Anda di halaman 1dari 38

6

BAB 2

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Fraktur

1. Definisi Fraktur

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik

(Price dan Wilson, 2006). Menurut Brunner Suddarth (2013) fraktur adalah gangguan

komplet atau tak komplet pada kontinuitas struktur tulang dan didefinisikan sesuai

dengan jenis dan keluasannya.

Fraktur pelvis adalah terputusnya hubungan tulang pelvis, baik tulang pubis

atau tulang ileum yang disebabkan oleh suatu trauma. Fraktur pelvis menyebabkan

kurang dari 5% pada semua cedera rangka, tetapi cedera ini sangat penting karena

tingginya insidensi cedera jaringan lunak yang menyertainya dan risiko kehilangan

darah yang hebat, syok, sepsis, serta sindrom gangguan pernapasan pada orang

dewasa (ARDS). Dua pertiga dari pelvis panggul terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.

Sepuluh persen di antarannya disertai trauma pada alat-alat rongga panggul seperti,

bull-bull, rectum, serta pembuluh darah dengan angka mortalitas sekita 10%.

2. Klasifikasi fraktur

Klasifikasi fraktur pelvis menurut Julia & Peter (2011)

a. Tipe A Fraktur displaced yang stabil dan minimal

1) Tipe A1 fraktur tidak mencakup cincin pelvis


7

Pada kondisi ini, intregitas cincin pelvis dipertahankan. Bila fraktur bersifat

minor dengan memar minimal dan nyeri yang mudah ditangani, pasien mungkin tidak

perlu dirawat di rumah sakit.

Fraktur pada sayap ilium, yang biasanya di sebabkan oleh pukulan langsug,

tidak menggangu mekanisme penopang berat. Observasi yang cermat dapa area

tersebut sangat penting untuk memantau adanya kehilangan darah yang banyak

sehingga hospitalisasi diperlukan untuk mengganti cairan, analgesia, tirah baring, dan

kemungkinan intervensi bedah. Perawat dapat memotivasi pasien untuk bergerak bila

pelvis telah stabil dan nyeri terkontrol.

a) Fraktur Avulsi adalah cedera kontraksi otot yang tiba-tiba. Muskulus Sartorius

dapat menarik spina iliaca anterior superior, rektus femoris menarik spina iliaca

anterior inferior , adductor longus menarik sepotong pubis, dan urat-urat lurik

menarik bagian-bagian iskium. Paling baik ditangani dengan istirahat, pemberian

kenyamanan, dan analgesia. Memar, bengkak dan ekimosis menyebabkan

beberapa gerakan duduk menjadi tidak nyaman.

Penopang berat parsial atau tanpa penopang berat dianjurkan sampai nyeri

terkontrol atau berkurang, kemudian mobilisasi bertahap ditingkatkan untuk

menguatkan otot yang cedera dan mencegah cedera berulang. Beberapa pasien

mengalami nyeri tekan atau nyeri hebat selama beberapa bulan dan memerlukan

penegasan bahwa kondisi tersebut normal.

b) Fraktur-tekanan, fraktur pada rami pubis cukup sering ditemukan dan sering

dirasakan tidak nyeri. Pada pasien osteoporosis dan osteomalasia yang berat. Yang
8

lebih sulit didiagnosis adalah fraktur-tekanan disekitar sendi sacroiliaca. Ini

adalah penyebab nyeri sacroiliaca yang tak lazim pada orangtua yang menderita

osteoporosis.

2) Tipe A2 Fraktur stabil pada cincin pelvis, pergeseran minimal

Fraktur atau kerusakan sendi yang jelas bergeser, dan semua fraktur cincin ganda

yang jelas, bersifat tak stabil. Perbedaan ini lebih bernilai praktis daripada

klasifikasi kedalam fraktur cincin tunggal dan ganda. Dalam hal ini fraktur yang

kelihatan tidak mengalami pergeseran dan cincin bersifat stabil.

Pasien dirawat untuk observasi urologi dengan penanganan simtomatik atau

fiksasi internal bila diperlukan secara klinis.

b. Tipe B fraktur stabil vertical, tak stabil rotasional

1) Tipe B1 kompresi anterior-posterior disertai gangguan dan pelebaran simfisis

pubis

Hal ini biasanya akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki dengan kendaraan.

Ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah dan mengalami rotasi

eksterna disertai robekan simfisis. Keadaan ini disebut sebagai open book injury.

Simfisis pubis yang terganggu mungkin tidak pulih dengan baik sehingga dapat

menimbulkan kelemahan pada area tersebut.

2) Tipe B2 kompresi unilateral (ipsilateral)

Kompresi unilateral menyebabkan fraktur rami pada satu sisi. Kompresi dari

samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan. Hal ini terjadi apabila

ada trauma samping karena kecalakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Pada
9

keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya mengalami fraktur dan

bagian belakang terdapat strain dari sendi sakroiliaka atau fraktur ilium atau dapat

pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.

3) Tipe B3 Kompresi bilateral (kontralateral) cedera kompresi

Kompresi bilateral akibat terjatuh dengan bertumpu pada satu sisi atau kompresi

remuk, iskium dan rami pubis mengalami fraktur pada satu sisi, disertai fraktur

kedua di sepanjang sacrum atau sendi sakroiliaka pada sisi yang berlawanan.

c. Tipe C fraktur tak stabil vertical dan rotasional

Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan pada ligament

posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua sisi dan pergeseran

vertical pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga terdapat fraktur acetabulum.

1) Tipe C1 Unilateral

2) Tipe C2 Bilateral

3) Tipe C3 berkaitan dengan fraktur asetabulum

3. Etiologi

Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:

a. Cidera atau benturan

b. Fraktur patologik Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah

menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.

c. Fraktur beban Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang

baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam

angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
10

4. Manifestasi klinik

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,

pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.

a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di

imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah

yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung

bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan

deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan membandingkan dengan

ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena

fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.

c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena

kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

d. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang

dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang

lainya.

e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari

trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi

setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Smelzter dan Bare, 2006).

Manifestasi klinik menurut Tipe:


11

a. Cidera tipe A: tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila berusaha

berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat kerusakan pada viscera

pelvis. Foto polos pelvis dapat mempelihatkan fraktur.

b. Cidera tipe B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat

berdiri, tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri

tekan dapt bersifat local tapi sering meluas, dan usaha menggerakkan satu atau

kedua iskium akan sangat nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalamai anastetik

sebagian karena mengalami cidera saraf skiatika. Cidera ini sangat hebat sehingga

membawa resiko tinggi terjadinya kerusakan visceral, perdarahan di dalam perut

dan retroperitoneal, syok, sepsis dan ARDS. Angka kematian juga cukup tinggi.

5. Patofisiologi

Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak

terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur

terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena

perlukaan di kulit (Smelter dan Bare, 2006). Sewaktu tulang patah perdarahan

biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang

tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan

biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi

menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast

terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin

direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang

sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan
12

dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke

ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol

pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total

dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan

otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth,

2013).

Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak

seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur

tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan

pembuluh darah (Smeltzer dan Bare, 2006). Pasien yang harus imobilisasi setelah

patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena

penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila

sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan

diri (Carpenito, 2007).


6. WOC
Trauma Langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

FrakturPelvis

Trauma pada tulang panggul Trauma luar jaringan lunak Trauma pada alat-alat dalam rongga panggul

Breathing Blood Brain Bladder Bowel Bone


Trauma Trauma Deformitas
Thrombosis Luka, Paralisis Trauma Trauma Respon
pembuluh uretra, kerusakan
vena ilio- pemben ekstremitas pada rektum nyeri
darah buli- fragmen tulang
femoral gkakan bawah saraf
buli Ganggu Respon
Perdarahan
Risiko Risiko Kelemahan Lesi an Mual & Respon Hambatan
Fisik umun pleksus Hematuri, defekasi muntah
Syok trauma tinggi Nyeri hebat mobilitas
lumbosa nyeri,
(injury) infeksi dan akut fisik
kralis retensi Asupan
Hipoventilasi urine Gangguan nutrisi
Perubahan Defisit eleminasi Nyeri Penekann
Disfung tidak
Ketidakefektifan proses perawatan Alvi jaringan
si adekuat
pola nafas keluarga diri setempat
seksual
Gangguan
eleminasi Ketidakseimba
Ketidakefektifan ngan nutrisi Kerusakan
urine integritas
koping individu
kulit
Ansietas

13
14

7. Pemeriksaan Penunjang trauma pelvis

a. Pemeriksaan Sinar X: digunakan untuk skrining awal, dapat memperlihatkan

fraktur pada rami pubis, fraktur ipsilateral atau kontra lateral pada elemen

posterior, pemisahan simfisis, kerusakan pada sendi sacroiliaca atau kombinasi.

b. Computer Tomography (CT) Scan: mengidentifikasi abnormalitas tulang, erosi,

perubahan ruang sendi, dan trauma jaringan lunak, yang meliputi hematoma

retroperitoneal.

c. Scan Tulang: mengidentifikasi peningkatan tekanan pada sendi mekanis, fraktur,

infeksi, perubahan metabolisme, dan neoplasma.

d. Magnetic resonance imaging (MRI): memungkinkan pengkajian struktur otot,

kartilago, dan ligament serta efektif untuk mengidentifikasi kondisi inflamasi

pelvis dan tumor jaringan lunak dengan cepat.

e. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi) atau

menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma

multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma

f. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

g. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse

multiple, atau cedera hati.

h. Pemeriksaan urologis dan lainnya: Kateterisasi, Ureterogram, Sistogram retrograd

dan postvoiding, Pielogram intravena, Aspirasi diagnostik dengan lavase

peritoneal

8. Penatalaksanaan
15

Menurut Mansjoer (2008) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus

dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi,

dan rehabilitasi.

a. Rekognisi (Pengenalan)

Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa

dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri

sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas

integritas rangka.

b. Reduksi (manipulasi/ reposisi) Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk

memanipulasi fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi

seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga

kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan

reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera

mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi

karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi

semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2008)

c. Retensi (Immobilisasi)

Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti

semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus

diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai

terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau

interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,

pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk
16

fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.

Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan

fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus

menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin

tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik

ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi

juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2008).

d. Rehabilitasi

Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari

atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai

melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan

mobilisasi (Mansjoer, 2008).

Penatalaksanaan Trauma Pelvis

a. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat alat dalam rongga panggul

b. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:

1) Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat,

traksi, pelvic sling

2) Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi yang

dikembangkan oleh grup ASIF

Berdasarkan klasifikasi Tile:

a. Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang

dikombinasikan dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan

lebih nyaman dan bisa menggunakan penopang. Menurut Julia & Peter (2011)
17

penanganan simtomatik konservatif mencakup tirah baring, observasi, analgesia,

mobilisasi bertahap dengan kruk, penopang berat parsial dilanjutkan dengan

penopang berat penuh. Fiksasi internal bila terjadi pergeseran 2 cm atau lebih.

b. Fraktur Tipe B:

Fraktur tipe openbook: Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara

beristirahat ditempat tidur, kain gendongan posterior atau korset elastis. Jika celah

lebih dari 2.5cm dapat ditutup dengan membaringkan pasien dengan cara miring

dan menekan ala ossis ilii menggunakan fiksasi luar dengan pen pada kedua ala

ossis ilii.

Fraktur tipe closebook: Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa

fiksasi apapun bisa dilakukan, akan tetapi bila ada perbedaan panjang kaki

melebihi 1.5cm atau terdapat deformitas pelvis yang nyata maka perlu dilakukan

reduksi dengan menggunakan pen pada krista iliaka.

c. Fraktur Tipe C: C-Clamp untuk stabilisasi awal, kemudian fiksasi internal. Traksi

tungkai skeletal diperlukan bila gangguan asetabulum tidak dapat ditangani

melalui pembedahan. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi kerangka yang

dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur sekurang

kurangnya 10 minggu. Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi

secara terbuka dan mengikatnya dengan satu atau lebih plat kompresi dinamis.

9. Komplikasi Fraktur Pelvis

a. Komplikasi segera

1) Trombosis vena ilio femoral : sering ditemukan dan sangat berbahaya. Berikan

antikoagulan secara rutin untuk profilaktik.


18

2) Robekan kandung kemih : terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan

dari bagian tulang panggul yang tajam.

3) Robekan uretra : terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada daerah uretra

pars membranosa.

4) Trauma rektum dan vagina

5) Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan masif sampai

syok.

6) Trauma pada saraf :

a) Lesi saraf skiatik : dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi. Apabila

dalam jangka waktu 6 minggu tidak ada perbaikan, maka sebaiknya dilakukan

eksplorasi.

b) Lesi pleksus lumbosakralis : biasanya terjadi pada fraktur sakrum yang bersifat

vertikal disertai pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila

mengenai pusat saraf.

b. Komplikasi lanjut

1) Pembentukan tulang heterotrofik : biasanya terjadi setelah suatu trauma jaringan

lunak yang hebat atau setelah suatu diseksi operasi. Berikan Indometacin sebagai

profilaksis.

2) Nekrosis avaskuler : dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah

trauma.

3) Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder : apabila terjadi fraktur

pada daerah asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat, sedangkan sendi
19

ini menopang berat badan, maka akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan

memberikan gangguan pergerakan serta osteoartritis dikemudian hari.

4) Skoliosis kompensator

10. Pengkajian Fokus

Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur merujuk

pada teori menurut Doenges (2010) dan Muttaqin (2008) ada berbagai macam

meliputi:

a. Riwayat penyakit sekarang

Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang pelvis akibat

kecelakaan lalu lintas, kecelakaan industry, dan kecelakaan lain, seperti jatuh dari

pohon atau bangunan. Pengkajian yang didapat meliputi nyeri, paralisis

ekstremitas bawah, perdarahan sampai syok, kerusakan alat kelamin dan rectum,

ileus paralitik, retensi urine, dan pada keadaan tertentu klien mengalami ARDS

(Adult Respiratory Distress Sundrome)

b. Riwayat penyakit dahulu

Penyakit tertentu seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis seperti

osteoporosis dan osteomielitis yang memungkinkan terjadinya kelainan pada

panggul. Penyakit lainnya, seperti hipertensi, riwayat cedera panggul, diabetes

mellitus, penyakit jantung, anemia, obat-obat tertentu yang sering digunakan klien

perlu ditanyakan pada klien dan keluarga.

c. Riwayat penyakit keluarga


20

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang pelvis adalah salah satu

faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada

beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.

d. Pemeriksaan Fisik. Setelah melakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan

klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian

anamnesa.

1) Keadaan umum, klien yang mengalami cedera panggul umunya tidak mengalami

penurunan kesadaran. Periksa adanya perubahan tanda-tanda vital, yang meliputi

bradikardi, hipotensi, dan tanda-tanda dari neurogenic syok terutama pada trauma

pada serviksl dan thoraks bagian atas.

2) B1 (Breathing), karena adanya perubahan pada sistem pernafasan yang disertai

banyaknya perdarahan dan syok.

a) Inspeksi : klien batuk, peningkatan sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu

pernafasan, peningkatan frekuensi pernafasan, retraksi interkostal, serta

penembangan paru tidak simetris. Ketidakseimbangan ini menunjukkan adanya

atelaktasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, dan

pneumothoraks.

b) Palpasi : penurunan fremitus dibandingkan dengan sisi yang lainnya apabila

terjadi trauma pada rongga dada.

c) Perkusi : didapatkan suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi pada thorak

dan hemothoraks.
21

d) Auskultasi : suara nafas tambahan seperti stridor dan ronki pada klien dengan

peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk menurun hal ini terjadi pada

klien cedera panggul yang mengalami penurunan tingkat kesadaran (koma).

Pada klien cedera panggul dengan fraktur yang tidak berat, pemeriksaan system

pernapasan dan inspeksi pernpasan tidak menunjukkan kelainan. Pada palpasi

toraks, didapatkan taktil fremitus kanan dan kiri seimbang. Pada auskultasi tidak

didapatkan suara napas tambahan.

3) B2 (Blood), didapatkan renjatan (syok hipovolemik atau syok hemoragik) yang

sering terjadi pada pasien dengan cedera panggul dari sedang hingga berat.

Tekanan darah menurun, bradikardi tanda perubahan perfusi jaringan otak,

berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, dan ekstremitas dingin

atau pucat menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hal ini

akan merangsang hormon anti diuretik yang berdampak pada kompensasi tubuh

untuk melakukan retensi atau pengeluaran garam dan air oleh tubulus.

Mekanisme ini akan meningkatkan konsentrasi elektroit sehingga terjadi

gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskuler.

4) B3 (Brain)

Tingkat kesadaran klien cedera panggul yang tidak berat adalah compos mentis.

Pemeriksaan fungsi serebral, status mental, observasi penampilan,tingkah laku,

gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien.

a) Pemeriksaan saraf kranial:

Saraf I tidak ada kelainan,pada funsi penciuman juga tidak ada kelainan.

Saraf II Ketajaman penglihatan normal


22

Saraf III, IV, VI Tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata

Saraf V Tidak ada paralysis pada otot wajah, reflek kornea tidak ada kelainan.

Saraf VII Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.

Saraf VIII tidak ditemukan tuli konduktif tuli persepsi.

Saraf IX dan X kemampuan menelan baik.

Saraf XI tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

Saraf XII indera pengecapan normal.

b) Pemeriksaan reflek, Reflek Archilles menghilang, reflek patela menurun:

Pemeriksaan sensorik, klien kehilangan sensitibilitas pada kedua bokong,

perineum, dan anus.

5) B4 (Bladder) klien trauma panggul anterolateral yang mengenai kandung kemih

mengalami hematuria, nyeri berkemih, deformitas pada pubis, sampai alat

kelamin sehingga mengganggu miksi. Pada hal ini tidak boleh dipasang kateter.

Karena merupakan kontraindikasi apabila terjadi ruptur uretra.

6) B5 (Bowel), pada keadaan trauma panggul kombinasi yang mencederai alat dala

abdomen, sering dijumpai ileus paralitik. Manifestasi klinis menunjukkan

menghilangnya bising usus, kembung dan tidak adanya defekasi. Pemenuhan

nutrisi berkurang karena mual.

7) B6 (Bone), paralisis motoric ekstremitas bawah biasanya terjadi apabila trauma

panggul juga mengompresi sacrum. Gejala gangguan motoric sesuai dengan

distribusi segmental dari saraf yang terkena.

a) Look pada inspeksi perineum, biasanya didapatkan bengkak, perdarahan dan

deformitas pada panggul.


23

b) Feel kaji adanya derajad ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada

simfisis pubis dan anus.

c) Move disfungsi motorik yakni kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas bawah.

e. Diagnosis Keperawatan

1) Nyeri akut berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang panggul, cedera

neuromyskular, dan reflex spasme otot sekunder.

2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular

3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

mula muntah dan peningkatan kebutuhan metabolisme

4) Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan penurunan kesadaran dan

hambatan mobilitas fisik

5) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan trauma pada kandung kemih dan

ureter

6) Gangguan eleminasi alvi berhubungan dengan kerusakan anatomis rectum

7) Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik ektremitas bawah

8) Risiko infeksi berhubungan dengan adanya port entry luka terbuka pada daerah

pinggul

9) Risiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan imobilisasi dan tidak

adekuatnya sirkulasi perifer

10) Risiko tinggi ketidakefektifan koping individu yang berhubungan dengan

disfungsi seksual, prognosis kondisi sakit, program pengobata, tirah baring lama

11) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, ancaman terhadap konsep diri,

perubahan status kesehatan/stasus ekonomi/fingsi peran


24
25

f. Intervensi Keperawatan

Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan


Nyeri Akut NOC: Pain control NIC: Menejemen nyeri
berhubungan dengan
pergerakan fragmen Indikator: 1. Mengkaji secara komprehensif
tulang panggul, cedera - Mendeskripsikan faktor nyeri meliputi lokasi,
neuromyskular, dan penyebab nyeri (1-5) frekuwensi, kualitas, durasi
reflex spasme otot - Monitor tanda nyeri (1- dan waktu terjadinya nyeri
sekunder. 5) 2. Kaji nonverbal dari
- Gunakan analgesik ketidaknyamanan
Definisi: sensori yang yang di anjurkan (1-5) 3. Kaji ungkapan pasien tentang
tidak menyenangkan - Catat kontrol nyeri (1- faktor penyebab nyeri dan
dan pengalaman 5) teknik menurunkan nyeri.
emosional yang muncul 4. Ajarkan teknik
secara aktual atau nonfarmakologi untuk
potensial kerusakan mengurangi nyeri
jaringan atau 5. Beri edukasi tentang penyakit
menggambarkan adanya 6. Gunakan teknik farmakologi
kerusakan. untuk mengurangi nyeri

Domain 12, class 1


Hambatan mobilitas NOC NIC
fisik
a.Joint Movement : Exercise therapy : ambulation
Definisi: keterbatasan active
dalam pergerakan fisik b.Mobility level a. Monitoring vital sign sebelum
c.Self care : ADLs dan sesudah latihan dan lihat
mandiri dan terarah pada respon pasien saat latihan
d.Transfer Performance
tubuh atau satu Kriteria Hasil : b. Kaji kemampuan pasien
ekstemitas atau lebih. dalam mobilisasi
a. Klien meningkat dalam c. Latih pasien dalam
Batasan Karakteristik: aktivitas fisik pemenuhan kebutuhan ALDs
b. Mengerti tujuan dari secara mandiri sesuai
a. Kesulitan membolak- peningkatan mobilitas kemapuan
balik posisi c. Memverbalisasi d. Ajarkan pasien bagaimana
b. Perubahan cara perasaan dalam merubah posisi
berjalan meningkatkan kekuatan e. Ajarkan pasien atau tenaga
c. Ketrebatasan dan kemampuan kesehatan lain tentang teknik
kemampuan berpindah ambulasi
melakuikan d. Memperagakan f. Konsultasikan dengan terapi
keterampilan motorik penggunaan alat fisik
kasar Mobility : Bed, Impaired
d. Keterbatasan dalam
rentang pergerakan a. Bantu klien perawatan diri
sendi b. Bantu klien perawatan diri
e. Ketidakstabilan
26

postur untuk mandi


c. Bantu klien untuk mengganti
Faktor yang pakaian yang bersih
berhubungan
Mobility : Physical, Impaired
a. Fisik tidak bugar
b. Penurunan ketahan a. Perawatan istirahat klien, bed
tubuh rest
c. Penurunan kendali b. Manajemen lingkungan yang
otot bersih dan nyaman
d. Penurunan kekuatan c. Bantu latihan terapi kekuatan
otot otot
Risiko tinggi kerusakan NOC: NIC: pressure Management
integritas kulit
a. Tissue integrity: skin a. Anjurkan pasien
Definisi : risiko and mucous menggunakan pakaian yang
perubahan pada membranes longgar
b. Nutritional Status b. Hindari kerutan pada tempat
epidermis atau dermis
c. Tissue perfusion: tidur
Faktor faktor resiko : peripherar c. Jaga kebersihan kulit agar
Kriteria hasil: tetap bersih dan kering
Eksternal d. Monitor kulit akan adanya
a. Integritas kulit yang kemerahan
a. Hipertermia/hipoter baik dapat e. Memandikan pasien dengan
mia dipertahankan sabun dan air hangat
b. Kelembaban udara b. melaporkan adanya f. Inspeksi kulit terutama pada
c. Immobilitas fisik gangguan sensasi tulang-tulang yang menonjol
d. Usia yang ekstrim atau nyeri pada dan titik tekanan ketika
e. Kelembaban kulit daerah kulit merubah posisi pasien
Internal yangmengalami g. Ajarkan pada keluarga tentang
gangguan posisi yang yang mengurangi
a. Perubahan status c. menunjukkan tekanan
metabolik pemahaman dalam h. Kolaborasi dengan ahli gizi
b. Tulang menonjol proses perbaikan untuk pemberian tinggi
c. Defisit imunologi kulit dan mencegah protein, mineral dan vitamin B
d. Perubahan status terjadinya cedera dan C.
nutrisi berulang
e. Perubahan sirkulasi d. mampu melindingi NIC: skin surveillance
f. Perubahan kulit dan
pigmentasi mempertahankan a. Inspeksi kulit adanya
g. Perubahan turgor kelembaban kulit kemerahan, peningkatan suhu
(elastisitas kulit) dan perawatan alami tubuh, odema, warna, tekstur
e. status nutrisi adekuat kulit
f. sensasi dan warna b. Monitor sumber tekanan dan
kulit normal gesekan
c. Monitor kondisi kulit untuk
27

mencegah kerusakan lebih


lanjut seperti: jadwal merubah
posisi
d. Gunakan pengkajian resiko
untuk mengidentifikasi resiko
kerusakan kulit (skala braden)
e. Dokumentasikan perubahan
kulit

NIC: Pressure Ulcer: prevention

a. Berikan posisi yang


mengangkat titik-titik tekan
tubuh dari tempat tidur (posisi
miring 30 derajat)
b. Monitor aktivitas dan
mobilisasi pasien
c. Mobilisasi pasien (ubah
posisi) setiap 1 atau 2 jam
sekali
d. Monitor bagian tubuh yang
tertutp
e. Dokumentasikan pengkajian
kulit setiap hari
Ansietas b.d krisis NOC : Anxiety self NIC: penurunan ansietas
situasional, ancaman control
terhadap konsep diri, 1. Pemantauan tanda-tanda vital
perubahan status 1.Mernunjukkan 2. Penurunan ansietas : Kaji dan
kesehatan/stasus pengendalian diri dokumentasikan tingkat
ekonomi/fingsi peran terhadap ansietas, yang kecemasan pasien, termasuk
dibuktikan oleh reaksi fisik
indikator sebagai 3. Teknik menenangkan diri :
berikut : (sebutkan 1- Gali bersama pasien tentang
Definisi: 5 : tidak pernah, jarang, teknik yang berhasil dan tidak
kadang-kadang, sering berhasil menurunkan ansietas
Perasaan tidak nyaman
atau selalu) : memantau di masa lalu
atau kekhawatiran yang
manifestasi perilaku 4. Penurunan ansietas:
samar disertai respon
ansietas instruksikan pasien tentang
autonom (sumber sering
2.Meneruskan aktivitas penggunaan teknik relaksasi
kali tidak spesifik atau
yang dibutuhkan 5. Kolaborasi : Penurunan
tidak diketahui oleh
meskipun mengalami ansietas : berikan obat untuk
individu); perasaan takut
kecemasan menurunkan ansietas, jika
yang disebabkan oleh
3.Mengidentifikasi gejala perlu.
antisipasi terhadap
yang merupakan
bahaya (menghadapi
indikator ansietas
ancaman).
28

pasien sendiri.
4.Dapat melakukan
teknik relaksasi unruk
mengontrol cemas
dengan imajinsi
terpimpin (guided
imagery)
5.TTV dalam batas
normal
Risiko infeksi NOC : Risk control: NIC: Infection Protection
berhubungan dengan Infection Proses
adanya port entry luka 1. Monitor tanda dan gejala
terbuka pada daerah Indikator: infeksi
pinggul - Klien bebas dari tanda 2. Observasi insisi adanya
dan gejala infeksi (1-5) kemerahan, panas, drainase
Definisi : Peningkatan - Mendeskripsikan 3. Monitor hitung granulosit dan
resiko masuknya proses penularan WBC
organisme patogen penyakit, factor yang 4. Pertahankan teknik aseptik
mempengaruhi pada pasien yang beresiko
Domain 11, class 1 penularan serta 5. Kolaborasi dalam pemberian
penatalaksanaannya (1- terapi farmakologis: antibiotik
5)
- Menunjukkan
kemampuan untuk
mencegah timbulnya
infeksi (1-5)
- Menunjukkan perilaku
hidup sehat (1-5)
29

B. Konsep Nyeri

1. Definisi Nyeri

Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun

berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan

eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri sebagai suatu

sensori subjektif dan pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan

akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi

terjadinya kerusakan.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi

nyeri dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini sangat penting dalam

pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang baik. Faktor-faktor yang

dimaksud adalah :

a. Usia

Menurut Potter dan Perry (2006) usia adalah variabel penting yang

mempengaruhi nyeri terutama pada anak, remaja dan orang dewasa. Perbedaan

perkembangan yang ditemukan antara kelompok umur ini dapat mempengaruhi

bagaimana anak, remaja dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri. Sedangkan

menurut Tamsuri (2007) menyatakan bahwa anak-anak lebih kesulitan untuk

memahami nyeri sedangkan orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah

patologis dan mengalami kerusakan fungsi.

b. Jenis Kelamin
30

Hidayat (2006) menyatakan bahwa arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak

perbedaan dan hampir sebagian mengartikan nyeri merupakan hal yang negatif,

seperti membahayakan, merusak dan lain-lain. Keadaan ini lebih sering dipengaruhi

oleh jenis kelamin. Menurut Burn, dkk (1989) yang dikutip dalam Potter dan Perry

(2006) bahwa kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak

dibandingkan dengan pria. Ini menunjukkan bahwa individu berjenis kelamin

perempuan lebih mengartikan negatif terhadap nyeri.

c. Kebudayaan

Ernawati (2010) menyatakan bahwa orang akan belajar dari budayanya,

bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri. (Ex: suatu daerah menganut

kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka

melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika merasakan nyeri).

d. Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri

Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak

terselesaikan, seperti pada nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten (Smeltzer

dan Bare, 2010).

e. Perhatian

Tingkat perhatian seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat akan meningkatkan respon

nyeri , sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.

Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri (Prasetyo,

2010).

f. Ansietas (Kecemasan)
31

Hubungan antara nyeri dan cemas bersifat kompleks, cemas meningkatkan

persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas (Prasetyo,

2010). Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Gill (1990) yang dikutip dalam

Ernawati (2010), yang melaporkan adanya suatu bukti bahwa stimulus nyeri

mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakini mengendalikan emosi seseorang.

Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk

atau menghilangkan nyeri.

3. Respon Nyeri

Beberapa respon yang di manifestasikan oleh tubuh dengan adanya stimulasi

nyeri adalah sebagai berikut :

a. Respon Psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahamanan klien terhadap nyeri

yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda

antara lain : Bahaya atau merusak, komplikasi seperti infeksi, penyakit yang

berulang, penyakit baru, penyakit yang fatal, peningkatan ketidakmampuan dan

kehilangan mobilitas (Smeltzer dan Bare, 2010).

b. Respon Fisiologis

Prasetyo (2010) menyatakan bahwa pada saat impuls nyeri naik ke medulla

spinalis menuju ke batang otak dan thalamus, sistem saraf otonom menjadi

terstimulasi sebagai bagian dari respon sterss. Stimulasi tersebut menghasilkan respon

fisiologis tubuh sebagai berikut:

Respon Fisiologis Tubuh terhadap Nyeri


32

1) Respon Simpatis: dilatasi saluran bronchial dan peningkatan respirasi rate. ,

peningkatan heart rate, vasokontriksi perifer (pucat, peningkatan tekanan darah),

peningkatan glukosa darah, diaphoresis, peningkatan kekuatan otot, dilataasi

pupil, penurunan motilitas gaster intestinal.

2) Respon Parasimpatis: muka pucat, otot mengeras, penurunan denyut jantung dan

tekanan darah, nafas cepat daan irregular, nausea dan vomitus, kelelahan dan

keletihan

c. Respon Tingkah Laku

Menurut Potter dan Perry (2006) : secara umum respon pasien terhadap nyeri

terbagi atas respon perilaku dan respon yang dimanifestasikan oleh otot dan kelenjar

otonom. Respon perilaku diantaranya:

1) Secara Vokal : merintih, menangis, menjerit, bicara terengah-engah dan

menggerutu.

2) Ekspresi Wajah : meringis, merapatkan gigi, mengerutkan dahi, menutup rapat

atau membuka lebar mata atau mulut, menggigit bibir dan rahang tertutup rapat.

3) Gerakan Tubuh : kegelisahan, immobilisasi, ketegangan otot, peningkatan

pergerakan tangan dan jari, melindungi bagian tubuh.

4) Interaksi Sosial : menghindari percakapan, hanya berfokus pada untuk aktivitas

penurunan nyeri, menghindari kontak sosial, berkurangnya perhatian.

5) Respon yang dimanifestasikan oleh otot polos dan kelenjar otonom, diantaranya

nausea, muntah, stasis lambung, penurunan motilitas usus, dan peningkatan

sekresi usus.

4. Klasifikasi Nyeri
33

Nyeri dapat dikelompokkan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut

biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cedera spesifik, nyeri akut

biasanya menurun sejalan dengan penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan sebagai

nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan (Smeltzer dan Bare 2002).

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu

periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan

sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap

pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefinisikan

sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih (Smeltzer dan Bare

2010).

5. Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan

individu. Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya dan

karenanya harus diminta untuk menggambarkan dan membuat tingkatannya

(Smeltzer, et al. 2010). Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah

dan reliabel dalam menentukan intensitas nyeri. Sebagian skala menggunakan kisaran

0-10 dengan 0 menandakan tanpa nyeri dan angka tertinggi menandakan

kemungkinan nyeri terburuk untuk individu tersebut (Kozier, et al. 2010).

Beberapa skala yang dapat digunakan untuk mengukur intensitas nyeri, menurut

Smeltzer & Bare (2010) adalah sebagai berikut:

1) Verbal Rating Scale (VRS)


34

Gambar 2.1 Verbal Rating Scale (VRS)

2) Numeric Rating Scale (NRS)

NRS digunakan untuk menilai intensitas dan memberi kebebasan penuh klien

untuk mengidentifikasi keparahan nyeri (Potter & Perry 2006). Krebs, Carey, &

Weinberger (2007) mengkategorikan skor NRS 1-3 (nyeri ringan), 4-6 (nyeri sedang),

dan 7-10 (nyeri berat).

Gambar 2.2 Numeric Rating Scale (NRS)

3) Visual Analog Scale (VAS)

VAS merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri dan memiliki

alat keterangan verbal pada setiap ujungnya (Potter & Perry 2006). VAS berbentuk

garis horizontal sepanjang 10 cm, dan ujungnya mengindikasikan nyeri yang berat.

Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi

di sepanjang rentang tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan tidak ada atau

tidak nyeri, sedangkan ujung kanan menandakan berat atau nyeri yang paling

buruk. Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak

yang dibuat pasien pada garis dari tidak ada nyeri diukur dan ditulis dalam

sentimeter (Smeltzer & Bare, 2010).


35

Gambar 2.3 Visual Analog Scale (VAS)

4) Face Pain Scale (FPS)

Gambar 2.4 Face Pain Scale (FPS)

6. Manajemen Nyeri

Menurut Prasetyo (2010) menyatakan bahwa manajemen dalam penanganan

nyeri terbagi atas tindakan farmakologis dan non farmakologis serta pembedahan.

a. Tindakan Farmakologi

1) Analgesik Narkotik: Opiate merupakan obat yang paling umum digunakan untuk

mengatasi nyeri pada klien, untuk nyeri sedang hingga nyeri berat.

2) Analgesik lokal: Analgesik lokal bekerja dengan memblokade konduksi saraf saat

diberikan langsung ke serabut saraf.

3) Analgesik yang dikontrol klien : Sistem analgesik yang dikontrol klien terdiri dari

infus yang di isi narkotik menurut resep, dipasang dengan pengatur pada lubang

injeksi intravena. Penggunaan narkotik yang dikendalikan klien dipakai pada

klien dengan nyeri pasca bedah, nyeri kanker, krisis sel.

4) Obat-Obat Nonsteroid (NSAIDs): Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini

menghambat agregasi platelet, kontraindikasi meliputi klien dengan gangguan


36

koagulasi atau klien dengan terapi antikoagulan. Contohnya : Ibuprofen,

Naproksen, Indometasin, Tolmetin, Piroxicam, serta Ketorolac (Toradol). Selain

itu terdapat pula golongan NSAIDs yang lain seperti Asam Mefenamat,

Meclofenomate serta Phenylbutazone, dll (Goodman dan Gilman, 2008).

b. Tindakan Nonfarmakologis

Tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa tindakan

penanganan, misalnya penanganan fisik/stimulasi fisik, meliputi :

1) Relaksasi : Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik

dari ketegangan dan stress sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri.

Relaksasi terbagi menjadi relaksasi nafas dalam dan relaksasi otot.

2) Imajinasi terbimbing : Imajinasi terbimbing adalah upaya untuk menciptakan

kesan dalam pikiran klien kemudian berkonsentrasi pada kesan tersebut sehingga

secara bertahap dapat menurunkan persepsi nyeri klien. Tindakan ini dapat

dilakukan secara bersamaan dengan tindakan relaksasi.

3) Distraksi : Distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian klien ke hal-hal

lain diluar nyeri, sehingga dengan demikian diharapkan dapat menurunkan

kewaspadaan pasien terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap

nyeri.

4) Stimulasi elektrik (TENS) : Bisa dilakukan dengan massase, mandi air hangat,

kompres dengan es, pijatan dengan menthol dan stimulasi saraf electrik transkutan

(TENS).
37

5) Akupuntur : Jarum-jarum kecil yang dimasukkan pada kulit, bertujuan menyentuh

titik-titik tertentu, tergantung pada lokasi nyeri yang dapat memblokade transmisi

nyeri ke otak.

C. Konsep Guided imagery and Music (GIM)

1. Pengertian Guided Imagery and Music

Guided imagery and music (GIM) adalah sebuah metode psikoterapi musik

dengan mendengarkan musik klasik dalam keadaan santai untuk meningkatkan

imajinasi dengan tujuan penyembuhan dan aktualisasi diri (Raley, 2006). Pendapat

lain, Bee & Wyatt (2009) menjelaskan bahwa GIM mengombinasikan intervensi

bimbingan imajiansi dan terapi musik.

Guided imagery adalah metode relaksasi untuk mengkhayalkan tempat dan

kejadian berhubungan dengan rasa relaksasi yang menyenangkan. Khayalan tersebut

memungkinkan klien memasuki keadaan atau pengalaman relaksasi (Kaplan &

Sadock, 2010). Saat berimajinasi individu dapat membayangkan melihat sesuatu,

mendengar, merasakan, mencium, dan atau menyentuh sesuatu (Kozier, 2010).

Imajinasi bersifat individu dimana individu menciptakan gambaran mental dirinya

sendiri, atau bersifat terbimbing. Banyak teknik imajinasi melibatkan imajinasi visual

tapi teknik ini juga menggunakan indera pendengaran, pengecap dan penciuman

(Potter & Perry, 2010).

Menurut Hart (2008) mendefinisikan guided imagery sebagai sebuah teknik

yang memanfaatkan cerita atau narasi untuk mempengaruhi pikiran, sering

dikombinasi dengan latar belakang musik. Guided imagery adalah teknik untuk
38

mengarahkan individu untuk fokus dan berkhayal atau berimajinasi (Naparstek, 2008

dalam Hart, 2008), sedangkan Rank (2011) menyatakan guided imagery merupakan

teknik perilaku kognitif dimana seseorang dipandu untuk membayangkan kondisi

yang santai atau tentang pengalaman yang menyenangkan.

Secara sederhana GIM merupakan gabungan antara guided imagery dengan

terapi musik atau guided imagery yang pelaksanaannya diiringi dengan musik,

berimajinasi sambil mendengarkan musik.

2. Tujuan Guided Imagery and Music

Guided Imagery and music mempunyai elemen yang secara umum sama dengan

relaksasi, yaitu sama-sama membawa klien kearah relaksasi. Tujuan dari guided

imagery and music yaitu menimbulkan respon psikofisiologis yang kuat seperti

perubahan dalam fungsi imun (Potter & Perry, 2010). Penggunaan guided imagery

dapat memusatkan perhatian pada banyak hal dalam satu waktu oleh karena itu harus

membayangkan satu imajinasi yang sangat kuat dalam menyenangkan.

3. Manfaat Guided Imagery and Music

Guided imagery and music merupakan salah satu jenis teknik relaksasi sehingga

manfaat dari teknik ini pada umumnya sama dengan manfaat dari teknik relaksasi

yang lain. Manfaat dari teknik guided imagery yaitu sebagai intervensi perilaku

untuk mengatasi nyeri, kecemasan, dan stress sebagai penghancur sel kanker, untuk

mengontrol dan mengurangi rasa nyeri, serta untuk mencapai ketenangan dan

ketentraman (Potter & Perry, 2010). Menurut Branon, Feist & Updegraff (2013)

manfaat GIM dapat mengurangi nyeri.


39

Para ahli dalam bidang teknik guided imagery berpendapat bahwa imajinasi

merupakan penyembuh yang efektif yang dapat mengurangi nyeri, mempercepat

penyembuhan dan membantu tubuh mengurangi berbagai macam penyakit seperti

depresi, alergi, dan asma. Menurut Kozier (2010), guided imagery telah menjadi

terapi standar untuk mengurangi kecemasan dan memberikan relaksasi pada orang

dewasa atau anak-anak, dapat juga untuk mengurangi nyeri kronis, tindakan

procedural yang menimbulkan nyeri, susah tidur, mencegah reaksi alergi, dan

menurunkan tekanan darah (Kozier, 2010).

Guided imagery dapat membangkitkan perubahan neurohormonal dalam tubuh

yang menyerupai perubahan yang terjadi ketika sebuah peristiwa yang sebenarnya

terjadi (Hart, 2008). Hal ini bertujuan untuk membangkitkan keadaan relaksasi

psikologis dan fisiologis untuk meningkatkan perubahan yang menyembuhkan ke

seluruh tubuh (Jacobson, 2006). Guided imagery dapat berfungsi sebagai pengalih

perhatian dari stimulus yang menyakitkan dengan demikian dapat mengurangi respon

nyeri (Jacobson, 2006).

Olness dan Kohen (1996) dalam Genders (2006) menyatakan bahwa manfaat

penggunaan imagery sebagai pereda nyeri adalah mengurangi kecemasan,

meningkatkan penguasaan dan harapan, meningkatkan kerjasama serta mengurangi

kecemasan keluarga dan petugas kesehatan.

Mekanisme imajinasi positif dapat melemahkan psikoneuro immunologi yang

mempengaruhi respon stress, selain itu dapat melepaskan endhorpin yang

melemahkan respon rasa sakit dan dapat mengurangi rasa sakit atau meningkatnya

ambang nyeri (Mariyam dan Widodo, 2012)


40

4. Pelaksanaan Guided Imagery and Music (GIM)

Teknik ini dimulai dengan proses relaksasi pada umumnya yaitu meminta

kepada klien untuk pelan-pelan menutup matanya dan focus pada nafas mereka, klien

didorong untuk relaksasi mengosongkan pikiran dan memenuhi pikiran dengan

bayangan untuk membuat damai dan tenang (Rahmayati, 2010).

Menurut Kozier (2010); Domenech & Montserrat (2008); Farrel (2010) teknik

guided imagery secara umum antara lain:

1) Fase pertama adalah Prelude, fase ini pasien mengungkapkan keluhan yang

sedang dirasakan kepada terapis dan memposisikan diri sebelum masuk kealam

bawah sadar.

a) Mengatur posisi yang nyaman (duduk atau berbaring).

b) Silangkan kaki, tutup mata atau fokus pada suatu titik atau suatu benda di dalam

ruangan.

2) Fase yg kedua adalah induction, pada fase ini terapis akan memberikan sugesti

verbal untuk merilekskan tubuh pasien dan mempersiapkan pasien untuk

mendengarkan music beserta bimbingan imajinasi.

a) Menarik napas dalam dan pelan (Fokus pada pernapasan otot perut) napas

berikutnya biarkan sedikit lebih dalam dan lama dan tetap fokus pada pernapasan

dan tetapkan pikiran bahwa tubuh semakin santai dan lebih santai.

b) Rasakan tubuh menjadi lebih berat dan hangat dari ujung kepala sampai ujung

kaki.

c) Jika pikiran tidak fokus, ulangi kembali pernapasan dalam dan pelan.
41

3) Fase music-imagery experience, pada fase ini pasien akan diperdengarkan music

beserta bimbingan imajinasi, Beri kesimpulan dan perkuat hasil praktek yaitu:

a) Pikirkan bahwa seolah-olah pergi ke suatu tempat yang menyenangkan dan

merasa senang ditempat tersebut

b) Sebutkan apa yang bisa dilihat, dengar, cium, dan apa yang dirasakan

c) Ambil napas panjang beberapa kali dan nikmati berada ditempat tersebut

d) Sekarang, bayangkan diri anda seperti yang anda inginkan (uraikan sesuai tujuan

yang akan dicapai/ diinginkan)

e) Mengingat bahwa anda dapat kembali ke tempat ini, perasaan ini, cara ini kapan

saja anda menginginkan

f) Anda bisa seperti ini lagi dengan berfokus pada pernapasan anda, santai, dan

membayangkan diri anda berada pada tempat yang anda senangi

4) Fase Postlude, fase ini untuk mengakhiri proses GIM, Kembali ke keadaan

semula yaitu:

a) Ketika anda telah siap kembali ke ruang dimana anda berada

b) Anda merasa segar dan siap untuk melanjutkan kegiatan anda

c) Anda dapat membuka mata anda dan dan ceritakan pengalaman anda ketika anda

telah siap (Kozier , 2010).

Guided imagery and music (GIM) dapat dilakukan sendiri tanpa adanya bantuan

dari seorang terapis. Rockefeller (2007); Tilberg et al. (2009) menjelaskan bahwa

guided imagery biasanya diberikan oleh seorang terapis yang sudah terlatih, akan

tetapi guided imagery juga bisa diberikan oleh petugas kesehatan manapun atau

dilakukan oleh diri sendiri tanpa perlu pelatihan khusus jika dilakukan dengan
42

menggunakan rekaman audio. Guided imagery juga sangat efektif ketika dilakukan

dengan menggunakan rekaman audio. Rekaman audio berisi musik, panduan relaksasi

dan membayangkan hal-hal yang menyenangkan bagi individu (Rakel 2012).

Banyak studi telah menunjukkan bahwa jenis musik untuk terapi musik tidak

harus musik klasik. Musik klasik, pop, dan modern (dengan catatan musik tanpa

vokal, periode tenang) digunakan pada terapi musik. Seperti yang dikatakan Good,

et.al. (1999); (2001); Finnerty (2001); Wilgram (2002); Dunn (2004); Schou (2008);

Nilsson (2009) dalam Novita (2012, p.45) jenis musik yang direkomendasikan selain

instrumentalia musik klasik, bisa juga slow jazz, pop, folk, western coutry, easy

listening, bisa juga disertai dengan unsur suara natural alam atau musik yang sesuai

dengan budaya asal pasien.

Lama pemberian GIM bisa disesuaikan dengan kebutuhan anda, seperti yang

dikemukakan oleh Short (2003) dalam Falup (2014) GIM dapat diberikan selama 15

menit sampai dengan 30 menit bahkan sampai 2 jam atau lebih tergantung dari durasi

musik, konsentrasi pasien, dan seberapa cepat pasien merasa lelah.

D. Evidence Based Nursing (EBN)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maria Luise V. A., Faridah Aini,

Rosalina (2015) tentang pengaruh terapi guided imagery and music (GIM) terhadap

skala nyeri luka pasien post op operasi section caesarea (SC) di RSUD Ende dengan

desain quasi eksperimental Saat pasien diberikan terapi GIM, terjadi proses modulasi

dalam tubuh, oleh sistem saraf yang dapat mengurangi penerusan impuls nyeri,

sehingga membuat koping pasien menjadi meningkat dan emosi pasien menjadi
43

positif. Pasien post SC akan menjadi tenang dan rileks sehingga tidak berfokus pada

nyeri.

Menurut penelitian Ni Made Dewi Ratnasari dkk (2015) menyimpulkan bahwa

guided imagery efektif digunakan untuk menurunkan tingkat nyeri pada pasien post

operasi fraktur. Hal ini berimplikasi bahwa guided imagery dapat dijadikan sebagai

alternatif terapi yang dapat digunakan oleh perawat untuk penanganan nyeri pada

pasien. Berdasarkan jurnal penelitian Ira Suarilah dkk (2015) tentang guided

imagery and music (gim) menurunkan intensitas nyeri pasien post sectio caesarea

berbasis adaptasi roy bahwa terdapat perbedaan antara intensitas nyeri pasien post SC

yang diberikan GIM dengan yang tidak diberikan GIM. Pemberian GIM selama 2

sesi dapat menurunkan intensitas nyeri pada pasien post SC.

Anda mungkin juga menyukai