Anda di halaman 1dari 29

BABI

LAPORANKASUS

1.1 Identifikasi

Nama :An.OuyTrisulaPituAzi(L)

Medicalrec :1007378

Tgllahir :20Mei1994(23tahun)

Alamat :Jl.MayorZenLrg.YadaRT30rw01Kalidoni
Palembang

Agama :Islam

Statusperkawinan :BelumKawin

Pekerjaan :Pelajar

MRS :29Mei2017

Ruangan :Lematang2.1

1.2 Anamnesa

Keluhanutama Sesaknafassejak1harisebelummasukRumah
Sakit

Keluhantambahan Os mengeluh bengkak pada leher kiri yang disertai


demam tiinggi dan sulit menelan

Riwayatperjalanan 2 minggu yang lalu pasien mengeluh timbul


bengkak di bawah leher kiri, nyeri tekan (+), sesak
Penyakit
nafas (-), nyeri menelan (-). sulit menelan (-).
Demam hilang timbul (+), batuk (+), suara serak
(-), sulit membuka mulut (-).

7 hari yang lalu pasien mengeluh bengkak


semakin besar, disertai demam (+) hilang timbul.
Batuk (+), suara serak (-), sulit membuka mulut (-).
Pasien berobat ke Puskesmas, diberikan obat tetapi
keluhan tidak berkurang.

1 hari yang lalu pasien mengeluh sesak napas


(+), sesak tidak dipengaruhi cuaca atau emosi,
1
pasien lebih nyaman saat posisi duduk, mengi (-).
Demam tinggi (+). Pasien tidak makan dan minum
karena sulit membuka mulut. Pasien kemudian
dibawa ke Poliklinik THT-KL RSMH dan pasien
dirawat.

2
Riwayatpenyakit Sering sakit gigi dan gusi bengkak sejak 1
dankeluhan tahun yang lalu
sistemik Hipertensi disangkal
Alergidebu/dingindisangkal
Darahtinggidisangkal
Diabetesmellitusdisangkal
Kelainandarahdisangkal
Hepatitisdisangkal
Kelainanhatilainnyadisangkal
HIV/AIDSdisangkal
Riwayatpenyakitpernapasandisangkal
Kelainanpencernaandisangkal
Riwayatkelainankelenjarludahdisangkal
Epilepsidisangkal

Riwayat Cabutgigi(+),1tahunyanglalu
perawatangigi Tambalgigi()
danmulut Trauma()
sebelumnya Membersihkankaranggigi()

RiwayatKebiasaan Pasien menggosok gigi 2x sehari saat mandi


pagi.
Pasientidakmenggosokgigisetelahmakan
Pasientidakpernahkontrolkedoktergigi
Kebiasaan mencongkel gigi yang berlubang
dengantangan/bendaasing()
Kebiasaan menggoyangkan gigi yang goyang
hinggalepassendiri()
Kebiasaanmerokok()

3
1.3 Pemeriksaanfisik
a. StatusUmumPasien(Jumat,2Juni2017)
KeadaanUmumPasien :Tampaksakitberat
Sensorium :ComposMentis
BeratBadan :52kg
TinggiBadan :162cm
BMI :19,8kg/m2(underweight)
VitalSign :TD =130/80mmHg
N =114x/menit,isidan
tegangancukup
T =36,8oC
R =22x/menit

b. PemeriksaanEkstraOral:
Wajah
Inspeksi :normocephali,simetris(+)
Bibir :Bibirmerah,lembab
PembesaranKGB:terabapembesaranpadaleherkanandankiri,
kenyal(+),fluktuatif(+),sakit(+)
Temporomandibulajoint:didapatkantrismusdenganjarakinterinsisivus
rahangatasdanrahangbawah3cm

c. PemeriksaanIntraOral:
Debris : (+) pada semua regio
Plak : (+) pada semua regio
Kalkulus : (+) pada gigi 15, 12, 11, 21, 25,26, 35, 32,
41,42, 45
Perdarahan Papila interdental : belum dapat dinilai
Identifikasi risiko karies : belum dapat dinilai
Gingiva : tidak ada
Mukosa : normal
Palatum : normal
4
Lidah : licin, atrofi papil (-)
Dasar Mulut : terdapat phlegmon (infeksi) dasar mulut
Hubungan rahang : belum dapat dinilai
Kelainan gigi geligi :- karies pada gigi 15, 12, 11, 21, 26, 34
- gangrene radiks pada gigi 36 dan 37
- ganggren pulpa pada gigi 46 dan 47
- malposisi gigi 15, 32, 41
- missing teeth gigi 14
- partial erupted gigi 38
- un- erupted gigi 18, 28 dan 48

d. Odontogram
D3 D3 D3 D3
MP D3

18 17 16 15 14 13 12 11 21 22 23 24 25 26 27 28

UE 55 54 53 52 51 61 62 63 64 65 UE

85 84 83 82 81 71 72 73 74 75

48 47 46 45 44 43 42 41 31 32 33 34 35 36 37 38

UE MP MP D3 PE

5
Gambar 1.1: Tampak depan. Terlihat trismus, dan kalkulus dan malposisi pada
region anterior

Gambar 1.2: Tampak wajah simetri dan bekas aspirasi yang ditutup perban

1.4 PemeriksaanPenunjang
1. Laboratorium (29 Mei 2017)
Hb 12,1g/dl
WBC 4700/mm3
HT 36%
PLT 496.000/mm3
SGOT 11
SGPT 8
DiffCount 0/2/45/40/13
Albumin 2,7
Ureum 16
6
Kreatinin 0,64
Kalsium 8,3
Natrium 137
Kalium 3,4
Cl 98
GDS 138 g/dL

