Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Typhus Abdominalis banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat
kita, baik diperkotaan maupun di pedesaan. Typhus Abdominalis
merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu
minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau
tanpa gangguan kesadaran (Rampengan, 2007). Typhus Abdominalis
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi, sumber infeksi Salmonella typhi
selalu manusia, baik orang sakit maupun orang sehat pembawa kuman.
Penyakit ini tergolong penyakit menular yang dapat menyerang banyak
orang, mulai dari usia balita, anak-anak, dan dewasa. Sebagian penderita
Typhus Abdominalis kelak akan menjadi carrier, baik sementara atau
menahun (Sjamsuhidajat, 2010). Selain itu Typhus Abdominalis dapat
menimbulkan komplikasi bila tidak diobati dengan tepat. Pada
kenyataannya, masyarakat menganggap bahwa Typhus Abdominalis
merupakan penyakit yang sudah biasa terjadi dan tidak berbahaya.

Sampai saat ini penyakit Typhus Abdominalis masih merupakan


masalah kesehatan di negara-negara tropis termasuk Indonesia dengan
angka kejadian sekitar 760 sampai 810 kasus pertahun, dan angka kematian
3,1 sampai 10,4% (WHO dalam Nurvina, 2013).

Di Indonesia angka kejadian kasus Typhus Abdominalis diperkirakan


rata-rata 900.000 kasus pertahun dengan lebih dari 20.000 kematian.
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009 jumlah kejadian
Typhus Abdominalis dan paratifoid di Rumah Sakit adalah 80.850 kasus
pada penderita rawat inap dan 1.013 diantaranya meninggal dunia.
Sedangkan pada tahun 2010 penderita Typhus Abdominalis dan paratifoid
sejumlah 41.081 kasus pada penderita rawat inap dan jumlah pasien
meninggal dunia sebanyak 276 jiwa (Depkes RI2010 dalam Nurvina,
2013).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Benculuk didapatkan
data jumlah penderita Typhus Abdominalis pada tahun 2017 sebanyak 57
kasus. Sedangkan menurut data kunjungan di Puskesmas Benculuk dengan
melihat status bulan Januari- Maret 2018 didapatkan data 14 orang yang
positif menderita Typhus Abdominalis. (Rekam Medik Puskesmas
Benculuk, 2017 & 2018).

1.2 Batasan Masalah


Dalam penyusunan karya tulis ini, penulis hanya membatasi asuhan
keperawatan pada klien Tn.A dengan diagnosa medis Typhus Abdominalis
yang dirawat selama tiga hari di Rawat inap Puskesmas Benculuk.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulisan dapat dirumuskan
bagaimanakah asuhan keperawatan pasien dengan Typhus Abdominalis di
puskesmas Benculuk.
1.4 Tujuan penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk memberikan Asuhan Keperawatan dengan diagnosa medis Typhus
Abdominalis
1.4.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalaam penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan penulis
mampu:
a) Mampu melakukan pengkajian pada kasus Typhus Abdominalis.
b) Mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada kasus Typhus
Abdominalis.
c) Mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada kasus
Typhus Abdominalis.
d) Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada kasus Typhus
Abdominalis.
e) Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada kasus Typhus
Abdominalis.
1.5 Manfaat karya Tulis Ilmiah
Manfaat penulisan karya ilmiah adalah sebagai berikut:
1.5.1 Bagi Pasien
Studi kasus ini diharapkan dapat membantu mempercepat penyembuhan
masalah keperawatan pada kasus Typhus Abdominalis.

1.5.2 Bagi profesi perawat


Untuk meningkatkan sumber informasi dalam rangka peningkatan mutu
pelayanan keperawatan optimal, khususnya pada kasus Typhus
Abdominalis.

1.5.3 Bagi Puskesmas


Sebagai bahan masukan untuk mengetahui bagaimana menerapkan asuhan
keperawatan masalah keperawatan hypertermi pada Typhus Abdominalis
di Puskesmas Benculuk.

1.5.4 Bagi Institusi Pendidikan


Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak
institusi pendidikan khususnya mengenai asuhan keperawatan Typhus
Abdominalis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan


Anatomi fisiologi saluran pencernaan menurut Syaifuddin, (2013),
susunan pencernaan terdiri dari:

