Anda di halaman 1dari 5

Geografis Karo

Lingga

Desa

Negara Indonesia

Provinsi Sumatera Utara

Kabupaten Karo

Kecamatan Simpang Empat

Kodepos 22153

Lingga adalah salah satu desa yang menjadi daerah tujuan wisata di Kabupaten Karo Sumatera
Utara yang terletak di ketinggian sekitar 1.200 m dari permukaan laut, lebih kurang 15 km
dari Brastagi dan 5 km dari Kota Kabanjahe ibu kabupaten Karo.

2.1 Letak Geografis

Masyarakat Karo berada di daratan tinggi Tanah Karo yang sekarang menjadi wilayah
administratif Kabupaten Karo. Secara geografis letak Kabupaten Karo berada diantara 250-
319 Lintang Utara dan 9755-9838 Bujur Timur dengan luas 2.127,25 Km. Wilayah
Kabupaten Karo berada pada ketinggian 120-1400 M di atas permukaan laut. Kabupaten Karo
memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang

Sebelah Selatan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir

Sebelah Timur dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun

Sebelah Barat dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam

Kabanjahe merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Karo. Luas wilayah
Kecamatan Kabanjahe adalah 44,65 km2, sebagian besar dari wilayah kecamatan ini digunakan
sebagai tempat pemukiman penduduk, lahan pertanian dan perkebunan. Kabanjahe memiliki
batas-batas wilayah, yaitu:
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Berastagi

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat

Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Munte

Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tigapanah

Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari BPS Kab. Karo, Kecamatan Kabanjahe
memiliki jumlah penduduk sebanyak 56.516 jiwa dengan 20.580 kepala keluarga dan terdiri dari
beraneka ragam etnis seperti Karo, Jawa, Minang, Batak Toba dan lainnya. Sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, kecamatan Kabanjahe memilki 13 desa/ kelurahan yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Desa Lau Simomo

b) Desa Kandibata

c) Desa Kacaribu

d) Desa Lau Cimba

e) Desa Padang Mas

f)Desa Gung Leto

g) Desa Gung Negeri

h) Desa Samura

i)Desa Ketaren

j)Desa Kampung Dalam

k) Desa Rumah Kabanjahe

l)Desa Kaban

m) Desa Sumber Mufakat

Asal Usul Masyarakat Karo

2.2 Asal Usul Masyarakat Karo

Berbicara mengenai bagaimana dan dari mana sebenarnya asal mula terbentuknya suku
Karo, hingga saat ini kelihatannya masih perlu dikaji lebih dalam. Banyak pendapat yang
disampaikan oleh para ahli dan tokoh, tetapi masih dalam perkiraan menurut legenda dan silsilah
cerita lisan.

Di dalam buku Leluhur, Marga-marga Batak Dalam Sejarah, Silsilah dan Legenda, Drs.
Richard Sinaga menulis bahwa semua etnis Batak berasal dari keturunan si Raja Batak yang
merupakan cikal-bakal suku Batak dan kemudian berkembang menjadi suku Batak dan kemudian
berkembang menjadi sub etnis, yaitu: Toba, Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak dan Angkola,
bahkan etnis Nias juga disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan Batak, sekalipun bahasa suku
Nias sangat jauh berbeda dari bahasa etnis batak lainnya.
Menurut silsilahnya, si Raja Batak memiliki tiga orang anak yakni Guru Tateambulan, Raja
Isumbaon, dan Toga Laut. Dari Guru Tateambulan kemudian pada generasi IV lahir keturunannya
yang merupakan lima induk marga Batak Toba yakni: Lontung, Borbor, Naiambaton, Nairasaon,
dan Naisuanon. Sedangkan dari Raja Isumbaon lahir tiga orang keturunannya yakni: Tuan
Sorimangaraja, Raja Asi-asi, dan Sangkar Somalindang. Konon dua orang anak laki-laki Raja
Isumbaon yaitu Raja Asi-asi dan Sangkar Somalindang pergi merantau ke Dairi dan kemudian ke
Tanah Karo. Diperkirakan salah satu dari mereka atau salah satu dari generasi mereka itulah
bernama Nini Karo yang menjadi leluhur Batak Karo. Tetapi tidak disebutkan dari generasi
keberapa Nini Karo lahir.