II.Radiologi

Gambar 1.3: Rongent Thorax AP Lateral


Kesan :

7
Gambar 1.4: Rongent soft tissue cervical AP Lateral
Kesan:

1.5 Temuanmasalah
Terdapatkalkuluspada gigi 15, 12, 11, 21, 25,26, 35, 32, 41,42,
45. Didapatkankariespadagigi15, 12, 11, 21, 26, 34.Terjadimalposisi
padagigi15,32,dan41. Ditemukanpulagangreneradikspadagigi 36
dan 37,ganggrenpulpapadagigi47dan46.Telahterjadiinfeksipada
radikstersebut.Infeksidicurigaitelahmenjalarkedasarmulut,sehingga
menimbulkan selulitis pada submandibula kanan, atau bisa disebut
dengan angina ludwig. Pembengkakan pada leher telah menimbulkan
nyeri sehingga menyebabkan pasien kesulitan untuk membuka mulut
(trismus)dankesulitanmenelan.

1.6 Rencanaterapi
1. Pemberian antibiotik dosis tinggi
- Ceftriaxone 2x1 gr injeksi iv
- Metronidazole 3x500 mg drip iv
2. Pro ektraksi berkala untuk gigi dengan gangrene radiks jika keadaan
umum membaik
8
3. Pro ektraksi berkala untuk gigi dengan gangrene pulpa jika keadaan
umum membaik
4. Pro scalling untuk menghilangkan kalkulus
5. Rencana penambalan pada gigi yang karies
6. Dental health education

1.7 Prognosis
Dubiaadbonam,karenatelahdilakukanaspirasipadabenjolandan
keadaanumumpasienmulaimembaik.Untukprognosiskelainanpadarongga
mulutadalahdubia. Pasienharusmelakukanpencabutandanperawatangigi
pada gigi yang rusak, secara berkala dan rutin agar tidak terjadi infeksi
berulang dan dapat menimbulakan pus lagi. Oral hygiene yang baik juga
meningkatkanprognosis.

BABII
TINJAUANPUSTAKA
9
2.1 AnatomiRonggaMulut
Mulut adalah rongga lonjong pada permulaan saluran pencernaan. Terdiri
atas dua bagian. Bagian luar yang sempit, atau vestibula, yaitu ruang di antara
gusi serta gigi dengan bibir dan pipi, dan bagian dalam, yaitu rongga mulut yang
dibatasi di sisi-sisinya oleh tulang maxilaris dan semua gigi, dan di sebelah
belakang bersambung dengan awal faring.1
Rongga mulut terbentang mulai dari permukaan dalam gigi sampai
orofaring. Atap mulut dibentuk oleh palatum durum dan mole. Di bagian
posterior palatum mole berakhir pada uvula. Lidah membentuk dasar mulut. Pada
bagian paling posterior dari rongga mulut terletak tonsil di antara kolumna
anterior dan posterior.2

Gambar 2. 1. Rongga Mulut2


Selaput lendir mulut ditutupi epitelium yang berlapis-lapis. Dibawahnya
terletak kelenjar-kelenjar halus yang mengeluarkan lendir. Selaput ini sangat
kaya akan pembuluh darah dan juga memuat banyak ujung akhir saraf sensoris.1
Di sebelah luar mulut ditutupi oleh kulit dan di sebelah dalam ditutupi
oleh selaput lendir mukosa. Ada beberapa bagian yang perlu diketahui, yaitu:
1. Palatum
a. Palatum durum yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum dari sebelah depan
tulang maksilaris. Palatum durum adalah suatu struktur tulang berbentuk
konkaf. Bagian anteriornya mempunyai lipatan-lipatan yang menonjol, atau
rugae.2

10
b. Palatum mole terletak dibelakang yang merupakan lipatan menggantung
yang dapat bergerak, terdiri dari jaringan fibrosa dan selaput lendir.
Palatum mole adalah suatu daerah fleksibel muscular di sebelah posterior
palatum durum. Tepi posterior berakhir pada uvula. Uvula membantu
menutup nasofaring selama menelan.2

Gambar 2. 2 Gigi-geligi dan tulang palatum1

2. Gigi dan komponennya


Gigi anterior yang bertugas memotong dan gigi posterior untuk menggiling.
Pada umumnya otot-otot pengunyah dipersarafi oleh cabang motorik dari saraf
cranial ke 5. Proses mengunyah di kontrol oleh nucleus dalam batang otak.
Perangsangan formasi retikularis dekat pusat batang otak untuk pengecapan dapat
menimbulkan pergerakan mengunyah secara ritmis dan kontinu. Mengunyah
makanan bersifat penting untuk pencernaan semua makanan, terutama untuk
sebagian besar buah dan sayur-sayuran mentah karena zat ini mempunyai
membrane selulosa yang tidak dapat dicerna diantara bagian-bagian zat nutrisi
yang harus diuraikan sebelum dapat digunakan.
Sebuah gigi mempunyai mahkota, leher, dan akar. Mahkota gigi menjulang
di atas gusi, lehernya dikelilingi gusi dan akarnya berada di bawahnya. Gigi
dibuat dari bahan yang sangat keras, yaitu dentin. Di dalam pusat strukturnya
terdapat rongga pulpa.1