Gambar 2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaaan


2.1.1 Mulut
Terdiri dari 2 bagian:
a. Bagian luar yang sempit / vestibula yaitu ruang diantara gusi, gigi,
bibir, dan pipi.
1) Bibir
Di sebelah luar mulut ditutupi oleh kulit dan di sebelah dalam
ditutupi oleh selaput lendir (mukosa). Otot orbikularis oris menutupi
bibir. Levator anguli oris mengakat dan depresor anguli oris
menekan ujung mulut.
2) Pipi
Di lapisi dari dalam oleh mukosa yang mengandung papila, otot
yang terdapat pada pipi adalah otot buksinator.
3) Gigi
Seseorang memiliki dua set gigi selama seumur hidup. Rata-rata
anak memiliki 20 set lengkap primer mereka (atau susu atau bayi)
gigi pada usia tiga tahun. Gigi primer mulai rontok antara usia
sekitar enam dan tujuh tahun, dan secara bertahap digantikan oleh
gigi tetap (atau sekunder atau orang dewasa). Dengan sekitar 21
tahun, rata-rata orang memiliki 32 gigi permanen – 16 di rahang
atas dan 16 di rahang bawah.
b. Bagian rongga mulut atau bagian dalam yaitu rongga mulut yang di
batasi sisinya oleh tulang maksilaris palatum dan mandibularis di
sebelah belakang bersambung dengan faring.
1) Palatum
Terdiri atas 2 bagian yaitu palatum durum (palatum keras)
yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dari sebelah tulang
maksilaris dan lebih kebelakang yang terdiri dari 2 palatum.
Palatum mole (palatum lunak) terletak dibelakang yang merupakan
lipatan menggantung yang dapat bergerak, terdiri atas jaringan
fibrosa dan selaput lendir.
2) Lidah
Terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput lendir,
kerja otot lidah ini dapat digerakkan ke segala arah. Lidah dibagi
atas 3 bagian yaitu : Radiks Lingua = pangkal lidah, Dorsum Lingua
= punggung lidah dan Apek Lingua + ujung lidah. Pada pangkal
lidah yang kebelakang terdapat epligotis. Punggung lidah (dorsum
lingua) terdapat puting- puting pengecapatau ujung saraf pengecap.
Fenukun Lingua merupakan selaput lendir yang terdapat pada
bagian bawah kira-kira ditengah-tengah, jika tidak digerakkan ke
atas nampak selaput lendir.
3) Kelenjar Ludah
Merupakan kelenjar yang mempunyai ductus bernama
ductus wartoni dan duktus stansoni. Kelenjar ludah ada 2 yaitu
kelenjar ludah bawah rahang (kelenjar submaksilaris) yang terdapat
di bawah tulang rahang atas bagian tengah, kelenjar ludah bawah
lidah (kelenjar sublingualis) yang terdapat di sebelah depan di
bawah lidah. Di bawah kelenjar ludah bawah rahang dan kelenjar
ludah bawah lidah di sebut koronkula sublingualis serta hasil
sekresinya berupa kelenjar ludah (saliva). Di sekitar rongga mulut
terdapat 3 buah kelenjar ludah yaitu kelenjar parotis yang letaknya
dibawah depan dari telinga di antara prosesus mastoid kiri dan
kanan os mandibular, duktusnya duktus stensoni, duktus ini keluar
dari glandula parotis menuju ke rongga mulut melalui pipi
(muskulus buksinator). Kelenjar submaksilaris terletak di bawah
rongga mulut bagian belakang, duktusnya duktus watoni bermuara
di rongga mulut bermuara di dasar rongga mulut. Kelenjar ludah di
dasari oleh saraf-saraf tak sadar.
4) Otot Lidah
Otot intrinsik lidah berasal dari rahang bawah (muskulus
mandibularis, oshitoid dan prosesus steloid) menyebar kedalam
lidah membentuk anyaman bergabung dengan otot instrinsik yang
terdapat pada lidah. Muskulus genioglosus merupakan otot lidah
yang terkuat berasal dari permukaan tengah bagian dalam yang
menyebar sampai radiks lingua.

2.1.2 Faring (tekak)


Merupakan organ yang menghubungkan antara rongga mulut
dengan kerongkongan (esofagus), di dalam lengkung faring terdapat tonsil
(amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung
limfosit.

2.1.3 Esofagus
Panjang esofagus sekitar 25 cm dan menjalar melalui dada dekat
dengan kolumna vertebralis, di belakang trakea dan jantung. Esofagus
melengkung ke depan, menembus diafragma dan menghubungkan
lambung. Jalan masuk esofagus ke dalam lambung adalah kardia.
2.1.4 Gaster (Lambung)
Merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling
banyak terutama didaerah epigaster. Lambung terdiri dari bagian atas
fundus uteri berhubungan dengan esofagus melalui orifisium pilorik,
terletak dibawah diafragma di depan pankreas dan limpa, menempel di
sebelah kiri fudus uteri.

