ETIKA PROFESI
Tinjauan Kualitas Pelayanan Publik di Puskesmas Parigi
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
Farid Fauzan Rusyd 153060021250
May Neni Wulandari 153060021358
Muhammad Agra Ramadhani 153060021568
Nurlena Rukada 153060021272
Sapto Krisdiyanto 153060021263
Yunita Saraswati 153060021820
KELAS 5-AI
JANUARI 2017
0
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
pelayanan publik di Puskesmas Parigi.
Makalah ini telah kami susun tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan ini, penulis menyadari masih terdapat beberapa kelemahan, baik dari
segi penulisan maupun kronologis penyampaian dan sebagainya. Oleh sebab itu, penulis
dengan senang hati serta memohon kepada semua pihak dapat menyampaikan kritik dan
saran konstruktif demi penyempurnaan dan perbaikan penlisan ini. Akhir kata, kami berharap
tugas ini dapat bermanfaat khususnya bagi kelompok kami sendiri, dan pembaca pada
umumnya
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................1
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................................................1
BAB 2 LANDASAN TEORI................................................................................................................1
2.1 Teori Pelayanan Publik.................................................................................................................1
2.2 Teori Kode Etik.............................................................................................................................1
BAB 3 PEMBAHASAN.......................................................................................................................1
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan..................................................................................................1
3.2 Hasil Observasi.............................................................................................................................1
3.3 Hasil Wawancara..........................................................................................................................1
3.4 Pembahasan................................................................................................................................1
BAB 4 PENUTUP.................................................................................................................................1
4.1 Kesimpulan..................................................................................................................................1
4.2 Saran............................................................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................1
2
BAB 1
PENDAHULUAN
3
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana standar opersional dan prosedur pelaksanaan pelayanan publik yang
diselenggarakan oleh Puskesmas Parigi?
2. Apa saja aspek yang perlu diperhatikan dalam mengukur etika profesi pelayanan
publik yang telah dilaksanakan oleh Puskesmas Parigi?
4
BAB 2
LANDASAN TEORI
5
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus dapat
memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan, terbuka,
tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas manusia
dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif
menentukan masa depannya sendiri (Effendi dalam Widodo, 2001). Arah pembangunan
kualitas manusia tadi adalah memberdayakan kapasitas manusia dalam arti menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan
krativitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh
adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah).
Dengan ciri sebagai berikut:
1. Efektif, lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran;
2. Sederhana, mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara
mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh
masyarakat yang meminta pelayanan;
3. Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung akan arti adanya kejelasan dan
kepastian mengenai:
a. Prosedur/tata cara pelayanan;
b. Persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif;
c. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam
memberikan pelayanan;
d. Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya;
e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
4. Keterbukaan, mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat
penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta
hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara
terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun
tidak diminta;
5. Efisiensi, mengandung arti:
a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan
pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara
persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan;
6
b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan
masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan
dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
6. Ketepatan waktu, kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan;
7. Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi
masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani;
8. Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan
aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang
Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis di atas, birokrasi publik
dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan
pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka
melayanai, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka
menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaboratis dan dialogis dan dari cara-cara yang
sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha dalam Widodo, 2001).
Dengan revitalitas birokrasi publik (terutama aparatur pemerintah daerah) ini,
pelayanan publik yang lebih baik dan profesional dalam menjalankan apa yang menjadi
tugas dan kewenagan yang diberikan kepadanya dapat terwujud.Secara teoritis sedikitnya
ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang
tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (public service function), fungsi
pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan (protection function).Hal
yang terpenting kemudian adalah sejauh mana pemerintah dapat mengelola fungsi-fungsi
tersebut agar dapat menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif,
efisien dan akuntabel kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya.
Selain itu, pemerintah dituntut untuk menerapkan prinsip equity dalam menjalankan
fungsi-fungsi tadi. Artinya pelayanan pemerintah tidak boleh diberikan secara
diskriminatif. Pelayanan diberikan tanpa memandang status, pangkat, golongan dari
masyarakat dan semua warga masyarakat mempunyai hak yang sama atas pelayanan-
pelayanan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Meskipun pemerintah mempunyai fungsi-fungsi sebagaimana di atas, namun tidak
berarti bahwa pemerintah harus berperan sebagai monopolist dalam pelaksanaan seluruh
fungsi-fungsi tadi. Beberapa bagian dari fungsi tadi bisa menjadi bidang tugas yang
pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pihak swasta ataupun dengan menggunakan
7
pola kemitraan (partnership), antara pemerintah dengan swasta untuk mengadakannya.
