Anda di halaman 1dari 13

PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANG

PENANGANAN INFEKSI CANINE PARVOVIRUS


PADA ANJING
DI PRAKTIK Drh. YUWANA MATARAM

Oleh:

INDAH SETIO WARDANI

145130100111008

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anjing merupakan salah satu hewan peliharaan yang banyak digemari


oleh masyarakat Indonesia. Selain untuk kesenangan, beberapa kelompok
masyarakat menggunakan anjing sebagai sumber pemasukan ekonomi
contohnya pada usaha breeding anjing. Oleh karena itu, pemeliharaan
kesehatan anjing menjadi salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan
(Windarwati, 1985).

Pemeliharaan kesehatan anjing mencakup arti pencegahan terjadinya


penyakit serta penyembuhan penyakit yang terjadi pada anjing. Menurut
Windarwati (1985), salah satu penyakit yang sering menyerang anjing,
utamanya anjing muda, adalah infeksi canine parvovirus. Penyakit ini sangat
berbahaya dan kontagius. Infeksi dapat ditularkan melalui kontak antara
anjing sehat dan anjing terinfeksi dengan perantara makanan, minuman, feses,
peralatan yang terkontaminasi virus, serta muntahan.

Infeksi canine parvovirus pertama kali ditemukan di Texas, Amerika


Serikat, pada tahun 1978. Kemudian pada pertengahan tahun 1998,
dilaporkan terjadi wabah infeksi canine parvovirus yang terjadi secara
simultan di Amerika Serikat. Selanjutnya infeksi canine parvovirus menyebar
ke seluruh dunia dan menjadi endemik pada beberapa negara seperti Amerika
Selatan, Inggris, Eropa, Mexico, Italia, Switzerland, India, dan Australia.
Penyakit ini juga dilaporkan terjadi hampir pada seluruh wilayah Indonesia
(Kementerian Pertanian, 2014).

Infeksi penyakit canine parvovirus dapat menyerang anjing pada


segala usia dengan tingkat kematian yang tinggi. Sebagaimana sifat virus
yang akan berkembang seiring terjadinya pembelahan sel, maka infeksi ini
lebih banyak menyerang anjing usia muda (puppies), utamanya yang tidak
terlindungi oleh maternal antibody serta vaksinasi (Sendow, 2003). Beberapa
anjing yang memiliki kecenderungan untuk terinfeksi penyakit ini antara lain
Rottweiler, Doberman Pinscher, Labrador Retriever, American Staffordshire
Terriers, dan German Sherpherds (Cote, 2014).

Kota Mataram memiliki masyarakat dengan ketertarikan yang tinggi


terhadapa anjing sebagai hewan peliharaan. Sayangnya, tingginya
ketertarikan tersebut belum disertai dengan tingkat kesadaran serta
pengetahuan yang baik mengenai penyakit menular pada anjing. Hal ini
dibuktikan dengan hasil pengumpulan informasi mengenai Hama Penyakit
Hewan Karantina yang menyatakan bahwa infeksi canine parvovirus masih
merupakan salah satu penyakit yang banyak terjadi ().

Tingginya angka kejadian infeksi canine parvovirus pada anjing di


Mataram dapat menimbulkan dampak yang besar bagi kesehatan anjing
karena infeksi tersebut dapat menular dengan cepat. Biasanya, pemilik anjing
akan datang untuk memeriksakan anjingnya setelah muncul gejala muntah
dan diare. Infeksi penyakit yang ditangani setelah kondisi hewan parah
meningkatkan kemungkinan terjadinya kematian anjing. Dengan demikian
Praktik Kerja Lapang perlu dilakukan di Praktik Drh. Yuwana Mataram
untuk mengetahui cara penanganan anjing yang terinfeksi canine parvovirus
sehingga diperoleh pengetahuan serta pemahaman yang lebih baik mengenai
penanganan penyakit tersebut.

Daftar pustaka

Windarwati, Endang Insti. 1985. Parvovirus pada Anjing, Skripsi,


Institut Pertanian Bogor, p. 1.

Kementerian Pertanian. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia.


Jakarta: Kementerian Pertanian.
Sendow, Indrawati. 2003. Canine Parvovirus pada Anjing,
WARTAZOA Vol. 13 No. 2 Th. 2003, p. 1.

Cote, Etienne. 2014. Clinical Veterinary Advisor: Dogs and Cats.


Canada: ELSEVIER.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan


masalah pada Praktek Kerja Lapang yang diajukan yaitu bagaimana
penanganan infeksi canine parvovirus di klinik hewan Drh. Yuwana
Mataram?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari
Praktek Kerja Lapang adalah untuk mengetahui dan mempelajari penanganan
penanganan infeksi canine parvovirus di klinik hewan Drh. Yuwana Mataram.