2.1.5 Intestinum Minor (Usus Halus)


Adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal
pada pylorus dan berakhir pada seikum, panjang ± 6 meter.
Lapisan usus halus terdiri dari:
a. Lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (muskulus
sirkuler)
b. Otot memanjang (muskulus Longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah
luar).
Pergerakan usus halus ada 2, yaitu
a. Kontraksi pencampur (segmentasi)
Kontraksi ini dirangsang oleh peregangan usus halus yaitu desakan
kimus.
b. Kontraksi Pendorong
Kimus didorong melalui usus halus oleh gelombang peristaltik.
Aktifitas peristaltik usus halus sebagian disebabkan oleh masuknya
kimus ke dalam duodenum, tetapi juga oleh yang dinamakan
gastroenterik yang ditimbulkan oleh peregangan lambung terutama di
hancurkan melalui pleksus mientertus dari lambung turun sepanjang
dinding usus halus.
Perbatasan usus halus dan kolon terdapat katup ileosekalis yang
berfungsi mencegah aliran feses ke dalam usus halus. Derajat kontraksi
sfingter iliosekal terutama diatur oleh refleks yang berasal dari sekum.
Refleksi dari sekum ke sfingter iliosekal ini di perantarai oleh pleksus
mienterikus. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi usus) dan air (yang membantu
melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus
juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula,
dan lemak. Iritasi yang sangat kuat pada mukosa usus, seperti terjadi
pada beberapa infeksi dapat menimbulkan apa yang dinamakan
”peristaltic rusrf” merupakan peristaltik sangat kuat yang berjalan jauh
pada usus halus dalam beberapa menit.
Intesinum minor terdiri dari :
a. Duodenum (usus 12 jari)
Panjang ± 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke
kiru. Pada lengkungan ini terdapat pankreas. Dan bagian kanan
duodenum ini terdapat selaput lender yang membuktikan di
sebutpapila vateri. Pada papila veteri ini bermuara saluran empedu
(duktus koledukus) dan saluran pankreas (duktus pankreatikus).
b. Yeyenum dan ileum
Mempunyai panjang sekitar ± 6 meter. Dua perlima bagian
atas adalah yeyenum dengan panjang ± 2-3 meter dan ileum
dengan panjang ± 4 – 5 meter. Lekukan yeyenum dan ileum
melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan
lipatan peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai
mesenterium. Akar mesenterium memungkinkan keluar dan
masuknya cabang-cabang arteri dan vena mesentrika superior,
pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara 2 lapisan peritoneum
yang membentuk mesenterium. Sambungan antara yeyenum dan
ileum tidak mempunyai batas yang tegas. Ujung bawah ileum
berhubungan dengan seikum dengan seikum dengan perataraan
lubang yang bernama orifisium ileoseikalis, orifisium ini di
perkuat dengan sfingter ileoseikalis dan pada bagian ini terdapat
katup valvula seikalis atau valvula baukini. Mukosa usus halus.
Permukaan epitel yang sangat luas melalui lipatan mukosa dan
mikrovili memudahkan pencernaan dan absorbsi. Lipatan ini
dibentuk oleh mukosa dan submukosa yang dapat memperbesar
permukaan usus. Pada penampangan melintang vili di lapisi oleh
epiel dan kripta yang menghasilkan bermacam-macam hormone
jaringan dan enzim yang memegang peranan aktif dalam
pencernaan.

2.1.6 Intestinium Mayor (Usus besar)


Panjang ± 1,5 meter lebarnya 5 – 6 cm. Lapisan–lapisan usus besar
dari dalam keluar: selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot
memanjang, dan jaringan ikat.
Lapisan usus besar terdiri dari:
a.Seikum
Di bawah seikum terdapat appendiks vermiformis yang berbentuk
seperti cacing sehingga di sebut juga umbai cacing, panjang 6 cm.
b. Kolon asendens
Panjang 13 cm terletak di bawah abdomen sebelah kanan membujur ke
atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah hati membengkak ke kiri,
lengkungan ini di sebut Fleksura hepatika, di lanjutkan sebagai kolon
transversum.
1) Appendiks ( usus buntu )
Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari akhir seikum.
2) Kolon transversum
Panjang ± 38 cm, membunjur dari kolon asendens sampai ke kolon
desendens berada di bawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura
hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksura linealis.
3) Kolon desendens
Panjang ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri membunjur
dari atas ke bawah dari fleksura linealis sampai ke depan ileum kiri,
bersambung dengan kolon sigmoid.
4) Kolon sigmoid
Merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak miring dalam rongga
pelvis sebelah kiri, bentuk menyerupai huruf S. Ujung bawahnya
berhubung dengan rectum.
Fungsi kolon: Mengabsorsi air dan elektrolit serta kimus dan
menyimpan feses sampai dapat dikeluarkan.
Pergerakan kolon ada 2 macam :
i) Pergerakan pencampur (Haustrasi)
Kontraksi gabungan otot polos dan longitudinal namun bagian luar
usus besar yang tidak terangsang menonjol keluar menjadi seperti
kantong.
ii) Pergarakan pendorong ”Mass Movement”
Kontraksi usus besar yang mendorong feses ke arah anus.