11
Gambar 2. 3 Diagram potongan sagital gigi molar pertama bawah manusia3

Semua gigi terdiri atas sebuah mahkota yang menonjol di atas gusi atau
gingival, dan satu atau lebih akar gigi meruncing yang tertanam di dalam lubang
atau alveolus di dalam tulang maksila atau mandibula. Batas antara mahkota dan
akar gigi disebut leher atau serviks.3
Manusia memiliki susunan gigi primer dan sekunder, yaitu:
a. Gigi primer, dimulai dari tuang diantara dua gigi depan yang terdiri dari 2
gigi seri, 1 taring, 3 geraham dan untuk total keseluruhan 20 gigi
b. Gigi sekunder, terdiri dari 2 gigi seri, 1 taring, 2 premolar dan 3 geraham
untuk total keseluruhan 32 gigi.
Fungsi gigi adalah dalam proses matrikasi (pengunyahan).
Komponen-komponen gigi meliputi:
a. Email
Email atau enamel merupakan jaringan terkeras gigi yang dibentuk oleh
sel-sel ameloblast. Ketebalan dan kepadatannya mempengaruhi permukaan
mahkota gigi. Lapisan email yang paling tebal terdapat pada lapisan insisal
dan oklusal gigi dan semakin menipis ke daerah cementoenamel junction.
Email mengandung hiddroksiapatit yang memberikan kekerasan pada gigi.
Kekerasan email juga semakin berkurang mendekati daerah dentin. Kepadatan
email berkurang diakibatkan oleh komponen anorganik pada dentin dan
cementoenamel junction lebih sedikit dibandingkan dengan email. Email
tersusun atas 93-95% komponen anorgani, 1% komponen organik, dan 4% air.
12
Email gigi tidak mengandung persyarafan, sehingga tidak akan menimbulkan
rasa sakit jika terdapat kerusakan hanya sebatas email. Faktor yang
mempengaruhi kerusakan email adalah keasaman makanan dan minuman.
b. Dentin
Dentin terletak di bawah email, terdiri atas rongga-rongga berisi cairan.
Apabila lubang telah mencapai dentin, cairan ini akan menghantarkan
rangsang ke pulpa, sehingga pulpa yang berisi pembuluh saraf akan
menghantarkan sinyal rasa sakit itu ke otak.4
Dentin bersifat semitranslusen dalam keadaan segar, dan berwarna agak
kekuningan. Komposisi kimianya mirip tulang namun lebih keras. Bahannya
20% organic dan 80% anorganik.3
c. Pulpa
Pulpa merupakan bagian yang lunak dari gigi. Bagian atap pulpa
merupakan bentuk kecil dari bentuk oklusal permukaan gigi. Pulpa
mempunyai hubungan dengan jaringan peri- atau interradikular gigi, dengan
demikian juga dengan keseluruhan jaringan tubuh. Oleh karena itu, jika ada
penyakit pada pulpa, jaringan periodontium juga akan terlibat. Demikian juga
dengan perawatan pulpa yang dilakukan, akan memengaruhi jaringan di
sekitar gigi.5
Bentuk kamar pulpa hampir menyerupai bentuk luar dari mahkota gigi,
misalnya tanduk pulpa terletak di bawah tonjol gigi. Pada gigi dengan akar
lebih dari satu, akan terbentuk lantai kamar pulpa yang mempunyai pintu
masuk ke saluran akar, disebut orifisum. Dari orifisum ke foramen apical
disebut saluran akar. Bentuk saluran akar ini sangat bervariasi, dengan kanal
samping yang beragam, selain kadang-kadang juga ditemukan kanal tambahan
(aksesori) yang ujungnya buntu, tidak bermuara ke jaringan periodontal.
(Tarigan, 2002) Pulpa gigi berisi sel jaringan ikat, pembuluh darah, dan
serabut saraf.1
Pada saluran akar ditemui pembuluh darah, jaringan limfe, juga jaringan
saraf, yang masuk ke rongga pulpa dan membentuk percabangan jaringan
yang teratur. Jaringan yang memasok darah dari pulpa, masuk dari foramen
apical, tempat arteri dan vena masuk serta keluar. Selain pembuluh darah dan
jaringan limfe, jaringan saraf masuk juga ke pulpa melalui foramen.5

13
d. Sementum
Bagian email pada akar gigi disebut sementum. Melihat sifat fisik dan
kimiawinya, sementum lebih mirip tulang dari jaringan keras lain dari gigi. Ia
terdiri atas matriks serat-serat kolagen, glikoprotein, dan mukopolisakarida
yang telah mengapur. Bagian servikal dan lapis tipis dekat dentin adalah
sementum aselular. Sisanya adalah sementum selular, dimana terkurung sel-sel
mirip osteosit, yaitu sementosit, dalam ensit dalam matriks.3
Jaringan penyokong gigi:

Gambar 2.4 Jaringan Penyokong Gigi3


a. Tulang Alveolar
Tulang alveolar terdiri atas tulang spons di antara dua lapis tulang
kortikal. Pembuluh darah dan saraf gigi menembus tulang alveolar ke foramen
apical untuk memasuki rongga pulpa. Tulang alveolar cukup labil dan
berfungsi sebagai sumber kalsium siap pakai untuk mempertahankan kadar
darah ion ini. Setelah hilangnya gigi permanen atau setelah periodontitis dapat
terjadi resorbsi nyata dari tulang alveolar.3
b. Gingiva
Gingiva adalah membran mukosa yang melapisi vestibulum dari rongga
mulut dan melipat di atas permukaan luar tulang alveolar. Saat mendekati gigi,
ia menyatu dengan tepian bawah lapis merah muda yang lebih kuat yang
disebut gusi atau gingiva, yang merupakan bagian membrane mukosa yang
terikat erat pada periosteum Krista tulang alveolar. Ia dilapisi epitel berlapis
gepeng dengan banyak papilla jaringan ikat menonjol pada dasarnya. Epitel ini
berkeratin, tetapi dalam lingkungan basah ini ia tidak memiliki stratum
granulosum dan sel-sel gepeng lapis superfisialnya tetap berinti piknotik.3
14
c. Ligamentum Periodontal.
Akar gigi masing-masing dibungkus lapis kolagen padat, membentuk
membrane periodontal atau ligament periodontal di antara sementum dan
tulang a\lveolar di sekitarnya. Serat-seratnya berjalan miring ke atas dari
sementum ke tulang hingga tekanan pada gigi menekan serat-serat yang
tertanam dalam tulang. Ligamen periodontal menahan gigi pada sakunya dan
masih memungkinkan sedikit gerak.3
3. Lidah.
Lidah manusia sebenarnya dibentuk oleh otot-otot yang terbagi atas 2
kelompok, yaitu otot-otot yang hanya terdapat dalam lidah (otot intrinsik) dan
otot-otot ekstrinsik yang salah satu ujungnya mempunyai perlekatan di luar lidah,
yaitu pada tulang rahang bawah di dasar mulut dan tulang lidah. Otot intrinsik
mempunyai serat lebih halus daripada otot ekstrinsik. Otot-otot ini penting dalam
proses mengunyah dan mengucapkan kata-kata. Pergerakan lidah diatur oleh
saraf otak ke-12.6
Permukaan belakang lidah yang terlihat pada saat seseorang membuka
mulut ditutupi oleh selaput lendir yang mempunyai tonjolan-tonjolan (papilla).
Pada papilla ini terdapat alat pengecap (taste-bud) untuk mengenal rasa manis,
asin, asam (di ujung depan), dan pahit (di pangkal lidah). Di samping itu, lidah
juga mempunyai ujung-ujung saraf perasa yang dapat menangkap sensasi panas
dan dingin. Rasa pedas tidak termasuk salah satu bentuk sensasi pengecapan,
tetapi suatu rasa panas yang termasuk sensasi umum. Pengecapan diurus oleh
saraf otak ke-7 dan sensasi umum oleh saraf otak ke-5.6
Apabila lidah diangkat ke atas, suatu perlekatan mukosa, frenulum, dapat
terlihat di bawah lidah di garis tengah yang menghubungkan lidah dengan dasar
mulut.2

Gambar 2. 5 Gambar lidah dari atas2


15
Ruang suprahioid berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada os.
Hyoid dan m. mylohyoideus. Ruang suprahioid termasuk ke dalam ruang
submandibula. Ruang submandibula sendiri dibagi menjadi dua oleh
m.mylohyoideus menjadi ruang sublingual (suprahioid) dan ruang submaksilaris
(inferior).6
Akar gigi, khususnya molar dua dan tiga, setingkat dengan
m.mylohyoideus, sehingga apabila terjadi infeksi dapat menyebar ke daerah
kesekitarnya. Arah penyebaran infeksi pada ruang suprahyoid adalah keatas-
belakang. Sehingga pembengkakan yang terjadi pada daerah ini dapat
menimbulkan obstruksi saluran nafas.6

Gambar 2.6 Ruang Submandibula6


2.2 Ruang potensial leher dalam

16
Gambar 2.7 Potongan Sagital Leher.6

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah
sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid. Ruang yang melibatkan
sepanjang leher terdiri dari: ruang retrofaring, ruang bahaya dan ruang
pervetebra. Ruang suprahioid terdiri dari: ruang submandibula, ruang parafaring,
ruang parotis, ruang mastikor, ruang peritonsil, ruang temporalis. Sedangkan,
ruang infrahioid hanya terdapat ruang pretrekeal.6,7

Gambar 2.8 Ruang potensial leher dalam (A) Potongan aksial, (B) potongan
sagital.

