Anda di halaman 1dari 46

BAB I

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn. BU
JenisKelamin : Laki-laki
Umur : 51tahun
Alamat : Wates Tengah
Diagnosis Pre-Op : Fissure Maleolus medial dextra
Sprain Ankle + Hematoma Ankle
Tindakan Op : ORIF
Jenis Anestesi : Anestesi Regional Spinal
Tanggal Masuk : 11-08-2016
Tanggal Operasi : 13-08-2016

SUBJEKTIF
Tn. BU, 51 Tahun laki-laki dengan diagnosis Fissure Maleolus medial dextra,
Sprain Ankle + Hematoma Ankle rencana tindakan ORIF dengan ASA 3.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi (+)
Riwayat DM (-)
Riwayat Alergi (-)
Riwayat Asma (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Hipertensi (+)
Riwayat DM (-)
Riwayat Alergi (-)
Riwayat Asma (-)
Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah melakukan operasi sebelumnya
Pasien rutin mengkonsumsi obat antihipertensi

1
OBJEKTIF
B1 : RR 17x/menit

Teeth : dalam batas normal


Tongue : dalam batas normal
Tonsil : T1-T1
Tumor : tidak ada
Tiroid : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Temporal mandibula joint : mulut dapat dibuka sampai 4 jari
Tiromental distance : 6,5 cm
Trakea : posisi lurus, berada di tengah
Tortikolis vertebrae : dalam batas normal
Mallampati score : II
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : SDV +/+, rhonki/, wheezing /

B2 TD : 145/97 mmHg

HR 70 x/menit
Capillary refill time : < 2detik
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Tidak ada pelebaran batas jantung
Auskultasi : BJ S1, S2 reguler, murmur (), gallop ()

2
PARAMETER HASIL NILAI NORMAL
WBC 13,0 4.0 12.0
RBC 4,65 4.00 6.20
HGB 13,9 11.0 17.0
HCT 38,4 35.0 55.0
MCV 82,6 80.0 100.0
MCH 29,8 26.0 34.0
MCHC 36,1 31.0 35.0
RDW 15,3 10.0 16.0
PLT 302 150 400
MPV 6,4 7.0 11.0

B3 : Kejang (-)

GCS E4 M6 V5
Pupil 3mm/3mm :, reflek cahaya direk +/+, reflek cahaya
indirek +/+
Pemeriksaan reflex fisiologis : dalam batas normal
Pemeriksaan reflex patologis : dalam batas normal
B4 : BAK (+), warna kekuningan

B5 : BB: 60 Kg TB: 170 cm IMT: 20,7


Mual (), muntah (), BAB(+)
Abdomen
Inspeksi : Supel
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeritekan (-),hepardan lien tidakteraba

B6 :
- Akral hangat +/+/+/+

3
- Edema //+/
- Sianosis///
- Deformitas//+/
- Kekuatan otot 5/5/nyeri/5
- Suhu axila 36.5 C
- Hematom dan edema pada ankle dextra berwarna biru keunguan
- VE ukuran luka 3x1cm dan diameter 1cm, batas tegas tidak teratur.
permukaan ditutupi oleh serum yang mengering.

ASSESMENT
Pasien laki-laki, usia 51 tahun dengan diagnosis Fissure Maleolus medial
dextra Sprain Ankle + Hematoma Ankle dengan ASA III
Acc Anestesi

PLANNING
Puasa 6-12 jam
ORIF
Pemberian premedikasi
Anestesi spinal
Maintenance O2 dan cairan
Medikasi tambahan
Monitoring post op di recovery room
Alderetes score = 9 rawat di ruangan
Permasalahan
Permasalahan medis Hipertensi grade I
Permasalahan bedah Tidak ada
Permasalahan anestesi Potensial mual muntah
Potensial Hipotensi
Potensial Bradikardi

4
Persiapan Pre-Operasi
1. Persiapan pasien :
a. Informed Consent
b. Pasien puasa 6 12 jam pre op
c. Infuse RL 20 tpm
d. Tanda vital
2. Persiapan alat anestesi :
a. STATIC :
S : ScopeStetoskop, laringoskop
T : Tubes pipa trakea. Dipilih sesuai dengan usia. Usia <5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway pipa mulut-faring (guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway)
T : Tape plester
I : Introducer mandrin atau stilet
C : Connector penyambung pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction
b. Peralatan monitor
Tekanan darah, nadi, EKG, Sp02
c. Spinal set
1) Jarum spinal ujung tajam / jarum spinal dengan ujung tumpul beserta silet
2) Kassa, betadine dan alkohol
3) Spuit 5cc

5
3. Persiapan obat anestesi:
PREMEDIKASI

SEDATIF ANALGESIK ANTIKOLINERGIK ANTIEMETIK AGONIS ANTAGONIS


NARKOTIK RESP 2 RESEPTOR
ADERNEGIK H2
Gol. Barbiturat
(Pentobarbital, Morfin 5- SULFAS ATROPIN ONDANSENTRON KLONIDIN CIMETIDIN
Fenobarbital, 10mg/SK/IV 0,001 0,002mg/kg 4mg 3 5 mcg/kg 200mg
Sekobarbiturat)
Gol. PETIDIN
Benzodiazepin /MEPERIDIN SKOPOLAMIN METOKLORPRAMID RANITIDIN
(Midazolam, /DEMEROL 0.001 0,002 mg/kg 10-20mg 50 100 mg
Diazepam) 50-100MG
Butiroferan FENTANIL GLIKOPIROLAT
(Droperidol) 0,05- 0,1 0,2mg/kg Dehidrobenzperidol ANTASID
0,1MG/KG 15 30 cc
ANTAGONIS
NARKOTIK:
NALOKSON
PELEMAS
OTOT
(Pancuronium,
Doxacunium,
Rocuronium,
Natrixum,
Atracurium)

ANESTESI INHALASI ANESTESI INTRAVENA

HALOTAN GOL. BARBITURAT


ENFLURAN GOL. BENZODIAZEPIN
ISOFLURAN PROPOFOL
SEVOFLURANE KETAMIN
N20 OPIOID
METOKSIFLURAN

6
ANESTESI LOKAL OBAT EMERGENCY
BUPIVACAINE EPINEFRIN

LIDOCAINE EFEDRIN
SULFAS ATROPIN
PROCAINE
AMINOFILIN
TETRACAINE
DEXAMETHASON
LEVOBUPIVACAINE

ROPIVACAINE

Lidocain 2% Sulfas atropin 0,25 mg/cc amp


Bupivacain 0,5% Ondansentron 4 mg/ 2cc amp
Levobupivacain 0,5% Aminofilin 24 mg/ cc amp
Pethidin 100 mg/ 2cc amp Dexamethason 5 mg/ cc amp
Fentanyl 0,05 mg/ cc amp Adrenalin 1 mg/ cc amp
Propofol 200 mg/ 20 cc amp Neostigmin 0,5 mg/ cc amp
Ketamin 100 mg/ cc vial Midazolam 5 mg/ 5 cc amp
Succinilcholin 200 mg/ 10 cc vial Ketorolac 60 mg/ 2 cc amp
Tramus 10 mg/cc amp Difenhiframin 5 mg/ cc amp
Efedrin HCl 50 mg/ cc amp

Durante Operasi
a. Anestesi : Levobupivacain (Chirocain) 0,5% 4 mL
b. Lama operasi : 14.00 14.20
c. Lama anestesi : 13.55 14.45
d. Obat yang digunakan
1) Pre-Medikasi :
- Inj. Ondansetron 4 mg
- Inj. Ketorolac 30 mg
2) Induksi Levobupivacain (Chirocain) 0,5% 4 mL

7
3) Maintenance : O2 3 liter/menit
e. Teknik Anastesi:
1) Jam 13.40 pasien masuk kamar operasi, ditidurkan terlentang di atas meja
operasi, manset dan monitor dipasang.
2) Jam 13.50 dilakukan anastesi spinal dengan prosedur sebagai berikut:
a) Pasien diposisikan duduk tegak dan kepala ditundukkan
b) Dilakukan palpasi dan penekanan di setiap inter space L3-L4, desinfeksi
lokal dan lakukan anestesi lokal menggunakan lidocain 2 mL.
c) Dilakukan penyuntikan dengan jarum Spinocan G 27 menembus sampai
ruang subarachnoid, dengan keluarnya LCS, barbotage positif, suntikkan
induksi Levobupivacain (Chirocain) 4 mL
d) Pasien diposisikan tidur telentang kembali dan pasang kanul nasal
oksigen 3L/m
e) Nilai level blok sensorik hasilnya blok setinggi vertebra toracal 10.
3) Monitoring
Memastikan kondisi pasien stabil dengan monitoring vital sign setiap
lima menit
Pernafasan: O2 nasal canule 3 liter/menit
Monitoring Pasca Operasi
Jam Tekanan Nadi Sp02
Darah
13.50 146/102 86 99
13.55 133/82 73 99
14.00 131/80 66 99
14.05 128/83 72 99
14.10 122/76 59 99
14.15 124/74 59 99
14.20 129/81 61 99

4) Jam 14.20 operasi selesai


5) Jam 14.25 pasien dipindahkan ke recovery room dalam keadaan sadar
dengan posisi terlentang, kepala di ekstensikan, diberikan O2 2 liter/menit,
dan tanda vital di monitoring tiap 5 menit

8
Monitoring Post Operasi (Recovery Room)
Monitoring Post Operasi (RR)
Jam Tekanan Nadi Sp02
Darah
13.50 146/102 86 99
13.55 133/82 73 99
14.00 131/80 66 99
14.05 128/83 72 99
14.10 122/76 59 99
14.15 124/74 59 99
14.20 129/81 61 99

Kriteria pemindahan pasien berdasarkan Aldrette Score :


Point Nilai Pasien
Motorik 4 ekstermitas 2
2 ekstremitas 1
- 0
Respirasi Spontan+batuk 2
Nafas kurang 1
- 0
Sirkulasi <20% 2
20-50% 1
>50% 0
Kesadaran Sadar penuh 2
Ketika dipanggil 1
- 0
Kulit Kemerahan 2
Pucat 1
Sianosis 0
Total 9

9
Post-Operasi saat di Ruang Perawatan (Ruang Edelweiss)
Keluhan:
Mual (-), muntah (-), pusing (+), nyeri (+)
Pemeriksaan fisik:
B1 : airway clear, nafas spontan, RR 20x/menit, rhonki -|-, wheezing -|-
B2 : akral hangat, , HR 68x/menit, TD 140/85 mmHg,
S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
B3 : GCS 15, pupil bulat isokor 3mm, reflex cahaya +|+
B4 : DC (-)
B5 : flat, soefl, bising usus (+) normal
B6 : nyeri saat menggerakan kaki kanan, kaki yang di operasi terbalut
dengan elastic band, edema -|+, sianosis -|-, CRT <2 detik.

10
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

FRAKTUR ANKLE

Definisi
Fraktur (patah tulang) pada ujung distal fibula dan tibia merupakan istilah yang
digunakan untuk menyatakan fraktur pergelangan kaki (ankle fracture). Fraktur ini
biasanya disebabkan oleh terpuntirnya tubuh ketika kaki sedang bertumpu di tanah atau
akibat salah langkah yang menyebabkan tekanan yang berlebihan (overstressing) pada
sendi pergelangan kaki.
Fraktur yang parah dapat terjadi pada dislokasi pergelangan kaki. Fraktur ankle
itu sendiri yang dimaksudkan adalah fraktur pada maleolus lateralis (fibula) dan/atau
maleolus medialis. Pergelangan kaki merupakan sendi yang kompleks dan penopang
badan dimana talus duduk dan dilindungi oleh maleolus lateralis dan medialis yang
diikat dengan ligament. Dahulu, fraktur sekitar pergelangan kaki disebut sebagai fraktur
Pott. Fraktur pada pergelangan kaki sering terjadi pada penderita yang mengalami
kecelakaan (kecelakaan lalu lintas atau jatuh).
Bidang gerak sendi pergelangan kaki hanya terbatas pada 1 bidang yaitu untuk
pergerakan dorsofleksi dan plantar fleksi. Maka mudah dimengerti bila terjadi gerakan-
gerakan di luar bidang tersebut, dapat menyebabkan fraktur atau fraktur dislokasi pada
daerah pergelangan kaki. Bagian-bagian yang sering menimbulkan fraktur dan fraktur
dislokasi yaitu gaya abduksi, adduksi, endorotasi atau eksorotasi.
Epidemiologi
Insidens sering terjadi pada :
1. Fraktur pergelangan kaki menduduki posisi kedua sebagai fraktur yang sering
ditemukan.
2. Fraktur pada anak-anak pada umunya melibatkan lempeng pertumbuhan.
3. Fraktur pada remaja (Fraktur Tillaux) memiliki pola khusus karena penutupan
parsial pada lempeng pertumbuhan.

11
4. Angka kejadian fraktur ini lebih tinggi pada kelompok dewasa muda.
Etiologi
1. Fraktur pergelangan kaki paling sering terjadi pada trauma akut, seperti jatuh,
salah langkah, atau cedera saat berolahraga
2. Lesi patologis jarang menyebabkan fraktur pergelangan kaki

Kondisi yang Berkaitan dengan Fraktur Pergelangan Kaki


1. Keseleo pergelangan kaki (sprain ankle)
2. Keseleo PTT (sprain PTT)
Klasifikasi
Lauge-Hansen (1950) mengklasifikasikan menurut patogenesis terjadinya
pergeseran dari fraktur, yang merupakan pedoman penting untuk tindakan pengobatan
atau manipulasi yang dilakukan.
Klasifikasi yang sering dipakai adalah klasifikasi dari DanisWeber yang
berdasarkan pada level fraktur fibula. Klasifikasi lainnya adalah dari AO serta Lange-
Hansen yang berdasarkan patogenesanya. Klasifikasi Danis Weber adalah sebagai
berikut :
1. Weber type A

Fraktur fibula dibawah tibiofibular syndesmosis yang disebabkan adduksi atau


abduksi. Medial maleolus dapat fraktur atau deltoid ligamen robek.

2. Weber type B

Fraktur oblique dari fibula yang menuju ke garis syndesmosis. Disebabkan


cedera dengan pedis external rotasi syndesmosisnya intak tapi biasanya struktur
dibagikan medial ruptur juga.

3. Weber type C

Fibulanya patah diatas syndesmosis disebut C1 bila 1/3 distal dan C2 bila lebih
tinggi lagi. Disebabkan abduksi saja atau kombinasi abduksi dan external rotasi.
Syndsmosis & membrana interosseus robek juga.

12
Patofisiologi
Penyelidikan-penyelidikan mekanisme trauma pada sendi talocrural ini telah
dilakukan sejak lama sekali. Tapi baru setelah tahun 1942 oleh penemuan-penemuan
berdasarkan penyelidikan eksperimentil pada preparat-preparat anatomik, Lauge Hansen
dari Denmark berhasil melakukan pembagian dari jenis-jenis trauma serta berdasarkan
pembagian ini hampir semua fraktur serta trauma dapat dibagi dalam 5 dasar
mekanismenya.
1. Trauma supinasi/Eversi
Dalam jenis ini termasuk lebih dari 60% dari fraktur sekitar sendi talocrural.
2. Trauma Pronasi/Eversi
Tidak begitu sering, hanya kurang lebih 7 -- 8% fraktur sekitar sendi talocrural.
3. Trauma Supinasi/Adduksi
Antara 9 -- 15% dari fraktur sendir talocrural termasuk golongan ini.
4. Trauma Pronasi/Abduksi
Sekitar 6 -- 17% fraktur sendi talocrural.
5. Trauma Pronasi/Dorsifleksi
Sangat jarang terjadi tapi perlu disebutkan.

13
Fraktur maleolus dengan atau tanpa subluksasi dari talus, dapat terjadi dalam
beberapa macam trauma:
1. Trauma abduksi
Tauma abduksi akan menimbulkan fraktur pada maleolus lateralis yang bersifat
oblik, fraktur pada maleolus medialis yang bersifat avulsi atau robekan pada ligamen
bagian medial.

2. Trauma adduksi
Trauma adduksi akan menimbulkan fraktur maleolus medialis yang bersifat oblik
atau avulsi maleolus lateralis atau keduanya. Trauma adduksi juga bisa hanya
menyebabkan strain atau robekan pada ligamen lateral, tergantung dari beratnya trauma.
3. Trauma rotasi eksterna
Trauma rotasi eksterna biasanya disertai dengan trauma abduksi dan terjadi
fraktur pada fibula di atas sindesmosis yang disertai dengan robekan ligamen medial
atau fraktur avulsi pada maleolus medialis. Apabila trauma lebih hebat dapat disertai
dengan dislokasi talus.
4. Trauma kompresi vertikal
Pada kompresi vertikal dapat terjadi fraktur tibia distal bagian depan disertai
dengan dislokasi talus ke depan atau terjadi fraktur komunitif disertai dengan robekan
diastasis.
Diagnosa Klinis
Diagnosa pasti mengenai trauma pada sendi talocrural tidak dapat didasarkan
secara radiologik saja, karena pemeriksaan ini hanya akan memberikan keterangan yang
sedikit sekali mengenai kerusakan pada ligamenta. Diagnosa pada sendi talocrural
membutuhkan palpasi secara metodik oleh karena kebanyakan struktur yang penting
berada langsung dibawah permukaan kulit. Lakukanlah palpasi pertama pada daerah
yang paling tidak memberikan rasa nyeri, dan singkirkan kemungkinan adanya
kerusakan dengan tidak terdapatnya nyeri tekan setempat serta tidak adanya
pernbengkakan pada daerah tersebut. Misalnya kedua malleoli dapat diraba, dan

14
bilamana tidak memberi rasa nyeri pada penekanan maka kemungkinan fraktur pada
kedua nya kecil sekali. Ligamenta yang mudah diperiksa antara lain adalah :
1. Medial ligamen. Komponen fibulocalcaneal serta talofibular anterior dari
ligamen lateral.
2. Ligamen tibiofibular inferior. Bilamana ligamenta ini tidak nyeri pada perabaan
dan dapat ditegangkan tanpa memberi rasa sakit, kemungkinan kerusakan adalah kecil.
Pada setiap pemeriksaan, lingkup gerak sendi harus diperiksa secara teliti. Batasan dari
gerak atau adanya rasa nyeri harus diperhatikan. Untuk mengetahui stabilitas sendi
talocrural perlu hubungan talus dengan kedua tangkai garpu malleolar diperiksa. Penting
pula diingat bahwa nyeri daerah ini mungkin juga disebabkan oleh karena terdapatnya
fraktur pada os calcaneus atau pada basis os metatarsal ke lima.

Gejala Klinis
Pada fraktur pergelangan kaki penderita akan mengeluh sakit sekali dan tak dapat
berjalan. Ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki, kebiruan atau
deformitas. Yang penting diperhatikan adalah lokalisasi dari nyeri tekan apakah pada
daerah tulang atau pada ligamen.
Nyeri pada pergelangan kaki dan ketidakmampuan menahan berat tubuh.
Deformitas dapat timbul bersama dengan fraktur/dislokasi. Sering juga ditemukan
pembengkakan dan ekimosis.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Berdasarkan Jenis Fraktur

1. Fraktur terisolir maleolus lateralis


Bilamana hanya sebagian tulang yang kecil teravulsi, ini dapat diperlakukan
sebagai suatu robekan ligamen lateral yang partial . Bilamana fragmen lebih besar maka
lebih baik dilakukan immobilisasi dengan gips selama dua sampai tiga minggu, setelah
mana mobilisasi dilakukan tapi dengan Partial Weight Bearing, dan masih melakukan
proteksi dengan elastisch verband.
2. Fraktur maleolus medialis

15
Dapat dicoba dengan reposisi tertutup. Bila berhasil baik dipertahankan dengan
imobilisasi gips di bawah lutut selama 8 minggu. Bila hasil reposisi jelek, harus
dipikirkan kemungkinan terjadinya interposisi periosteum antara kedua fragmen. Untuk
hal ini harus dilakukan tindakan operasi, dipasang internal fiksasi dengan pemasangan
screw.
3. Fraktur maleolus lateralis
Umumnya dengan melakukan reposisi tertutup hasilnya baik. Imobilisasi dengan
gips di bawah lutut selama 6 minggu. Fraktur maleolus lateralis disertai dengan
robeknya ligamen deltoid. Terjadinya fraktur maleolus lateralis dan dislokasi tulang
talus ke lateral. Hal ini dapat coba ditanggulangi dengan reposisi tertutup. Bila hasil
reposisi tertutup gagal, dilakukan tindakan open reduksi dengan pemasangan internal
fiksasi pada tulang fibula.

4. Fraktur maleolus lateralis dan medialis (Bimaleolus)


Terjadi fraktur maleolus lateralis dimana garis patahnya terletak di atas
permukaan sendi pergelangan kaki dan fraktur avulsi maleolus medialis. Hal ini dapat
dicoba dengan melakukan reposisi tertutup. Kalau hasilnya jelek, dilakukan tindakan
operasi reposisi terbuka dengan pemasangan internal fiksasi pada kedua maleolus.

Penatalaksanaan Fraktur Ankle


1. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup
Tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk
kembali seperti letak semula.
2. Imobilisasi fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
3. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan, pemberian
analgetik untuk mengerangi nyeri, status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri,
perabaan gerakan) dipantau, latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk
meminimalakan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah
4. Langkah Umum

16
a. Analgesik dan elevasi adalah terapi yang harus dilakukan.
b. Semua fraktur pergelangan kaki harus dipasangi splint dalam posisi netral.
c. Fraktur fibula yang terisolasi atau fraktur malleolus media yang tak bergeser
harus dipasangi casting below-the-knee.
d. Fraktur stabil harus diterapi secara fungsional dengan splint udara dan
peningkatan fungsi weightbearing secara bertahap.
e. Kesesuaian sendi pergelangan kaki penting untuk dipikirkan ketika melakukan
reduksi pada arthritis post-trauma.
f. Dislokasi harus secepatnya di reduksi dengan menggunakan sedasi yang sesuai.
g. Pasien yang mengalami fraktur terbuka harus dimasukan ke ruang operasi untuk
dilakukan irigasi, debridement, dan fiksasi dalam jangka waktu 8 jam.
h. Pasien dilarang bertumpu pada pergelangan kaki yang mengalami fraktur hingga
tidak ada lagi nyeri dan tanda-tanda penyembuhan fraktur telah tampak pada gambaran
radiologis.
i. Fraktur bimalleolar atau fraktur fibula dengan cedera ligament media atau cedera
syndesmosis hanya dapat diterapi dengan melakukan operasi.
5. Aktivitas
a. Pergelangan kaki harus diangkat untuk mengurangi pembengkakan.
b. Weightbearing dan ROM yang lebih dini sangat penting dilakukan untuk
mencegah kekakuan.
6. Perawatan
Penggosokan pada splint atau cast sebaiknya tidak dilakukan.
7. Terapi khusus
a. Terapi Fisik
ROM pada sendi MTP dan, kemudian, pada pergelangan kaki dan pertengahan
kaki penting dilakukan untuk mencegah kontraktur dan mengurangi parut jaringan
lunak.
8. Medikamentosa
a. Lini Pertama : Analgesik
b. Operasi

17
Selain persoalan yang terdapat mengenai tindakan operatip pada fraktur yang
tidak stabil ada beberapa trauma pada sendi talocrural yang memang merupakan indikasi
untuk tindakan operatip, seperti :
1) Fraktur Malleolus medialis dengan interposisi jaringan lunak.
2) Diastasis syndesmosis Tibiofibular inferior (distal).
3) Fraktur Posterior marginal (VOLKMAN Striangle) daritibia, bilamana lebih dari
1/3 permukaan sendi.
9. Follow Up
a. Gambaran radiografi pasien harus di-follow up tiap 1-2 minggu
b. Setelah splint awal dilepaskan, pasien sebaiknya dipasangi cast below-the-knee
atau moon boot selama 4 minggu.
c. Setelah itu gambaran radiografi di-follow up lagi tiap 6 minggu hingga fraktur
sembuh.
10. Disposisi
11. Rujukan
Fraktur tidak stabil atau yang bergeser harus segera dirujuk ke dokter spesialis
ortopedi.
Prognosis
Pada umumnya fraktur pergelangan kaki dapat sembuh tanpa komplikasi dan
pasien dapat kembali beraktivitas sebagaimana biasanya.

18
SPRAIN ANKLE

DEFINISI

Sprain adalah cedera akibat penguluran atau kerobekan pada ligamen. Sprain
ankle merupakan cedera yang terjadi pada ligamen berupa robekan dan penguluran yang
mengikat ankle sehingga terjadi nyeri ,limitasi dan disfungsi pada ankle joint. Ligamen
yang sering sekali terkena cedera adalah ligamen pars lateral.

Derajat Sprain

Kelas I: (ringan) terjadi peregangan serat-serat ligament


Kelas II: (sedang) cedera pada ligamen yang sobek
Kelas III: (berat) ligamen benar-benar robek atau pecah

Immediate Treatment

RICE

Rest : hentikan semua aktivitas yang dapat menimbulkan nyeri

Ice : pemberian ice pada 48-72 jam pertama setiap 3-4 jam selama 15-20 menit
dapat mengurangi pendarahan, bengkak dan nyeri

Compression : elastic bandage dililitkan sekitar ankle dengan penekanan yang


cukup dapat menurunkan bengkak.

Elevation : tinggikan posisi ankle hingga lebih tinggi dari posisi jantung untuk
mengurangi pembengkakan

19
ANESTESI SPINAL

DEFINISI

Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan
anestesi dengan memasukan obat analgetik kedalam ruang subaraknoid di daerah
vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai dari
vertebra thorakal 4.

INDIKASI
Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah
papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3
jam.
KONTRA INDIKASI
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua yaitu
kontra indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. :
Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam rongga
subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan intracranial, dan
bisa menimbulkan komplikasi neurologis
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa
terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus
dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.

20
Pasien menolak.

Kontra indikasi relatif :


Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran
infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan
bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar
tidak membingungkan antara efek anestesi dan defiSit neurologis yang
sudah ada pada pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120
menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan
hingga 150 menit.
Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah
jantung akibat efek obat anestesi local.
Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan
Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan.
Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-
ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid


adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis.Medulla spinalis berjalan
mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis (segmen akhir
medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina).Penting diperhatikan bahwa
lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga L1.

21
Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark yang
lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra, diantaranya adalah
:
1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang paling
terlihat di daerah leher.
2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 3-4
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal 5-6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis 4-5
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.

Kutis
Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung procesus
spinosus.
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1 cm.
Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal dari
lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa sensasi
mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat melewati
ligamentum dan masuk keruang epidural.

22
Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah yang
keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah tertusuk.
Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi spinal.
Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada penusukan.
Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri dan
vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan.Terdapat arteri Spinalis
posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla.Arteri spinalis
anterior memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla.Terdapat juga adreti
radikularis yang memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis
memperdarahi radiks.Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena
medularis anterior dan posterior.

23
PERSIAPAN ANESTESI SPINAL
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah ;
Informed consent
Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat
penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.
Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau kifosis,atau
pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak teraba.
Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin(PT) dan masa
tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan
darah.
Persiapan alat dan obat-obatan :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, Pulse oximetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu
runcing,quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik local : Lidocain 2% dan Chirocain (Levobupivacaine)
4mL
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set.

OBAT-OBATAN PADA ANESTESI SPINAL


Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipmnya merupakan obat anestesi
local. Anestetik local adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan pada
jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi local bersifat
reversible.

24
Obat anestesi local yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap jaringan
saraf.Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat mungkin dan
masa kerja harus cukup lama.Zat anestesi local ini juga harus larut dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid dan
golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya berbeda
pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi local ini adalah menghambat
pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja obat anestesi local
adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah permeabilitas membrane pada kanal
Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan dihantarkan ke pusat
nyeri.
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008.
Anastetik local dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobaric. Anastetik local
dengan berat jenis lebihbesar dari LCS disebut hiperbarik.Anastetik local dengan berat
jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik.Anastetik local yang sering digunakan
adalah jenis hiperbarik diperolehdengan mencampur anastetik local dengan
dextrose.Untuk jenis hipobarik biasanyadigunakan tetrakain diperoleh dengan
mencampur dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum
digunakan.
Lidokaine5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hyperbaric, dosis 20-
50mg(1-2ml).
Bupivakaine 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20mg.
Bupivakaine 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,dosis
5-15mg(1-3ml).
Obat Anestesi local memiliki efek tertentu di setiap system tubuh manusia.Berikut
adalah beberapa pengaruh pada system tubuh yang nantinya harus diperhatikan saat
melakukan anesthesia spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi local,
menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan terjadi
paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.

25
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls saraf. Jika
impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu, maka bisa
terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan bradikardia. Jika dosis
yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat terjadi aritmia, hipotensi,
hingga henti jantung. Maka sangat penting diperhatikan untuk melakukan
aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi local agar tidak masuk ke pembuluh
darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka memungkinkan
terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat alergi pasien. Pada reaksi
local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine seperti gatal, edema, eritema.
Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh darah, dapat menyebabkan reaksi
anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila disuntikkan
langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi yang tidak teratur,
bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan pembekuan
darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan yang lebih lama
saat menggunakan obat anestesi local.

Dalam penggunaan obat anestesi local, dapat ditambahkan dengan zat lain atau
adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya pada
anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :

1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat


berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme kerja obat
anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local dimetabolisme lambat di
dalam rongga subaraknoid. Dan proses pengeluarannya sangat bergantung
kepada pengeluaran oleh vena dan saluran limfe. Penambahan obat

26
vasokonstriktor bertujuan memperlambat clearance obat dari rongga subaraknoid
sehingga masa kerja obat menjadi lebih lama.
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat onset
terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid misalnya fentanyl
adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini sejalan dengan struktur
pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga penyerapan obat anestesi local menjadi
semakin cepat. Penelitian juga menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid
pada anestesi spinal menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin
adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya hipotensi
akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.

Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi spinal
terdapat pada table dibawah ini.

Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal

LEVOBUPIVACAINE

Levobupivacaine adalah golongan dari amid anestesi lokal. Levobupivacaine


memblokir konduksi saraf impuls, yang meningkatkan ambang batas untuk eksitasi
listrik di saraf, dengan memperlambat propagasi impuls saraf, dan mengurangi laju
kenaikan dari potensial aksi. Secara umum, perkembangan anestesi berhubungan dengan

27
diameter, mielinisasi, dan kecepatan konduksi saraf . Konsentrasi levobupivacaine
dalam plasma setelah pemberian terapi tergantung pada dosis dan juga pada rute
pemberian, karena penyerapannya dipengaruhi oleh vaskularisasi dari jaringan. Puncak
tingkat dalam darah dapat mencapai sekitar 30 menit setelah pemberian melalui
epidural, waktu paruh Levobupivacaine adalah 4 jam.
Pada Levobupivacaine laju protein binding lebih cepat mencerminkan tingkat
penurunan toksisitas, toksisitas sistem saraf kardiovaskular dan pusat menurun dan
signifikan lebih lama untuk durasi blokade sensorik ketika levobupivacaine digunakan
serta pada penggunaan Levobupivacaine menyebabkan berkurangnya denyut jantung
dan secara signifikan mengurangi tekanan darah. Levobupivacaine dan Bupivacaine
sama efektif untuk anestesi spinal baik berkaitan dengan waktu onset, durasi sensorik
dan motorik blokade. Memang, levobupivacaine umumnya menunjukkan blokade
motorikdan sensorik lebih berkelanjutan yang membuat levobupivacaine menarik
sebagai alternatif untuk bupivacaine.

Dosis Levobupivacaine

Dosis anestesi lokal berbeda dengan prosedur anestesi, daerah yang akan dibius,
vaskularisasi dari jaringan, jumlah segmen neuronal akan diblokir, dan intensitas blok,
tingkat relaksasi otot diperlukan, durasi anestesi diinginkan, toleransi individu, dan
kondisi fisik pasien.

28
Efek samping

- Hipotensi
- Mual muntah
- Nyeri pasca operasi
- Demam
- Anemia
- Pruritus
- Sakit kepala
- Sembelit,
- Penurunan curah jantung,
- Bradikardia atau ventrikel takiaritmia yang dapat menyebabkan henti jantung

TEKNIK ANESTESI SPINAL

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah
ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi
tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.

1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat sebanyak 500


- 1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik. Dapat
menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista
iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi ligamen
interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin harus
menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum

29
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum
(introducer), yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik biasa 10cc.
Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, epidural, duramater,
subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal
akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan obat analgesik ke dalam
ruang arachnoid tersebut.
Posisi Lateral pada Spinal Anestesi

Posisi Duduk pada Spinal Anestesi

30
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian.Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari sumbu
tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral dari garis
tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.

Tusukan Medial dan Paramedial

Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan


monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada dermatom
di kulit.Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi motoric pasien dimana
pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa hangat, kesemutan, dan tidak
terasa saat diberikan rangsang.Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah pernapasan,
tekanan darah dan denyut nadi.Tekanandarah bisa turun drastis akibat spinal anestesi,
terutama terjadi pada orang tua yang belum diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita
sadari dengan melihat monitor dan keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan
turun, kulit menjadi pucat, pusing,mual, berkeringat.

31
Lokasi Dermatom Sensoris

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI SPINAL

Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa factor. Diantaranya adalah :


Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik.
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml
larutan.
Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.

32
Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat
batas analgesia yang lebih tinggi.
Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin
besar dosis yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan
analgetik sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah
dengan posisi pasien.

MASALAH KLINIS PADA ANESTESI SPINAL

Pada praktik sehari-hari dapat ditemukan masalah saat melakukan anestesi


spinal, berikut adalah pendekatan dari beberapa masalah yang lazim ditemukan saat
melakukan anestesi spinal :

1. Jarum terasa sudah menembus bagian yang seharusnya tetapi belum ada cairan
yang keluar : Saat menemukan situasi seperti ini, tunggu kurang lebih 30 detik,
kemudian coba putar 90 derajat jarum tersebut. Jika masih belum didapatkan
LCS, dapat dilakukan injeksi udara 1cc untuk mendorong jika ada sumbatan
pada jarum.
2. Terdapat darah yang keluar melalui jarum : tunggu sesaat, jika perdarahan
berhenti, lanjutkan prosedur. Jika darah terus menetes, kemungkinan saat
penusukan mengenai vena epidural. Jarum harus digerakkan lebih kedalam, atau
diarahkan sedikit lebih medial.
3. Pasien merasa nyeri tajam di kaki : kemungkinan jarum mengenai radiks saraf.
Segera cabut jarum dan ulang tusukan dengan arah lebih ke medial dari tempat
tusukan awal.

33
4. Jarum terasa menusuk tulang : perhatikan kembali posisi pasien apakah saat
dilakukan penusukan, pasien kurang melakukan fleksi tubuh sehingga celah
menjadi sempit. Perlu juga menenangkan pasien karena umumnya pasien
melakukan ekstensi saat menahan nyeri tusukan saat awal jarum mengenai kulit.

KOMPLIKASI TINDAKAN ANESTESI SPINAL


Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan.Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :
1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi
karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan
tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi.
Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi
yang signifikan harus diobati dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan
penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau fenilefedrin.Cardiac arrest pernah
dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi spinal.Henti
jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat
walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti
ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut
tapi ia merupakan dari mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut
reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan
infuse cairan kristaloid (NaCl, Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb
dalam 10 menit segera setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan
infuse cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor
seperti efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit sampai
mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena
aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis,dapat diatasi dengan
sulfas atropine 1/8-1/4mg IV.
2. Blok Tinggi atau Total

34
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan
dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal
ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika
tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat
dan dilatasi arterial dan kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah
komplikasi yang paling sering terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan
terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang
cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan
faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total.
Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas
terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenikus
biasanya dipertahankan.Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong
terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung
akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang
mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti jantung. Pengobatan
yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk
pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan positif.Setelah
tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti
sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh
komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.

3. Komplikasi Sistem Respirasi


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan
anestesi spinal adalah :
Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila
fungsi paru-paru normal.
Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok
spinal tinggi.
Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau
karena hipotensi berat dan iskemia medulla.

35
Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas,merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani
dengan pernafasan buatan.

4. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi,hipoksia,tonus parasimpatis
berlebihan,pemakaian obat narkotik,reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed,pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi
dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi
lumbal,dengan kekerapan yang bervariasi.Pada orang tua lebih jarang dan pada
kehamilan meningkat.Untuk menangani komplikasi ini dapat diberikan obat
tambahan yaitu ondansetron atau diberikan ranitidine.
5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri
kepala.Nyeri kepala inibisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural
pada anestesi epidural.Insidenterjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor
seperti ukuran jarum yang digunakan.Semakin besar ukuran jarum semakin besar
resiko untuk terjadi nyeri kepala.Selain itu,insidensi terjadi nyeri kepala juga
adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi.Nyeri kepala post
suntikan biasanya muncul dalam 6 48 jam selepas suntikan anestesi spinal.
Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke
retroorbital, dan sering disertai dengan tanda diplopia, mual, dan muntah.
Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin
bertambah bila pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke
posisi duduk, dan akan berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi
konservatif dalam waktu 24 48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah
baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena),analgesic, dan suport yang
kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi
perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan
kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan

36
extradural.Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan
salin ke dalam epidural untuk menghentikan kebocoran.

6. Komplikasi Sistem Respirasi


Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari
tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari
struktur ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri
punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat di obatisecara simptomatik
dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat saja.

7. Komplikasi Sistem Respirasi


Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah
rendah.Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik.
Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan
demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya memerlukan
pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang dalambeberapa
hari.Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom
ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah
beberapa minggu atau bulan ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal,
inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang bervariasi pada defisit motorik
pada ekstremitas bawah.Komplikasi neurologic yang paling serius adalah
arachnoiditis adesif.Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan
setelah anestesi spinal dilakukan.Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan
kelemahan motorik pada tungkai yang progresif.Pada penyakit initerdapat reaksi
proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda
spinal.Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial
yang lama.Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran
darah ke korda spinal.Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma
tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan
solution anestesi lokal intraneural sangat jarang, tapi tetap mungkin terjadi.

37
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat
jarang berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam
ruang subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral merupakan
pembuluh darah besar di area lumbar yang menyebar keruang subaraknoid dari
akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari anesthesiaadalah
jarang.Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah
karenaiskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan fungsi sensoris
tidak merata adalahefek sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf
dan bukan akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga
penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri: kekurangan suplai darah ke arteri
spinal anterior karena terjadi gangguan suplai darah dari arteri-arteri yang
terganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari arteri karena hipotensi yang
berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti vena mahu pun
obstruksi aliran.
Anestesi regional merupakan penyebab yang mungkin yang menyebabkan
terjadinya sindrom spinal-arteri anterior oleh beberapa faktor.Contohnya anestesi
spinalmenggunakan obat anestesi lokal yang dicampurkan dengan epinefrin.Jadi
kemungkinanepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteri spinal
anterior atau pembuluh darahyang memberikan bekalan darah.Hipotensi yang
kadang timbul setelah anestesi regionaldapat menyebabkan kekurangan aliran
darah.
Infeksi spinal sangat jarang kecuali dari penyebaran bakteri secara
hematogen yang berasal dari fokal infeksi ditempat lain. Jikaanestesi spinal
diberikan kepada pasien yang mengalami bakteriemia, terdapat kemungkinan
terjadi penyebaran bakteri ke medulla spinalis.Maka penggunaan anestesi spinal
padapasien dengan bakteremia merupakan kontra indikasi relatif.
Jika infeksi terjadi di dalamruang subaraknoid, akan menyebabkan
araknoiditis. Tanda yang paling menonjol pada komplikasi ini adalah nyeri
punggung yang berat, nyeri lokal, demam,leukositosis, dan rigiditas nuchal.Oleh
karena itu, tidak diperbolehkan jika menggunakan anestesiregional pada pasien
yang mengalami infeksi kulit lokal pada area lumbal atau yang menderita

38
selulitis.Pengobatan bagi komplikasi ini adalah dengan pemberian antibiotik dan
drainase jika perlu.

8. Komplikasi Traktus Urinarius


Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun
regional.Fungsikandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali
paling akhir pada analgesiaspinal,umumnya berlangsung selama 24
jam.Kerusakan saraf pemanen merupakankomplikasi yang sangat jarang terjadi.
Pencegahan
Pakailah jarum lumbal yang lebih halus (no. 23 atau no. 25).
Posisi jarum lumbal dengan bevel sejajar serat duramater.
Hidrasi adekuat, minum/infuse 3L selama 3 hari.
Pengobatan
Posisi berbaring terlentang minimal 24 jam
Hidrasi adekuat.
Hindari mengejan.
Bila cara diatas tidak berhasil pertimbangkan pemberian epidural blood
patch yakni penyuntikan darah pasien sendiri 5-10ml ke dalam ruang epidural.
Cara ini umumnya memberikan hasil yang nyata/segera (dalam waktu beberapa
jam) pada lebih dari 90% kasus.

TERAPI CAIRAN

Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :


1. Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
2. Replacement dan dapat untuk tindakan emergency pemberian obat.
3. Untuk memenuhi kebutuhan.
4. Untuk mengatasi syok.
5. Untuk mengatasi kelainan yg ditimbulkan karena terapi cairan yg diberikan

39
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi
Sebelum dilakukan pembedahan harus diamati dan ditentukan penderita
dalam kondisi normovolume. Pada penderita yang mengalami dehidrasi (akibat
muntah, intake < atau ke 3 rd space) harus diresusitasi cairan dulu. Penderita
yang mengalami perdarahan hebat diupayakan tanda vital optimal. Produksi urin
yang diharapkan 0,5 1 cc/kgBB/jam. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam
24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang

5% BB, berat 7% BB. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan


bertambah 10 15 %.

2. Selama operasi
Saat operasi berlangsung, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Kekurangan cairan pra bedah

2. Kebutuhan untuk pemeliharaan

3. Bertambahnya insensible loss karena suhu kamar operasi yang tinggi

4. Translokasi cairan ke 3 rd space dan intersitial

5. Perdarahan

Penggantian cairan pada operasi :

Ringan : 4 cc/kgBB/jam

Sedang : 6 cc/kgBB/jam

Berat : 8 cc/kgBB/jam

Sedangkan untuk bayi dan anak : 2/4/6 cc/kgBB/jam

Prinsip pemberian cairan pada pembedahan :

40
1. Tanda vital stabil, prod urine 0,5-1 cc/kgBB/jam

2. Perdarahan :

- < 10 % EBV ganti dengan kristaloid


- 10-20% ganti dengan darah/koloid
- > 20 % ganti dengan darah

3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari hari pasien.

PEMULIHAN
Setelah operasi dan anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi sebelum pasien dipindahkan
ke bangsal atau pada pasien yang masih memerlukan perawatan intensif di ICU.
Sehingga pada pasien pasca operasi dan anestesi dapat terhindar dari efek samping serta
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

41
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pre-Operatif
Pasien datang dengan fraktur maleolus medial dan sprain ankle dan
berencana akan dilakukan tindakan ORIF. Sebelum dilakukan operasi, dilakukan
pemeriksaan pre-operasi yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang meliputi laboratorium darah dan rontgen untuk menentukan
status fisik ASA. Didapatkan dinilai kondisi fisik pasien termasuk ASA III. Pasien
diminta puasa selama 6-12 jam sebelum operasi.
Rencana jenis anestesi yang dilakukan yaitu regional anestesi dengan
teknik Subarachoid Block dengan jenis anastesi yang dipilih adalah cara spinal.
Anestesi regional baik spinal maupun epidural dengan blok saraf setinggi L3-L4
memberikan efek anastesi yang memuaskan dan kondisi operasi yang optimal bagi
tindakan ORIF. Anestesi spinal ini digunakan pada hampir semua operasi abdomen
bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum, anus dan kaki.

B. Durante Operatif
Teknik anestesi yang digunakan adalah spinal anestesi dengan alasan
operasi yang dilakukan hanya pada bagian tubuh inferior, yaitu bagian kaki
sehingga cukup memblok bagian tubuh inferior saja.
Ketorolac 30mg dan Ondansetron 4mg diberikan sebagai premedikasi.
Ondansetron merupakan suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang
diindikasikan sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan muntah pasca bedah.
Pelepasan 5HT3 ke dalam usus dapat merangsang refleks muntah dengan
mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya. Ondansetron diberikan pada
pasien ini untuk mencegah mual dan muntah yang bisa menyebabkan aspirasi.

Sedangkan Ketorolac merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan


obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan

42
anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat
dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap
reseptor opiat.

Pada pasien ini diberikan Levobupivacaine, Chirocain 0,5% 4mL.


Levobupivacaine merupakan S-enantiomer dari bupivacaine, termasuk satu golongan
yang sama yaitu Golongan Amide. Mekanisme kerja anestesi local ini adalah
menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja obat
anestesi local adalah di membrane sel. Kerjanya adalah mengubah permeabilitas
membrane pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang nantinya akan
dihantarkan ke pusat nyeri.
Pemilihan obat anestesi lokal disesuaikan dengan lama dan jenis operasi yang
akan dilakukan. Pemilihan Levobupivacaine sebagai obat induksi adalah karena mula
kerja yang cepat dan durasi yang lebih lama. Durasi analgetik pada L3-L4 selama 2-6
jam. Serta pemilihan Levobupivacaine dibandingkan dengan Bupivacaine menurut
beberapa penelitian yang sudah dilakukan adalah, pada Levobupivacaine laju protein
binding lebih cepat mencerminkan tingkat penurunan toksisitas, yaitu toksisitas sistem
saraf kardiovaskular dan pusat dan signifikan lebih lama untuk durasi blokade sensorik
ketika levobupivacaine digunakan.
Dan pada penggunaan Levobupivacaine menyebabkan berkurangnya denyut
jantung dan secara signifikan mengurangi tekanan darah. Levobupivacaine dan
Bupivacaine sama efektif untuk anestesi spinal baik berkaitan dengan waktu onset,
durasi sensorik dan motorik blokade. Memang, levobupivacaine umumnya menunjukkan
blokade motorikdan sensorik lebih berkelanjutan hal tersebut yang membuat
levobupivacaine menarik sebagai alternatif untuk bupivacaine.

C. Post Operatif
Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk di monitoring
dengan baik. Di ruang pulih dilakukan observasi tanda vital dan dinilai pemulihan
pasca anestesi dengan Aldrette Score. Jika Aldrette Score <9, pasien boleh
dipindahkan ke ruang perawatan atau bangsal. Pada pasien ini didapatkan nilai
Aldrette Score 9 dan pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan. Pasien

43
diharuskan untuk bed rest 24 jam post operasi dan meminimalisir pergerakan kaki.
Bila tidak ada mual dan muntah, pasien diperbolehkan untuk minum. Observasi
tanda vital terutama tekanan darah dan nadi tiap 30 menit selama 1 jam pertama.

44
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Status gizi pasien adalah normoweight
Terkanan darah pasien tergolong Hipertensi Grade I
Pasien tergolong dalam ASA 3
Indikasi anestesi spinal sesuai.
Dosis ondansetron, ketorolac dan bupivacain sesuai.

B. Saran
Pada operasi dengan anestesi spinal yang menggunakan Levobupivacain 0,5%
dapat ditambahkan adjuvan fentanyl.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug, 5,


2013] Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview.
Accessed on 2013 Oct 15
2. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 123
3. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #146.
4. Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta;
Balai Penerbit FKUI, 259-72.
5. Christiansson, Lennart in Periodicum Biologorum; Update on Adjuvant in
Regional Anesthesi; UDC 57:61, CODEN PDBIAD, 2009, VOL. 111, No 2,
16170.
6. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. Clinical
Anesthesiology 4th Edition [Digital E-Book] Section Spinal, Epidural and Caudal
Anesthesia; Appleton and Lange, 2005. California: McGraw-Hill Publishing.
7. Sjamsuhidajat.R; De Jong.W, Editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi,
Cetakan Pertama, Penerbit EGC; Jakarta.1997. 1058-1064.
8. Sabiston. DC; alih bahasa: Andrianto.P; Editor Ronardy DH. Buku Ajar Bedah
Bagian 2. Penerbit EGC; Jakarta.
9. Schwartz.SI; Shires.GT; Spencer.FC; alih bahasa: Laniyati; Kartini.A; Wijaya.C;
Komala.S; Ronardy.DH; Editor Chandranata.L; Kumala.P. Intisari Prinsip
Prinsip Ilmu Bedah. Penerbit EGC; Jakarta.2000.
10. Apley A.G. et al: Apleys System of Orthopaedics and Fractures, 7th edition.
Butterworth Heinemann, 1993, p. 699-712
11. Bucholz et al: Orthopaedic Decisiton Making, BC Dekker Inc. 1984 p. 62-68
12. Fractures in Adults Charles A. Rockwood Jr. & David P. Green, 2nd ed, 1984

46

Anda mungkin juga menyukai