2.1.7 Rektum dan Anus


Terletak di bawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum
mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sakrum dan
os koksigis. Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang
menghubungkan rectum dengan dunia luar (udara luar). Terletak di antara
pelvis, dindingnya di perkuat oleh 3 sfingter :
a. Sfingter Ani Internus
b. Sfingter Levator Ani
c. Sfingter Ani Eksternus
Di sini di mulailah proses devekasi akibat adanya mass movement.
Mekanisme:
a. Kontraksi kolon desenden
b. Kontraksi reflek rectum
c. Kontraksi reflek sigmoid
d. Relaksasi sfingter ani

2.1.8 Rektum dan Anus


Terletak di bawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum
mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sakrum dan
os koksigis. Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang
menghubungkan rectum dengan dunia luar (udara luar). Terletak di antara
pelvis, dindingnya di perkuat oleh 3 sfingter :
a. Sfingter Ani Internus
b. Sfingter Levator Ani
c. Sfingter Ani Eksternus
Di sini di mulailah proses devekasi akibat adanya mass movement.
Mekanisme:
i) Kontraksi kolon desenden
iii) Kontraksi reflek rectum
iv) Kontraksi reflek sigmoid
v) Relaksasi sfingter ani

2.2 Konsep Typhus Abdominalis


2.2.1 Pengertian
Menurut Mansoer Orief, M. (1999) dalam Padila (2013), Typhus
Abdominalis adalah suatu penyakit pada usus halus yang menimbulkan
gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa,
salmonella type A,B,C, penularan terjadi secara pecal, oral, melalui
makanan dan minumanan yag terkontaminasi
Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1
minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran (Sudoyo, 2009).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Typhus
Abdominalis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh infeksi
salmonella typhosa A,B,C, yang dapat menular melalui oral, fecal,
makanan dan minuman yang terkontaminasi yang mengenai saluran cerna
biasanya disertai gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan
pencernaan dan adanya penurunan kesadaran

2.2.2 Etiologi
Menurut Padila (2013), etiologi typhus adalah salmonella typi.
Salmonella para typhi A, B, C, ada dua sumber penularan Salmonella typhi
yaitu pasien dengan Typhus Abdominalis dan pasien dengan carier. Carier
adalah orang yang sembuh dari Typhus Abdominalis dan masih terus
mengekresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1
tahun.
Penyakit Typhus Abdominalis disebabkan oleh kuman Salmonella
typhosa/Eberthella typhosa basil gram negatif yang bergerak dengan
rambut getar dan tidak berspora dengan masa inkubasi 10-2- hari.
Menurut Rampengan (2007), kuman Salmonella Abdominalis ini
dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun suhu yang
sedikit lebih rendah, serta mati pada suhu 70° C atapun oleh antiseptik.
sampai saat ini, diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang manusia.
Salmonella typhosa mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
a. Antigen O = Ohne Hauch = antigen somatik (tidak menyebar).
b. Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagel dan berifat
termolabil.
c. Antigen V1 = Kapsul = merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman
dan melindungi antigen O terhadap fagositosis.
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan
menimbulkan pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin. Salmonella typhosa juga dapat memperoleh plasmid faktor-R
yang berkaitan dengan resisten terhadap multipel antibioti. Ada 3
spesies utama, yaitu:
a. Salmonella typhosa (satu serotipe)
b. Salmonella choleraesius (satu serotipe)
c. Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotipe)

Kuman Salmonella Abdominalis dapat menular dengan mudah melalui 5 F


yaitu:
a. Food (makanan).
b. Fingers (jari tangan/kuku).
c. Fomitus (muntah).
d. Fly (Lalat).
e. Melalui feses.
2.2.3 Patofisiologi
Salmonella typhosa dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang
dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku),
Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Yang paling menojol
yaitu lewat mulut manusia yang baru terinfeksi selanjutnya menuju
lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi lolos masuk ke usus halus bagian distal (usus bisa terjadi
iritasi) dan mengeluarkan endotoksin sehingga menyebabkan darah
mengandung bakteri (bakterimia) primer, selanjutnya melalui aliran darah
dan jaringan limpoid plaque menuju limfa dan hati. Di dalam jaringan
limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah sehingga
menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa usus. Tukak dapat
menyebabkan perdarahan dan perforasi usus. Perdarahan menimbulkan
panas dan suhu tubuh dengan demikian akan meningkat.sehingga beresiko
kekurangan cairan tubuh.Jika kondisi tubuh dijaga tetap baik, akan
terbentuk zat kekebalan atau antibodi. Dalam keadaan seperti ini, kuman
typhus akan mati dan penderita berangsur-angsur sembuh (Zulkoni.2011)