Ket : SMS: submandibularspace; SLS: sublingual space;


PPS:parapharyngeal space; CS: carotid space; MS:masticatory space.
SMG: submandibulargland; GGM: genioglossus muscle;
MHM:mylohyoid muscle; MM: masseter muscle;MPM: medial pterygoid
muscle; LPM: lateralpterygoid muscle; TM: temporal muscle.7

2.3 AbsesLeherDalam
2.3.1 Definisi
Abses leher adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial di
antara fasia leher sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti
gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda
klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang
terlibat. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses
retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina Ludovici (Ludwigs
angina).6,8,9
2.3.2. Klasifikasi
17
1. Abses peritonsil

Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan, dan


biasanya merupakan lanjutan dari infeksi tonsil. Pada abses peritonsil didapatkan
gejala demam, nyeri tenggorok, nyeri menelan, hipersalivasi, nyeri telinga dan
suara bergumam. Abses ini dapat meluas ke daerah parafaring.6,9
2. Abses retrofaring
Abses retrofaring merupakan abses leher dalam yang jarang terjadi,
terutama terjadi pada anak dan merupakan abses leher dalam yang terbanyak
pada anak. Pada anak biasanya abses terjadi mengikuti infeksi saluran nafas atas
dengan supurasi pada kelenjar getah bening yang terdapat pada daerah
retrofaring. Kelenjar getah bening ini biasanya mengalami atropi pada usia 3-4
tahun. Pada orang dewasa abses retrofaring sering terjadi akibat adanya trauma
tumpul pada mukosa faring, perluasan abses dari struktur yang berdekatan.6,9
3. Abses Parafaring
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid, gigi,
parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring merupakan
perluasan dari abses leher dalam yang berdekatan seperti; abses peritonsil, abses
submandibula, abses retrofaring maupun mastikator. 8
4. Abses Submandibula
Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut, air liur banyak,
didapatkan pembengkakan di daerah submandibula, fluktuatif, lidah terangkat ke
atas dan terdorong ke belakang, angulus mandibula dapat diraba. Ditemukannya
pus pada saat aspirasi. Sesak nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah yang
terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.8
5. Angina ludovici
Angina ludovici adalah infeksi ruang submandibula berupa selulitis
dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak
membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula. Sumber infeksi
seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut yang disebabkan oleh kuman aerob
dan anaerob. Terdapat nyeri tenggorokan dan leher, disertai pembengkakan di
daerah submandibula yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan. Dasar
mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas belakang, sehingga
menimbulkan sesak nafas karena sumbatan jalan nafas.6,8

18
Gambar 2.9. ruang potensial terjadinya abses berdasarkan anatomi

Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis dari infeksi leher dalam9

Ruang Nyeri Trismus Bengkak Disfagia Dispnea

Submandibula Ada Minimal Lantai mulut , Ada jika Ada jika


submylohyoid infeksi infeksi
bilateral bilateral

Lateral Berat Prominen Anterior Ada Jarang


pharyngeal lateral faring,
anterior sudut rahang
bawah

Lateral Minimal Minimal Posterior Ada Berat


pharyngeal lateral faring
posterior (tersembunyi)

Retropharyngea Ada Minimal Posterior Ada Ada


l pharynx

Masticator: Ada Prominen Dapat tak Tidak Tidak


Masseteric dan terlihat ada ada
pterygoid

Masticator: Ada Tidak ada Wajah, orbit Tidak Tidak


Temporal ada ada

19
Buccal Minimal Minimal Pipi Tidak Tidak
ada ada

Parotis Berat Tidak ada Sudut rahang Tidak Tidak


bawah ada ada

2.3.3 Epidemiologi
Penelitian Anggraini (2015) didapatkan abses leher dalam berdasarkan
ruang yang terlibat terbanyak adalah ruang submandibula yaitu 47,1% diikuti
dengan ruang peritonsilar 27,5% , ruang parafaring dan angina ludovici 9,8%,
serta yang paling sedikit pada ruang retrofaring sebanyak 5,9% penderita.
Sedangkan pada penelitian Yang et al (2010) pada 100 kasus infeksi leher dalam
didapatkan abses submandibula 35%, abses parafaring 20%, abses mastikator 13
%, abses peritonsil 9%, abses sublingual 7%, parotis 3%, infrahyoid 26%,
retrofaring 13%, dan ruang karotis 11%. Bila dilihat dari prevalensi umur dan
jenis kelamin didapatkan penderita abses leher terbanyak adalah pada kelompok
umur di atas 40 tahun. Hal ini karena faktor-faktor adanya penyakit penyerta
seperti diabetes mellitus, penyakit jantung, hipertensi, gangguan sistem lainnya
yang dapat menjadi etiologi terjadinya abses leher dalam. Berdasarkan jenis
kelamin, penderita abses leher dalam lebih banyak dijumpai pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan, hal ini mungkin disebabkan oleh berbagai
faktor.8,11,12
2.3.4 Etiologi
Abses leher dalam paling sering disebabkan oleh infeksi campuran
beberapa kuman. Baik kuman aerob, anaerob maupun kuman fakultatif anaerob.
Kuman aerob yang sering ditemukan adalah stafilokokus, Streptococcus sp,
Haemofilus influenza, Streptococcus Peneumonia, Moraxtella catarrhalis,
Klebsiell sp, Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering adalah
Peptostreptococcus, Fusobacterium dan bacteroides sp. Pseudomanas
aeruginosa merupakan kuman yang jarang ditemukan.7,8,9
Genus stafilokokus yang memiliki kepentingan klinis adalah
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus
saprophyticus. Staphylococcus aureus bersifat patogen utama pada manusia dan
bersifat koagulase-positif. Dengan sifat koagulase ini memiliki potensi menjadi
patogen invasif. Beberapa strain dari S. aureus mempunyai kapsul sehingga