1.4 Manfaat

Praktek Kerja Lapang ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan,


kemampuan, dan keterampilan dalam hal penanganan kasus penanganan
infeksi canine parvovirus di klinik hewan Drh. Yuwana Mataram.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anjing
Anjing merupakan mamalia berjenis karnivora yang merupakan hasil
domestikasi serigala abu abu (Canis lupus) sejak ribuan tahun yang lalu.
Anjing yang saat ini banyak dipelihara oleh masyarakat dihasilkan dari
selective breeding sehingga terjadi perkembangan ras anjing dengan berbagai
variasi (Case, 1999).

Menurut Case (1999) anjing diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Carnivora
Sub ordo : Caniformia
Famili : Canidae
Genus : Canis
Spesies : Canis lupus
Subspesies : Canis lupus familiaris

Gambar 2.1Berbagai jenis anjing domestik (Case, 1999).

Lynda P. Case, The Dog It behavior, nutrition & Health, (Iowa State Univerity

Press, 1999), .
2.2Anatomi dan Fisiologi Saluran Pencernaan Anjing

Gambar 2.2 Saluran pencernaan anjing (Sisson, 1910).


Saluran pencernaan merupakan sekumpulan organ yang bertanggung
jawab atas proses penguraian makanan menjadi bentuk yang lebih sederhana
dan dapat diserap oleh tubuh. saluran pencernaan, yang juga dikenal dengan
istilah tractus digestivus atau gastrointestinal tract, terdiri dari mulut (oral
cavity), faring, oesophagus, lambung, usus halus, colon dan caecum, rektum,
anus, hepar, pankreas, serta glandula saliva
Sisson, Septimus. 1910. A Textbook of Veterinary Anantomy. London:
WB Saunders Company.
a. Mulut (oral cavity)
Menurut Sisson (1910), bentuk dan ukuran mulut anjing sangat
bervariasi pada tiap breed, rongga mulut pada beberapa anjing berbentuk
panjang dan sempit, sementara pada anjing lainnya pendek dan lebar. Bibir
anjing berbentuk tipis dan terdapat banyak rambut tactile di sekitarnya.
Membran mukosa anjing umumnya berpigmen serta membentuk frena
labium.
Lidah pada anjing berbentuk tipis, lebar, dan sangat mudah
digerakkan. Lidah tersebut tidak berpigmen, namun berwarna merah cerah.
Bagian permukaan lidah ditandai dengan adanya median groove (sulcus
medianus linguae) serta papilae filiformis. Papilae pada akar lidar
berbentuk panjang dan halus (Sisson, 1910).
Gigi merupakan bagian yang berfungsi untuk mencabik dan
menghaluskan makanan. Rumus gigi permanen pada anjing adalah
3 1 4 2
3 1 4 3 x 2. Keseluruhan gigi tersebut memiliki mahkota gigi serta