2.2.4 Pathway
Makanan yang terinfeksi bakteri Salmonella typhosa

Masuk melalui mulut

Menuju ke saluran pencernaan

Mati dimusnahkan

asam lambung Lambung

Diserap oleh usus halus


Bakteri memasuki aliran darah sistemik

Usus halus Limpa Endotoksin

Tukak Splenomegali Hipertermi


Hypertermi

Perdarahan dan perforasi Splenomegali

Lambung tertekan
Resiko Defisit Cairan

Nyeri Raba
Mual

Anoreksia

Perubahan Nutrisi

(Zulkoni, 2011)

2.2.5 Klasifikasi
a. Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada
saluran cerna , gangguan kesadaran
b. Paratypus adalah jenis typus yang lebih ringan , mungkin sesekali
penderita mengalami buang - buang air. Jika diamati, lidah tampak
berselaput putih susu, bagian tepinya merah terang. Bibir kering , dan
kondisi fisik tampak lemah , serta nyata tampak sakit. Jika sudah lanjut ,
mungkin muncul gejala kuning, sebab pada tipus oragan limfa dan hati
bias membengkak seperti gejala hepatitis.

2.2.6 Manifestasi Klinis


Masa tunas Typhus Abdominalis berlangsung antara 10-14 hari.
Gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan
berat, dari asimtomatik hingga gambaran penakit yang khas disertai
komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama gejala klnis penyakit
ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada
umumnya yaitu : demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan
epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh
meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama
pada sore hingga malam hari (Widodo Joko, 2006)
2.17 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat di Typhus Abdominalis adalah:

a. Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perforasi usus, ileus


paralitik, pankreastitis.
b. Komplikasi ekstra-intestinal : komplikasi kardiovaskuler, (gagal
sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis), komplikasi paru
(pneumonia, pleuritis), komplikasi darah(anemia hemolitik,
trombositopenia, thrombosis), komplikasi tulang (osteomielitis,
peritonitis, arthiritis), komplikasi neuropsikiatrik / tifoid toksin
(Widoyono, 2011).
2.18 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Padila (2013), pemeriksaan laboratorium pada pasien
dengan penyakit Typhus Abdominalis adalah sebagai berikut.
a. Pemeriksaan darah perifer lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositis atau kadar leukosit
normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi
sekunder.
b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah
sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan
penanganan khusus.
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan Typhus Abdominalis,
tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan
terjadi Typhus Abdominalis. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah
tergantung dari beberapa faktor, yaitu:
1) Teknik pemeriksaan laboratorium
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
3) Vaksinasi si masa lampau
4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.
d. Kultur
1) Kultur darah: Bisa positif pada minggu pertama
2) Kultur urine: Bisa positif pada akhir minggu kedua
3) Kultur feses: Bisa positif fari minggu kedua hingga minggu ketiga
e. Uji widal
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap
bakteri Salmonella typhi. Uji widal dimaksudkan untuk
menentukan adanya aglutini dalam serum penderita Typhus
Abdominalis. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka
penderita membuat antibodi (aglutinin) yaitu:
a) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal
dari tubuh kuman)
b) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal
dari flagel kuman)
c) Aglutinin Vi, yang dibuat karena ragsangan antigen Vi (berasal
dari saimpai kuman).
f. Anti Salmonella typhi lgM
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi secara dini infeksi akut
Salmonella typhi, krena antibodi lgM muncul padahari ke-3 dan 4
terjadinya demam.