20
menyulitkan tubuh untuk melakukan fagositosis. Infeksi S. aureus dapat bersifat
hebat, terlokalisir, nyeri membentuk supurasi dan cepat sembuh dengan drainase
pus. Staphylococcus epidermidis bersifat koagulase-negatif dan bersifat flora
normal pada tubuh manusia seperti di saluran nafas atas. Infeksi dapat terjadi
akibat adanya trauma atau inflantasi alat-alat, pada daya tahan tubuh yang rendah.
Supurasi lokal merupakan ciri khas infeksi stafilokokus baik koagulase-positif
maupun koagulase negatif. Dari fokus manapun, organisme dapat menyebar
melalui vena maupun limfatik ke bagian tubuh lain. Supurasi dalam vena yang
menimbulkan trombosis merupakan gambaran umum penyebaran tersebut.12
Streptokokus mempunyai berbagai group sesuai dengan sifat dari kuman
tersebut dan tidak ada satu sistem yang bisa mengklasifikasikannya secara
sempurna. Yang banyak berperan pada abses leher dalam adalah Streptococcus
viridan, Streptococcus -haemolyticus, Streptococcus -haemolyticus, dan
Streptococcus pneumonia. Sedangkan Pseudomonas aeruginosa merupakan
patogen oportunistik dalam tubuh manusia, bersifat invasif dan patogen
nasokomial yang penting. Menimbulkan penyakit jika daya tahan tubuh penjamu
lemah. Abses yang dibentuk akibat pseudomas merupakan pus yang hijau
kebiruan. Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses leher dalam adalah
kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella, maupun
Fusobacterium. Gejala klinis yang menandakan adanya infeksi anaerob adalah: .
sekret yang berbau busuk akibat produk asam lemak rantai pendek dari
metabolisme anaerob, infeksi di proksimal permukaan mukosa, adanya gas dalam
jaringan, dan hasil biakan aerob negatif.12
2.3.5 Patogenesis
Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal
dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh
baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi atau perforasi.
Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu maka
kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian
besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman
aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.8
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu
hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi

21
tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.Infeksi dari
submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan
infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya
infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya. Permulaan stadium ditandai
dengan area infiltrat yang bengkak dan hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi
supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Bila proses peradangan berlanjut
ke area sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada muskulus pterigoid interna
sehingga timbul trismus.7,8,12

Gambar 10. Jalur perluasan potensial abses leher dalam.9


2.3.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Abses peritonsil terdapat odinofagia(nyeri menelan) yang hebat, biasanya
pada sisi yang sama juga terjadi nyeri telinga (otalgia), mungkin juga terdapat
muntah (regurgitasi), mulut berbau(foetor exore), hipersalivasi, suara gumam (hot
potato voice) dan sukar membuka mulut(trismus). Gejala abses parafaring berupa
demam, trismus, nyeri tenggorok, odinofagi dan disfagia. Gejala klinis utama
abses parafaring ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus
mandibula, demam tinggi, pembengkakan dinding lateral faring, sehingga
menonjol ke arah medial.8,10
Gejala utama Abses retrofaring adalah nyeri dan sukar menelan. Selain
itu, juga terdapat demam, leher kaku, dan dapat pula timbul sesak nafas karena
sumbatan jalan nafas terutama di hipofaring, adanya riwayat infeksi saluran napas
bagian atas atau trauma, bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring
dapat timbul stridor. Sumbatan ini dapat mengganggu resonansi suara sehingga
terjadi perubahan suara. Abses submandibula terdapat demam dan nyeri leher

22
disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau dibawah lidah, mungkin
berfluktuasi. Trismus sering ditemukan. Anamnesis yang didapatkan pada abses
ludovici diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau
cabut gigi, gejala dan tanda klinik berupa selulitis dengan tanda khas yakni
pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga
keras pada perabaan submandibula. 8,10
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pada abses peritonsil, didapatkan arkus faring tidak simetris,
pembengkakan di daerah peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan
trismus. Tonsil hiperemis, kadang terdapat detritus, palatum mole tampak
membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Abses retrofaring
tampak benjolan pada dinding belakang faring, biasanya unilateral, mukosa
terlihat bengkak dan hiperemis. Pembengkakan di daerah parafaring ditemukan
pada abses parafaring, pendorongan dinding lateral faring ke medial, dan angulus
mandibula tidak teraba. Abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid akan
memberikan gejala trismus yang lebih jelas. Abses submandibula didapatkan
demam,pembengkakan kelenjar submandibula atau sublingual dengan disertai
nyeri tekan dan fluktuasi. Keadaan gigi dan periordontal yang terinfeksi
ditemukan pada Anguna Ludovici dan tampak pembengkakan hiperemis dan
keras pada palpasi di daerah submandibula. Sedangkan pada Pseudo Angina
Ludovici dapat terjadi fluktuasi.8,10
3. Pemeriksaan penunjang
Abses retrofaring tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm
pada dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan lebih
dari 22 mm pada orang dewasa terlihat dari gambaran foto rontgent. Untuk
memastikan diagnosis abses dapat dilakukan pungsi aspirasi dari tempat yang
paling fluktuatif. 8,9,10

