyawa agonis yang produktif.
Senyawa dikatakan agonis parsial jika kecepatan asosiasi dan dissolusinya tidak
maksimal. Konsep di atas ditunjang oleh fakta bahwa banyak senyawa antagonis
menunjukkan efek rangsangan singkat sebelum menunjukkan efek pemblokiran.
Pada permulaan kontak obat-reseptor, jumlah reseptor yang diduduki oleh
molekul obat masih relatif sedikit, kecepatan penggabungan obat-reseptor maksimal
sehingga timbul efek rangsangan yang singkat. Bila jumlah reseptor yang diduduki
molekul obat cukup banyak, maka kecepatan penggabungan obat-reseptor akan turun
sampai di bawah kadar yang diperlukan untuk menimbulkan respon biologis sehingga
terjadi efek pemblokiran

D. HUBUNGAN PERUBAHAN STRUKTUR DENGAN AKTIVITAS ADA


PROSES INTERAKSI OBAT-RESEPTOR

Reseptor obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup, mengandung gugus
fungsional atau atom-atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat spesifik, dapat
berinteraksi secara reversibel dengan molekul obat yang mengandung gugus fungsional
spesifik, menghasilkan respons biologis yang spesifik pula.
Interaksi obat-reseptor terjadi melalui dua tahap, yaitu:
1. Interaksi molekul obat dengan reseptor spesifik, Interaksi ini memerlukan afinitas
2. Interaksi yang dapat menyebabkan perubahan konformasi makromolekul protein
sehingga timbul respons biologis.

1. Teori Klasik
Crum, Brown dan Fraser (1869), mengatakan bahwa aktivitas biologis
suatu senyawa merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat
berinteraksi pada sistem biologis mempunyai sifat yang karakteristik.
Langley (1878), dari studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin,
memperkenalkan konsep reseptor yang pertama kali dan kemudian dikembangkan
oleh Ehrlich.
Ehrlich (1907), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep
sederhana tentang interaksi obat-reseptor yaitu corpora non agunt nisi fixata atau
obat tidak dapat menimbulkan efek tanpa mengikat reseptor.

2. Teori Pendudukan
Clark (1926), memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati
satu sisi reseptor dan obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebih agar tetap
efektif selama proses pembentukan kompleks.
Obat akan berinteraksi dengan reseptor membentuk kompleks obat-
reseptor. Clark hanya meninjau dari segi agonis saja yang kemudian dilengkapi
oleh Gaddum (1937), yang meninjau dari segi antagonis.
Respons biologis yang terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat
merupakan:
a. Rangsangan aktivitas (efek agonis)
b. Pengurangan aktivitas (efek antagonis)
Ariens (1954) dan Stephenson (1956), memodifikasi dan membagi
interaksi obat-reseptor menjadi dua tahap, yaitu:
a. Pembentukan kompleks obat-reseptor
b. Menghasilkan respons biologis

Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas
dapat menunjang afinitas interaksi obat-reseptor dan mempunyai efisiensi untuk
menimbulkan respons biologis sebagai akibat pembentukan kompleks obat
reseptor.

Afinitas Efikasi
O + R Kompleks O-R Respons biologis

O + R O-R Respons (+) : Senyawa agonis

O + R O-R Respons (-) : Senyawa antagonis

3. Teori Kecepatan
Croxatto dan Huidobro (1956), memberikan postulat bahwa obat hanya
efisien pada saat berinteraksi dengan reseptor. Paton (1961), mengatakan bahwa
efek biologis dari obat setara dengan kecepatan ikatan obat-reseptor dan bukan
dari jumlah reseptor yang didudukinya.

Asosiasi Disosiasi
O + R Kompleks O-R Respons biologis

Senyawa dikatakan agonis bila mempunyai kecepatan asosiasi atau sifat


mengikat reseptor besar dan disosiasi yang besar. Senyawa dikatakn antagonis
bila mempunyai kecepatan asosiasi sangat besar sedang disosiasi nya sangat kecil.
Senyawa dikatakan agonis parsial bila kecepatan asosiasi dan disosiasinya tidak
maksimal.

