Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH KEPERAWATAN KLINIK II B

ARDS (Acute Respiratory Distress Sindrome)

Oleh:
Fitri Nurcahyani NIM 102310101029
Alfizar Surya Winata NIM 102310101095
Nita Eka Wijaya NIM 102310101097

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2011
PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya sehinga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ARDS (Acute Respiratory
Distress Sindrome) . Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Keperawata Klinik 2B.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. Suyono Kardis, Sp. Kj., selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan;
2. Ns. Roymond H. Simamora. M. Kep., selaku Sekretaris I Program Ilmu
Keperawatan;
3. Ns. Ratna Sari Hardiani, M.Kep selaku Dosen mata kuliah Keperawatan Klinik
2B;
4. semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis barharap, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.

Jember, Oktober 2011 Penulis


BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Syndrome gawat nafas (respiratory distress syndrome) adalah istilah yang
digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit
yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru (Whalley dan
wong,1995).
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan
sesak napas berat ( dyspnea ), frekuensi napas meningkat (tachypnea ), sianosis yang
menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran
infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanyaatelektasis, kongesti vascular,
perdarahan, edema paru, dan adanya hyalinemembran pada saat otopsi. Sedangkan
menurut Murray et.al (1988) disebut RDS bila ditemukan adanya kerusakan paru secara
langsung dan tidak langsung,kerusakan paru ringan sampai sedang atau kerusakan yang
berat dan adanyadisfungsi organ non pulmonar.
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur,
asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria.
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease
(HMD) didapatkan pada10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan pada
bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru
yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan
berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang
menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas.
Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
Insidens berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya
semakin muda usia kehamilan ibu semakin tinggi kejadian ARDS pada bayi tersebut.
Sebaliknya, semakin tua usia kehamilan semakin rendah kejadian ARDS. Persentase
kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada bayi yang lahir dengan usia
kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang
sekali ditemukan pada bayi cukup bulan (matur). Insidens pada bayi premature kulit putih
lebih tinggi dari pada bayi kulit hitam dan lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dari
pada bayi perempuan (Nelson,1999). Selain itu, kenaikan frekuensi juga ditemukan pada
bayi yang lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan
misalnya ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi,seksio serta perdarahan antepartum.
Dampak dari ARDS (Acute Respiratory distress sindrome) ini adalah dapat
menyebabkan kematian. Kematian disebabkan karena kejadian yang mengawalinya yaitu
disfungsi organ multisystem, atau sepsis. Kebanyakan anak yang menderita ARDS dapat
kembali sembuh pada tahun pertama, meskipun mungkin dapat diidentifikasi kelainan
minimal pertukaran gas melalui uji fungsi paru.

1.2 Tujuan
a) untuk mengetahui pengertian dari ARDS
b) untuk mengetahui epidemiologi dari ARDS
c) untuk mengetahui etiologi dari ARDS
d) untuk mengetahui tanda dan gejala dari ARDS
e) untuk mengetahui patofisiologi dari ARDS
f) untuk mengetahui komplikasi dan prognosis ARDS
g) untuk mengetahui pengobatan dari ARDS
h) untuk mengetahui pencegahan dari ARDS
i) untuk mengetahui pathways dari ARDS
j) untuk mengetahui ASKEP dari ARDS

1.3 Rumusan Masalah


a) apakah pengertian dari ARDS?
b) bagaimanakah epidemiologi dari ARDS?
c) apakah etiologi dari ARDS?
d) apakah tanda dan gejala dari ARDS?
e) bagaimanakah patofisiologi dari ARDS?
f) bagaimanakah komplikasi dan prognosis dari ARDS?
g) bagaimanakah pengobatan dari ARDS?
h) apakah pencegahan dari ARDS?
i) bagaimanakah pathways dari ARDS ?
j) bagaimanakah ASKEP dari ARDS?