2.19 Penatalaksanaan
Menurut Rampengan (2007) dan Widoyono (2011),
penatalaksanaan dari penyakit ini dapat dibedakan menjadi tiga bagian,
yaitu:
a. Perawatan
Penderita Typhus Abdominalis perlu dirawat di rumah sakit untuk
isolasi, observasi serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari
bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring sempurna seperti pada
perawatan Typhus Abdominalisdi masa lalu. Mobilisasi dilakukan
sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada
penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi agar tidak
terjadi aspirasi. Tanda komplikasi Typhus Abdominalis yang lain
termasuk buang air kecil dan buang air besar juga perlu mendapat
perhatian.
b. Diet
Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita
diberi makanan berupa bubur sering. Selanjutnya penderita dapat
diberi makanan yang lebih paat dan akhirnya nasi biasa, sesuai dengan
kemampuan dan kondisinya. Pemberian kadar gizi dan mineral perlu
dipertimbagkan agar dapat menunjang kesembuhan penderita
(Widoyono, 2011).
c. Obat-obatan
Typhus Abdominalis merupakan penyakit infeksi dengan angka
kematian yang tinggi sebelum adanya obat-obat antimikroba (10-15%).
Sejak adanya obat antimikroba terutama kloramfenikol angka kematian
menurun secara drastis (1-4%). Obat-obat antimikroba yang sering
digunakan antara lain:
1) Kloramfenikol
2) Tiamfenikol
3) Kotrimoksasol
4) Ampisilin
5) Amoksisilin
6) Seftriakson
7) Sefotaksim
8) Siprofloksasin (usia > 10 tahun)
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan
2.3.1 Pengkajian:
a. Identitas
Di dalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat,
pendidikan, no.registrasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi
badan, berat badan, tanggal MR.
b. Keluhan Utama
Pada pasien Typhus Abdominalis biasanya mengeluh perut mual
dan kembung, nafsu makan menurun, panas, dan demam.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pada umumnya penyakit pada pasien Typhus Abdominalis adalah
demam, anoreksia, mual, diare, perasaan tidak enak di perut, pucat
(anemia), nyeri kepala pusing, nyeri otot, lidah tifoid (kotor), gangguan
kesadaran berupa somnolen sampai koma.
d. Riwayat Kesehatan dahulu
Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit dan dirawat
dengan yang sama, atau apakah menderita penyakit lainnya.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita yang
sama atau sakit yang lainnya.
f. Riwayat Psikososial
1) Intrapersonal: perasaan yang dirasakan klien (cemas/sedih).
2) Interpersonal: hubungan dengan orang lain.
g. Pola fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolism
Biasanya nafsu makan klien berkurang, adanya mua, muntah selama
sakit, lidah kotor, dan terasa pahit waktu makan sehingga dapat
memepengaruhi status nutrisi berubah karena terjadi gangguan pada
usus halus.
2) Pola istirahat dan tidur
Selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena pasien
merasakan sakit pada perutnya, mual, muntah, kadang diare.
Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan suhu badan
yang meningkat, sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur.
3) Pola persepsi dan tatalaksana kesehatan
Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan
masalah dalam kesehatannya.
4) Pola aktifitas dan latihan
Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik
serta pasien akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya.
5) Pola eliminasi
Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi referensi bila dehidrasi
karena panas yang meninggi, konsumsi cairan tidak sesuai dengan
kebutuhan.
6) Pola reproduksi dan seksual
Mengalami perubahan pada pasien yang telah menikah.
7) Pola persepsi dan pengetahuan
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan memengaruhi
pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Di dalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi
masalah penyakitnya.
9) Pola penanggulangan stress
Stress timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi
masalah penyakitnya.
10) Pola hubungan interpersonal
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap berhubungan
interpersonal dan peran serta mengalami tambahan dalam
menjalankan perannya selama sakit.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Timbulnya distress dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan
menjadi cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya
akan terganggu.

2.3.2 Pemeriksaan Fisik


a. Kesadaran dan keadaan umum pasien
Kesadaran pasien perlu di kaji dari sadar – tidak sadar
(composmentis – coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis
penyakit pasien.
b. Tanda – tanda vital dan keadaan umum
TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari
keadaan umum pasien / kondisi pasien. Disamping itu juga
penimbangan BB untuk mengetahui adanya penurunan BB karena
peningakatan gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga dapat dihitung
kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan. Biasanya pada pasien Typhus
Abdominalis mengalami badan lemah, panas, puccat, mual, perut tidak
enak, anorexia.
c. Kepala dan leher
Kepala tidak ada bernjolan, rambut normal, kelopak mata normal,
konjungtiva anemia, mata cowong, muka tidak odema, pucat/bibir
kering, lidah kotor, ditepi dan ditengah merah, fungsi pendengran
normal leher simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
d. Dada dan abdomen
Dada normal, bentuk simetris, pola nafas teratur, didaerah
abdomen ditemukan nyeri tekan.
e. Sistem respirasi
Apa ada pernafasan normal, tidak ada suara tambahan, dan tidak
terdapat cuping hidung.
f. Sistem kardiovaskuler
Biasanya pada pasien dengan Typhus Abdominalis yang ditemukan
tekanan darah yang meningkat akan tetapi bisa didapatkan tachiardi
saat pasien mengalami peningkatan suhu tubuh.
g. Sistem integument
Kulit bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral
hangat.
h. Sistem eliminasi
Pada pasien Typhus Abdominalis kadang-kadang diare atau
konstipasi, produk kemih pasien bisa mengalami penurunan (kurang
dari normal). N ½ -1 cc/kg BB/jam.
i. Sistem muskuloskoletal
Apakah ada gangguan pada extrimitas atas dan bawah atau tidak
ada gangguan.
j. Sistem endokrin
Apakah di dalam penderita Typhus Abdominalis ada pembesaran
kelenjar tiroid dan tonsil.
k. Sistem persyarafan
Apakah kesadaran itu penuh atau apatis, somnolen dan koma,
dalam penderita penyakit Typhus Abdominalis.