2.3.7 Penatalaksanaan
Prinsip utama adalah menjamin dan memelihara jalan nafas yang adekuat.
Pasien dalam posisi trendelenberg. Jika diperlukan jalan nafas buatan, intubasi
endotrakea sulit dilakukan karena abses merubah atau menyumbat jalan nafas atas.
Jika intubasi tidak mungkin dilakukan, maka dilakukan trakeostomi atau
krikotirotomi serta drainase abses yang baik selain dari dua hal di atas antibiotik

23
dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral.7,8
Pemberian antibiotik yang baik adalah berdasarkan hasil biakan kuman
dan tes kepekaan antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman
membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan
pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji
sensitifitas keluar, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob secara empiris.
Penicillin merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus dan
stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penicilinase. Gentamicin
menunjukkan efek sinergis dengan penicillin. clindamycin efektif terhadap
streptokokus, pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin.
Lebih khusus pemakaian clindamycin pada infeksi polimicrobial termasuk
Bacteroides sp maupun kuman anaerob lainnya pada daerah oral. Pada kultur
yang didapatkan kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole, clindamycin,
carbapenem, sefoxitine, atau kombinasi penicillin dan -lactam inhibitor
merupakan obat terpilih. 7,8

2.4 InfeksiOdontogenik
Infeksi odontogenik merupakan salah satu diantara beberapa infeksi yang
paling sering kita jumpai pada manusia. Pada kebanyakan pasien infeksi ini
bersifat minor atau kurang diperhitungkan dan seringkali ditandai dengan
drainase spontan di sepanjang jaringan gingiva pada gigi yang mengalami
gangguan.13
Infeksi odontogenik umumnya melewati tiga tahap sebelum mereka
menjalani resolusi:
1. Selama 1 sampai 3 hari - pembengkakan lunak, ringan, lembut, dan
adonannya konsisten.
2. Antara 5 sampai 7 hari tengahnya mulai melunak dan abses merusak
kulit atau mukosa sehingga membuatnya dapat di tekan. Pus mungkin
dapat dilihat lewat lapisan epitel, membuatnya berfluktuasi.
3. Akhirnya abses pecah, mungkin secara spontan atau setelah
pembedahan secara drainase. Selama fase pemecahan, regio yang
terlibat kokoh/tegas saat dipalpasi disebabkan oleh proses pemisahan
jaringan dan jaringan bakteri.
24
Patogenesis14,15
Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap abses
dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut yang
merupakan tahap komplikasi. Suatu abses akan terjadi bila bakteri dapat masuk
ke jaringan melalui suatu luka ataupun melalui folikel rambut. Pada abses rahang
dapat melalui foramen apikal atau marginal gingival.
Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan gigi
atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di daerah
membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis. Rangsangan yang
ringan dan kronis menyebabkan membran periodontal di apikal mengadakan
reaksi membentuk dinding untuk mengisolasi penyebaran infeksi. Respon
jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut dapat berupa periodontitis apikalis
yang supuratif atau abses dentoalveolar.
Abses rongga mulut adalah suatu infeksi pada mulut, wajah, rahang, atau
tenggorokan yang dimulai sebagai infeksi gigi atau karies gigi. Kehadiran abses
dentoalveolar sering dikaitkan dengan kerusakan yang relatif cepat dari alveolar
tulang yang mendukung gigi. Jumlah dan rute penyebaran infeksi tergantung
pada lokasi gigi yang terkena serta penyebab virulensi organisme.16,17

25
BABIII
ANALISISMASALAH

Berdasarkan alloanamnesis yang didapatkan dari orang tua pasien, pada


tanggal 29 Mei 2017, seorang pasien bernama Ouy Trisula Pitu Azi, berusia 23
tahun, dengan Abses Leher Dalam.
2 minggu yang lalu pasien mengeluh timbul bengkak di bawah leher kiri, nyeri
tekan (+), sesak nafas (-), nyeri menelan (-). sulit menelan (-). Demam hilang
timbul (+), batuk (+), suara serak (-), sulit membuka mulut (-).
7 hari yang lalu pasien mengeluh bengkak semakin besar, disertai demam (+)
hilang timbul. Batuk (+), suara serak (-), sulit membuka mulut (-). Pasien berobat
ke Puskesmas, diberikan obat tetapi keluhan tidak berkurang.
1 hari yang lalu pasien mengeluh sesak napas (+), sesak tidak dipengaruhi
cuaca atau emosi, pasien lebih nyaman saat posisi duduk, mengi (-). Demam
tinggi (+). Pasien tidak makan dan minum karena sulit membuka mulut. Pasien
kemudian dibawa ke Poliklinik THT-KL RSMH dan pasien dirawat. Riwayat
pencabutan gigi 1 tahun yang lalu.
Saat pemeriksaan, terlihat pasien dengan keadaan umum tampak sakit
berat. Sensorium compos mentis, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 114x/ menit
(isi dan tegangan cukup), suhu 36,8oC, dan pernapasan 20x/ menit. Pasien
mengeluh pada saat masuk rumah sakit dalam keadaan demam tinggi.
Kemungkinan karena infeksi yang terjadi, bakteri mengeluarkan sitokin yang
mengubah set point di hypothalamus sehingga terjadinya demam. Namun saat
pemeriksaan suhu normal, hal ini disebabkan karena pasein telah mendapatkan
terapi antibiotic dan antipiretik. Saat dilakukan palpasi KGB leher, didapatkan
pembesaran difus pada leher kanan dan kiri: kenyal (+), fluktuatif (+), dan
sakit(+). Didapatkan trismus pada pasien ini saat disuruh untuk membuka mulut.