1.4 Implikasi Keperawatan


1.4.1 Penatalaksanaan Keperawatan
Pengobatan RDS diarahkan untuk pencegahan. Pencegahan Penyebab lain dari
kematian bayi antara lain adalah perhatian terhadap di mana dan dalam posisi apa bayi
ditempatkan dan usaha-usaha untuk mencegah penganiyayaan anak.
a) Tindakan Pendukung yang Krusial
a. Mempertahankan keseimbangan asam-basa
b. Mempertahankan suhu lingkungan netral
c. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat
d. Mencegah hipotermia
e. Mempertahankan cairan dan elektrolit yang adekuat.

b) Pertimbangan Keperawatan
Dalam merawat bayi ARDS perawat harus melakukan observasi cermat dan
intensif, masalah kompleks yang berhubungan dengan terapi pernapasan harus
diperhatikan terutama pengobatan yang kontinue terhadap hipoksemia dan asidosis.
Fungsi keperawatan yang paling penting adalah mengamati respon bayi terhadap terapi,
mucus mungkin terkumpul di saluran pernapasan yang akan menghambat saluran
pernapasan dan saluran endotrakea (ET). Pengisapan hanya dilakukan bila diperlukan dan
berdasarkan pertimbangan terhadap bayi tersebut. Pertimbangan terhadap pengisapan
termasuk auskultasi dada, pembuktian bahwa oksigenisasi rendah, kelebihan kelembaban
paada selang ET dan kepekaan bayi.
Pada saat melakukan pengisapan mukus, perawat harus menyadari dan waspada
tentang hal berikut. Pengisapan bukan prosedur yang aman karena dapat menyebabkan
spasme bronkus, bradikardia karena stimulasi saraf fagal, hipoksia, dan peningkatan
tekanan intracranial sehingga mendorong bayi pada keadaan hemoragi intraventrikular.
Tindakan ini tidak boleh dilakukan secara rutin, tehnik pengisapan ini dapat
menyebabkan infeksi, kerusakan jalan pernapasan bahkan pneumotoraks.
Penting diperhatiakn bahwa pengisapan yang terus menerus akan ikut
mengeluakan udara bersamaan dengan keluarnya mucus. Oleh karena itu,
sekali pengisapan tidak boleh lebih dari 5 detik ( pengisapan menyebabkan saluranudara
terambat ).
Tujuan pengisapan jalan napas buatan adalah menjaga terbukanya jalannapas,
bukan bronkus. Pengisapan yang dilakukan di luar ET dapatmenyebabkan lesi trauma
pada trakea. Awasi oksigenisasi atau oksimeter denyut nadi sebelum, selama dansesudah
pengisapan untuk memberi penilaian yang terus menerus terhadap status oksigenisasi dan
untuk menghindari hipoksemia.
BAB 2. TINJAUAN TEORI

2. 1 Pengertian
Sindrom distress pernapasan dapat dibagi menjadi Sindrom Distres Pernapasan
Dewasa ( ARDS ) dan Sindrom Distres pernapasan Idiopatik Bayi Baru Lahir ( IRDS ).
ARDS adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas alveolus dan atau
membran kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu gangguan besar pada
sistem paru, kardiovaskuler atau tubuh secara luas. Hyaline membran disease dikenal
juga sebagai respiratory distress syndrome yang idiopatik, merupakan keaadaan akut
yang terutama ditemukan pada bayi prematur saat lahir atau segera setelah lahir, lebih
sering pada bayi dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat badan
dibawah 1500 gram. Kira-kira 60% bayi yang lahir sebelum gestasi 29 minggu
mengalami.
ARDS (Respiratory distres syndrome) adalah perkembangan yang imatur pada
sistem pernafasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. Respiratory
Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD). ARDS adalah
keadaan hipoksia dan cedera paru yang terjadi akibat atelektasis primer yang luas.
Bangunan paru janin dan produksi surfaktan penting untuk fungsi respirasi normal.
Bangunan paru dari produksi surfaktan bervariasi pada masing-masing bayi. Bayi
prematur lahir sebelum produksi surfaktan memadai. Surfaktan, suatu senyawa
lipoprotein yang mengisi alveoli, mencegah alveolar colaps dan menurunkan kerja
respirasi dengan menurunkan tegangan permukaan. Pada defisiensi surfaktan,
tegangan permukaan meningkat, menyebabkan kolapsnya alveolar dan menurunnya
komplians paru, yang mana akan mempengaruhi ventilasi alveolar sehingga terjadi
hipoksemia dan hiperkapnia dengan acidosis respiratory.
Sewaktu usaha bernapas meningkat maka kebutuhan oksigen juga meningkat
yang kemudian meningkatkan usaha bernapas.