2.3.3 Pemeriksaan Laboratorium


a. Darah tepi terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif, dan
aneosinofilia pada permukaan sakit.
b. Darah untuk kultur (biakan, empedu) dan widal.
c. Biakan empedu basil Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah
pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan
dalam urine dan feses.
d. Pemeriksaan widal. Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah
titer zat ani terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih
menunjukan kenaikan yang progresif.
2.3.4 Diagnosis Keperawatan
Menurut Padila (2013), diagnosis keperawatan yang muncul pada
pasien dengan Typhus Abdominalis adalah sebagai berikut.
a. Resti ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit b.d Hipertermi
dan muntah.
b. Resti gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d
intake yang tidak adekuat.
c. Hipertermi b.d proses infeksi Salmonella typhi
d. ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari b.d kelemahan fisik
e. Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan
kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.

2.3.5 Intervensi
Menurut Padila (2013), rumusan perencanaan keperawatan pada
klien dengan Typhus Abdominalis berdasarkan diagnosa keperawatan
secara teoritis adalah sebagai berikut.
a. Resiko tinggi gangguan ketidakseimbangan volume cairan dan
elektrolit, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan Hipertermi dan
muntah.
1) Tujuan : Ketidakseimbangan volume cairan tidak terjadi
2) Kriteria hasil:
a) Membran mukosa bibir lembab,
b) Tanda-tanda vital (TD, S, N dan RR) dalam batas normal,
c) Tanda-tanda dehidrasi tidak ada.
3) Intervensi:
a) Kaji tanda-tanda dehidrasi seperti mukossa bibir kering, turgor
kulit tidak elastis dan peningkaan suhu tubuh,
b) Pantau intake dan output cairan dalam 24 jam,
c) Ukur BB tiap hari pada waktu dan jam yang sama.
d) Catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah, nyeri dan
distorsi lambung.
e) Anjurkan klien minum banyak kira-kira 2000-2500 cc per hari,
f) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht, K, Na,
Cl)
g) kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan tambahan
melalui perenteral sesuai indikasi.

b. Risiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dai kebutuhan tubuh


berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
1) Tujuan : Risiko nutrisii kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi
2) Kriteria hasil:
a) Nafsu makan bertambah,
b) menunjukan berat badan stabil/ideal
c) nilai bising usus/peristaltik usus normal (6-12 kali per menit)
d) Nilai laboratorium normal,
e) Konjungtiva dan membran mukosa bibir tidak pucat.
3) Intervensi
a) Kaji pola nutrisi klien
b) Kaji makan yang disukai dan tidak disukai klien
c) Anjurkan tirah baring atau pembatasan aktivitas selama fase
akut.
d) Timbang berat badan tiap hari.
e) Anjurkan klien makan sedikit tapi sering
f) Catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah, nyeri dan
distensi lambung.
g) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet
h) Kolaborasi dalam pemeriksaan labratorium seperti Hb, Ht dan
Albumin
i) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antiemetik
seperti (ranitidine).

c. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi Salmonella typhi


1) Tujuan : Hipertermi teratasi
2) Kriteria hasil:
a) Suhu, nadi dan pernafasan dalam batas normal
b) Bebas dari kedinginan
c) Tidak terjadi komplikasi yang berhubungan dengan masalah
Typhus Abdominalis.
3) Intervensi
a) Observasi suhu tubuh klien
b) Anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien
c) Beri kompres dengan air dingin (air biasa) pada daerah axila,
lipat paha, temporal bila terjadi panas.
d) Anjurkan keluarga untuk memakai pakaian yang dapat
menyerap keringat seperti katun
e) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antipiretik

d. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan


dengan kelemahan fisik
1) Tujuan: Kebutuhan sehari-hari terpenuhi
2) Kriteria hasil:
Mampu melakukan aktivitas, bergerak dan menunjukan
peningkatan kekuatan otot.
3) Intervensi
a) Berikan lingkungan yang tenang dan membatasi pengunjung
b) Bantu kebutuhan sehari-hari klien seperti mandi, BAB dan
BAK
c) Bantu klien mobilisasi secara bertahap
d) Dekatkan barang-barang yang selalu dibutuhkan ke meja klien
e) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin sesuai
indikasi.