Sementara itu, Bapak Kol. (Purn) Sempa Sitepu dalam buku Sejarah Pijer Podi, Adat
Nggeluh Suku Karo Indonesia menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si Raja
Batak. Ia mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari cerita lisan secara turun temurun
dan sampai kepada beliau yang didengar sendiri dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838.
Menurutnya, leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan dengan Mianmar. Seorang
Maha Raja berangkat dengan rombongan yang terdiri dari anak, istri (dayang-dayang), pengawal,
prajurit, beserta harta dan hewan peliharaannya. Ia bermaksud mencari tempat baru yang subur
dan mendirikan kerajaan baru. Tidak disebutkan kapan peristiwa itu terjadi, namun dikatakan
seorang pengawalnya yang sakti bernama si Karo, yang kemudian kawin dengan salah satu putri
Maha Raja yang bernama Miansari. Didalam perjalanan mereka diterpa angin ribut dan
rombongan ini menjadi terpencar dan akibatnya ada yang terdampar dipulau (Berhala). Dalam
peristiwa itulah si Karo dan Miansari berpisah dari rombongan yang terdiri dari tujuh orang.
Menggunakan rakit kemudian rombongann sampai disebuah pulau yang diberi nama
Perbulawanen yang berarti perjuangan yang sekarang dikenal sebagai daerah Belawan. Dari
sana mereka terus menelusuri sungai Deli dan Babura dan akhirnya sampai disebuah gua Umang
di Sembahe. Setelah beberapa waktu mereka tinggal didataran tinggi itu dan merasa cocok
akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal disana. Dan dari sanalah asal mula perkampungan
didataran tinggi Karo.

Dari perkawinan si Karo (nenek moyang Karo) dengan Miansari lahir tujuh orang anak.
Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik,
Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti
berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang
Karo yang berasal dari ayah (pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal
dari kata diberu yang berarti perempuan.

Merga akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon merupakan
saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan Cimata kemudian lahir lima
orang anak laki-laki yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:

1. Karo. Diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah tiada Karo
sebagai gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama leluhurnya tidak hilang.

2. Ginting, anak kedua.

3. Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang paling hitam
diantara saudaranya.

4. Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir angin berhembus


dengan kencangnya (angin puting-beliung).

5. Tarigan, anak bungsu.


2.4 Sistem Agama Dan Kepercayaan.

Masyarakat di kecamatan Kabanjahe pada umumnya telah memeluk beberapa agama yang
diakui di Indonesia, yaitu: Islam, Khatolik, Kristen Protestan dan Budha. Penduduk di kecamatan
Kabanjahe mayoritas memeluk agama Kristen Protestan dan selebihnya adalah agama lain. Ada
beberapa tempat pelaksanaan ibadah di kecamatan Kabanjahe yaitu Gereja/ Capel, Mesjid, dan
Vihara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel.5. Komposisi
Penduduk Menurut
Agama.

No Agama dan Jumlah


Kepercayaan
1. Islam 11.480 jiwa

2. Katholik 9.576 jiwa

3. Kristen Protestan 32.693 jiwa

4. Budha 771 jiwa

5. Lainnya 31 jiwa

Sumber: Kantor Camat Kabanjahe Tahun 2010

No Nama Tempat Jumlah


Ibadah
1. Mesjid 22 unit

2. Gereja 55 unit

3. Vihara 1 unit

Sumber: Kantor Camat Kabanjahe Tahun 2010


Barusjahe

Kecamatan

Peta lokasi Kecamatan Barusjahe

Negara Indonesia

Provinsi Sumatera Utara

Kabupaten Karo

Pemerintahan

Camat -

Luas 138.04km

Jumlah penduduk 17.777

Kepadatan 139 jiwa/km

Desa/kelurahan 19

Anda mungkin juga menyukai