2.2 Epidemiologi

Pada tahun 1967, Asbaugh dkk mempublikasikan artikel tentang karakteristik


klinis 12 pasien yang mengalami gagal nafas akut, yang sebelumnya tidak menderita
penyakit saluran nafas dan ternyata hal tersebut diakibatkan oleh trauma, penyalahgunaan
obat, dll. Dapat menyebabkan gagal pernafasan yang mana gangguan pernapasan tersebut
dikenal mirip seperti yang dijumpai pada infant yang mengalami gagal nafas (Hyaline
membrane disease) yang lebih dikenal istilah Respiratory Distress Syndrome.

Adapun macam Respiratory Distress Syndrome :


1. RDS pada dewasa dikenal dengan istilah Acute RDS (dulu Adult RDS) dan
2. RDS pada bayi baru lahir dikenal dengan istilah Hyaline membrane disease.
2.3 Etiologi
2.3.1 Hyaline Membrane Disease (HMD)
a. Prematuritas dengan paru-paru yang imatur (gestasi dibawah 32 minggu)
dan tidak adanya gangguan atau defisiensi surfactant.
b. Bayi prematur yang lahir dengan operasi Caesar.
c. Penurunan suplay oksigen saat janin atau saat kelahiran pada bayi
matur atau prematur.

2.3.2 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


Terjadi akibat cedera langsung pada kapiler paru atau alveolus. Namun karena
kapiler dan alveolus berhubungan sangat erat maka destruksi yang luas pada salah
satunya biasanya menyebabkan destruksi yang lain. Hal ini terjadi akibat pengeluaran
enzim-enzim litik oleh sel-sel yang mati,serta reaksi peradangan yang terjadi setelah
cedera dan kematian sel. Contoh-contoh kondisi yang mempengaruhi kapiler dan
alveolus disajikan di bawah ini:

a. Destruksi Kapiler
Apabila kerusakan berawal di membran kapiler, maka akan terjadi
pergerakan plasma dan sel darah merah keruangan interstisium. Hal ini meningkatkan
jarak yang harus di tempuh oksigen dan karbondioksida untuk berdifusi, sehingga
kecepatan pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di cairan interstisium
bergerak ke dalam alveolus, mengencerkan surfaktan dan meningkatkan tegangan
permukaan. Gaya yang di perlukan untuk mengembangkan alveolus menjadi sangat
meningkat. Peningkatan tegangan permukaan ditambah oleh edema dan
pembengkakan ruang interstisium dapat menyebabkan atelektasis kompresi yang luas,
sehingga kompliansi paru berkurang. Hal ini kemudian menyebabkan penurunan
ventilasi dan hipoksia. Penyebab kerusakan kapiler paru antara lain adalah septikemia,
pancreatitis dan uremia. Pneumonia, inhalasi asap, trauma dan tenggelam juga dapat
merusak kapiler.
b. Destruksi Alveolus
Apabila alveolus adalah tempat awal terjadinya kerusakan, maka luas permukaan
yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang sehingga kecepatan pertukaran gas juga
menurun. Penyebab kerusakan alveolus antara lain adalah pneumonia, aspirasi dan
inhalasi asap. Toksisitas oksigen yang timbul setelah 24-36 jam terapi oksigen tinggi,
juga dapat menjadi penyebab kerusakan membran alveolus melalui pembentukan radikal-
radikal bebas oksigen. Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami hipoksia
sehingga semakin memyebabkan cedera dan kematian sel. Apabila alveolus dan kapiler
telah rusak, maka reaksi peradangan akan terpacu yang menyebabkan terjadinya edema
dan pembengkakan ruang interstisium serta kerusakan kapiler dan alveolus disekitarnya.
Dalam waktu 24 jam setelah awitan ARDS, terbentuk membran hialin di dalam alveolus.
Membran ini adalah pengendapan fibrin putih yang bertambah secara progresif dan
semakin mengurangi pertukaran gas. Akhirnya terjadi fibrosis menyebabkan alveolus
lenyap. Ventilasi, respirasi dan perfusi semuanya terganggu. Angka kematian akibat
ARDS adalah sekitar 50%.