leher gigi yang jelas. Mahkota gigi berwarna putih karena mengandung
sedikit semen (Sisson, 1910).
b. Glandula saliva
Glandula saliva terdiri dari glandula parotid, glandula submaxilla,
glandula sublingua, danglandula zygomaticus. Galndula tersebut
bertanggung jawab atas sekresi saliva yang berfungsi membantu proses
pencernaan makanan. Glandula parotid berukuran kecil. Ductus glandula
parotid berada pada bagian anterior border dan bagian ujungnya mengarah
pada mulut, di bagian seberang dentes molar ketiga (Sisson, 1910).
Glandula submaxilla umumnya berukuran lebih besar dari glandula
parotid. Bentuknya bulat dan berwarna kuning pucat. Bagian atas glandula
submaxilla tertutupi oleh glandula parotid (Sisson, 1910).
Glandula sublingua terdiri dari dua bagian. Bagian posterior terletak
pada muskulus digastricus, berdekatan dengan glandula submaxilla, tetapi
terpisah secara jelas jika bagian kapsula fibrosa dihilangkan. Glandula ni
memiliki 8 hingga 12 duktus kecil yang beberapa diantaranya mengarah
langsung ke mulut sementara beberapa lainnya tergabung pada duktus yang
berukuran besar (Sisson, 1910).
Glandula zygomaticus merupakan pengganti dari glandula molar
superior pada herbivora. Bentuknya seperti prisma dan terletak pada regio
orbitalis, diantara arcus zygomaticus dan muskulus pterigoideus
interna.glandula ini memiliki 4 hingga 5 duktus yang bagian ujungnya
berdekatan dengan dentes molar atas terakhir (Sisson, 1910).
c. Faring
Fornix pada anjing berukuran sempit.
d. Oesofagus
Cervix adalah suatu urat daging sphincter tubuler yang sangat kuat dan
terletak diantara vagina dan uterus. Cervix menerima suplai darah dari arteri
uterina mediana dan satu cabang dari arteri pudenda interna. Cervix terletak
kaudal dari uterus di rongga pelvis, pada tepi pelvis atau didalam rongga
perut. Selama kebuntingan cervix tertarik kedepan kedalam rongga perut.
Menurut Feradis (2010), fungsi cervix adalah untuk mencegah benda-benda
asing atau mikroorganisme memasuki lumen uterus.
e. Lambung
Vagina adalah suatu struktur selubung muskuler yang terletak didalam
rongga pelvis sebelah dorsal dari kantung air seni yang berfungsi sebagai
suatu organ kopulatorik atau tempat berlalunya fetus pada waktu kelahiran.
Vagina berbentuk pipa, berdinding tipis dan elastis. Lapisan luar berupa
tunika serosa yang diikuti oleh lapisan otot polos yang mengandung serabut
otot longitudinal dan sirkular. Lapisan mukosa umumnya terbentuk dari
stratified squamosa ephitelial cellsyang nantinya akan berubah menjadi sel
tanpa nukleus karena pengaruh estrogen. Membran mukosa vagina terdiri
dari sel kelenjar dan sel bersilia. Sel kelenjar menghasilkan lendir yang
berfungsi sebagai lubrikasi dan melindungi terjadinya aberasi pada saat
kopulasi (Widayati, 2008).
f. Intestine
Vulva merupakan organ genitalia eksterna, yang terdiri dari
vestibulum dan labia. Vestibulum merupakan bagian dari saluran kelamin
betina yang berfungsi sebagai saluran reproduksi urinaria. Labia terdiri dari
labia mayor yang homolog dengan skrotum hewan jantan dan labia minor
yang homolog dengan preputium hewan jantan. Vestibulum dan vulva
disuplai dengan darah dari arteri urogenitalia dan pudenda eksterna dan
interna dan diinervasi secara baik oleh serabut syaraf sensoris (Widayati,
2008).
2.3 Canine Parvovirus
2.3.1 Pengertian Infeksi Canine Parvovirus
Infeksi parvovirus anjing merupakan penyakit menular yang bersifat
akut dan mematikan pada anjing berumur muda. Infeksi ini ditandai dengan
penurunan nafsu makan, dehidrasi, muntah dan berak bercampur darah,
gastroenteritis serta miokarditis.
2.3.1 Etiologi Canine Parvovirus
Infeksi canine parvovirus disebabkan oleh canine parvovirus (CPV).
Virus tersebut berasal dari genus Parvovirus dan famili Parvoviridae.
Materi genetik virus tersusun atas DNA untai tunggal atau biasa disebut
sebagai single stranded dioxyribonucleic Acid (ss-DNA) dengan berat
molekul 1,35 x 106 hingga 1,70 x 106 dalton. Canine parvovirus tidak
memiliki selubung, bentuknya ikosahedral simetris dengan 32 kapsomer
berukuran 18 sampai 26 nm.