e. Resti infeksi sekunder berhubungan dengan tindakan invasive


1) Tujuan: Infeksi tidak terjadi
2) Kriteria hasil:
a) Bebas dari eritema
b) Bengkak
c) Tanda-tanda infeksi
d) Bebas dari sekresi purulen/drainase serta febris
3) Intervensi
a) Obsevasi tanda-tanda vital (S, N, TD dan RR)
b) Observasi kelancaran tetasan infuse,
c) Monitor tanda-tanda infeksi dan antiseptik sesuai dengan
kondisi balutan infus
d) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antibiotik
sesuai indikasi.

f. Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang


informasi atau informasi yang tidak adekuat
1) Tujuan: Pengetahuan keluarga meningkat
2) Kriteria hasil:
Menjukan pemahaman tentang penyakitnya melalui perubahan
gaya hidup dan ikut serta dalam pengobatan.
3) Intervensi
a) Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang
penyakit.
b) Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan
klien
c) Beri kesempatan keluarga untuk bertanya bila ada yang belum
dimengerti
d) Beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat
e) Pilih berbagai strategi belajar seperti teknik ceramah, tanya
jawab dan demonstrasi
f) Tanyakan apa yang tidak di ketahui klien
g) Libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada
kien.
2.3.6 Evaluasi
Menurut Padila (2013), evaluasi yang diharapkan untuk klien
dengan gangguan sistem pencernaan karena typhus Abdominalis,
berdasarkan implementasi yang dilakukan adalah tanda-tanda vital stabil,
kebutuhan cairan terpenuhi, kebutuhan nutrisi terpenuhi, tidak terjadi
Hipertermia, klien dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri,
infeksi tidak terjadi dan keluarga klien mengerti tentang penyakitnya.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain
Studi kasus ini adalah studi kasus untuk mengeksplorasi masalah
asuhan keperawatan pada klien Typhus Abdominalis di Rawat Inap
Puskesmas Benculuk Kabupaten Banyuwangi.

3.2 Batasan istilah (Definisi operasional)


Dalam penyusunan karya tulis ini hanya membatasi Bagaimana
Asuhan Keperawatan dengan Masalah Keperawatan Kekurangan Volume
Cairan pada Kasus Typhus Abdominalis.

3.3 Unit analisis (Partisipan)


Studi kasus ini unit analisis (partisipan) adalah pasien rawat inap
Puskesmas Benculuk dengan diagnose Typhus Abdominalis.

3.4 Lokasi dan Waktu


Studi kasus dilakukan rawat inap Puskesmas Benculuk pada bulan
Mei 2018.

3.5 Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunkan adalah:
3.5.1 Wawancara
Anamnese kepada klien, keluarga dan perawat lainya tentang
identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang dan
terdahulu serta riwayat penyakit keluarga.
3.5.2 Observasi dan Pemeriksaan Fisik
a. Observasi dan pemeriksaan fisik pada system tubuh yang meliputi:
Inspeksi, palapasi, perkusi dan auskultasi.
b. Observasi dan pemeriksaan fisik pada system tubuh yang meliputi:
Inspeksi, palapasi, perkusi dan auskultasi.
3.5.3 Studi dokumentasi dan angket
Dari hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan dan data lain
yang relevan dengan Typhus Abdominalis.

3.6 Uji keabsahan data


Uji keabsahan data dilakukan dengan memperpanjang waktu
pengamatan/ tindakan selama 3 hari dan informasi tambahan dari klien,
keluarga klien dan perawat lainnya

3.7 Analisa Data


Analisa data dilakukan dengan cara mengemukakan fakta yang
dibandingkan dengan teori yang ada dan selanjutnya dituangkan dalam
pembahasan

3.8 Etika penelitian


Dalam melakukan studi kasus, penulis perlu mendapatkan
rekomendasi dari institusi dengan mengajukan permohonan izin kepada
institusi yang bersangkutan setelah mendapatkan persetujuan barulah
penulis melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika yang
meliputi:
3.8.1 Imformed Consent
Setelah dilakukan penjelasan mengenai tujuan serta maksud
penelitian yang akan dilakukan, maka penulis menyerahkan lembar
permohonan menjadi partisipan sebagai permintaan penulis untuk
menjadi partisipan.
3.8.2 Anomimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan penulis tidak akan mencantumkan
nama partisipan, tetapi hanya memberikan kode sebagai tanda inisial
menjadi partisispan. Adapun inisial nama pada lembar isntrumen
bentuk daftar pertanyaan wawancara hanya untuk memudahkan dalam
tabulasi agar tidak tertukar. Pada saat data di publikasikan nama
tersebut hanya di beri inisial partisipan.
3.8.3 Confidentiality (kerahasiaan)
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiaannya oleh penulis, hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan.

Anda mungkin juga menyukai