2.4 Tanda dan Gejala


Gambaran klinis anak yang menderita ARDS adalah sebagai berikut:
Dispnea berat, penurunan compliance paru, pernapasan yang dangkal dan cepat
pada mulanya yang menyebabkan alkalosis respiratorik karena karbondioksida
banyak terbang, peningkatan kecepatan pernapasan, kulit kehitaman akibat
hipoksia, rettaksi antargia atau dada setiap kali bernapas, napas cuping hidung,
banyak bayi selamat dari IRDS, di mana gejala mereda dan menghilang biasanya
dalam 3 hari, takipnea (>60x/menit), dan mendengkur, bradikardi, hipotensin,
kardiomegali, edema terutama di daerah dorsal tangan atau kaki, hipotermi, dan
tonus otot yang menurun.

2.5 Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya
untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor
kritis dalam terjadinya RDS. Ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut
terutama disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan. Surfaktan adalah
substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps
pada akhir ekspirasi dan mampu menahan sisa udara fungsional ( Ilmu kesehatan anak,
1985 ).
Surfaktan juga menyebabkan ekspansi paru pada tekanan intra alveolar yang
rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi surfaktan menimbulkan
ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi. Tanpa surfaktan
janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang
keras untuk mengembangkan parunya. Pada setiap hembusan napas (ekspirasi) sehingga
untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intra toraks yang lebih besar
dengan disertai usaha inspirasi yang kuat. Akibatnya, setiap kali bernapas menjadi sukar
seperti saat pertama kali bernapas ( saat kelahiran ). Sebagai akibatnya janin lebih banyak
menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada yang diterima dan ini
menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kelelahan bayi akan
ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat menyebabkan
atelektasis.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmonary vascular
resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paru normal. Akibatnya, terjadi
hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di samping
itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi darah janin dengan
arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arterious dn foramen ovale.
Kolaps paru ( atelektasis ) akan menyebabkan gangguan ventilasi pulmonal yang
menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah konstruksi vaskularisasi pulmonal
yang menimbulkan penurunan oksigenisasi jaringan dan selanjutnya
menyebabkanmetabolisme anaerobic. Metabolisme anaerobik menghasilkan timbunan
asam laktat sehingga terjadi asidosis metabolik pada bayi dan penurunan curah jantung
yang menurunkan perfusi ke organ vital. Akibat lain adalah kerusakan endotel kapiler dan
epitel duktus alveolus yang menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan
terbentuknya fibrin. Fibrin bersama-sama dengan jarngan epitel yang
nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Membran hialin ini
melapisi alveoli dan menghambat pertukaran gas.
Atlektasis menyebabkan paru tidak mampu mengeluarkan karbondioksida darisisa
pernapasan sehingga terjadi asidosis respiratorik. Penurunan PH menyebabkan
vasokontriksi yang makin berat. Dengan penurunan sirkulasi paru dan dan perfusi
alveolar , PaO2 akan menuru tajam, PH juga akan menurun tajam serta materi yang
diperlukan untuk produksi surfaktan tidak mengalir ke dalam alveoli.
Sintesis surfaktan dipengaruhi sebagian oleh PH, suhu, dan perfusi normal.
Asfiksia, Hipoksemia, dan iskemia paru terutama dalam hubungannya dengan
hipovolemia, hipotensi, dan stress dingin dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel
paru dapat juga terkena trauma akibat kadar oksigen yang tinggi dan
pengaruh penatalaksana pernapasan yang mengakibatkan penurunan surfaktan lebih
lanjut.
ARDS adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan mengikuti masa deteriosasi
( kurang lebih 48 jam ) dan jika tidak ada komplikasi paru akan membaik dalam 72 jam.
Proses perbaikan ini terutama dikaitkan dengan meningkatkan produksi dan ketersediaan
materi surfaktan.

2.6 Komplikasi dan Prognosis


Sebagian bayi yang selamat dari ARDS kemudian mengidap
displasia bronkupulmonaris, yaitu suatu penyakit pernapasan kronik yang ditandai
oleh pembentukkan jaringan parut di alveolus, peradangan alveolus dan kapiler, dan
hipertensi paru.. Tanda-tanda dispnea dan hipoksia dapat berlanjut dan menyebabkan
kelelahan, kegagalan pernapasan, dan kematian bayi, biasanya dalam 3 hari. Selain ini
komplikasi yang dapat dialami oleh anak yang menderita ARDS yaitu pneumotoraks,
pneumomediastinum, hipotensi, menurunnya pengeluaran urin, asidosis, hiponatremi,
hipernatremi, hipokalemi, DIC (Disseminated Intravaskuler Coagulation), kejang,
Intraventrikuler Hemorhagi, infekasi sekunder, dan murmur.

Komplikasi jangka pendek ( akut ) (Pramanik.A.MD : 2002) dapat terjadi :


1. Ruptur alveoli, apabila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi
dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea,
ataubradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan
adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat
timbulkarena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-
alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular :
perdarahanintraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyakpada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.4 PDA dengan peningkatan
shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayidengan RDS terutama
pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.

Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen,


tekanan yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen
yang menuju keotak dan organ lain.

Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :

1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD):


merupakan penyakit paru kronik yangdisebabkan pemakaian oksigen pada
bayi dengan masa gestasi 36 minggu.BPD berhubungan dengan tingginya
volume dan tekanan yang digunakanpada waktu menggunakan ventilasi
mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dandefisiensi vitamin A. Insiden BPD
meningkat dengan menurunnya masagestasi.
2. Retinopathy premature:
merupakan kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungandengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan
adanya infeksi.
Ketahanan hidup penderita ARDS pediatric bervariasi. Kebanyakan senter
melaporkan angka kematian sekitar 50-75%. Meta-analisis empat laporan
mengenai ARDS pada anak mendapatkan angka kematian keseluruhan 52%.
Penelitian multisenter pada 41 unit perawatan intensif pediatric didapatkan 470
anak dengan kegagalan pernapasan akut (ditentukan dengan ventilasi mekanik,
PEEP 6 cm H2O dan kebutuhan FIO2 0,5 selama 12 jam) dengan angka kematian
43%. Kematian disebabkan karena kejadian yang mengawali, disfungsi organ
multisystem, atau sepsis. Untuk yang bertahan hidup, harapan untuk
penyembuhan fungsional cukup baik. Kebanyakan anak dapat kembali ke keadaan
sebelum sakit pada tahun pertama meskipun mungkin dapat diidentifikasi kelainan
minimal pertukaran gas melalui uji fungsi paru. Keluaran jangka panjang
kembalinya fungsi paru pada mereka yang bertahan hidup cukup baik dan
mungkin lebih baik dari pada orang dewasa.

2.7. Pengobatan
Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
a. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
b. Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkancairan paru
c. Fenobarbital
d. Vitamin E untuk menurunkan produksi radikal bebas oksigen
e. Metilksantin (teofilin dan kafein) untuk mengobati apnea dan
untuk pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik
f. Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaanya
adalah pemberian surfaktan eksogen.

Surfakatan eksogen adalah derivate dari sumber alami misalnya manusia (


didapat dari cairan amnion atau paru sapi,tetapi bisa juga berbentuk
surfakatan buatan ).
2.8 Pencegahan

2.8.1 Mencegah kelahiran prematur

Yang terpenting adalah mencegah prematuritas, seperti menghindari operasi


caesar yang tidak perlu, penganan yang baik dari kehamilan dan persalinan yang berisiko
tinggi, prediksi dan terapi intra uterin dari imaturitas paru-paru.

Menurut Goldenberg, hal-hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kelahiran


prematur adalah, ibu yang merokok, abnormalitas ductus Mulerian, ibu yang bekerja
terlalu keras selama kehamilan. Pemberian preparat Fe mencegah ibu mengalami anemia,
hal ini ternyata dapat mengurangi angka kelahiran prematur. Pada 10 % wanita hamil
yang menjalani apus vagina pada kehamilan 24 27 minggu, ditemukan fibronektin yang
merupakan penanda terjadinya infeksi. Infeksi dapat menimbulkan kelahiran yang
prematur, oleh karena itu sedang dilakukan penelitian apakah aman bila ibu hamil dengan
infeksi diberikan terapi metronidazol.

2.8.1.1 Cervical cerclage

Wanita yang pernah mengalami keguguran pada trimester kedua > 3x, atau
kelahiran prematur tanpa alasan yang jelas, mungkin mengalami inkompetensi servik.
Bila ditemukan servik berdilatasi dengan membran (ketuban) uth dan tanpa tanda-tanda
infeksi, harus dipertimbangkan untuk segera melakukan cervical cerclage. Dapat
dilakukan ultrasound untuk menentukan panjang servik, sehingga dapat memprediksi
kelahiran prematur, dan melakukan cervical cerclage untuk mencegahnya. (5)

2.8.1.2 Antibiotik untuk ibu

Pemberian antibiotik untuk preterm prelabour rupture of the membrane (ketuban


pecah sebelum waktu), dapat mengurangi insidensi kelahiran premature, infeksi neonatus
dan perdarahan periventrikular, namun tidak berpengaruh terhadap kematian perinatal,
dan efeknya terhadap insidensi RDS masih dipertanyakan. Keuntungan pemberian
antibiotik lebih banyak dari efek buruknya. Karena itu dapat diberikan eritromisin 500 mg
qds ditambah amoxicillin / clavulanic acid (Augmentin) 375 mg qds untuk 7 hari. Apabila
organisme penyebab diperkirakan Mycoplasma hominis, dapat diberikan klindamisin 150
mg qds selama 7 hari.

2.8.1.3 Tokolitik

Pemberian ritrodine memperlambat persalinan selama 24 jam namun tidak


mengurangi resiko RDS atau kematian perinatal. Penggunaannya dibatasi dalam waktu
singkat untuk mempersiapkan kelahiran prematur dan memberikan sterooid antenatal.
Efek sampingnya antara lain edema paru. Pemberian merupakan kontra indikasi bagi
wanita dengan penyakit jantung, hipertiroid, dan diabetes. Untuk wanita-wanita tersebut
dapat diberikan indometasin sebagai tokolitik.

2.8.2 Membantu pematangan paru

Menurut Gulck dan Kulovich (1973), cairan paru-paru fetus merupakan bagian
yang penting dari cairan amnion. Clements et al (1972) menentukan ada tidaknya
surfaktan pada cairan amnion dengan melakukan tes kocok. Dasar dari tes ini adalah sifat
surfaktan yang membentuk buih yang stabil bila ada ethanol. Sejumlah cairan amnion
diencerkan berseri dengan ethanol 95 %. Masing-masing dikocok 15 detik, diamkan 15
menit. Adanya cincin buih yang tidak terputus pada meniskus pada tiga tabung pertama
atau lebih berarti positif (paru-paru matur).

Untuk mengetahui maturitas paru, dapat juga dilakukan pemeriksaan ada tidaknya
phosphatydilglycerol dari cairan amnion. Phosphatydilglycerol muncul di cairan amnion
pada usia kehamilan 36 minggu. Keberadaannya menunjukan kematangan paru.

Pada saat menentukan waktu untuk induksi persalinan atau operasi caesar,
perkiraan lingkar kepala fetus dengan USG dan penentuan konsentrasi lecithin pada
cairan amnion dengan rasio lecithin : sphingomyelin, menurunkan kemungkinan lahirnya
bayi prematur. Pemantauan intrauterin antenatal dan intrapartum menurunkan
kemungkinan terjadinya asfiksia, yang dikaitkan dengan meningkatnya insidensi dan
beratnya HMD.
Obat-obat tocolysis (-agonist : terbutalin, salbutamol) sebagai relaksasi uterus.
Contoh : Salbutamol (ex: Ventolin Obstetric injection) 5mg/5 ml (untuk asma: 5 mg/ml).
Untuk relaksasi uterus : 5 mg salbutamol dilarutkan dalam infus 500 ml
dekstrose/NaCl diberikan i.v (infus) dgn kecepatan 10 50 g/menit dgn monitoring
cardial effect.
Jika detak jantung ibu > 140/menit, kecepatan diturunkan atau obat dihentikan.
Steroid (betametason 12 mg sehari untuk 2x pemberian, deksametason 5 mg setiap 12 jam
untuk 4 x pemberian). Cek kematangan paru (lewat cairan amniotic, pengukuran rasio
lesitin/spingomielin :> 2 dinyatakanmature lung function).
BAB 3. PATHWAYS

Prematur

organ paru belum matang

belum terbentuknya surfactant

atelektasis (kolaps paru)

produksi cairan berlebih dispnea paru-paru menjadi kaku

gangguan bersihan jalan napas gangguan pola napas perubahan fisiologi paru

komplikasi Asidosis metabolic daya pengembangan


(compliance) paru menurun

mual, muntah dan kelelahan


pernapasan menjadi berat

napas dalam dan cepat


shunting intrapulmonal meningkat

nafsu makan menurun terjadi hipoksemia berat


kebutuhan nutrisi tubuh inadekuat hipoventilasi

Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh asidosis respiratorik


cedera paru lansung

trauma pada organ paru

plasma & sel darah merah ke interstisium

jarak yang ditempuh O2 & CO2 untuk berdifusi

kecepatan pertukaran gas

Cairan menumpuk di interstisium bergerak ke dalam alveolus

mengencerkan surfaktan

tegangan permukaan

edema & pembengkakan ruang interstisium

atelektasis

daya pengembangan (compliance) paru menurun

penurunan ventilasi dan hipoksia


BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
1. Riwayat maternal:
a) Menderita penyakit seperti diabetes mellitus
b) Kondisi seperti perdarahan placenta
c) Tipe dan lamanya persalinan
d) Stress fetal atau intrapartus

2. Status infant saat lahir


a) Prematur, umur kehamilan
b) apakah terjadi asfiksia
c) Bayi prematur yang lahir melalui operasi Caesar

3. Cardiovaskular
a) Bradikardi (dibawah 100 x per menit) dengan hipoksemia berat
b) Murmur sistolik
c) Denyut jantung dalam batas normal

4. Integumen
a) Pallor (kepucatan) yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
b) Pitting (cekungan kecil pada kulit akibat goresan), edema pada tangan dan
kaki
c) Mottling (bercak)

5. Neurologis
a) Immobilitas, kelemahan
b) Penurunan suhu tubuh
6. Pulmonary Takipnea (pernafasan lebih dari 60 x per menit)
a) Nafas grunting (mendengkur)
b) Nasal flaring
c) Retraksi intercostal, suprasternal, atau substernal
d) Cyanosis (sentral kemudian diikuti sirkumoral) berhubungan
dengan persentase desaturasi hemoglobin

7. Pemeriksaan fisik akan ditemukan tanda dan gejala RDS, gejala


tersebutdapat terjadi pada saat kelahiran atau antara waktu 2 jam.
Perkembangan penyakit terjadi dengan cepat yang dimulai dengan :
a) Takipnea
b) Pernapaan mendengkur
c) Retraksi sukostal atau interkostal
d) Sianosis dan pucat
e) Meningkatnya gejala lapar udara
f) Gerakan tubuh berirama
g) Sentakan dagu
h) Awalnya suara napas normal kemudian pernapasan dalam.

4.2 Diagnosa Keperawatan


a) asidosis respiratorik berhubungan dengan penurunan volume dan komplians paru,
perfusi paru dan vintilasi alveolar
b) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menghisap, penurunan motilitas usus
c) gangguan pola napas berhubungan dengan defisiensi surfactan yang ditandai
dengan dengan adanya dispnea pada pernapasan pasien.
d) penurunan ventilasi dan hipoksia berhubungan dengan defisiensi surfactan yang
ditandai dengan daya pengembangan (compliance) paru menurun.
4.3 Rencana Tindakan Keperawatan/Intervensi Keperawatan
Tujuan: nutrisi klien akan dapat terpenuhi dengan mampu mengkonsumsi makanan
empat sehat lima sempurna pada tanggal 10 Oktober 2011 pukul 11.00 WIB
Kriteria Hasil: klien mampu beraktivitas dengan rasa efektif pada tanggal 10 Oktober
2011 pukul 11.00 WIB
a. Berikan infuse D 10% W sekitar 65-80 ml/kg bb/ hari klien pada tanggal 10
Oktober 2011
Rasional: berguna untuk menggantikan kalori yang tidak didapat secara oral.
b. Pasang selang nasogastristik atau orogastrik untuk dapat memasukkan makanan
jika diindikasikan atau untuk mengevaluasi isi lambung pasien pada tanggal 10
Oktober 2011
Rasional: Pilihan ini dilakukan jika dimasukkan sudah tidak mungkin dilakukan.
c. Cek lokasi selang NGT dengan cara :
- Aspirasi isi lambung
- injeksikan sejumlah udara dan auskultasi masuknya udara pada lambung
-letakkan ujung selang di air, bila masuk lambung, selag tidak akan memproduksi
gelembung tanggal 10 Oktober 2011.
Rasional: Untuk mencegah masuknya makanan ke saluran pernapasan.

d. Berikan makanan sesuai dengan prosedr berikut:


- Elevasikan kepala bayi
- Berikan ASI ataua susu formula dengan prinsip gravitasi dan ketinggian 6-8
inchi dari kepala bayi
- Berikan makanan dengan suhu ruangan
- Tengkurap bayi setelah makan sekitar 1 jam.
Rasional: Memberikan makanan tanpa menurunkan tingkat energy bayi.
4.4 Implementasi Keperawatan
a. Telah diberikan infuse D 10% W sekitar 65-80 ml/kg bb/ hari klien pada
tanggal 10 Oktober 2011
b. Telah dipasang selang nasogastristik atau orogastrik untuk dapat memasukkan
makanan jika diindikasikan atau untuk mengevaluasi isi lambung pasien pada
tanggal 10 Oktober 2011
c. Telah dilakukan penecekan lokasi selang NGT dengan cara :
- Aspirasi isi lambung
- injeksikan sejumlah udara dan auskultasi masuknya udara pada lambung
-letakkan ujung selang di air, bila masuk lambung, selag tidak akan
memproduksi gelembung tanggal 10 Oktober 2011.
d. Telah diberikan makanan sesuai dengan prosedur berikut:
- Elevasikan kepala bayi
- Berikan ASI ataua susu formula dengan prinsip gravitasi dan ketinggian 6-8
inchi dari kepala bayi
- Berikan makanan dengan suhu ruangan
- Tengkurap bayi setelah makan sekitar 1 jam.

4.5 Evaluasi
Dilakukan pada tanggal 10 Oktober 2011 pukul 12.00 WIB

S : klien mengatakan, Sus, saya suka dengan menu makanan hari ini .

O : wajah pasien tidak terlihat lemah dan pucat lagi. Klien mulai dapat
tersenyum, dan piring pasien bersih, makanan habis.

A : klien mulai dapat beraktivitas dengan efektif dan wajahnya tidak terlihat
pucat dan lemah lagi.

P : masalah pasien setengah teratasi. Rencana tindakan dilanjutkan dengan terus


memberikan tindakan nyaman dan aktivitas relaksasi pada klien.
BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
ARDS adalah suatu penyakit yang ditandai oleh kerusakan luas alveolus dan atau
membran kapiler paru. ARDS selalu terjadi setelah suatu gangguan besar pada
sistem paru, kardiovaskuler atau tubuh. . Hyaline membran disease dikenal juga
sebagai respiratory distress syndrome yang idiopatik, merupakan keaadaan akut yang
terutama ditemukan pada bayi prematur saat lahir atau segera setelah lahir, lebih sering
pada bayi dengan usia gestasi dibawah 32 minggu yang mempunyai berat badan dibawah
1500 gram.
Hal ini disebabkan adanya defisiensi surfaktan yang menjaga agar kantong alveoli
tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan
masihbelum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan
mengalami sesak napas. Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutinyang
diberikan pada bayi prematur dengan RDS.

5.2 Saran
ARDS dapat dicegah dengan beberapa hal yaitu salah satunya dengan pemberian
obat-obat tocolysis (-agonist : terbutalin, salbutamol) yang dapat berperan sebagai
relaksasi uterus. selain itu, untuk mengantisipasi dini terjadinya penyakit ARDS ini pada
pasien anak-anak. Maka peran orang tua diperlukan dalam membantu mengenali tanda
dan gejala dari penyakit ini seperti yang telah dijelaskan di dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Cecily. L. Betz. 2002. Keperawatan Pediatrik. Edisi 3.Jakarta: EGC


Nelson. E.Waldo.2000.Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Jilid 1. Jakarta:EGC
Suriadi.2001. Asuhan Keperawatan PAda Anak. Edisi 1..Jakarta:CV Agung Seto.
Arvin. Benheman. K. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak : Edisi 15 volume 1. Jakarta :EGC
Arvin. Benheman.K. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak : Edisi 15 volume 3. Jakarta :EGC
Pramanik.A.MD. Respiratory Distress Syndrom. dari
http://www.emedicine.com/topic1993 htm updated july 2,2002.
Honrubia.D; Stark.AR. Respiratory Distress Syndrome. Dalam : Cloherthy
J,Eichenwald EC, Stark AR,Eds. Manual of Neonatal Care,edisi 5.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins,2004:341-61.
http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/respiratory-distress
syndrome.pdf

Anda mungkin juga menyukai