Gambar 2.3 Struktur canine parvovirus


Salah satu penyebab kawin berulang adalah kesalahan manajemen,
terutama nutrisi. Hubungan antara reproduksi dengan status nutrisi pada sapi
sangat erat kaitannya. Kekurangan nutrisi telah dilaporkan sebagai faktor
utama yang menghambat sistem produksi sapi di daerah-daerah tropis.
Kekurangan nutrisi atau masukan nutrisi yang tidak cukup dapat
berpengaruh langsung terhadap efisiensi reproduksi, seperti rendahnya
kinerja reproduksi dan produktivitas. Selain itu, defisiensi nutrisi juga
menyebabkan aktifitas ovarium tidak optimum, gangguan hormon dan skor
kondisi tubuh yang rendah, menyebabkan calving interval panjang yang
pada akhirnya menyebabkan kawin berulang. Faktor kesalahan manajemen
(peternak) dapat menyebabkan kegagalan kebuntingan yang ditandai dengan
adanya gejala kawin berulang. Kegagalan dalam mendeteksi estrus
merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan problem reproduksi
dan rendahnya angka kebuntingan pada kelompok ternak (Muhuruna, 2016).
Kebersihan kandang dan sapi merupakan syarat yang harus dipenuhi
agar terhindar dari gangguan reproduksi terutama infeksi reproduksi. Salah
satu gangguan reproduksi yang ditandai dengan gejala kawin berulang
adalah endometritis. Pengetahuan peternak tentang siklus birahi merupakan
salah satu faktor penting terhadap keberhasilan perkawinan. Peternak yang
mengetahui tentang siklus birahi akan mengawinkan sapi mereka dalam
waktu yang tepat. Ketepatan waktu Inseminasi Buatan (IB) berdasarkan
deteksi birahi, teknik IB yang benar, tingkat kesuburan ternak pejantan dan
betina yang digunakan, pakan yang baik saat dan sesudah pelaksanaan IB
sangat berpengaruh terhadap angka kebuntingan (Muhuruna, 2016).
2.4.2 Penanganan Repeat Breeder(Kawin Berulang)
Program penanganan khusus untuk Repeat Breeder (Kawin
Berulang) tergantung pada penyebab yang mendasari. Program pengobatan
yang sesuai harus dibentuk. Pengembangan perawatan secara lengkap, dapat
menjamin faktor penyebab teratasi. Namun identifikasi semua penyebab
yang mendasari masalah repeat breeder (kawin berulang) cukup sulit, dan
tidak semua kasus ditangani dengan pengobatan dengan cara yang sama,
penting untuk mengevaluasi efektivitas program pengobatan yang telah
dilaksanakan.
a. Terapi Nutrisi
Kekurangan gizi telah digambarkan sebagai penyebab Repeat
Breeder (Kawin Berulang). Diet yang mengandung konsentrasi yodium
anorganik yang tinggi dari 8 12 hari sebelum estrus meningkatkan
stimulasi kelenjar pituitari, dan dapat mengurangi pada saat yang sama
tingkat terjadinya repeat breeder (kawin berulang). Ternak dengan masalah
repeat breeder (kawin berulang) yang diberikan suplement tembaga dan
magnesium yang dapat meminimalkan masalah kesuburan. Kekurangan
mineral ini berkaitan dengan infertilitas. Konsentrasi mineral dapat
dimodifikasi dalam diet sebagai akibat dari musim atau sebagai konsekuensi
dari perubahan ketersediaan mineral yang terkait dengan beberapa
komponen diet (Perez, 2012).
Betakaroten, prekursor vitamin A, baru-baru ini diselidiki untuk
keterlibatannya dalam pembentukan dan fungsi CL. Meskipun tidak ada
hasil yang konklusif, disarankan agar betakaroten untuk meningkatkan
sintesis progesteron dan mengurangi hipofungsi luteal. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk menegaskan peran terapeutik atau efek positif pada
reproduksi. Kekurangan fosfor dan seng dikaitkan dengan rendahnya tingkat
progesteron, yang bisa menjadi penyebab kegagalan dalam pembuahan atau
kematian embrio dini. Namun, hal ini tidak praktis untuk menganalisis
mineral atau komposisi kimia darah. Lebih masuk akal apabila memantau
rasio makanan untuk menghindari gangguan fungsi reproduksi (Perez,
2012).
b. Pengobatan Intrauterine
Gangguan yang berhubungan dengan infeksi saluran reproduksi
mungkin berhubungan dengan sindrom repeat breeder (kawin berulang).
Praktek profilaksis telah digunakan sebagai solusi pemberian antiseptik
pada uterus (Lugol) 24 jam setelah kawin. Studi tentang bakteriologi dan
histologi uterus menyimpulkan bahwa infeksi genital non-spesifik
merupakan salah satu penyebab utama repeat breeder (kawin berulang), dan
disarankan agar perawatan antimikroba (kloramfenikol, gentamisin,
enrofloxacin, tetracycline, atau nitrofurantine) dapat meningkatkan indeks
reproduksi (Perez, 2012).
c. Terapi Hormonal
Banyak terapi hormonal telah digunakan untuk meningkatkan hasil
dalam menangani repeat breeder (kawin berulang). Banyak gambaran
mengenai pengaruh GnRH untuk meningkatkankesuburan pada Repeat
Breeder (Kawin Berulang). Prostaglandid juga telah banyak digunakan
untuk menginduksi regresi korpus luteum (Perez, 2012). Hal ini diperkuat
dengan pernyataan Prihatno (2003) pengobatan untuk mengatasi gangguan
reproduksi atau kawin berulang tergantung pada penyebab, dapat dilakukan
dengan pemberian preparat antibiotik, antiseptika, preparat hormon atau
hanya dengan perbaikan pakan. Preparat hormon yang dapat diberikan
seperti Gonadotropin-releasing hormone (GnRH).

Anda mungkin juga menyukai