Anda di halaman 1dari 3

4.

Sistem ZO
Pada uggas (ayam, itik dan sebagainya) susunan kromosomnya lain lagi. Yang
betina hanya memiliki sebuah kromosom kelamin saja, tetapai bentuknya lain dengan
yang dijumpai pada belalang. Karena itu ayam betina adalah ZO (heterogametik). Ayam
jantan memiliki sepasang kromosom kelamin yang sama bentuknya, maka menjadi ZZ
(homogametik). Jadi spermatozoa ayam hanya satu macam saja, yaitu membawa
kromosom kelamin Z, sedang sel telurnya ada dua macam, mungkin membawa
kromosom Z dan mungkin juga tidak memiliki kromosom kelamin sama sekali.

5. System Haploid-Diploid
Pada beberapa spesies Hymenoptera seperti semut, lebah, dan tawon, individu
jantan berkembang dengan cara partenogenesis, yaitu terbentuknya makhluk dari sel telur
tanpa didahului oleh pembuahan. Oleh karena itu, individu jantan ini hanya memiliki
sebuah genom atau perangkat kromosomnya haploid.
Lebah madu jantan misalnya, bersifat haploid, yang memiliki 6 buah kromosom.
Sel telur yang yang dibuahi oleh spermatozoon akan menghasilkan lebah madu betina
yang berupa lebah ratu dan pekerja, masing-masing bersifat diploid dan memiliki 32
kromosom. Karena perbedaan tempat dan makanan, maka lebah ratu subur (fertil),
sedangkan lebah pekerja mandul (steril).
Sementara itu, individu betina dan golongan pekerja, khususnya pada lebah,
berkembang dari telur yang dibuahi sehingga perangkat kromosomnya adalah diploid.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partenogenesis merupakan sistem penentuan
jenis kelamin yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kromosom kelamin
tetapi hanya bergantung kepada jumlah genom (perangkat kromosom).

B. GEN TUNGGAL DAN PENENTUAN JENIS KELAMIN


Penentuan jenis kelamin pada beberapa makhluk hidup dipengaruhi oleh kegiaran
yang berlainandari gen-gen tunggal. Tanaman jagung (zea mays) misalnya, merupakan
tanaman berumah satu (bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu tanaman). Jika
gen (ba) homozigotik, maka tongkol yang biasanya merupakan bunga betina akan
berubah membentuk struktur benang sari. Sebaliknya bila gen (ts) homozigotik maka
malai yang biasanya merupakan bunga jantan berubah membentuk struktur seperti putik
dan tidak menghasilkan serbuk sari. Tanaman dengan genotip babatsts adalah jantan.
Peristiwa ini menunjukkan tanaman berumah satu dapat berubah menjadi tanaman
berumah dua atau kebalikannya, sebagai aakibat adanya mutasi dari dua buah gen dalam
hal ini Bb menjadi bb dan Ts menjadi ts.
Misalnya pada aves, jenis kelaminnya dapat diidentifikasi menggunakan beberapa
pendekatan, diantaranya: (a) pengamatan tingkah laku, (b) adanya brooding patch, (c)
perbedaan dalam pola morfometrik, (d) pemeriksaan gonad menggunakan laparoscopy,
dan (e) pemeriksaan kromosom jenis kelamin. Metode pertama dan kedua dapat
diterapkan secara umum hanya pada musim kawin, dan analisis morfometrik dapat
menimbulkan bias. Pemeriksaan gonad sulit dilakukan di luar musim kawin (ketika
gonad mengecil) dan karena ukuran tubuh Aves yang relatif kecil dibandingkan dengan
ternak lainnya (Dubiec dan Zagalska-Neubauer, 2006).
Secara umum, determinasi jenis kelamin pada Aves cukup sulit sebelum dewasa.
Namun, pada jenis-jenis monomorfik hal ini sulit dilakukan meskipun telah melewati
masa pubertas. Beberapa jenis Aves seperti ayam, kalkun, itik, angsa, burung hantu dan
burung paruh bengkok sulit untuk diidentifikasi jenis kelaminnya secara morfologis
(Griffiths dan Tiwari, 1995; Griffiths et al., 1998). Teknik PCR dengan menggunakan
primer spesifik untuk penentuan jenis kelamin telah diketahui dapat digunakan sebagai
penentu jenis kelamin burung monomorfik (Ellegren, 1996). Teknik ini dapat mendeteksi
adanya kromosom W dan Z melalui gen yang berada 9 pada kedua kromosom tersebut,
yaitu gen Chromodomain Helicase DNA-binding (Ellegren, 2001; Dubiec dan Zagalska-
Neubauer, 2006; Cerit dan Avanus, 2007).

C. PENENTUAN JENIS KELAMIN DAN LINGKUNGAN LUAR


Pada beberapa hewan tingkat rendah, penentuan jenis kelamin tidak genetic
melainkan tergantung dari lingkungan luar. Individu jantan dan betina mempunyai
genotif yang sama, tetapi suatu rangsang dari sumber lingkungan menentukan
pertumbuhan kelamin jantan atau betina. Contohnya cacing laut Bonnelia yang jantan
kecil, mengalami degenerasi dan hidup didalam rahim cacing betina yang besar. Semua
alat dari cacing jantan mengalami degenerasi kecuali alat reproduksi, sehingga dapat
membuahi sel telur dari cacing betina.
F.Baltzer dalam penyelidikannya menemukan bahwa setiap cacing yang
didapatkan dari sel telur yang terisolir akan menjadi cacing betina.Jika cacing yang baru
menetas dilepaskan didalam air yang mengandung cacing-cacing betina dewasa,maka
beberapa cacing muda tadi tertarik oleh cacing dewasa betina itu dan hidup didalam
rahim cacing betina.
Cacing muda itu berubah menjadi cacing jantan. Diduga bahwa faktor genetik
untuk kedua jenis kelamin itu terdapat pada cacing muda.Ekstrak dari uterus cacing
betina akan mempengaruhi cacing-cacing muda untuk berkembang menjadi cacing-
cacing jantan.

Anda mungkin juga menyukai