Pola kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam memberikan berbagai pelayanan
kepada masyarakat tersebut sejalan dengan gagasan reinventing government yang
dikembangkan Osborne dan Gaebler (1992).
Namun dalam kaitannya dengan sifat barang privat dan barang publik murni, maka
pemerintah adalah satu-satunya pihak yang berkewajiban menyediakan barang publik
murni, khususnya barang publik yang bernama rules atau aturan (kebijakan publik).
Barang publik murni yang berupa aturan tersebut tidak pernah dan tidak boleh diserahkan
penyediaannya kepada swasta. Karena bila hal itu dilakukan maka di dalam aturan tersebut
akan melekat kepentingan-kepentingan swasta yang membuat aturan, sehingga aturan
menjadi penuh dengan vested interest dan menjadi tidak adil (unfair rule). Karena itu
peran pemerintah yang akan tetap melekat di sepanjang keberadaannya adalah sebagai
penyedia barang publik murni yang bernama aturan.
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat
sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai pelayan masyarakat.
Karena itu, kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan umum (public services)
sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana pemerintah mampu
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, yang dengan demikian akan
menentukan sejauhmana negara telah menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan
tujuan pendiriannya.
Dipandang dari sudut ekonomi, pelayanan merupakan salah satu alat pemuas
kebutuhan manusia sebagaimana halnya dengan barang. Namun pelayanan memiliki
karakteristik tersendiri yang berbeda dari barang. Salah satu yang membedakannya dengan
barang, sebagaimana dikemukakan oleh Gasperz (1994), adalah outputnya yang tidak
berbentuk (intangible output), tidak standar, serta tidak dapat disimpan dalam inventori
melainkan langsung dapat dikonsumsi pada saat produksi.
Karakteristik pelayanan sebagaimana yang dikemukakan Gasperz tadi secara jelas
membedakan pelayanan dengan barang, meskipun sebenarnya keduanya merupakan alat
pemuas kebutuhan. Sebagai suatu produk yang intangible, pelayanan memiliki dimensi
yang berbeda dengan barang yang bersifat tangible. Produk akhir pelayanan tidak
memiliki karakteristik fisik sebagaimana yang dimiliki oleh barang. Produk akhir
pelayanan sangat tergantung dari proses interaksi yang terjadi antara layanan dengan
konsumen.
8
Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan umum adalah
mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu
pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik (publik=umum).
Senada dengan itu, Moenir (1992) mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor
material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan
orang lain sesuai dengan haknya. Dalam versi pemerintah, definisi pelayanan publik
dikemukakan dalam Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81
Tahun 1993, yaitu segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di
pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka
upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
B. Nilai-nilai Dasar yang harus dijunjung tinggi oleh Pegawai Negeri Sipil meliputi:
1) ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2) kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
3) semangat nasionalisme;
4) mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan;
5) ketaatan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
6) penghormatan terhadap hak asasi manusia;
7) tidak diskriminatif;
8) profesionalisme, netralitas, dan bermoral tinggi;
9) semangat jiwa korps.
10
5) akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih
dan berwibawa;
6) tanggap, terbuka, jujur, dan akura t, serta tepat waktu dalam melaksanakan setiap
kebijakan dan program Pemer intah;
7) menggunakan atau memanfaatkan semua sumber daya Negara secara efisien dan
efektif;
8) tidak memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang tidak benar.
11
Etika terhadap sesama Pegawai Negeri Sipil:
1) saling menghormati sesama warga negara yang memeluk agama/kepercayaan yang
berlainan;
2) memelihara rasa persatuan dan kesatuan sesama Pegawai Negeri Sipil;
3) saling menghormati antara teman sejawat, baik secara vertikal maupun horizontal
dalam suatu unit kerja, instansi, maupun antar instansi;
4) menghargai perbedaan pendapat;
5) menjunjung tinggi harkat dan martabat Pegawai Negeri Sipil;
6) menjaga dan menjalin kerja sama yang kooperatif sesama Pegawai Negeri Sipil;
7) berhimpun dalam satu wadah Korps Pegawai Republik Indonesia yang menjamin
terwujudnya solidaritas dan soliditas semua Pegawai Negeri Sipil dalam
memperjuangkan hak- haknya.