26
Pada pemeriksaan intra oral didapatkan debris dan plak pada semua regio gigi.
Kalkulus pada gigi 15, 12, 11, 21, 25, 26, 35, 32, 41, 42 dan 45. Didapatkan
kariespadagigi15, 12, 11, 21, 26, 34.Terjadimalposisipadagigi15,32,dan41.
Ditemukanpulagangreneradikspadagigi36dan37,ganggrenpulpapadagigi
47dan46.Telahterjadiinfeksipadaradikstersebut.
Adanya gangren radiks pada gigi pasien dapat mencetuskan infeksi pada
akar gigi dan jaringan disekitarnya. gangren radiks ini menjadi tempat yang baik
untuk perkembangbiakan bakteri. Bakteri dapat mencapai jaringan periapikal.
Infeksi menyebar ke tulang spongiosa hingga kortikal. Karena tulang ini tipis,
infeksi akan masuk ke jaringan lunak. Seperti pada pasien ini, infeksi sudah
menyebar secara perikontinuitatum ke ruang potensial sehingga menyebabkan
abses pada leher dan submandibula.
Infeksi pada ruang submandibula ini sering berasal dari molar 2 atau 3
gigi bawah karena akarnya terletak setingkat dengan m.mylohyoideus yang
berada pada ruang ini. Infeksi yang menyebar ini dapat mengangkat lidah ke arah
atas-belakang sehingga dapat menyebabkan gangguan berupa obstruksi saluran
nafas. Pada pasien ini telah timbul gejala sesak nafas.
Penatalaksanaan pada pasien ini dimulai dengan mengevaluasi dan
melakukan proteksi pada jalan nafasnya. Lalu diberikan antibiotik dosis tinggi
seperti ceftriaxon IV dan metronidazole IV, hal ini guna untuk menekan infeksi
yang sedang berlangsung. Jika keadaan pasien telah membaik, dapat dilakukan
tindakan pada bagian gigi yang rusak, yaitu pro ekstraksi pada gigi dengan
gangren radiks dan pulpa disertai pro scalling, penambalan pada gigi yang karies
dan Dental Health Education. Edukasi juga penting untuk diberikan pada pasien
untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut dengan menyikat gigi dua hingga tiga
kali sehari yaitu setelah sarapan dan sebelum tidur selama 3 menit. Pasien juga
diajarkan cara menyikat gigi yang benar.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Pearce, EC. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia;


1979.

2. Swartz, MH. Textbook of Physical Diagnosis. Philadelphia: W.B. Saunders


Company; 1989.

3. Fawcett, DW. Buku Ajar Histologi Edisi 12. Jakarta: EGC; 2002.

4. Maulani, C. Kiat Merawat Gigi Anak, Panduan Orang Tua dalam Merawat
dan Menjaga Kesehatan Gigi bagi Anak-Anaknya. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo; 2005.

5. Tarigan, R. Perawatan Pulpa Gigi (Endodonti). Jakarta: EGC; 2002.

6. Gadre A.K., Gadre K.C. Infection of the deep Space of the neck. Dalam:
Bailley BJ, Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi
ke-4. Philadelphia: JB.Lippincott Compan. 2014.

7. Rosen, E.J. Deep neck spaces and infections. Grand rounds presentatio.,
UTMB, Departmen Of Otolaryngology. London. 2012.

8. Fachruddin,Damila. Abses Leher Dalam. Buku Ajar Ilmu kesehatan Telinga


Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi 7. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.
2014.

9. Ballenger ,J.J. Infection of the facial space of neck and floor of the mouth.
Dalam: Ballenger JJ editors. Diseases of the nose, throat, ear, head and neck.
Edisi ke-16. Philadelphia, London: Lea and Febiger. 2012

10. Quinn ,F.B, Buyten, J. Deep neck Space and Infection. Presentation UTMB,
Dept. of Otolaryngology. 2013.

11. Anggraini,V. Gambaran kasus abses leher dalam di rsup haji adam malik
medan tahun 2012-2014. Skripsi. Fakultas kedokteran Universitas sumatera
utara Medan. 2015.

28
12. Yang S.W., Lee M.H., See L.C., Huang S.H., Chen T.M., Chen T.A. Deep
neck abscess: an analysis of microbial etiology and effectiveness of
antibiotics. Infection and Drug Resistance. International Microbiology
Journal. 2008.

13. Sandor GB. Low DE. Davidson RJ. Antimicrobial treatment options in the
management of odontogenic infections. ADC Journal. 2006.

14. 11. Korner K.R. Manual of minor oral surgery for the general dentist.
blackwell munksgaard. 2006; p. 268-70

15. Les S, Lekven N. Temporal abscess after tooth extractions. BMJ Case
Reports 2010; 10(1136): 1-3.

16. Annals and Essences of Dentistry. Incongruous periapical abscess. 2(2) April
June 2010.

17. Karasutisna T, Endang MD, Soepawardi T. Infeksi Odontogenik. Bandung:


Universitas Padjajaran. p.25,30-42. 2005

29

Anda mungkin juga menyukai