4. Teori Kesesuaian Terimbas


Menurut Koshland (1958), ikatan enzim (E) dengan substrat (S) dapat
menginduksi terjadinya perubahan konformasi struktur enzim sehingga
menyebabkan orientasi gugus-gugus aktif enzim.
(E) + (S) Kompleks E-S Respons biologis

5. Teori Ganguan Makromolekul


Belleau (1964), memperkenalkan teori model kerja obat yang disebut teori
gangguan makromolekul. Menurut Belleau, interaksi mikromolekul obat dengan
makromolekul protein (reseptor) dapat menyebabkan terjadinya perubahan bentuk
konformasi reseptor sebagai berikut:
a. Gangguan konformasi spesifik (Specific Conformational Perturbation = SCP)
b. Gangguan konformasi tidak spesifik (Non Specific Conformational
Perturbation = NSCP.
Obat agonis adalah obat yang mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat
mengubah struktur reseptor menjadi bentuk SCP sehingga menimbulkan respons
biologis.
Obat antagonis adalah obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik dan
dapat mengubah struktur reseptor menjadi bentuk NSCP sehingga
menimbulkan efek pemblokan.
Pada teori ini ikatan hidrofob merupakan faktor penunjang yang penting
pada proses pengikatan obat-reseptor.

6. Teori Pendudukan-Aktivasi
Ariens dan Rodrigues de Miranda (1979), mengemukakan teori
pendudukan-aktivasi dari model dua keadaan yaitu bahwa sebelum berinteraksi
dengan obat, reseptor berada dalam kesetimbangan dinamik antara dua keadaan
yang berbeda fungsinya, yaitu:
a. Bentuk teraktifkan (R*) : dapat menunjang efek biologis
b. Bentuk istirahat (R) : tidak dapat menunjang efek biologis
BAB III
KESIMPULAN

1. Faktor sterik yang ditentukan oleh stereokimia molekul obat dan permukaan sisi
reseptor, memegang peran penting dalam menentukan efisiensi interaksi obat-
reseptor. Oleh karena itu agar berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons
biologis, molekul obat harus mempunyai struktur dengan drajat kespesifikan tinggi.
2. Pada interaksi obat-reseptor ada dua nilai yang sangat penting yaitu distribusi muatan
elektronik dalam obat dan reseptor, serta bentuk konformasi obat dan reseptor.
3. Untuk memperoleh obat dengan aktivitas yang lebih tinggi, dengan efek samping atau
toksisitas yang lebih rendah dan bekerja lebih selektif, perlu dilakukan modifikasi
struktur molekul obat.
4. Sebagian besar obat yang termasuk golongan farmakologis sama, pada umumnya
mempunyai gambaran struktur tertentu. Gambaran struktur ini disebabkan oleh
orientasi gugus-gugus fungsional dalam ruang dan pola yang sama.
5. Hubungan antara struktur kimia dengan aktivitas biologis sering ditunjang oleh
konsep kelenturan reseptor. Pada beberapa tipe kerja biologis, jarak antar gugus-
gugus fungsional molekul dapat berpengaruh terhadap aktivitas biologis obat.
DAFTAR PUSTAKA

Siswando, dan Bambang Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Airlangga University Press.
Surabaya
Tim Penyusun. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik. Universitas Indonesia. Jakarta.
Anonim. 2004. Farmakologi dan Terapi. Edisi keempat. Gaya Baru. Jakarta

Siswandono dan Bambang Soekardjo. Eds. P. Prinsip-Prinsip Rancangan Obat , Surabaya


: Airlangga University Press, 1998
Tjay, Tan Hoan. 2002. Obat-Obat Penting. Edisi kelima. PT. Elex Media Kompotindo.
Jakarta
Tanu, Ian , 2007, Farmakologi dan Terapi, Ed.5 th, Jakarta, Departemen Farmakologi
dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai