Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KONTRIBUSI PEMIKIRAN IKOPIN DALAM RANGKA REFORMASI


KOPERASI DAN OTONOMI DAERAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pembangunan Koperasi

Disusun Oleh :

Kelompok 15

Tiara Ridzky Grandia C1150404

Aldi Kautsar Arrahman C1150406

INSTITUT KOPERASI INDONESIA

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah tentang Kontribusi Pemikiran IKOPIN Dalam
Rangka Reformasi Koperasi dan Otonomi Daerah.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pembangunan
Koperasi. Dalam makalah ini mengulas tentang hasil kajian IKOPIN untuk reformasi
koperasi.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca.

Jatinangor, 22 September 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................. 2
2.1 Otonomi Daerah dan Koperasi ............................................................................ 2
2.2 Kendala dan Tantangan ....................................................................................... 4
2.3 Arah Kebijakan Kedepan .................................................................................... 6
BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada tahun 1970 koperasi kurang berorientasi kepada kepentingan dan aspirasi
anggotanya sehingga lembaga-lembaga demokrasi dalam kehidupan koperasi tidak
berjalan efektif sesuai dengan fungsinya. Lembaga pengurus jauh lebih dominan
daripada lembaga Rapat Anggota (RA) dan lembaga pengawas, karena keanggotaan
koperasi lebih banyak mengikuti stelsel pasif.

Untuk mengembalikan koperasi kepada jati dirinya karena selama dekade 1970
banyak koperasi yang dinilai berperilaku seperti korporasi padat modal. Dengan jati
diri berarti orientasi berpikir orang-orang koperasi harus lebih terarah kepada potensi
ekonomi anggota (members based economy). Di tingkat internasional sudah terjadi
proses restrukturisasi koperasi seperti tercemin dalam keputusan ICA members
meeting di Manchester Inggris tahun 1995. Esensi dari rumusan ICA tersebut ialah
adanya keinginan kuat dari para kooperator dunia.

IKOPIN sebagai salah satu pengusul reformasi secara aktif sudah melakukan kajian
terhadap berbagai segi kehidupan koperasi. Kajian-kajian tersebut dilakukan melalui
forum-forum seminar, dan diskusi-diskusi panel.Hasilnya menjadi materi pokok
usulan reformasi koperasi yang telah disampaikan kepada berbagai pihak, termasuk
Menkop dan Presiden, pada tahun 1998.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Otonomi Daerah dan Koperasi


Sementara proses reformasi koperasi masih terus bergulir, telah muncul isu baru yang
sangat menantang yaitu diberlakukannnya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah.
Gebyar Otonomi Daerah sangat marak didiskusikan di ujung tahun 2000 karena pada
awal 2001, Undang-Undang No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-
Undang No.25/1999 tentang penimbangan keuangan pusat dan daerah mulai
diberlakukan. Meskipun istilah otonomi atau kemandirian sering kali didengung-
dengungkan pada periode orde baru namun dalam kenyataannya proses ke arah itu
kurang dipersiapkan secara memadai. Sentralisasi kekuasaan dan keuangan
merupakan dua benteng yang menyebabkan kurang berkembangnya motivasi,
kreativitas, dan inovasi daerah di dalam membangun dirinya (daerahnya) sesuai
dengan aspirasi warganya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika pada saat-saat
menjelang direalisasikannya kewajiban kemandirian tersebut semua unsur di daerah
(masyarakat, fungsionaris eksekutif, legislatif, perguruan tinggi, dan lain-lain) seperti
terkejut, bingung, merasa belum siap, serta sikap-sikap skeptis dan pesimistik
lainnya.

Selain kekhawatiran dalam persiapan pelaksanaan otonomi daerah dapat dilihat pula
fenomena kekhawatiran dalam implementasi nilai-nilai demokrasi, yang menuntut
diaktualisasikannya nilai-nilai kebebasan, egalitarian, dan keterbukaan. Kebijakan
pembangunan masyarakat yang semula dipolakan bahkan diarahkan dengan petunjuk
teknisnya sampai ke desa-desa (top-down) sekarang harus didasarkan kepada aspirasi
murni masyarakat (bottom-up). Baik pemerintah daerah maupun masyarakat
tampaknya masih mencari konsep yang dianggap paling baik bagi daerah masing-
masing.

2
Kedua kekhawatiran di atas pada dasarnya berkaitan dengan 3 hal pokok, yaitu (1)
struktur kekuasaan; (2) struktur pendanaan; dan (3) perubahan tata nilai
kemasyarakatan. Struktur kekuasaan berkaitan dengan perimbangan
kekuasaan/kewenangan yang dahulu dipegang oleh pemerintah sekarang harus
digeser atau dikembalikan menjadi kewenangan masyarakat. Struktur pendanaan erat
kaitannya dengan struktur kontribusi dari berbagai komponen masyarakat untuk
mendukung kemandirian dana (swadaya) yang diperlukan guna membiayai kegiatan
rutin maupun biaya pembangunan daerah. Untuk terwujudnya kedua substansi pokok
tersebut sangat diperlukan terjadinya perubahan tata nilai di masyarakat. Perubahan
tata nilai termaksud paling sedikit memerlukan dua syarat, yaitu; (1) perubahan sikap
mental; dan (2) perubahan orientasi berpikir.

Dalam proses demokrasi diperlukan mental yang tahan kritik, bahkan harus
memandang kritik itu (sepanjang bersifat obyektif) sebagai sesuatu yang positif.
Selain itu harus bersikap sabar mendengarkan pendapat orang lain, menghargai
pendapat orang lain, dan menghargai hak orang lain untuk mengambil keputusan
yang dianggap baik menurut pendapatnya sendiri.

Orientasi berpikir berkaitan dengan perubahan kebiasaan menggantungkan diri


kepada pemerintah menjadi percaya kepada kemampuan diri sendiri, masalah yang
dihadapi saat ini ialah bagaimana mengatur perimbangan kewenangan antara
pemerintah dengan masyarakat dalam waktu yang sangat sempit. Kebijakan
pembangunan koperasi dalam rangka Otonomi Daerah tidak bisa lepas dari konteks 3
aspek di atas, yaitu aspek kewenangan, aspek pendanaan, dan aspek tata nilai sosial.

Secara konseptual, mungkin koperasi adalah paling siap untuk menghadapi tantangan
kemandirian dalam pelaksanaan otonomi daerah karena sudah memiliki acuan nilai
serta mekanismenya. Nilai-nilai yang harus ditegakkan dalam kehidupan koperasi
ialah menolong diri sendiri (self-help); bertanggung jawab terhadap diri sendiri (self-
responsibility), demokrasi, persamaan, keadilan dan solidaritas serta nilai-nilai etis

3
seperti: kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan peduli kepada orang lain.
Penerapan seluruh nilai di atas tercermin di dalam prinsip-prinsip koperasi yang
berfungsi sebagai landasan kerja organisasi tersebut.

Dilihat dari pendanaannya, sejak awal organisasi koperasi sudah dibimbing oleh nilai
kemandirian, yaitu menolong diri sendiri dan bertanggung jawab terhadap diri
sendiri. Slogan koperasi yang terkenal: dari anggota, oleh anggota, dan untuk
anggota; merupakan penegasan dari jiwa kemandirian tersebut. Secara sosial politik,
koperasi sangat menjunjung tinggi kekuasaan rakyat dimana dinyatakan bahwa Rapat
Anggota (RA) adalah pemegang kekuasaan tertinggi pada koperasi. Di dalam Rapat
Anggota (RA), kedudukan individu sebagai manusia (man as a person) sangat
dominan, namun di dalam menjalankan organisasi, mereka mempercayakan kepada
wakil-wakilnya yang menduduki jabatan pengurus dan pengawas. Dengan
mengaktifkan lembaga-lembaga tersebut, Rapat Anggota (RA), pengurus, pengawas
sebenarnya para anggota koperasi sudah tidak asing lagi dengan proses berbagi tugas
dengan suasana demokratis.

2.2 Kendala dan Tantangan


Fakta lain yang menarik untuk ditelaah lebih mendalam ialah struktur Paternalistik
yang masih sangat kuat di masyarakat. Struktur sosial seperti itu merupakan kendala
bagi tumbuhnya sikap percaya diri (individualitas) karena sudah terbiasa
menggantungkan diri kepada lapisan elit yang berada di puncak-puncak piramida
kemasyarakatan. Kelompok-kelompok elit seringkali dimanfaatkan untuk
membangun kekuasaan yang sentralistik seperti terjadi di masa lampau sejak zaman
penjajahan Belanda sampai masa orde baru. Karena struktur masyarakat yang
peternalistik tersebut seperti sengaja dipelihara untuk menjaga stabilitas sosial dan
politik masa lalu, maka dalam waktu singkat dewasa ini amat sulit untuk
menumbuhkan sikap percaya diri sebagai landasan kemandirian. Itulah sebabnya

4
mengapa demokrasi sulit ditumbuhkan pada masa lalu, padahal mekanismenya sudah
sangat jelas. Jika sikap percaya diri tidak tumbuh, demokrasi koperasi tidak
melembaga dalam praktek, maka koperasi tidak akan berbasis pada kekuatan anggota
(member based cooperative). Koperasi seperti itu akan mudah dimanfaatkan oleh
pihak-pihak diluar anggota sehingga orientasi kegiatannya tidak lagi kepada anggota
akan tetapi lebih terarah kepada pemberi fasilitas.

Pembangunan koperasi berarti upaya-upaya yang dilakukan untuk mengubah kondisi


koperasi dari keadaan sekarang ke keadaan yang lebih baik. Ada dua sisi penting
yang harus di ubah dalam kehidupan koperasi secara mikro, yaitu kondisi
keorganisasian dan kondisi usahanya. Kondisi keorganisasian berkaitan erat dengan
etika keperilakuan fungsionaris koperasi (anggota, pengurus, pengawas, karyawan)
sesuai dengan nilai dan norma koperasi sedangkan kondisi usaha erat kaitannya
dengan menghimpun potensi anggota sebagai produsen maupun konsumen serta
mengembangkan jaringan usaha koperasi secara terintegrasi dan terdiferensiasi.
Terintegrasi berarti terjalin kerjasama horizontal dan vertikal dalam dan diantara
perkumpulan koperasi, sedangkan terdiferensiasi berarti terspesialisasikan secara
fungsional dalam kegiatan bisnis (produksi, pemasaran, jasa).

Produk bidang keorganisasian ialah tumbuhnya sikap kemandirian dan rasa tanggung
jawab kepada diri sendiri yang diaktualisasikan dalam bentuk kontribusi modal,
partisipasi manajerial serta kesetiaan sebagai pelanggan. Sedangkan, produk
pengembangan bidang usaha berkaitan dengan semakin efisiennya pelayanan
ekonomi kepada anggota serta semakin mampunya koperasi menciptakan nilai
tambah (added value) bagi para anggotanya. Perlakuan (treatment) paling strategis
pada bidang keorganisasian adalah pendidikan/pelatihan fungsionaris koperasi
(anggota dan tim manajemen koperasi), sedangkan pada pengembangan usaha
diperlukan kesempatan serta fasilitas dan perlindungan usaha dengan tetap menjaga
keutuhan otonomi koperasi sendiri.

5
2.3 Arah Kebijakan Kedepan
Seperti sudah disinggung di muka, ada tiga hal yang perlu diperhatikan di dalam
penyusunan kebijakan pembangunan koperasi dalam rangka otonomi daerah, yaitu
penataan kewenangan, pendanaan, dan perubahan tata nilai kemasyarakatan. Secara
normatif, sasaran strategis yang mengarah kepada ketiga perubahan tersebut ialah
pendidikan anggota (members education). Namun selama ini pendidikan anggota
merupakan sesuatu yang kurang populer, bahkan bisa dianggap pemborosan dan
kurang berguna. Persepsi inilah yang harus diubah, baik di lingkungan gerakan
koperasi sendiri maupun di pihak pemerintah. Langkah awal ke arah pemberdayaan
koprasi sesuai dengan jati dirinya ialah perlunya konsolidaritas dan restrukturisasi
seluruh koperasi yang ada. Ketentuan konsolidasi dan restrukturisasi koperasi
tersebut harus dituangkan dalam Peraturan Daerah dengan mengacu kepada Undang-
Undang No.25/1992, serta Undang-Undang No.22/1999 dan Undang-Undang No.
25/1999. Koperasi-koperasi yang berhasil melakukan konsolidasi itulah yang perlu
mendapat prioritas pendidikan anggota, kemudian secara bertahap diberi kesempatan
usaha yang terkait dengan kepentingan ekonomi anggotanya. Tentu saja dengan
semakin meningkatnya kesadaran dan sikap kritis anggota, akan timbul pada tuntutan
untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia tim manajemen (pengurus,
pengawas, eksekutif, karyawan), dengan jalan pelatihan yang berjenjang dan
berkesinambungan. Seiring dengan itu, kebutuhan modal pun akan meningkat,
sehingga perlu kebijakan ke arah penyediaan fasilitas permodalan yang memadai.

Sebaiknya pembangunan koperasi untuk sementara dipisahkan dari pelayanan sosial


masyarakat karena koperasi adalah organisasi ekonomi, bukan organisasi sosial.
Orang-orang yang bergabung dalam koperasi itu adalah orang-orang yang benar-
benar mengerti karakteristik koperasi dan membutuhkan koperasi untuk memperkuat
posisi ekonominya, bukan orang-orang yang minta dikasihani (karitatif) oleh
koperasi. Watak sosial organisasi koperasi tidak berarti koperasi harus bersikap
karikatif. Watak sosial koperasi terletak pada cara-cara kerjanya yang sesuai dengan

6
prinsip-prinsip koperasi, karena di dalam butir-butir prinsip koperasi sudah memuat
nilai-nilai kemanusiaan, kemandirian, keadilan, dan sikap tanggung jawab terhadap
lingkungannya.

Mengenai dana pembangunan koperasi secara bertahap akan tumbuh dari gerakan
koperasi. Pihak pemerintah perlu menciptakan kebijakan perkreditan jangka panjang
(10-20 tahun), terutama untuk mendukung modal investasi dan modal kerja permanen
dalam rangka meningkatkan peran koperasi (terutama koperasi sekunder) dan
menciptakan nilai tambah dan atau efisiensi bagi para anggotanya.

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pembangunan perkoperasian dalam rangka pemberlakuan Undang-undang No.
22/1999 dan Undang-undang No. 25/1999, yang dilatarbelakangi dengan pengalaman
Indonesia yang sentralistik selama kurang lebih 40 tahun dibimbing dengan rumusan
jati diri koperasi oleh International Cooperative Alliance (ICA) di Manchester
(Inggris) tahun 1995. Dari keseluruhan paparan tentang reformasi koperasi ini dapat
dinyatakan secara singkat:

Dari pendekatan makro politis yang menjunjung tinggi simbol simbol kuantitatif ke
pendekatan mikro/makro normatif yang menjunjung tinggi simbol-simbol
otonomi/kemandirian koperasi

8
DAFTAR PUSTAKA

Rusidi dan Maman Suratman. 2002. 20 Pokok Pemikiran Tentang Pembangunan


Koperasi. Jatinangor: Ikopin.

Anda mungkin juga menyukai