Menurut PP 42 tahun 2004 pasal 13 ayat (1) huruf a dan b, Pejabat Pembina
Kepegawaian masing-masing instansi menetapkan kode etik instansi; dan Organisasi
Profesi di lingkungan Pegawai Negeri Sipil menetapkan kode etiknya masing- masing.
Kode etik ini ditetapkan berdasarkan karakteristik masing-masing instansi dan
organisasi profesi. Kode etik ini tidak boleh bertentangan dengan kode etik
sebagaimana dia tur dalam PP 42 tahun 2004.
D. Penegakan Kode Etik
Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran Kode Etik dikenakan sanksi
moral. Sanksi moral ini dibuat secara tertulis dan dinyatakan oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian. Sanksi moral dapat berupa: pernyataan secara tertutup; atau pernyataan
secara terbuka.
Dalam Pemberian sanksi moral harus disebutkan jenis pelanggaran kode etik
yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil. Pejabat Pembina Kepegawaian dapat
mendelegasikan wewenangnya dalam memberikan sanksi moral kepada pejabat lain di
lingkungannya sekurang-kurangnya pejabat struktural eselon IV. Pegawai Negeri Sipil
yang melakukan pelanggaran kode etik selain dikenakan sanksi moral, dapat dikenakan
tindakan administratif sesuai dengan peraturan perundang- undangan, atas rekomendasi
Majelis Kode Etik.
Untuk menegakkan kode etik, pada setiap instansi dibentuk Majelis Kode Etik.
Pembentukan Majelis Kode Etik ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian yang
bersangkutan. Keanggotaan Majelis Kode Etik terdiri dari:
a. 1 (satu) orang Ketua merangkap Anggota;
b. 1 (satu) orang Sekretaris merangkap Anggota; dan
12
c. sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Anggo ta.
Dalam hal Anggota Majelis Kode Etik lebih dari 5 (lima) orang, maka jumlahnya
harus ganjil. Jabatan dan pangka Anggota Majelis Kode Etik tidak boleh lebih rendah
dari jabatan dan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang diperiksa karena disangka
melanggar kode etik.
Majelis Kode Etik mengambil keputusan setelah memeriksa Pegawai Negeri Sipil
yang disangka melanggar kode etik. Majelis Kode Etik mengambil keputusan setelah
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri. Keputusan
Majelis Kode Etik diambil secara musyawarah mufakat. Dalam hal musyawarah
mufakat tidak tercapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Keputusan Majelis
Kode Etik bersifat final. Majelis Kode Etik wajib menyampaikan kepulusan hasil
sidang majelis kepada Pejabat yang berwenang sebagai bahan dalam memberikan
sanksi moral dan/atau sanksi lainnya kepada Pegawai Negeri Sipil yang melakukan
pelanggaran kode etik.
13
BAB 3
PEMBAHASAN
14
15
3.3 Hasil Wawancara
Wawancara dilakukan kepada narasumber yaitu Bapak Rahman Sadik sebagai satpam di
Puskesmas Parigi. Berikut transkrip wawancara bersama Bapak Rahman Sadik.
5. Bagaimana apabila pasien tidak memiliki kartu BPJS dan berasal dari luar Pondok
Aren?
Puskesmas Parigi terbuka untuk umum, apabila pasien tidak memiliki kartu BPJS
dan berasal dari luar Pondok Aren maka tetap dilayani hanya saja akan dikenakan
biaya berobat.
17
3.4 Pembahasan
Dewasa ini dalam menjalani sebuah profesi tidak hanya dibutuhkan keahlian
akademik dalam suatu bidang saja. Keahlian akademik tersebut juga harus diimbangi
dengan adanya keahlian dalam berperilaku dan beretika. Oleh karena itu saat ini
lembaga lembaga pendidikan semakin gencar dalam memberikan pelajarn yang
mengandung muatan etika.
Keahlian beretika sendiri tidak dapat dikuasai dengan baik jika hanya dengan
melakukan pembelajaran di dalam kelas. Etika harus dipraktekkan dalam kegiatan
sehari hari agar tertanam kuat dalam diri seseorang. Salah satu hal yang dapat
dilakukan untuk menunjang pembelajaran etika yang baik dan benar adalah dengan
melakukan kunjungan langsung ke lingkungan kerja. Sehingga dapat terlihat
bagaimana etika benar-benar diterapkan secara nyata dalam dunia nyata, tidak hanya
dalam bentuk teori yang bisa dilafalkan dengan mudah.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan, dapat
dilihat bahwa pada dasarnya Puskemas Parigi memiliki etika profesi dan standard
yang mengatur mengenai pelayanan publik.. Standard tersebut bersifat universal di
Dinas Kesehatan khususnya Puskesmas. Dalam mengukur etika profesi pelayanan
publik yang telah dilaksanakan oleh Puskesmas Parigi terdapat beberapa aspek yang
diperhatikan, yaitu:
1. Prosedur Pelayanan
Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan. Berdasarkan observasi yang
telah dilakukan, prosedur pelayanan yang dilakukan oleh Puskesmas Parigi telah
terpampang secara jelas dalam sebuah figura yang di pasang di dinding puskesmas.
2. Persyaratan Pelayanan
Persyaratan Pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan
untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya. Berdasarkan
observasi yang telah dilakukan, persyaratan pelayanan yang ditetapkan oleh Puskesmas
cukup dengan membawa kartu BPJS apabila tidak memiliki maka dikenai biaya
berobat.
18
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, Puskesmas Parigi memberika pelayanan
dengan jelas. Hal ini dapat dilihat dari jawaban narasumber mengenai alur pelayanan
pasien.
4. Kedisiplinan Petugas Pelayanan
Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan
pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukanPuskesmas parigi secara umum telah
melaksanakan pelayanan publik dengan disiplin. Namun, ada beberapa hal yang patut
diperhatikan terkait dengan keterlambatan hadir dari pegawai puskesmas.
5. Ketepatan Waktu Pelayanan
Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam
waktu yang telah ditentukan. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, Puskesmas
Parigi melaksanakan pelayanan publik berdasarkan ketentuan yang telah dimuat dalam
Standard Operasional dan Prosedur mengenai waktu pengambilan kartu pendaftaran
dan waktu pelayanan.
6. Keadilan Mendapatkan Pelayanan
Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak
membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani. Berdasarkan observasi yang
telah dilakukan, Puskesmas Parigi cukup adil dalam memberikan pelayanan publik
kepada masyarakat, misalnya dengan melayani semua pasien yang datang baik yang
mempunyai kartu BPJS maupun yang tidak memiliki kartu BPJS.
7. Kewajaran Biaya Pelayanan
Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya
biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan,
Puskesmas Parigi memberikan pelayanan publik dengan biaya yang sangat wajar dan
transparan. Biaya tersebut dapat di lihat dalam figura yang berisi tarif berobat yang di
pasang di dinding puskesmas.
19
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam menjalani sebuah profesi tidak hanya dibutuhkan keahlian akademik
dalam suatu bidang saja. Keahlian akademik tersebut juga harus diimbangi dengan
adanya keahlian dalam berperilaku dan beretika. Sehingga dapat terlihat bagaimana
etika benar-benar diterapkan dalam dunia nyata, tidak hanya dalam bentuk teori yang
bisa dilafalkan dengan mudah.
Hasil dari observasi dan wawancara yang telah penulis lakukan, penulis
menyimpulkan bahwa dalam segi pelayanan publik Puskesmas Parigi tergolong cukup
baik, dapat dilihat bahwa pada dasarnya Puskemas Parigi telah memiliki etika profesi,
standar opersional, dan menerapkan prosedur pelaksanaan pelayanan publik. Standard
tersebut bersifat universal di Dinas Kesehatan khususnya Puskesmas. Dalam mengukur
etika profesi pelayanan publik yang telah dilaksanakan oleh Puskesmas Parigi, terdapat
7 aspek, yaitu prosedur pelayanan, persyaratan pelayanan, kejelasan petugas pelayanan,
kedisiplinan petugas pelayanan, ketepatan waktu pelayanan, keadilan mendapatkan
pelayanan, dan kewajaran biaya pelayanan sebagaimana telah dijelaskan di atas.
4.2 Saran
Pelayanan publik yang dilakukan oleh Puskesmas Parigi sudah cukup baik namun
masih ada beberapa hal yang perlu digiatkan lagi agar budaya kerja menjadi semakin
kondusif dan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, antara lain terkait dengan
keterlambatan hadir dari pegawai Puskesmas. Seperti yang disampaikan oleh
narasumber bahwa pegawai yang datang terlambat hanya diberikan sanksi berupa
teguran. Apabila hanya sanksi ini yang diberikan, dikhawatirkan pegawai akan
menganggap teguran ini sebagai hal yang biasa dan menjadikan terlambat sebagai
kebiasaannya.
20
DAFTAR PUSTAKA
PP No. 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik
21